(Chap 1-2) From Empty Love to Romantic Love

5
0
Deskripsi

Bukan soal jodoh-dijodohkan! Namun bukan pula menikah dengan orang yang diinginkan.

Ilyas dan Yasmin saling kenal hanya sebatas sosial media. Bertemu satu kali dengan persetujuan kedua belah pihak. Namun dari sanalah, awal kisah mereka bisa naik ke pelaminan.

Masing-masing keluarga memiliki alasan kuat mengubah status mereka menjadi suami-istri. Ilyas dan Yasmin tidak menolak pernikahan. Hanya saja, Ilyas ingin menikah dengan seseorang sesuai keinginannya, bagi Ilyas, Yasmin terlalu sempurna untuk...

1. Kami bertemu

Ilyas membaca pesan dari Direct Message Twitter-nya. Kemarin ia memasang pengumuman di sebuah fanbase pecinta binatang bermaksud untuk meminta bantuan agar mengadopsi seekor anak kucing liar yang ia temukan. Ilyas tidak bisa memelihara kucing tersebut karena sibuk dengan pekerjaan. 

Siang ini, di sela-sela istirahat kerjanya. Ia mendapat pesan dari salah satu warga Twitter baik hati; menawarkan diri untuk mengadopsi kucing tersebut.

Jasmine :
Selamat siang, Mas. Kemarin saya lihat Mas butuh adopter untuk kucingnya? Apa sudah ada yang adopsi? Insya Allah saya sanggup, kebetulan kosan saya dekat dengan lokasi proyek yang mas infokan.

Ilyas :
Belum ada yang adopsi. Kalau serius mau adopsi kita bisa ketemuan nanti malam.

Jasmine :
Besok pagi saja gimana, Mas?

Ilyas :
Aku besok balik ke rumah. Di sini juga cuma kerja. Dan kebetulan hari ini lembur. Jam 8 baru pulang gawe.

Jasmine :
Misal kalau mas-nya belum dapat adopter dan harus balik ke rumah. Nasib kucingnya gimana?

Ilyas :
Aku juga bingung. Tapi sepertinya bakal aku lepas. 

Jasmine :
Jangan Mas! Biar saya adopsi saja. Bisa kasih alamat lengkapnya?

Ilyas :
Nanti pulang kerja ketemuan di kafe Mountaingimana?!

Jasmine :
Kafe di perempatan itu ya, Mas. Insya Allah saya bisa ketemu di sana, Mas.

***

Ilyas kembali ke rumah kontrakan yang disewa bersama Sandi—teman dekatnya di tempat kerja. Mereka sudah menjadi teman di bangku kuliah tapi baru dekat saat bekerja di sebuah perusahaan konstruksi. Hampir satu dekade mereka menghabiskan waktu bersama menggarap berbagai proyek dari perusahaan yang menaungi.

"Mau kemana, Yas? Tumben banget pulang kerja langsung mandi?" 

"Ketemu sama adopter kucing yang gue temuin di area proyek, San."

Sandi yang masih asik bersandar di sofa mengangguk kecil. "Cewek?"

"Kayaknya iya?! Ava dia gambar bunga. Namanya juga bukan nama asli. Tapi ketikannya kayak anak cewek."

"Hmm. Gue kira udah jelas orangnya. Kalau cakep lanjut PDKT, Yas," kekeh Sandi.

Ilyas menggeleng kecil. Meskipun tahun ini usianya telah menginjak kepala tiga. Namun ia belum memikirkan pernikahan secara serius. 

"Gue berangkat ya, San."

"Oke, ati-ati!" 

Ilyas mengendarai motor sportnya menuju lokasi. Selama di jalan pemuda berstatus lajang itu mengendarai motornya secara hati-hati, karena anak kucing di dalam kardus yang ia ikat di jok motor itu terus mengeong.

Sepuluh menit di perjalanan. Ilyas sampai di sebuah kafe. Ia membuka ponsel dan memberi kabar jika sudah berada di lokasi. 

Ilyas :
Aku udah nyampek. 

Jasmine :
Saya duduk sendiri di kursi luar kafe, Mas.

Ilyas menoleh ke kiri. Bangunan kafe itu terletak di sebuah tikungan. Hingga memiliki dua sisi muka bagian depan. Pemuda yang kedua tangannya sibuk membawa ponsel dan kardus berisi kucing itu melangkah ke bagian kiri terlebih dahulu. Di sana ada seorang gadis berjilbab duduk manis ditemani satu gelas cappucino dingin.

Ilyas berdiri di depan gadis tersebut. Membuat sang dara mendongak dan tersenyum menyambutnya. "Yang mau adopsi kucing, 'kan?"

Gadis itu mengangguk seraya berdiri. "Iya, Mas. Nama saya Yasmin. Silahkan duduk."

Ilyas duduk di kursi besi, berhadapan dengan Yasmin. Gadis berwajah imut itu langsung mengintip kardus dan melihat kucing kecil yang kini menunjukkan taring seolah memberi peringatan pada Yasmin untuk tidak mengganggunya.

"Dia kalau ketemu orang baru kayak gitu."

Yasmin mengangguk paham. "Nemu di mana, Mas?"

"Di daerah proyek. Hampir kena alat berat waktu itu. Udah aku coba amankan tapi besoknya hampir kena lagi. Jadi aku bawa ke kontrakan biar dia ada tempat tinggal."

Yasmin mendengar seksama sambil terus melakukan pendekatan pada kucing yang kini mulai percaya jika ia tidak akan disakiti.

"Makasih, Mas. Udah mau mengamankan. Saya sebenarnya belum pernah melihara kucing. Karena almarhumah ibu saya takut sama kucing. Padahal saya sering kasihan lihat kucing di pinggir jalan apalagi yang kurus kelaparan."

Ilyas tersenyum simpul mendengar gadis itu bercerita. Ternyata Yasmin tidak canggung meskipun mereka baru pertama kali bertemu.

"Maaf, Mas. Mas orang mana? Proyek yang dimaksud itu pembangunan drainase tepi jalan raya sekaligus perbaikan taman itu?" 

Ilyas mengangguk membenarkan. "Aku asli orang Jakarta. Dapat proyek di sini dua kali. Pembangunan rel ganda kereta api, sama yang baru dimulai drainase itu."

Yasmin manggut-manggut. "Kalau kamu, kegiatannya apa?" Ilyas balik bertanya.

"Saya masih kuliah semester akhir, Mas. Asli orang Garut. Di Bandung juga cuma kuliah," ringis Yasmin. 

"Oh iya, ngekos 'kan ya?"

"Iya, ibu kos juga ngasih izin bawa hewan peliharaan."

Ilyas mengangguk merespon cerita. Sedang sibuk mencari pembahasan lanjutan. Ponsel di saku Ilyas bergetar. Ia melihat nama pamannya di sana.

"Maaf, aku angkat telpon dulu."

Ilyas berdiri saat Yasmin mengangguk. "Yas. Mbah Uti dari kemarin gak mau makan nih. Dia pengen ketemu lo. Nangis-nangis nanya kapan lo nikah," lapor seorang laki-laki. 

Ilyas melirik Yasmin yang masih asik melakukan pendekatan pada anak kucing. "Bujuk terus, Om. Gue on the way sekarang."

***

Tepat jam 12  dini hari Ilyas sampai di rumah neneknya. Selama ini Ilyas tinggal bersama sang nenek. Kedua orang tuanya masih hidup, tidak berpisah, atau bekerja di luar negeri. Hanya saja saat Ilyas berusia 5 tahun, sang ayah menikah lagi hingga membuat ibunya sangat tertekan. Sejak itulah ia diasuh oleh Rachmi—wanita renta yang sangat sayang padanya.

"Ilyas," sambut Ibnu, anak terakhir dari nenek Ilyas. Ibnu melirik Sandi yang juga berasal dari Jakarta. Selain tinggal bersama, Sandi dan Ilyas juga sering pulang-pergi ke Jakarta berdua. 

"Mbah belum mau makan?" Ilyas bertanya sambil melepas jaket dan meletakkannya di sofa ruang tamu. 

Ibnu menggeleng lemah. "Gue bujuk dengan apa pun tetep gak mau. Maunya denger kabar lo nikah!" Semua keluarga tahu, Ilyas adalah cucu kesayangan.

"Sekarang Mbah dimana?" 

"Di kamar."

Ilyas segera menemui sang nenek dan duduk di tepi ranjang. "Mbah," panggil Ilyas lembut.

"Ilyas," balas Rachmi serak. Wanita tua itu menangis menyambut kedatangan cucu laki-lakinya.

Ilyas memeluk tubuh renta yang terasa panas saat disentuh. "Suhunya 39 derajat, Yas. Gak mau makan gak mau minum dari kemarin."

"Ilyas, Mbah kepikiran kapan kamu nikah, Nak. Mbah takut gak bisa lihat kamu punya istri dan hidup bahagia," adu Rachmi mendekap erat tubuh kerempeng Ilyas.

Usia Rachmi sudah menginjak 83 tahun. Tidak memiliki penyakit berat. Hanya saja fungsi panca indra dan ingatannya mulai berkurang. 

"Makan dulu, Mbah. Bahas nikahnya kalau udah makan."

"Kamu pernah ngomong gitu tapi sampai sekarang juga gak pernah ngenalin cewek ke keluarga."

Ilyas diam berusaha mencari kalimat persuasif lainnya. "Umur kamu udah nginjek angka 30 tahun! Keluarga kita gak ada yang nikah di atas umur segitu."

"Janji Ilyas bakal bahas masalah nikah. Tapi Mbah makan dulu!" 

"Gak mau, pasti nanti dibohongi lagi."

Ilyas menghela napas pendek. Ia belum memiliki wanita spesial untuk dikenalkan. Lalu bagaimana cara Ilyas mengelabui soal pernikahan.

"Ilyas punya calon namanya Yasmin, Mbah," sahut Sandi. Ilyas membelalak menatap teman kerjanya yang entah kapan ikut masuk ke kamar. 

"Yasmin? Anak mana?" tanya wanita tua yang kini berbinar antusias.

"Gitu kenapa gak ngomong sih, Yas," timpal Ibnu ikut lega.

Ilyas mengerjap tidak bisa berpikir jernih. Dulu tugas mengarang ceritanya tidak pernah mendapat nilai memuaskan. Bagaimana cara ia melanjutkan cerita rekayasa dari teman dekatnya itu.

Ilyas berdiri menarik Sandi keluar rumah. "San. Lo kenapa ikut nyamber seenteng itu! Mbah gue orangnya susah dialihin," tekan Ilyas sambil berbisik geram.

"Ya ‘kan tinggal bilang aja kalau masih masa PDKT, trus minta doa restu dulu."

"Sinting lo. Gue aja gak tertarik sama Yasmin."

"Yakin gak tertarik? Ekspresi lo pas cerita tentang dia itu beda! Kata lo Yasmin sopan, alim, imut, lugu. Yang lo sebutin itu pujian semua, Dodol!"

"Dia terlalu minor buat gue! Dia masih kuliah! Gue juga gak tau dia udah punya pacar apa belum."

"Minor itu kalau dia di bawah umur. Usia 22 tahun udah bisa dinikahin! Masalah kuliah bisa tetep berjalan sambil membina rumah tangga. Dan misal dia punya pacar, bakal kalah sama cowok yang ngajak nikah duluan."

Ilyas tampak memikirkan ucapan Sandi. Selain belum mengenal sepenuhnya siapa Yasmin, ada satu hal mengganjal dalam hatinya jika harus menjadikan gadis itu seorang istri.

"Dia terlalu alim bagi gue yang gak paham agama. Gue gak cocok buat dia."

Sandi terkekeh. "Ya ‘kan enak. Lo bisa ketularan alim selama deket sama dia. Lo mau cari cewek gimana emangnya? Cewek yang suka gonta-ganti pacar? Cewek yang punya puluhan mantan? Cewek yang suka dipeluk sana-sini? Jangan banyak drama. Lo gak seburuk itu buat dapetin cewek baik-baik."

"Kalau lo gak mau sama Yasmin, biar dia buat gue aja!" Sandi kembali berujar dengan kalimat gertakan. 

Ilyas melirik tajam merespon ancaman Sandi yang kini tertawa. "Sok nolak lo, padahal doyan!" sembur Sandi.

"Kalau lo gak asal jeplak kayak tadi. Gue gak mikirin Yasmin sama sekali!" oceh Ilyas dengan nada kesal.

"Kalau sampai lo sama Yasmin naik ke pelaminan! Sungkem sama gue ya lo!"

Ilyas mencibir. "Gak usah mikir kejauhan, sekarang bantu mikir, gimana caranya bujuk Mbah biar mau makan."

"Janjiin buat datengin Yasmin ke sini. Pasti Mbah mau makan."

===

2. Kronologis

Azan Subuh berkumandang. Semalaman Ilyas tidak bisa tidur nyenyak, ia menghabiskan waktunya menatap langit-langit kamar, memikirkan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut temannya. Kenapa bujuk rayu Sandi tidak bisa diterima hati kecilnya. Tetap saja dia merasa tidak sepadan dengan Yasmin. Bagaimana jika Yasmin tahu, dirinya tidak bisa baca tulis Al-Qur'an? Jarang salat? Termasuk salat Jum'at yang wajib bagi kaum laki-laki.

Ilyas menggeleng kecil. Ia takut merasa tertekan jika harus menikahi Yasmin dan tidak bisa menjadi imam baik bagi keluarganya. Namun siapa yang harus ia kenalkan pada keluarga terkhusus Rachmi—nenek tercinta yang ingin sekali melihatnya menikah. Jika mengulur-ulur waktu lagi, bisa dipastikan kejadian mogok makan akan kembali terulang, dan itu tidak baik untuk kesehatan Rachmi.

Notifikasi pesan masuk membuat ponsel Ilyas menyala. Ia menggeser lock screen dan membuka pesan tersebut.

Alis Ilyas mengerut samar melihat Yasmin mengiriminya Direct Message di Twitter. Ada apa? Batinnya penasaran.

Jasmine :
Mas. 

Ilyas :
Kenapa?? Kucingnya mati!?

Jasmine :
Bukan soal kucing, Mas. Tapi saya mau tanya-tanya ke Mas. 

Ilyas :
Tanya aja Yas.

Jasmine :
Maaf banget sebelumnya, Mas. Ini pertanyaan pribadi yang kurang cocok kalau saya tanyakan ke mas. Tapi saya butuh kepastian dulu. Apa mas udah punya pasangan?

Baris pertanyaan dari pesan Yasmin membuat Ilyas mematung. Otak Ilyas seketika hilang fungsi mendapat pertanyaan dari gadis yang ia pikirkan semalaman.

Ilyas:
Belum,Yas. Kenapa ya??

Jasmine :
😭😭😭

Ada orang kirim gambar ke hape ayah saya pas kita ketemu, Mas. Ayah kena fitnah orang desa dikira saya di sini suka keluar sama cowok. Padahal baru sama mas saya ketemu cowok di luar. Ayah sedih sekaligus bingung mau gimana. Saya juga bingung. Maaf ya, Mas. Kalau cerita ini ganggu Mas.

Ilyas:
Trus aku harus gimana ,Yas??

Jasmine:
Ayah suruh tanya ke mas. Udah ada pasangan apa belum? Kalau belum, ayah pengen ngobrol sama Mas.

Ilyas:
Kalau ayah kamu mau ngobrol silahkan, Yas. Aku juga mau menyampaikan sesuatu.

Jasmine:
Hah, ini serius, Mas?!

Ilyas:
Iya. Kita lanjut lewat WhatsApp ya. Kirim nomor kamu.

***

Kemarin malam setelah Ilyas pamit pulang. Yasmin kembali ke tempat kosnya. Sebelum itu, Yasmin mampir ke sebuah pet shop yang juga memiliki klinik khusus hewan untuk membeli makanan kucing sekaligus bertanya pada dokter tentang kebutuhan apa saja yang dibutuhkan kucing barunya.

"Ada yang bisa dibantu, Kak?" sambut pelayan toko. 

Yasmin berpikir sejenak kemudian mengungkapkan kebutuhannya. "Mau cek kesehatan kucing saya sambil konsultasi, Mas."

"Untuk konsultasi dengan dokter hanya dilayani dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, Kak."

"Oh gitu, Mas."

Yasmin kembali diam sambil memikirkan jalan lain. Petugas kasir itu kembali membuka mulut. "Mungkin dititipkan sini dulu kucingnya, Kakak daftar periksa saja, jadi besok ke sini lagi sesuai urutan."

"Oh bisa gitu, Mas?" pekik Yasmin sorot matanya berubah bahagia.

Pemuda dengan kaos kerja itu mengangguk. "Ya sudah saya daftar dulu."

"Mari ikut saya," ajak pegawai toko ke ruang sebelah. Yasmin memperhatikan ruang klinik yang dipenuhi banyak kandang berisi anjing dan kucing. Beberapa suara hewan yang dikurung sesekali mengisi ruang hening di sana. Namun Yasmin tidak terganggu karena fokus membaca nama dokter hewan yang bertanggung jawab sekaligus pemilik pet shop dan klinik tersebut. 

"Kakak daftar pelayanan sama Mbak ini, ya," ujarnya menunjuk seorang gadis berstatus pegawai lain sekaligus menjabat sebagai asisten dokter.

"Makasih, Mas," ucap Yasmin saat pemuda itu kembali ke kasir.

"Keperluannya apa, Kak?" tanya asisten dokter, tatapannya meninggalkan layar laptop untuk menatap Yasmin. 

Gadis berpakaian sopan itu menjelaskan ulang. Petugas langsung mengangguk paham.

"Nama Kakak siapa?" 

"Yasmin Sukma Ningtyas."

"Nama kucingnya?"

Pegawai itu menoleh saat Yasmin tidak kunjung menjawab. "Belum dikasih nama?" 

Yasmin menggeleng. "Bisa tolong dicek, Mbak. Kucing saya ini betina atau jantan?"

Pegawai itu mengambil kucing yang tampak ketakutan. Bulunya berdiri dengan daun telinga ke arah belakang. Namun pegawai tersebut telah piawai menghadapi kucing liar sekalipun.

"Jantan, Kak. Usianya mungkin sekitar 3 bulan."

Yasmin mengangguk kecil sambil memikirkan nama yang cocok. Satu nama terlintas di otaknya tiba-tiba. "Kucingnya saya kasih nama Muza saja, Mbak," tuturnya dengan senyum merekah di bibir kecilnya. Ia mengadaptasi nama kucing Baginda Rosul untuk calon kucingnya.

Setelah urusannya selesai. Yasmin pulang dan sampai di kos terlalu malam. Ia membersihkan diri dan mengganti pakaian, setelahnya melihat ponsel yang sejak tadi belum sempat dibuka.

"Ayah kenapa telepon?" gumam Yasmin keningnya mengerut bingung. Langsung saja ia menelepon balik nomor ayahnya dengan debar jantung dan firasat tidak enak.

Yasmin membasahi bibirnya sambil berusaha menenangkan diri. Tak lama. Panggilannya dijawab.

"Assalamualaikum, Yah?!"

"Waalaikumsalam, Dek." Yasmin dipanggil adik karena ia anak terakhir dari dua bersaudara. Kakaknya perempuan dan sudah menikah.

"Kenapa, Yah? Telepon berkali-kali gitu?"

"Kamu lagi di luar?"

"Baru pulang, Yah."

"Keluar sama siapa?"

Yasmin terdiam. "Sama cowok? Kamu kenal sama cowok itu? Ayah udah bilang, 'kan jangan keluar malam sama cowok! Kalau kamu diapa-apain gimana, Dek?" tutur sang ayah nadanya semakin tinggi bercampur cemas.

"Maaf, Yah. Aku cuma mau adopsi kucing, itu keluar buat ambil kucingnya. Aku gak ngapa-ngapain kok."

"Kenapa gak ditemenin temen cewek kamu, Dek?! Kenapa malam hari juga!"

Yasmin sudah mencoba mencari teman untuk bertemu dengan Ilyas. Namun tidak ada yang bisa. Jika harus mengulur waktu ia takut Ilyas kembali ke kota asal dan melepas kucing malang itu. Untuk itu Yasmin nekad keluar malam hari menemui orang asing yang sama sekali tidak ia kenal.

"Temen aku gak ada yang bisa nemenin, Yah. Masnya juga gak ada waktu lain selain malam ini. Dan kucingnya butuh pengasuh segera," cerita Yasmin dengan nada rendah.

Sang ayah menghela napas kasar. "Ayah ditegur tetangga, karena ada yang lihat kamu ketawa-ketawa dipinggir jalan sama cowok katanya."

Mata Yasmin membola kaget. "Yasmin ketemuan di kafe. Bukan di jalan. Dan itu tempatnya ramai, gak sepi," jelas Yasmin meluruskan. Sengaja Yasmin memilih area luar kafe agar lebih terbuka. Namun tetap saja ia mendapat berita miring. 

"Dek. Kita tinggal di desa. Mereka lihat kafe itu tempat yang gak baik. Dan di foto itu banyak kendaraan juga yang lewat."

"Siapa yang kirim fotonya, Yah? Kafe itu emang deket jalan raya. Jadi wajar aja kalau ada banyak motor lewat," ujar Yasmin terus menjelaskan.

"Ayah gak tahu, di grup WhatsApp RT kamu digibahin sana-sini, trus disangkutpautkan sama statusmu sebagai guru ngaji. Ayah sakit hati kamu dipandang jelek gitu! Tapi Ayah gak bisa ngapa-ngapain."

Yasmin terdiam. Kenapa juga ia bertindak ceroboh dan melakukan suatu hal di luar kebiasaannya. Perjalanannya untuk mendapat gelar sarjana di kota orang tinggal selangkah lagi. Kenapa juga ia harus bertindak gegabah hingga merusak nama baiknya sendiri. Tak hanya itu, di tempat tinggalnya, sang ayah menjabat sebagai ketua RT dan disegani banyak orang. Keluarganya sudah menjadi tolok ukur keluarga idaman. Apalagi Yasmin sering mendapat banyak prestasi selama menuntut ilmu.

"Dek," panggil sang ayah lembut.

"Gak perlu dipikir terlalu berat. Sekarang cowok yang kamu temui itu statusnya gimana?"

"Aku gak tahu, Yah. Kita gak pernah chatingan dan cuma sekali ketemu. Yang aku tahu, Mas-nya baik dan gak aneh-aneh ke aku."

"Coba tanyain dulu. Dia udah punya pasangan apa belum?"

"Kalau belum?"

"Nanti ayah coba ajak diskusi. Buat nikahin dan jagain kamu di sana."

===

Footnote;

direct message/DM: Pesan/inbox
Ava: foto profil 
Fanbase: kumpulan orang yang suka membahas/mencari info hal serupa.

Disclaimer !

* Cerita ini fiksi. Nama tokoh, karakter, dll seutuhnya milik penulis. Jika memiliki kesamaan nama tokoh, nama tempat, karakter, alur dst, dengan cerita anda pribadi atau cerita yang pernah anda baca, itu terjadi karena ketidaksengajaan.

* Tidak berniat menyinggung watak, profesi, ras, budaya, atau agama manapun.

* Cerita masih jauh dari kata sempurna. Jika ada yang kurang sesuai dan perlu diganti. Mohon tulis di kolom komentar dengan bahasa yang baik.

* Di Karyakarsa, satu kali posting berisi dua chapter sekaligus ya.

* Semoga suka dan terhibur dengan cerita ini. Klik tombol suka sebagai apresiasi.

~Happy reading~
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya (Chap 3-4) From Empty Love to Romantic Love
5
0
3. Pertemuan DaruratIlyas menghadap Wira—ayah Yasmin—di sebuah rumah makan perbatasan Jakarta-Bandung. Tempat itu ditentukan setelah melalui diskusi panjang. Tentu saja Yasmin juga turut hadir di sana. Ia perlu menambah pertanyaan dan menyimak obrolan sebelum memutuskan ke jenjang serius.Maaf karena merepotkan Mas Ilyas dengan pertemuan mendadak ini, tutur Wira pelan. Karena berita di desa tentang Yasmin sudah simpang-siur. Bahkan sudah keluar ke desa sebelah. Saya takut fitnah ini semakin tidak karuan pada akhirnya. Kelalaian saya karena tidak memberi ketegasan selama mendidik Yasmin membuat berita ini berdampak pada nama baik Mas Ilyas juga ...,
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan