
Kekosongan dan kehampaan yang dirasakan oleh Kayana saat ini terjadi bukan tanpa alasan. Pasalnya, dari semua anak, menantu dan para cucu yang hadir pada malam itu, seseorang yang paling Kayana harapkan dan ia tunggu-tunggu kedatangannya justru tak kunjung muncul sekalipun malam sudah hampir berlalu.
Cucu kesayangannya yang tampan, yang memiliki sepasang mata tajam bak seekor burung pemangsa tetapi berhati amat lembut. Cucu bungsunya, yaitu Parama Daksa Danadipa.

Sepasang netra sepuh berbingkai kacamata guna menunjang indera pengelihatan itu, secara perlahan mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling, tepatnya ke arah para putra, menantu serta cucu-cucunya asyik bercengkrama di ruang duduk kediamannya.
Tak terasa menyenangkan seperti acara makan malam yang rutin diagendakan oleh keluarganya, pada malam malam itu, Kayana Adhigana justru merasa sedih ketika melihat anggota keluarganya berkumpul.
Kekosongan dan kehampaan yang dirasakan oleh Kayana saat ini terjadi bukan tanpa alasan. Pasalnya, dari semua anak, menantu dan para cucu yang hadir pada malam itu, seseorang yang paling Kayana harapkan dan ia tunggu-tunggu kedatangannya justru tak kunjung muncul sekalipun malam sudah hampir berlalu.
Cucu kesayangannya yang tampan, yang memiliki sepasang mata tajam bak seekor burung pemangsa tetapi berhati amat lembut. Cucu bungsunya, yaitu Parama Daksa Danadipa.
Karena suatu alasan yang menurutnya sangat menyedihkan, sudah lebih dari dua tahun ini Daksa memilih tinggal di Bali. Tetapi meski sudah menetap di sana, biarpun tidak sering, Daksa masih menyempatkan waktu untuk mengunjunginya jika pria muda itu memiliki urusan yang menyangkut pekerjaan di Jakarta.
Sekalipun ia menyayangkan keputusan Daksa yang memilih menjauh dari Jakarta, namun Kayana amat memahami mengapa keluarga sudah tak menjadi prioritas utama bagi cucu kesayangannya tersebut.
Akan tetapi, yang lebih membuat Kayana marah adalah ketidakpedulian dari anggota keluarganya. Bagaimana mungkin, tidak ada satu pun di antara mereka yang merasa kehilangan atas ketidakhadiran Daksa.
Benar saja. Setelah dia perhatikan dengan seksama, anak-cucunya tampak sibuk dan bersenang-senang dengan pasangan mereka. Semuanya terlihat baik-baik saja tanpa kehadiran Daksa.
Bagaimana tidak baik? Mereka sudah punya pasangan dan telah membangun keluarga kecil milik mereka sendiri. Mana mungkin mereka memiliki waktu untuk memikirkan pilihan hidup Daksa.
Membayangkan bagaimana kesepiannya Daksa yang tetap bersikukuh untuk tidak menikah dengan perempuan manapun, membuat wanita tua itu membuang napas kasar.
Kalau saja para menantunya tidak mencampuri kehidupan cinta Daksa, maka cucu kesayangannya tidak akan mengalami kemalangan seperti ini. Daksa pasti sudah menikah dan mungkin telah memiliki anak seperti saudaranya yang lain.
Semua ini gara-gara Dara yang tidak becus menjadi ibu. Marah sekali Kayana bila mengingat cucu kesayangannya yang berhati lembut itu, dipaksa harus memilih antara wanita yang ia cintai dan ibunya.
Dasar ibu egois!
Lantaran sudah tak dapat menahan rasa jengkel yang bergejolak dalam dadanya, Kayana beranjak bangun dari tempat duduk, berniat meninggalkan ruangan tersebut.
Sayangnya, niat Kayana menjauhi keramaian agar dia bisa menenangkan diri itu keburu disadari oleh sang suami yang duduk di sebelahnya.
Wanita baya itu pun menengok ke arah sang pria tua yang tengah memandangnya dengan hangat, bersama jemari yang sudah melingkari pergelangan tangannya.
"Mau ke mana, Kay?" tanya Raja dengan tatapan teduh.
Mendengar pertanyaan bernada penuh perhatian yang dilontarkan oleh sang suami, membuat Kayana menyunggingkan senyum kecil. Rasa-rasanya, ia tidak akan bisa meninggal dengan tenang sebelum menyaksikan Daksa menatap lembut seorang wanita sebagaimana Raja memandangnya saat ini.
Lalu setelah memikirkan bahwa keinginannya itu tidak akan bisa terwujud, muncul rasa nyeri yang amat kuat di dalam rongga dadanya.
Cucuku yang malang. Nenek harus melakukan apa agar bisa membantu kamu?
Kayana mengetahui dengan pasti bahwa Rajata Arya Danadipa sangat mencintai dirinya dan akan melakukan apa pun untuk kebahagiaannya. Oleh sebab itu, Kayana percaya jika keputusan apa pun yang ia ambil pasti akan mendapat dukungan sang suami.
"Mas, bisa tolong panggilkan pengacara kita sekarang juga?" Kayana tampak memohon pada sepasang mata jernih yang memandangnya dengan hangat.
"Pengacara?" Raja berseru setengah terkejut mendengar permintaan sang istri yang menurutnya cukup aneh.
Sesuai yang diperkirakan oleh Kayana, seruan tidak nyaring yang terlontar dari bibir sang suami telah berhasil menarik perhatian seluruh anggota keluarga Ararya.
Dalam sekejap saja, suasana penuh keceriaan dengan kesan bising itu telah berubah menjadi tenang. Dalam kebisuan, mereka semua tampak menunggu jawaban darinya, sama seperti yang dilakukan oleh Raja.
Lampu sorot telah mengarah padanya. Karena semua orang sedang memperhatikan dirinya, Kayana tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memuntahkan segala unek-unek yang sudah ia tahan sejak lama.
"Iya, Mas. Pengacara." Kayana mengangguk ringan. "Aku merasa kalau waktuku bersama kamu sudah tidak lama lagi."
Sorot mata sang pria tua yang tadinya tampak tenang itu, seketika berubah panik usai mendengar jawaban sang istri. "Kay, jangan bicara begitu." pintanya setengah memohon.
Belakangan ini, Kayana memang cukup sering membicarakan tentang waktu dan kematian. Kesehatan Kayana juga semakin menurun seiring dengan berkurangnya waktu kunjungan Daksa ke kediaman mereka. Menurut dokter, istrinya memiliki beban pikiran mengenai cucu bungsu mereka yang mengatakan tidak mau menikah.
"Aku mau mengubah surat wasiat kita dan memberikan seluruh harta serta aset milik kita untuk Daksa." ujar Kayana dengan nada tinggi sebelum memalingkan pandangan ke tempat para anak-cucunya berkumpul.
"Lihat mereka semua, Mas." Tangannya bergerak menuding semua wajah yang sedang memperhatikan dirinya.
"Anak cucu kita sudah bahagia dengan kehidupan mereka masing-masing. Tidak ada satupun dari mereka yang memikirkan sedang melakukan apa Daksa di tempat tinggalnya." ujarnya penuh emosi sembari mengamati satu-persatu wajah yang juga sedang memandangnya.
"Tapi gak masalah. Aku mendukung keputusan cucuku meskipun dia tidak mau menikah. Tapi setidaknya, cucu kesayanganku harus punya uang yang cukup agar dia bisa bersenang-senang sampai mati." Kayana mengakhiri kalimatnya dengan senyum simpul.
Seluruh ruangan menjadi semakin sunyi. Para pelayan pun sudah menyingkir dari ruangan tersebut, tepat setelah Kayana menyebut tentang pengacara. Tidak ada satu pun di antara mereka yang berani membuka suara sekalipun itu Raka dan Tiana yang biasanya selalu ikut berkomentar dalam hal apa pun.
Seperti sudah menjadi peraturan mutlak dalam keluarga mereka, bila Kayana Adhigana sedang marah maka hanya Rajata Arya Danadipa yang boleh berbicara. Semua orang harus menjadi pendengar tanpa boleh bergerak satu senti pun dari ruangan itu. Mungkin saja, satu-satunya manusia yang bisa menenangkan amarah Kayana saat ini hanyalah Parama Daksa Danadipa.
"Kay, kamu tenang dulu, jangan emosi." Raja bertutur kata lembut seraya meminta istrinya untuk kembali menaruh pantatnya pada kursi.
Raja tidak mau kalau kemarahan yang sedang dialami oleh Kayana saat ini berubah menjadi penyakit mematikan dan akan menelan bulat-bulat kesehatan yang paling penting bagi orang tua seperti mereka.
"Aku marah, Mas." cetus Kayana sembari memandang lurus tepat ke arah para menantunya yang tengah menundukkan kepala karena dirundung rasa bersalah.
"Kamu marah karena Daksa nggak bisa pulang?" Raja mengusap-usap pundak istrinya yang tampak menegang. "Sabar ya, Kay. Mungkin Daksa memang punya pekerjaan penting yang nggak bisa dia tinggalkan." imbuhnya masih dengan nada penuh pengertian.
"Haha! Pekerjaan penting katamu?" Kayana tertawa sumbang sebelum melemparkan tatapan sinis ke tempat sang suami.
"Mau sampai kapan kamu pura-pura tidak tahu kalau cucu kesayanganku sedang mengalami krisis dalam hidupnya?" cibirnya sebelum memalingkan pandangan ke arah depan.
Kayana yang tadinya tidak berniat untuk mengamuk, gagal mengendalikan diri. Hal itu tampak jelas dari napasnya yang tersengal lantaran emosi yang meluap-luap itu sudah mulai membakar akal sehatnya. Mungkin malam itu dia memang harus memuntahkan amarahnya supaya lebih tenang.
"Rambang Aditya Danadipa." Panggil Kayana sembari menatap ke tempat sang putra kedua.
Pria yang tak lagi muda itu tampak ragu-ragu menjawab panggilan sang mama yang pastinya akan berlanjut pada kekacauan yang lebih besar. Tapi karena dia tidak bisa membantah, Rambang pun tetap bersuara. "Ya, Ma?"
"Sewaktu kamu meminta dinikahkan dengan general manager yang bekerja di salah satu hotel milik keluarga kita, apa waktu itu mama menentang keinginan kamu?"
Glup!
Rambang menelan ludahnya gugup. Seluruh oksigen di sekitarnya seakan menghilang hingga napasnya tercekat. Akhirnya, Kayana Adhigana yang selama puluhan tahun ini telah menjadi sosok yang sabar, memperlihatkan kemarahannya.
Sejujurnya, sudah sejak lama Rambang mempersiapkan diri untuk menghadapi kemarahan sang mama karena Dara sudah menyakiti cucu kesayangan mamanya. Tapi Rambang tidak menyangka kalau mamanya akan memilih waktu seperti ini untuk meluapkan amarah.
"Tidak, Ma." Rambang menjawab dengan lugas.
"Iya, kan?" seru Kayana masih berapi-api, bersama sepasang mata yang terus menatap nyalang ke arah sang menantu.
"Terus kenapa istrimu yang hanya seorang general manager itu berani tidak merestui seorang gadis dari keluarga Tan yang dicintai oleh cucu kesayanganku?"
Rambang memilih mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tidak berbeda dengan Dara atau siapa pun yang berada di ruangan itu, yang masih tidak berani untuk bersuara. Semuanya diam seribu bahasa. Beberapa di antaranya bahkan tertunduk dalam, karena mengetahui bahwa giliran mereka akan segera tiba.
Raja hanya mampu menghela napas panjang karena dia tahu kalau Kayana akan semakin menjadi-jadi jika ia berusaha menghentikan istrinya sekarang. Lagi pula, para menantunya yang sudah sering bertindak melewati batas itu harus mengenal siapa sosok Kayana Adhigana yang sebenarnya.
"Rangin Hanasta Danadipa," panggil Kayana yang sembari beralih ke tempat sang putra sulung.
Mengetahui bahwa namanya akan segera dipanggil, Rangin sudah menegakkan punggungnya sejak beberapa saat lalu. Pria paruh baya itu seakan bersiap untuk menerima segala hukuman atas ketidakbecusannya sebagai suami yang tidak mampu membimbing istrinya.
"Ya, Ma?" jawab Rangin dengan nada sopan.
"Apa kamu sudah pernah cerita ke istrimu, kalau kalian bisa menikah karena Handi Widjaya yang mengemis pada papamu supaya putrinya bisa dinikahkan dengan putra sulung Rajata Arya Danadipa?" tanya Kayana sembari terus memandang ke tempat sang menantu yang tampak mati-matian menahan malu.
"Ma, kenapa Mama bahas itu sekarang?" kata Rangin dengan tatapan memohon.
Meski istrinya bersalah, Rangin tidak bisa membenarkan tindakan sang mama yang berniat memberi istrinya pelajaran di depan umum seperti ini. Dia tidak tega jika Sandra harus mendengar hal semacam ini di depan anak-anak dan menantu mereka.
"Memangnya kenapa kalau mama berniat mempermalukan istrimu di depan keluarga kita sendiri?" Kayana mengangkat dagunya dengan angkuh sambil tak lupa melemparkan tatapan bengis menantang.
"Kamu keberatan? Sudah hebat kamu berani menentang mama?" Tandasnya.
Rangin hendak menjawab ucapan sang mama yang sudah keterlaluan. Namun niat itu segera ia urungkan setelah mendapati sang papa tengah memandangnya dengan gelengan kepala, sebagai isyarat supaya Rangin tidak memancing kemarahan sang mama yang sudah meledak-ledak.
Maka tanpa berani membantah, yang dilakukan oleh pria paruh baya itu hanya mengangguk patuh seraya berujar. "Maaf, Ma. Kami salah."
Sebelum kemudian memeriksa ke tempat Sandra yang tak berani mengangkat wajah. Mau dibela secara mati-matian pun, Rangin tidak akan bisa menyembunyikan fakta bahwa istrinya sudah bersikap keterlaluan terhadap perempuan muda bernama Tan tersebut.
Selesai dengan Sandra, Kayana beralih ke tempat sang adik ipar yang rupanya sudah bersiap-siap menunggu gilirannya. Tiana tahu, salah satu menantunya tidak akan luput dari kemarahan sang kakak ipar yang selama ini sudah bersikap terlampau sabar.
Tiana juga paham kekhawatiran yang dirasakan oleh Kayana. Kalau Hansa memilih hidup lajang dan tidak mau menikah, dia jelas akan lebih menggila daripada yang dilakukan oleh Kayana sekarang.
"Dik, Tiana." panggil Kayana dengan nada suara lebih lembut dibanding sebelumnya.
Tiana mengangguk sambil menjawab. "Ya, Mbak?"
"Kamu masih ingat tidak, sewaktu Sapta bilang mau menikahi teman dekatnya yang ternyata sudah pernah berpacaran dengan Jonathan Soerya Tedja, apa aku pernah mengompori kamu untuk tidak merestui hubungan mereka?" Kayana memandang lekat-lekat sosok Tiana, seakan benar-benar menggali memori di dalam ingatan Tiana.
"Enggak, Mbak." Tiana menggeleng pelan.
"Justru Mbak Yana yang meminta aku untuk merestui hubungan Sapta dan Joanna, meskipun waktu itu kita sama-sama tahu kalau Soerya Tedja bukan saingan yang bisa dipandang sebelah mata." paparnya terus terang.
"Iya 'kan, Dik?" Kayana memekik kesal diringi kekehan pelan.
"Selama aku jadi ibu, seingatku aku nggak pernah melarang anak-anakku untuk melupakan apalagi merelakan hal-hal yang mereka sukai. Lalu kenapa menantu kita yang sombong ini berani menempatkan cucu kesayanganku di dalam pilihan yang sulit?"
"Apa sejak awal, ini adalah kesalahanku karena merestui hubungan anak-anakku dengan para perempuan yang nggak seharusnya mendapat restu kita?" tanya Kayana dengan tatapan tajam penuh emosi. Sementara kedua tangannya mencengkeram erat-erat lengan sofa agar dia bisa melampiaskan amarah.
Tiana hanya menjawab dengan senyum lembut karena dia tahu betul bahwa Kayana tidak membutuhkan jawaban darinya. Nenek-nenek yang sedang mengamuk ini hanya perlu didengar saja.
Semua orang tetap membisu. Beberapa di antaranya mulai diliputi perasaan bersalah karena terlambat mengetahui masalah berat yang sudah dialami oleh Daksa seorang diri.
Taksa yang paling merasa bersalah karena di saat adiknya sedang memperjuangkan wanita yang ternyata sungguh-sungguh dicintai oleh adiknya itu, ia justru berada di pihak lawan dan ikut mempertanyakan perasaan Daksa.
"Dara, sebelum kamu menikah dengan Rambang, seingat mama kamu sudah pernah bertunangan dengan pria lain. Sekarang coba tanya suamimu, apa mama pernah bertanya pada Rambang sudah pernah melakukan apa saja kamu dengan tunanganmu itu." ujar Kayana masih dengan nada tinggi. Sementara di tempat duduknya, Dara tetap tertunduk dalam dan tak berani menjawab.
Napas wanita tua mulai tak beraturan. Rasa sakit di dalam dadanya pun, kianย tak tertahankan. Tapi Kayana sungguh-sungguh tidak dapat menahan diri lagi karena Dara sudah bertindak semena-mena dan dengan tega telah membunuh perasaan cinta yang dimiliki oleh cucu kesayangannya.
"Sandra, kamu tidak mempermasalahkan perilaku bejat putramu dan mau menerima kembali menantumu yang sudah mengacaukan nama baik keluargaku, tetapi kamu berani mengusik wanita yang dicintai oleh cucu kesayanganku?!"
"Atas dasar apa kamu berani bertindak sombong seperti ini, Sandra?!" Teriak Kayana dengan mata berkilat-kilat penuh amarah.
Sama seperti yang dilakukan Dara, Sandra pun tetap bungkam dan tak berani mengangkat wajah. Sejujurnya, perasaan bersalah itu masih terus menghantuinya di sepanjang dua tahun terakhir.
Apalagi setelah ia mendengar Daksa memutuskan untuk tinggal di Bali dan mengatakan tidak mau menikah dengan perempuan manapun. Sandra benar-benar merasa bersalah sudah ikut campur.
"Dan Joanna, bukankah kamu juga pernah berkencan dengan Jonathan Soerya Tedja? Seburuk itukah hubunganmu dengan keluarga Soerya Tedja sampai kamu melarang Daksa menikahi perempuan yang sedang didekati oleh Junior Soerya Tedja?"
"Mengapa cucu kesayanganku harus menderita karena keegoisan kalian dan membuatnya menanggung rasa bersalah di sepanjang sisa hidupnya?!"
"Daksa menangis di depan mama! Daksa menangis karena wanita yang dia cintai nyaris mati di tangan papanya sendiri karena ucapan kalian!"
"Tidakkah kalian pernah merasa bersalah?!"
"Di saat Daksa sedang sibuk mengurung diri dan melarikan diri seperti sekarang ini, apa kalian pernah memikirkan perasaan cucuku?"
Kesunyian masih mengisi udara di dalam ruangan tersebut. Para orangtua sedang merenungi kesalahan mereka. Sama halnya dengan para anak muda yang turut merasa bersalah karena telah membiarkan salah satu saudara mereka menanggung kesedihan seorang diri.
"Kayana, tenang, tarik napasmu. Jangan teriak-teriak seperti ini." pinta Raja sembari terus mengusap-usap punggung istrinya.
"Selama ini aku sudah cukup bersabar melihat tingkah angkuh mereka, Mas. Tapi untuk masalah yang satu ini, aku nggak bisa diam lagi." Kayana menggeleng beberapa kali sebelum kembali memalingkan pandangan ke arah keluarganya.
"Asal kalian tahu, apa yang kalian nikmati sekarang ini bukan berasal dari jerih payah suami kalian. Nama besar yang membuat kalian bertingkah sombong itu bisa ada karena kerja keras suamiku dan Raka. Bisa-bisanya kalian berani memberi nilai seorang gadis hanya karena dia dicintai oleh dua orang pria yang berkuasa."
"Kalian tahu Daksa bilang apa ke mama sebelum dia pindah ke Bali?" tanya Kayana sembari mengedarkan pandangan pada satu-persatu wajah yang sedang memperhatikan dirinya.
"Jakarta terlalu sempit untuk dua orang pria yang mencintai satu wanita, Nek. Kamu sungguh tega, Dara!" Kayana mulai menitihkan air mata setelah mengingat sang cucu kesayangan mengungkapkan alasannya tidak menikah sambil berlinang air mata.
"Tapi sudahlah," Kayana mengibaskan tangan di depan wajahnya sembari menghembuskan napas panjang.
Sambil memegangi dada kirinya yang semakin terasa nyeri, ia berkata. "Semua sudah terlambat. Gadis itu sudah tidak mau bertemu dengan Daksa lagi, meskipun kesalahan terbesar dilakukan oleh kalian."
"Taksa," panggil Kayana pada sang cucu sulung.
Taksa yang sejak tadi tertunduk dalam dan hanya menjadi pendengar. Cepat-cepat mengangkat wajah setelah mendengar namanya dipanggil. "Ya, Nek?"
"Nenek tidak akan datang ke pernikahanmu." ujarnya sebelum mengulurkan tangan ke arah sang suami dan meminta Raja untuk turut serta meninggalkan pertemuan keluarga tersebut.
"Dan satu lagi," Kayana menengok ke arah para putra, menantu dan cucu-cucunya yang sudah beranjak dari tempat duduk untuk mengantar kepergiannya.
"Kecuali nama Daksa, nama kalian semua akan dihapus dari daftar hak ahli waris milik kami. Karena Daksa tidak mau menikah, dia perlu banyak uang untuk bersenang-senang sendirian sampai mati." cetus Kayana sembari memalingkan pandangan ke tempat Raja yang tengah memandangnya dengan senyum kagum.
"Aku boleh melakukan itu kan, Mas?" katanya dengan sorot mata memohon.
"Tentu boleh, Kay." Raja mengangguk dengan senyum lembut.
"Semua milikku adalah milikmu. Kamu boleh melakukan apa pun yang kamu mau." tuturnya dengan tatapan penuh kasih, sembari memberi remasan lembut pada tangan sang istri yang sudah menggamit di lengannya.
"Terima kasih, Mas. Sekarang aku bisa mati dengan damai." ujarnya sebelum memulai langkah sambil ditemani sang suami yang sudah berdiri di sampingnya.
Namun tepat ketika Kayana baru memulai langkah, wanita tua itu sudah limbung ke dalam pelukan sang suami. Dalam hitungan detik, ruangan yang tadinya terasa sunyi dan sepi itu menjadi ramai, sibuk dan sesekali terdengar teriakan disertai seruan panik.
Raja berusaha menyadarkan sang istri yang sudah tak sadarkan diri. Rangin berteriak-teriak meminta para pelayan atau siapa pun agar memanggil dokter keluarga mereka. Rambang memijat-mijat tangan serta kaki sang ibu yang terasa sangat dingin bagai diselimuti es. Sementara Regis yang sudah menahan amarahnya sejak tadi, tengah mengumpati para istri saudaranya karena tindakan egois mereka sudah mencelakai sang ibu.
Ricko berupaya menghubungi rumah sakit milik mereka, sementara Sapta sedang memarahi istrinya karena sudah ikut campur dalam urusan cinta anak muda.
Tiana menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan sang menantu kesayangan. Sedangkan Raka memandang cucu kebanggaannya yang tampak panik, sebelum memberi perintah. "Hans, minta Daksa pulang. Sebelum semuanya terlambat, dia harus menikah sekarang juga."
Hansa mengangguk patuh. "Baik, Opa."
๐๐ฎ๐ป๐ผ๐ช๐ถ๐ซ๐พ๐ท๐ฐ...
Buat yang masih bingung sama jalan ceritanya, temen2 bisa baca dulu 4:25 & Forever and A Day with You di Karyakarsa.
BTW Gais, setelah sekian lamaaa, akhirnya kita kembali ke Mode Ararya ๐
Menurut kalian gimana??
Apakah perjodohan kali ini akan berhasil??
Sampai ketemu lagi,
Pyungg ๐
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
