
Tak ada jawaban yang ku dapat tentang kematian ibu. Justru semakin ku cari, semakin rumit pula akar permasalahan yang terjadi. Tak ada pilihan lain, aku harus mencari, setiap jejak yang tertinggal di masa silam. Sudah pasti menjadi jawaban tentang kematian ibu yang malang.
Spoiler:
“Sekarang juga aku antar kamu ke stasiun,” ujar Bayu berapi-api, wajahnya bengis serta dibanjiri keringat. Ia tidak hanya marah karena aku yang sulit diarahkan untuk pulang, tapi ia juga marah karena hawa panas di Semarang....
Ketika matahari berada tepat di atas kepala, bersinar begitu teriknya di langit yang nyaris tak berawan. Kami merasa seperti dipanggang, di dalam ruang mau pun di luar. Hembusan angin kering menerpa dedaunan, membawa hawa panas yang menyebar, bukan sejuk yang kami rasakan.
“Sekarang juga aku antar kamu ke stasiun,” ujar Bayu berapi-api, wajahnya bengis serta dibanjiri keringat. Ia tidak hanya marah karena aku yang sulit diarahkan untuk pulang, tapi ia juga marah karena hawa panas di Semarang.
Terdengar lenguhan napasku yang kesal. “Percuma deh, kalian tahu sendiri ayahku mengidap gangguan jiwa.” mataku berputar malas. “Kalau aku nggak dapat jawaban juga, jangan salahin aku, tuh … salahin Bayu yang ngotot!”
Bayu melengos dengan tatapan tajam. Jarinya jaris menudingku dengan kejam, tapi segera diurungkan. Ia menarik napas, lalu menghembuskannya dalam-dalam. “Ya udah, siapa yang mau ikut Rana pulang? Buat memastikan aja.” ia kembali menawarkan ide gila.
“Ikut pulang gimana, kan kamu beli tiket kereta cuma satu?!” tanya Anjani.
Di samping Anjani, ada Reza yang menunduk sambil mengurut kepalanya. Ia adalah orang paling tenang di antara kami, setiap perdebatan seperti ini, pasti membuatnya pusing.
Bayu diam tatkala pertanyaan Anjani terlontar. “Nyusul, atau beli tiket lagi kalau masih ada.” katanya, pasrah.
“Kamu sama aja, Yu. Egois, mikir dong gimana kita bawa Rana ke sini, sekarang malah mau dipulangin.” bantah Anjani. Benar-benar terjadi perdebatan besar di antara kami, hanya karena perkara pulang ke Yogya.
“Dari sebelum berangkat, aku kan sudah mengimbau ke Rana, cari tahu dulu informasi apa pun!” terlihat urat-urat kepala Bayu yang menonjol. Ia kembali mengulang perintahnya tempo hari.
“Lah, kamu kan nyuruhnya cari informasi apa pun itu, apa--pun--itu!” Anjani melirik sadis, ia menegaskan pemilihan kata Bayu yang salah.
Bayu kembali menghembuskan napas dalam-dalam. “Ya, aku salah.”
“Aku aja yang ikut Rana pulang, kalian tetap lanjut di sini.” terdengar suara ngebass dari seseorang di samping Anjani yang membuat kami terdiam. Bebarengan kami menoleh pada Reza yang masih mengurut jidatnya.
Bayu tak berkutik, ia langsung diam kalau Reza sudah berbicara. Apa lagi menyangkut permasalahan sepele yang menghambat seperti ini.
“Cariin tiket, siang ini aku berangkat sama Rana.” lanjut Reza.
Kami semakin diam, mungkin dalam batin Bayu dan Anjani tak percaya jika Reza memutuskan sesuatu terlalu cepat.
“Eh, nggak usah kalau keberatan, aku bisa sendiri.” sejujurnya aku tidak benar-benar menolak karena aku memang butuh seseorang lagi untuk menjadi saksi.
Reza mendongak, tatapan matanya bagaikan elang yang siap memangsa. “Aku bilang, aku ikut, bukan aku keberatan untuk ikut.” ketus Reza.
Tidak ada lagi yang menyanggah keinginan Reza. Kami tahu, jika Reza sudah memutuskan sesuatu, maka tidak mudah untuk menggoyahkan keputusannya.
“Ya udah, aku cari tiket dulu, kalian kemasi apa saja yang perlu dibawa.” Bayu menunduk lesu, ia duduk di sudut ruang. Di mana ia sudah meletakkan bean bag yang selalu ikut dengannya ke mana pun ia pergi.
Kali ini tak ada perbincangan di antara kami. Bayu yang paling cerewet, sekarang sedang sibuk menggulir layar ponselnya.
Setelah Bayu mencari-cari tiket dan akhirnya dapat juga di jam yang sama. Tak menunggu lama, kami segera melaju ke stasiun, menerabas panas yang masih memancar terang.
Perjalanan menuju stasiun terbilang cepat karena rumah lamaku yang jaraknya tidak terlalu jauh. Sesampainya kami di stasiun, Bayu kembali mengimbau, kali ini kepada Reza. Mereka berbincang panjang lebar tentang apa saja yang harus ditanyakan.
Pensil yang dihimpit ruas-ruas jari Bayu bergoyang ke sana kemari. Di atas sebuah kertas putih yang masih baru, Bayu menuliskan semua pertanyaannya. Kemudian diberikan pada Reza.
“Nih, pokoknya Rana harus tanya tentang ini.” kata Bayu sambil menyodorkan selembar kertas.
Reza tampak serius memperhatikan serta menyimak Bayu. Dari kalimat sederhana sekali pun, ia mengingatnya betul-betul.
Setelah keduanya selesai berbincang, mereka pun menghampiri aku yang menunggu bersama Anjani. Bayu sedikit ragu, berulang kali membenarkan kacamata yang menempel di hidungnya.
"Emmm … Rana, semua pertanyaanku udah dibawa sama Reza, kamu diskusi aja sama dia.” kata Bayu, setelah mengatakan itu, ia langsung membuang muka ke mana saja.
Sementara Reza mengambil alih pembicaraan. “Pokoknya semua udah ada di sini, kita tinggal berangkat. Jani sama Bayu tetap di sini, sementara cari penginapan kalau rumah lamamu nggak memungkinkan.”
Aku mengangguk, begitu pula dengan Anjani. “Terus nanti Jani sama Bayu ngapain?” tanyaku.
“Aku lanjut ritual di rumahmu, lagian yang kemarin itu belum jelas betul.” sahut Bayu.
“Benar kata Bayu, pokoknya aku urus di sini, kamu dan Reza urus yang di Yogya. Ok?” Anjani menimpali.
“Huh … ya udah deh, kalau gini kan tenang. Aku serahin semua ke kalian, ya.” ransel yang tergeletak di kursi segera ku sampirkan pada pundak. Aku dan Reza beranjak menanti jam keberangkatan kami menuju Yogya.
Aku dan Reza berpisah dengan Bayu dan Anjani. Kami sama-sama menjalankan misi di tempat yang berbeda, tapi saling terhubung dengan pesan.
Di Yogya, aku memulai penelusuran kembali melalui kerabat ayah. Om Djarot namanya, aku ingat betul, ia sering terlihat dengan keluargaku sebelum kematian ibu. Om Djarot yang kala itu pindah tugas ke Semarang, sering meluangkan waktu untuk mengunjungi ayah. Tak jarang pula ayah dan Om Djarot terlibat kontrak kerja.
Mataku menatap rumah putih nan megah dengan gerbang besar di hadapannya. “Gila, lama nggak berkunjung, sekarang jadi istana.” ujarku takjub.
“Ini rumah om yang kamu ceritakan saat itu? Yang katamu rumahnya pindah-pindah karena kerja?” tanya Reza.
“Iya, tapi sebenarnya nggak melulu soal kerja sih.” aku menekan bel yang tertempel di sudut gerbang. “Dulu karena sering dikejar debt collector.”
Reza terhenyak, setelah sedari tadi Reza yang tak tergugah dengan rumah tersebut. “Hah?! lah ini rumahnya gede banget, mana mungkin pernah dikejar debt collector.”
Sudah ku duga ia tidak akan percaya. “Ya benar, ngapain aku bohong, dia dulu sering berkunjung ke rumah lama karena ayahku juga.”
Tak berselang lama, seorang wanita paruh baya bertubuh pendek dengan dasternya keluar terbirit-birit menghampiri kami. “Maaf, cari siapa non?” tanyanya begitu sopan.
Kepalaku sedikit menyembul untuk memastikan rumah tersebut benar milik Om Djarot. “Benar rumah Pak Djarot?” aku berbalik tanya.
“Benar, kalian cari bapak?”
Aku dan Reza mengangguk bebarengan. “Iya, cari Pak Djarot.”
Setelahnya datanglah lelaki yang tubuhnya masih bugar dengan pakaian securitynya. Kemudian tangan-tangan berotot lelaki tersebut membuka gerbang yang menghalang.
“Silahkan, bapak ada di dalam.”
Kami mengikuti ke mana wanita itu pergi. Dibawalah kami sampai ke ruangan megah dengan sofa melingkar. Lampu-lampu besar nan mewah menambah kesan menawan. Aku nyaris tak berkedip memandangi seisi rumah tersebut.
“Cari saya?” suara berat seseorang tiba di balik sekat ruangan.
Kami langsung beranjak begitu ia datang. Sang pemilik rumah sekaligus kerabat dekat ayah.
“Kamu …” wajah lelaki tersebut sedikit menggeleng sambil menuding-nudingkan jari telunjuknya. “Kirana, ya?”
Sudut-sudut bibirku segera terangkat. Aku memberi jabatan tangan, diikuti oleh Reza.
“Iya, saya Kirana, om.”
Sebuah sofa yang begitu empuk membuat tubuh kami tenggelam dalam kenyamanan.
“Sudah lama ya nggak bertemu, kamu sudah besar aja.” Om Djarot basa-basi.
“Iya, om. Sebenarnya kedatangan Kirana kemari ingin tanya sedikit tentang ayah.” aku tak ingin terlalu lama berada di sini.
Wajah Om Djarot berubah serius. Ia mengelus-elus kumis tebalnya dengan sedikit corak putih karena uban. “Ayahmu?” Om Djarot bertanya seraya mengangkat salah satu alisnya. “Bukannya ayahmu … maaf, udah gila?”
“Bukan gila, ayah mengidap gangguan jiwa!” suaraku sedikit meninggi, sebab ucapan Om Djarot sedikit menyinggung.
Om Djarot melengos, “Ya, itulah, maaf. Om kurang bisa memilih kata.” katanya dengan gelagat tak peduli. “Kenapa dengan ayahmu?”
Aku terdiam sejenak sambil melipat bibir. Ku lirik Reza yang sedari tadi memandangi Om Djarot.
“Om ingat kejadian 15 tahun lalu, tentang kematian ibu?”
“Duh … kenapa kamu tanya soal itu, Kirana, om jadi nggak tega.”
Lagi-lagi aku kembali melirik pada Reza yang berkutat pada lelaki di hadapannya.
“Kirana cuma ingin tanya, om. Karena Om Djarot yang paling dekat dengan ayah, bahkan setelah kematian ibu. Saat itu Kirana masih kecil, jadi nggak paham tentang kondisinya.” beberku panjang lebar. “Kalau boleh tahu, om berteman dengan ayah sudah berapa lama?”
Om Djarot terkejut lagi mendengar pertanyaan semacam itu. Sambil mengelus dada, Om Djarot mengedarkan pandangannya ke segala arah. “Sejak ayahmu SMA, ya terus setelah kematian ibumu om nggak dekat lagi dengan ayahmu.”
“Sebelumnya apa om pernah tahu alasan ayah pindah karena sebelumnya, Tante Atik bilang rumah ayah ada di Trunojoyo. Lalu, apa om tahu kalau Kirana sebelumnya punya kakak, dan kenapa om nggak dekat lagi dengan ayah?” Reza menggenggam tanganku karena tahu aku bertanya dengan bersungut-sungut.
“Kenapa kamu ingin tahu tentang itu, Kirana?” Om Djarot menoleh pada Reza, pandangannya terpaku padanya cukup lama. “Apa karena lelaki ini?” ia menunjuk Reza.
Reza terhenyak mendengarnya. “Saya cuma teman dekat Kirana, dia memang punya keperluan, dan saya cuma mengantar.”
“Halah ... kalau iya memang kenapa, Kirana? Ayahmu memang pernah tinggal di Trunojoyo dan ibumu memang pernah melahirkan anak sebelum kamu. Masa hal seperti itu aja nggak diceritakan sama ayahmu?”
Aku dan Reza beradu pandang. Batin kamu saling bertaut seolah-olah aku bisa berbicara lewat telepati dengannya.
“Kenapa ayah pindah? Terus tentang kakak Kirana … dia meninggal karena apa?”
Om Djarot mendengus kesal. “Hmm … om ini memang teman dekat ayahmu, tapi bukan berarti tahu semua tentang keluargamu. Lagi pula, orangtuamu memang sulit punya anak dulu. Selain itu om nggak tahu, jangan tanya yang sekiranya nggak bisa dijawab!”
Reza menggenggam tanganku dengan sedikit menarik. Isyarat matanya mengarah pada pintu yang terbuka lebar. Aku mengerti maksud Reza, tepat ketika wanita paruh baya tadi membawa tiga cangkir gelas, kami segera beranjak.
“Nggak usah repot-repot, om. Kami pergi saja, terima kasih.” ujarku dengan langkah terburu-buru keluar dari rumah tersebut.
Om Djarot sedikit beranjak, tapi tertahan. Ia lalu membiarkan kami pergi dengan raut wajah kebingungan.
“Apa ku bilang, kita ke Yogya juga sama aja, nggak bakal dapat jawaban.” lenguhku kesal.
Reza tak mengubrisnya. Ia malah pergi menjauh, mengejar sesuatu yang datang dari kejauhan. Ternyata angkot, Reza segera membantuku naik ke dalam.
Kami duduk bersampingan dengan sedikit memaksakan kursi yang sudah penuh oleh penumpang yang berdesakan. Suasana angkot terasa pengap, tercium juga aroma tubuh seseorang yang menyengat, campur aduk.
“Kita pulang ke rumahmu aja, Rana. Tanya langsung ke ayahmu.” ujar Reza.
“Hah?” dahiku mengernyit memikirkan ajakannya, “Ya nggak apa-apa sih, lagi pula aku nggak tahu kerabat ayah yang lain di Yogya.” sepersekian detik akhirnya aku memutuskan untuk pulang.
Rumah sederhana dengan pohon rambutan membuat teduh halamannya. Ketika kakiku mulai menginjak pekarangan, lalu jiwaku merasuk ke dalam. Sebuah kilas balik diputar di kepala, ketika itu seminggu setelah kematian ibu, ayah mengabarkan jika ia membeli rumah sederhana di Bantul. Pemilik sebelumnya orang Tionghoa, sehingga ada beberapa corak serta pernak-pernik yang tidak banyak dirubah oleh ayah.
“Hush … jangan ngalamun.” teguran Reza merasuk dalam jiwaku.
Lamunan indah nan singkat segera buyar. Pandangan mataku yang takjub akan rumah tersebut berangsur hilang. Kini rumah yang kami tempati seperti tak terawat. Sejak ayah mengidap gangguan jiwa, ia jadi kehilangan kemampuan untuk memperhatikan lingkungan sekitar. Alhasil, dedaunan kering dibiarkan menumpuk begitu saja di halaman. Jendela-jendela yang semula bersih, kini terlihat usang ditutup debu. Tak ada kehidupan di rumah tersebut. Selain suara erangan ayah dan resahnya Mbok Jum.
TOK TOK TOK
“Mbok, Rana pulang!” berulang kali ketukan didaratkan, tapi tidak ada suara dari dalam.
“Ayahmu di rumah, kan?” Reza pun bertanya-tanya.
“Harusnya di rumah, emang mau ke mana lagi dengan kondisi kayak gitu?”
“Mbok, ini Rana, tolong bukakan pintu!”
Masih tak ada jawaban dari wanita yang bertugas menjaga ayah selama aku tidak di rumah. Ia sebenarnya kenalan Tante Atik, setelah ayah mengidap gangguan jiwa, Tante Atik memboyongnya kemari untuk mengurus ayah. Mengingat usiaku yang masih sangat kecil, belum mampu mengurus ayah yang lagaknya seperti orang linglung. Bicara susah, berjalan juga susah, aku tidak tahu mengapa ayah demikian.
“Egghh … aagghh … Ki--rana.” bukan suara Mbok Jum yang terdengar, melainkan suara ayah yang terdengar tidak jelas dari dalam.
“Ayah?!” mataku terbelalak, aku segera mengintip melalui jendela. Sesaat setelahnya pintu itu terbuka. Perpawakan ayah yang kurus kering hadir, ia berjalan tertatih-tatih membukakan pintu.
Lantas aku mulai bertanya ke mana Mbok Jum?
Namun, pertanyaan tersebut segera ku urungkan. Aku memapah ayah masuk, kemudian mempersilahkan Reza duduk.
Ku susuri setiap ruangan dengan kedok membuatkan segelas minuman untuk Reza. Padahal senyatanya aku sedang mencari keberadaan Mbok Jum yang tidak terlihat batang hidungnya.
“Maaf cuma ada teh,” secangkir teh hangat dengan aromanya yang menguar segera dihirup oleh Reza.
“Nggak apa-apa, ini juga boleh.” sambil mengeluarkan selembar kertas, Reza mencolek lenganku. “Ini, jangan lupa,” katanya sambil menyodorkan kertas tersebut.
Senyumku getir, wajahku kecut, bagaimana bisa aku tega mempertanyakan sesuatu yang menjadi trauma terberat bagi ayah hingga sekarang. Ku dekati ayah yang duduk nyaman, tapi diam, bola matanya mencuat karena tubuhnya semakin kering.
“Yah, Kirana ingin tanya, tapi kalau ayah nggak mau jawab juga nggak apa-apa.” ku buka kertas tersebut, ku amati coretan pensil Bayu yang rapi dengan tulisan tegak lurusnya.
Aku melirik pada Reza, bibirku bergumam tanpa suara padanya, “Gimana caranya? Aku nggak tahu.”
Reza juga melakukan hal yang sama untuk membalas pertanyaanku. “Kamu tanya pelan-pelan aja, kalau nggak bisa bicara, tulis pakai bolpoin.”
Sebelum pertanyaan itu terlontar, ku sempatkan diri untuk menghela napas panjang. Sungguh berat rasanya, tapi ini demi mengulik kisah tentang ibu yang belum terpecahkan.
Wajahku mendekat ke telinga ayah, aku berbisik pelan-pelan. “Ayah, ingat ibu?”
Tidak ada reaksi yang ditunjukkan. Ayahku masih menatap kosong, tapi bibirnya bergerak tak beraturan.
“Ayah ingat gimana rupa ibu? Cantik ya, ibu. Oiya, kirana mau tanya ke ayah, Kirana pernah punya kakak?”
Masih tidak ada jawaban tentang pertanyaan barusan. Akan tetapi, terdengar lenguhan ayah, ia merespon pertanyaan itu dengan tubuhnya yang gemetar, tangannya menggenggam erat kursi hingga buku-bukunya memutih. Napasnya terdengar berat serta air matanya yang tak terbendung. Pundak ayah naik-turun dengan cepat, menggambarkan kepanikan yang melanda dirinya.
Aku mulai ragu untuk melanjutkan pertanyaan yang mungkin akan menyakiti ayah sebegitu hebatnya. Lidahku tercekat, suaraku tertahan di kerongkongan. Sementara Reza menggebu-gebu dengan gerakan tangannya, memintaku untuk melanjutkan pertanyaan.
“Di mana kakak Kirana, apa yang terjadi padanya?” aku mulai melipat bibir sambil mengigitnya. Mataku terpejam menghalau air mata yang meluap.
“Na--Nan … eeghhhh … Nanda …”
Kami terperanjat mendengar nama yang keluar dari mulut ayah dengan terbata-bata. Wajahku langsung terdongak, seketika air mata mengalir membasahi pipi. Kemudian Reza mulai mencatat nama tadi.
“Nanda? Siapa Nanda?” mulai terbuka celah-celah yang tertutup rapat dalam diri ayah. Selama ini tak pernah terucap darinya nama tersebut.
“Hegghhh …” ayah meraung, ia menghuyungkan tubuhnya ke depan dan ke belakang tanpa melepaskan genggaman tangannya pada kursi. “Heggghhh … Nandaaa.” sorot mata ayah berubah liar, menatap sekeliling mencari pelarian dari perasaan yang membakar di dalam dadanya.
“Ayah, ayah tenang,” aku sigap memegangi kedua pundak ayah. Tatapan wajah ayah yang memerah, gigi-giginya yang gemerutuk. Ia terus menyebut nama seseorang yang tidak aku kenal.
Reza mendekat seraya berbisik padaku, “Ayahmu mengonsumsi obat penenang nggak?”
Pikiranku terbagi menjadi berkeping-keping. Di sini menahan ayah yang memberontak, di sisi lain mengingat di mana biasanya ayah menyimpan obat penenangnya.
“A--ada, ada.” aku melepas genggaman dari ayah yang sudah diambil alih oleh Reza.
“Tunggu sini, aku cari dulu.”
Aku berlari tersandung-sandung, kembali menyusuri setiap ruangan rumah ini. Tepat di kamar paling ujung dekat dengan dapur, di sanalah kamar ayah berada. Ketika kamar tersebut dibuka, debu-debu berterbangan dengan bebas. Barang-barang ayah tidak ditata dengan rapi, kumuh, kamar tersebut seperti tak pernah disentuh.
Dan betapa sesaknya dadaku ketika tanganku mulai merogoh rak meja tempat biasa ayah menyimpan obat. Butir-butir pil yang ku duga obat penenang itu sudah berserakan.
Aku menyeret rak meja tersebut. Benar saja, mataku membelalak, amarahku juga melonjak.
BRAAAKKK
Aku menutupnya kembali dengan segenap emosi. Kini hatiku berisik seraya bertanya-tanya peran Mbok Jum selama ini. Sejak seminggu yang lalu aku meninggalkan ayah, kondisinya semakin memburuk.
“Ke mana Mbok Jum, kenapa ayah dibiarkan sendirian di rumah?!” aku tak henti meracau sambil berjalan menghampiri Reza dan ayah kembali.
“Gimana, ketemu?” tanya Reza sesaat setelahnya.
Aku menggeleng, “Nggak, obatnya tumpah semua.”
Reza menggernyit, “Maksudnya tumpah? Jatuh?”
Sangat sulit mengendalikan emosi di saat genting begini. Aku berdengus kasar tanda tak ingin banyak ditanya. “Nggak tahu.” jawabku ketus dengan tujuan agar Reza tidak bertanya lagi.
Ku lihat ayah sudah lebih tenang. Aku melirik pada segelas air putih yang terhidang di atas meja. Kemudian Reza tersenyum, ia inisiatif memberikan segelas air putih untuk ayah.
Kami kembali memulai wawancara dengan Reza yang kini berada di samping ayah. Ia sigap jika sewaktu-waktu ayah mengamuk.
“Ayah, siapa Nanda, ayah kenal?”
Mata ayah kembali berkaca-kaca, bibirnya menebal dan ditekuk ke bawah. Ia kembali meremat kursi seraya bergumam. “Nanda … Nanda …”
“Siapa Nanda?”
“Nirmala.”
Kami saling bertatapan, “Nirmala?” aku bertanya pada Reza.
Reza segera mengangkat kedua pundaknya. Lalu ia gantian bertanya. “Nanda dan Nirmala itu siapa om?”
BRAKKK BRAKK BRAKKK
Ayah kembali menghuyungkan tubuh ke depan, kemudian dibanting ke belakang. Dengan tangan-tangannya yang tak bisa lepas dari kursi, sehingga suara derit kursi terdengar kencang.
Kami mulai ragu untuk melanjutkan pertanyaan. Sebab aku sudah menduga sebelumnya, tak mungkin mewawancara ayah dengan kondisi demikian. Semakin banyak kami bertanya, ayah semakin menangis sejadi-jadinya.
Ia beranjak, berguling-guling di lantai sambil menangis meronta-ronta. Kadang kala ayah masih menyebut nama Nanda dan Nirmala berkali-kali. Kami berusaha sebisa mungkin menenangkan ayah tanpa obat yang seharusnya ia konsumsi. Begitu pula Reza yang sekuat tenaga mencari cara.
“Ughh … Rana, kita sudahi aja pertanyaannya, jangan tanya apa pun lagi. Kondisi ayahmu ini nggak baik.” katanya sambil melenguh, ia kesulitan memegangi ayah yang mulai menyerang. Berkali-kali Reza terkena pukulan sehingga ia cepat kewalahan.
“Aku bawa ayahmu ke kamar, kamu ambilkan minum!” Reza segera mengangkat tubuh ayah. Terbirit-birit ia membawanya ke dalam kamar.
Batinku semakin terluka melihat kondisinya. Ayah berubah lebih menyeramkan dibanding sebelumnya. Lalu ku ingat bagaimana awal ayah mengidap gangguan jiwa.
Malam itu, kami berhasil tinggal di Bantul tanpa gangguan. Saat tengah malam ayah masih sibuk mengurus berkas kepindahannya, saat itu pula suara jeritan terdengar.
Aku tertidur lelap, langsung terbangun mendengar jeritannya. Mataku yang sedikit tertutup memaksakan untuk melihat apa yang terjadi dengan ayah. Tepat di depan mataku, ia terkapar, kakinya masih menggantung di atas kursi kerja yang ia duduki. Sementara setengah tubuhnya sudah berada di lantai.
Ku dekati tubuh ayah yang sedikit bergerak. Aku merasakan hangat tubuhnya yang tak biasa. Saat itu pula aku salah mengira ayah demam, ternyata setelah kejadian itu ayah selalu menjerit ketakutan. Ia bersembunyi dari sesuatu yang tidak aku mengerti. Dengan gelagat yang berbeda, ayah suka mengigau menyebut nama ibu dan pergi. Aku tidak tahu maksudnya. Baru terucap pula nama Nanda dan Nirmala sekarang. Lantas masih menjadi pertanyaanku, siapakah mereka?
Sejak saat itu, Tante Atik meminta ayah diperiksa kejiwaannya lantaran sering menangis dan berteriak setiap malam. Tante mengatakan bahwa ayah mengidap gangguan jiwa karena kehilangan ibu. Dengan begitu Tante Atik membawa Mbok Jum ke Bantul. Ditempatkannya ia di samping rumahku, yakni kontrakan minimalis yang cukup untuk Mbok Jum seorang diri.
Dan sekarang ke mana perginya wanita itu?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
