Penanya #RumahdalamDiri

4
1
Deskripsi

“Kenapa harus diam?”

"Mengapa diam?"

Membuat keputusan di antara banyak kalimat di kepala. Dari banyaknya pertanyaan. Hanya satu. “Kenapa diam saja?” Zara bertanya.

Penanya

Musepiya

“Kenapasih orang-orang sebegitu tidak sukanya ditanyai saat presentasi?” tanyanya di dalam pikiran.

Presentasi kelompok yang tidak berkelompok, membingungkan memang. Sebagai Mahasiswa pendidikan, presentasi berkelompok seperti ini sering dilakukan untuk mengelompokkan Mahasiswa pada sebuah topik yang sama untuk menilai cara presentasi yang bervariasi. Sejak dua minggu lalu, mata kuliah pembelajaran mikro sudah dilaksanakan.

Mahasiswa diberi kesempatan untuk menampilkan cara mengajar mereka, mulai dari membuka pembelajaran, pemberian materi, penggunaan media, hingga evaluasi. Semua disusun dengan keterampilan masing-masing individu berdasarkan inovasi dan kreativitas menyusun skenario pembelajarannya. Pembagian kelompok hanya dimaksudkan untuk jadwal presentasi dan pilihan mata pelajaran. Jadi, tidak ada kerja sama, masing-masing memilih materi yang ingin diajarkan sebagai Guru.

Sederhananya, mata kuliah ini bisa dibilang mata kuliah praktik yang sudah pasti harus dilakukan sebagai calon pendidik. Walaupun, belum tentu semua Mahasiswa jurusan pendidikan akan menjadi pendidik juga. Mungkin ada yang lebih memilih bekerja pada bidang yang dia sukai, seperti kebanyakan Mahasiswa yang merasa salah jurusan di tengah proses menempuh kuliah.

“Silahkan yang ingin memberi komentar pada presentasi temannya.” Suara yang terdengar dari ujung ruangan membuat satu orang yang duduk di baris paling depan terlihat mengacungkan tangannya.

“Iya silahkan,” ucapnya mempersilahkan dari ujung ruangan.

“Kalau dari saya mungkin metode belajarnya bisa lebih interaktif karena 15 menit waktu yang diberikan yang dominan hanya kamu sebagai Guru saja yang terus bercerita sambil membaca slide PPT, tidak ada interaksi. Sebelumnya juga sudah disampaikan oleh Prof, bahkan di minggu lalu juga disampaikan kembali kalau kita sebaiknya jangan atau sebisa mungkin menghindari metode ceramah, kemudian untuk absen bisa dilakukan lebih cepat karena waktu mengajar juga terbatas,  jangan sampai absen bisa memakan waktu yang lebih banyak dari penyampaian materinya. Pertemuan kedua kemarin, teman kita ada yang gunakan metode barcode, bukan? Mungkin bisa dicontoh karena kebetulan minggu lalu itu kita sudah sangat apresiasi cara absennya. Akan lebih baik diapresiasi dan kita contoh juga. Kalau saya hanya itu, karena penyampaian materi sudah keren banget.” Semua orang di kelas hanya mengangguk setuju dengan komentar seorang Mahasiswi dengan buku catatan A4 yang penuh dengan tulisan di hadapannya.

“Makasih untuk komentarnya,” respon Mahasiswi yang diberi komentar.

“Masih ada komentar dari yang lain?” ucap laki-laki muda yang hampir seusia dengan para Mahasiswa di kelas ini.

“Sudah semua, Kak, kan sudah disebut semua sama, Zara,” celetuk salah satu Mahasiswa yang ada di dalam kelas.

“Kalau begitu yang presentasi selanjutnya silahkan.” 

Seseorang dengan cepat maju untuk melakukan presentasi yang dengan sesaat dapat mengubah suasana kelas, semua orang memegang perannya masing-masing seolah sudah otomatis berubah sesaat setelah orang yang melakukan presentasi mulai berjalan menuju tempat paling depan di kelas. Ada peran ketua kelas yang bisa berganti-ganti sesuai keinginan Mahasiswa, ada yang berperan sebagai Siswa, dan yang melakukan presentasi berperan sebagai Guru. Beberapa peran bahkan sudah ditentukan satu sama lain antar Mahasiswa agar presentasinya tidak membosankan dengan menentukan seorang Siswa yang akan menjawab pertanyaan Guru sebagai bentuk interaksi.

Presentasi yang dilakukan kali ini hampir seluruhnya sama dengan yang sebelumnya sehingga lebih banyak orang di kelas yang tidak memperhatikan. Terkadang cara mengajar yang dipraktikkan pada mata kuliah pembelajaran mikro sudah dapat ditebak dari niat Mahasiswanya yang memang ingin menjadi pendidik karena keinginan, menjadi pendidik karena terlanjur memilih, hingga yang memang tidak ingin menjadi pendidik. Kelas menjadi dominan suara yang melakukan presentasi hingga benar-benar membosankan, terlihat beberapa Mahasiswa hanya tertunduk tanpa membuka suara karena menghargai temannya melakukan presentasi dan karena memegang peran sebagai Siswa, tipikal Siswa kelas yang pendiam saat sekolah.

“Ini kalau aku berkomentar lagi kayaknya sama aja dengan yang pertama. Kalau dia memang mau berkembang pasti ada langsung improvisasi setelah penampil pertama tadi dikomentari, tapi gapapa juga sih, sebagaian orang memang akan blank kalau susunan presentaisnya ditambah dadakan. Gausah lah,” ucap Zara dalam benaknya.

Suasana ruangan kelas menjadi kembali riuh setelah presentasi diakhiri. Tidak ada lagi peran sesaat setelah ‘Guru’ menutup kelasnya, kini semua Mahasiswa kembali melakukan kegiatan masing-masing dan yang melakukan presentasi kini menunggu untuk mendegar komentar dari siapa pun itu yang bisa saja dilakukan oleh temannya atau sang Dosen.

“Silahkan yang ingin berkomentar atau bertanya ke temannya,” kata laki-laki muda itu lagi yang masih duduk di ujung ruang kelas.

Tidak ada Mahasiswa yang terlihat mengacungkan tangan. Semua orang hanya menatap ke arah depan, tidak menoleh ke sumber suara sekalipun, beberapa berbisik dan beberapa lagi memainkan ponsel. Pertanda tidak ada yang ingin berkomentar atau bertanya.

“Tidak ada?” Laki-laki itu mencoba memastikan dengan suara yang sedikit heran.

“Ibu Kepala Sekolah kayaknya ada deh, Kak,” sahut teman laki-laki yang duduk di barisan ketiga.

“Kepala Sekolah?” tanya Kakak itu lagi.

“Kan dia loh yang suka bertanya dan kasih komentar, persilahkan Kepala Sekolah terlebih dulu,” jawab teman kelas perempuan di baris ketiga juga.

“Bagaimana, ada pertanyaan atau komentar?” Merasa diajak berbicara, Zara menolehkan kepalanya ke sumber suara itu.

“Maksudnya saya ini? Kenapa Kepala Sekolah? Apasih Dosen pengganti ini kok jadi tunjuk-tunjuk saya,” protes Zara sembari menatap laki-laki berkulit putih bersih dan postur badan yang tinggi itu berdiri di samping tempat Ia duduk.

“Oh... Tidak, Kak, sama saja sama saya yang tadi sebelumnya itu kalau saya,” jawab Zara dengan suara yang tidak begitu jelas karena terlalu cepat berbicara.

“Nah blepotan kan mulut, huh, saya jadi tegang kalau begini jadinya.” Zara mencoba menenangkan dirinya dalam hati.

“Oke, kalau begitu silahkan untuk yang presentasi selanjutnya di persiapkan medianya.”  Tanpa berlama-lama laki-laki yang memakai baju batik kehijauan itu berjalan meninggalkan Zara menuju meja yang biasa digunakan Dosen di depan kelas.

“Oh, kemarin yang sebut-sebut Kepala Sekolah itu maksudnya memang ditujukan untuk aku? Apasih. Kalau mau bertanya kan tinggal bertanya, kenapa harus gituin orang sih,” batin Zara.

Mahasiswa yang selanjutnya presentasi kini mulai membuka kelasnya dengan sangat berbeda dari para Mahasiswa sebelumnya. Pengenalan yang singkat, interaksi dengan siswa selaku ketua kelas membantunya mempersingkat absen dengan langsung menanyakan nama yang berhalangan hadir, dan memulai pembelajaran dengan suguhan materi berupa video singkat berdurasi 1 menit sehingga membantu Siswa memvisualisasikan materi apa yang hendak dipelajari.

“Ada yang bisa beritahu apa yang dua orang di video itu sedang bicarakan? Tidak perlu pakai bahasa inggris, sepemahaman kalian saja.” Guru sedang berinteraksi dengan Siswanya.

“’Kepala Sekolah dulu’, ‘nah, Kepala Sekolah’, ‘asik nih Kepala Sekolah buka suara’, ‘kalau dia yang bicara kita diam aja sih’, ‘Kepala Sekolah angkat tangannya’.” Zara mulai mengulang-ulang suara itu di kepalanya.

“Kenapa Kepala Sekolah? Memang Kepala Sekolah suka bertanya?  Atau mungkin gaya aku yang kalau berpakaian selalu terkesan formal setiap kelas? Atau cara aku berbicara terlalu baku? Atau aku banyak tanya? Tapi, tidak ah, aku kan berkomentar karena memang mau dan dipersilahkan, atau apasih? Bikin percaya diri orang jatuh aja.” Zara dengan raut wajah murung menerka-nerka ada apa antara dirinya dan sebutan ‘Kepala Sekolah’ yang diberikan teman kelas kepadanya.

Suasana di kelas sesekali dipenuhi tawa Siswa karena lelucon saat menjawab asal setiap kali ditanyai oleh Guru, menggoda Guru dengan gombalan, memberi pertanyaan mendasar, dan merespon setiap kali Guru mencoba memastikan materi yang disampaikan dapat dipahami Siswanya. Namun, kondisi masih dapat dikedalikan oleh Guru dan selalu ada cara menjawab dan taktik yang sudah disiapkan. Entah ikut tertawa atau bahkan mengalihkan perhatian.

“Aah mau nangis. Tidak, jangan, Zara, aku mohon abaikan saja mereka. Mereka iri itu. Ih, keadaan gini temanku harusnya bisa tegur mereka atau hibur aku kek, dia malah senyum, yang satu malah diam aja. Uuuh… tarik napas, Zara, ayo jangan dengar mereka. Kamu bertanya aja kalau memang perlu untuk penampilan teman kamu jadi baik, kamu yang tau dirimu, jangan dengar mereka, sudah stop, kamu kan berkomentar biar bisa belajar juga dari penampilan kamu di pertemuan pertama yang sama tidak sempurna. Gapapa, udah ya, aku tau kamu, kamu tidak sok, bukan si paling, atau yang ter-ter, kamu mau belajar aja, mereka tidak paham aja dan kamu tidak perlu paksa mereka paham. Mereka aja tidak paham dirinya itu jadinya buat kamu tidak fokus juga, kalau ikut kesal nanti mereka ketawain kamu karena jadi kepancing, tenang ya, Zara,” ucap Zara dalam hati berusaha menahan air matanya yang membuat dia tidak lagi dapat fokus pada penampilan temannya.

“Aduh aku jadi tidak memperhatikan presentasi orang, inikan jadinya tidak dapat informasi lagi kalau kayak gini. Sudahlah aku diam saja. Nah, sampai mereka bilang Kepala Sekolah lagi dan suruh aku berkomentar aku akan muak banget deh kayaknya di kelas ini.” Zara masih membatin.

“Ada yang ingin berkomentar untuk presentasi temannya?” Laki-laki itu berjalan meninggalkan mejanya.

Presentasi selesai tanpa Zara mengetahui apa yang dilakukan temannya selama 15 menit sehingga membuat Ia hanya diam dengan perasaan dan tatapan yang sedikit kecewa karena melewatkan presentasi yang sangat berbeda tapi tidak belajar apa pun akibat pikirannya sendiri yang lebih dipenuhi persoalan ‘Kepala Sekolah’ yang memang mengusiknya sejak tadi.

“Kepala Sekolah, ayo”

“Kepala Sekolah dulu, mungkin dia ada komentar”

“Kita dengar Kepala Sekolah dulu”

Mereka bertiga saling sahut-sahutan sementara Mahasiswa yang lain memberikan raut wajah canggung dan enggan untuk merepon. Beberapa temannya  banyak memilih diam sambil menatap bergantian meja baris depan dan meja baris ketiga, beberapa teman lainnya terlihat tertawa kecil saja setelah mendengar sahut-sahutan itu.

“Ah menyebalkan sekali mereka bertiga ini. Sudah kelewatan ini, ck. Kalau tidak ada kemampuan berpikir cepat untuk mengamati setiap presentasi yasudah terima aja sih, dia yang tidak kompeten, aku yang dikatain. Mau kutegur tapi kayaknya mereka bahkan tidak akan paham perbedaan diperingatkan dan marah, benar-benar dia yang kasihan jadinya. Kalau diam terus, Aku juga kasihan ini, tapi nanti mereka tambah sakit hati kalau kutimpali. Logis, Zara, logis.” Zara mulai merasa berapi-api di dalam dada, mengkritisi setiap sikap, gerak gerik dan perkataan yang sudah dikeluarkan dengan sengaja dan berulang-ulang di kelas yang hanya didiamkan oleh seluruh orang di sini, Zara mulai merasa siap untuk mempermalukan mereka kembali dengan cara tegas, tapi tidak cukup berani berbalik badan melawan tiga orang yang sejak tadi ribut soal sebutan ‘Kepala Sekolah’.

“Kalau mau bertanya gapapa bertanya aja sih,” kata Zara singkat.

Kelas menjadi hening karena sikap semua orang yang seketika berbeda setelah akhirnya Zara membuka suara sembari membalikkan badannya sedikit ke baris ketiga dengan suara pelan dan senyuman tipis. Hal itu dilakukan agar dirinya tidak terpancing emosi. Walaupun berusaha mengendalikan dirinya, Zara dapat mendengar suaranya begetar oleh telinganya sendiri saat mengucapkan satu kalimat itu. 

“Ahh bergetar tadi suaranya. aku mohon jangan salah betindak, Zara. Kamu sudah menegur, itu cukup, sudah, sudah, tenang.” Zara mencoba menenangkan dirinya.

“Saya, Kak, mau bertanya.” Zara menoleh melihat temannya yang duduk di baris depan juga yang sejak awal hanya tertawa kecil dan diam saja diantara deretan teman kelas lainnya.

Suasana kelas yang tadinya menjadi begitu terasa tidak nyaman karena keheningan yang terjadi beberapa saat, kini seketika semua berubah dengan cepat, seolah tidak pernah terjadi hal canggung. Penghuni kelas terkesan mengabaikan kejadian yang baru saja terjadi, seolah tidak ada yang terjadi baru saja dan terkesan memang tidak terjadi dan terhiraukan setelah seseorang itu mengangkat tangan.

“Eh iya, Pitaloka, kan suka bertanya juga? Kenapa tidak ada sebutan khusus? Apa karena Pitaloka berteman dengan semua orang? Bahkan dia orang pertama yang berkomentar di mata kuliah ini. Dia kasih komentar di penampilanku, persoalan cara berbicaraku terlalu cepat. Cara dan tempo aku berbicara bahkan sudah diketahui oleh semua teman kelasku. Ah, sudahlah, dia sudah membuat suasana kelas menjadi tidak fokus dengan responku juga tadi.” Zara yang dibuat penasaran dengan isi kepala orang di kelasnya atas repsonnya tadi. Pikirannya menjadi tidak terkendali.

“Ini temanku di samping kenapa tidak menanyakan keadaanku, apa aku baik-baik saja? Aku butuh banget dipegang tangannya. Sumpah ini aku dingin banget. Aduh, kenapa aku tadi merespon mereka sih. Tapi kalau kudiamkan malah jadi terus-terusan kan. Pada titik ini aku butuh tenang.” Zara mengatur napasnya dan memijit tangannya berharap dapat menjadi tenang. Badannya mulai mengeluarkan keringat dari pelipis hingga telapak kaki gerah yang seketika membuat Zara merasa gelisah.

“Harusnya Kakak ini sebagai dosen mencegah ketegangan di kelas terjadi. Ini menyudutkan aku namanya, aku tidak nyaman sekali dengan keadaan tadi dan kenapa semua diam? bahkan caraku merespon seharusnya sudah jadi sinyal, bukan? Dari minggu lalu loh ini. Inikah namanya perundungan di kelas? Kukira ini hanya terjadi di film,” protes Zara yang masih menenangkan dirinya yang gelisah.

“Ini perundungan sih menurutku, fix. Tidak ada lelucon yang hanya dinikmati oleh satu pihak. Aku tidak merasa baik-baik saja dengan cara mereka bercanda dan bicara. Apa ini memang bukan perundungan, yah? Aku yang hanya sensitif karena takut merasa direndahan? Tidak. Ini sudah berlebihan, bukan? Yang menikmati hanya mereka bertiga dan yang menggunakan kata itu terus berulang-ulang hanya mereka. Atau karena semua orang setuju makanya diam? Aaah, aku pusing.” Zara dapat merasakan otot wajahnya menegang, pipinya memanas, dan napas bergetar bersama hembusan hawa panas dari hidungnya. Zara mencoba menormalkan pandangannya yang sudah buram karena mata yang berair dirasakan menumpuk sehingga menghalangi cara dia melihat buku dihadapannya dan kepalan tangan yang ada di atas pangkuannya.

“Jangan... nangis. Kita tahan yah. Eh, coba gigit lidah. Oke, tahanlah sakitnya, fokus ke rasa itu biar air matanya tidak jatuh. Masa bodo dengan teman kelas. Kita tenang dulu. Dan yup. Ini... perundungan. Aku merasa keberatan dengan ini. Huuh.” Zara mulai mengelola setiap kata di pikirannya dengan nada bermeditasi, setiap kata diucapkan jelas, menarik napasnya bersamaan menahan sakit lidahnya yang digigit, dan menghembuskan napas secara pelan. Setidaknya air matanya menjadi terserap kembali sehingga pandagannya perlahan menjadi jelas. 

Kelas hari ini berakhir di sore hari dengan suasana yang mendung akibat hujan yang baru saja selesai. Mendukung suasana hati Zara, perasaan yang begitu melelahkan hingga membuat dirinya untuk pertama kali selama 3 tahun berkuliah menjadi begitu kehilangan percaya diri, kehilangan motivasi belajar, dan mempertanyakan mengapa dia melakukan semua tindakan ambisinya dalam belajar. Belum pernah di dalam hidupnya dia mengalami hal ini, merasa bersalah atas kekesalan orang lain pada kegigihannya belajar.

“Kenapa aku merasa bersalah? Kenapa yang menanggung rasa kesal mereka harus aku? Apa harus buat orang merasa tidak nyaman untuk memuaskan hati mereka yang kesal? Payah sekali mereka. Kasihan. Aku juga kenapa mau menanggung sakit hati mereka? Mereka yang punya sakit hati kenapa aku yang tanggung jawab? Kan mereka yang mau jadiin hati mereka sakit? Lah kok komedi?” Zara tersenyum tipis dengan melempar pandangan ke arah lain. Jalanan begitu ramai untuk dirinya larut dalam isi pikiran sendiri. 

“Kepsek, capeeek,” sahut Zara bersamaan dengan satu hembusan berat. 

Zara dengan tas ransel pink abu-abu kesukaannya, celana kain hitam yang dipasangkan dengan baju kemeja putih lengan panjang yang sudah sekali dia pakai saat presentasi dua minggu lalu, tapi kali ini dia lapisi dengan Sweeter coklat tanpa lengan agar gaya hitam putihnya berbeda saat melakukan presentasi sebelumnya. Tentu saja dengan sepatu Sneakers putih yang selalu dipakai sejak tahun lalu sebagai hadiah dari gaji pertama yang dia dapatkan karena kerja paruh waktu di sebuah agensi sebagai SEO Specialist.

Mungkin karena hujan yang sudah reda atau karena hari sudah di pengujung sore yang mengakibatkan seluruh jalan menjadi sangat ramai dilalui orang. Suara klakson kendaraan sesekali terdengar dan sangat ribut di tengah jalan sehingga panampakan orang menjadi terlalu padat dari sudut mana pun. Lelah sudah bekerja. Siapa yang peduli penampilan saat cuaca hujan disertai rasa lelah sepulang kantor, sangat tidak penting lagi mendandani wajah.

“Kenapa dia jalan lambat sekali, aku mau cepat-cepat sampai ke tempat tidurku,” ucap Zara dalam hatinya sembari matanya yang mengamati orang di depannya seakan sedang mengamati presentasi teman kelasnya.

Perempuan dengan kaos hijau tua lengan sangat panjang dan celana olahraga panjang abu-abu berjalan dengan sangat lambat, pundak yang membungkuk, kaki yang diseret, juga rambut yang dibiarkan berkibas sesuka angin berhembus. Dia memakai sandal berwarna putih yang menutupi punggung kakinya juga topi berwarna merah muda. Topi di kepalanya dipakai hingga menutupi wajahnya terlebih rambut hitam gelombangnya yang sebahu terurai menutupi sisi samping wajahnya. Zara hanya menatapnya penasaran. “Pasti dia juga lelah sekali.”

              Zara kemudian membenarkan posisi dirinya setelah sadar bahwa penampakan tubuh yang terasa lelah masih dapat ditebak dari postur tubuh. Ia tidak lagi berjalan mengeser sepatunya, seakan langkahya sangat berat, ia tidak lagi membungkukkan bahu, seolah membawa beban yang sangat banyak, ia tidak lagi mendongkakkan wajahnya ke atas seolah tidak memiliki harapan, dan Ia tidak lagi meremas tali ransel di sampingnya seolah tidak sanggup melepas masalah yang ia genggam dan mengunci dirinya untuk tidak keluar dari kelelahan dan kesedihan hari ini. Zara seketika menemukan dirinya tersenyum dan kembali mempercepat langkahnya.

              “Beli minuman manis ah biar bisa happy,” ucapnya setelah melihat kedai minuman di seberang jalan tidak ramai.

              “Taro 1,” pinta Zara.

              Setelah mendapat pesanannya yang tidak memerlukan waktu lama, Zara kembali menyeberangi jalan dengan suasana hati yang sangat bahagia. Berjalan sembari menikmati minuman taro yang Ia sukai. Sepanjang jalan, Zara hanya menikmati angin sore jalanan yang tidak begitu dingin dari minuman kesukaannya itu. Zara berjalan menuju sebuah gedung tinggi, mendekati pintu masuk gedung yang terlihat hanya ada dirinya dan beberapa orang yang dapat dihitung jari hingga Zara mendapati satu sosok yang mirip dengan seseorang yang baru saja Ia temui di jalan pulang tadi, kini orang itu berdiri di depan lift, tempat Zara akan masuk juga menuju tempat tidurnya yang nyaman.

              “Ah, dia tinggal di sini juga.” Zara mengangguk dengan bibir yang sedikit dimanyunkan menyeruput minuman taro miliknya.

              “Eh?” Zara terheran dengan sikap Wanita itu saat pintu lift terbuka bersamaan beberapa orang lain hendak masuk ke dalam lift,  dia menendang sisi bawah dinding yang ada di samping pintu lift.

              “Eh tunggu!” Zara berlari secepat mungkin setelah sadar bahwa pintu lift sudah hampir tertutup sementara dirinya masih berdiri mengamati.

              Terlalu lama Zara mengamati dari jauh, beruntung Zara masih dapat kesempatan masuk ke dalam lift itu sehingga tidak perlu menunggu lagi. Zara dengan waktu yang sedikit itu juga masih menyempatkan dirinya beraksi melempar gelas bekas minumannya ketika melewati tempat sampah dan tidak melesat. Zara mengamati kembali sebelum melangkah masuk, di dalam sana terdapat sekelompok laki-laki juga selain dirinya dan Wanita bertopi merah muda itu.

              “Ck.” Mendengar suara decikan seseorang dari dalam lift membuat Zara sontak menoleh ke arah Wanita itu sesaat setelah menginjakkan salah satu kakinya ke dalam lift.

              “Lah? Dia kenapa? Suasana hatinya mungkin kurang baik, bisa dilihat dari penampilan dia. Tapi, sudahlah, biarkan dia bergelut dengan masalahnya, aku tidak perlu tersinggung, toh aku tidak ngapa-ngapain dia,” batin Zara setelah menoleh sebentar.

              Zara memencet tombol angka 8, terlihat sebuah warna merah pada angka 15 dan lantai paling atas juga menyala yang menandakan di antara mereka akan menuju ke lantai tersebut. Zara hanya menikmati keheningan. Namun, matanya yang mulai menelusuri apa saja yang dilihat di lift terhenti pada ujung jari kanan Wanita itu. Warna merah tua, seperti retak atau patah-patah. Darah setengah kering.

              “Astaga! Itu darah woi. Dia… siapa?” Zara mulai penasaran.

              Zara hanya terus mengamati Wanita di depannya itu, ingin sekali menegurnya, tapi takut membuat Wanita itu merasa risih dan marah. Zara mulai memutar-mutar kedua bola matanya, memainkan kedua bibir untuk mengeluarkan kalimat yang sekiranya ingin Ia sampaikan. Zara kembali bermonolog di dalam kepalanya.

              “Kayaknya terlalu jauh kalau aku sebut dia pelaku pembunuhan berantai, berjalan saja dia tidak bertenanga kelihatanya, atau dia korban…? Ah, tidak mungkin. Korban KDRT kah? Korban bullying? Atau dia habis kecelakaan? Hm, mungkin dia terluka aja habis lakuin sesuatu, digigit anjing mungkin atau dicakar kucing juga bisa.” Zara semakin menyipitkan matanya yang tidak minus juga tidak bermasalah, dia hanya ingin fokus pada titik itu lebih jelas. 

              “Kok aku rasa dia tidak baik-baik saja, yah.  Mbaa… helooo, kenapa? Apa dia butuh bantuan, ya? Atau dia berharap tidak ditolong?” Zara mulai tidak bisa menahan dirinya.

              “Aku rasa dia butuh bantuan, tapi sopankah kalau aku tegur soal di tangannya ada darah? Tunguu... jangan-jangan dia sakit? Ah, lantai atas! Astaga tidak. Tidak mungkin dia berencana menyakiti dirinya… Ah! Iya menyakiti diri. Darah itu adalah... darah dia?” Zara melihat tombol lift  yang menyala untuk kembali memastikan kalau dirinya tidak salah lihat.

              “Zara, dia butuh bantuan pasti, sama seperti kanu tadi, pegang saja tangannya, dia berdecik karena dia tidak suka banyak orang, dia menendang tadi karena dia kesal ada orang yang akan menunggu di lift bersama dia. Zara, coba lihat, pakaiannya saja sudah tidak bisa dia atur, bagaimana bisa dia mengobati lukanya sendiri. Gapapa, niat kita baik. Pakai cairan di tas kamu. Sekalipun nanti dia marah, setidaknya kamu sudah mencoba. Jangan sampai kita nonton TV dan menemukan berita soal Wanita muda yang mengakhiri hidupnya dengan melompat dari sebuah gedung kamu tinggal dan baru kamu menyesal. Lakukan saja dulu. Bertanya aja ayo” Zara dengan segala hal yang ada dalam pikirannya.

              “1 2 3…” Tidak ada gerakan dari Zara.

              “Aaah. Kenapa tidak berani sih,” batin Zara kesal.

              Pintu lift terbuka di lantai 8.  Zara dengan ragu mencoba melangkah berjalan keluar menuju pintu lift. Zara merasa tidak bisa keluar begitu saja tanpa menanyakan keadaan Wanita itu. Langkahnya begitu sulit, kakinya tidak dapat menjalankan perintah bawah sadar Zara yang biasa dilakukan otomatis ketika pintu lift terbuka, terasa berat melangkahkan kaki saat ini. 

Zara merasa takut jika saja harus mendengar seseorang memutuskan mengakhiri rasa sakitnya tanpa diberi kesempatan terlebih dulu untuk memberitahu apa yang membuatnya merasa harus mengakhiri semuanya. Zara paham, sulit menemukan seseorang yang tepat karena masalah yang hadapi sudah lebih mendominasi sehingga hanya dapat bergelut sendirian dibandingkan orang yang beranggaan semua masalah ada solusinya dan semua kejadian ada pelajarannya. 

Tidak sepantasnya orang yang sudah kehilangan arah harus lebih dulu bertanya arah yang benar, tidak ada yang tahu jalan dan arah saat ini adalah salah atau benar. Namun, siapa paham ini salah atau benar? ini jalan pertama yang di tempuh, jalan sebelumnya berbeda, bahkan di depan sana pun banyak yang baru ditempuh dan harus dipilih. Orang lainlah yang bisa benar-benar memahami dan dapat menebak gerak-gerik mereka yang kehilangan arah yang seharusnya memberitahu kalau sedang berada di jalan dan arah yang salah. Kenapa harus ditanyai dulu? Orang tersebut bahkan mungkin saja tidak sadar dirinya sudah kehilangan arah.

              “Oke, mari tidak keluar, Zara,” perintah Zara pada dirinya dalam hati.

              Sorry, is it the floor you wanna go to?” tanya Zara setelah memutuskan untuk tidak keluar. Zara melihat ke arah tombol lift, menoleh menatap para laki-laki yang berdiri di dekatnya bergantian. Terdapat ada yang berwajah kebaratan sehingga Zara memutuskan menggunakan bahasa inggris dalam berkomunikasi sambil menunjuk dengan sopan pada tombol lantai paling atas. Berharap mereka paham bahasa inggris.

              “No,” jawab salah satu dari mereka sembari menunjuk wanita di samping Zara. Seolah paham, Zara akhirnya mengangguk memahami maksudnya.

              Zara membiarkan pintu tertutup begitu saja sementara dirinya sibuk menyejajarkan dirinya dengan Wanita itu. Berusaha sedekat mungkin sebisanya agar tidak dapat terdengar oleh laki-laki di sampingnya jika berkomunikasi. Dia takut membuat wanita itu merasa tidak nyaman, tersinggung, direndahkan atau dipermalukan.

              “Diluar kayaknya lagi rintik lagi. Cuacanya memang pas banget buat romatisan…, sama bersedih juga. Tapi maaf banget, Mba, kalau saya lancang... Hari ini saya sudah tidak ada kelas…, sampai besok malam. Ini ada nomor yang sekiranya bisa, Mba, hubungi untuk bercerita karena kebetulan saya juga bukan profesional,” ucapnya dengan suara pelan sambil Zara menoleh menunggu respon Wanita itu yang tidak merespon dirinya yang sudah berinisiatif menyodorkan sebuah kartu nama berwarna putih biru.

“Tapi saya bisa temani kalau merasa berat banget. Ini nomor saya.” Zara tersenyum karena akhirnya Wanita itu menoleh dan melihat nomor telpon yang diketik di layar ponselnya juga sebuah kartu nama yang sebelumnya sudah dikeluarkan dari case ponselnya. Wanita itu hanya mengangguk singkat sehingga Zara merasa lega karena artinya ia tidak membuat Wanita itu merasa risih dengan tindakannya.

“Ohiya,” Zara kemudian membuka tas ranselnya mencari sesuatu. Sedikit repot tapi sebisa mungkin gerakannya dipercepat. “Ini ada NaCl, mungkin bisa bantu buat bersihkan tangan, Mba. Saya kehabisan air minum, kebetulan saya bawa ini buat jaga-jaga kalau saya menginap di kosan teman. Ini untuk pencuci hidung saya biasanya, musim hujan, saya pilek, hidungnya biasa mampet, butuh disemprot biar bisa napas lega.” Sambungnya sembari memberi senyum sumringah.

Informasi yang berlebihan memang, tapi Zara mencoba menjelaskan seramah mungkin dan informasi konyol seperti itu sepertinya aman untuk memecah suasana tegang walaupun dirinya menjadi canggung sendiri karena tidak direspon apa-apa oleh Wanita di samping kirinya.

“Kalau tidak keberatan, boleh diterima ini. Atau boleh saya bantu bersihkan?” Zara meminta tangan Wanita itu dengan senyum dan tatapan penuh harap. Wanita itu memberikan tangannya kepada Zara sebagai tanda dia mengizinkan darah setengah kering yang ada di jarinya untuk dibersihkan.

“Astaga tangannya dingin dan berkeringat,” batin Zara.

Entah karena cuaca rintik yang membuat tangan Wanita itu dingin atau karena sudah kehilangan kehangatan yang dia punya dalam dirinya. Zara dengan cepat menumpahkan cairan ke ujung lengan baju putihnya tanpa berpikir panjang dan membersihkan jari Wanita itu dengan cekatan. Zara dapat merasakan sebuah benda kaku dan tebal, seperti lilitan perban saat menyentuh pergelangan tangan Wanita itu. Namun, diabaikan, takut lancang.

“Sudah, Mba.” Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka di lantai 15. Namun, anehnya tidak ada yang keluar.

 Zara dibuat heran karena menunggu para laki-laki di belakangnya itu keluar tapi tidak ada satu pun yang berjalan keluar melalui pintu yang sudah terbuka. Zara menoleh ke arah mereka tapi hanya mendapatkan sebuah senyum sapaan. Bukan satu orang, tapi empat orang itu tersenyum kepadanya.

“Astaga mereka kenapa?” Zara membalas mereka dengan senyum dan anggukan kecil juga. Tidak berani bertanya seperti hal yang ada di kepalanya saat ini.

“Bukannya, tadi katanya? Tadi dia tunjuk Mba di samping kan? Mereka bohong? Tujuan Mbanya? Aduh malu ini kalau Mbanya keluar di sini, aaaaaaa” Zara menarik tangannya yang masih memegangi tangan Wanita itu kemudian perlahan melangkahkan kakinya mundur sembari berusaha menenggelamkan wajahnya untuk mencegah dirinya merasa malu.

“Kalau mau tumpangan sama supir kami bisa antar ke tujuannya, parkir sama bensin gratis. Jadi Princess Passenger saja.” Langkah Zara dibuat terhenti dan dirinya mematung setelah kalimat yang didengarnya itu, Zara reflek menolehkan wajahnya yang tertunduk tadi ke arah sumber suara, dia sudah kembali dibuat menatap salah satu laki-laki yang berbicara di antara mereka.

“Ini nomor kita, hubungi nomor yang mana saja di situ, ini nomor kita semua, kok.” Sebuah kertas yang diserahkan kepada Zara sebagai perantara.

Zara masih mematungkan posisinya menatap semua laki-laki itu sementara tangannya sudah sangat cekatan menerima sinyal untuk menerima sebuah kertas bertuliskan sebuah deretan nomor.

“Kebetulan kita habis tanding bola jadi ada waktu istirahat beberapa hari kedepan. Hubungi aja, jangan sungkan,” kata laki-laki lainnya.

“Tenang aja, aman kok. Kalau ada yang macam-macam di antara kita, laporkan polisi atau viralkan saja biar kita diberhentikan jadi pemain bola di club sama di drop out dari kampus, cctv lift juga ada, saksi juga ada.” Mereka bergantian menambahkan informasi dengan nada yang bisa tertebak, mereka mencoba menghibur juga.

“Makasih,” ucap Zara setelah menerima kertas dari laki-laki itu kemudian memberikannya kepada Wanita di sampingnya.

Wanita itu menerimanya dengan wajah menunduk dan postur tidak berubah. Suara gema di lift samar memantulkan bisik-bisik para laki-laki itu yang juga terdengar oleh Zara juga Wanita yang menjadi topik.

“Tidak lucu itu tadi,” bisik mereka yang terdengar.

“Bangga aku ini,” kata salah satu dari mereka lagi dengan nada sangat kecil.

Zara memilih mengabaikan bisik-bisik yang didengarnya dan berusaha menyakinkan Wanita itu lagi. “Aku tunggu telponnya, Mba, Aku tidak mau dapat berita soal, Mba, di TV atau sosial media dengan inisial.” Zara menambah lelucon walau tidak berhasil membuat Wanita itu merespon. 

“Oh iya, Aku Zara, Mba, siapa?” tanya Zara setelah tadi tidak direspon.

“Evi,” Jawabnya.

“Oke. Aku catat dulu deh di buku aku, biar tidak lupa.” Mendengar Wanita itu membuka suara akhirnya Zara kembali meraba tasnya dan mengeluarkan sebuah buku catatan kecil yang ada di dalam tasnya sebagai respon yang antusias setelah mengetahui nama Wanita itu. Zara tidak ingin lupa dengan nama yang hanya ada tiga huruf itu. 

Ting. Suasana yang hening beberapa detik akhirnya terpecah setelah bunyi lift terbuka di lantai paling atas gedung ini dengan suasana yang sangat tidak nyaman muncul.

“Ini ada permen, menurutku enak dan unik, coba deh. Dikunyah yah, jangan langsung gigit.” Zara sempat mengambil segenggam permen yang disimpan di dalam tasnya untuk diberikan kepada Evi setelah bunyi lift terdengar. 

“Buat kenang-kenangan. Semoga suka dan ketagihan,” ucap Zara dengan keras di dalam hatinya berharap maksudnya bisa diketahui lewat rasa asam dan rasa kejutan manis di bagian tengahnya karena lumer cokelat yang buat Zara sendiri selalu tersenyum ketika mengunyahnya.

“Eh, ini ada jaket, lindungi kepalanya. Hujan soalnya.” Laki-laki berwajah barat itu menyerahkan sebuh jaket jersey berwarna biru tua sebelum Evi melangkah keluar lift.

Evi dengan sangat pelan menerima semua pemberian orang asing di lift itu dengan kedua tangannya yang tidak bernyawa untuk menopang benda-benda yang diterimanya itu. Perlahan Evi melangkah keluar meninggalkan mereka yang hanya menatap membiarkan Evi berjalan semakin mendekati pintu transparan yang menampakkan hujan gerimis sedang menapaki lantai atas gedung ini.

“Hati-hati licin,” sahut laki-laki lainnya.

“Makasih.” Evi terhenti, sesaat kemudian berputar dengan langkah yang terbata-bata untuk membalikkan badan. Walau wajah yang sempat terlihat begitu singkat setelah Evi memutuskan berputar kembali. Zara dan para laki-laki itu tidak menahanya lagi, Evi keluar semakin jauh melangkahkan kaki dengan sendirinya. Rasanya tidak pantas jika menahannya lagi. Usaha Zara dan para laki-laki itu sudah dilakukan semampunya.

“Tidak ada yang pernah tau persis apa yang sudah dilalui seseorang sehingga memutuskan menghilangkan dirinya dari masalah daripada menghilangkan masalah dari dirinya. Aku sangat jahat jika meminta dia terus bertahan disaat dia tidak mampu berdiri, aku akan sangat kejam jika memberi dia banyak hal disaat dia tidak lagi sanggup menerima.” Zara tersenyum dengan perasaan yang sangat ingin menahan Evi pergi.

Evi berjalan semakin jauh memunggungi mereka berlima dari lift.  Bergantian mereka kembali memencet tombol sesuai lantai tujuannya. Pintu lift perlahan tertutup.

“Aku mohon. Hiduplah, Evi.” Zara meneteskan air mata.

Zara terisak, Zara tidak dapat menopang dirinya untuk terus berdiri lagi. Zara perlahan menundukkan kepala dan badannya, serendah-rendahnya. Berlutut seolah memohon pada semesta agar tidak terjadi hal buruk. Dia tidak lagi memikirkan apa pun saat ini, kepalanya benar-benar berhenti berdialog dengan dirinya dan merasa Ia perlu mengeluarkan tangisan ini.

You did well.” Zara mendengarnya.

She is gonna be fine, percaya deh,” Zara terus mengamini hal baik yang didengarnya.

“Kamu juga harus hidup.  Kamu hebat sudah bertanya tadi.” Zara mendongkakkan wajah sembabnya sesaat mendengar kalimat barusan.

“Makasih sudah menjadi suara pertama, kalau tidak bicara, kita tidak tahu dan tidak akan seberani ini. Kamu keren, Mba Zara.” Zara merasakan seperti berganti pikiran. Isi kepala dan hatinya seperti tertumpah, Ia menjadi kosong dan tidak merasakan apa-apa. Rasanya Ia seperti tersapu dari atas hingga bawah.

“Aku butuh diingatkan juga ternyata. Terimakasih pujiannya.” 

Zara tidak bisa mengucapkan kalimat itu, tangisnya lebih dulu ingin keluar. Lift terdengar bergema karena tangisan perempuan juga isakan yang berderu. Layaknya anak kecil yang dipuji di depan banyak orang tapi tidak tahu harus membalas apa. Sangat berharga menatap wajah tulus walau tanpa senyuman, suara ringan dengan penekanan jelas tiap katanya itu mengalir dan terjun bebas di dalam dirinya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan