
Hansa tidak mengira kalau kejadiannya akan jadi seperti ini. Dia sama sekali tidak berekspektasi kalau Nimas akan mendatangi kantornya di saat dia sedang berjalan dengan Helena. Timing-nya sangat sempurna untuk membuat Nimas patah hati.
Bab 09
Nimas menghela napas panjang begitu kendaraannya telah berbelok dan memasuki kawasan gedung Ararya Holding. Nimas tahu kalau sikapnya ini salah. Bahkan sangat salah. Dia baru saja putus dengan kekasihnya puluhan menit yang lalu. Namun sekarang, ia sudah nekat mendatangi pria lain seperti wanita gila yang sedang kesurupan.
Lalu kalimat seperti apa yang akan Nimas katakan pada Hansa kalau mereka bertemu nanti? Hans, gue udah putus. Begitu?
Apakah dengan berkata demikian Hansa akan langsung tertawa bahagia lalu memeluknya dengan erat? Jelas tidak. Hansa pasti tetap marah kepadanya. Nimas menyadari kalau Hansa tidak akan menerimanya dengan mudah.
Ketika mobil yang ia kendarai baru akan memasuki area lobby, Nimas sudah dikejutkan akan kemunculan seorang pria tampan berambut pirang yang tengah menuruni tangga lobby bersama seorang gadis cantik yang cukup akrab dengan ingatannya. Helena Wijaya? Kenapa Hansa dengan wanita itu?
Memperlambat laju mobilnya, Nimas mengamati saat pria tampan itu berbincang santai dengan Helena. Ia juga menyaksikan saat Hansa terkekeh kecil sambil geleng-geleng kepala. Sementara Helena kelihatan mendengus kesal, yang tentunya tampak dibuat-buat, sebelum wanita itu memukul lengan Hansa dengan gerakan pelan. Pemandangan yang sebenarnya sangat biasa saja, namun nyatanya mampu mencabik-cabik hati Nimas.
Nimas kontan menarik napas lebih dalam, berusaha menghilangkan perasaan tidak nyaman yang membuat dadanya terasa sesak. Setelah beberapa kali tarikan napas, Nimas baru mengerti. Sekalipun dia menghabiskan pasokan oksigen di sekitarnya, perasaannya tidak akan membaik. Rasa sesak di dalam dadanya ini bukan karena dia kekurangan oksigen. Tapi karena dia cemburu. Dia sangat cemburu, sampai-sampai tanpa disadari air matanya sudah berjatuhan sehingga membuat wajahnya basah.
Saat melihat Helena memasuki mobil Hansa, Nimas bergumam tanpa sadar. "Hans..." sambil menggigit kuat-kuat bibirnya sendiri, hingga lidahnya mengecap rasa asin yang membuatnya sadar.
Secepat kilat, Nimas menarik selembar tisu dari tempatnya, kemudian menggunakan kertas itu untuk menyeka darah yang meleleh dari bibirnya. Nimas memang sering marah dan cemburu saat Dewa bersama Helena. Tapi dia tidak pernah merasa semarah ini, hingga tega menyakiti dirinya sendiri. Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang? Marah dan memaki Helena? Tidak. Nimas tidak bisa melakukan itu, karena dia tidak berhak.
Masih belum puas mendengar cerita-cerita menyakitkan yang diciptakan oleh kepalanya sendiri mengenai Hansa dan Helena. Nimas memilih mengikuti mobil sport berwarna hitam itu dalam jarak aman. Nimas tahu kalau Hansa dan Helena akan makan siang. Tapi dia tetap ingin tahu kemana tujuan mereka. Menu apa yang dipesan oleh Hansa. Dan obrolan seperti apa yang akan mereka bicarakan. Dia ingin tahu semuanya.
Menghabiskan waktu puluhan menit untuk menebak-nebak restoran tujuan mereka, Nimas menjerit dalam hati begitu menyaksikan mobil Hansa memasuki pelataran parkir restoran Wednesday. Padahal, Nimas baru saja dari tempat ini dan sempat mengenang kebersamaan mereka berdua. Tapi sekarang, Hansa malah mengajak perempuan lain untuk makan di tempat yang biasanya mereka datangi bersama.
Lalu kenapa kalau Hansa makan siang dengan perempuan lain selain dirinya? Bukankah selama ini dia juga sering makan bersama pria lain selain Hansa? Nimas bahkan berkencan dengan Dewa. Selama delapan bulan kalau dia lupa. Apa yang dilakukan oleh Hansa saat ini, belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan perbuatannya pada Hansa.
Usai menepikan mobilnya, Nimas mengamati Hansa dari bangku kemudi. Entah beruntung atau sial, tapi Hansa memilih tempat duduk di area outdoor sehingga Nimas masih bisa melihatnya dari jauh. Biarpun pemandangan itu tidak begitu jelas, hatinya sudah sakit sekali ketika melihat Hansa menarik kursi untuk wanita lain. Tapi sekali lagi, mengapa dia marah? Bukankah dia sendiri yang selalu menolak perasaan Hansa?
Sesaat setelah mereka duduk, Hansa berdiri dari kursinya karena Helena kelihatan mengenalkan Hansa pada seseorang. Waitress cantik yang sebelumnya sudah ditemui oleh Nimas. Akan tetapi, lupakan soal perkenalan singkat itu karena air mata Nimas mulai berjatuhan kembali saat ia menyaksikan Hansa memandangi Helena dengan tatapan lembut. Tatapan hangat yang dulunya hanya ditujukan untuk dirinya, ternyata sudah diberikan pada wanita lain.
Apakah Hansa salah? Tidak. Aku yang salah. Nimas yang meminta pria itu pergi dari hidupnya. Dialah yang sudah menyakiti Hansa sejak awal. Jadi, sesakit apapun perasaannya saat ini, dia tidak berhak meminta apapun dari Hansa.
Sambil mencengkeram kuat pahanya sendiri, Nimas tidak melepaskan pandangannya dari sosok Hansa yang mungkin tidak akan lagi peduli sekalipun dia keluar dari mobil itu dan muncul di sana. Dan sebelum perasaan sakit itu semakin menjadi-jadi, izinkan dia memastikan sesuatu yang sangat penting.
Dengan tangan yang gemetaran, Nimas meraih ponsel yang ia letakkan di sampingnya, kemudian menghubungi seseorang yang semoga saja bisa memahami posisinya.
Tut... Tut... Tut...
Di saat jam makan siang begini, biasanya Sara sedang sibuk-sibuknya. Namun tetap saja, Nimas sangat berharap Sara melihat panggilan darinya lalu mau meluangkan waktu untuk menjawab rasa penasarannya.
Tut... Tut...
"Halo, Ni?"
"Sara..." Belum apa-apa, Nimas sudah terisak pelan. Selain bodoh karena tidak menyadari perasaannya sendiri, Nimas juga tidak pandai menahan air mata.
"Nini? Lo nangis?"
"Iya." Nimas memilih mengaku, karena tidak mau kelihatan lebih bodoh lagi. "Gue mau tanya sesuatu, Ra."
"Soal Hansa?"
"Ra, sori... gue nggak bermaksud mengkhianati Dewa. Tapi gue bener-bener nggak ngerti sama perasaan gue sendiri, Ra."
"Chill out, Ni..." Sara terkekeh. "Dari dulu, dari sebelum lo ngaku suka sama Dewa atau pacaran sama Dewa pun, gue udah tahu lagi, kalau lo suka sama Hansa. Terus apa yang membuat lo sadar sama perasaan lo itu, Nini?" jawab Sara setengah menyindir.
"Gue lagi ngikutin Hansa."
"Hah?! Ngikutin gimana? Lo serius?"
"Gue nggak sengaja, Ra."
"Okey ... anggep gue percaya. Terus lo mau tanya apa?"
"Lo tahu nggak, siapa cewek yang mau dijodohin sama Hansa?"
"Tahu. Lo kenal kok."
Deg!
Jawaban singkat yang diberikan oleh Sara memberi efek remasan kuat di dalam dadanya. Rasanya sakit sekali. Rasanya seperti baru saja dihujani dengan ratusan busur panah hingga sekujur tubuhnya terasa ngilu.
"Sepupunya Mas Taksa dan Mas Daksa. Helena Wijaya, Ni. Temennya Dewa. Lo kenal, 'kan?"
Detik itu juga tangisan Nimas pecah. Ternyata, situasi rumit ini yang tidak bisa dijelaskan oleh Hansa kepadanya. Nama Helena, yang kerap kali Nimas sebut dan ia ceritakan pada Hansa sebagai wanita yang selalu berada di sekitar Dewa dan membuatnya cemburu. Ternyata justru akan menjadi calon istri Hansa. Malang sekali hidupnya. Dan semua kekacauan ini, bermula karena dirinya sendiri. Karena dia tidak bisa tegas pada perasaannya sendiri.
"Ni? Lo nggak pa-pa?"
Nimas menggeleng, sekalipun Sara tidak bisa melihatnya. Tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan perasaannya selain sakit dan hancur.
"Ni, gue ada di toko. Kalau lo nggak mau sendiri, lo boleh ke sini kok."
Sembari menyeka tangisannya, Nimas menjawab dengan susah payah. "Gue udah terlambat ya, Ra?"
"Belum." jawab Sara dengan suara tenang. "Apa pun masih bisa terjadi, Ni. Untuk sekarang, lo harus bicarakan masalah ini dengan baik-baik sama Dewa."
"Ra, sebenernya gue udah putus sama Dewa."
"Oh, udah putus ya? Cepet juga lo, nggak bingung-bingung lagi." cibir Sara dengan kekehan halus.
"Tapi inget ya, Ni. Apa yang udah lo lewatkan belum tentu bisa jadi milik lo lagi. Tapi gue berharap kalau keberuntungan gue melewatkan Saka, akan jadi keberuntungan lo juga."
"Dewa marah sama gue, Ra."
"Nggak pa-pa. Lo emang salah. Dan itu lebih baik daripada lo memaksakan semuanya. Berkacalah dari kesalahan gue, Ni."
"Hansa pasti maafin gue kan, Ra?"
"Kalau soal itu gue nggak tahu. Yang gue dengar, dia setuju menikah sama Helena."
"Gitu ya..."
Nimas menunduk, membiarkan tangisannya bercucuran makin deras. Sesiang ini saja, dia sudah dua kali menangis karena Hansa. Lalu bagaimana kelanjutan hidupnya nanti jika dia melihat Hansa menikah dengan wanita lain? Apa hari-harinya akan dia habiskan dengan tangis penyesalan?
♡♡♡
Hansa tidak mengira kalau kejadiannya akan jadi seperti ini. Dia sama sekali tidak berekspektasi kalau Nimas akan mendatangi kantornya di saat dia sedang berjalan dengan Helena. Timing-nya sangat sempurna untuk membuat Nimas patah hati.
Sejak meninggalkan kawasan gedung Ararya Holding, Hansa sudah tahu kalau Nimas sedang membuntuti mobilnya. Tapi anehnya, ia sama sekali tidak terganggu oleh tindakan gadis itu. Hansa justru senang, karena sepertinya Nimas sudah mulai menyadari betapa berarti kehadirannya.
Sepanjang perjalanan menuju restoran Wednesday, bibir Hansa juga tidak berhenti mengukir senyuman sumringah. Lantaran setiap kali ia memeriksa ke belakang, ia mendapati kalau sedan Maserati milik Nimas masih mengikutinya. Sepertinya, Nimas sudah mulai menyadari perasaannya sendiri.
Sesampainya di tempat tujuan, Hansa sengaja memilih tempat duduk di bagian luar. Dia juga sengaja memilih meja yang sekiranya masih bisa dilihat dari arah jalanan, supaya Nimas juga ikut merasakan, rasa sakit yang selalu Hansa rasakan setiap kali melihat Nimas bersama Dewa. Itupun kalau Nimas kesakitan.
Hansa tidak tahu mengapa dia bersikap begini. Namun ia juga tidak peduli sekalipun sikapnya ini dianggap seperti anak kecil. Selain ingin membuat Nimas menyesal, Hansa juga benar-benar ingin memperlihatkan pada Nimas bahwa hidupnya masih berjalan seperti biasanya tanpa wanita itu. Bahkan, lebih baik karena ada Helena di hadapannya.
"Kami bertiga sahabat, Hans. Gue, Jihan sama Isabella barusan. Lo udah pernah ketemu Jihan kan, Hans?"
Hansa mengangguk singkat. Mengamati dengan seksama saat wanita di hadapannya ini bercerita mengenai kehidupan persahabatannya. Meskipun pada saat bersamaan, Hansa merasa bersalah karena dia seolah-olah mendengar cerita Helena. Padahal, kepalanya tengah sibuk memikirkan wanita yang tengah memata-matai dirinya di dalam mobilnya.
Nini sayang, lo udah makan siang belum? Maaf ya, lo pasti nangis gara-gara gue. Maaaf, banget.
"Oh ya, Mas Taksa bilang kalau lo suka makan pasta. Bener, Hans?"
"Bener." Hansa mengangguk lagi.
Hansa berusaha mengatur ekspresi wajahnya, supaya terlihat fokus pada obrolan mereka. Akan tetapi, semakin lama dilihat dari jarak dekat seperti ini, Hansa baru benar-benar menyadari kalau Helena memang cantik. Wanita ini juga tidak terlihat canggung sekalipun baru kali ini mereka duduk berhadapan dan mengobrol seperti ini. Helena mengingatkan dirinya akan Nimas yang pandai mencairkan suasana.
Saat bersama Nimas, Hansa tidak pernah merasa bosan. Dia juga tidak akan khawatir kehabisan topik obrolan sekalipun mereka berdua duduk semalaman. Sayang sekali, wanita di hadapannya ini bukanlah Nimas. Dan wanita manapun, tidak akan pernah menjadi Nimas-nya.
Drrttt... Drrttt... Drrttt...
Usai merasakan getaran di bagian dadanya, Hansa mengeluarkan benda tersebut untuk memeriksa siapa yang menghubunginya. Tanpa pikir panjang, Hansa meminta izin pada Helena untuk menjawab panggilan telepon yang ternyata berasal dari salah satu sepupunya. Hansa pun beranjak dari kursi sambil menjawab panggilan telepon dari Raras.
"Ya, Ras?" sapanya, dan di saat ia melangkah menjauhi meja, Hansa sudah tidak melihat mobil milik Nimas lagi. Seperti dugaan, Nimas tidak akan bertahan lama di sana.
"Lo lagi jalan sama Helena ya, Hans?"
"Hm." Hansa mengangguk. "Nini ngomong apa?"
"Wah, wah... jadi lo tahu kalau Nini lagi ngikutin kalian berdua?"
"Tahu." Hansa terkekeh kecil. "Terus lo bilang apa ke dia?"
"Pagi tadi sih, gue marahin Nini. Dan—"
"Kenapa lo marahin dia, Ras?!" sentak Hansa sedikit tidak terima.
"Lo gimana sih, Hans? Bukannya lo sendiri yang minta supaya kami semua akting di depan Nini? Tapi jujur aja, waktu marah tadi gue gak lagi akting sih." Raras tergelak pelan.
"Gue emang kesel karena Nini nggak tegas sama perasaannya sendiri. Enak aja dia mau dua-duanya! Gue gak terima lah! Masa adek gue mau dijadiin opsi. Kalau mau sama pacarnya ya udah, nggak usah cari-cari elo lagi!"
Hansa meringis getir mendengar ocehan Raras yang tidak salah. Namun tetap saja, dia tidak mau kalau Nimas dimusuhi oleh orang-orang yang ia sayangi. Terutama Raras. Tapi sekali lagi, dia sendiri yang sudah mengikutsertakan keluarganya.
"Iya. Iyaa. Makasih." ucap Hansa.
"Barusan aja Sara telepon gue. Katanya Nini nangis-nangis dan sekarang lagi ngikutin elo bareng Helena. Dia masih di sana?"
"Udah enggak, Ras." Hansa mengedarkan pandangan, namun tidak melihat keberadaan Nimas dari arah manapun.
"Tapi dia baik-baik aja kan, Ras?"
"Sepertinya sih baik."
Hansa mengangguk-angguk, tidak menemukan kalimat yang tepat untuk mengekspresikan perasaannya saat ini. Dia senang karena akhirnya Nimas menyadari kalau mereka memiliki perasaan yang sama. Tapi di sisi lain, dia juga sedih mendengar Nimas menangis karena dirinya. Apalagi Raras sudah memarahi wanita itu. Nimas pasti sedang tidak baik-baik saja.
"Hans,"
"Hm?"
"Kali ini lo nggak boleh setengah-setengah lagi. Anggap aja ini pertempuran terakhir lo dengan Nini. Dan gue nggak mau lo kalah."
Hansa menarik dan menghembuskan napasnya secara perlahan, sebelum menjawab. "Gue sayang Nini, Ras."
"Gue tahu..." Raras mendesah frustrasi.
"Gue tahu kalau elo sayang Nini, Hansa. Karena itu, untuk kali ini lo nggak boleh bersikap manis lagi. Nini harus bener-bener sadar gimana hidupnya tanpa elo. Dan kalau pada akhirnya nanti dia nggak memilih elo, gue harap lo bisa berbesar hati terima keputusan dia."
"Tentu." Hansa mengangguk dengan helaan napas pendek. "Gue udah terima konsekuensinya dari awal kok."
"Hans, gue juga sayang elo."
Hansa terkekeh mendengar ucapan Raras. Sangat jarang sekali terjadi seorang Raras Lalita Danapati mengungkapkan rasa sayang padanya seperti barusan. Itu artinya, Raras betul-betul sedang serius dengan ucapannya.
"Gue dan kami semua berharap lo menemukan yang terbaik, Hans."
"I can't thank you enough, Princess."
"You shouldn't have, Hans. Selama gue bisa, gue akan bantu elo. Kami semua yang selama ini tahu dan melihat betapa besar perasaan elo terhadap Nini, mendukung tindakan lo sekarang. Elo nggak salah kok."
Hansa menggut-manggut bersama senyuman lembut serta tarikan napas lega. Mendadak, dadanya kembali dibuat sesak setelah mendengar ucapan Raras. Saudaranya saja bisa melihat dan mengetahui betapa besar perasaan yang ia miliki untuk Nimas. Sepertinya tidak masalah kalau sekarang ini adalah gilirannya untuk beristirahat, dan membiarkan Nimas mengambil perannya untuk sementara waktu.
"Nanti kalau ada apa-apa, gue kabari lagi, Hans. Bye..."
"Bye, Raras."
-tut-
Selesai berbicara dengan Raras, Hansa berbalik, kemudian mengayunkan langkah menghampiri sosok cantik yang tengah menunggu kedatangannya. Sambil menyunggingkan senyum kecil, Hansa kembali duduk di hadapan Helena.
"Sori, kita tadi sampai mana ya?" tanya Hansa.
Helena meringis sambil menggeleng pelan. "Nggak tahu. Gue juga lupa." lalu terkekeh dan membiarkan Hansa membolak-balikan buku menu di hadapannya.
Sesungguhnya, Helena tidak lupa. Dia masih mengingat apa saja yang sudah ia ceritakan pada Hansa. Dan masih menyimpan ratusan pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Hansa.
Tapi apa boleh buat? Suasana hatinya sudah kacau. Perasaan berdebar-debar itu memang masih ada. Meskipun sekarang diiringi dengan perasaan tidak nyaman dan sedikit kecewa setelah mendengar Hansa mengakui rasa sayangnya pada wanita lain.
Biarpun senang dan berbunga-bunga, Helena akan terus mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia tidak boleh hilang kendali. Dia harus ingat pesan yang diucapkan oleh Hansa sebelumnya, bahwa mereka hanya makan siang bersama. Tidak lebih. Dia tidak boleh termakan oleh rayuan bayang-bayang dan imajinasinya sendiri. Cukup ingat saja bahwa Hansa sudah mencintai wanita lain.
Bab 10
Nimas yang berbaring terlentang di atas tempat tidur, membalikkan badan dan menenggelamkan tangisannya di atas bantal. Entah sudah berapa kali dia mencoba menghapus ingatan yang tersimpan secara otomatis di memori kepalanya ini.
Namun sialnya, semakin Nimas berusaha melupakan kejadian manis yang ia saksikan sebelumnya, ingatan itu semakin datang dan menyerangnya.
Ditambah lagi, setiap kali ingatan itu muncul kembali, dadanya akan terasa semakin sakit dan tersiksa. Sumpah demi apapun, Nimas sungguh tidak rela melihat Hansa tersenyum pada wanita lain.
Keegoisannya inilah yang membuat Nimas semakin merasa bersalah. Sekarang ia jadi mengerti bagaimana perasaan yang dirasakan oleh Hansa setiap kali melihatnya bersama dengan Dewa. Rasanya sangat sakit. Sakit sekali.
Nimas mengerti. Selama ini Hansa sudah bersikap terlalu baik dan terlalu sabar kepadanya. Wajar bila pria itu sudah kehabisan kesabaran menghadapinya. Nimas juga tidak akan memprotes ataupun menyalahkan Hansa yang sudah membenci dan mengabaikannya seperti ini. Dia memang pantas diperlakukan begini. Tapi benarkah Hansa mau menikah dengan wanita lain?
Helena Wijaya memang cantik. Jauh lebih cantik daripada dirinya. Gadis itu berperawakan mungil. Kulitnya putih dan bersih, seolah-olah mandi dengan air susu setiap hari. Rambutnya panjang dan berwarna hitam pekat. Karena masih memiliki hubungan darah dengan keluarga Wijaya, Helena juga mirip dengan Bude Dara sewaktu muda.
Selain kalah dari segi penampilan, Helena juga punya pekerjaan sendiri. Gadis itu punya profesi yang bisa dibanggakan. Sementara dirinya? Tidak ada. Nimas tidak memiliki keahlian apa pun selain hanya mengandalkan warisan orangtuanya. Butik furniture di beberapa mal dan memiliki tokonya sendiri. Showroom supercar. Lalu butik pakaian wanita dan sport station. Ditambah beberapa toko elektronik, serta bisnis di bidang IT dan travel agent. Semuanya Nimas dapatkan secara cuma-cuma. Gratis, tanpa perlu usaha. Itu pun, sudah ada yang menjalankannya.
Mau dipikir berapa kali pun, dia memang tidak bisa dan tidak pantas bila dibandingkan dengan Helena Wijaya yang bisa menangani proyek-proyek besar milik Ararya Holding.
Drrttt... Drrttt... Drrttt...
Masih dalam posisi berbaring, Nimas menjulurkan tangan untuk meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas samping tempat tidurnya. Tangisannya terhenti sesaat setelah melihat nama Dewandaru tampak di layar ponselnya. Kenapa Dewa menghubunginya? Bukankah hubungan mereka sudah berakhir siang tadi.
Tak ingin memberi kesan buruk pada perpisahan mereka, Nimas tidak punya alasan lain untuk mengabaikan panggilan tersebut. Tanpa berusaha menyembunyikan kesedihannya—karena ia yakin kalau Dewa juga tidak akan peduli—Nimas menjawab panggilan tersebut.
"Halo?" sapanya dengan suara parau.
"Kamu tidur?"
"Belum." singkatnya tanpa berniat bangun atau bergerak dari tempat tidur.
"Aku di depan. Kamu bisa keluar sebentar."
Nimas sontak bangkit dari posisi tidurnya, lalu menjawab dengan nada setengah berteriak. "Depan rumahku?!"
"Iya. Ada yang perlu aku sampaikan ke kamu. Bisa, Ni?"
Nimas menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, mencoba menebak kira-kira masalah apa yang membuat seorang Dewandaru yang super sibuk mau mendatangi rumahnya tanpa ia minta. Tapi karena Nimas malas memikirkan hal-hal yang rumit, ia pun menjawab.
"... bisa."
"Aku tunggu."
Lalu menggigit bibirnya cemas. "... iya."
-tut-
Selesai memutuskan sambungan telepon mereka, Nimas beringsut turun dari tempat tidur secara perlahan. Sebelum benar-benar beranjak dari sana, Nimas mengamati ponselnya selama beberapa saat. Yang ia tahu, Dewandaru Putra Arimba bukanlah jenis pria yang suka membuat kejutan seperti ini.
Selama mereka berpacaran, Dewa juga tidak akan datang kalau bukan dia yang meminta. Bila Dewa benar-benar ingin bertemu dengannya, Dewa selalu menghubunginya lebih dulu untuk memastikan keberadaannya dan belum pernah muncul secara tiba-tiba di depan rumahnya seperti ini.
Namun Nimas yakin seratus persen kalau Dewa tidak mungkin datang untuk membatalkan perpisahan mereka. Lalu kenapa pria yang selalu beralasan sibuk itu tiba-tiba mengunjunginya?
Nimas yang sudah mengenakan piyama, malas untuk berganti pakaian lain. Beranjak dari tempat tidur, ia hanya menyahut jaket yang tergeletak di sofa dekat tempat tidurnya untuk menutupi penampilannya yang berantakan. Sambil memeriksa tampangnya yang kelihatan menyedihkan, tak lupa ia merapikan rambutnya yang acak-acakan.
Sungguh, belum pernah sekalipun dia berpenampilan seperti ini di depan Dewa. Namun anehnya, untuk malam itu ia tidak mau terlihat cantik di hadapan Dewa. Bahkan, jauh di dalam lubuk hatinya, Nimas berharap kalau Dewa akan ilfeel setelah melihatnya, lalu membatalkan semua niatnya.
Setelah dirasa cukup pantas, Nimas keluar dari kamar tidurnya dengan langkah malas. Sebelum-sebelumnya, jika mendengar Dewa sudah di depan rumahnya, Nimas pasti sudah berlari tanpa mempedulikan kemungkinan besar terjatuh dari tangga. Namun kali ini, Nimas menuruni anak tangga dengan kecepatan yang amat pelan. Entahlah, dia hanya tidak ingin bertemu dengan Dewa lagi.
Sampai di depan pintu, gadis itu menarik napas dalam-dalam. Sebisa mungkin, ia ingin terlihat tenang dan tidak terlihat sedang menangisi perpisahan mereka. Meski pada kenyataannya, Nimas memang menangisi pria lain, bukan Dewa. Nimas bukan mau membohongi perasaannya lagi. Ia hanya tak mau Dewa mengetahui kenyataan itu karena tidak ingin Dewa memusuhi Hansa karena kesalahannya.
Usai merasa cukup tenang dan baik-baik saja, tangan Nimas bergerak memutar daun pintu di hadapannya, kemudian mendorong pintu tersebut secara perlahan. Pada detik yang sama, Nimas mendapati seorang pria tampan sudah berdiri di hadapannya sambil memamerkan senyum kecil. Senyuman yang kemarin-kemarin masih menghangatkan hatinya, kini tidak dapat mempengaruhi apa pun dalam tubuhnya. Sedikitpun, tidak. Apalagi setelah pria ini mengaku berpacaran dengannya hanya karena kasihan. Dia benci sekali dengan Dewa.
"Kamu nangis?"
Tak ingin terlihat bodoh karena mencoba berbohong, Nimas pun mengangguk. Ia juga ingin sekali mengaku pada Dewa kalau sejak siang tadi, dia tidak berhenti menangisi Hansa. Sayangnya, dia masih waras.
Nimas yang ia kenal, biasanya paling suka berdandan dan mengenakan hal apa pun untuk membuatnya terkesan dan menarik perhatiannya. Bahkan siang tadi, Nimas masih ingin terlihat cantik di hadapannya. Namun Nimas yang ada di hadapannya saat ini kelihatan ogah-ogahan bertemu dengannya.
Namun ada hal baru yang membuat kekesalan Dewa semakin memuncak. Dewa merasa pernah melihat jaket yang dikenakan oleh mantan kekasihnya ini. Kalau tidak salah, sekitar dua bulan yang lalu. Ketika ia tidak sengaja melihat Hansa di salah satu golf club. Dewa harus menemui seorang klien, sementara pria itu sedang bermain dengan salah satu saudaranya. Hidup lebih nyaman dan memiliki segala hal yang tidak dimiliki oleh orang lain, ternyata belum membuat Hansa merasa puas.
Seharian ini, Dewa sudah berusaha mati-matian menahan amarah karena harus mendengar omong kosong Helena yang dengan bahagianya menyombongkan bahwa dia telah menghabiskan jam makan siangnya bersama Hansa. Tapi begitu melihat Nimas, semua emosi yang berhasil ia tahan itu kembali mencuat ke permukaan.
Dewa tidak terima karena Nimas memutuskan hubungan mereka begitu saja, setelah mengabaikan dirinya selama satu minggu terakhir. Dan sekarang, dia masih harus berpura-pura tidak tahu bahwa mantan kekasihnya ini sedang menangisi pria itu.
Tidak. Dewa menghela napas pendek. Hansa memang boleh memiliki segala hal yang tidak ia miliki. Tapi Dewa tidak akan menyerahkan Nimas begitu saja. Mulai sekarang, ia harus lebih memperhatikan Nimas supaya gadis ini tidak punya waktu untuk memikirkan pria lain.
Sebelum ia kehilangan keduanya, Dewa lantas melangkah mendekat. Setelah sampai di hadapan Nimas, Dewa sedikit membungkuk, bersama tangannya yang tergerak menuju wajah Nimas berniat membelai sang mantan kekasih, sembari berkata. "Soal obrolan kita siang tadi, apa aku boleh mengajukan keberatan?"
Saat melihat gerakan tangan Dewa yang menghampirinya, Tanpa sadar, Nimas menepis pelan tangan Dewa yang berniat menyentuh wajahnya. Nimas pun baru menyadari kalau selama mereka berpacaran, Dewa jarang sekali mau melakukan kontak fisik dengannya.
Dewa hanya memeluknya, memegang tangannya dan bahkan mencium keningnya di saat mereka sedang bertengkar atau di saat dia dalam keadaan marah. Dan sepertinya, pria ini masih menganggap kalau sentuhannya akan selalu berhasil memenangkan hatinya.
Sayang, Dewa tidak tahu saja kalau pada malam itu, Nimas malah merindukan sentuhan lembut serta tatapan hangat dari pria lain. Pria berambut pirang yang mungkin saja tengah bersenang-senang dengan calon istrinya.
Dewa termangu bersama gerakan tangannya yang terhenti usai mendapat penolakan dari Nimas. Jujur saja, ia cukup terkejut karena sentuhannya tidak mampu mengambil hati Nimas lagi. Kalau sudah begini, sepertinya Dewa benar-benar harus mengambil tindakan.
Dewa memang tidak bisa melakukan apa pun pada bagian Helena. Namun Dewa jelas tidak mau kalau Hansa juga mengalahkannya pada di bagian Nimas. Jadi dia harus melakukan apa supaya wanita ini tidak lepas dari genggaman tangannya?
"Kamu mau kita balikan?" cetus Nimas tanpa basa-basi.
"Aku gak dipersilakan masuk?"
Dengan berat hati, Nimas menggeser tubuhnya, memberi sedikit ruang supaya Dewa bisa masuk ke dalam rumahnya. Begitu Dewa melangkah masuk, Nimas pun menutup pintu rumahnya, kemudian mengikuti Dewa yang bergerak menuju sofa di ruang tamu.
Nimas tidak mengerti apa yang salah. Namun dia merasakan ada sesuatu yang aneh dari Dewa. Punggung pria itu terlihat menegang. Sementara kedua tangannya mengepal kuat bersama rahangnya yang mengeras, seolah-olah sedang menahan amarah. Apa Dewa sudah mendengar sesuatu mengenai dirinya dan Hansa?
Tanpa dipersilakan lebih dulu, Dewa menaruh pantatnya pada sofa. Nimas yang tiba-tiba saja merasakan adanya ancaman di tatapan mata Dewa, memilih tidak bergerak dari tempatnya. Namun ia tak punya pilihan setelah melihat Dewa menatap ke arahnya sambil berkata.
"Ni, ngapain kamu berdiri di situ?" kemudian menepuk sofa di sampingnya. "Duduk sini."
Nimas mendesah pendek, lalu melangkah menghampiri Dewa. Sambil memeluk dirinya sendiri, Nimas pun menaruh pantatnya di samping Dewa yang tidak melepaskan pandangan dari wajahnya.
"Aku nggak bisa sama kamu lagi." kata Nimas tanpa basa-basi.
Sebelum menjawab, Dewa menyeringai kecil. Sejak pertengkaran mereka tempo hari, Dewa tidak bisa melupakan semua kata-kata pedas yang diucapkan gadis ini untuk menghinanya. Ditambah lagi, Dewa harus menyaksikan ketika Nimas yang pada saat itu masih menjadi kekasihnya, lebih memilih menyeret pria lain masuk ke dalam rumahnya, sementara dia ditinggalkan begitu saja.
Semenjak malam itu, Dewa juga sudah tidak merasakan hal apa pun selain kebencian dan rasa ingin menghancurkan wanita ini. Tapi karena dia masih waras, Dewa akan berusaha menahan diri untuk tidak melakukan hal apa pun yang bisa merugikan dirinya.
"Aku ngerasa udah semingguan ini kamu mengabaikan aku. Apa aku boleh tahu alasan kenapa kita putus?"
Nimas menggeleng tipis. "Nggak ada alasan. Aku cuma masih kesel aja sama kamu."
"Oh ya?" Dewa terkekeh halus. "Nggak biasanya kamu bersikap kayak gini."
"Aku udah nggak mau bersikap kayak biasanya lagi. Aku yang biasanya, selalu disepelekan sama kamu. Karena kamu tahu kalau aku suka kamu, kamu jadi bersikap semena-mena. Aku dengar itu dengan telingaku sendiri, Dewa. Kamu lupa? Siang tadi kamu ngomong sendiri kalau alasan kita pacaran itu cuma karena kamu kasihan. Apa aku salah dengar?" jawab Nimas dengan lugas tanpa ada sedikit pun perasaan ragu.
"Jadi kamu nangis karena kita putus?"
Nimas terpaku bisu. Ia mulai kesulitan menarik napas seperti biasanya ketika ditatap tajam seperti ini oleh Dewa. Nimas ingin berbohong dengan menjawab iya. Tapi di sisi lain, ia bisa merasa kalau Dewa sudah mengetahui alasan di balik tangisannya. Jadi daripada menjawab lalu membuat kesalahan lain, Nimas memilih tetap diam.
"Kenapa nggak jawab?" Dewa mendekatkan tubuhnya ke arah Nimas. "Apa kamu nangis seharian ini karena Hansa?"
Nimas menggeleng cepat. "Buk—"
"Bullshit!!" bentak Dewa sebelum Nimas menyelesaikan kalimatnya.
Dengan manik mata yang menyalak-nyalak penuh amarah, Dewa mengunakan tangan kirinya untuk menggenggam kuat tangan kanan Nimas, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk mencengkeram rahang Nimas.
"Kamu mau membodohi aku?"
Nimas menggeleng bersama air matanya yang kembali berjatuhan. Meski sekujur tubuhnya menegang ketakutan dan membuatnya kesulitan bergerak, Nimas tetap berusaha menggunakan semua tenaga yang ia miliki untuk melepaskan dirinya dari cengkeraman Dewa.
Namun karena perbedaan ukuran tubuh serta tenaga yang mereka miliki, semua usahanya sia-sia sehingga tangan Dewa tidak bergerak satu inci pun dari tubuhnya. Nimas sama sekali tidak menyangka kalau Dewa yang selama ini bersikap lembut terhadapnya, ternyata memiliki sisi kejam dan kasar seperti ini.
"Mulut kamu bisa bilang enggak, tapi mata kamu berbinar-binar setiap kali aku sebut nama Hansa. Kamu suka dia, Ni?" tanya Dewa masih dengan tatapan mata gelap akan amarah.
Nimas yang sudah sangat ketakutan, memejamkan matanya sambil berusaha mendorong Dewa yang sudah mengukung tubuhnya.
"Kamu suka Hansa, tapi kamu mau aku jadi pacarmu. Apa itu bukan membodohi, Ni?"
Nimas menggeleng lagi, masih berusaha melarikan diri dari kekuasaan tangan Dewa. Mulutnya ingin berteriak minta tolong pada Umar yang mungkin sedang menonton acara dangdut di pos-nya. Tapi jangan berteriak, membuka mulut saja dia tidak bisa.
Wajahnya dicengkram dengan kuat dan rasanya sakit sekali. Sementara kedua pergelangan tangannya sudah digenggam erat sampai-sampai Nimas bisa merasakan kebas di setiap ujung jemarinya.
Dewa yang tadinya hanya berniat untuk berbicara, kehilangan akal dan kesadarannya karena Nimas masih terlihat menyepelekan dirinya. Perempuan kaya raya yang hidup enak seperti Nimas ini memang harus diberi pelajaran. Dan pelajaran yang bisa Dewa lakukan adalah menghukum supaya wanita ini tidak bisa lepas darinya. Supaya gadis ini merasa rendah, serendah-rendahnya hingga tidak sanggup lagi untuk menatap wajah pria lain. Terutama wajah Hansa Atmajaya Danapati.
Maka saat itu juga, Dewa memaksa tubuh Nimas untuk berbaring. Bersamaan dengan itu, tangannya yang semula mencengkeram wajah Nimas supaya gadis itu tidak bisa berteriak, berganti memegang kedua tangan Nimas supaya tidak bisa kabur darinya. Suara teriakan Nimas pun berhasil Dewa gagalkan dengan lumatan kasar yang menuntut. Bahkan, Dewa tak ragu-ragu untuk menggigit bibir Nimas agar wanita itu berhenti memberontak.
Nimas masih berusaha meronta dan mendorong Dewa yang sudah berada di atas tubuhnya. Matanya terpejam kuat bersama tangisannya yang pecah. Mulutnya dibungkam dengan tangan, sementara lehernya dihisap keras dan digigiti oleh Dewa yang sepertinya sengaja meninggalkan jejak di sana.
Semua usaha yang dilakukan Nimas itu tidak berguna karena Dewa telah menguasai dan mulai menggerayangi seluruh tubuhnya, hingga yang dapat dilakukan Nimas saat ini hanya berdoa dan berharap Tuhan mau menyadarkan Dewa kalau tindakannya saat ini benar-benar salah.
"Ni, selama Papa pergi, kamu harus jaga diri baik-baik ya."
"Nimas, inget ya, kamu harus jaga diri. Mama yakin, kamu pasti tahu apa yang baik dan enggak baik buat kamu. Mama percaya kamu, Ni."
"Lo boleh pacaran sama siapapun. Asal lo bisa jaga diri, karena gue sayang elo, Nini..."
Kesadaran Nimas kembali usai mendengar perkataan orangtuanya serta ucapan Hansa. Nimas juga membayangkan bagaimana kekecewaan dan kesedihan yang akan mereka rasakan jika dia pasrah saja diperlakukan seperti ini oleh Dewa.
Maka di saat Dewa sedang berkonsentrasi untuk membuka jaket serta piyama yang ia kenakan, Nimas menendang pangkal paha Dewa sekuat-kuatnya hingga pria itu terpental jatuh sambil mengaduh dan meringis kesakitan. Saat itu juga, Nimas segera berlari menjauhi Dewa sambil berteriak meminta tolong.
"TOLONG!!"
"PAK UMAR TOLONG!!"
Tendangan Nimas berhasil menghapus semua amarah, emosi, gairah serta dendam yang hampir saja membuatnya melakukan kesalahan. Tidak. Bukan hanya hampir. Tapi Dewa sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal, sehingga wanita ini menangis ketakutan sambil berlari menjauhinya.
Bodoh! Seharusnya dia bisa mengendalikan emosi. Bukan kejadian seperti ini yang dia inginkan. Dia tidak boleh melakukan hal seperti ini pada Nimas atau siapa pun. Dia bukan bajingan yang akan menghancurkan hidup seorang gadis. Dewa pun beranjak dari lantai, menyusul Nimas yang sudah menaiki beberapa anak tangga.
"Ni,"
Plak!
Dewa hanya tertunduk setelah merasakan tamparan yang amat kuat di wajahnya. Ia bahkan hampir terjatuh saat Nimas menendang kuat tubuhnya.
"KELUAR!!!" Teriaknya dengan suara serta tatapan mata yang bergetar.
"Ni, sori aku nggak bermaksud—"
"KELUAR BAJINGAN!!"
"Nimas—"
"TOLONG!!"
"PAK UMAR TOLONG!!"
"Ni, aku bener-bener nggak sengaja." ucap Dewa penuh sesal.
"Aku nggak mau ketemu kamu lagi." katanya sebelum berlari menaiki belasan anak tangga menuju kamar tidurnya.
Pada saat yang sama, Umar baru saja muncul dengan sedikit tergopoh-gopoh. Ketika ia hanya mendapati sosok Dewa, ia pun mengabaikan pria itu dan berlari cepat menaiki anak tangga menuju kamar sang Nona Muda.
Karena tahu kalau kesalahannya tidak termaafkan, Dewa pun memilih pergi sebelum diusir oleh Umar. Sementara Nimas yang sudah sampai di dalam kamar tidurnya, segera menjelaskan kejadian yang ia alami pada Umar, dan mengurangi beberapa bagian dari kejadian yang sebenarnya.
"Non sungguhan nggak pa-pa?"
Nimas mengangguk kecil. "Iya, Pak." lalu mengusap air matanya menggunakan lengannya, karena takut kalau Umar akan melihat luka bekas dari cengkeraman tangan Dewa di pergelangan tangannya. Meskipun hal itu sia-sia saja karena Umar melihat jelas bercak kemerahan di leher Nimas.
"Bapak tolong jangan bilang ke Mama dan Papa ya. Saya nggak mau mereka khawatir. Dan satu lagi, saya dan Dewa sudah putus. Tolong bapak sampaikan ke lainnya, supaya Dewa nggak bisa masuk ke rumah ini lagi."
"Baik, Non." Umar mengangguk patuh.
Setelah Nimas menutup pintu kamarnya, gadis yang masih gemetaran itu terjatuh di lantai bersama tangisannya yang pecah. Nimas sama sekali tidak mengira kalau cerita di antara mereka akan berakhir karena Dewa melecehkannya.
Dari pintu, Nimas merangkak kemudian bangun tergesa-gesa untuk mengambil ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Masih dengan tangannya yang gemetaran, Nimas mencari kontak seseorang yang pastinya akan membalaskan semua rasa sakit yang ia rasakan barusan.
HANSA🍀 dengan huruf kapital yang ia tambah dengan emoji daun semanggi berhelai empat. Sebab, bisa mengenal Hansa adalah keberuntungan terbesar dalam hidupnya. Tentunya setelah terlahir sebagai anak Matthew Alexander Herveyn dan Raden Roro Sekar Putri Kinasih.
Nimas sempat lupa dan berpikir kalau Hansa akan selalu di sampingnya. Sayang, keberuntungannya memiliki Hansa sudah berakhir sejak minggu lalu. Dan ia teringat kembali setelah mendengar pesan otomatis yang menjawab panggilannya. Malam itu, Nimas tak punya pilihan lain selain menangisi nasibnya sendirian.
Bersambung...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
