
Namaku Ayra Zahra Amira, usiaku 19 tahun. Aku ingin bercerita, setahun yang lalu aku sangat bahagia karena menikah dengan pria dewasa yang selama ini aku kagumi. Namanya Barra Hanif Widjaja, usianya 35 tahun saat ini. Namun, sayangnya pernikahanku dengannya terjadi karena paksaan serta perjodohan keluarga, dan aku tahu jika Kak Barra tidak pernah mencintaiku.
Tapi, apakah aku salah jika mencoba membuat suamiku jatuh cinta padaku? Agar pernikahan kami yang ada di atas perjanjian tidak berakhir dengan...
Bab 1. Kecelakaan Mobil
***
"Brak!”
“AAKKHH!” teriak gadis yang sedang mengemudikan mobilnya. Tubuhnya terguncang seirama dengan badan mobil yang kini terguling setelah ditabrak truk dari sebelah kanan yang dikemudikan dengan kecepatan tinggi.
Gadis cantik itu tersenyum saat tubuhnya terguncang di dalam mobil. “Ya Allah jika Engkau mengizinkan aku selamat dari musibah ini, diberikan kehidupan kedua. Aku memohon padaMu buanglah rasa cinta ini yang selama ini aku beri untuk suamiku. Lumpuhkan ingatanku agar tidak lagi mengingat betapa besarnya aku berharap mendapatkan cinta suamiku. Aku akan rela melepaskannya demi orang yang ia cintai. Aku rela,” batin gadis itu amat memilukan.
Darah mulai bercucuran dari bagian kepalanya dan semakin lama mobil yang ia kemudikan berhenti bergerak begitu juga dengan tubuh gadis itu. Tatapan matanya begitu tampak rapuh dan menyedihkan jika dilihat orang lain.
“Aku mencintaimu Kak Barra, selamat tinggal. Semoga Kak Barra hidup bahagia,” gumam gadis itu begitu lirih, dan perlahan-lahan matanya pun terpejam.
Ayra Zahra Amira, gadis cantik berusia 19 tahun. Kulit putih bagaikan batu pualam, hidung mancung, wajahnya blasteran Belanda dan Padang. Siapa pun akan terpesona jika memandanginya. Tapi, sayangnya jalan hidupnya tidak secantik wajahnya, penuh luka yang ia rasakan karena ia hadir ke dunia berkat hasil perselingkuhan.
Satu tahun yang lalu ketika Ayra baru lulus sekolah terpaksa menikah dengan pria bernama Barra Hanif Widjaja, usia 35 tahun saat ini, demi permintaan kakek mereka. Pria itu pun masih saudara dari pihak papanya, dan kebetulan sekali sudah lama Ayra diam-diam menyukai sosok pria dewasa itu. Namun, rupanya Barra sudah memiliki calon istri hanya saja belum diketahui siapa wanita itu.
Pernikahan selama satu tahun dengan Barra pun begitu pelik, tidak seindah yang Ayra bayangkan karena sejak malam pertama Barra meminta ia menandatangani kontrak pernikahan, yang mencantumkan jika pas satu tahun pernikahan pria itu akan menceraikannya.
Semenjak itulah Ayra bertekad akan membuat suaminya jatuh cinta dengan segala caranya, sampai ia merendahkan dirinya di depan Barra hingga perceraian itu tidak akan pernah terjadi.
Tetapi kenyataannya Barra sama sekali tidak melihatnya walau mereka tinggal seatap, pria itu semakin dingin dan arogan padanya. Dan, sejak menikah hingga sekarang Barra tidak pernah menggaulinya sebagaimana mestinya sebagai istri.
Satu jam sebelum kejadian kecelakaan. Entah mengapa hari itu Ayra ingin sekali mengantarkan makan siang untuk suaminya ke kantor meskipun pria itu tidak memintanya. Begitu ia memaksa masuk ke ruang kerja Barra setelah asisten pribadi suaminya sempar mencegahnya. Akhirnya pada saat itu Ayra jadi tahu mengapa suaminya tidak membalas cintanya. Ayra melihat sendiri suaminya sedang mencium mesra bibir kakak tirinya yang selama ini bekerja sebagai sekretaris suaminya, dan Barra tidak mengetahui jika Ayra melihat adegan tersebut.
Hati gadis itu hancur saat itu juga, lalu berlarian meninggalkan perusahaan Barra, kemudian mengemudikan mobilnya dengan kegalauan yang menguasai hatinya ketika itu. Kepalanya penuh pertanyaan. Jika Barra menyukai kakak tirinya mengapa pria itu menikahinya? Ada apa gerangan?
Bisa saja Barra memilih kakak tirinya ketimbang ia yang tak pernah menerima cinta dari suaminya.
Kini, terjawablah mengapa kakak tirinya rajin ke mansionnya dengan alasan pekerjaan
***
Tiga bulan kemudian.
“Bagaimana keadaannya,” tanya Barra yang baru saja tiba di bandara Soekarno Hatta.
“Keadaan siapa Tuan?” tanya Daud, asisten pribadi Barra.
Pria itu berdecak sebal sembari memicingkan matanya, langkah kakinya semakin besar. “Ayra!” jawab Barra dengan ketusnya.
“Oh, saya pikir nona Cantika. Nona Ayra sebulan yang lalu siuman dari komanya, dan sekarang masih masa pemulihan di rumah sakit,” lapor Daud.
Sejak kejadian kecelakaan yang menimpa Ayra, beberapa hari kemudian Barra berangkat ke Australia selama tiga bulan demi mengurus kerja sama dengan perusahaan di sana. Dan, bisa dipastikan jika Barra tidak pernah menanyakan keadaan gadis yang masih sah menjadi istrinya. Begitu tidak sukanya Barra pada Ayra.
Ya, Barra terkesan tidak peduli pada Ayra, karena gadis itu pun pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan minum obat tidur dengan dosis tinggi demi mendapat perhatiannya, dan kali ini pria itu beranggapan hal yang sama. Padahal untuk saat ini kasusnya berbeda, kecelakaan itu murni tidak direncanakan oleh Ayra.
“Tuan yakin akan mengajukan perceraian pada nona Ayra saat ini, bagaimana jika nanti Tuan Besar mengamuk?” tanya Daud baru teringat jika Tuannya meminta ia memberikan berkas surat pengajuan cerai untuk ditanda tangani Ayra.
“Kalau begitu kita lihat keadaannya, nanti akan saya pertimbangkan jika keadaannya masih tidak memungkinkan,” balas Barra.
Daud hanya mengangguk dan terus melangkah mengikuti tuannya.
Sementara itu di rumah sakit tempat di mana Ayra masih di rawat. Tampak gadis itu tertatih berjalan dengan dibantu Vivi, sahabatnya yang selama ini menemaninya hampir setiap hari.
“Ayo Ayra, kamu pasti bisa berjalan kembali. Kamu bisa!” seru Vivi memberikan semangat.
Ayra menarik napasnya dalam-dalam, dan merasakan kakinya menapaki dinginnya lantai, kemudian kembali melangkah perlahan-lahan.
“Pasti aku bisa ya, Vi,” balas Ayra tersenyum.
Hati Vivi begitu iba dengan sahabatnya ini, sejak awal mengetahui sahabatnya kecelakaan tidak ada satu pun keluarga yang menunggu, apalagi suaminya menyerahkan urusan Ayra kepada pihak rumah sakit dengan menyewa perawat. Papanya Ayra saja bisa dihitung dengan jari menjenguk gadis itu, sedangkan mama tiri serta kakak tirinya jangan berharap akan datang menjenguknya.
“Ya, kamu pasti bisa dan akan kuat menghadapi segalanya. Kamu beruntung diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali, itu pertanda kamu harus memperbaiki hidupmu, Ayra,” imbuh Vivi dengan lembutnya lalu ia memapah Ayra untuk kembali duduk di kursi yang ada di ruang terapi.
“Terima kasih Vivi, kamu sahabatku satu-satunya yang peduli denganku. Aku sangat beruntung.”
“Aku pun sangat beruntung punya sahabat sepertimu, berkat bantuan kamu aku bisa melanjutkan sekolah dan bisa kuliah, Ayra. Dan, sekarang giliran aku yang membalas kebaikanmu.”
Ayra mengulum senyum hangat, lalu menggenggam tangan sahabatnya.
“Jangan bersedih lagi ya, apa pun keputusanmu aku akan selalu berada di sisimu,” lanjut kata Vivi meyakinkan Ayra.
Vivi adalah tempat curhat Ayra, jadi sedikit banyaknya Vivi tahu masalah dan apa yang terjadi pada pernikahan sahabatnya.
***
Satu jam kemudian setelah sesi terapi selesai, Ayra kembali ke ruang rawat. Dan, di dalam ruang rawat ia seorang diri karena Vivi harus kembali bekerja part time di salah satu butik ternama.
Suara derit pintu terdengar, Ayra lantas menatap ke arah pintu.
“Selamat siang Nona Ayra,” sapa pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
Gadis itu agak memicingkan matanya, berusaha mengingat siapa yang menyapa dirinya.
“Siang, maaf Bapak siapa ya?” tanya Ayra yang masih belum mengingat pria tersebut.
Daud lantas tercenung melihat Ayra tidak mengenalinya.
“Saya Daud, asisten pribadi Tuan Barra.” Pria itu memperkenalkan dirinya kembali, padahal dulu Ayra sangat mengenal Daud.
Ayra mengernyitkan keningnya. “Tuan Barra? Siapa Tuan Barra?”
Pria yang namanya disebut kini masuk ke dalam ruang rawat inap, lalu ia melangkah mendekati tetap Ayra duduk.
“Kamu jangan berlagak amnesia, Ayra!”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
