
Lili sudah menikah 5 tahun bersama Danu Triatmajaya. Pernikahan mereka belum dikaruniai anak dan banyak mengalami cobaan, baik dari keluarga dan orang di sekeliling mereka yang selalu menanyakan keadaan Lili yang sampai saat ini belum mengandung.
Lili mengabaikan semua perkataan orang lain mengenai keadaan dirinya. Namun, cobaan datang dan kali ini Lili merasa gagal menjadi wanita setelah melihat tanpa sengaja pesan WA Danu yang berisi percakapan mesra dengan wanita lain. Wanita yang sangat Lili...
BAB.1 EJEKAN DAN DUSTA
Aku menangis di dalam dekapan Ibu. Kali ini aku tidak sanggup menahan omongan orang-orang mengenai keadaanku yang selama lima tahun ini yang belum juga mengandung.
Omongan mereka terlalu pedas dan sampai-sampai aku mengumpat dalam hati berharap anak gadis mereka, cucu mereka atau orang terdekat mereka juga merasakan apa yang kurasakan.
Mereka pikir mendapatkan anak seperti adonan bakwan? Terigu diberi parutan sayuran, bumbu, garam, sedikit air dan MSG lalu jadi? Apa mereka tidak mempercayai takdir atau ketetapan yang sudah Allah buat untuk setiap umatnya berbeda-beda? Mereka mengaku kasihan padaku, tetapi tiada henti mengolok-olokku di setiap acara, bahkan saat aku belanja sayur Mang Ucup yang gerobaknya berhenti di dekat rumahku.
Aku benci dan lelah menghadapi pertanyaan; kok belum isi? Sudah berobat belum? Makan toge yang banyak biar subur, sudah diurut?
Di tahun pertama hingga ketiga aku menjawab dengan sabar seperti ini; sudah ikhtiar, Bu. Mungkin Allah belum berkehendak. Atau belum rezekinya, Bu.
Namun, memasuki tahun keempat aku hanya membalas dengan senyum kecut atau sebisa mungkin menghindari mereka dan memilih menyendiri. Tapi, sampai kapan?
Hingga akhirnya hari ini kesabaranku habis. Aku tidak menyangka pertemuan dengan ibu mertuaku di sebuah acara hajatan, menjadikan hariku biru. Bagaimana tidak? Di saat pemilik hajatan menanyakan kepadaku, "Kok belum ada buntut juga?"
Tiba-tiba ibu mertuaku yang duduk tidak jauh dari kami bilang, "Tau nih, sudah lima tahun enggak jadi-jadi. Kalau Danu sih subur. Dia rajin jogging tiap minggu. Saya juga sering kasih sayur toge kalau Danu mampir ke rumah."
Di saat itu juga air mataku mengembang, aku buru-buru pamit dengan alasan sakit perut. Aku mencium tangan ibu mertuaku lalu mengucapkan salam sebelum melesat pergi dengan motor maticku.
Dan, di sinilah aku berada. Di tempat ternyaman di dunia. Rumah ibuku yang jaraknya satu kilometer dari rumahku, atau 500 meter dari tempat hajatan tadi.
Aku terus menangis dan Ibu sejak tadi mengusap punggungku sambil bilang, "Sabar, Li. Ini cobaan dari Allah. Allah tau kamu sanggup menjalani cobaan ini, makanya kamu harus banyak sabar. Enggak usah kamu tangepin omongan orang lain, seenggaknya kamu sudah ikhtiar. Selebihnya serahin semua sama Allah," kata Ibu. Kalimat seperti itulah yang membuatku tenang dan lega, bukan kalimat mengolok-olok keadaanku yang seperti mereka lakukan kepadaku.
Aku mengangkat wajah, menyeka pipiku yang basah, menatap wajah keriput Ibu. "Iya, Bu. Lili cuma capek dengar pertanyaan dan olok-olok mereka. Seperti yang Ibu tau, Lili udah berobat ke dokter, olahraga yang cukup dan makan makanan yang kata orang bisa menambah kesuburan. Tapi Allah belum berkehendak. Lili bingung harus gimana lagi, Bu. Lili capek," keluhku, mengingat omongan dan perlakuan mereka selama lima tahun ini, membuatku putus asa. Selalu menjadi perbandingan dengan perempuan lain yang baru menikah lalu hamil.
Seperti tadi, Ibu tersenyum dan mengatakan, "Sabar, Nak. Sabar. Ada rahasia dibalik rahasia. Allah memberi cobaan ini bukan tanpa tujuan. Allah mau kamu merayu-Nya lagi. Sering Sholat Tahajud, bersedekah, puasa Senin Kamis dan jangan lupa baca Al-Qur'an. Ibu yakin Allah akan mengabulkan doa-doa kamu."
"Aamiin," sambungku. Lalu ponselku berdering. Aku bergegas meraih tas kecil di atas meja, mengeluarkannya dan membaca nama Mas Danu tertera di layar.
"Hallo Assalamu'alaikum, Mas," sapaku yang tidak lama mendengar balasan salam dari suara berat suamiku, Mas Danu. "Ada apa, Mas?"
Mas Danu berdehem. "Hari ini aku pulang terlambat, Li. Nanti ada meeting buat semua pengawas dan Supervisor. Kamu gak apa-apa 'kan makan malam sendiri?" tanyanya yang mengkhawatirkanku. Biasanya kami makan malam bersama. Terkadang di rumah atau di luar sekadar mencari suasana baru dan menu baru.
Aku merengut. Banyak hal yang ingin aku ceritakan kepada Mas Danu termasuk kejadian di tempat hajatan tadi, tetapi … sejak tadi Ibu mewanti-wanti tidak menceritakannya karena takut menyinggung perasaan Mas Danu. Bagaimanapun juga, orang yang sudah membuatku sedih adalah perempuan yang sudah melahirkannya. Perempuan yang senang mengolok-olokku di depan orang banyak.
Aku memasang senyum palsu. "Enggak apa-apa, Mas. Kalau sempat beliin aku martabak keju ya," pintaku.
"Cuma martabak? Jus alpukatnya enggak?" tanyanya, memastikan minuman kesukaanku.
Kali ini aku tersenyum tulus. "Enggak ada doa menolak rezeki, Mas."
"Oke. Nanti aku beliin. Mudahan aja meeting-nya enggak lama. Soalnya Mr.Kim juga hadir nanti," kata Danu, menyebut nama salah satu orang Korea yang bertanggung jawab di bagian cutting (bagian yang terdapat di pabrik sepatu). Tempat dirinya bekerja sebagai Supervisor yang menangani 10 line.
Aku mengangguk tanpa sadar. Mas Danu meleponku, bukan melakukan panggilan video. "Baik, Mas. Semoga meeting-nya lancar. Dan, hati-hati di jalan pulangnya ya."
"Iya. Aku lanjut dulu, Li. Jam istirahat sudah habis. Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumussalam." Aku meletakan ponselku di atas meja. Melihat ibu berjalan dari arah dapur membawa mangkuk yang berisikan lauk. Menghirup aroma lauk itu aku sudah menduga, itu adalah lauk kesukaanku.
Dan benar saja, ibu tersenyum lalu berkata, "Ibu sudah buatin kamu sambal goreng kentang ati. Makanlah. Ibu tau kamu pasti belum makan di tempat hajatan tadi ya 'kan?" tebaknya dan tepat. Aku memang belum menyentuh piringku yang sudah berisi lauk di tempat hajatan itu, mendengar ucapan ibu mertuaku berhasil menghilangkan selera makanku. Dan, kini aku lapar.
***
Berulang kali aku melihat jam di dinding. Waktu terasa cepat sekali bergulir. Saat ini jam 22.05, tetapi Mas Danu belum pulang dan ponselnya tidak aktif. Sejuta perasaan cemas pun menghantuiku sekarang. Aku mencemaskan sesuatu terjadi dengan dirinya mengingat di daerah kami rawan begal dan tindakan kejahatan lainnya. Aku takut dia kenapa-kenapa di jalan.
Yang kubisa sekarang mondar mandir di ruang tengah sambil menunggu dan berpikir. Tiba-tiba aku teringat seseorang.
Tanganku sigap meraih ponsel lalu jemariku menari di atas layar dan menekan tanda hijau yang tidak lama mendengar kata hallo dari seorang wanita.
"Hallo, malam, Kak Dona," sapaku pada salah satu teman Mas Danu yang kukenal dan sama-sama sebagai Supervisor walau beda line.
Dengan logat medan, Kak Dona menjawab, "Malam, Li. Apa kabar?" tanyanya basa-basi.
"Baik, Kak." Aku menjawab cepat dan to the point. "Apa meeting-nya belum selesai? Dari tadi aku menelpon Mas Danu tapi enggak juga nyambung. Mungkin handphone-nya lowbat," kataku, berbaik sangka.
"Meeting? Meeting apa?" Kak Dona justru balik bertanya.
Aku terkejut, tapi setengah tertawa. "Loh, bukannya meeting semua Supervisor dan pengawas?" Aku memastikan yang kudengar dan menjadi alasan Mas Danu pulang terlambat
Aku mendengar jelas Kak Dona setengah tertawa. "Oh itu. Meeting itu baru akan dimulai lusa, Li. Bukan sekarang. Ada apa?"
Jantungku berdentum cepat. Seketika aku teringat kejadian beberapa hari yang lalu. Tentang pesan WA yang masuk di ponsel Mas Danu yang berisi 'Aku tunggu hari Selasa di tempat biasa, Mas'.
Dan aku sadar. Hari ini adalah Selasa ….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
