EC 10. 5 :"Tumpahan Darah Pertamanya"

1
2
Deskripsi

Chapter 10 extras part. 

Buku “The Lazy Prince's Thorny Road To Peacefull Life” di wattpad. 

Timeline : Kondisi Ais yang diculik, sebelum Api datang. 

# 10. 5

".......Gini amat hidup jadi pangeran...." Ucap Ais datar tepat setelah ia bangun dengan keadaan kedua tangan nya terikat ke belakang dan matanya tertutup kain.

Mendudukkan tubuhnya dengan hati-hati, Ais mencoba untuk tenang dan mengingat kembali apa yang terjadi padanya.

Dia hendak kembali ke Aula pesta, saat tidak sengaja malah ke ruangan yang agak bising, di dalamnya ada beberapa orang berpakaian hitam-hitam sedang membicarakan sesuatu.

Beberapa hal yang ia ingat adalah kata 'Pangeran', 'Target', 'rencana baru' lalu mereka juga menyebutkan soal 'Tuan muda emas'...

Ais ingat dia tertegun saat itu, karena rasanya pernah mendengar sebutan itu entah dimana, karena curiga Ais mencoba untuk mendekati ruangan itu agar bisa mendengar lebih jelas.

Andai jika seseorang tidak memukulnya dari belakang dan membuatnya pingsan.

"Klise banget astaga... Berasa jadi MC cerita isekai..." Gumam Ais yang menghela nafas "Dahlah mending cari jalan keluar... Api pasti ngomel lagi nanti."

Beruntung, kain dikepala nya cukup mudah dilepas hanya dengan dorongan pelan, membuat Ais bisa melihat dimana ia berada dengan jelas.

Sebuah jeruji penjara, kayaknya. Suasana nya remang-remang karena satu-satunya sumber cahaya hanya dari obor di lorong jalan luar.

Meski dibilang penjara, Ais merasa bahwa tempat nya masih cukup terawat, lantainya kering dan dindingnya terbuat dari semen, setidaknya lebih baik daripada tempat dia dulu tertangkap oleh musuh waktu misi.

*Sepi... Apa nggak ada yang inisiatif ngawasin aku gitu? * Batin Ais yang melihat lorong dari pagar besi, sangat sepi dan sunyi dengan hanya suara semilir angin yang berhembus.

Benar-benar tidak ada penjagaan, entah hal baik atau buruk, antara mereka terlalu percaya diri dan punya semacam jebakan sihir atau emang meremehkan tubuh yang dia tempati sekarang.

Karena mungkin mereka hanya mengira dirinya Air, si pangeran kabut yang lemah.

Ais berharap itu yang kedua, karena jujur dirinya mungkin tidak akan sanggup bertarung langsung dengan keadaan tubuh yang lemah ini.

*Ini... Tali biasa... *Batin Ais lega, merasakan ikatan ditangan nya diikat kuat dengan tali biasa. Ais cukup terbiasa dengan situasi seperti ini, dengan pengalamannya menjadi superhero, ia hanya perlu membekukan talinya dengan sihir hingga pecah sendiri.

"Auch..." Rintih Ais yang mengecek kedua tangannya yang sedikit lecet.

Memastikan dirinya baik-baik saja, Ais mulai memperhatikan sekelilingnya dengan lebih dalam, mencari sesuatu yang dapat digunakan dalam rencana 'Jailbreak' nya.

Dengan dirinya yang sudah bebas, Ais bisa melihat lorong yang dibalik jeruji dengan lebih luas.

Obor-obor berjejer rapih di dinding semen, seperti yang Ais duga tempat ini seperti nya memang sering digunakan dari kondisinya yang masih terawat baik untuk bagian sel penjara.

*.... Ini dunia fantasi dan sihir, sekalipun mereka tau nya Air ini adalah anak lemah, dia masih anggota keluarga kerajaan... Kayaknya gak mungkin mereka beneran ninggalin aku disini sendiri... Bisa jadi mereka jaga di ujung lorong dan sekitarnya *

Manik coklat Ais masih menatap seksama lorong dan sel tempatnya berada ini, memikirkan cara terbaik untuk keluar.

Kalau ini dunia lamanya, mungkin asal terobos aja bisa kayak waktu dia ketangkep musuh, rasanya kayak main jail break di game roblox versi 4D numpung tubuhnya kuat dan terlatih, terlebih dulu ia juga masih punya kekuatan elemental.

Tapi kalau sekarang kayaknya Ais mending main aman aja, udah tubuhnya lemah, jarang olahraga, sihir pun kayaknya belum lancar digunakan, hingga kini ia baru bisa membekukan sesuatu karena dia memiliki afinitas es.

*"Afinitas intinya adalah bakat dan kecenderungan, terkadang orang lebih mudah menggunakan sihir sesuai afinitas nya daripada sihir lain meski belum benar-benar mempelajari nya, misal seperti pangeran Api yang memiliki afinitas api, sejak kecil sering tanpa sengaja membakar sesuatu hingga menyebabkan kebakaran saat ia tidur—"*

Perkataan Gizaldi terngiang-ngiang di kepalanya, entah kebetulan atau tidak, Tampaknya dirinya memang ditakdirkan untuk terus memegang jenis elemental ini bahkan di dunia baru.

Persoalan Air memang memiliki afinitas es sedari dulu tanpa ada yang tahu atau efek perpindahan jiwa Ais ke sini bukan  masalah Ais sekarang, walau jujur ia terus memikirkan hal itu.

"Kalau pagar nya ancur... Gak bakal ada alarm kan....?" Ujar Ais sambil memegang pagar besi yang mengurung nya, menimang-nimang pilihan cara ia kabur, "Atau mending... Aku coba buka gembok nya pake cara maling? Mmm..."

*Moga aja bentuknya normal.. Gak pake sihir... Apalagi fingerprint... * Harap Ais mendekati pintu jeruji, dan untungnya itu benar-benar gembok normal yang biasa dipakai seperti dunia lamanya dulu.

Masih jauh lebih mudah daripada penjara teknologi alien, Ais tak bisa menahan senyum nya, dengan segera memeriksa gembok itu dari dalam.

Sekarang... Dia harus buka pake apa? Sel penjaranya kosong, hanya ada dia dan debu tanah, mana lagi dia tidak membawa apapun, aksesoris laki-laki memang tidak terlalu banyak, dan satu-satunya bros permata yang ia punya udh hilang entah kemana, palingan jatuh dijalan waktu dia dibawa kesini.

*Kalau orang biasanya bikin tombak es... bikin peniti es bisa gak ya? Atau tusuk gigi..? * Ais menatap kedua tangannya bimbang, memikirkan kemungkinan dari kekuatan 'sihir' dunia ini.

Buku-buku yang ia pelajari baru dasar berupa mantra umum dan penjelasan singkat layaknya tutorial tapi Api kadang menggunakan sihirnya tanpa mantra secara alami, membuat Ais berpikir ulang... Apa mantra itu penting?

*kalau bukan... Mungkinkah....? *Ais menutup matanya, menarik nafas dan secara pelan menyalurkan mana pada telapak tangan nya, memikirkan bentuk yang jelas dari apa yang ia inginkan dengan sihir...

Sensasi dingin dan keras terasa di telapak tangan nya, sebuah benda padat kecil yang meruncing di bagian ujung.

Membuka matanya, Ais bisa melihat apa yang ia pegang sekarang, sebuah bilah es kecil yang bening.

Kedua sudut mulut Ais menyungging, matanya menatap lega bilah es yang runcing itu. Mungkin tidak akan cukup untuk memotong sesuatu tapi setidaknya cukup kuat untuk memutar gembok.

Sriing...

Pintu jeruji terbuka begitu gembok nya disingkirkan, Ais dengan pelan-pelan berjalan keluar dari sana, tak lupa membawa gembok tadi.

Memastikan keadaan nya aman, Ais mengunci kembali jeruji penjara lengkap dengan gembok nya, harapan Ais adalah mereka tipe penjahat kelas teri yang mudah ditipu oleh trik kecil seperti ini.

Berjalan menyusuri lorong yang remang dan sunyi, Ais mencoba mengikuti arah datangnya semilir angin yang terus berhembus pelan, Berharap bahwa ujung lorong tidak terlalu jauh.

Di lorong yang sunyi ini Ais berjalan pelan-pelan, waspada pada setiap langkah yang ia ambil, Semakin lama ia berjalan, suara-suara mulai terdengar, yang awalnya hanya berupa kumpulan suara tak jelas berubah menjadi bisikan lalu perbincangan dan berakhir dengan teriakan pilu.

Manik coklat Ais menggelap, menggigit bibirnya, Ais memaksa dirinya untuk tidak maju lebih jauh lagi, memalingkan mukanya dengan mengepalkan tangan dengan kuat.

Mau bagaimana pun, pemandangan didepannya ini bukan hal yang terbilang baik untuk dilihat.

Harusnya Ais sudah menduga, kalau dia yang pangeran saja bisa ditangkap, kemungkinan mereka juga akan menangkap beberapa rakyat jelata pun tinggi.

Para pria berjubah itu, mereka benar-benar bajingan.

Anak-anak... Seumuran dengan tubuhnya, bahkan jauh lebih muda, kurus kering, kulit mereka pucat karena dingin dengan lebam dibeberapa bagian tubuh.

Baju mereka kumuh, bahkan beberapa ada yang sudah robek dan dijahit kembali dengan kain perca.

Kedua tangan mereka di borgol di satu sel sempit, mereka meringkuk bersama penuh dengan rasa takut,terlebih melihat beberapa dari mereka sendiri sedang dipukuli oleh dua orang dewasa.

"Dasar budak tidak berguna! Kau mau mari di sini Hah?!"

"Ma-maafkan kami tuan! Kami tidak sengaja! UHUK!"

Ais meringis saat suara hantaman yang begitu keras terdengar setelah percakapan itu, membayangkan anak sekecil itu di pukul terus menerus dengan tangan yang tidak bisa bergerak karena borgol benar-benar membuat darah nya mendidih.

*Budak... Tentu saja hal seperti itu ada di sini... * Ais mengeram, pemandangan didepannya ini benar-benar mengingatkan nya kalau dunia ini adalah fantasy era kerajaan, hal seperti ini harusnya lumrah ada.

Tapi tetap saja, Dirinya tidak bisa setuju dengan itu.

Bagaimana mungkin dia bisa menghiraukan teriakan pilu anak-anak itu? Tapi dia sendiri tidak yakin bisa melawan kedua orang tersebut sendiri di tubuh yang lemah ini.

Ais merasa frustasi, untuk pertama kalinya ia merasa tidak bisa berbuat apa-apa, dia merasa sangat tidak berguna.

Dia... Belum pernah merasa begini, benar-benar tidak berdaya bukan karena musuh terlampau kuat, tapi karena dirinya sendiri yang terlalu lemah.

Ais ingin membantu, tapi jika salah langkah, maka itu hanya akan menambah jumlah korban dan memperumit masalah.

*Sungguh, untuk apa aku berada disini kalau hanya menjadi beban bagi orang-orang disekitar ku begini?* Ais tidak bisa berhenti menggigit bibirnya sendiri saat teriakan itu semakin pilu, Semakin tidak jelas, seraya dengan suara hantaman yang semakin besar.

Ais benci di sini.

Tapi dia tidak bisa menghiraukan nya.

Ais ingin bertindak.

Tapi dia takut gegabah.

Ais ingin menolong anak-anak itu.

Tapi dia takut menambah korban.

Ais... Benar-benar ingin membunuh dua orang itu.

Tapi, apa dia benar-benar bisa?

*bukankah dia hanya akan menambah masalah?*

Ais tidak tahu kenapa, kenangan dunia lamanya kembali muncul perlahan-lahan, kenangan akan misi mereka yang dilewati dengan suka dan duka nya tersendiri.

Saat-saat dia dan saudara-saudara nya beristirahat setelah keberhasilan misi mereka, hadiah kecil dari mereka yang diselamatkan, perayaan-perayaan penghargaan atas jasa mereka, dan momen kebersamaan yang hangat, bagai film berasa begitu mengharukan.

Lalu, semuanya berubah menjadi dingin dengan begitu tajam. Pengkhianatan, kegagalan, pertengkaran, kesalahpahaman, kelalaian, keegoisan adalah perasaan-perasaan yang menusuk begitu Ais ingat apa yang menjadi awal perpecahan dia dan saudara-saudara nya yang lain dan kokotiam sendiri.

Satu persatu kenangan itu menghilang menyisakan rasa rindu yang mencekik, Ais merasa dingin, dia tidak suka ini, kenangan terakhir yang ia lihat adalah kenangan paling memilukan yang ia punya.

Saat dia sendirian ditengah angkasa gelap, menanti ajal sendirian, membeku tanpa kekuatan nya.

Rasa ketidakberdayaan yang melumpuhkan semua otot tubuhnya.

*...semuanya akan sama saja... *

Tapi bukankah dia juga, pernah berdiri diantara orang-orang yang tidak bisa melakukan apapun itu?

*Lupakan yang lain... *

Ais membuka matanya, mengambil nafas seraya menenangkan diri. Jika dia terus menunda hanya akan ada penyesalan yang tidak bisa diulang.

Biarlah ini gagal, asal Ais bisa melakukan sesuatu, setidaknya dia nggak akan menyesal.

Ais... Memang belum belajar caranya membuat serangan dengan sihir dikelas sihirnya, namun diam-diam tanpa ada yang tahu, dia berinisiatif mencoba  membuat satu tipe sihir menyerang, tombak es.

Jenis serangan paling umum dan mudah dikuasai banyak orang dalam menggunakan sihir elemen beku itu, membentuk sebuah tongkat yang runcing diujung dari mana.

Kurang digemari karena pada dasarnya itu mudah hancur dan terlalu simpel.

Tapi bagi Ais, itu adalah cara menyerang yang ideal.

Tak perlu badai es, seutas jarum pun bisa asal digunakan dengan tepat.

Dan ketepatan adalah bidang keahlian nya.

*Tak apa... Tidak ada undang-undang hak asasi manusia di sini. * Batin Ais dengan tatapan dingin, diam-diam mulai mengambil posisi untuk menembak yang cocok.

Kedua orang bajingan itu, masih sibuk dengan memukul para anak-anak malang yang meraung kesakitan dan pilu.

"HAHAHAH! KALIAN ANAK-ANAK SIA—AKK!!!"

Satu kepala sudah tamat. Yang satu menghindar dengan sigap. Anak-anak berteriak ketakutan.

"Sialan! Siapa yang berani—Kau! Si pangeran sialan..."

Ais berdecih pelan, dia gagal membidik yang satunya lagi dan orangnya sudah melihat keberadaan nya.

"Haha! Apa anda ingin bermain jadi pahlawan ? Sungguh sangat terhormat sekali untukmu pangeran kecil..."orang itu berkata dengan nada meremehkan, mengeluarkan belati tajam dari sarung yang ia punya, " Aku tidak tahu bagaimana cara kau keluar, tapi karena kau telah membunuh rekan ku, kau harus mati juga!"

Ais tidak berharap banyak. Begitu orang itu menerjang nya dengan membabi buta, menghindar dan menjauh darinya adalah satu-satunya pilihannya sekarang.

Sekali tertangkap, maka dia akan tamat.

Tubuh Air terlalu lemah untuk diajak bermain tinju, hanya dengan terus berlari saja benar-benar membuat nafasnya hampir habis.

Otot-otot kakinya sudah sakit, namun Ais masih menyanggupkan diri untuk terus menghindar, sungguh dia benar-benar kehabisan rencana sekarang.

Opsi kabur sudah percuma, tertangkap pun tidak menjamin dirinya akan selamat lagi.

Melihat sepasang mata yang sudah terkait dalam nafsu kebencian dan balas dendam, Ais tahu melawan adalah satu-satunya pilihan sekarang.

"Kekeke kau mau lari dengan kaki yang pendek begitu? Baiklah, ayo kita buat lebih menantang!" Orang itu tertawa di tempat. Belum sempat Ais merasa lega dan mengambil nafas, sesuatu melesat hampir mengenai wajahnya dengan kecepatan tinggi.

Mata Ais terbelalak, *Sial... Dia bisa make sihir? *

"Kakaka! Kau takut sekarang yang mulia? Ololoooo... Kasihan... Aku akan membunuh mu hari ini!" tawa Orang itu seraya melihat beberapa batu berterbangan, siap di luncurkan kapan saja.

"Haha... Kau yakin? Kukira aku cukup spesial, bukankah tembusan istana yang kalian mau?" Ujar Ais menutupi rasa merinding yang ia punya. Tidak, dia tidak takut. Hanya saja membayangkan tumpukan baru itu menghantam dirinya benar-benar membuatnya merinding.

Orang itu melotot, lalu mendengus,"Heh! Kau kira kami serendah itu? Sungguh anak naif! "

Ais mengerutkan wajahnya, "Lalu apa? Kekuasaan? Kalau kau kira posisi itu mudah dan menyenangkan, Sungguh pemikiran yang pendek sekali. "

"Cih! Dasar keluarga kerajaan yang tak tahu diri, tentu saja kau anggap begitu karena kau tidak pernah merasakan yang namanya kesusahan hidup!" hardik orang itu sambil mengarahkan batu-batu itu melesat ke arahnya.

Ais menghindar, berlari, dan bangun dari jatuhnya sambil tertawa geli di batin,"Kalau kau memang tau, kau seharusnya tidak mengurung anak-anak itu Bego!"

"Hah! Sungguh kata-kata yang naif, dunia hanya berpihak pada mereka yang diatas!" sahut orang itu.

Sebuah batu menghantam tepat disampingnya, membuat daya ledak kuat yang menghempaskan Ais jatuh terjungkal ke tembok.

"Argh...!" Ais meringis, meski biasa terhantam berkali-kali, baru kali ini dia merasa sangat sakit, sekujur tubuhnya terasa ngilu dan mungkin akan segera remuk bila digerakkan.

Bersamaan dengan itu sebuah tangan besar mulai mencengkeram lehernya kuat, mencegat dirinya bernafas dengan bebas, tak perlu berpikir terlalu lama, Ais tahu dirinya sedang di cekik.

"Heh, sungguh lemah, dan kau berani menantang seperti tadi?" Orang itu menyeringai seraya memperkuat cekikikan tangannya, "Ya~~apa yang kuharapkan? Mau bagaimana pun kau memang pangeran kabut yang lemah!"

"AKKH!–" Nafas Ais benar-benar tercekat, dirinya mulai kehabisan oksigen tidak peduli seberapa keras dia mencoba membuka mulutnya untuk menarik udara.

"Ya, mati perlahan-lahan seperti ini lebih pantas untuk pangeran yang tidak tahu diri seperti mu!" Ujar orang itu dengan mata menyala.

Ais mencoba memberontak, tangannya mulai mencoba mencakar lengan sementara kakinya ia menendang-nendang kakinya agar orang yang semakin tertawa lebar itu melepaskan dirinya.

Walau dia tahu persis, itu semua sia-sia dengan tenaganya yang lemah, pemberontakan nya sama sekali tidak berpengaruh pada orang yang lebih tua darinya itu.

Pandangannya mulai memutih sementara Ais kehilangan nafasnya perlahan-lahan, membuat tubuhnya melemas dan mulai memucat.

Tangan Ais berhenti mencakar, dirinya berhenti memberontak saat orang itu menggunakan kedua tangannya untuk mencekik tubuh kecilnya itu.

Rasanya sakit, sangat sakit. Tubuhnya mati rasa dan mungkin akan segera binasa begitu matanya yang ia usahakan dengan keras untuk terus terbuka itu berakhir terpejam untuk selamanya.

*Ahaha... Aku gagal.. *Batin Ais yang mulai melemas, tidak bisa menghirup oksigen lagi. Matanya kosong, sedangkan wajahnya sudah pucat pasi dengan leher yang memerah karena cengkeraman orang itu.

Keadaan ini mengingatkan nya pada satu kenangan lama. Trauma yang dibentuk saat ia dan saudara-saudara nya berjuang mati-matian melawan musuh paling menakutkan, paling keji nan bengis yang pertama kali mereka hadapi.

Lancang sudah kenaifan mereka, mengira apa yang mereka punya hanya ada pada mereka, bahwa mereka adalah yang terkuat. Dan mahluk sialan itu datang menghancurkan semuanya, meninggalkan kenangan menyakitkan seraya mereka beranjak dewasa.

Bagai omen, kehadiran orang itu selalu menjadi paranoid tersendiri dihati mereka, setiap kali mereka dipaksa menentukan pilihan moral yang sulit, menghantui bayangan masa depan dari setiap keputusan yang mereka pilih.

Satu langkah salah, kau telah di cap sebagai orang itu. Satu tindakan gegabah, kau semakin mirip dengan orang itu. Satu tindakan egoisme, kau adalah orang itu.

Dia dan orang itu sama. Semua pengguna elemental akhirnya akan menjadi orang orang itu.

Ais ingin menyerah. Ini semua terasa sakit. Dia tidak pernah menyukai rasa ini. Bukankah lebih mudah jika dia menyerah?

Dia tidak perlu kesakitan lagi...

Tapi, itu artinya dia akan menyerah pada prinsip hidupnya sendiri. Dia akan menyerah pada rasa empati yang ia punya. Dia akan... Menyerah pada rasa kemanusiaan yang ia junjung tinggi...

Dia... Apa dia bisa di sebut manusia lagi setelah itu?

"Kekekeke! Sudah pingsan huh? Amat sangat lemah! Aku heran mengapa kau dibiarkan hidup oleh raja dengan kemampuanmu yang rendah begini, memalukan!"

Tubuh Ais tersentak.

"Pecundang, bagaimana bisa kau lahir di istana Huh?! Seingatku, bahkan kedua pangeran terbungsu jauh lebih berguna daripada mahluk sampah seperti mu!"

Telinga Ais memanas, entah mengapa kata-kata orang itu membakar sesuatu pada hatinya.

"Hey, kau mau tau? Bagaimana orang-orang berkata tentang dirimu? Mereka bilang, kau anak yang dilupakan oleh keluarganya sendiri."

Jari jemari Ais mengepal dalam gemetar.

"Pangeran lemah, seorang beban yang hanya beruntung lahir di rahim seorang wanita kesayangan Raja."

Ais tersentak. Entah kenapa amarah mulai membakar di tubuhnya. Ais tidak mengerti, mengapa dirinya merasa begitu panas, seperti kobaran api yang membara di luar kendali nya.

"Ah... Apa kau bahkan anak Raja? Selemah ini? Haha! Aku lebih percaya jika wanita pelacur itu memiliki kekasih simpanan hingga mempunyai anak seperti mu!"

"DIAM!! JANGAN BERBICARA BURUK TENTANG NYA!" teriak Ais yang berusaha mencekik orang itu tiba-tiba, membuat orang itu berjengit kaget, hingga mundur melepaskan tubuh Ais tanpa sengaja saat lautan es menerjangnya, memisahkan mereka berdua.

Ais yang tersungkur ke tanah mencoba duduk dengan nafas yang tersengal-sengal, dirinya benar-benar terkejut dengan reaksi spontan itu. Kesadarannya terasa begitu jauh dari kendali tubuh, seolah menatap layar kaca, dirinya melihat bagaimana tubuhnya bangkit sendiri, menatap tajam dang bengis orang yang masih mencoba untuk berdiri itu.

Ais tahu, ini bukan dirinya, namun entah kenapa dia segan menghentikan tubuhnya sendiri dari menerjang orang itu, menjatuhkan nya dengan kasar ke tanah seraya membekukan tubuh itu agar tidak bisa bergerak.

Orang itu masih belum paham juga, masih meneriakkan kata-kata cacian pada orang yang merupakan ibu dari tubuhnya ini, Semakin menggelegar tak kala mata mereka bertemu. Orang itu tertawa terbahak-bahak, mengejek dirinya dalam kata-kata yang sama sekali tidak masuk pada tubuh Ais yang hening dan sunyi.

Pikiran Ais kosong, seolah mencampur perasaan amarah Ais dan kebencian Air dalam satu kesatuan yang amat tenang dan hampa, menatap mangsa mereka berdua dalam hawa nafsu yang sangat dingin.

Ais marah, pada orang ini. Atas apa yang dia perbuat pada anak-anak itu.

Air benci, orang ini, yang telah mencela nama baik ibu kandung nya.

Ais mengerti, sangat mengerti, bahwa sekarang tubuh Air sedang bereaksi sangat kuat, reaksi yang tidak pernah ia tahu bisa terjadi. Walau Ais tidak yakin, tapi dia tahu persis ini benar-benar perasaan yang sudah melekat pada tubuh Air terhadap ibunya.

"Aku akan membunuh mu."

Dan dalam hitungan detik, rasa hangat mulai terasa di tangan Ais bersamaan dengan bau amis yang semerbak, memenuhi ruangan yang semakin hening.

Mata orang itu memutih, mulutnya terbuka lebar mengeluarkan dahak merah kental yang terus mengalir keluar deras semakin Ais tekan tangannya lebih kuat lagi, lebih dalam lagi, memastikan dada orang tersebut terbelah lebar, membiarkan warna merah menghiasi bunga-bunga es yang menjalar di tubuh yang memucat itu.

"Berhenti tuan! Dia sudah mati!"

Ais tersentak, tangannya melepas bilah es bening yang masih menancap pada tubuh beku orang itu dengan spontan, menengok ke arah anak-anak yang menatap nya khawatir dan takut.

Kesadarannya kembali, Ais jatuh ke tanah dengan gemetar, berusaha mengontrol nafasnya, Manik coklat nya terbelalak lebar melihat jasad beku dan bercak darah yang memenuhi kedua tangannya.

*Ah...aku membunuhnya... *

Rasa menjijikkan, Ais benci bagaimana sensasi cairan kental merah yang sangat bau amis itu mengalir pelan di sekitar tangannya.

Bagaimana warna merah darah itu, mengingatkan nya pada warna yang memenuhi korban pekerjaan kotor yang ia lakukan dulu, perbuatan keji yang ia lakukan demi orang-orang yang dia sayangi.

Ais telah banyak membunuh orang, dan sekarang dia melakukan nya lagi di tubuh anak tak bersalah.

*... Apa kata Api nanti ya? Melihat tubuh adik kesayangannya berlumuran darah, saat tahu bahwa sang adik telah membunuh seorang manusia? *Batin Ais yang tertawa kosong, nafasnya mulai stabil dan kini pikirannya mulai penuh terisi dengan berbagai macam perasaan yang berkecamuk.

Ais takut, ada banyak hal yang ia takuti kalau orang lain tahu soal apa yang telah dia lakukan sekarang. Namun panggilan anak-anak itu seolah memancing nya untuk tetap bergerak ke depan, bahwa ada hal yang belum ia selesaikan.

*Anak-anak itu harus bebas... *Batin Ais yang dengan lunglai mulai berdiri, tidak peduli dengan darah yang merembes jatuh ke tanah, meninggalkan jejak sepanjang dia berjalan.

"Hey... Apa kalian tidak apa-apa? " ucap Ais dengan lemah, mencoba tersenyum kecil pada anak-anak yang tersentak kaget melihatnya.

"Ka-kami tidak apa-apa..." Ujar yang paling tua, yang tadi dipukuli dengan nada gemetar.

"Begitu..." Ais mengangguk lega, kemudian berjalan ke arah pasak yang dipenuhi rangkaian rantai besi yang kusut. Dengan sisa tenaga terakhirnya dia menggunakan sihir es nya lagi, membekukan rantai hingga hancur berkeping-keping layaknya kaca.

"Uwah?! Rantai nya!"

"Apa... Ke-kenapa tuan melakukannya?!" Tanya Anak tertua tadi dengan wajah panik bercampur senang.

"Kalian bebas...,"Ucap Ais yang terduduk lemas, tubuhnya terasa sangat dingin bagai es itu sendiri, menatap anak-anak yang ragu dengan senyum kecil dia berkata lagi,"Aku tidak bohong... Akan kupastikan kalian bisa bebas setelah ini..."

"Itu tidak mungkin... Tuan Reja akan marah.."

"Kami akan dipukuli lagi..."

"Tuan Reja kuat... Dia monster... "

"Kami tidak bisa kabur..."

"Aku takut..."

Hati Ais meringis mendengar Gumaman kecil anak-anak itu, terlebih yang tertua tampaknya sudah pasrah akan keadaan, hanya mengusap pelan rambut tak terurus anak-anak yang lebih muda, seolah mencoba menenangkan mereka.

"Kami tidak punya tempat kembali, Tuan. Biarpun bebas dan berhasil kabur... Kami tidak punya apa-apa di kota, kami akhirnya pasti akan ditangkap lagi... Dan berakhir lebih buruk dari ini... " Ujar Anak tertua lagi, menatap Ais dengan tatapan rumit yang lelah.

Ais tidak perlu bertanya lebih detail, dia tahu apa yang anak itu maksud. Mereka, anak-anak itu, yatim piatu atau mungkin dibuang oleh keluarga mereka sendiri, hidup dijalan dengan segala hal yang mereka bisa, kadang tertangkap dan berakhir menjadi budak yang diperjualbelikan layaknya barang bekas.

"Setidaknya, biarkan aku mencoba membantu... Akan kucarikan tempat untuk kalian..." Balas Ais dengan lemah, dirinya benar-benar lemas sekarang.

"Bagaimana caranya? Bahkan panti keagamaan pun menolak beberapa dari kami, apa yang anda bisa lakukan?"

"Banyak, aku terlalu lelah untuk menjelaskan sekarang...,"jawab Ais dengan nafas yang memburu," Apa ada diantara kalian yang tahu dimana kita berada? Maaf, aku tidak pernah keluar rumah... "

Anak-anak mulai berbisik-bisik satu sama lain, beberapa menatap nya kasihan, beberapa menatapnya penuh kecurigaan dan yang lain tampaknya sangat penasaran.

Namun tidak ada satupun dari mereka yang kunjung menjawab pertanyaan Ais. Menghela nafas, Ais tidak bisa menyalahkan mereka kalau mereka tidak tahu atau curiga padanya.

"Baik, seperti tidak ada. Akan ku anggap ti—"

"Aku tahu..."

Ais terdiam menatap anak yang paling kecil, yang kini mengangkat tangannya tinggi sambil celingak-celinguk menatap teman-teman nya yang lain dalam keraguan.

"Kita di gua gunung dekat desa bernama Kaokao... Atau.. Setidaknya itu yang kudengar dari penjaga..."

Mata Ais melebar, dan seolah waktu berhenti, dirinya jatuh lagi dalam keheningan.

*Ini... Dunia novel?! *

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya A WORD 2 ( #TantanganKarina)
0
0
Salju itu turun memenuhi memori lamanya tentang kenangan akan dunia lamanya, mencoba menerima kenyataan yang Karina katakan. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan