WHISKEY. [Bab 1 - 5]

3
0
Deskripsi

SERI DAQI MONKEY.

Blurb :

Ada yang bilang cinta masa kecil itu mudah menguap. Hanya sebatas kenangan yang gampang tertinggal. Tapi tak berlaku untuk Rasyid.

Gadis delapan tahun yang tersedu telah merenggut hati yang ia miliki. Pun janji yang terlanjur terucap. Sama sekali tak ia sesali. Yang ada ia jadikan janji itu sebagai bukti.

Setelah ia buktikan, bisakan Rasyid pertahankan di kala gempuran kehidupan yang sebenarnya terus menekan?

***

Cover by Julia Rain

Ps : Di Karya Karsa untuk Bab free...

Sesal saya

 

 

Arin tertidur pulas banget, setelah muntah-muntah. Lagi. Saya enggak tega sekali melihatnya. Saya diberitahu Mama, ibu hamil muda memang ada yang seperti itu. Juga banyaknya timpaan kesalahan pada saya.

Saya terima. Enggak ada satu pun pembelaan karena saya salah. 

Bahkan saya enggak jadi soal saat Bapak menampar saya telak di depan Ayah Mertua. Bagi saya, tamparan itu hanya satu dari sekian banyak kesakitan yang Arin rasa akibat perbuatan saya. Saat saya bersujud meminta ampunan pada Mama juga Bapak, mereka sama sekali enggak gubris. Juga Ibu dan Ayah mertua.

Mereka bilang, pengampunan mereka ada di tangan Arin. Anak dan menantu kesayangan mereka. Memang ... saya tahu, Arintania Maharani, punya kelas tersendiri di hati orang tua saya. Apalagi orang tuanya. Dan saya,  pria yang menjanjikannya bahagia malah yang paling utama membuat Arin bersedih serta menangis.

Sungguh ... saya menyesal. Kalau pun ada lagi yang harus saya tanggung, saya rela. 

Hari ini, saya mendengar hal yang paling enggak ingin saya dengar. Kata cerai meluncur begitu saja dari bibir mungil Arin yang manis itu. Saya seperti disambar petir ribuan kali. Ucapan itu membuat saya kaku mendadak. Bayang bahagia hidup bersama Arin seolah hangus terbakar. Melenyapkan semua hal yang saya ingin lakukan bersamanya.

Pelan, saya mengusap punggung tangannya yang bebas infus. Mengecupnya sayang. “Maafin Abang, Neng.  Maaf.” Kalau ada yang bilang, pria menangis itu enggak gentle, cengeng, malu dengan otot, atau malah malu dengan motor gede yang dipunya, kali ini saya patahkan anggapan ini. 

Iya. Saya cengeng sekarang. Entah sudah berapa kali saya menangis di depan Arin. Payah? Enggak. Saya enggak payah. Saya benar-benar tunjukkan betapa hati saya sedih karena sudah terlanjur melukai perasaannya.

Seharusnya ... ah, benar yang ia bilang. Arin adalah prioritas saya.

Mau disesali seperti apa, rasanya sudah terlambat. Arin sudah terlanjur sakit hati dengan sikap saya yang plin plan.

Hal pertama yang saya ingat, saat tragedi di malam itu, hanya senyum kecil Arin sesaat setelah kami sah menjadi suami istri. Menjadikannnya istri itu sudah ada dalam rancangan masa depan saya sejak mengenal arti menyukai lawan jenis. Bertahun-tahun saya lipat rasa ini hanya untuknya seorang. Begitu mendapat kesempatan, saya enggak perlu menunggu lama sekadar menunjukkan eksistensi bahwa saya serius melamarnya.

Dan saya bertaruh pada nasib. Kalau saat itu enggak diberi peluang bicara lagi dengan istri saya? Apa yang akan terjadi? Arin tengah hamil anak kami. Bagaimana Arin menjalani hidupnya kelak? Tak ada saya di sampingnya. Padahal saya diberi kesempatan menjadi pendampingnya. Sungguh ... titik itu membuat saya sadar, saya sudah lebih dari seorang pengkhianat.

Saya enggak mau membuat sebuah pembelaan apa-apa tentang Nisa. Bahkan di depan Mama, saya jelaskan semua tanpa ada lagi yang ditutupi. Mama? Dari sorot matanya saja sudah kecewa. Sangat. Entah apa jadinya kalau saya menceritakan semuanya pada Arin. Mungkin ribuan kali lipat kecewa bergelayut dalam sorot mata istri saya.

Saya enggak sanggup membayangkannya. Sekali lagi saya menghela pelan. Satu sikap yang Rama benar, saya sok jagoan. Sikap saya itu berhasil membuat orang-orang yang saya sayangi, kecewa.

Masih saya ingat ketika memulai usaha di Makasar. Saat Mama dan Bapak memutuskan kembali ke kampung halamannya. Sejak kelas satu SMP, kami sekeluarga memang pindah ke sana. Bapak dinas di kota Makasar dan kami mengikuti beliau hingga dipindahkan kembali ke Bandung. Kota asal kami.

Membiarkan saya meneruskan pendidikan di Makasar karena sudah terlanjur kuliah dan ambil jurusan seperti cita-cita saya dulu; Dokter hewan. Dan saya rasa enggak ada salahnya bekerja serta mencari nafkah di sini.

Mama enggak pernah melarang saya bertempat di mana. Pesannya hanya satu, “Jaga diri baik-baik biarpun anak lelaki. Jangan sembarangan dan buat malu. Apa pun tindakan kamu, yang akan menjadi sangkut paut tetaplah orang tua.”

Saya memegang sekali apa yang Mama katakan saat itu.

Orang yang mengenal saya sering mengatakan, saya hidup enggak banyak macam. Kuliah, urus tugas, bekerja sambilan, dan kembali ke kost. Setelah lulus pun, saya magang dulu di beberapa klinik hewan, mencari pekerjaan sambilan lainnya. Lalu kembali ke kost.

Saya memang enggak menggemari hal yang terlalu di luar zona nyaman saya. Mungkin juga karena saya pribadi, enggak suka aneh-aneh bertingkah. Dan satu hal yang enggak pernah saya tinggalkan; menggerakkan console games. Saya mahir untuk hal satu itu.

Jatuh bangun saya selama di Makasar, saya berusaha sekali agar Mama dan Bapak enggak mengetahuinya. Saya laki-laki. Nantinya memiliki tanggung jawab besar dalam hidup; menikah. Kalau berjuang untuk diri sendiri saja menyerah, lalu bagaimana kehidupan saya setelah menikah nanti? Itu pemikiran saya sejak lama.

Enggak sekali dua kali, saya harus kembali memulai dari nol besar. Walau pekerjaan sebagai dokter hewan sudah saya sandang, saya rasa keinginan terbesar pun pasti ada. Untuk diri sendiri, saya ingin punya beberapa toko yang menjual banyak kebutuhan hewan peliharaan. Dan di atasnya, berdiri klinik hewan. Mulai dari hewan yang memiliki penyakit ringan hingga berat, bisa dirawat di sana.

Juga rekan seperjuangan bisa bekerja freelance di klinik yang saya miliki ini. Kami bekerja sama, simple-nya seperti itu.

Saat itu saya ingat sekali, saya ditipu hampir senilai modal yang saya keluarkan untuk membuka pets shop cabang pertama saya. Masih kecil, belum besar dan hanya dua lantai. Untuk ruang praktik saya pun enggak terlalu luas. Yang terpenting, saya masih bisa melayani pengunjung yang datang bersama hewan kesayangannya itu.

Kalau enggak salah, delapan atau sembilan tahun lalu, saya enggak ingat persisnya. Saya sudah kelimpungan karena selain merasa bodoh sekali, bisa-bisanya tertipu demikian gampang, juga kebingungan bagaimana menggerakkan roda di ruko. Tabungan saya sudah habis. Uang dari hasil saya sebagai dokter hewan, sudah memiliki pos masing-masing.

Tadinya ... setelah tiga bulan berlalu dari kejadian bodoh itu—saya enggak mau bahas betapa bodohnya saya ini. Uang dipinjam teman padahal dirinya sedang merencanakan kabur yang hingga kini enggak ketahuan rimbanya di mana—saya sudah ada di titik menyerah. 

Saya kalkulasi, toko itu enggak bisa diselamatkan. Banyak barang yang kosong juga butuh dibayarkan sewa kontraknya selama setahun ke depan. Ah, kenapa saya lemah sekali dengan kata ‘kasihan’? Tanpa memikirkan imbas pada kehidupan saya sendiri.

Ketika saya sedang mengitung stok barang bersama staff saya terdulu, Beno, seorang pria seusia Bapak datang. Kunjungannya membuat saya terkejut karena sudah lama enggak bersua. Bicara ini dan itu hingga lupa waktu, dan pada akhirnya, saya ceritakan permasalahan yang ada.

Saking penatnya pikiraan saya kala itu.

Beliau, Pak Djumhari. Ayah Nisa juga Dini. Orang yang saya hormati. Pemilik kost yang saya tinggali selama kuliah dulu. Saat memiliki toko, saya lebih sering tidur di lantai atas bersama stok barang. Hemat pengeluaran, kan?

Singkat cerita, beliau mau menyokong usaha saya. Saya baru tahu kalau beliau adalah supplier yang cukup dikenal di Makasar untuk masalah penganan hewan peliharaan. Beliau yang menjamin saya agar bisa terus bergerak keberadaan toko ini. 

Sungguh, saya berterima kasih sekali.

Dan sejak saat itu, saya mengenal Dini dan Nisa. Waktu saya kost, saya tinggal jauh dari kediaman Pak Djumhari. Enggak mengenal kedua putri beliau. Hubungan kami pun biasa saja. Berhubung Dini yang dipercaya mengelola supplier besar itu, saya sering bertemu dengannya. Dan semakin intens terjalin menjadi pertemanan.

Hanya itu.

Kedekatan antara saya dengan Nisa itu terjalin karena enggak sengaja mengantarkannya ke rumah sang paman. Kebetulan saya sedang berkunjung ke rumah Pak Djumhari. Ketika beliau meminta agar menemani Nisa, saya enggak kuasa menolak. Saya ingat saat itu, toko saya sudah ada empat cabang. Perkara bantuan yang telah Pak Djumhari beri, beliau enggak pernah mau dikembalikan. Tapi saya tahu diri. Saya catat semuanya seberapa banyak saya menggunakan bantuannya.

Nisa anak penurut dan manis. Menyenangkan bicara dengannya. Saya merasa, sejak saat itu Nisa mulai menunjukkan dirinya di depan saya. Saya enggak buta melihat seorang gadis yang menyukai lawan jenisnya, dalam hal ini saya. Tapi sungguh, saya enggak ada rasa apa pun padanya.

Saya hanya enggak enak karena melihat bantuan orang tuanya. Jarang bisa menolak rengekan Nisa yang minta ditemani ini dan itu. Di sela aktifitas yang ada di toko, saya tetap berusaha menjadi kawan yang baik untuknya. Juga Dini. 

Masalah perasaan, mungkin karena sifat Nisa yang terkadang manja, saya hanya menganggap ia seperti adik perempuan saya. Itu saja. Toh, saya menghormati orang tuanya selayaknya orang tua saya di Bandung. Karena kedekatan ini juga, kadang Nisa saya biarkan bicara dengan Mama melalui sambungan telepon.

Ah, kalau saya ingat mengenai hal ini, rasanya saya bodoh sekali. Benar kata Rama, seharusnya jangan terlalu dekat dengan perempuan yang terlalu menggunakan perasaannya. Sementara saya enggak memiliki perasaan yang sama dengannya.

“Abang,” panggilnya saat itu. Nisa datang ke toko dengan pandangan sendu. 

Saya menoleh dari kegiatan mengoreksi pekerjaan Rama di toko. Ada beberapa item barang baru yang dipesan tapi Rama masih bingung mengenai kuantitinya. Beruntung enggak ada pelanggan berkunjung siang hari ini.

“Kenapa, Nisa?”

Dia duduk dengan pandangan menunduk entah kenapa. “Adek dilamar.”

Senyum saya terbit. Saya senang sekali mendengar berita ini. “Bagus dong. Abang senang dengarnya.”

Yang saya enggak siap, saat Nisa mengangkat pandangannya, malah menangis tersedu-sedu. Apa salah dengan kata lamaran?

“Memang Abang enggak punya perasaan sama Nisa?”

Ah ... ini lagi. Dini pernah menyinggung mengenai hal ini namun sekali lagi saya tegaskan, saya memang enggak memiliki perasaan apa-apa. Di hati saya sudah penuh dengan satu nama. Yang akhir-akhir ini semakin membuat saya nelangsa. Mama merecoki terus mengenai keberadaannya.

Bagaimana sekarang ia sudah tumbuh menjadi gadis yang dewasa. Betapa mandirinya ia dalam hidupnya. Hanya satu hal yang enggak berubah; tatapan sinis serta bibirnya yang selalu bicara ketus terhadap orang-orang.

Tapi sayangnya, saat itu ia memiliki kekasih.

“Sudah Abang bilang, ini Abang tegaskan di depan Nisa. Nisa sudah Abang anggap sebagai adik. Untuk lebih dari itu, Abang enggak bisa.”

Enggak butuh jawaban atau balas kata-kata lagi, Nisa pergi begitu saja. Sebenarnya enggak tega juga melihatnya menangis seperti itu, tapi mau bagaimana? Saya memang enggak mencintai Nisa. Mungkin suka karena peringainya lembut dan menyenangkan diajak bicara. Hanya saja, visi saya mengenai rumah tangga, enggak ada Nisa di dalamnya.

Doa saya setiap sujud di sepertiga malam, saya berkeinginan berjodoh dengan nama yang selalu saya sebut ini.  Saya ingin, saya mapan dulu. Memantaskan diri agar ia bisa menoleh ke arah saya. Memantapkan hati untuk berumah tangga karena saya tahu, rumah tangga itu enggak semudah yang terlihat.

Saya pikir, permasalahan dengan Nisa selesai tapi sepertinya belum. Enggak butuh waktu tiga jam kemudian, Dini datang. Wajahnya cemberut.

“Abang enggak menyesal Nisa nikah sama orang lain?”

Gelengan tegas saya berikan karena memang itu dari hati saya. Nisa berhak bahagia, kan? Kalau bersama saya, saya yakin dia belum tentu bahagia. Sekian belas tahun hati saya cuma ada namanya. Enggak gampang membuat saya teralih.

“Hanya karena keluarga Niko dekat dengan Mami malah kayak gini. Dini enggak sreg sama Niko nikah sama Nisa.”

“Bukan karena kamu dilangkahi?”

Dini malah tertawa. “Enggak lah. Dua tahun lagi aku nikah, kok. Abang, kan, tau calonnya Dini.”

Saya mengangguk saja. 

“Niko itu peringainya aduh ... Dini takut kalau Nisa nantinya kenapa-napa,” keluh Dini saat itu. Matanya menatap arah luar jendela dengan gamang. Saya rasa, setiap kakak perempuan yang akan melepas adiknya pada seorang laki-laki, akan mengalami hal ini.

“Doanya jangan seperti itu, Din. Siapa tau Niko berubah. Jadi pribadi yang lebih baik apalagi Nisa ini Abang tau perempuan seperti apa.”

Bahu Dini terkulai lemah. “Semoga, Bang. Dini khawatir.”

Saya tahu siapa Niko. Kami pernah satu kampus di mana dirinya adik tingkat saya. Memang yang dibilang Dini benar adanya. Tapi enggak ada manusia yang enggak mau belajar berubah ke arah yang lebih baik, kan?

Saya meyakini hal itu, sih.

Dan pesta pernikahan mewah itu dihelat. Saya turut andil bagian membantu. Mama bahkan menyempatkan diri datang ke acara mereka. Dalam bayang saya suatu saat menikah nanti, ada saya juga gadis yang saya simpan rapat foto-fotonya di galeri khusus di ponsel.

Segera. Akan saya wujudkan hal ini. Kecuali kalau dirinya memutuskan menikah dengan orang lain dalam hal ini, pacarnya yang sekarang. Saya harus merelakan hati serta cinta ini, kan? Sabar. Sabar. Sebentar lagi, satu tahun lagi. Selama janur kuning belum melengkung, saya masih punya kesempatan.

Saya mengerjap pelan dan buru-buru mendekat ke arahnya yang tampak gelisah dalam tidurnya. Keningnya berkerut banyak, membuat saya berpikir apa dirinya mimpi buruk? Matanya memang terpejam tapi bergerak liar bola matanya di dalam sana. Sesekali ia bergumam. Entah apa yang ia ucapkan.

Rasanya saya ingin bangunkan saja.

“Dasar laki-laki kardus.”

Ya Allah, bahkan dalam tidurnya, saya yang memberinya mimpi buruk.

 

 


 

Gin dan Vodka

 

 

 

Saya butuh kopi tapi enggak ingin beranjak lama-lama meninggalkan Arin. Bagaimana, ya? Saya sengaja enggak membiarkan Ibu serta Mama turut menjaga Arin. Mereka juga butuh istirahat dan saya pun ingin membuktikan kalau diri ini bisa diandalkan untuk Arin.

Istri saya marah saat tahu ibunya enggak ada di sini.

“Gue enggak butuh bantuan lo!” Matanya mendelik sangar ke arah saya yang hanya bisa menghela napas berkali-kali. “Panggil ibu gue sekarang!”

Saya tahu Arin itu ketus. Tapi mendapatinya marah, baru beberapa kali dan itu menyeramkan. Enggak. Saya enggak akan turuti kemauannya. Membujuk Arin adalah cara yang paling bisa saya lakukan biarpun kata-katanya yang kasar menyapa telinga ini tanpa ampun. Saya terima. Lebih kasar tingkah dan tindakan saya yang melukai hatinya.

Hati perempuan itu lembut sebenarnya. Dia keras hati karena dilukai dan bodohnya, saya yang melakukan hal itu pada Arin. Yang seharusnya saya jaga agar terus bahagia, agar terus mau tersenyum ke arah saya, atau seenggaknya bertutur yang menggemaskan seperti biasanya. Walau ada nada ketus di sana, tapi ketahui lah, Arin ini sangat manja.

“Gue enggak butuh bantuan lo! Keluar sekarang! Keluar!”

Saya mengalah akhirnya. Pagi tadi, saya mau suapi bubur tapi dia menolak. Berkali-kali saya ingatkan agar makan tapi Arin bersikeras enggak lapar. Padahal wajahnya pucat. Sorot matanya memerah. Belum lagi bibirnya seperti enggak ada ronanya. Dan bubur yang harusnya sudah ia lahap, hanya sebagai penunggu nakas saja.

Dia benar-benar enggak mau makan.

Pada akhirnya saya mengalah karena Arin suka dibujuk. Memilih untuk keluar dari kamar inapnya, ternyata ada Mae juga suaminya berjalan mendekat. Senyum saya ulas karena sudah lama juga enggak berkomunikasi dengan Mae. Namun ...

“Ibu!” teriak Satria yang pastinya kaget dengan tingkah sang istri. Saya sendiri sampai melotot tak percaya karena tingkah Mae barusan.

Astaga.

Saya dipukul pakai tas tentengnya. Matanya galak sekali mengarah pada saya. Selama mengenal seorang Mae dengan inisial Pina Colada, pembawaannya yang santai juga terkesan ramah saya dapatkan. Sekarang?

“Kak Kiki kurang ajar!”

Sekali lagi saya menerima tas itu melayang mengenai bahu. Entah ada ujung besi di bawahnya atau memang tas itu berat, rasanya cukup sakit bahu saya terkena hantamannya. Kalau tadi tepat mengenai sisi kepala, kali ini bahu. Apa Mae tertular galaknya Arin, ya?

“Ibu,” panggil Satria. “Sudah.”

Mungkin kalau enggak ditahan sama suaminya, Mae pasti mau pukul saya lagi. 

“Mas, Kak Kiki ini benar-benar ... Ya allah, Mas! Arin itu enggak pernah selemah ini. Tapi sama Kak Kiki. Ya Allah,” Mae mengusap dadanya pelan. “Aku belum selesai bikin perhitungan sama Kak Kiki, ya. Sebentar lagi Gin ke sini. Aku enggak peduli kalau Gin hajar Kak Kiki!”

Saya menelan ludah. “Kenapa ada Gin di sini?”

Mae enggak menjawab malah memilih masuk dalam ruang rawat Arin. Saya cukup beruntung paling enggak, di dalam Arin ada yang menunggu dan menemani. Walau saya enggak akan bergerak ke mana-mana juga, sih.

“Saya harap, ada pelajaran yang bisa kamu dapatkan dari kejadian ini.”

Saya menoleh. Suami Mae ini jarang bicara. Pembawaannya tenang tapi matanya sama sekali enggak pernah lepas dari mengawasi Mae. Sorot matanya juga tajam dan terkesan enggak mau ada gangguan.

“Iya, Mas.” Pasrah, saya bisa apa? Saya orang yang paling salah di sini.

Dia mengangguk tapi belum mau menurunkan sikapnya pada saya. Saya maklumi hal itu. Mungkin perbedaan usia juga cukup membuat saya sungkan kalau terus menerus ada di dekatnya dalam aura seperti ini. 

“Arin termasuk karyawan saya yang mumpuni. Karena kamu, kinerjanya terganggu.” Kali ini, Satria menatap saya tanpa ragu sedikit pun. Saya tau, Arin dan pekerjaannya sangat berdedikasi. Makanya ketika Arin menyinggung masalah LDR, saya enggak masalah.

Saya beri kesempatan Arin untuk tetap bisa berkarya. Binar kecintaannya saat ia berkisah mengenai kantor, membuat saya yakin, Arin menyukai aktifitasnya sehari-hari. Saya yang bodoh mengkhianati kepercayaannya dan sekarang, saya benar-benar akan menebusnya.

“Sepertinya hantaman tas istri saya cukup membuat kepala kamu benjol.”

Buru-buru saya menyentuh bagian kepala yang memang agak nyeri tadi. Satria benar rupanya. Rasanya seperti kena hantam benda berat. Apa Mae bawa batu bata dalam tasnya? 

Saya hanya bisa meringis pelan menanggapi ucapan Satria barusan.

“Tapi saya rasa kamu pantas mendapatkannya.” Satria melipat tangannya di dada. Lantas memilih duduk di salah satu kursi ruang tunggu. Tak lagi terlalu awas menatap saya tapi entah kenapa gestur tubuhnya masih terlihat memusuhi saya.

Tak ada yang bisa saya lakukan kecuali mengangguk pasrah. Lagi-lagi. Kami juga tak saling bicara setelahnya. Agak canggung juga, dan itu pula yang membuat saya memutuskan untuk ke toilet sejenak. Baru saja pamit meninggalkan kursi, berbelok ke arah toilet yang ada di koridor lain, saya dikejutkan oleh satu hal.

Saya menggeram kesakitan dengan tangan terkepal. Ingin membalas siapa yang seenaknya menghantam wajah ini.

“Dari Vodka, buat Arin.”

Bibir saya sampai agak berdarah. Begitu kami bersitatap, Gin tanpa ragu menatap saya dengan pandangan siap berkelahi. 

“Dan ini dari gue!”

Pukulan cukup kencang gue terima di perut. Sial banget saya hari ini. Padahal ini koridor rumah sakit tapi kenapa enggak ada satu pun perawat atau keluarga pasien yang lalu lalang? Seolah semesta bekerja sama banget membuat saya kena hantam beberapa kali dari teman terdekat.

“Berengsek lo, Ki! Bajingan Tengik!”

Saya meringis. Hampir jatuh terduduk tapi sebelah tangan saya menopang tubuh pada bagian tepi kursi. “Thanks, sambutannya. Baru gue mau temui lo.”

Dia berdecih. “Pak Satria enggak mau nambahin?” tanyanya yang lantas disambut kekeh dari sosok yang duduk santai di kursi. Matanya hanya melirik tanpa minat pada saya yang kesakitan.

“Pinpin kalian pukul Whiskie dua kali.”

Gin, sohib saya terpengarah. “Serius, Pak?”

“Kenapa saya mesti bohong? Saya juga malas mengotori tangan kalau ada yang bisa melakukan tanpa perlu disuruh.” Satria melirik saya sekilas. “Saya ke kafe seberang dulu. Mau kopi, Ki?”

Saya mengangguk saja. “Makasih, Mas.” Saya lihat Satria beranjak begitu saja. Sempat menepuk bahu saya dengan pelan sembari berbisik, “Ini belum seberapa, Ki.”

Benar. ini belum seberapa. Berusaha sekali saya untuk menormalkan tubuh. Menghela beberapa kali sebelum akhirnya bisa menegakkan punggung. “Lo dari tadi?” Saya bertanya pada Gin yang masih menatap penuh emosi.

“Gue enggak sangka lo tega berbuat kayak gitu ke Arin! Arin, lho, Arintania Maharani. Yang lo gadang-gadang istri masa depan! Mana? Ini yang lo sebut cinta?”

Mata saya refleks terpejam. “Jangan bersuara terlalu keras, Gin. Ini rumah sakit.”

“Rumah sakit ini juga punya paman gue, kok. Santai saja. Paling gue enggak boleh main ke sini lagi.”

Ck! Ck! Ck! Apa dia yang membuat koridor ini sepi agar bisa memukuli saya? 

“Gue baru tau kalau ini punya kerabat lo.”

Dia mendengkus. “Memangnya segala property keluarga gue mesti orang lain tau?”

Saya tergelak tapi meringis kembali. Sakit juga pukulannya di pipi. 

“Bersihkan muka lo sana.” Dia mendorong bahu gue untuk segera menyingkir. “Nanti disangkanya lo kelahi enggak guna lagi.”

Thanks oleh-olehnya,” kata saya sembari mengusap ujung bibir.

“Vodka kecewa sama lo, Ki. Lo panutannya, lo juga yang buat kita-kita merasa lo enggak berguna sebagai laki-laki.”

Ucapan Gin enggak lagi dengan nada tinggi tapi sungguh, menghantam telak hati saya. Agak lama saya terdiam sebelum akhirnya memilih menyingkir. Setidaknya membersihkan wajah dari luka yang saya dapat, bisa sedikit lebih baik.

Enggak butuh waktu lama untuk saya membersihkan diri. Agak nyeri tapi enggak apa. Memang saya pantas mendapatkannya. Gin dan Vodka, memang enggak pernah berinteraksi langsung dengan Arin. Segan katanya. Tapi saya yakin ribuan persen, kalau berita ketololan saya ini mereka dapat dari Pinpin.

Kami berempat bersahabat baik. Diawali dengan kecanduan pada hal yang sama. Hingga berakhir pada basis yang kami dirikan untuk kebersamaan yang tercipta; Daki Monyet. sampai sekarang, kami masih eksis walau belum seratus persen kembali. Saya rasa, tahun ini kami mundur dari pendaftaran kompetisi lomba. Mengingat Mae sedang hamil. Saya yang masih kacau dengan masalah yang saya timbulkan sendiri.

Sementara saya dengar, harusnya Gin ada di luar negeri melanjutkan studi. Berbeda dengan Vodka yang asyik bergumul dengan anak-anak di rumah sakit.

“Kenapa, sih, lo begonya sampai ke tulang sumsum, Ki?” tanya Gin saat saya sudah duduk enggak jauh dari tempatnya bersila kaki.

Saya menghela napas pelan. “Iya. Gue bodoh banget memang.”

“Kalau lo masih mau mainan sama perempuan, harusnya Arin enggak lo ajak nikah. Dia hamil, Ki, hamil. Lo buat dia sedih terus. Meski gue enggak paham mengenai dunia kedokteran, tapi seharusnya lo tahu, kan, ibu hamil enggak boleh stress?”

Saya diam mendengar ceramah Gin.

“Gue jadi penasaran, saat lo lakukan tindakan sok super hero itu, lo pakai otak enggak, sih?”

Saya tertawa. “Mungkin perkara kasihan yang seharusnya enggak ada. Malah bikin runyam banget.”

“Udah, lah. Ngapain ada rasa kasihan begitu? Yang seharusnya lo kasihi ini istri lo, Ki. Si Arin. Kenapa malah cewek lain?”

Saya menunduk.

“Gue kalau jadi Arin, enggak pakai basa basi. Minta cerai.”

Bahu saya makin merosot tajam. “Kemarin Arin juga minta cerai, Gin,” lirih saya. Mata saya pun makin lama makin buram mengingat kata-kata itu.

“Bagus. Gue dukung Arin kalau gitu.”

“Kok, lo gitu?” Saya enggak percaya kalau Gin bisa mengatakan hal itu ditambah wajahnya enggak ada jenakanya sama sekali. Biasanya ia usil dan menanggapi dengan gurauan. Kali ini?

“Lo mikir saja, dia istri lo. Lo hampir mati demi orang lain. Otak lo lenyap?”

Saya kehabisan kosa kata, enggak mau juga membela diri. Gin benar.

“Lo pikir, deh, bagaimana sakitnya istri lo. Bagus dia masih mau lo ada di sekitarnya. Lo enggak tau, kan, jalan Allah seperti apa? Siapa tahu saja ada yang nungguin Arin jadi janda. Lo mau?”

“Kok ucapan lo makin ngawur?”

“Ucapan gue ngawur tapi tindakan gue rasional. Ketimbang lo? Ucapan lurus juga waras, tindakannya di luar logika banget.” Gin menatap gue tanpa ampun. “Pikir, Rasyid.”

Sepanjang saya mengenal Gin, Vodka, dan Pinpin, untuk kedua kalinya—saat pertama jelas ketika kami berkenalan dulu. Menggunakan nama asli masing-masing sebelum akhirnya terbiasa menggunakan uname pada games kami sebagai panggilan—Gin memanggil nama asli saya.

“Gue memang enggak kenal Arin secara pribadi tapi dari semua cerita Pinpin mengenai sosok istri lo, lo yang bakalan jungkir balik kalau sampai Arin benar-benar merealisasikan ucapannya.”

Saya terdiam. Pikiran saya mau enggak mau menyetujui ucapan Gin.

“Lo harus punya strategi khusus mengambil lagi hati istri lo.”

Benar. Gin benar sekali.

“Lo ahli strategi, Rasyid. Gue kenal lo sebagai Whiskey yang selalu siap menghadapi musuh. Enggak mau kalah dalam hal adu lihai. Jangan mau kalah. Itu juga kalau lo memang cinta Arin.”

 

***[]***

 

Arin sama sekali enggak mau bicara dengan saya sejak kepulangan Mae. Kalau saya sudah bertanya lebih dari lima kali, Arin baru mau bersuara itu pun singkat sekali. Tapi saya enggak akan kalah. Saya akan lebih berjuang keras.

Ini salah saya. Harus saya tanggung asal Arin jangan pergi. Saya sungguh ketakutan kalau ia benar-benar mengajukan gugatan cerai. Ya Allah, saya enggak mau. 

Enggak sekali dua kali saya diusir untuk menjauh. Apalagi di depan dokter yang memeriksanya, Arin sama sekali enggak menurunkan intensitas kebencian. Saya hanya senyum kecil menanggapi dan beruntung sekali, dokternya enggak banyak tanya atau ingin tau.

Malah sesekali meledek Arin yang justru makin jadi menatap saya dengan aura permusuhannya. Enggak apa. Saya tahan. Harus tahan. Enggak boleh nyerah. Arin enggak akan semarah itu kalau bukan karena saya.

Saya harus dapatkan maaf darinya.

Mau sepanjang usia saya nanti usaha untuk menggapai maafnya, akan saya lakukan. Kalau posisinya di balik, belum tentu saya tahan dan setegar Arin. Bekas jahitan saya masih agak ngilu sebenarnya tapi semuanya enggak jadi masalah asal masih dikasih kesempatan menatap Arin yang sekarang jatuh tertidur. Mungkin capek marah-marah atau bersikap ketus pada saya.

Mungkin juga karena suasana yang sunyi sepi di ruang rawatnya ini. Makanya ia gampang mengantuk. Saya ingat banyak kebiasaan kami yang demikian saya rindu. Garis tawanya, caranya tersenyum, nada bicaranya yang seenaknya tapi justru membuat saya tergelak. Belum lagi sorot matanya yang menyebalkan tapi di saat bersamaan sangat menggemaskan itu.

Mengingat hal itu membuat saya terpejam tanpa sadar. Hingga saat saya membuka mata kembali karena kesemutan di bagian tangan. Ternyata lengan saya entah sudah berapa jam menjadi tumpuan kepala. Mendesah pelan, saya bergegas ke kamar mandi. Lebih baik sholat malam sekalian mohon ampun, siapa tahu dibantu dengan Sang Pemilik Hati, ada belas kasih untuk saya agar mendapat maaf dari istri.

Khusu’ saya melaksanakan kegiatan hingga tanpa sengaja, saat saya melirik ke arah ranjang Arin, istri saya itu terbangun. Menatap ke arah saya dengan pandangan yang sulit sekali saya artikan. Sendu, marah, kecewa, kesal, geram, berkumpul jadi satu di sana. Merajam saya tanpa ampun dan seperti saya ini ditimpuk ribuan kerikil tanpa jeda.

Sakit sekali saya melihat sorot mata itu di netra Arin. Dan yang paling saya benci, sayalah yang melakukannya.

Saya beranikan diri mendekat ke arahnya. Dia seperti sedang melamun. “Neng? Bengong?” tanya saya pelan. Saya takut mengagetkannya dan kembali didorong menjauh.

Matanya masih enggak ia alihkan ke mana-mana. Fokus banget menatap saya, membuat saya takut dengan keadaannya. Lalu jemarinya menyentuh pipi saya yang agak nyeri tadi.

“Ini kenapa?” tanyanya dengan sorot heran. Segera saya turunkan jemarinya agar enggak menyentuh nyeri itu lagi. Bukan karena sakitnya, tapi lantaran malu. Bekas lebam ini pasti kentara kalau diperhatikan jelas seperti tadi Arin memperhatikan saya. 

Yang enggak saya siap, dia malah melengos dan sorot matanya kembali membara. 

“Lho, kenapa, Rin? Ada yang salah?” Saya harus tahu ada apa dengannya kini. “Neng kenapa? Sesaat tadi, Abang merasa ada Neng di dekat Abang. Tapi sekarang? Neng jauh banget.”

“Bisa enggak, sih, lo bikin gue tenang? Buat gue merasa jadi istri lo? Atau memang lo cuma butuh status gue sebagai istri? Dengan mengumbar kata-kata manis di awal sampai lo berhasil nikahin gue? Begitu?”

saya melongo. Pemikiran dari mana? Enggak. Enggak. Saya enggak boleh membuat praduga aneh-aneh. Biarkan dulu Arin meluapkan emosinya. Enggak apa. Saya tahan. “Maafin Abang.” 

Arin kembali diam tapi isaknya semakin jadi.

“Neng mau Abang gimana? Abang sudah enggak mau berhubungan dengan mereka lagi. Abang salah. Memang hutang budi enggak harus seperti itu cara balasnya. Taruhan Abang besar banget dan jujur ... Abang takut banget saat melihat darah di malam Abang berantem itu.”

Saya mengambil napas sejenak juga melihat bagaimana reaksinya mendengar ucapan saya.

“Abang takut, enggak dikasih kesempatan untuk terus bersama Neng lagi.”

“Kenapa enggak sekalian mati aja, ya, Abang? Jadi penyesalan itu seumur hidup dibawa mati.” Arin berkata sembari mengusap air matanya di pipi.

Saya mengusap dada mendadak. Ya Allah, sadisnya bibir mungil itu berbicara. “Kok, gitu? Jahat banget.”

“Lebih jahat juga lo, kan? Membela orang lain tapi ninggalin istri sendirian di rumah.” Arin bicara dengan telaknya membuat saya diam tiba-tiba. Menarik napas sebentar sebelum kembali bicara. mumpung sepertinya Arin lagi baik hati. Mau mendengarkan saya bicara panjang lebar.

“Makanya, Abang enggak akan berhenti berucap maaf sembari membuktikan ke Neng, Abang kali ini serius dan sudah enggak mau lagi salah meletakkan posisi. Abang salah.”

Saya enggak peduli kalau nantinya kena tampar. Saya jatuhkan kepala ini di pangkuannya. Biasanya kalau saya bersikap seperti ini, jemari Arin menyusuri kulit kepala saya. Memijatnya pelan, membuat saya rileks. Saya sungguh merindukan sentuhannya. “Maafin Abang, Neng. Abang terima semua perlakuan Neng yang menjauh asal jangan benar-benar pergi. Abang enggak sanggup.”

“Gue sanggup ngadepin lo yang enggak tau diri. Kenapa giliran gue marah, lo enggak sanggup?”

Arin benar. 

“Mumpung gue berbaik hati, mungkin malaikat yang tadi sholat bareng sama lo ikutan berbisik lembut biar mau mendengar penjelasan mengenai hutang budi yang dimaksud. Kalau Abang enggak bisa jujur juga, gue enggak tahu lagi bagaimana mesti bersikap.”

Sungguh, saya enggak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Saya sampai mengerjap menatapnya, takut kalau ini hanya mimpi. Apalagi saya ingat, ini masih dini hari. Berhubung enggak ada kata lanjutan lagi keluar dari bibirnya yang masih pucat, saya meyakini kalau pendengaran ini enggak salah. Segera saya menariknya dalam dekap sembari berkata demikian lirih. Berharap sekali, permohonan maaf saya mulai memengaruhinya.

“Makasih, Neng. Makasih.”

 

 


 

Hekky musuh saya

 

 

Saya kesal sekali. 

Kalau bisa keinginan saya itu jelas; memukul pria yang senyum mengejeknya belum mau sirna dari pelupuk mata ini. Saya jengkel. Sangat jengkel. Jikalau ingatan saya kembali pada sosok itu, refleks tangan saya mengepal. Bahkan buku jari saya sampai memutih saking kuatnya kepalan tangan ini.

Istri saya?

Ya Allah, malah balas senyum pria itu! Bersikap ramah pula!

Saya memejam sejenak mencoba menahan amarah yang bergulung. Seketika saya disadarkan pada satu titik; saya pernah melakukan hal ini. Membuat istri saya marah dan kesal bersamaan. Seharusnya apa yang saya rasa ini imbang, kan? Tapi kenapa rasanya tak nyaman? Rasanya ada ganjalan yang besar sekali di hati. 

“Kalau begitu Mas pamit, ya.”

Kurang ajar! Pria itu mengusap puncak lengan Arin! Saya sampai mengetatkan rahang tapi tak bisa berbuat apa-apa.

“Jaga sehatnya, Rin. Selama hamil, buat diri kamu bahagia. Jangan gampang ruwet pikirannya. Kalau enggak bisa bahagia sama hidup yang kamu jalani sekarang, sini ... jalan ke arah aku. Enggak akan aku sia-siakan hidup kamu.”

Sialan! Saya enggak tahan! Sama sekali enggak tahan! “Maksud Anda apa?” 

Saya berdiri seketika. Siap menerjang pria yang masih menatap saya dengan seringai remehnya. Ingin sekali saya hantam wajahnya yang sok simpati pada keadaan istri saya!

“Kata-kata saya cukup jelas.” Pria itu tersenyum. “Itu juga kalau Anda gunakan kepala untuk berpikir.”

Dia lantas menatap istri saya yang masih ... ya Allah, Arin masih tersenyum manis ke arahnya! Hingga detik ini, senyum Arin harganya langka sekali untuk saya. Mana pernah ada senyum manisnya. Bicara sedikit menurunkan nada ketusnya saja belum saya dapatkan. 

“Mas pamit, Rin.”

Baru saja saya akan menyela ucapannya, ia sudah keburu menambahi ucapannya. “Anda beruntung, hati dan tangan saya masih bisa menahan tingkahnya. Kalau enggak, sudah sejak menghantam Anda.”

Dipikir hanya dia yang mau adu gulat? Biarpun saya masih belum dalam keadaan prima, saya masih sanggup bergelut dengannya! Jika bukan karena cekalan tangan Arin menahan saya, sudah saya tantang pria itu berkelahi. 

Seenaknya bicara seperti itu!

Ketika saya bertanya pada Arin, kenapa bersikap seperti itu pada pria lain, jawabannya membuat saya sakit hati.

“Lo ... enggak punya cermin? Bertanya kenapa gue bisa ramah-tamah ke orang lain?” Arin menyeringai tipis. Hekky, nama pria itu, sudah pulang sejak lima menit lalu. “Seharusnya lo tanya diri sendiri. Apa yang sudah lo lakukan ke gue.”

Bungkam saya. Tak bisa menyanggah satu pun ucapannya. Termasuk lagi-lagi menerima punggungnya yang kecil juga rapuh sebagai ganti wajahnya. Saking tak ingin berlama-lama bertatap dengan saya. 

Saya belum lupa mengenai kedatangannya ke rumah sakit. Mungkin pikirnya, saya terlibat sesuatu yang mengerikan. Memang mengerikan, tapi tak seharusnya ada kepentingan membela wanita lain di sana. Saya juga belum bisa menyingkirkan bagaimana caranya menatap kala itu. Sangat terluka.

Sudah saya mengkhianati kepercayaannya. Membuatnya sedih berulang kali. Ditambah kedatangan  Nisa yang datang tanpa permisi tapi saya sama sekali enggak bisa cegah. 

Arin datang bersama Rama juga Mama. Tapi tak lama setelah Nisa datang, ia meninggalkan saya begitu saja. Wanita berkerudung itu juga enggak lama di kamar saya. Mama mengusirnya telak. Setelahnya Mama memarahi saya habis-habisan. Baru kali ini saya sakit, tapi semua orang menyalahkan dan tak peduli betapa luka di perut ini cukup menyiksa. 

Harga yang saya bayar ternyata mahal sekali. Saya terima. Sangat menerimanya. 

Perkataan Arin tadi membuat saya menyadari, sesakit ini rasa yang saya toreh di hatinya. Ditambah obrolan mereka ternyata begitu seru. Saya yang mendengarkan sudah tak keruan laju jantungnya. Beberapa kali mengantar Arin makan di tempat yang ia inginkan. Mengantarnya pulang, memastikan Arin nyaman juga sesekali mampir sekadar memenuhi pinta istri saya yang orang bilang; ngidam.

Seharusnya itu tugas saya, kan?

Di mana saya saat itu?

Ya Allah! Durhaka sekali saya terhadap Arin. 

Andai saja waktu bisa diputar, saya enggak ingin melakukan kesalahan ini. Enggak akan saya sia-siakan waktu yang seharusnya saya habiskan bersama Arin dan melewatkan beberapa moment indah bersama. Saya menyesal. Sungguh. 

“Neng sudah tidur?” tanya saya pelan setelah berusaha menormalkan diri. Melihat kedekatan Arin dan Hekky membuat diri saya terasa miris sekali. 

Tak ada jawaban apa pun selain turun naiknya laju napas. Saya mendekat perlahan, membenahi selimut yang belum terpasang dengan benar. 

“Abang beli kopi dulu, ya. Enggak lama, kok.” Meski saya tahu Arin mungkin tak mendengar, setidaknya saya berpamitan. Saya juga enggak akan lama meninggalkannya sendirian di sini. 

Saya memang butuh secangkir kafein. Wajah Hekky harus saya halau segera. Jangan sampai terlalu lama ada di pikiran ini. Saya cemburu. Padahal semalam, Arin sudah sedikit menurunkan amarahnya. Mau mendengarkan penjelasan saya mengenai hutang budi. Pun perasaan enggak enak karena pernah dibantu dan mengenal baik keluarga Djumhari. Malah ternyata semua itu membahayakan kehidupan pribadi saya. Setidaknya satu beban di pundak ini terangkat meski sedikit sekali. Tugas saya sekarang, meyakinkan Arin dengan kesungguhan, kalau kesalahan ini hanya sekali dan enggak akan terulang lagi di masa depan.

Akan saya buktikan, kalau yang ingin saya nikahi juga cintai hanya satu orang. Hanya Arin. Bukan yang lainnya.

“Neng butuh apa?” tanya saya tiba-tiba begitu masuk kembali ke kamar rawat. Cup kopi pesanan saya segera ditaruh di nakas, bergegas mendekat pada Arin yang tampak kesulitan menggapai sesuatu. Sayangnya usaha saya membantunya enggak mendapat tanggapan apa pun.

“Neng,” panggil saya lagi.

Arin kembali melengos dan malah mengurungkan niat mengambil salah satu buah yang ada di keranjang. Sialannya keranjang buah itu dari Hekky. Ya Allah! Saya benar-benar dibakar cemburu!

“Neng mau apel lagi? Abang kupas, ya?” tawar saya. Apel yang ada di keranjang ini terpaksa sekali saya ambil. Beberapa hari belakangan, apel menjadi buah yang ia gemari. Saya perhatikan itu. 

“Neng, kok, diam saja? Atau mau pir?” Saya menawarkan opsi kedua.

“Apel saja.”

Saya mengangguk patuh. “Dikupas seperti biasanya, kan?’

Lagi-lagi Arin kembali enggak bersuara.

“Padahal semalam Neng sudah mau bicara sama Abang. Ada yang salah lagi? Apa yang buat Arin kesal sama Abang? Bagian mana yang salah?”

“Kupas saja apelnya enggak usah banyak omong!”

Saya memilih mengatupkan bibir. Bergerak mengikuti permintaannya. Sesekali melirik memastikan Arin yang mulai berwarna di wajahnya. Enggak lagi pucat. Di sekitar matanya juga enggak terlalu celung. Saya bersyukur sekali pola makan Arin selama di rumah sakit mulai membaik. Satu hal yang menarik perhatian saya kali ini; seulas senyum kecil Arin pamerkan tapi bukan untuk saya. Melainkan pada ponselnya.

Sabar, Rasyid, sabar. Siapa tahu Arin bukan sedang chatting tapi belanja seperti kebiasaannya yang sudah-sudah.

“Ini, Neng. Apel kupas spesial buat Neng Arin.”

Dia melirik sekilas lalu meraih piring yang berisi buah permintaannya. Enggak berucap apa-apa selain kembali asyik bermain dengan gadgetnya itu. Seenggaknya ia menikmati apel kupasnya. Dokter bilang, makan buah bisa mengurangi mual-mual yang Arin alami. 

“Lo pulang saja sana,” kata Arin di sela kunyahannya. “Gue malas ngeliat lo kelamaan di sini.”

Saya yang sedang memperhatikan foto yang Ayah kirim terkait rumah sewa, terhenti. “Abang harus di sini, jaga Neng. Mau diusir seperti apa, Abang tetap di sini. Kalau Neng enggak mau melihat Abang terlalu lama, Abang tidur di luar juga enggak apa.”

“Ya, lah. Ngapain ngeliatin lo lama-lama. Bikin gue tambah stress.”

Saya mengulum senyum. “Oke, Abang nanti tidur di luar.”

Biarpun caranya menatap saya masih seperti orang meremehkan, juga bola matanya yang sering banget dibuat pecicilan enggak keruan, tapi saya enggak jadi soal. Seenggaknya Arin masih mau bicara dengan saya. Itu satu kemajuan yang bagus, kan?

Sesekali Arin memejam, kunyahannya berhenti, juga kernyit di keningnya yang membuat saya waspada. Takut kalau Arin mulai kembali merasakan mual. Lalu semua yang baru saja ditelan, kembali dimuntahkan. Berjuang sekali Arin untuk memasukkan makanan dalam perutnya.

Yang kian membuat saya makin bersalah.

Ingin rasanya memeluk Arin dan mengucapkan maaf yang bertubi-tubi. Tapi melihat gestur Arin yang sama sekali enggak mau terganggu, membuat saya urungkan niat. Jangan sampai saya semakin disuruh menjauh. Membayangkan tidur di luar saja saya agak khawatir. Takut kalau mendadak Arin membutuhkan bantuan saya.

“Lo masih enggak mau cerita kenapa sama pipi lo?”

Sepertinya ada yang salah dengan pendengaran ini. Saya sampai mengerjap berulang kali demi memastikan satu hal; Ini ... saya benar-benar ditanya? 

“Kalau lo masih mau main rahasiaan sama gue, ya ... enggak apa. Tuhan gue maha tahu, kok.”

Sadisnya ia kalau berkata-kata.

“Oleh-oleh dari Vodka,” kata saya kalem. Ucapan saya barusan membuat keningnya makin berkerut.

“Memang kemarin ada Vodka?” Arin sedikit menegakkan punggungnya. Saya bantu setelah meletakkan piring kosong yang alhamdulillah banget, enggak dimuntahkan isinya. Sorot matanya enggak ia alihkan ke mana-mana selain menunggu saya bicara. Bahkan segelas minum yang saya sodorkan masih belum mampu mengalihkan matanya dari saya.

“Gin yang datang ke sini.”

“Aduh, bisa lo buat sederhana ceritanya? Atau ... lo memang enggak minat cerita sama gue? Kalau enggak mau cerita,  ya sudah sana, keluar.”

Saya meraih tangannya sekadar untuk digenggam. Sayangnya, usaha itu segera Arin tampik. Cukup keras saya menerima pukulan dari tangannya.

“Jangan pegang-pegang!” peringatnya tanpa ampun. Membuat saya kembali menghela napas.

“Gin tadi ke sini. Mampir memberi oleh-oleh. Salah satunya titipan Vodka.” Saya menunjuk pipi yang masih agak lebam ini. Semalam memang ia bertanya tapi saya belum ingin bercerita. Saya pikir, Arin lupa. Ternyata masih juga menjadi pembahasan namun, ada riang di hati. Paling enggak ada bahan obrolan dengan istri menggemaskan saya ini.

“Oh ... bagus dong. Setia kawan namanya.”

Saya tersenyum pelan.

“Dari Pinyang lo dapat apa? Dia bilang mukul lo pake tas? Kepala lo bocor enggak? Siapa tahu kalau sampai bocor, agak waras otaknya.”

“Alhamdulillah masih dilindungi tapi agak sakit memang.” Saya refleks memegang sisi kepala yang kemarin kena hantam tas Mae yang berat. “Apa dia bawa batu bata?”

Saya lihat, Arin mencibir sinis.

“Kalau Gin kasih lo hadiah apa? Penasaran.”

Ringisan saya beri. “Sudah. Enggak usah tahu. Arin mau lanjutkan tidur lagi? Dokter bilang banyak istirahat bagus buat ibu hamil.”

“Lo enggak perlu sok menasihati gue. Gue sudah tahu apa yang mesti gue lakukan. Urus saja diri lo sendiri. Pipi lo lebam, kepala lo benjol, entah si Gin kasih lo apa. Bagus masih bisa napas. Kenapa enggak sekalian sampai pingsan, ya, diberi oleh-olehnya.”

Arin dan caranya yang sadis menanggapi apa yang terjadi dengan saya. “Senang, ya, kalau Abang sakit?”

“Lo celaka bukan karena membela gue, kenapa gue mesti kasihan sama lo? Enggak guna.”

Saya mengalah. Arin dalam mode yang sama sekali enggak bisa disentuh. Diam sepertinya lebih baik. 

“Melamun memikirkan mantannya di sana?” tanya Arin penuh ketus. “Pulang saja sana ke Makasar. Tinggalin gue sendirian. Enggak masalah, kok. Sudah biasa.”

Saya tersenyum kecil. “Enggak. Untuk apa memikirkan Makasar?” Saya semakin mendekat ke arahnya. Kembali mengambil tangannya agar mau saya sentuh dan hamdalah luar biasa, saya enggak ditolak. Enggak ada acara menepis juga memukul tangan saya yang menyentuhnya. 

“Abang teringat marahnya Ibu dan Ayah. Mama juga, sih.” Saya meringis pelan.

“Mereka pukul Abang enggak?” tanyanya dengan tatapan lurus tanpa ekspresi.

“Ehm ... iya.”

“Oouh! Kasihan.”

Saya tertawa dengan kata-katanya. Seperti nada meledek tapi tingkat sinisnya banyak sekali. “Disayang coba suaminya kalau memang kasihan.”

“Rajin amat!” Arin menepis tangan saya yang mencoba merapikan rambutnya. “Gue mau tidur lagi. Lo lebih baik keluar. Gue enggak mau tidur ditungguin sama lo. Jangan dekat-dekat sama gue.” Ia kembali merebahkan diri. Lagi-lagi punggungnya ia hadirkan untuk saya. 

Saya tersenyum saja. Sabar, Rasyid. Sabar. Ini semuanya karena kesalahan yang kamu perbuat sendiri. Peringat saya dalam hati. “Iya, nanti Abang keluar.” Saya ambil selimut yang belum terpasang benar di tubuh mungilnya. “Selamat tidur, Neng.”

Satu hal yang segera menjadi fokus saya; obrolan yang terjeda dengan Ayah Mertua tadi. Semakin cepat saya pindah ke Jakarta, semakin cepat urusan saya di Makasar selesai. 

 

 


 

Usaha maksimal

 

 

 

Ini hari ketiga kami di rumah sakit. Saya enggak jadi soal menunggu Arin di sini meski badan ini mulai sakit. Tidur beralaskan tikar dengan kasur tipis itu enggak nyaman tapi, saya enggak akan mengeluh. Memastikan Arin mendapatkan perawatan serta kondisinya berangsur membaik, saya sudah sangat lega.

“Neng,” panggil saya. Berusaha mencairkan suasana meski saya lebih sering menelan pil kecewa. Arin lebih sering menanggapi dengan kata-kata singkat. Tapi enggak apa, saya harus terus berusaha. “Menurut Neng cat di ruko butuh diganti enggak? Abang sudah dalam tahap pembuatan rak tinggi untuk taruh stok, sih.”

Itu benar. Meski memantau dari rumah sakit tapi urusan ruko baru harus tetap diawasi dengan baik. Saya enggak mau menunda lagi kepindahan di Jakarta. Risiko yang harus saya tanggung lebih dari sekadar nama serta kredibilitas saya di Makasar. Saya enggak siap jika Arin pergi meninggalkan saya.

Pagi ini, istri saya tengah menyarap. Tanpa bantuan saya pastinya. Saya memperhatikan dengan lekat, bagaimana usahanya menyuap dan menelan sajiannya. Selama saya berganti status menjadi suami Arin, saya sering melihat betapa ia selalu bersemangat menghabiskan makan. Kali ini? Entah seperti enggak selera atau terpaksa memakan menu pagi ini. 

Beruntungnya, Arin enggak muntah-muntah lagi. Asal apel kupasnya enggak ketinggalan dimakan setelah menyantap sajian utama. Mama bilang, mungkin untuk penawar rasa enggak enak yang mendera Arin perkara makannya yang sulit. Karena hal itu juga, saya siapkan apel cukup banyak di nakas. 

Masih belum ada jawaban dari Arin bahkan sampai sarapannya hampir habis. Malah Arin seperti sengaja memainkan ponsel dengan asyiknya.

“Neng,” ulang saya penuh sabar. “Neng dengar Abang tanya apa?”

Matanya diangkat sedikit dan membalas tatapan saya penuh enggan. “Oh, lo tanya gue?”

“Siapa lagi lawan bicara Abang kecuali Neng.”

Dia mendengkus, lalu mengedikkan bahu, dan kembali menatap ponselnya. Mengabaikan saya tentu saja. “Siapa tahu Dini atau Nisa.” 

“Abang pengin pandangan dari Neng. Bukan mereka.”

Dia masih belum mau bersuara. Saya menghela pelan. Arin masih belum mau menurunkan kadar kekesalannya. Cepat sekali dirinya berubah. Kadang bisa diajak bicara, kadang lagi diam seribu bahasa. Saya diminta sabar oleh Mama juga Ibu menghadapi Arin. Katanya juga pengaruh hormone kehamilan. Dari pada saya memikirkan tingkah Arin, lebih baik saya kembali mencatat apa saja yang benar-benar dibutuh pada ruko baru. Sisanya bisa dipenuhi seiring berjalannya waktu.

Urusan di Makasar, sudah saya serahkan total pada Rama.

“Pokoknya Abang tahu beres.” Pemuda itu menepuk dadanya dengan bangga. Saya hanya bisa menggeleng heran dengan tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi. “Rama jaga toko ini dengan baik. Abang enggak usah balik ke sini lagi juga enggak masalah. Abang percaya Rama, kan?”

Saya terkekeh mendapati jawabannya. “Percaya kamu musyik.”

Dia mencibir. “Harusnya, ya, bonus Rama itu besar banget, lho. Menyelamatkan Abang, bawa ke rumah sakit, berbaik hati menceritakan pada Kak Arin permasalahan yang ada.”

Untuk yang satu ini, saya layangkan pukulan pelan di bahunya. “Terima kasih bantuannya.”

“Ini sindiran apa ucapan tulus?”

Kami tergelak.

“Saya percayakan toko ke kamu, ya. Juga masalah pemindahan barang ke Jakarta. Sebagian besar sudah masuk ke pencatatan stok terakhir.”

Rama hanya mengacungkan jempolnya. Kami berpisah di bandara. Rama menyempatkan waktu mengantar saya yang memang sudah enggak ada niat kembali ke sana. Tujuan saya Jakarta dan hati saya untuk Arin. 

Sehari setelah Arin pulang ke Jakarta, ceramah Mama makin panjang. Posisi saya masih terbaring lemah di rumah sakit. Beberapa kali merutuki kenapa proses penyembuhan saya lama sekali. Saya butuh segera sembuh agar bisa menjelaskan duduk perkara yang seharusnya pada Arin. Jangan sampai terlalu berlarut. 

Tetapi saya harus membereskan Mama dulu. Tangis ibu saya ini juga semakin membuat hati saya sengsara. Sebagai anak tunggal dan seorang pria, saya merasa gagal membahagiakan beliau. Berulang kali kata maaf saya ucap, tapi Mama masih juga menangis.

“Kamu harus sungguh-sungguh, Bang. Jangan buat memantu Mama nangis terus. Di perutnya itu ada cucu Mama. Kamu tuh, Bang, bikin malu saja.”

Saya sudah enggak menghitung berapa kali Mama mengucapkan hal itu. Semuanya saya simpan di hati untuk pengingat, jangan sampai saya melakukan hal terbodoh lagi. Cukup ini yang pertama dan terakhir. Saya janji.

“Memang lo mau cat warna apa untuk di ruko?” tanyanya yang membuat saya terkejut. Saya sampai meletakkan notes sekadar untuk memastikan, pendengaran saya enggak salah. Sejenak juga saya melihat kelembutan Arin yang begitu saya rindu, tapi saat ia berkedip, sinis dan pandangan jengkel untuk saya kembali hadir di sana.

“Belum tahu. Makanya Abang tanya, kira-kira perlu diganti atau enggak usah. Menurut Neng bagaimana?” Enggak apa. Mendapatkan respon seperti tadi saja, saya sudah senang bukan main. 

Saya melihat ia tampak berpikir. “Enggak usah. Pertegas saja. Ayah bantuin lo bikin rak tinggi, kan?”

Ah ... semalam saya mimpi apa, ya? Indah sekali pertanyaannya. Banyak kepedulian di sana. Biarpun masih dengan nada ketus, saya mengabaikannya. Bagi saya, diajak bicara seperti ini saja sudah seperti disiram air yang amat menyejukkan.

“Iya. Dari kemarin sudah komunikasi mengenai designnya. Untuk ruang praktik juga sudah kami bicarakan, sih.”

Dia mengangguk. “Jadi bikin hotelnya?”

Kali ini, saya yang mengangguk antusias. Sengaja saya tarik kursi serta buru-buru mengambil notes yang tadi saya singkirkan. “Abang punya design bagus untuk masing-masing tempat bagi hewan yang menginap di sana.” Buru-buru saya sodorkan design yang saya maksud. “Nah ini.”

Arin menatap notes itu dengan saksama. “Ini yang lo pesan sama Ayah?”

“Iya. Bagaimana menurut Neng?”

Ayah Mertua saya jago sekali membuat almari yang futuristic. Banyak hasil tangannya yang sudah melanglang buana. Jadi saya percayakan design di ruko terbaru ini pada beliau. 

“Taruh di lantai tiga?”

Saya kembali mengangguk dan dengan lancar membicarakan mengenai apa yang ingin dilakukan di lantai tiga. Memang saya memiliki rencana adanya hotel bagi hewan peliharaan. Tempat untuk penitipan hewan peliharaan. Sementara sang pemilik, entah mungkin pulang kampung, dinas, atau untuk beberapa saat enggak bisa merawat dengan baik. Tentu saja dengan biaya perawatan serta makanan menyesuaikan dengan kebutuhan pelanggan.

Saya pernah menceritakan rencana ini padanya. Arin antusias banget mendengarkan dan setuju dengan planning saya ini. Malah Arin menambahkan beberapa hal yang enggak terlintas di pikiran saya; metode promo. Saya yakin kala itu, jika ide kami terealisasi, akan jauh lebih mudah menghadapi kendala apa pun ke depannya.

Memang itu impian saya.

Pembicaraan seru dari saya terinterupsi kedatangan dokter yang biasa memeriksa keadaan Arin. Saya mempersilakan beliau mengecek Arin pun perawat yang bertanya ini dan itu terutama perubahan makan. Penuh saksama saya mendengarkan arahan dari dokter. 

Binar mata Arin menyala banget saat membicarakan mengenai perkembangan buah hati kami. Sesekali ia mengusap perutnya juga bicara penuh semangat, “Pokoknya dokter sarankan minum vitamin, saya pasti minum. Makan harus banyak biarpun mual, saya terabas. Pokoknya harus makan dan sehat. Gitu, kan, Dok?”

Sang dokter mengangguk sembari tersenyum penuh arti pada Arin juga saya. “Yang peling penting juga, Ibu jangan berpikiran aneh-aneh terus. Bikin hati serileks mungkin. Senyaman mungkin.”

Dia mengangguk cepat. “Iya, Dok. Terima kasih.”

“Kalau kondisi Ibu makin hari makin oke, besok siang sudah bisa pulang.”

Kunjungan itu berakhir dengan Arin yang masih tersenyum menatap perutnya. Matanya berkaca-kaca. Satu gumanan lirih menyapa telinga saya.

“Baik-baik di dalam, ya, Utun. Mami pasti jagain kamu. Makasih sudah mau berjuang untuk Mami.”

Rasanya ... interaksi manis itu enggak ada saya. Padahal saya ada di dekat mereka, kan? Saya mendadak diselimuti rasa nelangsa yang tinggi sekali. Perlahan saya mencoba mendekat. Arin masih melakukan kegiatan yang saya rasa menjadi kesenangan tersendiri baginya.

“Abang ... boleh usap perut Neng?”

Dia mendongak dan kembali memberi tatapan tajam ke saya.

“Enggak. Lo enggak pengin gue hamil, kan, awalnya. Ini anak gue, bukan anak lo.”

 

***[]***

 

Tangan saya kena pukul lagi, enggak kencang tapi cukup membuat terkejut. “Kenapa, Neng?”

“Mijitnya yang benar. Masih pegal kakinya.”

Saya mengangguk cepat. “Begini?” Tangan saya memberi pijatan agak kuat di tempat yang tadi ia protes. “Kalau terlalu sakit, kasih tahu Abang, ya.”

“Hem.” 

Dari ekor mata saya, Arin lagi-lagi sibuk sama ponselnya.

“Neng ngeliat apa di hape? Belanja?” Saya cukup penasaran sebenarnya. Soalnya sesekali saya lihat, Arin senyum-senyum menatap gadgetnya.

“Chat sama Hekky.”

Saya terbatuk tanpa ampun. Apalagi aroma minyak angin yang saya gunakan memijat kaki Arin mendadak menyerbu penciuman saya. Membuat tenggorokan saya agak panas jadinya. “Serius?” tanya saya enggak percaya. Benarkah Arin melakukan hal itu?

Tapi mengingat senyumnya yang lebar juga sorot matanya yang enggak mau teralih dari benda pipih itu, saya sangsi kalau dirinya berbohong.

“Kenapa mesti enggak serius?” tanyanya dengan mata menantang. 

Menghela pelan, akhirnya saya memilih menekan emosi yang mendadak naik. Bergulat dengan sabar dan emosi. Apalagi tanpa komando, wajah Hekky yang minta ditonjok itu malah seliweran di pelupuk mata.

“Cepat, ih,” katanya sembari menggoyangkan kaki. Saya mendesah pasrah. Lebih baik kembali memberi pijatan di kaki Arin yang mengeluh pegal.

“Jangan terlalu lama chat-nya. Bisa dipergunakan waktunya untuk hal lain.”

“Sesuka gue dong mau chat sama siapa. Berapa lama chatting. Urusannya apa saja. Lo saja enggak gue larang dan bisa kebablasan. Kenapa gue enggak bisa?”

“Neng,” peringat gue. Memejam sejenak demi agar saya masih menggenggam sabar. “Abang memang salah. Enggak apa mendapatkan nada ketus, enggak ramah, enggak boleh pegang Neng lagi, Abang terima. Tapi perkara chat dengan pria lain?”

Dia menatap gue tanpa ada keraguan sedikit pun. Caranya membalas semua perbuatan saya, sungguh membuat laju jantung ini bekerja ekstra.

“Lo urus urusan lo, gue urus urusan gue,” katanya dengan nada penuh keyakinan. Sorot matanya juga enggak beranjak ke mana-mana selain menatap saya. “Lo dengar dokter bilang apa, kan? Gue harus rileks, enggak banyak pikiran, juga happy.”

Saya terdiam.

“Dan chat sama Hekky bikin gue happy kalau itu yang lo mau tahu.”

Tarik. Embuskan. Tarik lagi. Embuskan lagi.

“Sama kayak lo, kan? Yang gue rasa beberapa kali memberi pengertian sama Nisa mengenai prahara rumah tangganya. Who knows?”

Mungkin karena saya enggak menyahutinya, Arin kembali memalingkan wajah. Menarik kakinya yang baru saja ingin saya lanjutkan pijatannya.

“Gue mau tidur. Lo tidur di luar sana. Semalam gue tahu lo tidur di sini.”

Saya mengangguk mematuhinya. Membiarkan Arin menyelimuti dirinya sendiri lalu memberi saya punggung. Bahu saya terkulai lemah. Baru diperlakukan seperti ini saja, saya rasanya sudah enggak berdaya. Berkali-kali menekan diri agar enggak terpancing emosi atas ucapan-ucapan Arin.

Saat napasnya turun naik teratur, artinya ia sudah terlelap. Pelan, saya memberi usapan pada bahunya. “Abang sayang banget sama Neng. Maaf kalau Neng masih meragukan rasa sayang Abang. Beri Abang kesempatan membuktikan diri, ya. Satu kali saja.”

Memastikan keadaan sekitar, termasuk suhu kamar juga menyediakan Arin minum kalau-kalau dirinya terjaga dan haus. Mengambil jaket yang menjadi selimut beberapa malam belakangan ini. Meninggalkan alas tidur yang setia menemani saya. Keluar ruangan memenuhi pinta Arin.

Saya memutuskan untuk membeli segelas kopi dan roti. Anggap saja melepas jengkel yang masih hinggap karena membahas Hekky tadi. Sepanjang menuju kafe, saya chat Vodka. Berterima kasih atas oleh-olehnya beberapa hari lalu. Dan ajakan bermain games menghilangkan suntuk ia tawarkan. Membuat saya enggak menolaknya kali ini. Biasanya, Vodka selalu bersama Pina Colada berselancar mengisi power mereka. 

Nama mereka makin tinggi juga disegani. Sejak Pin hamil, saya kurang tahu apa masih diberi akses untuk bermain games atau enggak oleh Satria. Saya harap, Satria masih memikirkan kesenangan Pin.

 

Vodka :

Tapi Po enggak mau Qaqa Qiqi sampai buat Po malu, ya. Sama pinyang selalu menang. Qaqa Qiqi lagi galau bisa bikin strategi buyar.

 

Whiskie :

Lo lupa siapa ahli strategi di sini?

 

Vodka :

Duh, Qaqa Qiqi syeleeemm... coba itu dipikir ulang. Ahli strategi tapi bego kalah sama golok?

 

Mau enggak mau, tawa saya tersembur. Hingga membuat perawat yang berjaga di meja resepsionis memberi peringatan. Astaga! Vodka keterlaluan! Hiburan yang luar biasa ternyata bisa chat berdua dengannya saja.

 

Vodka :

Setengah jam lagi, ready ya. Gue lagi di jalan kak.

 

Saya segera balas dengan emo jempol. Toh saya juga harus pesan kopi dulu. Jadi timingnya pas. Baru saja saya akan memasukkan ponsel ke saku, sudah kembali bergetar di mana nama Gin muncul di ‘Daki Monyet’.

 

Gin :

Lo enggak jaga Arin, Ki?

 

Segera saya balas pesan itu.

 

Whiskie :

Jagain. Dia sudah tidur. Gue disuruh tidur di luar.

 

Gin :

MAMPOOOOSSSSSS

 

Saya lagi-lagi dibuat enggak berdaya oleh Gin. Seringai tipis tanpa sadar menghias wajah saya pun jemari yang lincah membalas pesan tersebut.

 

Whiskie :

Lo emang sobat gue paling baik sedunia, Gin

 

Gin

Sebagai sobat yang paling baik, gue temani lo main. Biarpun enggak formasi lengkap, tiga Daki Monyet cukup bikin heboh jagad PUBJ malam ini.

 

Saya tertawa. Sudah lama kami memang enggak eksis dalam formasi lengkap. Entah nantinya akan kembali eksis atau enggak. Gin bilang, suatu saat pasti bisa kembali. Untuk sekarang, fokus pada keluarga terlebih dahulu. 

Satu cup kopi, dua roti lapis keju, sudah di tangan. Amunisi lembur malam di koridor seperti yang Arin inginkan. Namun sebelumnya, saya mengecek dulu keadaan Arin. Apa benar-benar terlelap atau masih gelisah dalam tidurnya.

Begitu aku sedikit membuka pintu ruang rawat, Arin sudah duduk sembari menutup wajahnya. Bahunya bergetar juga saya dengar, ia terisak. Arin … menangis? Jelas saya membuat saya panik.

“Neng,” panggil saya mendekat buru-buru. “Neng kenapa?”

Begitu kami bersitatap, dia langsung melayangkan satu jeweran keras di telinga. Persis seperti seorang ibu yang menghukum anaknya yang nakal. 

“Lo dari mana? Gue bilang lo tidur di luar bukan berarti bebas kelayapan! Oh ... lo mau kabur, ya? Kabur ninggalin gue lagi? Iya?!”

Ya Allah.

“Enggak, Neng. Abang beli kopi sama roti. Abang pengin ngopi.” Saya masih meringis karena jeweran Arin cukup sakit dirasa.

Matanya segera memeriksa apa benar alasan yang saya beri. Tapi begitu tertumbuk pada barang bawaan saya, ia menurunkan kadar marahnya. “Kok, bau manis? Bau manis apa ini?”

Saya mengerjap. “Manis? Roti maksudnya?”

Dia mengangguk sembari melepas jemarinya dari telinga saya. Saya usap pelan dan beruntung ternyata masih ada di tempatnya. Belum putus. “Neng mau? Isi keju?”

“Enggak mau. Maunya yang slice Red Velvet.”

Lagi-lagi saya mengerjap. Mencoba menggali ingatan di kedai kopi tadi apa ada kue yang diinginkan istri saya ini. “Kayaknya enggak ada. Mau yang lainnya aja?”

“Ya lo cari, lah. Gue maunya itu, ya ... harus itu.” Arin bersedekap. Bibirnya yang mungil, manyun mendadak.

“Cari sekarang, Hulk.”

Ya Allah, panggilan anehnya untuk saya ternyata diucapkan juga. Saya pikir hanya sebatas penghias kontak di ponselnya. 

“Iya, Neng-nya Hulk. Segera dicarikan. Tunggu, ya.”

 

 


 

 

Red Velvet

 

 

Sudah dapat ditebak, kami batar bermain games. Saya sibuk berkeliling mencari apa yang Arin mau dan ketika berhasil membawa pulang, rasanya seperti bertemu harta karun. Belum lagi perasaan bangga karena nantinya akan mendapat senyum dari Arin. Padahal kalau saya boleh berpikir, permintaan Arin sederhana sekali. Hanya salah letak waktu pencarian saja. 

Kenapa malam hari? di saat sebagian besar toko bakery yang ada di Jakarta sudah tutup?

Tapi enggak jadi soal. Saya harap slice kue ini bisa membuat Arin kembali bicara dengan nadanya yang normal. Enggak ada lagi ketus, enggak juga memandang saya sinis, juga sedikit saya mendapatkan perhatiannya.

“Neng,” panggil saya sesaat setelah masuk ke kamar rawatnya. “Ini kuenya.”

Tapi saya mendapati dirinya yang sudah kembali tertidur. Alun napasnya naik turun teratur. Saya memilih berjalan mendekat dengan langkah sangat hati-hati. Sekadar memastikan kalau dirinya benar-benar terlelap. Dan ... benar. Ternyata Arin sudah tidur. 

“Padahal kuenya sudah datang.” Saya enggak boleh kecewa. Melirik jam di dinding ruang rawat, perkiraan saya mencari kue ini hampir satu jam lamanya. Bisa jadi Arin bosan dan lelah menunggu. Sekilas saya lihat, roti lapis keju tersisa plastik pembungkusnya saja. Apa mungkin selama menunggu ia memakannya?

Enggak apa. Saya justru senang sekali roti itu bisa dijadikan camilan malam. Katanya ibu hamil memang lebih sering merasa lapar. Tapi mendadak saya teringat sesuatu:  Apa Arin memuntahkan makanannya selama saya enggak ada? Semoga saja tidak.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Enggak mungkin saya mengirim chat pada dua sahabat saya perkara janjian main games. Sudah terlalu larut dan saya rasa mereka juga sudah istirahat. Kopi yang saya beli tadi juga sudah dingin. Tentunya enggak enak lagi saya minum. Jika sudah seperti ini, lebih baik saya tidur, kan?

Jangan sampai saya ikut sakit selama menjaga Arin.

Baru saja akan menggelar selimut tebal sebagai alas, Arin terbangun. Membuat saya kembali menghampirinya. “Neng,”

“Lama banget, sih, pulangnya? Mampir ke mana?”

Saya menghela napas pelan. Mengambil bungkusan yang tadi saya taruh di nakas. “Ini. Cari kue yang Neng pengin. Slice Red Velvet, kan?”

Bibirnya cemberut. “Sudah kenyang. Kelamaan.”

Saya duduk di tepi ranjangnya. Membantunya untuk duduk dari rebah. Membenahi helai rambutnya yang agak berantakan. Bibirnya masih cemberut juga masih belum mau bersitatap dengan saya. “Buat besok pagi, ya. Tadi jauh carinya. Abang muter-muter kafe dulu.”

Dia melengos. 

“Neng butuh apa lagi? Masih malam. Tidur lagi, ya,” kata saya setengah membujuk. Dia hanya menjawab dengan gelengan pelan.

“Sudah enggak ngantuk lagi,” katanya singkat.

“Neng mau apa sekarang?”

Lagi-lagi saya dapati jawaban dengan menggeleng.

“Mau dipijat lagi?” tawar saya semoga enggak dapat penolakan. 

“Ceritain tentang film aja deh.”

Saya mengerjap bingung. “Bagaimana? Abang enggak terlalu paham.”

“Lo nonton filmnya. Terus lo ceritain ke gue jalan ceritanya.”

Saya masih belum bisa mencerna. 

“Ih, gitu aja enggak ngerti? Lo yang nonton filmnya. Mana ponsel lo?” Arin segera menodongkan tangannya ke arah saya. Penuh patuh, saya berikan ponsel yang sejak tadi masih di saku. “Cari film di Viu, kek. Video, kek. Yang seru. Yang enggak banyak dramanya. Action juga boleh.”

Meski Arin bicara panjang lebar, tapi saya masih belum bisa mendapati inti dari keinginannya.

“Oh, film Hulk saja. lo, kan, Hulk.”

Spontan bibir saya tertarik sedikit dan ingin sekali mengacak rambutnya. Mendapati bibir mungilnya kembali mengerucut, membuat saya mengurungkan niat. Saya enggak mau ambil risiko Arin kembali sinis. Saya enggak mau dirinya semakin menjauh. Jadi saya biarkan dirinya mengutak atik ponsel saya mencari apa yang ia inginkan. Toh … enggak ada yang saya sembunyikan di sana.

“Nah, film ini. Lo tonton dengan fokus.” Arin mengembalikan ponsel saya dengan cengiran lebar. “Selama jalannya film, ada apa saja di film itu, lo ceritain ke gue.” 

Saya menatap ponsel di mana layarnya benar-benar terpampang judul film yang ia inginkan; The Incredible Hulk.

“Lho, Neng?” Saya enggak habis pikir dengan permintaannya. “Kenapa kita enggak nonton bareng saja?”

“Ih, enak di lo enggak enak di ponselnya, lah! Lo harus cuap-cuap. Gue maunya dengarin lo ngomong. Paham enggak, sih?

Saya mengangguk saja. Kalau sudah mendengar nada bicara Arin seperti ini, saya enggak mau lagi memberi sanggahan. Lebih baik menerima ponsel yang sudah mulai terputar film yang ia maksud. Nnamun sebelum melanjutkan, saya benahi dulu posisi duduknya. Sayang, Arin menolak. 

Ia memilih merebahkan diri bergumul dengan selimut hangatnya. Sedikit memiringkan tubuh mengarah pada saya yang duduk di dekatnya.

“Ih, gue mau rebahan begini. Gue enggak butuh nonton filmnya.” Arin mengambil bantal saya yang sodorkan untuk mengganjal tangan yang masih terpasang selang infus. “Cepat lo ceritain. Filmnya sudah mulai, kan? Biar gue cepat tidur.”

Terliihat ia menunggu saya berkisah mengenai film yang seharusnya bisa kami tonton berdua. Ketimbang saya bercerita begini, kan? Tapi demi Arin, saya melakukannya. 

Kantuk yang tadi hampir menyerang, pergi entah ke mana. Sepanjang saya menceritakan film, berkali-kali ia protes, dan bertanya ini dan itu. Persis seperti anak kecil dengan rasa penasaran yang demikian tinggi, membuat saya penasaran apa dirinya belum pernah menonton film ini?

Apa jawabnya, “Sudah. Gue suka Hulk di versi ini. Ganteng.”

Jawabannya sontak membuat saya menjahilinya. “Seperti Abang, ya?”

Yang saya dapat justru cebikan. “Ngomong sama tembok tuh.”

Jawabannya sukses membuat saya tergelak. 

“Sudah, jangan banyak tertawa. Buruan dilanjutin filmnya.”

“Iya-iya. Abang lanjutkan.”

Saat bagian puncak di mana Hulk mengamuk hebat di atas gedung, hanya Betty Ross yang bisa meredakannya. Arin sedikit mendekat ke arah saya yang agak terkejut karena tindakannya. Saya takut, infusnya malah nanti berbalik dan mengeluarkan darah.

“Gue suka banget di bagian ini,” katanya sembari meminta ponsel yang terputar film. Ia pause dan agak lama memandangi scene tadi. 

“Sukanya kenapa?” Saya cukup penasaran karena ekspresi wajah Arin enggak teralih sama sekali. Ia mendongak dan menyerahkan kembali ponsel saya. “Mau Abang diterusin?”

Dia menggeleng. “Suka karena dengan cinta, amarah, benci, rasa enggak terima sama diri sendiri itu lebur.”

Saya masih terdiam.

“Lo bisa lihat pandangan Betty ke Hulk? Juga tatapan Hulk yang lembut ke Betty? Manis banget. Gue pengin merasakan itu di hidup gue yang enggak seberapa ini.”

“Kok, enggak seberapa? Hidup Neng berharga buat Abang.”

Dia memutar bola matanya sembari berdecih pelan. “Berharga tapi seringnya dibuat sia-sia.”

Entah kenapa, saya teringat dengan Hekky beserta kunjungan kurang ajarnya itu. Apa ... Arin teringat dengan Hekky?

“Abang harus bagaimana biar Neng percaya?”

Mata kami bertemu sepersekian detik.

“Memang ... selama beberapa hari ini, apa yang sudah lo lakuin? Hanya minta maaf, kan? Seberapa banyak tindakan lo untuk gue? Masih secuil, Rasyid, masih secuil.”

Saya kebingungan atas kata-katanya barusan. Telak sekali menonjok hati ini.

“Lo rawat gue karena bentuk kewajiban. Lo usahakan yang terbaik untuk gue, karena ada bayi yang sekarang lo aku-akui sebagai anak.”

Tadinya saya mau sanggah tapi ia keburu mengangkat tangan tanda enggak mau ada selaan dari saya.

“Yang sudah lo lakuin untuk gue apa? Belum ada.”

“Terus Neng maunya Abang seperti apa? Abang berbuat hal yang menurut Neng hanya secuil pun benar-benar untuk Neng. Dan semua yang Abang lakukan bukan hanya perkara kewajiban, tapi dari hati Abang untuk Neng.”

Karena Arin terdiam dan terlihat enggak mau bicara, saya kembali menambahkan ucapan tadi. “Beri Abang satu kesempatan. Neng sudah tahu, kan, kalau Abang di sini? Enggak akan kembali ke Makasar. Kita enggak LDR lagi. Abang enggak mau berjanji lagi tapi Abang buktikan selamanya ke Neng. Abang bisa berubah.”

Suasana di kamar ini senyap. Kami hanya ditemani bunyi jarum jam pada dinding kamar. Entah sudah berapa lama kami terdiam.

“Kalau ... kalau di masa depan lo berbuat seperti ini lagi?”

Buru-buru saya menggeleng. “Abang ini enggak punya perasaan berlebih dengan Nisa, Neng. Abang hanya kasihan dan ini fatal banget akibatnya untuk diri Abang. Serasa bumerang banget padahal maksudnya baik.”

“Baik tapi nyakitin istri sendiri.” Arin mencebik. “Itu baik apa tolol?”

Saya tersenyum, bergerak pelan mendekatinya. “Itu yang Abang bilang bumerang.” Berhubung enggak ada penolakan darinya, saya mengambil tangannya yang bebas infus. Mengusapnya pelan penuh sayang. “Yang Abang cinta cuma Neng.” Saya memberanikan diri menatapnya duluan. Beruntung sekali, enggak ada tatapan sinis darinya.

“Beri satu kali kesempatan untuk Abang buktikan, apa yang baru saja Abang ucap.”

“Gue enggak janji akan kembali normal.”

Saya mengerjap pelan.

“Gue itu susah banget melupakan. Bibir gue selalu refleks bicara dengan nada sindiran kalau ingat apa yang sudah lo lakukan ke gue.”

Iya, saya menyadari sekali hal itu.

“Karena apa yang lo lakuin ke gue, buat gue sakit hati banget.”

Saya sampai gemetar memegangi tangan Arin karena punggung tangan saya basah terkena air matanya yang turun. Ya Allah, segitu jahat saya terhadap istri yang seharusnya diutamakan.

“Kalau di masa depan nanti ...,” Sumpah, saya berat banget mau bicara ini tapi ini juga sebagai pengingat utama agar selalu ingat dan enggak lupa. “Abang menyakiti Neng lagi, baik perasaan, fisik, atau malah membuat Neng benar-benar merasa Abang ini jadi suami enggak baik banget.” Saya tarik napas sebentar sebelum mengucapkannya. “Abang luluskan permintaan Neng tempo hari. Abang rela.”

Bukannya berhenti, air mata itu makin banyak membasahi punggung tangan saya. Jelas saja membuat saya semakin kelabakan. Gegas, saya menariknya dalam pelukan. Isakan Arin begitu memilukan menyapa pendengaran. Ingin rasanya memaki orang yang tega membuat Arin seperti ini, tapi justru saya lah orang yang melakukannya.

“Kenapa, sih, lo tega sama gue?” tanyanya di antara isak tangis.

Yang bisa saya lakukan; semakin mendekapnya erat. Menahan gejolak rasa yang sama sekali enggak nyaman di hati. Ingin sekali mengucapkan maaf hingga ribuan kali. Sungguh, saya mau melakukan itu untuk Arin. Tapi saya menyadari, bukan sekadar kata maaf yang ia butuhkan. Saya sudah berusaha dan akan terus berjuang keras mendapatkan kepercayaannya lagi. 

Dia benar, baru secuil hal yang bisa saya lakukan untuknya. Memastikan dirinya makan dengan baik, menemaninya, menerima sindiran juga celotehan garangnya. Untuk pertama kali saya merasa ada sesuatu hal yang bisa dilakukan sekadar membuatnya tersenyum senang. Hal itu kewajaran yang seharusnya suami lakukan, kan?

Enggak masalah. Akan saya jadikan cuil demi cuil itu sebuah gunungan perasaan saya untuknya. Menjadikan cuil itu sebanyak air di lautan. Terserah dibilang dangdut sekali tapi itu misi saya sekarang. Sembari menata masa depan di mana hanya ada saya, Arin, dan baby. Oh, Mama, Bapak, Ibu, dan Ayah.

Itu saja. Tanpa siapa pun di dalamnya. Saya pastikan itu terjadi.

“Sekarang lo cerita sama gue, hubungan lo sama Nisa dan Dini apa. Yang detail, enggak ada yang ditutupi.”

Saya mengurai pelukannya dengan tatapan kebingungan. Air matanya masih turun tapi saat saya akan menghapusnya, saya dilarang. Arin tepis tangan saya sedikit kuat. 

“Abang sudah jelaskan saat masalah hutang budi, kan?”

Arin menggeleng gegas. “Lo enggak mengungkap banyak mengenai mereka, Hulk. Lo pikir gue bodoh enggak bisa menyimak baik-baik penjelasan lo.”

Saya bingung kenapa Arin lagi-lagi membahas mengenai Nisa dan Dini. Kurangkah uraian saya? Melihatnya terus menangis, saya semakin enggak tega. Meski otak saya agak lemah perkara kadar peka, tapi ada satu hal yang mendadak terlintas.

Wanita itu enggak mau dipersalahkan. Apa pun yang pernah kaum pria lakukan, harus diceritakan sedetail mungkin tanpa kecuali. Sampai dia puas dan merasa lega, barulah hidup kaum pria sedikit damai.

“Cerita! Gue enggak mau air matanya dihapus. Biar lo tau, rasa sakit yang gue alami ini karena dua nama tadi.”

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Arin-Hulk
Selanjutnya WHISKEY. [Bab 6 - 10]
1
0
Spoiler :“Apa, sih, gangguin saja lagi nonton FTV,” sungutnya dengan serpih tepung ayam di salah satu sudut bibir. “Memang ceritanya tentang apa?” pancing saya. Mengambilkan satu lembar tisu agak bisa membersihkan bibirnya. Untungnya, ia tak menolak. Malah seperti sengaja agar saya membersihkan keseluruhan permukaan bibirnya. Wajahnya agak sedikit condong ke saya walau arah matanya tetap pada TV.“Bucin sama pacarnya.”“Terus?”“Ya ... bucin. Enggak mau nyakitin pacarnya. Rela melakukan apa saja yang penting pacarnya bahagia.”“Terus?”Dia menoleh dan menatap saya penuh garang. “Terus ... terus ... lo pikir gue tukang parkir?”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan