
Ia menghindar, lihai seperti kucing maling makanan. Gesit, lincah, tidak dapat dikejar ketika empat kakinya lebih kencang untuk melindungi barang curian. Bedanya, yang sedang main menjadi kucing diganti manusia. Manusia manis, kecil, serba kecil yang ada pada tubuh omega. Tiap mata menangkap kehadiran satu sama lain, yang kecil akan kabur dengan berbagai cara.
“Ih, anjing kamu! Nata kita baru dateng!”
Keenata menarik Amir yang mengomel kesal, putar balik dari kantin. Tidak jadi sarapan karena mata kecilnya menangkap kehadiran Gamael bersama para pengikutnya. Keenata makin ingin pergi ketika tatapan mereka bertemu satu detik tadi. Ngeri, Keenata hampir menangis sebab melihat senyum tipis Gamael sebelum pergi.
"Padahal tadi ada pacarmu."
"Bukan pacar Nata!" kaki kanan menghentak. Mana mau pacaran sama enigma yang tidur sana-sini. Itunya pasti tidak sehat lagi, Keenata tidak mau nanti punya suami itunya jamuran karena lembab masuk gua terus.
Amir mengangguk-angguk, "Iya bukan, cuma bercanda aku. Lagian mana rela aku kalau kamu pacaran sama yang suka main kamar tiap hari.
Kepala Keenata ikut angguk-angguk, nanti malah ia sakit hati kalau pacaran sama Gamael. Eh, kok jadi berandai-andai membayangkan. Keenata geleng-geleng kencang kemudian melanjutkan langkah keluar kampus. "Amir temenin Nata beli donat. Nata mau donat Indomerit!" anaknya sudah ceria lagi.
Amir cuma menemani, mana tega kalau menolak. Keenata itu teman paling manis yang kedua ada Derija, dua omega yang mau berteman dengan beta kayak Amir. Bukan malah kasta atau gender, Amir ini orangnya tidak setertutup itu malah salah satu kupu-kupu yang hinggap di pohon mana saja buat nemplok di bunga baru. Kupu-kupu sosial-gitu deh istilahnya.
Keenata juga bisa berteman sama Amir karena sifat Amir yang memang mudah berteman dengan siapa saja. Kalau Derija, kenal nya karena sering kelas bareng jadis sering satu kelompok tugas. Mungkin karena Derija itu pendiam dan diam-diam perhatian makanya Keenata betah.
"Kamu pulang mau sama aku nggak?" tawar Amir, ibu jarinya mengelap bekas tepung gula di sudut bibir Keenata. Si omega masih sibuk kunyah donat gula sampai pipi gembulnya makin besar.
"Nata pulang sendiri. Kan cuma di seberang kampus. Amir gimana sih!"
"Lupa kamu ya? Bentar lagi kan tanggal heat kamu," Amir mengingatkan, ia selalu menjadi pengingat bagu dua temannya karena tak mau Keenata maupun Derija mengalami hal buruk karena lupa tanggal heat mereka. "Kalau Derija masih ada Raga, kalau kamu ini yang aku khawatirin!"
Keenata memberengut, "Masih lima hari ya, Nata inget!" katanya percaya diri. "Emang kalau Derija ada Ragaki kenapa? Nanti mereka tidur bareng ya? Ih, masa tiap bulan boboan satu kasur!?"
"Please banget masa aku perlu jelasin sama kamu?"
Tidak menjawab dengan bibir terbuka, Keenan berdengung lantas membagi sepotong donat pada Amir. Ia berpisah dengan temannya itu, menyeberang jalan untuk pulang ke gedung asrama yang terletak tepat di depan kampus. Keenata lebih banyak menunduk sepanjang jalan, menenteng kantong plastik berisi donat. Hari ini lift asrama sudah dibetulkan, Keenata tidak perlu lagi menaiki tangga darurat. Ia menyapa pengawas asrama untuk absen kepulangan.
Asrama kampus memang sedikit ketat untuk para mahasiswa yang tinggal di sana. Keenata tidak masalah karena ia juga tidak pernah melebihi jam malam untuk pulang atau pergi hingga lupa jam. Ia masuk ke ruang kecil lift, menekan tombol delapan dan berdiri diam sampai pintu kembali terbuka di lantai tiga. Keenata tidak perlu mengangkat wajah untuk tahu siapa yang masuk kemudian.
"Hei, pretty."
Ih anjing.
Keenata berdiri makin pojok, yang baru masuk lebih memojokkannya. Ada dua tangan berurat di samping kiri-kanan kepala. Napas berbau mentol menyambangi penciuman, sangat dekat hingga Keenata tahu kalau si enigma sengaja merunduk sejajar dengannya.
"Look at me,"
Gerakannya pelan namun Keenata tetap mengangkat wajah. Ingat lagi, apa yang dikatakan enigma adalah mutlak suatu perintah. Jarak lima jengkal wajah mereka. Keenata tidak bisa mundur karena di belakang sudah dinding.
"You scared?" si enigma tersenyum kemudian memajukan wajah hingga bibir tipis menyentuh pucuk hidung kecil. Keenata terpekik, tidak bagus kalau terus-terusan beedekatan dengan Gamael.
Lantai kamar Keenata tinggal satu lantai, ia berusaha berbicara. "Aku mau sampe, boleh geser?"
"Kamar kamu di lantai delapan? Boleh aku ikut?"
Kepala menggeleng pelan, takutnya si enigma nekat mau bawa kabur Keenata. Mata kecil kerjap-kerjap, lirik pintu lift masih tertutup.
"Nggak boleh," pintu lift terbuka, Keenata menunduk sangat pendek kemudian lari terbirit-birit keluar lift. Ia tidak menoleh, masuk begitu saja setelah membuka pintu kamarnya. Hirau akan realita jika Gamael masih di sana dengan pintu lift terbuka.
Nomor dua lima, kamar pojok kedua.
Huh?
Gamael itu punya banyak cara mau selama apa main sembunyi yang dilakukan si omega embun dengannya. Ketika pintu lift tertutup, Gamael menekan tombol satu. Bibirnya bersiul pelan sampai ketika lift berhenti di lantai dua Gamael tersenyum lebar.
"Hei, baby." kurva bibirnya begitu riang melihat satu omega cantik yang memeluknya mesra. Kecupan di pipi Gamael berikan kemudian membawanya ke dalam pelukan lebih erat.
"Wanna play something good?"
***
Kiranya hari ini Gamael akan terpuaskan, ada alpha yang menari di atas tubuhnya. Seorang pria tampan yang ia kenal di kampus, selalu meliriknya ketika sedang bersama-sama. Mengobrol ringan di kantin dengan orang-orang yang menempelinya seperti benalu.
Gamael menampar pantat tebal yang menduduki kelaminnya. Mendesah puas begitu lubang yang ia isi menyempit.
"Ahh-Gama...Gamael!"
Pikirannya sedang dibawa oleh rasa nikmat, matanya sibuk bayangkan wajah pria yang menunggangi bukan si alpha melainkan omega embun yang takut-takut berhadapan dengannya. Wanginya menempel di hidung, bahkan hanya menghirupnya sekali Gamael bisa tahu keberadaan si omega dengan mudah.
Kalau omega embun yang mengendarainya, mungkin tidak akan seagresif ini. Bakal sangat menarik membuat tubuh mungil kesusahan menggenjot. Lubang yang pasti sangat kecil, pinggang hanya dua jengkal tangannya. Gamael pasti akan menghancurkan makhluk kecil itu jika mereka bercinta.
Jadi tidak sabar.
"Beluman juga?"
Mata lirik ke arah pintu, alpha lelaki yang selalu paling depan membantunya bersandar di kusen pintu. Alis mengernyit, hidung ditutup sapu tangan putih. Ragaki menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
"Gama, aku punya cowok ya anjing, feromon kamu kendaliin!"
Bahu Gamael terangkat acuh, "Gak selera juga sama mate orang. Ngapain ke sini?"
"Tugas kuliah, mau nyontek."
"Ahh! Angh ..."
Desah kencang alpha di atasnya buat Gamael berdecak, "Berisik kamu. Kalau nggak bisa bikin aku puas, nggak usah berisik! Penisku malah loyo bukannya enakin."
Gamael menunjuk tas di atas nakas di ruang BEM tersebut, mengisyaratkan apa yang di mau Ragaki ada di sana. Si alpha buru-buru ambil tas Gamael lalu menutup pintu rapat-rapat. Sial hari ini melihat enigma makan alpha, ia bergidik ngeri. Tidak mau bayangkan bagaimana kuasa si enigma sampai bisa bikin alpha tadi goyangin pantat buat muasin penisnya.
Kasta-kasta bangsat. Ngeri juga seandainya Gamael bertemu Derija duluan sebelum Ragaki, untung ia langsung menandai omeganya sewaktu pacaran di heat pertama Derija sebelum dikenalkan pada Gamael.
"Kamu kenapa, kok mukanya kayak mau berak? Sakit perut, yang?" Derija yang menunggu di dekat tangga-tadi dilarang ikut sama Ragaki, sekarang lagi usap-usap kening Ragaki yang berkeringat banyak.
"Sakit mata aku," satu jawaban dari pacarnya, tidak jelas tapi Derija sudah paham.
"Mentang-mentang enigma."
"Ya kamu kalau nggak aku tandain juga udah ngesot di kakinya Gamael, yang. Kepingin ditidurin dia."
"Nggak pengen, itu cuma karna mulutnya aja nggak bisa dibantah. Racun buat omega kayak aku."
***
"Nggak mau sarapan dulu?"
Langkah Gamael terhenti, ikut orang yang sejak sepuluh menit lalu ia temani berjalan pagi. Gamael menatap tengkuk mulus dan bahu sempit yang turun. Sudah pasrah karena Gamael mengikuti sejak tadi.
"Aku nggak lapar," si omega embun menoleh takut-takut. Ada uang lima puluh ribu di genggaman tangan kanan. Erat sekali genggamnya kayak jagain dari Gamael mau mengambil alias memalaknya. Kan Gamael bukan orang miskin sampai mengambil uang orang lain. Nakalnya cuma minta tidur bukan yang lain.
Keenata tidak bicara lagi, sudah lesu untuk mengusir halus. Kalau secara kasar jelas berani. Langkahnya lunglai menuju abang tukang jualan bubur di turunan jalan. Agak tersendat tujuannya saat tiba-tiba Gamael meraih pinggangnya untuk di lingkari lengan berototnya. Keenata mau menangis rasanya.
"Nggak lapar kok bawa uang? Mau beli apa? Rokok?"
Hih! Nata sebal!
"Kamu ikut aku mau ngapain?" bibir cemberutnya berbicara.
"Beli kondom."
Mesum.
Kepalanya mendongak, disambut senyum tipis Gamael. "Emang titit kamu nggak pegel dipake terus?"
Keenata bergidik lihat senyum tipis jadi sangat lebar. Sepertinya salah tanya. Ia sampai berjalan miring jauhi wajah Gamael yang menunduk mendekatinya.
"Nggak, kan aku diem kamu yang gerak."
Badan Keenata mendadak merinding, rambut halus di tangannya sampai berdiri. Lebih mengejutkan lagi saat Gamael mengusap-usap lengannya. Keenata spontan menampar punggung tangan itu.
"Kamu mau jahatin, Nata teriak!"
"Teriak aja, kan ada aku di samping kamu."
"Kan yang jahatnya kamu!"
Gamael tertawa, ia cium tangan yang tadi menamparnya. "Nggak ada yang percaya, kamu kan tau aku siapa."
Tubuh kecil Keenata mulai berontak, ia bergoyang-goyang, naik-turun, kanan-kiri biar lepas tapi nahasnya memang si enigma kelewat kuat. Upaya gagal malah capek sendiri. Keenata berakhir digendong kayak karung beras. Pantatnya pula ditepuk dua kali.
"Tadi kamu mau beli apa?"
"Nata mau turun!"
"Gini aja, kasian kaki pendek capek."
"Nata nggak pendek!"
"Bubur mau? Diaduk apa dipisah?"
"Nyebelin kamu!"
Keenata berakhir pasrah, dibopong sepanjang jalan menuju tukang bubur langganan. Saat ia tiba, sialnya tukang bubur sedang ramai. Ada pembeli sekitar enam orang yang mengantri dan tiga orang duduk menikmati mangkuk berisi bubur panas. Keenata malu setengah mati, tutupi wajahnya sama kedua tangan.
"Pak, bubur satu. Campur ya."
Jari lentik Keenata menarik-narik baju di punggung Gamael, si enigma menoleh padanya.
"Nata nggak suka kacang."
Senyum terbit di wajah ganteng Gamael, badan besarnya duduk di pinggir pagar pembatas rumah gedong kalau di bangku plastik kasian nanti rusak. Ada cukup tempat buat pantatnya duduk, Keenata diturunkan untuk duduk di pangkuan. Kedua tangan masih tidak mau meninggalkan wajah yang merah padam. Diam-diam intip dari celah jari, melirik Gamael yang senyum ganteng.
"Nggak pake kacang, pak."
Ih ganteng-bukan Nata yang bilang!
"Pacarnya kenapa kak?"
Keenata menggerung dalam hati, memajukan bibirnya di balik telapak tangan. Ia mendengar Gamael menjawab pertanyaan entah siapa dengan suara ceria kemudian tepukan di atas kepala. Keenata menggeleng lepaskan sentuhan telapak tangan Gamael dari kepalanya.
"Nggak apa-apa, pak. Emang lagi lucu-lucunya aja."
Pagi yang sungguh tidak pernah ada dalam benak seumur hidup Keenata. Diantar pulang sampai depan pintu kamar, di tepuk kepalanya dua kali, dibelikan bubur sarapan pagi. Gamael mengucap sampai jumpa kemudian pergi.
Keenata berdiri di depan pintu kamarnya cukup lama. Matanya menatap kantung plastik berisi bubur di tangan kanan kemudian menoleh pada lift yang tertutup rapat.
"Kok Gamael tau kamar Nata? Ih serem!" buru-buru pintu kamarnya ditutup dan di kunci rapat.
***
Di luar hujan mengguyur aspal, cuaca sendu menemani bersama dingin yang menyentuh kulit. Selimut tidak cukup sampai berpuluh-puluh pakaian berada di atas tempat tidur. Ditata pelingkar menyisakan lubang hangat di tengah.
Keenata bergidik merasakan seluruh tubuh ya terselimuti udara dingin. Kaki melangkah kecil-kecil ke lemari san mengeluarkan selimut barunya.
Hari ini, ia akan mulai merasakan heat. Tubuhnya sudah merasakan demam, panas dingin sejak ia bangun tidur. Keenata langsung menghubungi beberapa dosen, meminta izin untuk sementara tidak mengikuti kelas. Memberitahu Derija dan Amir jika ia akan menetap di rumahnya selama beberapa hari ke depan. Dua temannya akan datang beberapa jam sekali dalam sehari untuk menengoknya tetapi tidak akan ia biarkan masuk.
Omega heat akan menjadi sangat agresif jika sarangnya diusik. Keenata juga tidak mau wangi dari feromonnya tercampur dengan milik orang lain. Ia duduk di tengah tempat tidur, di dalam sarang yang ia buat. Tersenyum manis sekali, merasa puas dengan sarangnya.
Memang tidak ada bau alpha untuknya, hanya wangi dari feromonnya dan rasa hangat dari penghangat ruangan. Keenata sudah melalui heat sejak berumur tiga belas tahun sendirian. Membuat sarang nyaman yang sia-sia karena tidak ada alpha yang akan memuji kepiawaiannya. Terkadang Keenata ingin mendengar pujian tetapi merasa tidak mungkin karena ia terlalu malu dan takut untuk berhubungan dengan alpha.
Keenata melepaskan celananya, menaruh di tumpukan pakaian di sarang. Tubuh bergidik saat cairan bening mulai menetes keluar dari belakang. Keenata mengusapnya dengan tisu, agak malu meskipun sudah melalui fase ini berkali-kali.
Segelas air minum di lemari kecil sebelah kanan tempat tidur, ponsel di sisi kiri, ada toples camilan berserakan di lantai seandainya Keenata lapar sebelum Derija atau Amir datang membawa makanan. Anggukan mantap, ia merebahkan diri dan mulai menggesekkan pipi pada kain lembut selimutnya.
Segera, masa heat akan membuat seluruh tubuhnya sulit dikendalikan, panas, sakit, terlalu menginginkan sentuhan meski tak akan ada yang menyentuh selain kedua tangan Keenata sendiri.
Kelopak mata Keenata hampir menutup karena kantuk adalah fase pertama dalam heat seandainya tidak ada yang mengusik. Bunyi bel kamarnya sebanyak dua kali. Keenata memberengut, ia sudah mengatakan kepada Derija untuk mengunjunginya besok. Dengan tubuh yang pegal dan kedinginan, Keenata memaksa diri bangun, menapakkan kaki ke lantai penuh tisu+tisu dan karpet bulu.
Keenata membuka pintu, hanya sebesar celah kecil lima senti.
Bruk-
Tubuhnya jatuh seketika, menggigil, hampir merintih dengan napas tersengal-sengal, kantuknya hilang begitu saja. Cairan yang menetes keluar seperti ia mengompol, membasahi lantai kamar, membasahi pipi pantat.
Keenata terduduk lemas di depan pintu kamarnya yang terbuka. Ada sepatu boots hitam yang mendorong celah pintu semakin lebar.
"Well, kamu manis banget kalau lagi birahi."
Mata Keenata panas, memerah dan tangisnya berderai deras. Bahunya bergetar, kedua tangan gemetaran, tidak punya sedikitpun tenaga untuk menutup kembali pintu kamarnya. Wangi feromon yang ia cium meluruhkan kekuatannya, hampir menjatuhkan kepala dengan debam keras di lantai jika saja telapak tangan besar tidak menahan di punggungnya. Telapak tangan yang panas menembus baju piyama.
Keenata tatap dua mata yang melihatnya, tajam dan kejam. Bibirnya bergetar, takut dan kebingungan. Saat tubuhnya diangkat kedua lengan yang kokoh, Keenata melenguh, kepalanya bersandar pada bahu lebar, menggisik hidungnya pada bagian leher yang begitu wangi.
"Say please, nanti aku bantuin."
Keenata mendesah, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher dengan jakun besar yang terlihat naik-turun seiring wangi feromon Keenata semakin menyeruak keluar. Tubuhnya menggeliat, kakinya hanya disangga sebelah lengan. Jemari Keenata meremat punggung dari orang yang menggendongnya, dua detik pintu kamarnya kembali tertutup rapat.
"Anhh!" tangan Keenata cengkeram kuat pada punggung itu.
"Baru jempol yang masuk, masih ada empat jari yang nanti nyusul." bisik suara rendah membuat seluruh tubuhnya kembali lemas.
Yang Keenata tahu, ia sudah berbaring di sarangnya dengan seorang enigma berada di atasnya menyeringai menatap buas.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
