
“Ge….” Panggil Bram.
“Apa?” Geina menatap Bram yang seakan ingin mengeluarkan suara. Tapi pria itu malah menutup mulutnya. “Enggak jadi,” ujarnya.
“Bapak kenapa, sih? Kebelet pup?” tanya Geina. Memang kalau dilihat-lihat, ekspresi Bram seperti orang menahan hajat.
“Terima kasih sudah masakin Bian dan saya. Masakan kamu enak.”
“Hah? Apa, Pak?”
BAB 7
“Enak?”
Bian mengangguk antusias. Geina tersenyum bahagia. Tak sia-sia perjuangannya untuk bangun pagi dan masak sarapan untuk Bian. Bocah itu kini sibuk menyantap nasi goreng ayam buatannya.
“Besok buatin Bian nasi kuning kayak buatan bunda, ya, Ma, ya,” pinta Bian disela-sela kunyahannya. Geina mengangguk siap. Ia jadi bersemangat jika masakannya diapresiasi seperti ini. Ia juga baru tau jika makanan favorit Bian adalah nasi kuning lengkap dengan ayam suwir.
Geina bisa memasak, meskipun hanya sebatas masakan rumahan. Meskipun anak tunggal, dari kecil mamanya sudah mengajarkannya untuk mandiri. Ia sudah terbiasa masak sendiri ketika mamanya dulu membantu papanya untuk mengurus perusahaan. Namun, sejak kuliah memang dirinya sudah jarang sekali memasak. Dan hari ini pertama kalinya ia masak setelah sekian lama. Untung saja masakannya masih enak.
“Bapak mau sarapan sekalian?” tawar Geina ketika Bram datang dengan setelan kemeja warna soft bluenya. Geina sontak berdehem ketika melihat Bram yang berjalan sambil menggulung lengan kemejanya. Astaga, bahkan hari ini warna pakaian mereka senada.
“Kamu masak?” tanya Bram. Pria itu duduk di samping Bian dan mengusap puncak kepalanya. “Enak?” tanyanya. Bian mengangguk dan melanjutkan makannya.
“Saya bawa tiga kotak. Satu untuk Bian, satu untuk saya, dan satu buat Bapak, kalau mau.” Geina menyodorkan sekotak tupperware berisi nasi goreng buatannya ke depan Bram, yang langsung pria itu terima setelah mengucapkan terima kasih.
Semalam, Kyla menghubungi Geina dan meminta tolong kepadanya agar membelikan sarapan Bram dan Bian karena Kyla sedang ada urusan mendadak dengan Vano di luar kota. Lantas Geina memutuskan untuk membuatkan sarapan saja dari pada membeli. Hitung-hitung dia unjuk bakat kepada Bram, supaya pria itu tidak menganggapnya remeh.
Geina juga membuatkan bekal makan siang untuk Bian. Dari informasi Kyla, Bian tidak bisa makan sembarangan, apalagi jajanan-jajanan dari luar. Untuk itu, Geina inisiatif membawakan bekal makan siang untuk Bian bawa ke sekolah.
“Bian berangkat dulu, Papa,” ujar Bian ketika bus jemputan sekolahnya sudah datang. Bian menyalimi tangan Bram dan mencium pipi pria itu. Hal yang sama pun dilakukan oleh Bram kepada Bian. “Belajar yang baik, ya.”
“Bian berangkat dulu, Mama.” Geina tersenyum. Kupu-kupu di perutnya seakan bertebaran menggelitik perutnya, hingga membuatnya tersenyum lebar. Rasanya ia benar-benar jatuh cinta dengan Bian. Dan mungkin ia juga tak rela jika ada perempuan yang dipanggil Bian dengan sebutan ‘mama’ selain dirinya.
Tapi Geina tidak ingin menjadi istri Bram.
Geina akhirnya berangkat bersama Bram. Mobilnya ia letakkan di rumah Bram, sementara mereka berangkat menggunakan mobil Bram.
“Nanti malam bisa ikut saya?” tanya Bram memecah keheningan dalam mobil.
“Kemana, Pak?” Geina menatap Bram dengan tatapan sedikit curiga. Jangan-jangan Bram ingin mengajaknya kencan? Geina buru-buru menggelengkan kepalanya mencoba menghilangkan pikiran absurdnya. Dekat dengan Bram membuat otaknya sedikit error.
“Ke pesta ulang tahun rekan kerja saya.”
Geina mengerutkan dahinya. “Kenapa ngajak saya? Kenapa Bapak enggak ajak mbak Amira? Kayaknya Bapak lebih cocok sama mbak Amira daripada sama saya,” ujarnya jujur. Geina pikir, undangan dengan rekan kerja biasanya dihadiri atasan bersama sekretarisnya. Karena kurang lebih undangan ini juga untuk menjaga relasi perusahaan, kan?
“Kenapa saya ajak Amira kalau ada kamu?”
“Eh … gimana-gimana, Pak?” tanya Geina bingung. Bram mengetuk kepada Geina pelan. “Saya enggak suka ngomong hal yang sama dua kali,” ujarnya.
Geina mendengus. “Lagian, nih, Pak. Biasanya untuk urusan pekerjaan gini, harusnya kan sekretaris yang lebih paham sama perusahaan. Saya kan asisten pribadi Bapak. Ntar kalau saya ditanya tentang perusahaan dan saya enggak bisa jawab gimana?”
Bram tertawa pelan. “Kita mau datang ke pesta pernikahan, bukan mau rapat. Kamu cuma perlu temani saya.”
Geina mengerucutkan bibir, merasa tak terima dengan pembelaan Bram. “Tapi masa saya cuma diam aja. Kali aja teman Bapak suka nanya-nanya.”
Bram mendesah gemas. “Paling nanti kamu ditanya, kamu siapa saya. Tinggal jawab aja, sih,” ujar Bram gemas.
“Saya harus jawab apa, Pak? Saya calon istri Bapak gitu?” Geina terdiam. Dia memukul pelan mulutnya sendiri. Bagimana bisa dia kelepasan begini.
“Kamu ngarep banget, ya, mau jadi istri saya?” Bram tertawa mengejek. Sementara Geina mencebikkan bibirnya.
“Siapa juga yang mau jadi istri Bapak. Saya cuma bercanda aja. Bapak sih kaku orangnya, enggak bisa diajak bercanda,” bela Geina mencoba menyembunyikan rasa malunya.
“Oh … bercanda. Saya pikir beneran. Kalau beneran juga enggak apa-apa, loh.”
Geina langsung terbatuk. Ia memandang Bram dengan tatapan tak percaya. Namun, Bram justru terbahak-bahak ketika melihat ekspresi Geina. “Nah … siapa yang enggak bisa diajak bercanda? Kamu atau saya?” katanya masih dengan tawa kerasnya.
Geina mendengus sebal. Hari itu, Geina malas berbicara dengan Bram. Perjalanan mereka menuju kantor hanya diiringi dengan suara musik sebagai pemecah keheningan. Bram sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedangkan Geina masih mencoba untuk menetralkan jantungnya. Bercanda dengan Bram ternyata memberikan efek yang luar biasa kepada jantungnya.
***
“Siang, Mbak,” sapa Geina pada Amira. Amira tersenyum manis dan membalas sapaan Geina. Geina terpesona. Ia sebagai perempuan saja suka sekali menatap wajah Amira yang manis itu. Kok bisa-bisanya Bram tidak tertarik. Buntung banget kalau Bram enggak jadi sama Amira.
“Ikut saya makan siang.” Bram menarik lengan Geina tiba-tiba. Gadis itu memberontak dan melepaskan pegangan tangan Bram. “Bapak apa-apaan, sih. Main tarik-tarik aja,” keluhnya.
“Saya enggak suka ngomong hal yang sama dua kali,” ujar Bram cukup membuat Geina paham. Gadis itu kemudian menoleh ke arah Amira yang sedari tadi memperhatikan interaksinya dengan Bram. “Mbak Amira mau ikut makan siang bareng kita?” tawar Geina. Ia melirik Bram yang tampak ingin protes, namun Geina mengabaikannya.
“Boleh?”
“Boleh, dong. Iya, kan, Pak?” tanya Geina kepada Bram. Bram menghembuskan nafasnya pelan dan mengangguk terpaksa.
Mereka memutuskan untuk makan siang di warung nasi padang langganan Bram, yang mungkin kini juga akan menjadi langganan Geina. “Mau pakai lauk apa, Mbak?” tanya Geina kepada Amira yang sedari tadi hanya diam.
Amira menggeleng. “Aku kayaknya harus pergi dulu, deh, Ge. Aku lupa kalau ada janji makan siang sama temanku hari ini. Maaf, ya.” Amira segera berpamitan dan kembali lebih dulu. Geina hanya mengangguk mengiyakan karena merasa bersalah. Ia merasa Amira tidak merasa nyaman.
“Kan sudah saya kode kamu tadi, jangan ajak Amira.”
“Ya mana saya tau kalau Mbak Amira ada janji sama orang lain. Kan, niat saya baik.”
Bram mengetuk dahi Geina. Entah kenapa sepertinya pria itu suka sekali mengetuk dahi Geina sekarang. “Amira itu tidak suka makan makanan seperti ini.”
Geina ber-oh ria. “Terus kenapa Bapak ngajak ke sini kalau tau Mbak Amira enggak suka makan nasi padang?”
“Terserah saya lah. Yang mau makan saya.”
Geina melengos. Ia kemudian menyantap nasi padang yang tadi sudah ia pesan. Nasi padang lengkap dengan sayur nangka, rendang, dan sambal. “Btw … Bapak tau banget ya tentang Mbak Amira.”
“Jangan mikir aneh-aneh. Apa enggak cukup kepala kamu saya ketuk tiap hari biar jiwa kepomu berkurang?”
Geina mencebikkan bibirnya. “Ya udah kalau enggak mau jawab.” Ia kembali melanjutkan makannya.
“Ge….” Panggil Bram.
“Apa?” Geina menatap Bram yang seakan ingin mengeluarkan suara. Tapi pria itu malah menutup mulutnya. “Enggak jadi,” ujarnya.
“Bapak kenapa, sih? Kebelet pup?” tanya Geina. Memang kalau dilihat-lihat, ekspresi Bram seperti orang menahan hajat.
“Terima kasih sudah masakin Bian dan saya. Masakan kamu enak.”
“Hah? Apa, Pak?”
“Saya enggak suka ngomong hal yang sama dua kali.” Usai mengucapkan itu, Bram sibuk dengan makan siangnya. Sementara Geina diam mematung. Senyumnya perlahan terbit. Apa Bram sedang memujinya?
BAB 8
Suara nyaring menyanyikan lagu Piala Dunia 2010 mengiringi proses make up Geina. Geina berusaha menahan tawanya ketika penata rias berjenis kelamin laki-laki itu menggoyangkan pinggulnya ke sana kemari, menyesuaikan dengan lagu yang ia nyanyikan.
“Ulala … selesai. Siapa aja yang look ente, pasti langsung terpesona, deh,” ujarnya manja.
Geina tersenyum, menggigit bibir dalamnya untuk menahan tawanya yang ingin menyembur keluar. Ia lantas menatap wajahnya di cermin. Merasa takjub, Geina sontak bertepuk tangan. “Gila … enggak main-main skill make up nya,” gumamnya pelan.
“Thank you, Sis,” ujar Geina kepada penata riasnya. Kini ia bergegas untuk keluar menemui Bram yang sudah menunggunya sedari tadi. Awalnya, Geina menolak ketika Bram mengajaknya untuk membeli pakaian dan pergi ke salon. Namun, pria itu mengancam akan memotong gajinya jika tidak mengikuti perintahnya. Alhasil, Geina manut saja. Yang penting semua ini Bram yang membayar.
“Saya sudah selesai, Pak. Gimana? Cantik enggak?” tanya Geina. Ia sempat melihat raut wajah Bram yang tercengang. Namun, pria itu langsung berdehem pelan. “Enggak sia-sia saya bawa kamu ke salon ini,” ujarnya. Geina mendengus. Bram selalu bisa merusak moodnya. Tinggal bilang Geina cantik, apa susahnya?
Perjalanan dari salon menuju hotel bintang lima tempat pesta dilaksanakan membutuhkan waktu 20 menit. Selama diperjalanan, baik Geina ataupun Bram tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Hingga sampai di tempat parkir basement hotel, Bram mengeluarkan suaranya untuk mengajak Geina keluar.
“Ayo,” ucap Bram mengulurkan tangan ke arah Geina. Geina menyambutnya dengan perasaan campur aduk, yang anehnya membuat hatinya berdesir hangat.
Geina menatap sekeliling. Suasana mewah menyambutnya ketika baru saja masuk. Dengan interior bernuasa putih menambah kesan glamour di sana. Ia yakin jika rekan kerja Bram ini lebih kaya dari Bram.
“Pak,” bisik Geina. Bram menoleh. “Saya kok jadi insecure, ya. Saya kelihatan kayak anak remaja gara-gara pakai baju ini. Harusnya Bapak beliin saya dress yang lebih sexy gitu,” lanjutnya. Dress yang dibelikan Bram memang khusus untuk orang dewasa, tapi cukup tertutup. Namun Geina merasa, dress itu membuatnya terlihat seperti anak remaja.
“Harusnya kamu berterima kasih sama saya. Kalau saya beliin kamu baju sexy, yang ada kamu malu sendiri. Enggak ada yang menonjol dari tubuh kamu.”
Geina terdiam. Sepersekian detik, dia langsung menutup dadanya. “Bapak jangan mesum. Sejak kapan Bapak lihatin punya saya?” selidik Geina.
“Saya enggak pernah sengaja lihatin. Tapi kamu tiap hari sama saya, ya wajar kalau saya tau gimana postur tubuh kamu. Tapi saya apresiasi, kamu tidak mengumbar-ngumbar punyamu.”
Geina menghentakkan kakinya dan sedikit merengek, membuat beberapa pasang mata menatap mereka. “Ssstt … diam. Jangan malu-maluin saya,” bisik Bram panik. Pria itu tersenyum menatap sekelilingnya seakan mengatakan bahwa dirinya dan Geina baik-baik saja.
“Bapak tau, perempuan paling enggak suka kalau dikata-katain fisiknya sama laki-laki. Saya beneran marah, loh, ini.” Geina kembali merengek.
Bram mulai panik ketika melihat semakin banyak pasang mata yang menatap mereka berdua. “Oke saya jujur. Tapi kamu diam dulu.”
“Jujur apa?”
“Diam dulu.”
Geina mendesah dan tersenyum ke orang-orang disekitarnya, membuat mereka yang ada di sana lantas kembali sibuk dengan urusan masing-masing. “Jujur apa? Saya nangis, nih, kalau kejujuran Bapak mengecewakan saya,” ancam Geina.
Bram mengetuk kepala Geina. “Saya baru tau kalau kamu suka mengancam orang,” keluhnya.
“Ya udah apa? Cepat,” ancam Geina lagi. Bram mendesah. “Saya enggak mau kamu tubuh kamu dinikmati laki-laki mata keranjang, makanya saya pilihin baju yang tertutup,” ujar Bram sedikit lirih.
Geina sontak tersenyum lebar. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. Bahkan ia yakin jika wajahnya kini sudah memerah karena malu.
“Jangan senyum-senyum enggak jelas gitu, saya takut.” Bram membuyarkan kesenangan Geina. Ia mendengus dan menggerutu pelan. Bram memang sosok laki-laki yang tidak bisa melihat Geina senang.
“Eh … ada mbak Amira, Pak.” Geina menunjuk ke arah Amira yang berdiri tak jauh dari posisi mereka saat ini. Namun, Amira sepertinya tidak melihat mereka. Geina berniat untuk memanggilnya, namun Bram menahannya. “Biarin aja,” ujarnya.
Bram akhirnya mengajak Geina pergi menemui rekan kerjanya, tuan rumah acara ini. Namanya Gery. Geina pikir rekan kerja yang dimaksud adalah orang yang menikah. Ternyata rekan kerja Bram adalah ayah dari orang yang menikah hari ini.
“Ini asisten saya, Geina,” ujar Bram memperkenalkan. Geina mengangguk dan tersenyum menyambut uluran tangan Gery. “Selamat atas pernikahan putranya,” ucapnya.
Gery tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Mereka sempat berbincang masalah pekerjaan yang Geina sendiri tidak terlalu paham. Namun, ia tetap mendengarkan, takut jika tiba-tiba Gery bertanya sesuatu padanya.
Pundak Bram ditepuk pelan oleh Gery, membuat Geina mengernyitkan dahi. Sedekat itukah Bram dengan rekan kerjanya?
“Ternyata selera kamu masih sama,” ujar Gery sambil tertawa pelan. Bram hanya tersenyum menanggapi, sementara Gery pamit untuk menyapa tamu yang lain.
“Saya lapar, Pak. Ayo makan.”
“Kamu duluan, saya mau nemuin teman saya sebentar.”
Geina mengangguk dan segera menuju ke tempat makanan. Hidangan yang tersaji cukup banyak dan beragam. Geina sempat bingung ingin makan apa. Tapi kemudian pilihannya jatuh pada sate ayam dan nasi goreng.
“Hai.” Tiba-tiba seorang pria duduk di depan Geina. “Hallo,” balasnya.
“Sendirian?”
Geina sempat bingung, tapi sepersekian detik ia mulai paham. “Ah … aku sama bosku.”
Pria dengan lesung pipi itu tersenyum dan mengangguk. “Boleh kenalan? Aku Aska.” Pria itu mengulurkan tangannya yang kemudian disambut ramah oleh Geina. “Aku Geina.”
“Kamu-” ucapan Aska terhenti ketika tiba-tiba Bram datang dan langsung mengajaknya pulang.
“Oh kamu bosnya. Kenapa buru-buru pulang? Kasian dia baru makan,” kata Aska ketika melihat Bram yang menggandeng lengan Geina paksa.
“Ayo pulang,” ajak Bram kembali. Geina yang menyadari jika mood Bram sedang tidak baik-baik saja segera berdiri.
“Santai, Bro. Aku enggak akan ganggu kalau itu punya kamu. Lagian Amira gimana? Ditolak lagi?” Aska tersenyum mengejek. Dari apa yang Geina lihat sekarang, sepertinya Aska dan Bram memiliki hubungan yang kurang baik. Dan sepertinya Bram lah yang lebih tidak menyukai Aska.
“Bukan urusan kamu,” geram Bram. Ia kemudian menarik lengan Geina dan membawanya keluar. Pria itu tidak menghiraukan Geina yang mencoba melepaskan tangannya. Tak sadar, cengkraman Bram di lengannya semakin kuat hingga membuat Geina kesakitan.
“Lepas, Pak. Sakit.”
Bram berhenti dan langsung melepaskan cengkramannya. Ia menatap Geina yang menggerak-gerakkan pergelangan tangannya. Bram hanya bisa diam. Perasaannya campur aduk.
“Bapak kenapa, sih?”
Bukannya menjawab, Bram malah memeluk Geina erat, membuat gadis itu langsung mematung. Bahkan Geina sempat menahan nafasnya karena terkejut.
“Maaf. Maafin saya,” ujar Bram pelan. Geina tak menjawab. Tubuhnya terasa kaku untuk sekadar bergerak. Ia bingung harus merespon apa. Pada akhirnya, ia membiarkan Bram memeluknya. Membiarkan pria itu untuk meredam apa pun yang ada dipikirannya.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata tengah menatap mereka dengan perasaan benci.
BAB 9
“Gege berangkat dulu, ya, Ma.” Geina mencium pipi mamanya dan langsung ngacir keluar rumah. Ia sempat mendengar teriakan mamanya yang sedang membuat kue di dapur. Mamanya menyuruh Geina untuk sekalian membeli beberapa stok kebutuhan dapur yang sudah dikirimkan listnya melalui WhatsApp. Ia membalas dengan teriakan oke dari luar rumah, entah mamanya mendengar atau tidak.
Geina berhenti di sebuah mall. Rencana untuk maraton drakor hari ini gagal karena mamanya akan mengadakan arisan di rumahnya. Geina bukannya tak mau membantu, hanya saja ia tak mau bertemu dengan teman-teman mamanya yang pasti akan bertanya macam-macam, tak terkecuali tentang pasangan. Bisa saja Geina berdiam diri di kamar. Tapi pasti mamanya akan menyuruhnya untuk sekadar menyalami teman-temannya.
Geina berjalan masuk. Ia sebenarnya tidak ada tujuan ke mall. Ia sudah kenyang karena baru saja makan rendang daging buatan mamanya. Ia juga malas nonton karena film yang tayang hari ini tidak sesuai dengan seleranya. Ia juga tak suka boros. Alhasil, Geina memutuskan untuk melihat-lihat saja.
Cukup lama mengelilingi mall, Geina mampir di salah satu tempat makan yang menyajikan masakan jepang. Setelah memesan, Geina mencari tempat di sisi paling pojok ruangan. Untung saja sedang sepi, jadi ia bisa memilih tempat duduk dengan mudah.
“Ge,” sapa seorang pria dari arah belakang Geina. Geina berbalik dan langsung terkejut ketika menyadari siapa yang telah menepuk pundaknya. “Ternyata beneran kamu. Long time no see, aku cari-cari kamu dari dulu tapi enggak pernah ketemu.”
Geina menyipitkan matanya. “Siapa ya?”
Pria bernama Keenan itu tertawa pelan, membuat Geina hampir saja ikut tersenyum. Namun gadis itu segera menggigit bibir dalamnya agar bibirnya tidak tertarik ke atas.
“Aku kangen kamu.”
“Aku enggak,” balas Geina sewot. Ia lalu pergi ke mejanya dan duduk di sana. Diikuti Keenan yang langsung duduk di depannya dengan masih menampilkan senyum manisnya. Geina mendesis. Bisa gagal move on kalau Keenan senyum-senyum terus, batinnya kesal.
“Kamu makin gemesin.” Tiga kata yang berhasil membuat Geina kehilangan rasa kesalnya terhadap Keenan. Gila saja, berbulan-bulan Geina mencoba move on, tapi laki-laki di depannya ini dengan mudah mendobrak pintu hatinya.
“Nah gitu, dong. Kamu makin cantik kalau senyum.”
Geina langsung menutup mukanya yang terasa panas. Sepertinya wajahnya sudah memerah. Perutnya terasa menggelitik hingga ia tak bisa menahan senyumnya yang makin berkembang. “Apa, sih?” ujarnya sewot, mencoba mengusir perasaan senangnya.
Keenan kembali tertawa dan mengusap pipi Geina. “Kamu kemana aja? Kenapa nomorku diblokir? Aku mau ke rumahmu sebenarnya, tapi takut kamu malah marah,” jelas Keenan. Geina memang tidak pernah memberitahukan alamat rumahnya pada Keenan ataupun Keegan. Ia juga melarang laki-laki itu ke rumahnya kecuali Geina sendiri yang mengajak. Geina sedikit takjub jika Keenan bisa tau rumahnya dan memilih untuk tidak ke rumahnya karena mengingat larangannya.
“Kenapa aku harus bilang? Bukannya kita enggak ada hubungan apa-apa?” Geina mulai membuka mulut.
“Kita, kan, pacaran. Aku udah bilang sama kamu kalau aku juga cinta sama kamu,” jelas Keenan. Geina mengangguk membenarkan. Memang, sih, Keenan pernah bilang jika dia mencintai Geina juga.
“Terus … abis bilang cinta kamu seenaknya ngilang?” tuntut Geina kesal.
Keenan mendesah pelan. Dia kemudian memegang kedua tangan Geina setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang mengantarkan makanan Geina. “Kamu, kan, tau kerjaan aku, Ge. Kamu juga pernah bilang mau terima konsekuensi kalau jadi pacar aku,” katanya.
Geina diam membenarkan. Keenan adalah seorang fotografer yang sudah berkecimpung di dunia internasional. Ia sudah sering terbang ke luar negeri untuk urusan potret memotret. Selain itu, Keenan juga bekerja di salah satu perusahaan luar negeri yang bergerak di bidang design grafis. Dulu, Keenan sudah mengatakan jika dirinya mungkin akan sibuk dengan pekerjaannya dan mungkin tak bisa setiap waktu menemani Geina. Saking cintanya Geina dengan Keenan, ia dengan mudah berkata iya. Namun, pada akhirnya Geina tidak suka ditinggalkan. Anak tunggal sepertinya menginginkan pasangan yang selalu ada untuk menemaninya.
“Tapi kamu enggak pernah kasih kabar,” ujar Geina masih mencoba membela dirinya. Satu hal yang tidak sukai selama menjalin hubungan dengan Keenan adalah laki-laki itu tidak pernah berkabar. Keenan suka menghilang tiba-tiba tanpa kabar.
“Maaf. Aku enggak terbiasa ngabarin orang tentang kesibukanku. Tapi aku janji, habis ini aku bakal berubah. Please, maafin aku. Aku cinta sama kamu, Ge,” ujarnya tulus.
Geina tersenyum lebar. Ada perasaan senang dalam hatinya. Melihat senyum tulus dari Keenan, membuatnya benar-benar langsung melupakan kekesalannya selama ini. Dengan pipi yang merona, Geina mengangguk pelan. Ia menerima kembali Keenan untuk menjadi kekasihnya. Meskipun dari dalam hatinya, ada satu sisi yang terasa hampa. Tapi Geina memilih mengabaikannya. Karena tepat hari ini, Geina sudah tidak jomblo lagi.
***
“Mama cantik sekali,” ucap Bian yang menatap Geina dengan mata bulatnya. Bocah itu sedari tadi duduk di pangkuan Geina yang duduk di sofa. “Makasih, Sayang,” ujarnya sambil mencium Bian dengan gemas.
Acara lamaran berjalan lancar. Geina tersenyum senang ketika mengingat senyum bahagia dan tepukan riuh semua tamu undangan ketika cincin berlian itu sudah terpasang indah di jari manis Kyla. Hari ini, akhirnya Keegan dan Kyla meresmikan hubungannya ke jenjang yang lebih serius.
“Kalau begitu kami pamit dulu.” Om Juna–papa Keegan–berpamitan pulang. Geina menyalami om Juno setelah Kyla dan Bram. Kemudian lanjut menyalami Silka–mama Keegan. “Kapan-kapan mampir ke rumah tante, ya,” ujar Silka kepada Geina. Tadi Geina sempat berbincang-bincang dengan Silka. Mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Silka dalam pandangan Geina adalah sosok yang lemah lembut dan ramah. Bahkan saking ramahnya, Silka menawarkan Geina untuk menjadi menantu keduanya yang direspon Geina hanya dengan senyumnya. Tidak tau saja jika Geina dan Keenan memang menjalin hubungan. Tapi mendengar tawaran Silka tadi, Geina tiba-tiba merasa ragu dengan hubungannya dengan Keenan. Apakah Keenan benar-benar serius dengannya? Apakah hubungan mereka nanti akan berlanjut ke pernikahan?
“Kamu nginep di sini aja, ya,” bujuk Kyla tiba-tiba. Geina ingin menolak, tapi Kyla memaksa. Gadis yang baru saja bertunangan itu bahkan sudah bersiap untuk menelepon orang tua Geina untuk meminta izin.
“Pak Bram?” tanya Geina akhirnya. “Aku udah bilang ke mas Bram, kok. Dia izinin,” jawab Kyla. Geina akhirnya mengangguk. Sepertinya bukan hal yang buruk. Mumpung besok weekend, jadi dia bisa bercerita semalaman dengan Kyla, atau bermain dengan Bian.
“Mama mau tidur di sini? Bian mau tidur sama mama,” ujar Bian dengan raut wajah berbinar. Genia mengangguk semangat. Ia akan begadang dengan Bian malam ini.
Namun, sepertinya rencananya gagal. Pukul 10 malam, nyatanya Kyla dan Bian sudah tertidur pulas, menyisakan dirinya yang kini malah tidak bisa tidur.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
