
Bab. 3 Waswas
Bab 4. Suspicious and Ambigious
3. Waswas
Waswas
(a) Perasaan khawatir, gugup, atau tidak nyaman. Biasanya tentang peristiwa yang akan segera terjadi atau sesuatu dengan hasil yang tidak pasti.
==
Sisa pertemuan di kantin kututup dengan kalimat, "Um, mungkin karena muka saya pasaran, Bapak." Memperlihatkan bahwa itu hanya khayalannya saja. Berusaha terlihat meyakinkan bahwa kami memang tidak pernah bertemu.
Ditambah bantuan Pak Rama yang berkata, "Give her a rest," sambil memberi tatapan mencela pada temannya--yang ternyata benar seperti kata Riandry bahwa mereka seumuran, akhirnya Pak Dirgantara berhenti mengatakan hal-hal yang membuatku merasa waswas. Membuatku berhasil melarikan diri dari momen gila hari itu.
Meskipun sudah bisa melarikan diri Pak Dirga bukan berarti aku bisa lolos di hari-hari selanjutnya. Tiga hari sebelum dia muncul di perusahaan dan sah jadi atasanku, dia lebih dulu muncul di dalam bunga tidurku setiap malam sebagai mimpi buruk. Gambarannya begitu jelas, Pak Dirga menangkap basah aku, menyebarkan videoku yang setengah telanjang ke situs perusahaan, membuat semua orang melihatku dengan bisikan-bisikan dan yang terburuk, papa murka.
Dan seolah belum cukup dengan seluruh peristiwa naas ini, takdir mempermainkanku lebih kejam. Nomor ponsel milik Abel dan Darell tidak bisa dihubungi selama sisa minggu. Mereka menghilang tanpa kabar. Bukan hal yang mengkhawatirkan sebenarnya ketika Abel dan Darell menghilang. Biasanya mereka liburan
selama beberapa minggu, mematikan nomor ponsel mereka agar tidak terganggu. Kasus menghilangnya mereka kali ini jadi berbeda karena ini menyangkut hidup dan matiku.
Aku perlu mengetahui detailnya. Kenapa aku menari di depan atasanku? Kenapa penonton pertamaku adalah orang yang terhubung langsung dengan perusahaan? Dia bukan warga negara Australia--aku mencari informasi lewat Riandry, dan dia juga tidak berusia 45 tahun. Dia sepantaran dengan Pak Rama. Apa ada kesalahan? Atau mereka berdua
sedang menjebakku?
"Gue harus gimana sekarang?" bentakku pada ponsel yang menempel di telinga. Meninggalkan pesan suara pada nomor Abel untuk yang--mungkin, ke seratus kalinya.
"Halo Lalita," sapaan manis dari Anya dan Agnes setelah pintu lift terbuka, membuyarkan lamunanku. Membuatku mengangkat wajah yang sedari tadi hanya sibuk memandangi sepatu pantofelku sambil menunggu lift di lobi. Aku tidak mengerti kenapa mereka mendadak beramah tamah padaku di luar kebutuhan kerja. Selama ini aku hanya entitas tak kasat mata di hadapan mereka.
"Hai," jawabku pelan lalu masuk ke lift. Mengambil tempat paling ujung,
berusaha agar tidak terlihat oleh siapapun.
Lucunya, keduanya malah mendekat padaku. Tersenyum sangat lebar sampai-sampai terasa menakutkan. Apa mereka berdua akan merundung aku setelah Pak Aldy mengundurkan diri dari perusahaan ini?
"Jadi kemarin tuh rame di grup chat bahas Pak Dirgantara. Ternyata jumat kemarin dia 'nyelinap' ke sini dan kamu udah ketemu langsung sama dia. Bener?" Agnes bertanya dengan wajah berbinar-binar.
"Grup chat?" aku hanya bergabung dengan grup chat para sekretaris dan grup chat perusahaan. Tidak ada keramaian pembahasan tentang calon atasanku di grup yang kuikuti.
Agnes dan Anya saling sikut dalam gerakan yang disamarkan. "Grup chat jual beli barang preloved branded," jelas Anya.
"Nggak sengaja itu bahasnya. Terus jadi rame. Mereka bahas tentang Pak
CFO kita yang baru. Kata beberapa saksi mata, dia masih muda dan
lumayan.
"Oh itu," aku mendorong kacamataku yang melorot, "iya. Kata Riandry,
dia ganteng gila."
"Kalau menurut lo gimana, Ta?" gantian Anya yang bertanya. "Lo, kan,
juga ada di sana hari itu."
Ujung jari telunjukku menggaruk tas kerjaku, "Standar ganteng gue, bukan dia." Masih ganteng office crush-ku. Benar-benar tidak sebanding. "Biasa saja menurut gue."
Keduanya berpandangan namun aku bisa melihat seringai menghina mereka dalam sepersekian detik sebelum mengalihkan pandangan masing-masing. Seringai yang seakan-akan mengatakan bahwa aku tidak berhak mengatakan Pak Dirgantara biasa saja karena aku adalah makhluk tak kasat mata di sini.
"Udah punya istri belum ya?" Agnes bertanya, terdengar seperti bicara dengan dirinya sendiri. Dua tangannya terlipat di dada. Tubuh indahnya yang pagi ini terbalut kemeja biru pastel dan rok sepan ketat berwarna krem, membuatnya terlihat lebih menggoda dari hari-hari sebelumnya. "Tau sendirilah gimana laki-laki zaman sekarang. Ganteng, established man, pokoknya kelihatan eligible bachelor, kalau nggak punya istri ya demen sama batang juga."
Anya yang menjawab, sambil melihatku dengan mata yang berbinar-binar antusias. "Minta tolong sekretarisnya aja, Nes. Suruh tanyain udah ada pasangan atau belum."
Kenapa jadi aku yang dibawa-bawa?
Selama beberapa saat aku tidak memberikan jawaban pada mereka
Hingga sebuah ide sempurna terlintas cepat bak meteor. "Kenapa nggak coba tanya sendiri? Nanti aku bagiin jadwal Pak Dirga buat kalian."
Ini brilian. Anya dan Agnes tentu bisa membuat Pak Dirga sibuk. Dia akan
senang-senang saja bersama mereka. Kedatangannya di kelab Underplay juga salah satu bukti bahwa dia suka dekat-dekat dengan banyak perempuan. Beda jauh dari Pak Rama yang tidak menunjukkan minat pada perempuan, kecuali Riandry.
"Seingat gue dia ada beberapa jadwal pertemuan sama Pak Budiono dan Pak Cipta minggu ini. Nanti gue kirim screenshoot-nya ke kalian." Sepertinya bercandaanku dengan Riandry hari itu akan jadi kenyataan.
Aku akan menjual bosku, pada siapapun yang akan membuatnya sibuk.
"Itu bagus," kata Agnes bersamangat. Sepertinya dia sudah menempatkan nama Pak Dirgantara di urutan teratas sebagai calon suami potensialnya. Agnes akan jadi partner yang sangat pas untuk atasanku. Pria itu punya aura 'melanggar hukum' yang sangat pekat dan jelas Agnes bisa sangat mengimbanginya.
Keinginan mereka untuk melanjutkan perbincangan diputus oleh bunyi lift
yang berhenti di tujuan terakhir kami. Lantai teratas gedung, ruangan para
chief serta satu ruang kosong milik CEO. Ruangan CFO dan CTO yang
bersebelahan, membuatku dan Riandry cukup dekat. Sama seperti Anya dan Agnes yang juga lebih dekat karena ruang COO dan CMO yang bersebelahan.
Aku berjalan cepat meninggalkan lift agar tidak perlu berjalan bersama Anya dan Agnes. Menemukan Riandry sudah duduk di kursi kerjanya dan melambai ke arahku. Meja kerja kami memang berhadapan, tapi jaraknya lebih dari lima meter.
Aku menyalakan komputer, bersiap menyambut bos baruku. Begitu aplikasi perpesanan telah pindah ke ponsel, aku mulai menjawab pesan-pesan yang masuk. Terakhir, aku mengirim tangkapan layar seluruh jadwal atasanku ke nomor Agnes.
"Selamat pagi, Bapak," sapaku pada Pak Dirgantara setengah jam kemudian.
Pagi ini dia memakai kemeja bergaris berwarna biru pastel tanpa dasi. Celana bahannya senada dengan warna jas yang dia kenakan.
Aku menyahut komputer tablet yang berisi jadwal kerjanya sebelum mengikutinya masuk ke dalam. Pak Dirga menuju kursi kerjanya sementara aku menuju kulkas kecil yang tak jauh dari sebelah meja kerjanya. Mengeluarkan sebotol air dingin--dia tidak suka kopi pagi, aku sudah menanyakannya jauh-jauh hari, dan menatanya di meja bersama gelas baru.
"Jadwal pagi ini, Bapak akan zoom meeting sama Pak Mandala. Lalu meeting sama Pak Rama di ruangan beliau. Setelah makan siang, Bapak akan ke divisi finansial yang ada di lantai tiga."
Berbeda dari Pak Dirgantara yang kemarin lalu datang ke kantin, kali ini, pria itu tak banyak bicara. Hanya fokus pada komputernya yang baru saja menyala. Dia hanya mengangguk beberapa kali menyetujui.
Apakah ini ketenangan sebelum badai? Atau memang dia berubah jadi serius ketika sedang bekerja? Ataukah dia sedang mempermainkan permainan baru yang akan membuat mimpi burukku beberapa malam terakhir jadi nyata?
"Untuk makan siangnya, Bapak mau makan di perusahaan atau di luar? Saya bisa bantu reservasikan."
Kali ini, wajahnya beralih dari layar komputer. Melihat tepat pada dua mataku dan berhasil membuat seluruh punggungku berkeringat karena mendadak merasa waswas.
"Tolong rearrange rapat saya sama Pak Rama di jam makan siang." Dia mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya. "Reservasi di sini."
"Restorante del Fiore?"
Dia menggangguk. "Untuk jam satu siang."
"Baik, Bapak. Ada lagi yang lain?"
"Itu saja. Kamu boleh kembali."
Aku mengangguk. Kemudian berbalik cepat dan melangkah buru-buru menuju pintu ruangannya.
"Oh iya, Lalita, tunggu dulu," katanya ketika tanganku hampir mencapai kenop pintu. Mengusir pergi kelegaan yang selama beberapa detik memenuhi diriku.
Aku berbalik, namun masih berdiri di tempatku. Tak melangkah kembali ke meja Pak Dirga. "Saya punya hadiah buat kamu. Hampir kelupaan."
Aku kembali merasakan takut dan waswas. Jantungku rasanya sudah berada di mata kaki, membuat otot kakiku lumpuh.
Pria itu mengambil satu tas kertas berwarna merah muda menyala dengan lambang brand yang sangat familiar. Victoria's Secret. Apa dia membelikanku sepasang celana dalam nakal seperti yang kukenakan hari itu? Apa pria ini sudah tahu belangku?
"Kamu kenapa?" tanyanya sambil mengerutkan dahi begitu berada di dekatku.
"Saya ..., saya kenapa memangnya?"
"Mata kamu kayak sedang menghakimi saya. Kayak ngomong kalau saya mesum."
Aku menggeleng berulang kali. Gugup setengah mati. "Enggak, Pak. Itu cuman perasaan bapak."
Senyumnya mengembang. "Karena saya memang nggak mesum." Pria itu mengulurkan tas kecil yang sedari tadi dipegangnya. "Hadiah. Mulai besok harus kamu pakai. Saya nggak suka sekretaris saya berbau minyak aromaterapi."
Memang bukan setelan celana dalam nakal isinya. Hanya parfum keluaran dari Victoria's Secret. Hanya parfum Bombshell Intense yang hari itu kupakai sebelum pertunjukkan menari di Underplay.
Tanganku meremas tali tas dalam genggamanku. Sepertinya aku ketahuan! Aku harus menangis, resign, atau bersujud pada Pak Dirgantara agar menutup mulutnya?
==
4. Suspicious and Ambigious
Suspicious
(adj) having or showing a cautious distrust of someone or something.
Ambiguous
(adj) (of language) open to more than one interpretation; having a double meaning.
===
"Are you, okay, Lalita?"
Aku ingin menjawab bahwa aku tidak apa-apa, tapi mulutku terasa dijahit oleh benang tak kasat mata. Tidak bisa memberi jawaban pada pria itu.
Haruskah aku berlutut di hadapannya? Memohon agar dia menjaga rahasiaku sampai akhir.
"Kamu sakit?" tanyanya sambil menangkap tubuhku yang akan terjun ke lantai. Ingin berlutut memohon, tapi ditahan oleh bosku.
Aku ingin menangis sekarang. "Parfumnya ...." Kata-kataku tidak selesai. Tercekat di tenggorokan.
"Kenapa parfumnya?" Bosku menatap bingung. "Jangan bilang kamu lebih suka pakai minyak aromaterapi."
Nah, dia bicara seakan-akan semua ini kebetulan. Padahal beberapa menit lalu dia memberiku parfum dan semuanya terasa berkaitan!
Rasanya seperti berjalan di atas seutas tali. Aku tidak tahu akhirnya. Jatuh terjerembab atau selamat. Karena tidak ada kepastian dari perlakuan Pak Dirga sekarang ini. Dia tahu bahwa aku Lolita atau semua ini serba kebetulan dan aku paranoid sendirian.
Aku benci merasa waswas. Aku benci harus skuad jantung di waktu-waktu yang tidak bisa diperkirakan. Aku berada di zona abu-abu dan harus menerka-nerka langkahku selanjutnya.
"Ini terlalu mahal buat saya, Pak Dirgantara," kataku setelah kedua kakiku menopang tubuh kembali. Melepaskan diri dari pertolongan--yang sama sekali tidak kubutuhkan, Pak Dirga barusan.
Aku sengaja memilih kalimat yang sama ambigunya. Kata-kataku bagai umpan untuk mendapatkan jawaban sejauh apa bosku mengetahui rahasiaku.
Kalau bosku membuat reaksi seperti tersenyum mengejek atau terbahak-bahak lalu mengatakan bahwa aku pernah memakainya di Underplay, maka sudah bisa dipastikan bahwa dia telah tahu siapa sekretarisnya ini.
Tapi seandainya bosku menjelaskan sejarah parfumnya tanpa ada kaitannya dengan Underplay, maka semua ini hanya kebetulan semata dan dia masih tidak tahu menahu perkara diriku yang punya hobi menari di Underplay.
"Nggak semahal bayangan kamu, Lalita. Pakai saja, saya rasa wanginya akan cocok banget sama kamu."
Jawaban Pak Dirga sangat ambigu. Maksudnya, apakah cocok dengan wangi Lolita yang menari di pangkuannya atau cocok karena parfum ini punya wangi ceri dan vanila?
"Come closer," katanya berusaha melepaskan tas berisi parfum itu dari peganganku.
Dua tanganku malah mengetatkan cengkeraman pada tas berisi parfum. Aku tidak ingin mencoba parfum yang dia berikan itu sekarang. Sekali parfum itu menyentuh kulitku, maka bisa dipastikan wangi Lolita akan tercium oleh bosku. Lebih baik semuanya ambigu daripada jelas--jelas berakhir musibah.
Dia akhirnya berhasil memindahkan tas yang kupertahankan. Pak Dirga mengambil isinya, mengeluarkan parfum itu dari kotaknya. Membuka penutup botolnya lalu mengambil satu tanganku. Jari-jarinya menyentuh telapak tanganku. Siap menyemprot parfum itu ke bagian dalam pergelangan tanganku.
"BAPAK DIRGANTARA!" Teriakanku membuat bosku mundur selangkah. Antara kaget dan bingung.
"Biar saya sendiri yang pake." Aku merebut parfum dari tangannya. Memyemprot ke area leherku, di mana minyak aromaterapi banyak kuaplikasikan di sana. Setidaknya, baunya akan bercampur dengan bau eukaliptus.
Bersamaan dengan botol parfum yang kembali tertutup, bosku menyeringai. Membuatku waspada. Aku sampai lupa caranya bernapas karena khawatir. "Smells good, kan? Saya suka wangi ceri."
Aku mundur selangkah, hampir menabrak pintu. Mengangguk samar karena itu satu-satunya gerakan yang mampu kuberikan.
"Right call. Karena saya nggak akan biarin sekretaris saya berbau minyak aromaterapi saat bertemu dengan direktur dari perusahaan lain."
"Baik, Pak Dirga," kataku akhirnya.
"Oh iya, Lalita," panggilnya lagi ketika tanganku kembali menggapai kenop pintu.
APA SIH, APA HAH?
Teriakan itu hanya berlarian di kepalaku. "Iya, Pak?"
Bosku menunjuk ke kacamata yang kukenakan. "Kamu minus berapa?" tanyanya. Melihat langsung ke sepasang mataku dan langsung berhasil membuatku kembali diselimuti kecemasan.
"Dua."
Salah satu ujung bibirnya naik. Membuat seringai yang terlalu mencurigakan. "Bohong."
Kaki, kumohon bertahan. Jangan sampai kehilangan kekuatan untuk berdiri. "Saya mana berani bohong sama Bapak," kataku setelah menelan kekalutan.
"Saya juga minus, Lalita, sebelum lasik setahun lalu. Tapi kenapa kacamata saya lebih tebal daripada kacamata kamu yang kelihatannya nggak ada lensa minusnya sama sekali?"
PAK DIRGANTARA, LO BISA DIEM NGGAK SIH? NGAPAIN RIBUT BANGET SAMA YANG GUE PAKE!
Kalau dia sudah menangkap basah aku, harusnya dia langsung bilang. Jangan bersikap ambigu dan membingungkan begini. Atau aku harus mengakuinya lebih dulu? Bahwa aku menari untuknya malam itu di ruangan paling ujung Underplay.
"Oh, ini kacamata anti radiasi, Pak. Kacamata minus saya masih di tas."
"Mulai besok ganti ke lensa kontak, Lalita. Nanti saya ganti biayanya."
Haruskah aku hanya mengangguk setuju lalu keluar dari ruangannya? Atau perlukah aku menanyakan apa niat bosku yang sebenarnya?
"Baik, Bapak."
Aku belum bisa mengambil resiko yang besar. Untuk sementara waktu, aku memilih untuk berjalan di atas tali, probabilitas terbaiknya sama besar dengan kemungkinan terburuknya. Semuanya masih ambigu dan aku belum jatuh terjerembab ke tanah.
==
"Lo sama Bapak lo, lagi recreate film Cinderella?" tanya Riandry sambil melihatku dari ujung rambut ke ujung kaki. Berulang kali. Sekadar info saja, kadang kala aku dan Riandry memanggil atasan kami sebagai 'Bapak'.
Badanku sudah sewangi Anya. Oh tenang, aku tentu tidak akan memakai parfum pemberian bosku. Meminta tolong pada mama untuk membelikan parfum beraroma ceri--cenderung fruity floral, dan kupakai mulai hari ini.
Menuruti kemauan Pak Dirga yang kemarin memberondongku dengan permintaannya yang mencurigakan dan ambigu, aku melepas kacamata yang selama ini sudah jadi bagian dari 'gaya khas' Lalita.
"Bukan film Cinderella. Bapak gue lagi nyadur adegan Pretty Woman. Bikin prostitute jadi a lady."
"Heh, mulutnya!" protes Riandry tak suka. "Siapa yang ngajarin ngomong gitu? Lo jangan ikut-ikutan jadi kayak Anya atau Agnes."
Riandry masih saja menganggapku sama seperti adik perempuannya yang masih SMA dan polos. Dia masih yakin bahwa aku tidak pernah berdekatan dengan hal-hal yang melanggar hukum dan melanggar norma agama.
"Tapi, Lita, gue suka perubahan lo. Lebih berseri-seri. Mata lo yang cantik nggak ketutupan sama kacamata."
Mendengar kata berseri-seri, aku langsung merasa tak suka. Berusaha memberinya tatapan mencela.
"Kenapa wajah lo kayak lagi maki-maki gue ya?" tanya Riandry sambil mendelikkan sepasang matanya padaku.
"Enggak." Aku buru-buru menggandeng lengan Riandry. Menariknya agar kembali berjalan menuju kantin. "Lo bisa nebak nggak, kenapa Bapak gue begitu?"
Riandry melihat wajahku sekilas sebelum pandangannya beralih ke langit-langit. Memikirkan kenapa bos baruku begitu ikut campur perkara penampilanku. "Mungkin nggak sih kalau Bapak lo ...," Riandry menoleh ke belakang sebelum membisikkan kalimat selanjutnya, "boty!"
"Hah?"
"Gay, Lalita," jelasnya. Aku tahu apa arti boty. "Maksud gue, kenapa gitu dia mendadak pengen make over lo? Kalian ketemu langsung baru dua kali tapi dia dengan seenaknya, menginvasi privasi lo. Lo harus pake parfum. Lo harus lepas kacamata. Biasanya boty-boty kelas atas tuh fashionista, Lita. Mereka suka geregetan gitu kalau lihat penampilan yang nggak up to date sama fashion sekarang ini. Jiwa gay Bapak lo kayaknya terpanggil karena dia gemes pengen make over penampilan lo."
Ingatanku saat duduk di atas pangkuan Pak Dirgantara malam itu, kembali seperti kereta cepat yang menabrak langsung ke otakku. Membuatku mendadak gerah. Malam itu, meskipun di antara kami masih terhalang beberapa lembar kain, aku tahu Pak Dirga merasa sesak dan tegang.
"Duh, padahal dia gantengnya nggak manusiawi."
Mulutku bergerak lebih cepat daripada kemampuan berpikirku. "Nggak mungkinlah Pak Dirga boty."
"Maksud lo," Riandry menutup mulutnya dengan dua tangan, mendramatisasi keadaan, "bapak lo top?"
Aku melihat Riandry putus asa. Maksudku, Pak Dirga tidak mungkin gay. Kalau dia gay, dia tidak akan repot-repot datang ke Underplay yang punya banyak peraturan. Dia juga tidak mungkin bisa 'tegang' saat aku menari di atas pangkuannya.
Riandry merangkum wajahku. "Lo belum lihat sehitam apa dunia yang kita tinggali sekarang, Lalita sayang." Percuma meminta pendapat Riandry, dia melantur kemana-mana.
Aku mengembuskan napas kuat-kuat. Menyerah. "Mungkin dugaan lo benar. Bapak gue gay."
"Siapa yang gay?"
Aku dan Riandry menoleh ke belakang hampir bersamaan. Menemukan Anya dan Agnes berdiri tak jauh dari kami. "Bapak lo?" Agnes menunjukku. "Maksudnya Pak Dirgantara?"
==
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
