
Chandra BhayaSingka Part 23-25
Part 23
"Septian Arwin Lubis dan Sukma trianda Zulham,"
Deg.
Tubuh Zulfa spontan menegang mendengar dua nama yang keluar dari mulut Septi. Matanya membeliak dengan sempurna ternyata orang yang selama ini mati-matian di cari oleh Bunda-nya berada sangat dekat dengan-nya. Bagaimana Zulfa bisa melupakan ada nama Sukma dan Septi adalah awalan nama Septian (Papa Septi) di deretan nama Septi yang panjangnya seperti kacang panjang itu.
Sepertinya tingkat kekesalan Zulfa terhadap Septi membuat Zulfa lengah atas tanda-tanda yang Allah berikan bahwa orang yang selama ini di cari-cari oleh keluarganya terutama bundanya berada di dekatnya setiap hari. Zulfa akan membaca ulang CV Septi setelah ini.
Zulfa terus memandangi wajah Septi dengan detail membuat Sekar dan Septi menatapnya semakin bingung, "Bu Zulfa ken-
"Septi kau orang yang di cari Bunda saya selama tiga tahun belakangan ini," potong Zulfa cepat.
Darrrrr,
kali ini berganti, bukan hanya Septi saja yang terkejut melainkan Sekar juga bahkan bola mata Septi nyaris melompat dari tempatnya,
"Kenapa Bu? Apa orang tua saya memiliki salah kepada orang tua ibu, atau orang tua saya memiliki sangkutan hutan yang belum di lunaskan kepada orang tua ibu ...." ujar Septi dramatis.
Membuat bola mata Zulfa merotasi dengan sempurna ke atas. Percayalah dunia Zulfa yang selama ini indah akan berbalik seratus delapan puluh derajat sebentar lagi. Hari-harinya akan di nikmati bersama Septi baik di rumah dan di Rinka Collection. Zulfa tak tahu ini Badai atau musibah untuknya.
"Fa!" Zulfa tersentak ketika mendengar suara Sekar memanggilnya.
Sebelum menjawab Zulfa menghela nafasnya sejenak lalu menatap Septi dengan intens. "Mama kamu dan Papamu adalah sahabat SMA Bunda saya, setelah menikah orang tua kamu memutuskan untuk pindah ke luar kota karena kerjaan papa kamu jadilah mereka terpisah hingga empat tahun yang lalu Bunda saya dan mama kamu tak sengaja bertemu di mall Bunda saya sangat senang mengetahui kedua orang tua kamu telah kembali ke kota ini dan menetap di sini," ada jeda sejenak untuk Zulfa sekedar menarik napasnya lalu ia kembali melanjutkan kalimatnya.
"Dari pertemuan yang tak sengaja itu mereka saling berbagi cerita, dan dari info yang Bunda saya dapatkan dari mama kamu, mama kamu memiliki dua anak, dan memberikan alamat rumahnya, tapi karena kesibukan Bunda saya di dunia persidangan waktu itu Bunda belum sempat main kerumah kalian beberapa bulan kemudian terjadilah peristiwa na'as itu, Bunda langsung syok waktu itu mengetahui ada daftar nama orang tua kamu sekaligus kedua sahabatnya di daftar korban tewas, dan bertambah syok ketika kita mengetahui orang tua Mas Prastya juga ikut menjadi korban dalam tragedi itu," Sekar dan Septi masih terdiam dengan pikiran mereka masing-masing seraya terus mendengarkan dengan baik ucapan Zulfa.
"Bunda pikir karena kalian berdua kalian lebih baik keadaanya untuk saling menguatkan hingga Bunda memutuskan untuk memberi semangat yang lebih untuk Mas Pras, hingga 7 Bulan berlalu Bunda memutuskan untuk datang ke alamat rumah yang pernah Almarhumah mama kamu berikan. Namun kalian sudah tidak ada di sana," tandas Zulfa.
Sekar refleks mengalihkan pandangannya kepada Septi yang masih terdiam, "Ada apa dengan kalian sebenarnya Septi?" tanya Sekar lembut.
Septi mengerjapkan matanya memandang Zulfa dan Sekar secara bergantian lalu mengarahkan pandangannya ke depan lagi, "Bu Zulfa benar, rumah itu sudah berpindah tangan, lima bulan setelah kejadian itu kakak laki-laki saya yang sebelumnya adalah sosok yang penyayang, tempat saya berlindung selain papa berubah seratus delapan puluh derajat menjadi seseorang yang asing bagi saya, dia mulai ikut geng-geng motor, mencari kesibukan di luar rumah hingga manjadi liar dan kejam untuk melupakan rasa pedihnya, rasa kehilangannya, dan kerapuhannya karena di kehilangan."
"Dia lupa ada saya yang juga sama merasa kehilangannya, dia lupa ada saya yang juga sama hancurnya, dia lupa ada saya adiknya yang juga sama merasa sangat-sangat pedih di tinggal pergi oleh kedua orang yang sangat kami cintai. Hingga ia menjadi liar dan kejam, dia putus kuliah lalu memaksa saya untuk menjual rumah yang memiliki banyak kenangan indah kita, saya tidak bisa berbuat banyak Mba, Bu, selain hanya pasrah dan menurut saja," jelas Septi dengan raut wajah pias.
Sekar terhenyak mendengarnya jadi di balik sikap cerianya gadis ini ia menyimpan beribu luka dan kepedihan. Bola Mata Sekar sudah berkaca-kaca hingga wanita itu harus memalingkan wajahnya agar Septi tak melihat ada setetes air mata yang meluncur deras di pipinya namun dengan cepat Sekar menyerkanya lalu kembali menatap Septi yang masih setia menatap ke depan.
"Lantas sekarang kalian tinggal dimana dan dengan siapa?" itu suara Zulfa.
"Septi mengontrak rumah Bu, dari hasil uang tabungan Septi sendiri, karena uang hasil penjualan rumah di ambil semua dengan abang Septi,"
Mendengar itu semakin membuat rongga dada Sekar serasa di remas sekuat mungkin begitupula dengan Zulfa yang tanpa sadar mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Wanita itu refleks memejamkan matanya sekilas.
"Sanak saudara kalian ... Kakek-Nenek atau yang lainnya kemana Septi?"
"Papa itu anak tunggal Mba, Nenek dari Papa ketika usia Septi 15tahun meninggal karena sakit jantung, sementara Kakek menyusul dua tahun kemudian. Sedangkan mama, mama hanya dua bersaudara, Kakek Septi yang dari mama meninggal setahun sebelum Mama dan Papa meninggal lalu beberapa bulan kemudian nenek menjadi sakit-sakitan dan memutuskan untuk ikut tinggal bersama tante Septi yang tinggal di surabaya, Tante juga tak patah arah untuk membujuk Septi agar tinggal bersama mereka tapi Septi yang menolak, Septi ingin mandiri dan tidak ingin merepotkan siapa-siapa walaupun Tante Diar sama sekali tak merasa di repotkan. Septi ingin tetap di sini jika rindu dengan mama dan papa Septi bisa berkunjung ke makam mereka setidaknya itu yang bisa Septi lakukan selain berdoa agar bisa selalu merasa dekat dengan mereka Mba,"
Zulfa refleks menoleh memandang Septi kembali dengan secepat kilat. Namun ia masih bungkam karena ingatannya terlempar pada satu peristiwa dua minggu yang lalu namun Zulfa masih ragu kebenarannya.
"Lalu kakak kamu ikut tinggal di kontrakan kamu ...," Septi tertawa getir seraya menggeleng.
"Kakak saya kembali ke rumah kalau dia butuh uang saja Mba, dia lebih sering tidur di kost-kostan temannya daripada menemani adiknya," tepat ketika kalimat itu berakhir barulah Zulfa dapat menyimpulkan dugaannya benar sepenuhnya.
Ketika ingatannya terlempar pada peristiwa dua minggu yang lalu kala itu Zulfa tak sengaja melihat Septi sedang Terlihat sedang bertengkar hebat dengan seorang pria berusia kira-kira dua puluh satu tahun di pelantaran parkir pegawai RC. Pria itu merebut paksa tas Septi lalu Zulfa tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya dengan Septi karena seruan Prastya dari dalam mobilnya membuat Zulfa buru-buru menghampiri pria itu yang memang sudah menunggunya untuk menghadiri rapat bersama klien.
"Dan itu juga yang membuatmu memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi Septi?" Zulfa memaksakan tenggorokannya yang tercekat agar dapat bersuara.
Septi mengangguk pelan, ''Itu salah satunya Bu, faktor utama-nya adalah karena saat ini tidak ada lagi orang yang akan bangga melihat Septi meski Septi meraih toga Septi,"
Dan untuk sekian kalinya Sekar dan Zulfa terhenyak mendengarnya.
Ingatkan Zulfa untuk mematahkan tangan serta kaki dan meninju wajah pria yang di sebut Septi sebagai kakaknya itu jika Zulfa melihatnya baik secara tak sengaja ataupun sengaja. Zulfa sudah lama tak menguji kemampuan ilmu bela dirinya dan kakak Septi sepertinya adalah orang yang tepat untuk Zulfa jadikan target sasaran.
"Lalu kenapa kau terlihat tidak sedih Septi?" mendengar itu Septi menoleh ke arah Zulfa lalu berujar.
"Ibu ingin melihat saya menangis!" sahut gadis itu.
Membuat Zulfa refleks menggelengkan kepalanya dramatis, ''Tidak!" seru Zulfa dramatis ia bergidik ngeri membayangkan gadis seajaib Septi ini menangis.
Sekar yang melihat itu hanya mampu tersenyum.
''Menangispun tak akan membuat orang tua saya bisa kembali lagi bersama saya dan kakak saya Bu, menangispun tak akan membuat keluarga saya bisa jadi harmonis dan utuh seperti dulu lagi Bu, jadi untuk apa saya menangis lagi? Terakhir kali saya menangis di depan orang banyak atau di depan umum ketika saya mendengar kabar pesawat yang membawa kedua orang tua saya terjatuh, kedua orang tua saya sempat hilang dan puncaknya ketika jasad kedua orang tua saya di masukkan ke dalam liang lahat Bu, saya mencoba untuk tidak larut dalam kesedihan dan keterpurukan karena jika saya terus-terusan bersedih mama dan papa saya juga akan bersedih melihat saya bersedih dari atas sana. Saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk berusaha tegar dan menerima dengan lapang dada takdir yang sudah di gariskan tuhan Bu," suara Septi kembali menguar di udara.
"Saya sudah mendapatkan jawabannya Septi atas pertanyaan besar yang selalu muncul di benak saya sendiri Septi, tentang kau yang selalu menambah jam kerja dengan Cuma-Cuma," mendengar kalimat yang di utarakan Sekar itu barulah Septi dapat tertawa ringan sekaligus menganguk mantap membuat Zulfa memandangnya dengan tatapan tak percaya.
"Iya Mba, karena kalau saya di rumah sendiri masih sering ke ingat dengan momen-momen bersama mama dan papa malah jatuhnya sedih lagi, jadi daripada begitu mending Septi gunakan waktu Septi untuk membantu orang lain Mba, lagi pula Septi senang melakukannya hitung-hitung beramal Mba," cengir Septi. "Septi ikhlas lho Mba membantu Bang Andi, Mas Hadi dan Mba Wati tak mengharapkan atau ingin mencari muka agar gaji Septi di naikkan." guraunya.
Dan di sambut tawa merdu dari Sekar sementara Zulfa refleks mengusap wajahnya frustasi lalu ia kembali berucap, "Nka, Bisakah kita bertukar saja sekarang, Senja yang menjadi adik-ku ....," ucap Zulfa dengan tatapan memohonnya.
Sekar refleks menggeleng tegas seraya mengulum senyum menggoda kepada sahabat-nya ini, "Sorry Fa untuk yang ini aku menolak membantumu, Senja milik-ku millik keluarga Zsulvan tak bisa di ganggu gugat." balas Sekar tegas.
Zulfa mendengus kasar membuat tawa Sekar menguar di udara mengabaikan Septi yang memandang dua bosnya ini dengan tatapan bingung. "Kalian sedang membahas apa?" tanya gadis itu polos.
"Saya baru memenangkan doorprise liburan ke hawai Septi," jawab Zulfa asal.
"Yang benar Bu, wah ...," Septi berseru senang membuat tawa Sekar kembali meledak dan Zulfa refleks menggeram frustasi.
''Lupakan yang itu, sekarang yang harus kau dengar, adalah setelah siftmu selesai kau pulang dengan saya ke rumah orang tua saya bukan ke kontrakanmu, karena mulai sekarang kau akan tinggal bersama saya dan keluarga saya," mendengar itu Septi dengan secepat kilat menoleh ke arah Zulfa.
"Tidak usah Bu, Septi tinggal di rumah kontra-
"Dan membuat Bunda saya terus-terusan di liputi rasa khawatir sekaligus menjadikan saya anak durhaka karena berbohong telah menyembunyikan seseorang yang sedang ia cari-cari selama tiga tahun ini dengan susah payah, begitu maksutmu?" sahut Zulfa ketus. Septi sudah ingin membuka suaranya kembali namun urung karena Zulfa kembali bersuara. "Tidak ada alasan Septi, Wati dan Andi hari ini sudah mengerjakan tugasnya dengan amat baik jadi mereka tak perlu lagi bantuan tenaga darimu, Terserah kau ingin tinggal bersama kami atau tidak itu keputusanmu dan bisa kau putuskan nanti, yang paling penting sekarang ini kau ikut terlebih dulu pulang bersama saya dan bertemu dengan Bunda saya.''
"Dan mulai semester depan kau juga akan mulai berkuliah, jangan pikirkan biayanya karena itu menjadi tanggung jawab saya, tugasmu hanya bekerja dengan baik di sini dan setelah siftmu habis kau tak perlu lagi membantu Andi dan Wati untuk mengisi waktu kosongmu, gunakan itu untuk menuntut ilmu demi masa depanmu." sekarang giliran Septi yang terperangah mendengar kalimat demi kalimat yang di ucapkan Zulfa.
"Ta-tapi Bu ...," kalimat Septi kembali terhenti ketika ia merasakan ada usapan lembut yang mampir di bahunya bukan dari Zulfa melainkan dari Sekar.
"Dengar Septi, apa yang di katakan Mba Zulfa adalah benar, kau harus melanjutkan pendidikanmu, jika empat tahun silam kau merasa percuma jika kau melanjutkan pendidikanmu karena tidak ada yang akan bangga melihat kau meraih togamu, kau salah besar Septi, di sana ... di atas sana di manapun kau berada kedua orang tuamu sedang tersenyum bangga melihat putri mereka tumbuh menjadi gadis yang tangguh, mereka akan selalu hidup Septi di sini, di hati kamu cinta mereka kau bawa di setiap langkahmu, dan selalu peluk mereka lewat doa," ucap Sekar lembut seraya tersenyum lembut.
"Maka kewajiban selanjutnya yang harus kau tuntaskan adalah selesaikan pendidikanmu, raih togamu dan orang tuamu akan turut bangga serta tersenyum melihatmu dari atas sana, selain itu ada Mba Zulfa dan keluarganya yang juga akan turut bangga melihat kau meraih togamu, kau tak sendiri lagi Septi, mulai saat ini keluarga Mba Zulfa adalah keluargamu, kedua orang tua Mba Zulfa adalah perantara yang di tunjuk Allah untuk mewakili orang tuamu menjagamu di dunia Septi," tandas Sekar di iringi dengan senyum tulus. "Bukan begitu Mba Zulfa?" tanya Sekar kepada Zulfa seraya tersenyum penuh arti.
Zulfa spontan mendesah pelan namun sejurus kemudian ia mengangguk. "Iya saya yang akan berdiri paling depan nanti ketika kau wisada dan meraih togamu sambil bertepuk tangan dengan bangga, jadi tidak perlu ada alasan lagi untuk kau menolak kuliah Septi." balas Zulfa skeptic seraya melirik Sekar dengan tatapan tajam membuat Sekar meti-matian menahan tawanya agar tak menguar di udara.
Septi masih terdiam tak merespon apa-apa namun di detik selanjutnya tanpa di sangka gadis itu berseru membuat Zulfa berjengkit kaget dan Sekar kontan terkekeh pelan, "Sebelumnya
terimakasih Bu Zulfa untuk semuanya, dan iya Septi mulai semester depan akan melanjutkan kembali pendidikan Septi, Mba Mekar sekarang Septi tidak sendirian lagi ada kalian, terimakasih.'' ucapnya tulus seraya tersenyum lebar lalu ia mendongak ke atas. "Toga yang Septi raih suatu hari nanti akan Septi tujukan untuk Bu Zulfa, kedua orang tua Bu Zulfa dan tentunya untuk kedua orang tua kandung Septi," tutup gadis itu masih dengan senyuman manis yang tersungging di kedua sudut bibirnya.
Sekar juga ikut mengembangkan senyumnya seraya mengangguk dan mengelus lembut bahu Septi.
"Anak pintar," celetuk Zulfa tiba-tiba tanpa memandang Septi membuat Sekar kembali tekekeh ringan.
"Ah, satu lagi yang harus kau camkan baik-baik Septi, pesankan kepada cowok yang berstatus sebagai kakak kandungmu itu, jangan pernah lagi saya dengar dia memeras hasil kerjamu, apalagi berani-beraninya dia menampakkkan batang hidungnya di Rinka Collection, saya tak akan segan-segan memisahkan tangan dan kakinya dari tubuhnya serta menghancurkan pangkal hidungnya, kebetulan sudah lama saya tak menggunakan ilmu bela diri saya, menjauh dari kehidupanmu kalau kakakmu tak ingin berakhir tragdis di ruang ICU di tangan saya," ucap Zulfa dengan nada dingin.
Membuat Septi tercengang bukan main.
***
Sudah hampir satu jam Bumi dan Langit menyusuri reruntuhan gedung menara Kharahara. Bumi tak menemukan satupun korban tewas maupun terluka atau yang terjebak di jaur utara ini karena memang kondisi reruntuhan di sisi ini pun tak terlalu parah hanya beberapa bagian gipsun atap gedung saja yang roboh serta beberapa bagian dinding yang terlihat retak berbanding terlablik dengan jalur yang di susuri Langit yang memang mengalami kerusakan yang sangat parah.
Bumi terus menyusuri jalur tersebut hingga langkah kakinya membawanya kepada jalur yang menghubungkan ke arah jalur yang di susuri Langit. Tak butuh waktu lama untuk ia menemukan Langit yang sedang berjalan menyusuri lorong di depan sana. Bumi berniat ingin menghampiri Langit yang kala itu masih belum sadar akankehadiran Bumi. Namun baru dua langkah bumi berderap langkah kaki pria itu kontan terhenti ketika ia menyadari ada percikan api yang jatuh ke bawah. Dengan gerakan perlahan Bumi mendongakkan kepalanya. Matanya spotan membulat dengan sempurna dengan apa yang di lihatnya saat ini. Di sana tepat di bawah Langit berhenti ada kabel korslet yang siap terjatuh dan dalam hitungan ketiga teriakan Bumi menggema.
"LANGIT AWASSSSSSSSS!!!"
DUARRRRR,
suara teriakan serta suara tembakan menjadi satu bersamaan dengan itu robohnya salah satu bongkahan bebatuan yang menyangga atap bangunan di sisi Barat tersebut.
Dalam keheningan yang terjadi setelah ucapan yang keluar dari mulut Zulfa sekitar lima belas menit yang lalu. Setelahnya tidak ada lagi yang membuka suara. Ketiga wanita itu sibuk menikmati rona jingga yang terpancarkan dari senja yang tampak sangat berbeda di petang ini. Namun sejurus kemudian dering ponsel Zulfa menyentakkan lamunan wanita itu. Menandakan ada notif pesan yang masuk.
Sekar dan Septi juga sempat melirik Zulfa sekilas lalu setelahnya kembali menikmati senja kembali. Sementara Zulfa masih terdiam menatap layar ponselnya yang saat ini menampilkan email dari seseorang. Sejujurnya ia juga sangat bingung dan merasakan ada perubahan yang sangat signifikan dari pria tersebut kepada dirinya beberapa minggu ini
Dengan ragu ia menoleh ke arah Sekar dan otomatis ia juga tengah menatap Septi yang kala itu masih duduk di tengah-tengah Sekar dan Zulfa, "Nka, Pesawat Pras nanti malam akan landing, ini lebih cepat dua hari dari jadwal kepulangannya memangnya dia tidak mengabarimu?" tanya Zulfa.
Sekar yang mendengar itu mengalihkan pandangannya untuk menatap Zulfa ia tersenyum seraya menggeleng, "Tidak Fa, lagi pula untuk apa lagi dia mengabariku, yang mengutus dia kesana kan aku, jadi otomatis aku sudah tau kapan dia kembali ke sini," sahut Sekar. "Lagi pula Pras tepat yang perlu di beri kabar itu kau bukan aku." tandasnya
Skakmat,
Zulfa beruntung karena wajahnya di hantam sinar Jingga dari atas langit sana sehingga Sekar tak dapat melihat pipinya yang bersemu merah. Dan yang bisa Zulfa lakukan adalah membuang pandangannya kemanapun agar tak menatap sahabatnya itu yang kini tengah meliriknya seraya tersenyum simpul.
"Memangnya Pak ganteng itu habis dari mana Bu Zulfa,"
"Mas Pras, sedang berada di Inggris Septi," Sekarlah yang menjawab.
Bola mata Septi membulat dengan sempurna namun sejurus kemudian ia memekik girang, "Wow, Pak ganteng keren, Pak Pras ada urusan di sana ya Mba, Septi kalau tahu sebelum Pak Pras berangkat ke Inggris Septi akan titip salam dengan pangeran Harry Mba Sekar," mendengar ucapan polos Septi Sekar kembali tertawa dan Zulfa hanya melirik sekilas dua wanita ini. Tak berniat untuk ikut ambil dalam percakapan absurd antara sahabatnya dan calon adik angkatnya ini.
"Pak Pras di sana sedang berburu bule Septi," balas Sekar asal di sela-sela tawanya.
Septi semakin tergelak namun di dua detik setelahnya ia meredakan tawanya lalu berdehem untuk menetralkan suaranya sebelum ia menimpali kalimat Sekar, "Bule bukan tipe Pak Pras Mba, Pak Pras itu tipenya yang mahal."
"Maksud kamu?" itu bukan Sekar melainkan suara Zulfa.
Nah akhirnya terpancing juga kan kamu Mba Zulfa.
Septi menoleh berganti memandang Zulfa seraya tersenyum lebar, "Mana mau Pak Pras sama bule Bu, tipe-tipe Pak Pras itu yang mahal seperti Bu Zulfa atau Mba Mekar, kalau bule sering pakai pakaian kurang bahan kadang hanya memakai bikini saja, kan gak baik Bu, nanti terlalu sering masuk angin." ucapnya polos tanpa perduli wajah Zulfa sudah merah padam menahan agar ia tak melempar Septi dari atas gedung ini.
Sedangkan Sekar wanita itu bahkan sudah menyembunyikan wajahnya di lekukan lututnya yang tertekuk. Tergelak sekeras mungkin. Membuat Zulfa hanya bisa meradang menghadapi keajaiban sosok Septi Sukma Putri Lubis.
***
"Aku dan Septi langsung ke musholah saja ya Nka, Adzan maghrib sudah lewat 2 menit," ucap Zulfa ketika mereka sudah berdiri di depan ruangan Zulfa.
Sekar mengangguk sekilas, "Yasudah, aku juga sekalian mau bersih-bersih badan dulu di dalam Fa baru maghrib,"
"Mba Mekar tidak ikut sholat di musholah?"
Sekar menggeleng seraya tersenyum kepada Septi, "Tidak saya sholat di kamar pribadi saya saja, kamu temani Mba Zulfa ya,"
"Okey Mba, Septi akan temani Mba Zulfa," mendengar itu Zulfa kontan mendengus lalu merotasi bola matanya ke atas.
Sedetik kemudian ia menuding tepat di wajah Septi. "Kau .... mulai sekarang stop memanggilku ibu, aku kakakmu. memanggil Sekar bisa dengan sebutan Mba, kenapa dengan saya malah memanggil Ibu." ucapnya sinis.
Septi tanpa takut menggeleng dengan tegas lalu ia kembali berujar,"Kalau masih di area lingkungan RC Septi tetap panggil ibu, tapi kalau sudah di rumah atau di luar lingkungan RC Septi akan coba membiasakan panggil Ibu dengan panggilan kakak." cengir Septi.
Zulfa refleks menghela nafasnya lalu kemudian wanita itu mengangkat kedua tangannya di udara.
Menyerah.
Membuat Sekar terkekeh ringan seraya menggelengkan kepalanya, "Kalau gitu ayo bu, selesai sholat kita doakan Pak ganteng itu lagi, Septi mau ikut mendoakan Pak ganteng itu lagi, kata guru Septi kalau doanya berjamaah kemungkinan besar doanya akan cepat di jabah sama Allah," lanjutnya.
Tubuh Zulfa kontan menegang di pijakannya bahkan bola mata wanita itu nyaris menggelinding dari tempatnya tak menyangka bahwa Septi akan dengan polosnya berbicara seperti ini kepada Sekar.
Sementara Sekar kontan memicingkan matanya ke arah Septi. Seraya melirik Zulfa dengan menahan sudut bibirnya agar tak berkedut membentuk senyuman, "Memangnya apa yang Bu Zulfa doakan untuk Pak ganteng Septi!" tanya Sekar mencoba berpura-pura tidak tahu.
Napas Zulfa tercekat di tenggorokannya bersamaan dengan pupil matanya yang semakin membeliak dengan sempurna ketika melihat Septi sudah ingin membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Zulfa. Namun batal karena Zulfa dengan gerakan cepat segera membekap mulut Septi sekuat-kuatnya.
Sekar melongo.
Mengabaikan Septi yang terus meronta-ronta karena menipisnya pasokan oksigennya.
Zulfa segara menoleh menatap Sekar, "Kami ke musholah dulu Nka!" ucapnya lalu segera berbalik dan menyeret Septi menjauhi Sekar dengan tangannya yang masih membekap mulut Septi.
Hingga Sekar tersadar ketika Zulfa bukannya berbelok ke sebalah kanan malah ke sebelah kiri, "Fa, bukannya musholah kita berbelok di sebelah kanan bukan di sebelah kiri," ucap Sekar sedikit agak berteriak.
Mendengar itu Zulfa kontan menghentikan langkahnya begitupula dengan Septi. Wanita itu lalu menoleh ke belakang menatap untuk Sekar lalu berujar, "Untung kau ingatkan Nka, kalau tidak aku berniat ingin membawa anak ini ke rumah potong hewan." sahut Zulfa skeptik.
Dan di balas dengan gelakan tawa dari mulut Sekar seraya menggelengkan kepalanya. Namun tiga detik setelahnya tawa Sekar mereda ketika ia mendengar dering suara ponsel yang berada di saku blezernya. Kerutan di dahinya terukir jelas ketika ia membaca satu nama yang kini tertera di layar ponselnya.
Harpa is calling....
Dengan segera ia menggeser tombol hijau tersebut.
"Hallo!" sapa Sekar seraya berbalik dan masuk menuju ke dalam ruangannya
Part 24
Hari ini di awali dengan sinar matahari yang menyapa bumi dengan cahayanya yang sangat cerah. Membuat terasa lebih begitu indah dan semangat untuk beraktifitas. Begitupula dengan aktivitas yang terlihat di Rinka Collection. Waktu sudah menunjukkan pukul 09:00 WIB. Sekitar satu jam lagi butik dan toko itu akan buka. Tapi sudah Terlihat para pegawai Rinka Collection tengah semangat menekuni tugas mereka masing-masing untuk mempersiapkan semuanya.
Dan di tengah-tengah para manusia yang hampir semuanya berseragam biru liris hitam itu terdapat satu pria tampan mengenakan kemeja purple tua dengan celana bahan berwarna hitam di lengkapi sepatu hitam kilat pantopelnya yang semakin membuat kaum hawa terpesona dengannya. Sang pemilik wajah dan senyum meneduhkan itu kini terlihat berbincang dengan Arman.
Setelah dia mengecek dua toko yang menjual aksesoris ia berderap mengambil jalan lurus menuju ke arah butik yang hanya di sekat oleh dinding kaca dan pintu penghubung saja.
Seulas senyumnya sejak dia sampai sekitar setengah jam yang lalu tak pernah luntur untuk menyapa para pegawai Rinka Collection. Ntah hapa yang mereka perbincangkan yang jelas sejak kemarin setelah kepulangannya dari London pria ini semakin nampak terpesona. Benar kini langkahnya semakin ringan. Hatinya juga sudah jauh lebih lega. Ya, Prastya bersyukur akan dua hal ini. Dan lebih bersyukur lagi sebab kini ia tengah mencoba menebus perjuangan seorang wanita yang dilakukan untuknya secara diam-diam. Dan kemantapan hati serta jawaban yang di berikan Allah dalam tahajud dan istikharahnya sudah ia dapatkan. Dan...Dia lah Orangnya. Dia lah wanita itu wanita yang di pilihkan Allah untuknya.
Dan tanpa Prastya sadari dari pintu kaca luar butik ada wanita cantik dengan balutan hijab berwarna cream yang sejak 5 menit yang lalu memperhatikannya. Tubuhnya seketika kaku tak bisa di gerakan seirama dengan degub jantungnya yang tak bisa ia kendalikan. Ntahlah biasanya wanita ini cerdas dalam menyembunyikan perasaannya kepada pria berkemeja purple tersebut berlaku biasa saja di hadapannya namun semenjak pria yang notabennya adalah sahabatnya sendiri itu berangkat ke London dia menjadi sangat intens berkomunikasi kepadanya. Apalagi yang di bahas pria itu tentang Khitbah dan pernikahan.
Dan hari ini dia sudah mulai kembali lagi beraktifitas di Rinka Collection dan itu artinya intensitas bertatap muka dengan sahabat karibnya ini kembali intens seperti sediakala. Mungkin kalau dulu Zulfa merasa tak ada masalah tapi kalau sekarang bukan lebih tepatnya selama pria itu berada di London Zulfa merasa ada perubahan yang tak biasa dari sahabatnya itu. ntahlah Zulfa juga tak paham bahkan wanita itu sempat berpikir kalau Prastya selama di London salah mengkonsumsi makanan atau vitamin. Kira-kira begini pertanyaan yang Zulfa lontarkan ketika mereka sedang skype-an. "Memangnya wanita mana yang ingin kau lamar serta kau nikahi dalam jangka waktu lebih kurang setahun lagi Pras? Apa aku dan Inka mengenalnya?"
Bukannya menjawab pria itu malah melempar klue yang membuat Zulfa nyaris kehilangan kata-katanya ketika Prastya berujar begini. "Wanita itu ada di dekat aku selama ini, memperjuangkan aku dalam diam, dalam doanya, dalam sujudnya langsung dihadapan tuhanku yaitu Allah. Ya Inka mengenalnya sangat-sangat mengenalnya apalagi kau Fa kau lebih mengenalnya dari Inka," tandas Prastya seraya menatap Zulfa dari layar ponselnya dari sebrang sana.
Ah, Zulfa nyaris gila memikirkan itu ingin rasanya Zulfa memiliki kekuatan super untuk menghilang saja detik ini juga. Namun karena itu mustahil ia hanya butuh mengerjapkan matanya beberapa kali guna menyeret kesadarannya. Di tariknya nafasnya dalam-dalam lalu di hembuskannya secara perlahan. Menggelengkan kepalanya seraya memejamkan matanya lalu kaki kananya terangkat ingin melangkah namun ntah mengapa bukannya melangkah ke depan melainkan ia berbalik dan sialnya lagi bersamaan tubuhnya yang sudah berbalik matanya membeliak sempurna dan nyaris menggelinding dari tempatnya. Ketika ia melihat Sekar sudah berdiri di hadapannya berarti sedari tadi wanita ini juga sudah berdiri di belakangnya. Astaga, dua sahabat Zulfa ini memang menginginkan Zulfa Terkena stroke dini mungkin ya! bagaimana tidak keduanya belakangan ini sangat hobi menggoda dirinya.
"Nka, Kau sejak kapan di sini?" tanya Zulfa skeptik.
Sekar yang tadi tengah menatapnya serius kini mengulas senyumnya. "Assalamualaikum, selamat pagi Bu Zulfa Wulandari," bukannya menjawab Sekar terlebih dulu mengucapkan salam.
Dan Zulfa yang menyadari adanya kesalahan buru-buru menggumamkan kalimat istighfar lalu menjawab salam Sekar. "Walaikumsalam, Bu Boss," balas Zulfa.
Sekar refleks terkikik geli untuk beberepa detik namun kemudian ia menaikkan kedua alisnya menatap Zulfa seraya mengulum senyum. "Mau ke mana kok balik lagi?" tanya Sekar.
Zulfa sontak gelapan tak menentu. Membuat Sekar spontan memicingkan matanya. "Anu, mau itu balik ke rumah lagi ponsel aku ketinggalan kayaknya deh Nka,"
Mendengar itu Sekar refleks melirik sekilas ke bawah. Lalu kembali memicingkan matanya menatap Zulfa. "Kau yakin, terus yang kau genggam itu apa, Batu?" ujar Sekar.
Damn. Zulfa merutuki kebodohannya untuk yang ini. Alhasil ia refleks mengangkat tangan kanannya yang menggenggam ponsel berlogo apel di gigit itu lalu menyengir kaku ke arah Sekar. Membuat Sekar tak kuasa untuk menahan lagi kekehannya seraya menggelengkan kepalanya dan Zulfa sudah mengerucutkan bibirnya. Lalu Sekar beringsut menggandeng lengan sahabatnya ini. "Ayo masuk, sejak kapan menghadapi Prastya saja kau nyaris kehilangan kata dan akal begini hmm!" bisik Sekar telak. lalu tanpa mau tahu ekspresi sahabatnya ini yang sudah seperti orang bodoh Sekar sedikit menyeret lengan Zulfa agar mengikuti langkahnya.
Dan Zulfa sudah pasrah saja di seret oleh Sekar keahliannya untuk melawan kalimat-kalimat yang di utarakan oleh sahabatnya yang ini mendadak hilang ntah ke mana. Alhasil ia hanya dapat membalas Sekar dengan satu cubitan maut di perut wanita ayu pemilik Rinka Collection itu. Membuat Sekar semakin terkikik geli lalu kembali menggoda sahabatnya ini.
Tak butuh waktu lama setelah pintu kaca butik itu terbuka secara otomatis keduanya langsung masuk ke dalam dan dihadiahi sapaan dan senyum ramah nan sopan dari para pegawai Sekar. Dan di balas hal yang sama oleh Sekar dan Zulfa. Namun Prastya dan Arman masih belum meyadari kehadiran dua wanita pemegang jabatan tertinggi di RC ini. Hingga Sekar dan Zulfa kompak mengucapkan salam barulah keduanya menoleh dan membalas salam Sekar dan Zulfa.
Arman mengembangkan senyumnya ke arah dua bosnya ini. Begitupula dengan Prastya. "Pagi Mba!" sapa Arman. Yang di balas anggukan oleh Sekar dan Zulfa.
"Pras dari tadi?" itu suara Sekar sementara Zulfa mencoba menyapu pandangannya ke seluruh sudut gedung RC ini.
"Lumayanlah Nka," jawab Prastya seraya tersenyum hangat. Lalu keduanya kompak melirik ke arah Zulfa dan kembali saling pandang seraya mengulas penuh arti.
"Yasudah Mas, Mba saya lanjut kerja dulu ya!" Arman membuka suara.
Barulah Zulfa mengalihkan pandangannya menatap Arman yang berdiri di samping kanan Prastya. Ketiga Bos itu mengangguk seraya mengulas senyum. "Tunggu Man, Amrannya ke mana dia belum datang?" tanya Sekar.
Arman refeks menggaruk pelipisnya sembari menyengir sementara Prastya nampak mencoba menahan kuluman senyumannya. Sekar dan Zulfa yang melihat adanya perbedaan ekspresi dari dua pria di hadapan mereka ini refleks saling melempar pandangan bingung.
"Amran sudah datang, itu orangnya," tunjuk Prastya.
Refleks Sekar dan Zulfa mengikuti arah yang di tunjuk Prastya. Bola mata Zulfa kontan terbelalak sempurna ketika melihat sepasang objek di dekat pintu penghubung menuju pantry di lantai satu di sana. Sementara Sekar cukup semenit ia memperhatikan setelah yakin memastikan bahwa memang benar itu Amran yang sedang asyik berbincang dengan seorang pegawai wanita yang tak lain dan tak bukan adalah.....Septi yang terlihat memberikan salah satu segelas minuman yang berada di nampan yang ia bawa. Namun bukan itu yang menjadi titik fokus utama Sekar dan Zulfa melainkan interaksi romantis Amran dan Septi. Senyum lebar Amran yang setahun ini nyaris tak pernah lagi tampak kini pria itu menunjukkannya hanya karena seorang Septi.
Sedetik setelahnya Sekar menoleh perlahan menatap Prastya dan Arman secara bergantian. "Itu Bang Hadi gak datang, kenapa Septi yang mengantarkan minuman-minuman itu untuk pegawai yang lainnya," tanya Sekar bingung.
Mendengar suara lembut Sekar barulah Zulfa mengerjapkan matanya lalu ikut menoleh menatap Prastya dan Arman.
"Septi memang begitu setiap hari Mba, Anaknya 'ringan tangan' banget, Hobinya kalau gak membantu kerjaan Bang Hadi, ya membantu kerjaan Bang Andi di lantai atas Mba," Arman menjawab.
Sekar terperangah. Tidak, melainkan kagum. Ia refleks menoleh ke arah Septi lagi yang masih setia mengobrol dengan Amran.
"Besok-besok kalau meloloskan pegawai, yang multitalen seperti Septi ya Nka," itu Suara Prastya sembari melirik Zulfa yang detik itu juga mendelik ke arahnya dan di hadiahi kekehan ringan oleh Prastya.
Sementara Arman sudah meringis di pijakannya. Dan Sekar juga cekikikan sembari mengangguk-anggukan kepalanya.
Lalu sedetik setelahnya Zulfa mengalihkan pandangannya menatap Arman sembari memicingkan matanya. Membuat Arman gelagapan. "Itu mereka, maksud saya saudara kembar kamu si Amran dan gadis ajaib itu menjalin hubungan spesia Man? Kamu rela punya ipar seperti Septi Man?" di bombardir pertanyaan seperti itu oleh Zulfa membuat Arman meringis kuat dan menggelengkan kepalanya dramatis.
"Saya juga tidak bisa membayangkan Mba bukan lebih tepatnya tidak ingin membayangkan kalau itu sampai terjadi. Tapi Kalau memang tulang rusuk si Amran itu benar-benar Septi, saya bisa apa Mba, melihat saudara saya sudah bisa kembali tersenyum saja saya sudah bersyukur Mba," sahut Amran. "Kalau begitu saya permisi ingin memantau di toko aksesoris. Mari Mba-Mas!" pamitnya. Lalu tanpa mau tahu ekspresi ketiga bosnya yang sudah melongo setelah mendengar jawabannya tadi. Arman segera melangkah mundur dua langkah berbalik dan mengambil jalan lurus menuju pintu penghubung ke sisi toko yang memajang perlengkapan aksesoris.
Tawa Sekar-lah yang pertama kali menguar di udara di susul oleh Prastya sementara Zulfa spontan memanyunkan bibirnya.
"Ini yang di sebut sebagai salah satu rahasia ilahi," gumam Sekar seraya menatap sepasang pegawainya lagi di depan sana.
Prastya menganguk sekilas dan ikut tersenyum. "Kok aku jadi kasihan dengan Amran ya!" lirih Zulfa.
Membuat kedua sahabatnya itu refleks menoleh ke arahnya dengan kompak lalu tertawa renyah sembari menggelengkan kepala mereka sekilas.
"Oya bagaimana Septi sudah bertemu tante dan om Fa?"
"Dia tinggal di rumah kan sekarang? Ciye punya teman dia, bagaimana Fa seru kan punya adik apalagi cewek," timpal Prastya.
Zulfa kontan mendengus keras. Lalu berujar. "Dia masih keukeh untuk tinggal di kontrakannya, walau Bunda dan papa sudah membujuk keras tapi ya gitu. Kata papa biarkan saja dulu, yang penting Bunda sudah bertemu dan kita bisa mengawasi dia dari jajahan abang kurang ajarnya itu. Lihat saja sampai dia berani menampakkan batang hidungnya lagi di hadapanku, aku tak akan menyia-nyiakan tenagaku untuk mematahkan kedua tangannya," pungkas Zulfa.
Sekar refleks menghela nafasnya lalu merangkul pundak sahabatnya ini. Sedangkan Prastya hanya mengangguk sekilas tapi ia masih intens menatap Zulfa. Sadar, sedang di perhatikan Zulfa mendongak dan untuk pertama kalinya setelah kepulangan Prastya dari London kemarin. Dua pasang netra kelabu itu saling mengunci satu sama lain. Membuat Sekar diam-diam mengulum senyumnya. Hingga di lima detik setelahnya. Zulfalah yang memutus kontak mata itu terlebih dulu lalu berujar. "Kenapa menatapku seperti itu Pras, seperti aku punya hutang saja," protes Zulfa.
Prastya mengangguk singkat lalu berujar. "Kau memang punya salah Ms. Wulandari kenapa pertanyaan Inka saja yang kau jawab, pertanyaanku tidak,"
Zulfa refleks memutar bola matanya ke atas lalu menggembungkan pipinya membuat Prastya menahan susah payah tangannya untuk tidak mencubit gemas pipi Zulfa itu. Meinimalisir kalau Zulfa merajuk kan bisa berabe masa ia baru masuk hari ini sudah di ambeki Zulfa. Mana mau Prastya.
"Seperti kata Inka tadi ini semua sudah ketetapan Allah, kalaupun aku tak suka mana pulak bisa protes. Ya mau tak mau di terima. Suka tidak suka di terima. Dan kalau Septi terus menyebalkan denganku tinggalku telan-telan hidup-hidup. Puas kau Viscount of WikramaTunggaDewa yang terhormat. Sudah lunas hutangku." balas Zulfa dengan nada skeptik.
Baik Sekar dan Prastya sudah terbahak detik itu juga. "Sadis sekali kau My Lady," ucap Prastya di sela gelakannya seraya mencolek pelan hidung mungil wanita berhijab itu. Sementara Sekar hanya mampu menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kesadisan sahabatnya ini.
Namun setelah melihat Prastya mencolek hidung Zulfa tadi Sekar tersadar akan satu hal. Senyum wanita mengembang lalu ia berujar. "Aku belum mencubit pipimu Pras, sini rindu enam hari di London, ketemu Ratu Elisabeth tidak Pras?" ucap Sekar.
Prastya menolehkan pandangannya ke arah Sekar. "Tidak nka, tak sempat berkunjung ke istana Buckingham, di sana Mr James benar-benar memporsir otak dan pikiranku," gurau Prastya seraya mengulas senyum hangat lalu beringsut menyodorkan pipinya ke hadapan Sekar. "Nih, pipiku sudah kusiapkan untuk di aniaya dengan kau." tandas Prastya.
Sekar da Zulfa kompak terkikik geli. Lalu tangan Sekar terulur untuk mencubit pipi kanan Pria itu sembari menggoyangkannya cukup sepuluh detik saja. Gak boleh lama-lama Pria berlesung pipi ini bisa ngambek ntar.
"Hari ini Tuan Haidar berkunjung ke Indonesia. Dan Besok siang beliau ingin bertemu dengan kita untuk membahas kerjasama mengenai progres pabrik tekstilnya yang akan di bangun di indonesia." ucap Sekar kepada Zulfa dan Prastya.
Prastya dan Zulfa mengangguk sejenak. Namun sedetik setelahnya Zulfa kembali mendongak menatap Prastya. Decakan ringannya keluar lagi setelah mendapati Prastya kembali menatapnya intens. Ia menaikkan kedua alisnya lalu berujar. "Aku punya salah lagi?"
"Kau tidak ikut mencubit pipi kiriku tadi, kenapa Inka saja yang mencubit di sebelah kanan, Kau tak rindu denganku Fa?" tanya Prastya sembari tersenyum dan ikut menaikkan alis tebalnya ke atas.
Blaasss, Zulfa kontan merona. Kali ini pipinya yang menjadi panas. Dan Sekar sadar perubahan ekspresi sahabatnya itu.
Namun tak lama karena sedetik setelahnya Zulfa mencoba menetralkan ekspresinya kembali namun tidak dengan degub jantungnya. "Bagaimana bisa rindu, jika selama di London saja kau terus menghubungiku seperti waktu makan atau meminum obat. 3 kali sehari," desis Zulfa sambil berkacak pinggang dengan tas jinjing bermerek ternama di tangan kirinya. Lalu setelah mengatakan itu ia melengos pergi.
Membuat Sekar dan Prastya terbahak. Lalu Sekar ikut mengambil langkah menyusul Zulfa yang sudah hendak menaikki undakan tangga namun sebelum melangkah mengikuti jejak Zulfa, ia sempat menepuk pelan pundak Prastya yang masih tertawa ringan di posisinya.
Pria itu membalikkan tubuhnya. Menatap punggung kedua wanita yang sudah menaiki undakan tangga di sana. Ia mengulas senyumnya. Senyum penuh arti. "Apapun rintangan dan halangannya aku akan terus memperjuangkanmu dengan caraku, Hingga kau menjadi milikku." batin Prastya bermonolog sendiri seraya memperhatikan punggung Sekar dan Zulfa yang sudah menghilang di belokan tangga.
πΉChandra BhayaSingka π»
Kota Bakhtafur, Khatamandu, Nepal.
Di keheningan malam, suara jangkrik yang saling bersahut-sahutan memenuhi indra pendengaran seorang pria gagah nan rupawan yang baru saja keluar dari Basecamp timnya. Wajah lelah terukir jelas di bola matanya.
Setelah menutup pintu Basecamp tersebut pria yang masih menggunakan seragam PDL-nya itu duduk di teras Basecamp. Langit menyapu seluruh pandangannya sejauh yang ia bisa lalu menghela nafasnya dengan keras. Namun sejurus kemudian senyumnya terukir tepat ketika kepalanya mendongak ke atas dan langsung tersuguhkan dengan indah taburan rasi cygnus dan scorpio yang berkelap-kelip indah di atas langit sana.
"Ucapan rindumu sudah ku-terima lewat kerlipan indah bintang-bintang ini, dan semoga mereka juga menyn rasa rinduku lewat kerlipan bintang-bintang ini," gumam Langit. "Selamat malam, selamat istirahat Ms. Persit," lanjutnya seraya tersenyum manis memandang bintang-bintang ini seolah yang di pandang adalah orang yang sedang sangat-sangat ia rindukan.
"Rindu heh!" suara itu sukses membuat Langit tersentak dan spontan menoleh ke arah sumber suara.
Langit terkekeh pelan ketika melihat Letnan Harpa sudah berdiri di ambang pintu Basecamp seraya menyenderkan tubuhnya di kusen pintu sekaligus melipat tangannya di depan dada. Wanita yang masih memakai seragam yang sama dengan langit itu plus dengan baretnya melangkah mendekati Langit lalu duduk di samping Langit.
"Aku harap jaringan komunikasi di sini segera berjalan dengan normal, agar abang-ku ini tidak akan seperti pria-pria di novel romance atau di film-film box office yang sangat mirip zombie akibat terlalu gila menahan rindu karena wanitanya kabur atau melarikan diri darinya," sindir Harpa seraya melirik Langit yang spontan menguarkan gelak tawanya seraya merangkul pundak Harpa.
Membuat wanita itu terdiam memandangi wajah Langit dari samping dengan ekspresi yang hanya Harpa sendiri yang tahu. Belum lagi ia harus menormalkan dentuman detak jantungnya yang berdetak dua kali lipat dari normalnya.
"Apa abangmu terlihat semengenaskan itu Nona Harpa?" dan suara dari Langit sukses membuat Harpa tersentak dan spontan mengerjapkan matanya.
"Bahkan kau lebih mengenaskan dari itu Lettu," balas Harpa seraya tersenyum ketika mendengar tawa Langit semakin pecah.
"Kau kenapa masih di luar, ini sudah larut beristirahat-lah para pasienmu juga sudah terlelap semuanya, tugasmu masih banyak di sini jadi jangan sampai sakit, Kak Sekarmu akan memusnahkan abang jika sampai kau sakit di sini," kata Langit.
Kini berganti tawa Harpa yang menguar di udara. "Aku akan sangat bahagia jika Kak Sekar benar-benar akan memusnahkanmu Lettu," sahut Harpa di sela-sela tawanya.
Membuat Langit terkekeh dan mengacak pelan puncak kepala Harpa ketika baret wanita itu telah di lepas. "Adik durhaka," umpat Langit dan kembali di sambut dengan gelak tawa Harpa.
"Ku-harap setelah masa tugas kita selesai akan ada upacara pedang pora atas nama Kau dan Kak Sekar," ucap Harpa sedetik setelah tawanya mereda namun ada nada yang ganjil ketika wanita itu melontarkan kalimat tersebut.
"Dan kau yang akan menjadi Bredesmeid untuk Kak Sekar," sahut Langit seraya tersenyum
Harpa kontan mencebikkan bibirnya lalu memutar bola matanya ke atas. "Tidak usah menyindir Lettu, tidak lucu kalau aku berjalan di belakang kalian sewaktu prosesi pedang pora kalian tanpa pasangan," balas Harpa ketus.
Langit kembali tertawa keras lalu menggelengkan kepalanya sebelum pria itu melontarkan kalimat yang membuat tanduk tak kasat mata di kepala Harpa muncul. "Kau salah Letnan, Groomsmen yang akan mendampingiku sekaligus pria yang akan berjalan di sampingmu sudah sangat siap sepenuhnya, dia yang meyakinkan aku langsung," sahut Langit.
Harpa nyaris tersedak salivahnya sendiri mendengar penuturan Langit barusan. Apa.... Dia tidak salah dengarkan? Groomsmen sekaligus pria yang akan berjalan di sampingnya sudah mengajukan diri kepada Langit. Langit mengulum senyumnya ketika melihat raut wajah terkejut Harpa. Membuat Harpa mengerjap dan refleks mendengus keras.
"Who is that man?" selidik Harpa membuat kuluman Langit semakin terilahat penuh misteri.
"Dia berada di dekat kita, aku yakin kepadanya dia pria yang pantas untuk mendampingi adikku, sekaligus dia salah satu prajurit terbaikku," balas Langit lugas.
Mendengar itu Harpa seperti merasakan semua darah terhisap habis dari tubuhnya. Dia mencengkram kuat baret yang ia pegang di tangan kanannya. Dalam hati ia menjerit. Tapi aku menginginkanmu Lettu, hanya kau yang aku inginkan pria itu.
Namun sejurus kemudian seperti teringat akan sesuatu hal. Ada kalimat Langit yang ganjil maka ketika ia tersadar akan maksut ucapan Langit wanita itu refleks bangkit dari duduknya dan menghadap Langit seraya berkacak pinggang sekaligus pelototan tajam yang menghunus sang Lettu Harpa layangkan. "Jangan katakan pria yang kau maksut itu pria ceroboh yang sangat hobi mengusik aku Lettu," tuding Harpa dengan tatapan tajam.
Langit tertawa lalu ikut bangkit dan menatap Harpa dengan senyuman yang membuat Harpa ingin menendang pria yang menganggap Harpa adalah adiknya ini ke sarang srigala kutub di antartika sana.
"Bang aku tid-
"Yang kau sebut Pria ceroboh yang selalu mengusikmu itu mendengarnya dengan jelas Lottie," potong Langit seraya mengkode Harpa dengan gerakan alisnya agar menoleh ke belakang.
Dan benar saja dengan secepat kilat Harpa menoleh ke belakangnya. Pupil matanya kian melotot horor bahkan nyaris menggelundung dari tempatnya ketika ia melihat seorang pria gagah ntah sudah sejak kapan berdiri di belakangnya. Pria ini.... Pria yang ingin Harpa singkirkan dari hidupnya karena sangat-sangat mengusik ketenangannya.
Sejurus kemudian Harpa kembali mengalihkan pandangannya untuk menatap Langit kembali. Wajahnya merah padam menahan kepalan tangannya agar tak melayang di wajah Langit jika ia tidak lupa bagaimana perasaannya kepada Langit....
Sementara Langit sambil tertawa ia maju tiga langkah lalu tepat ketika Langit berada di samping Harpa pria itu menepuk pelan bahu Harpa lalu berbisik. "Dia pria yang tepat untukmu Lottie," bisik Langit lalu melangkah pergi meninggalkan Harpa yang mematung di pijakannya.
Namun Langkah Langit kembali terhenti tepat ketika ia sudah sampai di hadapan Pelda Eka. Pria itu tersenyum penuh arti lalu menepuk bahu Pelda Eka. "Dia adikku Pelda," bisiknya lagi.
Pelda Eka mengangguk mantap lalu dengan tegas dan lugas ia berujar. "Akan-ku jaga amanah-mu serta Mayjen Alex dengan segenap jiwa dan ragaku Lettu," Langit mengangguk puas mendengar itu lalu tersenyum kembali sebelum ia melangkah pergi.
Empat detik berlalu seperti tersadar akan sesuatu, Bahwa Langit sudah tidak berada di hadapannya Harpa dengan gerakan secepat kilat berbalik namun bukannya melihat Langit, tapi tubuh pria tegap berjambang tipis lah yang saat ini tengah berada di hadapannya menyisakan jarak setipis benang jahit. Membuat Harpa sempat menahan nafasnya sebelum ia tersentak dan mengerjapkan matanya lalu berusaha mendorong tubuh Pelda Eka agar menjauh namun sayang usaha itu gagal sebab Pelda Eka telah terlebih dulu merangkul bahu Harpa hingga kepala Harpa sempat terbentur ke dalam dada bidang Pelda Eka.
Mengabaikan api membara yang berkobar di kedua bola mata Harpa pria itu malah dengan santai mendongak menatap taburan bintang-bintang di atas sana lalu berujar dengan senyum yang mengembang semanis gula jawa. "Bintang-Bintang itu indah Little Harpa, temani aku menikmatinya malam ini,"
"Dasar Pria gila," erang Harpa
βChandra BhayaSingkaβ
Part 25
βChandra BhayaSingkaβ
Sekar nampak sedang fokus memeriksa hasil laporan kerja Prastya selama di London. Yang di kirimkan pria itu melalui surel tadi pagi. Total sudah lebih kurang 5jam sejak pagi tadi tak ada tanda-tanda dari Sekar untuk mengalihkan pandangannya sedikitpun dari layar laptopnya. Waktu istirahatnya cukup untuk sholat dzuhur 10menit dan makan siang bersama Prastya dan Zulfa selama 15menit. Setelahnya ketiga manusia itu kembali ke ruangan mereka masing-masing.
Hingga berselang 10menit kemudian Sekar refleks menghembuskan nafas leganya bersamaan dengan itu punggungnya ia hempaskan di kepala kursi kerjanya. Merenggangkan sejenak jari-jarinya. Mencoba rileks sekilas memijit pelipisnya lalu matanya terpejam untuk sejenak mungusir lelahnya.
Tapi Sekar lega kerjasamanya dengan butik Mr. James di London berjalan tanpa kendala. Menguntungkan kedua belah pihak. Dan bersyukur sangat-sangat bersyukur butik yang ia rintis bersama-sama dengan Zulfa dan Prastya dari nol kini perlahan mulai berkembang pesat. Ini bukan hanya tentang kerja keras dirinya, Zulfa, dan Prastya saja. Melainkan seluruh seisi Rinka Collection turut mengambil andil peranan penting dalam majunya usahanya ini.
"Anteeee!" teriakan itu menggema di seluruh sudut ruangan kerja Sekar.
Refleks Sekar membuka matanya yang tadi terpejam dan kontan menegakkan duduknya. Matanya membeliak sempurna.
Sekar terpesona.
Tidak, ia terperangah.
Bukan, lebih tepatnya Sekar terkesima. Ketika mendapati bocah laki-laki menggemaskan ini ntah sudah sejak kapan berada di ruangannya. Yang lebih membuat Sekar terkesima lagi ntah bagaimana bisa ia sudah duduk di kursi di sebrang meja kerja Sekar sembari melipat tangannya di meja kerja Sekar. Menatap Lurus ke arah Sekar dengan mata bulatnya yang berwarna hitam pekat serta pipi gembilnya. Menggemaskan.
Sekar mengerjapkan matanya untuk memastikan ia sedang tak berhlusinasi kalau yang di hadapannya ini adalah Wira. "Ante!" Sekar tersentak. Ia buru-buru mengulas senyumnya dan bangkit dari duduknya memutari meja kerjanya lalu berhenti tepat di samping Wira duduk. Berlutut dan memutar kursi itu.
Jadilah Wira kini sepenuhnya menatap Sekar "Abang ke sini dengan siapa hmm!" tanya Sekar lembut pada Wira.
"Dengan mama Ante tapi mama sedang berbicara dengan Aunty Ais di luar jadi Abang masuk duluan deh," balas Wira seraya menunjukan senyumannya perpaduan antara Bumi dan Mawar.
Sekar refleks terkekeh ringan dan langsung memeluk bocah gemas itu mengecupi seluruh wajah Wira dan terakhir berakhir di puncak kepala Wira. Setelah itu ia mengurai kembali peluknya dan menatap Wira namun Sekar belum mengeluarkan Suaranya Wira sudah terlebih dulu mengeluarkan suaranya, "Ante kenapa tidur di kursi itu?" tanya Wira sembari menunjuk kursi kerja Sekar.
"Antemu sedang memporsir tenaganya bang, Nanti kalau dia sakit kamu mau hukum Antemu apa?" mengenal suara itu Sekar dan Wira refleks menoleh ke sisi kanan dan menemukan Mawar sudah berdiri di samping Sekar.
Sekar refleks meneguk salivahnya detik itu juga. Ia sudah dapat menebak seratus persen apa tujuan Mawar datang ke Rinka Collection apalagi kalau tak ingin mengamuk kepadanya. Lihatlah Sekarang saja wanita dengan perut buncit ini sudah berkacak pinggang di sampingnya. Sekar jadi ingin tertawa. Namun Sekar hanya mengulas senyum saja menimalisir Mawar akan semakin mengamuk kepadanya nanti.
Sekar bangkit lalu beringsut memeluk Mawar sekilas lalu tersenyum menatap Mawar yang wajahnya siap memutilasi Sekar saat ini.
"Jangan pura-pura gak tahu dek, pasti otak cerdasmu itu sudah bisa mengerti tujuan Mba ke sini kan!" ketus Mawar.
Sekar refleks menyengir ia menggaruk pangkal hidungnya. Melihat Mawar sudah ingin membuka suaranya lagi Sekar buru-buru beringsut mengapit lengan Mawar, "Ayo duduk dulu, Mba tidak boleh berdiri lama-lama." ucap Sekar seraya menuntun Mawar perlahan menuju sofa.
Tanpa mereka sadari kedua wanita itu melupakan bocah laki-laki yang masih setia menonton drama antara Mama dan Antenya itu. Wira menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tadi menanyakan hukuman apa yang pantas untuk Ante, sekarang keduanya malah melupakan cowok ganteng ini astaga," gumam Wira. Bocah itu menarik nafasnya sejenak lalu kembali suaranya menggema di ruangan Sekar. "Mama, Ante, kalian tega sekali melupakan Abang. Abang gak bisa turunnya ini," teriak Wira.
Sekar dan Mawar yang sudah ingin mengambil duduk di sofa panjang refleks menghentikan pergerakan mereka. Lalu menoleh ke belakang. Sekar refleks tergelak apalagi ketika melihat keponakannya itu sudah mengerucutkan bibirnya. Sedangkan Mawar hanya mengulas senyum lebar seraya menggelengkan kepalanya, "Lagian abang juga kenapa naik bisa turun tidak bisa sih, sudah duduk diam di situ saja dan jangan jahil." ujar Mawar. Bermaksud menjahili putranya.
Dan benar saja Wira refleks melipat kedua tangannya di depan dada sepaket dengan bibirnya yang sudah manyun lebih maju lagi dari yang tadi membuat Sekar menambah level tawanya, "Mama tega sekali, Ante juga tidak asyik," rajuk bocah itu.
Masih dengan sisa tawanya Sekar ingin mengambil langkah untuk membantu menurunkan Wira. Namun urung karena Zulfa dan Prastya terlebih dulu mengucap salam
"Assalamualikum,"
"Walaikumsalam," balas Sekar dan Mawar serta Wira dengan kompak.
"Paman kerennnn," pekik Wira refleks bocah itu berusaha sendiri untuk turun dari kursi itu.
Membuat Sekar dan Mawar saling pandang. Tak habis pikir dengan ulah Wira.
Sementara Zulfa dan Prastya yang melihat itu spontan tertawa apalagi ketika melihat Wira sudah berlari ke arah Prastya dan berakhir mulus ke dalam dekapan Prastya. "Hallo Jagoan!" ucap Prastya seraya mengecupi pipi gembil bocah itu.
"Paman, Anta rindu," katanya seraya menatap Prastya.
Prastya terkekeh. "Rindu dengan paman atau rindu dengan Ice creamnya,"
Mendengar itu Wira refleks menunjukkan cengirannya. "Rindu keduanya paman." ucapnya polos lalu kembali berhambur ke pelukan Prastya dan menenggelamkan wajahnya di curuk leher Prastya.
"Anta rindu dengan Paman keren saja, dengan Aunty Ufa tidak? Padahal Aunty juga merindukan Anta," celetuk Zulfa berpura-pura merajuk kepada Wira.
Wira yang mendengar itu refleks mengangkat kepalanya lalu menoleh ke sisi kanan di samping Prastya. Senyumnya mengembang seketika. "Kata siapa Aunty Ufa, Anta juga merindukan Aunty Ufa kok!" ucap Wira lalu ia menunjuk pipi sebelah kanannya dengan jari telunjuk mungilnya. "Sini kiss Anta dong Nty," pinta bocah itu.
Tanpa di minta pun pasti Zulfa akan melakukannya dengan senang hati. Wanita berhijab yang berdiri di samping Prastya itu mengecup pipi kanan dan kiri Wira lalu berakhir di puncak kepala Wira. Tangannya terangkat mengelus lembut puncak kepala bocah itu yang kini tengah tersenyum lebar dan satu kecupan manis mendarat mulus di pipi kanan Zulfa sebagai balasan dari Wira.
Sedetik setelahnya Prastya memutar tubuhnya hingga ia yang berhadapan dengan Zulfa. Membuat wanita itu mengernyit bingung melihat Prastya yang tengah mengulum senyum ke arahnya. Zulfa kontan menahan nafasnya ketika tubuh Prastya yang masih menggendong Wira itu mencondong ke depan. Lalu berbisik begini kepada Zulfa, "Kau tak sadar 'kah Ms. Wulandari, tadi aku juga mengecup pipi Wira sebelum kau mengecupnya dan di tempat yang sama dengan kecupanmu tadi." bisik Prastya penuh arti.
Lalu ia menarik kepalanya dan sudah menatap Zulfa kembali seraya tersenyum santai. Sedangkan Zulfa sukses mematung di pijakannya. Jika tadi ia lupa bagaimana caranya untuk sejenak menarik nafasnya. Kali ini setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Prastya tadi wanita ini sudah lupa bagaimana caranya bernapas. Pasukan oksigennya seolah lenyap ntah kemana perginya. Lutut Zulfa lemas bersamaan dengan irama degub jantungnya yang berdetak bak irama tabuhan bedug takbiran di kala malam takbiran tiba. Begitulah. Tenggorokan terasa tercekat kuat oleh rantai.
Astaga. Bagaimana Zulfa bisa tak menyadari itu. Bolehkah Zulfa menghilang untuk sejenak saja dari peredaran bumi ini ya Allah.
"Paman bisik apa tadi dengan Aunty Ufa hingga Aunty bengong seperti itu," kini giliran Wira yang berbisik kepada Prastya karena ia bingung melihat Zulfa melongo seperti itu.
"Tidak apa-apa Bang, coba kiss Auntymu sekali lagi agar auntymu tersadar dari bengongnya," ucap Prastya seraya tersenyum.
Wira refleks melirik Zulfa lalu kembali menatap Prastya, "Ada imbalannya tidak paman?" balas Wira seraya tersenyum jahil dan menaik turunkan alisnya ke arah Prastya.
Prastya refleks terkekeh lalu mengangguk, "Seperti biasa, Bagaimana? Ini hari manismu Ante Inka membebaskannya,"
Wira yang mendengar itu menaikkan level senyum sumringahnya. Ia dengan semangat mengangguk. Lalu mengeratkan pelukannya di leher Prastya lalu kepalanya sedikit mencondong dan ... cup.
Satu kecupan lembut mendarat manis di pipi kiri Zulfa. Bersamaan dengan itu wanita berhijab itu benar saja tersentak dan refleks mengerjapkan matanya sebanyak tiga kali.
Pipi Zulfa masih merona apalagi ketika melihat Prastya dan Wira menatapnya intens seraya tersenyum manis begini, "Aunty kenapa bengong, Paman bisik apa tadi?" tanya Wira polos.
Zulfa gelagapan dan Prastya sudah cekikan sendiri di hadapannya. Zulfa kontan melotot ke arah Prastya yang masih cekikan itu. Sedetik setelahnya terdengar suara megaduh cukup keras karena Zulfa refleks mencubit perut Prastya tanpa penuh rasa kasihan. Tapi itu tak berlangsung lama karena ringisan Prastya yang tadi berubah menjadi gelak tawa ringan Prastya tertawa dan melangkah mundur ia lalu menoleh ke arah Sekar dan Mawar yang juga tengah intens menyaksikan adegan romantis ala-ala dua petinggi Rinka Collection itu.
Bahkan Sekar tengah mati-matian menahan gelak tawanya agar tak meledak. Sebab ia bukan tak tahu apa yang Prastya bisikan tadi kepada Zulfa. Dan Mawar yang juga tengah menahan kuluman senyum lebarnya sangking hanyutnya ia menyaksikan adegan itu hingga ia melupakan sejenak niatan mengamuk kepada Sekar.
"Mba, Pras ajak Anta ke luar sebentar kita mau shoping Ice cream dan permen kaki," pamit Prastya.
Mendengar suara Prastya yang menyebut 'Mba' barulah Zulfa dengan kecepatan kilat ikut mengarahkan pandangannya ke depan. Di detik itu juga ia nyaris kabur saja dari sini ketika menyadari Mawar dan Sekar tengah menatapnya. Ralat menatap mereka bertiga.
Mawar terkekeh pelan lalu mengangguk sekilas, "Abang jangan merepotkan paman Pras ya!" pesan Mawar kepada putranya.
Wira mengangguk seraya mengcungkan jempolnya pertanda okey ke arah mamanya.
"Assalamualaikum," ucap Prastya
"Walaikumsalam," balas Mawar dan Sekar kompak.
Setelahnya Pria itu berbalik namun sebelum itu ia sempat mengulas senyum ke arah Sekar dan di balas hal yang sama oleh Sekar.
Ketika menatap Zulfa yang masih belum tersadar sepenuhnya pun ide jahil Prastya kembali muncul, "Anta, say Bye-Bye dengan Aunty," titah Prastya. "Katakan kita ingin berburu Ice cream ke Maret-Maret. Dalam hitungan ketiga ya Bang," interupsi Prastya.
Satu, Dua, Tiga,
"Aunty Kita pergi berburu Ice Cream dulu ya Aunty Ufa, Aunty di sini aja dulu karena ini urusan cowok aunty Ufa tak boleh ikut." seru Wira.
Mendengar itu Zulfa kembali tersentak dan refleks menoleh ke arah sumber suara. Namun ia hanya mampu mengelus dadanya seraya menatap Prastya dan Wira yang kini sudah berlari kecil menuju pintu koneksi keluar ruangan Sekar seraya tertawa renyah. Wanita itu refleks menggeram kesal teah menjadi korban kejahilan antara paman dan keponakan itu. Untunglah sayang kalau tidak Zulfa tak segan-segan mendaratkan tumit High heelsnya ini di kepala kedua cowok itu.
"Berasa nonton the real life keluarga harmonis ya Mba, Masyaallah sejuk banget," celetuk Sekar.
Dan di angguki oleh Mawar seraya tersenyum lebar.
Zulfa yang mendengar itupun kontan mengerjapkan matanya dan dengan gerakan secepat kilat wanita itu menoleh ke arah Sekar dan Mawar. Pipinya sudah bersemu merah seperti kepiting rebus apalagi ketika melihat Sekar dan Mawar menatapnya dengan tatapan menggoda.
"Mba, Inka, kalian Aih-" bertepatan dengan kalimat itu menguar ke udara suara gelak tawa dari Sekar dan Mawar juga ikut menggelegar.
Zulfa refleks berlari kecil ke arah Sekar dan Mawar seraya mengerucutkan bibirnya dan berakhir manis ke dalam dekapan Mawar yang masih tertawa bersama Sekar, "Mba sudah Zulfa-kan malu ini, Inka kau juga menyebalkan awas kau ya Nka." Zulfa berdesis di dalam dekapan Mawar seraya melirik sahabatanya itu yang kian menambah level gelak tawanya.
Mawar dengan masih mengeluarkan gelak tawanya mengelus lembut bahu Zulfa lalu berujar, "Kenapa harus malu sih dek, kalian serasi kok ya 'kan Nka?" ujar Mawar seraya melirik Sekar sekilas guna meminta persetujuan Sekar. Membuat Sekar mengangguk mantap. Dan Zulfa semakin merona dalam dekapan Mawar.
Dua menit berselang Zulfa lalu mengurai peluknya kepada Mawar. Wanita itu lalu menatap Mawar seraya menautkan alisnya. "Mba kok tumben ke sini? Ada apa Mba?" tanya Zulfa kepada Mawar.
Sekar yang mendengar itu refleks menepuk dahinya secara dramatis. Merutuki sahabatnya ini lihat saja di tanya seperti itu membuat Mawar jadi teringat kembali tujuan utamanya datang ke sini. Mawar dengan cepat menoleh ke arah Sekar dengan tatapan menajam bak srigala yang sedang berhadapan dengan lawan pamungkasnya.
"Kau benar-benar ya Nka-" ucapan Mawar terpotong dengan Sekar yang segera menuntun Mawar untuk duduk di sofa panjang.
Mawar tak sempat melanjutkan ucapannya karena Sekar sudah terlebih dulu menuntunnya agar duduk di sofa, βSudah Inka katakan jangan berdiri terlalu lama Mba,β gerutu Sekar yang kini mengambil duduk tepat di samping kiri Mawar.
Mawar menghela nafasnya lalu mencebikkan bibirnya, βMbamu hanya sedang hamil bukan wanita jompo,ββ gerutu Mawar tak mau kalah membuat Zulfa yang mendengar itu refleks meringis.
βJustru Mba sedang hamil, maka Inka tak ingin terjadi apa-apa dengan Mba dan calon keponakan Inka,β balas Sekar santai. Membuat Zulfa yang hanya menyimak sedari ta di semakin bingung. Mulut Zulfa sudah terbuka ingin mengatakan sesuatu namun batal karena Mawar terlebih dulu kembali mengeluarkan suaranya.
βDan salah satu caranya dengan lancang mengirim seseorang yang mengaku dari satu agensi ternama untuk mengambil aih tugas rumah tangga dan dia adalah orang yang di utus oleh atasannya atas mandat dari seorang wanita yang bernama Sekar Rinka Tahir, Lady of Zsulvan, putri mahkotanya ayah Tahir serta calon Duchess of Pramaharja,ββ sahut Mawar cepat lengkap dengan sederet gelar ala kebangsawanan yang memang di sandang wanita anggun yang kini duduk tepat di sisi kiri Mawar.
Mendengar itu Zulfa refleks melirik Sekar yang kala itu juga tengah meliriknya. Zulfa mengkode dengan tatapan seolah mengatakan, kau sangat berhutang penjelasan kepadaku Nka !.
Mengerti kode yang Zulfa lemparkan Sekar mengangguk samar penuh arti kepada Zulfa. Hanya mendengar sederet kalimat yang di lontarkan Mawar kepada Sekar tadi dengan nada ingin menendang Sekar hingga masuk ke kandang singa. Zulfa sadar bahwa ada yang tidak beres dengan Mawar. Sahabatnya itu tak akan nekat melakukan sesuatu yang jelas-jelas sudah di tentang mati-matian oleh Mawar kalau saja sedang tidak terjadi apa-apa dengan Mawar.
βMba minta, suruh dia kembali ke agensinya Nka karena Mba belum membutuhkan tenaga ART untuk sekarang ini Mba masih sanggup melakukan pekerjaan rumah sendiri, dia tidak akan pergi kalau bukan atas perintah bosnya terlebih kamu Dek,β Mawar kembali bersuara lagi.
βDan dengan resiko kejadian kemarin malam akan terulang lagi di kala Mba hanya berdua dengan Wira begitu maksut Mba iya?β timpal Sekar cepat membuat Mawar hanya dapat menghela nafasnya. βTidak Mba, Inka tak ingin mengambil resiko itu , Inka melakukan ini untuk keponakan Inka bukan untuk Mba semata." tandasnya.
βTapi Mba sudah baik-baik saja Nka,β Mawar terus membujuk Sekar agar bersedia mengeluarkan ART yang berada di rumah Mawar sekarang yang dengan seenaknya mengambil alih segala pekerjaan rumahnya membuat Mawar hanya bisa berdiam diri sembari menemani Wira putranya selebihnya tidak ada lagi yang bisa Mawar kerjakan dan dalang di balik ini semua adalah wanita yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
ββMungkin kalau yang mengatakan itu Wira, Inka akan dengan senang hati percaya Mba,β balas Sekar.
βMemangnya kenapa dengan Mba Mawar Nka? Bukankah Mba Mawar memang Ba-
βTiga hari yang lalu tepat ketika aku memutuskan untuk menginap di rumah Mba Mawar, tengah malam Mba-mu ini yang keras kepala mengalami kontraksi hebat hingga ia meringis kesakitan sampai nyaris tak sadarkan diri dan sukses membuatku mati ketakutan, aku curiga ada sesuatu yang tak beberes lalu dugaanku benar ketika aku menemui secara private dokter kandungannya Mba Mawar beliau yang memberitahuku bahwa kandungan Mba Mawar kali ini lemah, bahkan Mba Mawar sudah beberapa kali mengeluarkan flek,β Sekar menceritakan semuanya kepada Zulfa mengabaikan pelototan tajam Mawar yang baru mengetahui kalau Sekar menemui dokter kandungannya, sepertinya Mawar melupakan kekuasaan Dokter Airin saudara sepupu Sekar sehingga memudahkan Sekar untuk menggali informasi pasien di rumah sakit itu.
Sementara Zulfa yang baru mengetahui hal ini terkejut bukan main ia spontan memandang perut Mawar lalu memandang Mawar dan terakhir kembali memandang Sekar tepat ketika wanita itu kembali berujar, βLantas apa yang aku lakukan ini salah menurutmu Fa? Aku ingin ikut menjaga kakakku dan calon keponakanku mengantisipasi dari hal-hal yang tidak di inginkan terjadi,β pungkas Sekar.
Lalu di detik selanjutnya terdengar
helaan nafas berat yang keluar dari mulut Mawar ketika melihat Zulfa menggeleng dengan tegas mengisyaratkan kalau kali ini wanita ini berada di kubu Sekar. Sejurus kemudian tangan Zulfa terulur untuk mengelus lembut perut Mawar dengan lembut membuat Sekar melirik itu sekilas.
βMama kamu dan Mas Anta keras kepala sekali ya dek β¦. Pantas ayah Bumi sangat mencintai mama kamu,β ucap Zulfa seraya tersenyum kepada perut Mawar seolah memang yang sedang Zulfa ajak bicara ada di hadapannya saat ini.
Zulfa mengalihkan pandangannya untuk menatap Mawar ia tersenyum tangan kanannya yang tadi mengelus lembut perut mawar kini berpindah menjadi menggenggam lembut punggung tangan Mawar, βMaaf Mba, kali ini Zulfa harus setuju dan berada di kubu Inka.β ucapnya seraya tersenyum lebar kepada Mawar. ββYang Inka katakan itu bena, Inka melakukan ini bukan untuk Mba melainkan untuk calon keponakan kami. Mungkin jika keadaanya sama seperti waktu Mba mengandung Wira dahulu Zulfa akan berada di kubu Mba Mawar tapi untuk ini, Kehamilan Mba lemah dan Mba menutupi semuanya dari kami,β Zulfa mendesah pelan tak habis pikir dengan kekeras kepalaan Mawar.
βTidak ada yang dapat menjamin kejadian sewaktu Inka menginap tiga hari yang lalu tidak akan terulang, setidaknya biarkan ada orang dewasa yang menemani Mba di rumah, sewaktu Mas Bumi bertugas seperti ini, Sekar dan Zulfa tidak bisa selalu menemani Mba selama 24jam kami akan merasa jadi adik yang paling tidak berguna jika terjadi sesuatu kepada Mba terlebih dengan keponakan Zulfa dan Inka Biarkan kami ikut menjaga kalian, menjaga calon keponakan kami, karena Mba, Wira, dan dia adalah tanggung jawab kami ketika Mas Bumi sedang bertugas dalam jangka waktu yang lama, Please ini demi dia, Calon keponakan Zulfa dan Inka.β
Mawar mulai luluh Zulfa dapat merasakan itu tepat ketika tangan Zulfa di genggam dengan erat oleh Mawar.
ββSetidaknya sampai dia lahir Mba, dan Mba boleh kembali beraktifitas, tapi mulai sekarang please Zulfa mohon, biarkan pekerjaan rumah ART yang di kirim Sekar yang akan mengerjakan tugas rumah, kewajiban Mba sekarang adalah istirahat tidak perlu melakukan aktivitas yang dapat membuat kalian kelelehan, lagipula kata siapa Mba tak bisa mengerjakan apapun, Tugas Mba sebagai istri melayani Mas Bumi, dan sebagai Ibu tetap akan sepenuhnya milik Mba, tidak akan ada yang bisa menggantikan itu. Hanya saja saat ini-kan Mas Bumi sedang bertugas jadi tugas Mba sebagai istri terhenti untuk sementara waktu, dan gunakan waktu itu untuk istirahat total Mba, setidaknya Inka dan Zulfa bisa tenang ketika kami tidak berada di dekat Mba, Please ...β Zulfa memohon dengan memasang wajah imutnya.
Mawar refleks memijit keningnya frustasi. Sudah ia sudah kalah telak berhadapan dengan dua bos besar Rinka Collection membuat wanita itu hanya mampu menghela nafas pasrah pada akhirnya menyerah juga. Dan di detik selanjutnya senyum Zulfa mengembang tepat ketika Mawar berujar seperti ini, ββKau dan Mas Wira harus bersyukur di kelilingi ante, aunty dan paman yang sangat perduli dan menyayangi kalian dek, suatu saat nanti ucapkan rasa terimakasihmu itu langsung kepada mereka ya dek.β ucap Mawar kepada anak yang berada di dalam kandungnya.
Mendengar itu Sekar dan Zulfa refleks saling melempar pandangan.
Senyum samar Sekar diam-diam tersungging dari kedua sudut bibirnya, βThanks Mba, kali ini kau kalah," ucap Zulfa seraya tersenyum puas.
ββYang ku-hadapi wanita-wanita yang terbiasa dengan debatan perebutan tender bagaimana bisa aku menang, melawan satu saja belum tentu menang apalagi melawan dua,β gerutu Mawar seraya melirik Sekar tajam. Membuat Sekar yang menyadari itu buru-buru membuang pandangannya berpura-pura tidak mendengarapa yang di katakan Mawar tapi bibir wanita itu membentuk senyuman lega.
Sementara Zulfa sudah tertawa ringan lalu ia kembali berucap, βIngat ya Mba, Istirahat dan jangan memikirkan apapun yang dapat membuatnya tersiksa di dalam kandungan jangan juga mengerjakan pekerjaan yang melelahkan lagi, atau Zulfa yak segan-segan menambah satu lagi ART untuk masuk ke dalam rumah Ahadiatama.β ancam Zulfa. βKau mengambil ART dari Agensi Indah kan Nka?β tebak Zulfa, Zulfa yakin tebakannya akan benar bahwa agensi yang di maksut Mawar tadi adalah agensi terpercaya milik Indah teman dari mereka kuliah dahulu.
βYes, Fa,β balas Sekar.
βTidak usah mengancam seperti itu Aunty, ancaman-mu pahit,β gerutu Mawar yang di balas dengan gelak tawa Zulfa. Namun sejuru kemudian wanita itu menoleh ke arah Sekar. βSudah puas kau Ante sekarang,ββ Sekar mengangguk mantap seraya tersenyum lebar membuat Mawar refleks merotasikan bola matanya. βKalau begitu segera kirimkan nomor rekening Ina, atau ke mana Mba harus menstransfer gajinya β¦,"
βGaji Ina sudah Inka transfer untuk setahun ke depan Mba,β jawab Sekar sekenanya.
Tap lihatlah reaksi Mawar bahkan bukan hanya Mawar saja melainkan Zulfa juga ikut terperangah mendengarnya. Bahkan mulut wanita itu sudah terbuka setengah tak habis pikir dengan pola pikir sahabatnya ini. Dan sedetik setelahnya terdengar suara ringisan yang cukup keras tepat ketika Mawar mendaratkan cubitan mautnya di lengan Sekar, βKau kenapa melakukan itu, bagaimana kalau hal itu malah di salahgunakan Inka, bisa saja sewaktu-waktu dia bisa kabur Nka.β sembur Mawar galak mengabaikan Sekar yang masih meringis kesakitan, cubitan Mawar adalah cubitan orang kedua setelah Dokter Airin yang wanita itu hindari. Bahkan cubitan mamanya saja kalah jauh dengan cubitan maut dua wanita itu.
βKalau dia menipu yang sudah ikhlas Mba, dan kalau dia melarikan diri ya tinggal cari pengganti yang lain,β jawabnya kembali santai membuat tanduk tak kasat mata di kepala Mawar seketika bertambah panjang dan Sekar yang menyadari itu buru-buru meralat ucapannya. βMaksut Inka bukan begitu, Inka percaya agensi Indah adalah agensi yang paling di perhitungkan di kota ini Mba, bahkan sampai luar kota, jadi Inshaallah Ina adalah orang yang amanah, Indah tak akan memberikan orang yang asal-asalan kepada Inka .β Sambungnya.
Dan Zulfa yang mendengar itu
Dam-diam membenarkan penuturan Sekar bahwa benar agensi Indah teman mereka adalah agensi yang cukup di perhitungkan di kota ini bahkan sampai keluar kota.
Sementara Mawar refleks mengusap wajahnya frsutasi tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi wanita yang satu ini. Sedetik setelahnya Mawar berlalih menatap Zulfa lalu berujar, βSahabatmu ini dek?β ujarnya dengan nada skeptik.
Zulfa meringis lalu menggeleng dengan tegas, ββBukan Mba, kalau dia lagi kumat sablengnya begini, Zulfa ragu mengakuinya sebagai sahabat apalagi sebagai saudara." sahutnya seraya melirik Sekar yang di detik itu juga spontan melotot tajam ke arah Zulfa yang langsung berhambur kepelukan Mawar di sisi kanan.
Mengingat akan satu hal lagi membuat Mawar kembali mengalihkan pandangannya ke arah Sekar namun tangan kanannya tetap mengelus lembut bahu Zulfa. Menyadari tatapan Mawar yang kembali menghunus kepadanya membuat Sekar refleks menyengir dengan tampang tak berdosanya, βAdek salah apalagi Mba?β ucapnya polos seperti Septi.
Tepat ketika kalimat itu berakhir Mawar kembali menyerang Sekar dengan cubitan mautnya lagi hingga wanita itu kembali meringis, βSssttttt, Aw Inka kenapa di cubit lagi sih Mba?β protesnya.
βKau kenapa mengadu ke Mama hah! Kau puas satu harian Mba di kurung di kamar tak bisa bergerak sedikitpun dari tempat tidur sudah seperti orang lumpuh karena terus di awasi oleh mama, Inka kau benar-benar Aihhhh,β Mawar sudah kembali ingin mencubit Sekar namun dengan sigap Sekar mengelak hingga kali ini dewi fortuna berpihak kepadanya.
βAmpun Mba, jangan cubit Inka lagi, Inka keceplosan dengan mama,β sahutnya seraya menyengir lebar kepada Mawar membuat Mawar menggerutu jengkel dan Zulfa yang sudah tergelak di dalam dekapan Mawar.
βTerus kau mau begitu saja, tidak ingin memeluk Mba sama seperti Zulfa ini β¦.,β Ucap Mawar.
Sekar spontan menggeleng membuat Mawar mengerutkan keningnya, βTidak Mba, Inka di sini saja Inka takut menyakitinya,β balasnya seraya memandang perut Mawar lalu memandang Mawar sambil tersenyum sendu.
Mawar menghela nafasnya sejenak lalu berujar, "Apapulak menyakitinya, tidak sama sekali, kau Antenya, dia juga sedang menunggu ingin di peluk juga dengan Antenya.β sahut Mawar seraya tersenyum menenangkan ingin meyakinkan kepada Sekar bahwa apa yang dikatakan Mawar adalah benar, keponakannya sedang menunggu ingin di peluk dengannya.
Mendengar itu Sekar tak langsung memberikan responnya. Ia kembali memandang perut Mawar lalu senyumnya baru bisa tercetak sumringah tepat ketika ia menatap Mawar dan wanita itu memberikan anggukan pasti lalu membuka tangan kirinya agar Sekar dapat memeluknya.
Sekar tanpa membuang langsung ikut berhambur ke dalam pelukan Mawar di sisi kiri. Ya, Mawar sangat bersyukur di kala ia jauh dengan orang tua serta keluarga kandungnya. Tuhan mengirimkan Zulfa dan Sekar yang ikut perduli dan sangat menyayanginya, dan keluarga kecilnya.
Zulfa yang masih berada di pelukan di sisi kanan Mawar diam-diam menyunggingkan senyum ya. Ia melirik Sekar yang tampak memejamkan matanya di pelukan Mawar di sisi kiri lalu sedikit mendongak untuk menatap Mawar yang tanpa Zulfa sadari Mawar juga tengah menatapnya mereka sama-sama mengulas senyum penuh arti lalu Zulfa kembali mengalihkan pandangannya kemudian ikut memejamkan matanya di pelukan Mawar sama seperti Sekar seraya membatin, βSemopga tugas kalian di sana berjalan dengan lancar, cepat selesai dan segeralah kembali tak hanya Inka saja yang membutuhkan-mu Langit tapi Mba Mawar juga membutuhkan Mas Bumi. Mereka membutuhkan kalian,ββ lirih Zulfa dalam hati.
Thanks For Your Apreciation
22 Juni 2022 π§‘
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
