Diary Renata : BAB 8 Diary Renata 2

1
0
Deskripsi

Isi dari tulisan dalam diary Renata

Diary Renata 

12 Januari 2020 

Empat hari lalu Mas Arkan pulang larut malam. Aku sengaja pura-pura tidur pas dia masuk ke dalam kamar. Setelah mandi dan mengganti pakaian Mas Arkan naik ke atas ranjang, memelukku dari belakang. Dia mencium pipi juga pundakku. Lalu berbisik pelan di telingaku. "Maafkan Mas, sayang. Mas minta maaf buat semuanya. Mas sayang kamu. I love you so much." Mas Arkan mengeratkan pelukannya. 

Maaf? Untuk apa? Karena tidak pulang? Atau karena mengabaikanku? Atau karena kamu sudah bermalam dengan perempuan lain? 

Desakan air mata mengalir di sudut mataku. Aku berusaha sekuat mungkin menahan isakan, tak ingin Mas Arkan tahu aku masih bangun. Jika menatap mata lembutnya, pertahananku beberapa hari ini akan runtuh . Aku terlalu lemah melihat mata cokelat milik suamiku. Aku terlalu mencintai suamiku.

Paginya Mas Arkan menuruni tangga rumah kita dengan pakaian santai. Aku masih sibuk berkutat di dapur menyiapkan sarapan sederhana yang aku bisa. Telur ceplok dan mie goreng. Dia menghampiriku, memelukku dari belakang. Mengecup pundak dan pelipisku- kebiasaannya setiap hari. Aku sengaja tak mengindahkannya. Untung hari ini tubuhku sudah lebih baik, jadi aku tak perlu menunjukan padanya kalau aku lemah. 

"Kangen kamu, sayang. Pas tidur tadi. Mas mau peluk kamu. Kamunya udah gak ada di samping Mas." Mas Arkan mengecup pipiku berkali-kali. 

Rasa marahku sudah mencapai puncak. Kulepaskan tangan yang melingkar di perutku. Aku melangkah menuju meja makan dengan piring berisi mie goreng. Mas Arkan sepertinya menyadari kemarahanku. Dia mundur, lalu duduk di kursi, memperhatikan setiap gerak-gerikku. 

"Kamu marah banget sama Mas ya? Maaf ya sayang, Mas sibuk terus. Hari ini mas gak ke kantor, khusus buat kamu." 

Aku tetap diam tak menanggapi. 

Mas Arkan tak menghiraukan kemarahanku, aku menyadari Mas Arkan tengah berusaha merayuku. "Kamu mau jalan-jalan kemana? Jajan? Atau nonton, atau mau pelukan aja di rumah? Bikin baby misalnya? Katanya kamu pengen punya baby biar rumah kita ramai." Mas Arkan menaik turunkan kedua alisnya. 

Aku mengdengus. Bisa-bisanya dia menampilkan wajah tanpa 

rasa bersalah seperti itu setelah berbulan-bulan mengabaikanku. 

"Sayang, jangan diem gitu. Mas lebih milih kamu marah-marah, daripada diem kaya gini. Mas takut kalau kamu diem kaya gini. Mas minta maaf." Dia beranjak dari duduknya, kembali mendekatiku. Meraih tanganku yang hendak mengambil nasi untuknya. 

Entah setan apa yang tiba-tiba mendekatiku, aku menepis tangannya kasar. Ku tatap dia lekat. Hatiku berteriak ingin segera mengutarakan rasa marahku, rasa kesepian yang kurasakan belakangan ini, dan membuat emosiku tidak stabil. 

Kulempar piring yang tengah ku pegang. Mas Arkan membulatkan matanya tak bisa menutupi keterkejutannya. Ini pertama kalinya dalam hidupku merusak barang saat tengah marah. Kutatap mata bergetar Mas Arkan, seperrinya dia masih kaget dengan responku. 

"Minta maaf buat apa kamu, Mas?!" 

Mas Arkan berdiri di depanku, manatapku lembut. Air mukanya sudah berubah menunjukan rasa bersalah dan rasa sedih yang sangat dalam. Tangannya berusaha menggapai tanganku yang gemetar menahan rasa amarah. 

Melihatnya mendekat, membuat rasa muakku muncul ke permukaan. Tanganku spontan menyapu seluruh barang diatas meja makan, hingga semua barang diatasnya terlempar ke lantai. 

Mas Arkan menarik tubuhku ke dalam pelukannya, berbisik lembut, "Jangan begini sayang. Jangan nyakitin diri kamu sendiri, aku takut kamu kena pecahan kaca. Tolong jangan begini sayang. Mas bener-bener minta maaf, sayang." 

PRANG.. 

Naas, emosi lebih menguasai diriku, membuat tanganku meraih vas bunga di atas meja makan, lalu meleparkan vas bunga itu tepat di kening Mas Arkan hingga berdarah. Anehnya Mas Arkan tak bergeming sedikitpun, dia tetap memelukku, menjauhkan tubuhku dari pecahan piring di lantai. 

Setelah melempar vas bunga ke keningnya, juga bahasa binatang yang tidak pantas kuucapkan pada suamiku. Kutatap wajahnya terlihat mengeras. Matanya tajam balas menatapku, mimik mukanya sangat menyeramkan, bibirnya menipis seolah menahan mulutnya membuka suara.

Ini pertama kalinya dia menatapku seperti itu. Jujur aku takut melihat Mas Arkan marah. Dia melihat ke pecahan kaca di sekitar meja makan, lalu melepaskan pelukannya di tubuhnya. Sepertinya dia berpikir aku berdiri di tempat jauh dari pecahan kaca. 

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia memutar tubuhnya menghadap tembok. Tangannya mengepal meninju tembok di depannya. Kulihat tangannya memerah, mungkin nanti akan memar. Menakutkan. 

Puas meninju tembok berkali-kali. Tiba-tiba Mas Arkan pergi meninggalkanku sendiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku sendiri masuk ke dalam kamar tamu, mengamuk dan menangis histeris di ruang tamu sendirian.

13 Januari 2020 

Mas Arkan berusaha mengajakku bicara sejak semalam tapi aku malas menanggapinya. Aku masih marah padanya. 

Sekarang dia sengaja menyempatkan waktu sarapan di rumah, memasak untukku, tapi entah kenapa hatiku mulai membeku untuk menerima sikap hangatnya. 

"Sarapan dulu, sayang. Mas masak ayam goreng kesukaanmu," kata Mas Arkan sambil tersenyum. 

Memang tampan sih senyumannya. Tapi egoku lebih tinggi daripada tergoda senyumannya itu. Tanpa menoleh padanya aku langsung keluar rumah. Biar dia merasakan apa yang aku rasakan. Kesepian dirumah, sarapan sendiri, makan siang dan malam sendiri, tidur sendiri, lama-lama jobsdesk ku hanya jadi satpam rumah. Bukan lagi istrinya. 

14 Januari 2020

Pas di kampus aku memiliki janji bersama Fandi hari ini. Oh ya, aku lupa menceritakan siapa Fandi ini, dia teman dari teman kuliahku, Rere. Fandi dikenalkan padaku melalui Rere enam bulan yang lalu. Kita sudah beberapa kali bertemu bertiga. 

Wajahnya tampan. Tapi tetap tidak mengalahkan ketampanan Mas Arkan. Aku menulis ini sambil membayangkan wajah tampan suamiku. Ah milikkumemang sangat tampan.

Alasan aku bertemu Fandi siang ini, karena dia mengirimkan chat padaku untuk bertemu secara khusus. Aku tak tahu apa yang mau dibicarakannya. Anehnya ada rasa gugup yang kurasakan. 

"Hai, udah lama?" tanyaku, sambil duduk di kursi cafe tempat janjian bersama Fandi. 

"Enggak. Baru sejam," jawab Fandi tersenyum manis menampilkan lesung pipit di kedua pipinya. 

"Lama banget dong. Maaf ya, ojolnya lama banget jemputnya." Aku merasa bersalah membuatnya menunggu lama. 

"Bercanda. Aku juga baru nyampe kok." Aku sengaja mengerucutkan bibir, pura-pura merajuk mendengar itu. Dia malah terkekeh melihatku. Kami berdua langsung memesan minum setelah berbasa-basi.

"Mau ngobrolin apa?" tanyaku membuka percakapan. 

"Ren, aku tahu kamu-" ucapan Fandi terhenti saat pelayan menaruh pesananku dan Fandi di meja. Tak lama pelayan itu pergi dengan senyuman. 

"Ngomong apa tadi?" 

"Ren, aku tahu kamu sudah menikah. Aku juga tahu hubungan kamu sama suamimu sedang gak baik-baik saja." 

Di pertemuan awal aku memang tidak menyembunyikan statusku sebagai istri Mas Arkan. Fandi dan Rere menjadi tempatku berkeluh kesah tentang rumah tanggaku. Tanpa mereka aku mungkin sudah gila.

"Terus?" tanyaku penasaran apa maksudnya. 

"Aku suka kamu, Ren. Aku tahu ini salah, tapi aku gak bisa ngilangin perasaan ini dari hatiku. Semakin lama rasa suka dan sayangku semakin besar sama kamu." 

Jantungku berdegup semakin kencang mendengar itu. Ada desiran aneh yang menghinggapi hatiku. Ini kali kedua ada pria yang menyatakan rasa suka padaku, selain Mas Arkan. 

Mas Arkan orangnya posesif dan cemburuan, membuatku selalu menjaga jarak dengan lawan jenis. Aku tak ingin terjadi kesalahpahaman antara aku dan Mas Arkan. Terlebih setelah menikah aku menarik diri dari kehidupan sosial. Di kampus pun aku hanya berteman dekat dengan Rere. Ya, aku kan ingin menjadi istri setia. 

Disaat Mas Arkan dan aku sedang tidak baik-baik saja. Fandi dikenalkan padaku oleh Rere. Menurutku tak masalah berteman dengan seorang pria. Toh ada Rere setiap kali kami bermain. Jadi mendengar pengakuan Fandi, entah kenapa aku merasa takut bercampur hangat yang menyenangkan merasuk ke dalam hatiku. 

"Maksudmu apa, Fan?" aku menolak pemikiran tentang Fandi menyukaiku. Aku istri orang. Fandi tak boleh menyukaiku.

"Aku sayang kamu, aku ingin kita menjalin hubungan spesial. Kamu spesial untukku. Aku rela jadi selingkuhanmu. Aku akan selalu ada untukmu, bahkan aku akan menunggu sampai kamu bercerai, Ren." 

Tubuhku tiba-tiba terasa kaku. Aku memang suka berteman dengannya, dia membuatku nyaman untuk bercerita. Bohong kalau aku mengatakan hatiku tak meremang. Tapi keinginqn Fandi menjalin hubungan denganku, tentu aku tidak mau. 

Aku mencintai Mas Arkan sepenuh hati. Dia hidupku. Dia jiwaku. Apalagi dia bilang cerai. Ya Tuhan, jangan sampai ada kata cerai diantara aku dan Mas Arkan. Bagaimana aku bisa hidup tanpa Mas Arkan. Selama ini aku tidak bisa berdiri kalau bukan Mas Arkan yang berada di sampingku selamanya. Dia pemilik seluruh jiwaku. 

Semenyebalkan apapun suamiku itu, aku tetap akan memilihnya. Tidak akan ada pria yang kucintai dan kusayangi selain Mas Arkan. Maka tanpa berpikir panjang, aku langsung menolak Fandi. "Maaf ya, Fan. Aku gak bisa. Aku mencintai suamiku." 

*** 

Arkana menutup buku diary Renata. Hati Arkana seakan dipecut setelah membaca semua rasa sakit dan kepedihan yang Renata rasakan menikah dengannya. Ditambah hatinya panas setelah nama Fandi tertulis di diary itu. Ingin rasanya dia mengikat pria itu di belakang mobilnya, lalu menyeretnya sepanjang jalan. Dia ingin membuat Fandi memohon untuk kematiannya. 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Diary Renata : Bab 7 Diary Renata 1
0
0
Isi Diary Renata
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan