UoL. [Prakata, Bab 1 - 5]

8
0
Deskripsi

Prakata :

Tuhan paling tahu … bagaimana cara membolak balikkan hati.

Dia juga paling tahu … cara untuk menemukan jalan kembali.

Dan rasanya … waktu berhenti begitu menyadari hanya ia yang selalu dekat di sini.

 

Blurb :

Melewati malam bodoh bin tolol bersama Rendra. Dua bulan kemudian, positif hamil. Karir dan jabatan serta pundi uang yang ia miliki jadi taruhan. Nasib buruk apa lagi yang Sayana Prameswari akan hadapi?

Oh, satu lagi. Ini paling buruk.

“Tolong, jangan berbuat aneh-aneh lagi. Saya cuma mau,...

LEMBAR 1.

 

               “Gue hamil,” kataku tanpa ragu. Gelas yang sedang kuteliti isinya, hanya kugoyang pelan. Riak di dalamnya timbul namun enggak sampai tumpah keluar. Back sound yang tengah kuhadapi, selayaknya air yang sedang kuperhatikan. Keruh. Alias berisik.

                Club ini biasa kudatangi sekadar melepas penat. Tapi kali ini, melepas penat pun rasanya percuma. Bagiku, ini hanya sebatas kunjungan biasa. Bersama dua temanku yang luar biasa cerewet kalau enggak aku iya-kan ajakannya.

                “Anjir! Lo jangan mainan, Ya,” pekik salah satu dari mereka.

                “Lampir! Lo kalau mau bercanda jangan setolol itu, lah!” Jelas ini bukan teriakan dariku. Tapi dari Doni, yang menjelma menjadi Dona tiap kali bersamaku. Teman priaku yang satu ini, sering kami panggil Dona namun enggak pernah manyun. Malah katanya, mungkin di kehidupan sebelumnya ia memang seorang Dona, minus jakun dan juga cambang yang kadang tumbuh di sekitar rahangnya.

                “Gue enggak bercanda.” Kini tatapanku mengarah padanya. Memperhatikan bagaimana dua wajah itu begitu shocked juga ketakutan. Mereka berdua saja bergidik ngeri, bagaimana aku? Begitu aku mengetahui hasil test pack, pun setelah melalui serangkaian pemeriksaan siang tadi, aku sudah enggak tahu wajahku berwarna apa.lembar

                Mungkin putih pucat macam mayat.

                Aku, Sayana Prameswari, mau kok mengandung anak. Dalam sebuah ikatan yang sah menurut hukum dan agama, itu syarat mutlak. Bukan seperti ini. Sialan memang!

                “Lo tau bapaknya?” tanya Dona langsung menggenggam tanganku. Mungkin ia butuh pegangan ketimbang aku yang rasanya sudah enggak menginjak bumi ini.

                “Tau, sih,” jawabku lesu. Ketika diingatkan sosok yang terus menggedor otakku agar dipikirkan. Aku merasa menggigil mendadak. 

                Di sekelilingku ini, serius, berisik sekali. Alun musik DJ yang selalu memeriahkan malam kami bertiga, lenyap untuk hidupku. Ragaku di sini, tapi isi kepalaku entah ke mana. Paling utama, aku memikirkan nyawa lain dalam diriku.

                “Ya...” Daisy Indawani, sahabat wanitaku, menggenggam kedua tanganku. “Lo bisa cerita ke kita. Lo kenapa?”

                “Iya, Pir. Lo biasanya cerewet kalau ada apa-apa.” Doni Hasta Putra, nama lengkapnya begitu. Tapi bibirku juga Daisy lebih sering memanggilnya, Dona, ikut bersimpatik. Ia merangkulku. Membimbing sebagian tubuhku agar ada dalam dekapnya.

                Aku kuasa menahan tangis? Enggak. 

                Maka kutumpahkan air mata ini pada mereka berdua. Kubagi bimbang, ragu dan juga pemikiran negatif lainya pada dua orang yang paling dekat denganku. Di Jakarta ini, aku hanya punya mereka. Di dunia fana ini, aku hanya sendiri. Orang tuaku sudah lama mati. Jasadnya enggak dikubur di tanah, tapi di hatiku, keberadaan mereka sudah enggak ada. Jadi kurasa, aku menyebut mereka mati saja.

                “Siapa?” tanya Daisy pelan. 

                Aku sendiri bingung, kenapa bisa setolol ini berbuat. Aku bukan perempuan suci, mohon maaf. Tapi aku bukan perempuan yang gampang membuka paha bagi lelaki sembarangan. Enggak. Aku masih waras kecuali dua atau tiga bulan lalu, ya? Aku agak lupa tapi aku ingat dengan jelas, walau di bawah pengaruh vodka, siapa yang ada di atasku. 

                Ah, ya ampun! Bodoh sekali aku ini.

                “Rendra,”cicitku pelan.

                “ANJING!” Dona memaki. “Kok, lo bisa main sama si OB, sih?!”

                Aku memejamkan mata. Kalau aku tau juga aku pasti enggak mau! 

                “Sayana ...” Aku bergidik ngeri kalau Daisy sudah mengeluarkan suara pelan bin tajam seperti ini. Sama sekali aku enggak bisa berkutik nantinya. “Lo jangan asal tuduh. Rendra itu anak baik-baik, Ya. Lo tau itu.”

                “Gue nista banget, ya, Dai?” Aku merasa disudutkan sekarang. “Lo bicara gitu kayak gue yang ngegodain Rendra.”

                Kudengar Daisy menghela napas. “Bukan gitu. Lo paham maksud gue, Ya. Kalau lo bilang lo hamil anaknya Dewangga, gue percaya. Atau Kelvin sekalian.”

                Aku tertawa. “Iya, ya. Mereka, kan, gencar banget mepetin gue.”

                “Nah, itu!”

                “Iya, juga, ya.” Kini, Dona ikut-ikutan. “Terus, kok lo bisa bilang hamil anak Rendra? Lo kesambet apa bisa nyerahin diri lo Rendra? Kalau ke Kelvin yang cool itu, sih, gue agak restuin deh.”

                Aku hanya memutar bola mata jengah. Aku tahu sosok dua pria yang dibicarakan mereka. Yang satu manager IT di tempatku bekerja. Namanya Kelvin Sanjaya. Yang satu lagi, store manager cafe di seberang yang menjadi langganan kami sekadar melepas penat setelah makan siang. Dewangga Adi Laksono.

                Seperti yang Daisy bilang, mereka berdua berlomba menarik perhatianku. Aku bukan sok jual mahal atau apa. Bagiku, mereka berdua seperti menjadikanku makanan penutup. Butuh yang lebih dari sekadar manis untuk dicicipi. Aku enggak buta akan hal itu, kok. Makanya, sebisa mungkin aku menghindari mereka. Walau sulit, tapi seenggaknya, aku punya harga diri.

                Dan sekarang, harga diriku amblas enggak bersisa.

                Dalam diam yang kami lakukan, kepalaku berisik banget memikirkan bagaimana aku harus menjalankan hari berikutnya.

                “Rendra tau?” tanya Daisy. Pertanyaan ini juga menggebukku berkali-kali. Sejak pertama dan terakhir kalinya aku bertemu dan melakukannya, kami enggak pernah bersua lagi. Kecuali di kantor tentu saja.

                “Gue yakin belum, Nek,” kata Dona lebih ke Daisy. “Kapan lo ngecek hamil?”

                “Tadi siang.” Bahuku merosot. Tisu yang kugunakan untuk mengelap leleh air mata, hampir memenuhi meja. Kali ini kami menghela napas berbarengan.

                “Lo harus bicara. Rendra harus tanggung jawab.” Daisy begitu menekan kata tanggung jawab pada kata-katanya barusan. “Tapi sebelumnya, lo cerita ke kita. Kenapa lo bisa ngangkang buat Rendra. Kalau ke Dewangga atau Kelvin yang jelas-jelas berkilau macam permata lo tolak terus.”

                “Semua salah vodka.”

                Definisi berengsek berikutnya adalah ketika kamu tertimpa sebuah musibah, justru ditertawakan dengan sangat-sangat-sangat puas oleh kedua sahabat yang kamu punya.

                Seperti yang kualami sekarang.

***

                Aku menatap sekali lagi lembar hasil USG yang kulakukan siang tadi. Lalu mengusap perutku yang masih rata. Aku seperti orang jahat yang sangat keterlaluan kalau melenyapkan nyawa yang ada di sana. Tapi aku belum sanggup, oh tunggu, bukan masalah uang. Gaji serta jabatan yang kusandang, sangat cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Aku yakin itu.

                Sanggup yang kumaksud itu banyak hal. Terutama membesarkan serta mendidik anak. Oke, aku tahu aku salah. Daisy benar, aku enggak bisa membuka paha sembarangan. Belum lagi akibat yang akan kuterima. Pekerjaan, hidup, kebiasaan, belum lagi aku harus mulai belajar menerima ada makhluk kecil bernama bayi di sekitarku nanti. Itu semua dipertaruhkan di depanku. Aku sudah harus menghitung mundur berapa banyak waktu yang kupunya, sampai perutku yang rata ini membesar.

                Ini saja aku singkirkan jauh-jauh pemikiran tentang cinta. Apanya yang cinta kalau kami sajaꟷdalam case ini, aku dan Rendraꟷhanya bertemu sekadarnya saja di kantor. Bertegur sapa pun saat Rendra mengantarkanku secangkir teh manis juga satu botol penuh air putih. Aku mendesah  frustrasi setelahnya. Kenapa juga bisa berakhir dengan Rendra?!

                Tuhan, kenapa hukumannya seperti ini, sih?

                Aku masih bisa mengingat jelas bagaimana bisa berakhir seperti ini. Daisy benar ketika berkata, aku dan vodka adalah kolaborasi gila yang seharusnya sangat dihindari kecuali mabarꟷmabuk barengꟷbersama mereka berdua. Atau minimal aku ditemani Dona. Saat itu, aku memang sudah meminta Dona menemaniku, tapi Dona ternyata sedang ada janji kencan. Mana mau aku ganggu. Aku cukup sadar diri.

                Sementara Daisy? Ada di Bandung dengan urusan pekerjaannya. 

                Selain vodka, rasanya aku juga harus menyalahkan atasanku langsung. Inggrid Kesuma Wijaya. Wanita berusia jelang empat puluh tahun itu hobi sekali menyiksaku dengan banyak agenda yang berubah-ubah. Aku sekretarisnya, dia bos besar di kantorku. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa antar kirim barang dengan jaringan seluas samudera.

                Tempatku bekerja bisa dibilang cukup elite. Hampir semua e-commerce dan usaha UMKM mulai dari yang kecil hingga bahkan skala besar, menggunakan jasa kami. Ini semua karena Inggrid yang berani bertindak. Seorang Inggrid bagiku adalah role model perempuan mandiri yang sukses dengan karirnya. Minus kelakuannya yang gemar menyiksa bawahannya. Terutama aku. Katanya, “You’re so smart, Sayana. Think about that. Jangan semua mesti saya beri tahu, dong. Be creative, Ya.”

                Belum lagi, “Saya, you know, your face make me angry. Dont show me your face like a duck. Smile, Ya. Smile

                Tapi membawa setumpuk, oh bukan setumpuk lagi, dua kardus kerjaan tahun lalu yang harus kucek satu per satu hanya karena ada agenda yang terlewat menurutnya. Padahal aku sudah memberitahunya cara simple. Maha benar Inggrid memang, namun aku enggak kuasa menolak untuk enggak mengerjakannya. 

                 Puncaknya, ketika perusahaan kami secara berkala memang diadakan audit eksternal. Dan Inggrid adalah wanita dengan tingkat perfeksionis luar biasa tinggi. Aku yang kena efeknya paling awal. Hingga tingkat stressku menghadapi Inggrid, kularikan pada vodka. 

                Wajar, dong, aku menyalahkan Inggrid. 

                Aku tertawa, lebih mengarah pada miris. Merutuki diri sendiri karena tindakan impulsif-ku yang sangat merugikan ini.

                Ponselku berdering, saat kulirik jam di dinding unit apartementku, sudah menunjuk pukul dua dinihari. Aku mengerutkan kening. Siapa pula yang kurang kerjaan begini.

Inggrid. K : Besok jangan telat. Saya ada meeting di BCA Tower.

                Dasar pekerja keras level dewa!

 ***

                “Bu, kuncinya di mana?” 

                Aku cegukan. Mataku mengedar sebentar untuk memastikan ini adalah koridor yang kukenali. Seingatku, aku ada di table dekat bartender. Entah sudah berapa kutenggak cairan yang membuatku pening begini. “Kunci, ya?” Aku merogoh tas tenteng yang setia kubawa-bawa. “Di mana, ya? Lupa.” Aku cengengesan.

                Walau setengah sadar, aku mendengar ia menghela napas. “Ibu kalau enggak kuat, duduk di sini dulu. Saya yang cari kuncinya.”

                Lalu yang kuingat, ia menjatuhkan isi tasku dengan perlahan. Aku melihatnya mencari-cari di sana sini. Entah di dompet, tas make up atau dompet koin bermotif Stitch. Alien lucu berwarna bitu itu.  

                “Ketemu, Bu.” Ia menunjukkan satu kunci dengan gantungan kecil. Kartu akses untuk naik ke apartementku, aku lihat ia gantung berbarengan dengan kunci unitku. “Lain kali, seperti ini saja. Biar Ibu enggak susah juga.”

                Aku kembali terkekeh. Ingin bangkit malah ternyata jatuh dalam pelukan orang yang menjadi lawan bicaraku. Ia menggeram kesal. Mungkin capek kali, memapahku yang berjalan sempoyongan. Kurasa. Soalnya, aku merasa ringan-ringan saja berjalan.

                Pintu pun ia buka. Pun aku yang ternyata sudah ia papah lagi. Semua isi tasku kembali pada tempatnya, walau kuyakin, isinya berantakan. Aku mana peduli. Pikirku saat itu, aku ringan. Enggak ada suara Inggrid yang marah-marah karena salah membuat jadwal. Yang membuatnya hampir ketinggalan satu meeting seharga satu milyar omset. Padahal wanita itu yang salah, aku hanya mengerjakan apa pintanya. Kenapa justru aku yang kena coaching? Mau enggak terima juga percuma.

                Ratu Inggrid dengan segala digdayanya!

                Ini yang membuatku mengarahkan mobil yang kukendarai ke club langganan. Biarpun sendirian, seenggaknya, aku kenal beberapa orang di sana. Termasuk Adi sang bartender.

                Begitu melintas toilet, mendadak diriku ingin sekali mengeluarkan apa yang ada di dalam perut. Setengah berlari dan sempat menimbulkan bunyi gaduh karena menabrak pajangan di dekat lemari, seenggaknya aku enggak terlambat. Kumuntahkan sebagian, entahlah, isi perutku ke dalam closet. Sialan memang vodka itu!

                Aku pun merasakan jemari yang agak dingin di tengkukku. Tadinya aku sergah tapi jemari itu kembali. Memijat dengan pelan di sana dan juga mengulurkan satu kotak tisu.

                “Thanks,” kataku sembari bangkit pelan-pelan. Ia masih membantuku untuk berjalan menuju sofa. Ketika berhasil mendudukkanku di sana, ia pun mengambilkan minum.

                Walau masih dalam keadaan setengah sadar, aku tahu siapa pria ini. Rendra. Bekerja sebagai office boy di kantorku. Tapi aku heran, ini efek alkohol atau memang dirinya terlihat berbeda dari biasanya. Mungkin karena aku yang terbiasa melihatnya mengenakan seragam khas OB, lalu kini, di depanku duduk pria yang nampak santai dengan kemeja hitam yang digulung sesiku dipadu dengan celana hitam.

                Entah lah.

                Aku merasa Rendra berbeda malam ini.

                Selanjutnya, yang aku tahu aku ada di pangkuannya. Tapi melihat sorot mata yang terkejut darinya, aku yakin bukan Rendra yang membawaku mendekat padanya. Justru aku yang mendekatinya.

                “Rendra,” Aku menatapnya lurus-lurus. Jemariku menyusuri rahangnya perlahan. Ia menggeram kesal dan menghentikan tindakanku.

                “Bu, lebih baik Ibu tidur. Saya mau pulang.”

                “Kenapa buru-buru?” tanyaku sembari tersenyum kecil. Lalu kembali mendekatinya dengan sangat pelan. “Jujur sama saya, Rendra.”

                “Setelah saya jujur, saya dilepaskan.”

                “Saya enggak penjarain kamu.” Aku tergelak di antara kekehanku.

                “Cantik mana, saya atau Bu Inggrid.” Aku memainkan telunjukku di depan hidungnya. Mataku kurang fokus tapi aku bisa melihatnya memejamkan mata. Mungkin frustrasi akan tingkahku. Aku masa bodo, lah. Aku butuh ia menjawab.

                Sebenarnya ini enggak terlalu penting, hanya saja, aku mendengar banyak gosip Bu Inggrid ini iri padaku soal cantik dan menawan. Makanya ia sering mempekerjakanku lebih dari yang seharusnya. Menyiksaku di bawah kendalinya. Makanya, aku butuh pandangan lain. Mungkin pendapat Rendra.

                “Ibu Saya paling cantik,” katanya.

                Aku percaya?

                Enggak.

Aku justru tertawa. “Ren, Ren, kalau mau bohong tuh kira-kira. Saya enggak marah, kok, kalau kamu jujur.”

                “Saya enggak bohong.” Ia menurunkan telunjukku. “Sekarang, saya mau pulang. Ibu sudah tiba di apartement. Segera tidur.”

                Ketika ia mulai bergerak beranjak, aku menahannya. Aku enggak mau ia pergi. Enak saja!

                “Bu,” geramnya. Tanganku ia kunci di belakang. Wajahnya memerah. Mungkin ia kesal karena mendapati aku yang ada di pangkuannya, malah bergerak di atasnya. 

                “Lepas,” kataku dengan nada menggoda. Aku sendiri bingung, kenapa bisa seperti ini? Tapi rasanya menyenangkan. Menggoda seorang Rendra yang kini benar-benar marah. Aku bergerak sedikit gelisah karena kuncian tangan Rendra cukup kuat.

                “Kata kamu, saya cantik?”

                Tanganku ia lepaskan. Mungkin karena gerak gelisahku di atasnya. 

                “Iya. Ibu Saya memang cantik.” Ia mau bangkit, tapi aku kembali menahannya. Dengan kedua tangan yang bebas, aku benar-benar menahannya dengan sedikit mendorong tubuhnya pada sandaran sofa, mengurungnya menggunakan kedua tanganku. 

                Dalam sekali sentak, walau kesadaranya belum penuh, dia bangkit. Membuatku jatuh terduduk. Aku mengaduh kesakitan setelahnya. 

                “Saya pulang.”

                Aku enggak terima. Sungguh-sungguh enggak terima. Terasa seperti orang yang ditolak mentah-mentah! 

                “Fine. Pulang saja sana.” Aku bangkit. Tapi aku menyambar tas yang tadi diletakkan di dekat rak sepatu. Aku juga mengambil sepatu dengan asal dan memakainya enggak kalah asal.

                “Minggir. Saya mau main-main lagi.”

                Jalanku saja sudah sempoyongan. Tapi aku enggak peduli. 

                “Mau main-main apa lagi, Bu?” Lenganku dicengkerema sebelum sampai ke pintu oleh Rendra. “Ibu sudah mabuk. Lebih baik Ibu tidur.”

                “Siapa kamu nyuruh-nyuruh saya?” Aku mendongak karena dirinya memang dekat denganku. Matanya yang hitam kini menatapku. Pandangannya tajam, menakutkan tapi aku enggak mungkin takut. Kenapa mesti takut? Memang dirinya siapa? Bukan siapa-siapa, kan?

                Dalam satu kali sentak, ia membawaku lebih mendekat. Hingga embus napasnya bertabrakan denganku. Campuran nikotin, mint dan sedikit aroma cola. Mungkin. Dan kemudian yang kurasa adalah bibirnya yang menyentuh bibirku.

                “Hanya ini?” tanyaku mengerjap ketika ciuman kami ia lepas. 

                “Kalau saya lanjutkan, saya yakin, Ibu yang akan menyesal.”

                “Really?” Aku tertawa.

                “Saya enggak akan berhenti walau Ibu minta.”

                Aku menelengkan wajah. Masih menertawakan ucapannya. “Memang apa yang akan kamu lakukan, hem?” Telunjukku kembali kugunakan untuk menyusuri rahangnya. Membuatnya menggeram lebih keras ketimbang tadi.

                “Jangan pernah sesali, Sayana. Jangan pernah.”

 


LEMBAR 2

 

                Beruntung aku enggak bangun kesiangan. Aku enggak tau kapan terlelap, tapi yang jelas, malam ini aku enggak tidur tenang. Sejak mengetahui ada nyawa lain dan satu ton beban yang tiba-tiba jatuh di bahuku, mana bisa aku tidur lelap lagi. Pikiranku jadi ruwet. Padahal aku diserang kantuk, tapi enggak mau terpejam.

Sialnya lagi kejadian di malam itu, terulang walau agak samar. Aku kini tau maksud Daisy berkata demikian kemarin. Jelas. Aku yang menggoda Rendra. Tadinya aku ingin menyanggah dan akan terus menyanggah hal itu. Tapi akhirnya aku menyerah. Aku memang yang menggoda Rendra. Siapa juga yang akan sanggup menahan godaan saat aku benar-benar lupa, aku ini seharusnya menjaga diri lebih dari yang seharusnya.

                Dress hitam sebatas paha dengan belahan dada cukup tinggi. Belum lagi, aku dalam keadaan mabuk. Ada hal lain lagi yang kusesali? Banyak.

                Malam itu memang bukan pertama kali aku melakukannya. Dengan Rendra artinya yang kedua. Dulu, aku sedih dan sangat menyesali perbuatanku. Beruntungnya, kami safety. Seenggaknya, enggak ada hal yang akan menjadi tanggung jawabku nanti. Sejak saat itu, aku enggak ingin lagi terjebak rasa takut juga khawatir berlebih karena akibat yang akan terjadi.

                Bodohnya, saat itu aku lengah. Otakku sepertinya tertinggal di toilet kantor. Buktinya enggak bisa berpikir logis seperti biasanya. Malah terkesan aku benar-benar menjadi perempuan penggoda. Aku enggak tahu, harus merasa sedih, takut, khawatir, pedih, atau apa. Tapi yang jelas penyesalan itu selalu datang di belakang.

                Dan aku harus minta tanggung jawab Rendra? Gila aja!

                Ketika membuka mata pagi harinya setelah terlelap lelah di malam itu, aku duduk di tepi ranjang. Mengumpulkan semua keping waras juga ingatan. Saat melihat ke arah sisi lain ranjang, rasanya ingin mengulang dan memperbaiki agar enggak terjadi hal yang kini harus ku hadapi. Ada Rendra di sana. Tidur dengan lelapnya dengan bertelanjang dada. Diriku? Jangan tanya. Aku hanya membalut tubuh telanjangku dengan selimut. Memijat pelipis dengan cukup keras, juga merasakan pengar yang masih melanda.

                “Bu,” panggilnya dengan sedikit sengau. Rendra sudah lengkap berpakaian. Ia pun berjalan ke arahku dan duduk dengan agak canggung di meja makan. Tepat di depanku.

                “Don’t talk. Saya enggak ingin bicara mengenai semalam.” Aku meletakkan cangkir isi teh melati hangat yang kusukai.

                “Saya... Saya...,”

                “Please, Rendra. Lupakan saja. Anggap enggak pernah terjadi apa-apa.” Aku bangkit. “Setelah habis kopinya, tolong segera pulang. Saya masih ingin tidur.”

                “Kalau terjadi apa-apa sama Ibu, saya tanggung jawab.” 

                Aku tertawa pelan. “Saya masih ingat perkataan semalam. Enggak mungkin hamil kalau hanya semalam kita melakukannya.” Dan aku juga mengingat dengan jelas walau masih di bawah pengaruh vodka, kami melakukannya hingga tiga kali. Dan tanpa pengaman. Keren, kan? Namanya bodoh, Sayana!!!

                Aku enggak tau apa perkataan ini menyinggungnya atau bagaimana. Ia hanya menatapku lekat-lekat. Lalu tanpa permisi, ia pergi. Meninggalkan bunyi pintu yang dibanting cukup keras olehnya. 

                Untuk kali pertama dalam hidupku, aku menangisi apa yang kuperbuat. 

 

***

                “Ya, are you okay?” 

                Suara Inggrid mengejutkanku. Membuat segala lamunku buyar. Aku mengerjap pelan dan mulai fokus pada pekerjaan. “Maaf, Bu.”

                “Yaya sudah sarapan? Kalau belum, di meja saya ada beberapa roti lapis. Kita bakalan hadapi hari panjang, lho.” Inggrid mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Wanita berambut panjang ini lebih suka memanggilku dengan nama ‘Yaya’ ketimbang ‘Saya’. Terserah, lah. Aku enggak mempermasalahkan hanya sekadar nama panggilan.

                Bunyi ketuk ujung high heels-nya yang mahal, menggema. Pun ketukan yang berasal dari sepatuku. Berirama mengikuti tuannya yang memimpin jalan. Satu piring kecil berisi beberapa potong roti lapis, juga tiga tumpuk odner diserahkan padaku. Inggrid itu baik sekaligus kejam. Aku enggak bisa menolak selain tersenyum semanis madu sembari mengucapkan terima kasih.

                Aku menatap cangkir isi teh melati yang masih hangat itu dengan pandangan nelangsa. Pikiranku melayang entah ke mana. Memikirkan bagaimana diriku beberapa bulan ke depan. Jujur saja, aku enggak bisa tidur kecuali satu atau dua jam menjelang subuh. Beruntung, aku pintar menggunakan conclear dan juga foundation. Kalau enggak, aku yakin Inggrid akan bertanya padaku kenapa mataku ada kantung hitamnya.

                Sejak malam itu, Rendra dan aku seperti saling enggak kenal. Bersapa pun sebatasnya. Ia pun kurasa banyak pekerjaannya. Aku apalagi. Makan siang tepat waktu saja, aku mengucap puji syukur. Kadang, Rendra membelikanku makan. Itu karena ia biasa dititipi makan siang, sih. Hari-hariku setelahnya, sungguh, biasa saja. Enggak ada beban satu pun.

                Kecuali pagi ini.

                Semuanya berubah karena kini aku enggak lagi membawa diri sendiri. Ada darah Rendra yang mengalir dalam janin yang kukandung. Saat mendapati dirinya membersihkan meja juga layar komputerku tadi pagi, aku beku. Padahal biasanya, aku hanya tersenyum sekilas lalu duduk di kursi lain menunggunya selesai bekerja. Pikirku melayang, bagaimana bisa ia bertanggung jawab untuk kami, —aku dan calon bayiku nanti?

                Ya, Tuhan! Aku harus bagaimana?

                Semalam, aku membongkar berkas mengenai pekerjaanku. Sebuah buku kecil berisi aturan perusahaan kubaca pelan-pelan. Dalam aturan perusahaan, ada cuti melahirkan selama tiga bulan. Dan kebanyakan pada staff yang ada di sini, memiliki suami. Aku? Menikah saja belum. Enggak mungkin HRD memberiku cuti selama tiga bulan misalnya, atau minimal satu bulan penuh dan diri ini digaji. Enggak mungkin. Pun nanti anakku enggak akan mendapat jaminan asuransi apa-apa dari kantor karena enggak ada identitas jelas mengenai pernikahanku.

Aku mendesah frustrasi akhirnya. Ketika mataku menatap satu kotak kartu nama di mana namaku tertera di sana, perasaan tertekan itu makin menghimpit.

Sayana Prameswari, S.I.K

Sekretaris Board of Director

CepatExpress

Menara Batavean, SCBD lot 4 

                Dan ini semua dipertaruhkan. Apa aku gugurkan saja, ya?

***

“Ya?”

                Aku terkesiap. Lembaran yang seharusnya kukerjakan sejak berada di tanganku masih kosong melompong. Aku meringis jadinya. Ketika mendongak apalagi, untung wajah cantik bosku tidak berubah jadi macan.

                “Ya, be focus.”

                Aku mengangguk saja. Belum tau arah pembicaraannya ke mana.

                “Are you have a problem?”

                Gegas, aku menggeleng. Cukup Daisy dan Dona yang tau masalah ini. Inggrid? Jangan sampai! Citraku bisa hancur seketika dan aku sama sekali enggak siap. Inggrid sering memuji kinerjaku juga kepiawaianku mengimbanginya. Dan aku sama sekali belum ingin, hal itu luntur dari penilaiannya terhadapku hanya karena aku kini... hamil.

                Tidak.

                Tidak.

Kami memang dekat tapi juga berjauhan. Inggrid mudah bertanya dan selalu mendapat jawaban, pun enggak ada yang bisa berkelit darinya. Tapi jangan harap ada pertanyaan bisa berbalik padanya. Sekali pun ada yang berani, Inggrid hanya menjawab dengan senyum.

                Bentengnya terlalu tinggi. Mungkin karena ini juga akhirnya aku terbiasa. Mencontoh bagaimana seorang wanita karier dalam bersikap. Hanya pada orang-orang tertentu aku membuka, siapa diriku. Tapi itu enggak berlaku pada Inggrid. Ia tetap wanita tak tersentuh.

                Harusnya aku seperti itu, kan!!! Ya Tuhan! Sayana, sumpah... bodohnya kuadrat sekali!!!

                “Yes, you are.” 

Lamunkun buyar. Inggrid mengerahkan satu bundel map merah yang tadi pagi aku serahkan.  Itu berisi poin utama untuk kerja sama dengan E-commerce. Keningku berkerut dalam. Aku merasa enggak ada yang salah di sana. Semuanya aku double check.

                “Fix it.”

                Dan Inggrid pergi begitu saja. Segera kubuka lembar demi lembar sembari melirik jam pada tollbar komputerku. Kuhela napas frustrasi karena waktu yang kupunya, hanya tiga puluh menit. Astaga! Jam meeting yang mundur memang bermanfaat, tapi kalau poin pembahasannya harus dibenahi dalam waktu tiga puluh menit?

                Mataku kocar kacir melihat lembar demi lembar, hingga akhirnya aku menyadari ada yang salah. Ya Tuhan! Jelas Inggrid mempertanyakan di mana fokusku! Enggak buang waktu, segera kubenahi mana yang salah. Perkara anggaran padahal aku sudah setuju dengan bagian keuangan. Ini adalah kunci dan juga hal yang akan kami pertimbangkan di meeting nanti. Kenapa mesti salah?! Astaga!

                Bunyi mesin printer saja belum beres berhenti, yang artinya masih mencetak revisi tadi, Inggrid sudah keluar ruangan. Membuatku makin panas dingin juga mengenakan high heels buru-buru.

                “Ready, Ya?”

                “Ya, Bu.”

                Wanita itu hanya mengangguk saja. Ia memilih melenggang tanpa peduli kalau aku belum siap. Baginya, waktu adalah uang serta kesempatan jangan pernah disia-sia. Beruntung, ia tak meninggalkanku ketika berada dalam lift.

                “Jangan hilang fokus, Ya. Kamu kerja sama saya sudah berapa lama?”

                Aku memilih mengatupkan bibir.

                Ketika pintu lift terbuka, suara ketuk ujung high heels kami bersautan. Membuat beberapa orang menoleh serta memberi senyum basa basi. Terutama untuk Inggrid. Seperti biasa, bos-ku hanya senyum kecil. Mengenakan slit pencil skirt army dengan belahan tepat di depan, dipadu kemeja lengan panjang yang sukses menampilkan leher jenjangnya. Serta rambut panjangnya yang sengaja terurai. Hermes selalu menjadi brand favorit seorang Inggrid Kesuma.

                Selayaknya foto model, ia selalu berhasil mencuri hampir semua pandangan yang ada di lobby. Beliau cerminku. Hingga kemarin, actually. Karena kini, aku merasa, diriku terjun bebas di titik nol. Ah, minus nol malah.

                Berkharisma, independent, smart, cantik, elegan, sopan, dan sebenarnya... baik. Hanya saja, over perfectionist. Aku selalu menjadikan Inggrid sebagai kiblat. Tujuh tahun bekerja dalam bendera yang sama di mana empat tahun terakhir aku menjadi sekretarisnya. Membuatku menghapal begitu banyak gaya serta aura positif yang diberikan Inggrid di depan khalayak ramai. Terutama rekan bisnis.

                Tapi kini? Semua rasanya sia-sia.

                “Ya, serius deh. Kamu perlu ambil cuti minggu depan?”

                Aku mengerjap pelan, mengais sisa waras karena melamun tadi.

                “Kamu dengar saya bicara apa barusan?”

                “Cuti?” 

                Dia masuk dalam sedan mewahnya dengan suara dengkus yang sangat kentara. Itu ditujukan untukku, aku yakin. Ketika bokongku mendarat pada jok kulit mewah mobilnya, dia masih belum tuntas juga membuat aku merasa bodoh hari ini.

                “Kamu enggak mau cerita pada saya? What’s wrong with you?” Inggrid bersidekap. Matanya tajam mengarah padaku.

                “Because, i need your focus, Ya. Jangan sampai kacau meeting kali ini. You know what i mean, hem?”

                Aku menguatkan tekad. “Yaya enggak ada masalah apa-apa, kok, Bu. Maaf, mungkin karena semalam kurang tidur.”

                Kudengar ia menghela napas, tangannya sudah dalam posisi santai.

                “Lain kali, Yaya enggak seperti ini lagi.”

                ***

                Meeting berjalan seperti keinginan Inggrid pun tumpukan pekerjaan buatku. Kami tiba di kantor kembali pukul lima. Jam kantor tepat berakhir tapi bagiku, belum. Aku pantang menyelesaikan pekerjaan hari ini untuk esok. Urusan besok, ya besok. Hari ini harus done di hari ini. Toh, enggak terlalu banyak. Kalau kalkulasiku benar, pukul tujuh juga aku sudah keluar kantor. 

                Punggung bos-ku tertelan pintu kaca ruangannya. Aku memilih segera meletakkan berkas juga tas, lalu duduk bersandar dengan segera. Cukup lelah hari ini buatku. Mungkin membasuh wajah biar lebih fresh bukan pilihan buruk. Jadi aku jalankan niatku. Menukar heels dengan sandal pink berbulu agar lebih nyaman.

                Benar saja. Memang itu bukan pilihan buruk. Aku merasa lebih segar dan siap lembur. Sejenak melupakan, betapa menghimpitnya pikiran mengenai apa yang ada dalam rahimku ini. saat aku kembali ke ruangan, Rendra ada di sana. Baru keluar dari ruangan bos-ku.

                Entah kenapa, tubuhku malah kaku. Seolah semua yang pernah terjadi antara aku dan Rendra, terputar otomatis.

                “Bu Saya?”

                Aku enggak tau berapa lama aku melamun. Yang jelas, kini Rendra ada di depanku. Menatap dengan pandangan bingung. Aku berdeham sekilas, lalu memilih berjalan sembari mengabaikan keberadaannya.

                “Ibu lembur?”

                Biasanya, pertanyaan itu memang sering ia lontar pada karyawan yang pulang terlambat. Beberapa di antaranya ada yang pesan kopi atau teh hangat juga camilan, sih. “Ah, iya. Saya lembur.”

                “Mau dibuatkan teh lagi?”

                Aku tak tau harus merespon apa.

                “Ibu Inggrid juga minta dibuatkan teh. Mungkin Ibu Saya juga mau?” Rendra terlihat menunduk ketika aku menoleh ke arahnya. Entah kenapa. 

                “Boleh.”

                Lelaki itu hanya mengangguk sekilas lalu menghilang dari pandanganku. Aku harus benar-benar mengabaikan keberadaannya, melupakan apa yang pernah terjadi seperti dua bulan berjalan ini, menganggap apa yang ada dalam diriku enggak ada. Atau harusnya memang aku tiadakan saja, ya? Ganggu konsentrasi soalnya.

                Sungguh.

                Ah, sudahlah. Kali ini, lebih baik lembur. Toh, bos-ku belum ada tanda-tanda pulang. Masih terdengar suaranya yang kurasa menelepon entah siapa.

                “Saya letakkan di sini, ya, Bu.”

                Mungkin karena aku terlalu fokus dan tenggelam pada pekerjaan, aku hanya mengangguk saja tanpa melihat Rendra lagi. Hingga perlahan, aroma teh melati juga asin keju menyapa penciumanku. Membuatku melirik pada nampan yang tadi diletakkan Rendra di meja yang tak jauh dariku duduk.

Saya harap Ibu suka.

Rendra

                


 

Lembar 3

 

                “Ya, lo enggak makan?” tanya Daisy dengan pandangan heran. Kurasa. Sahabatku sepertinya sedang membantu menghancurkan dapur bersama Dona.

Mereka berdua, jangan lupakan sosok Dona yang kini berkuasa di dapurku, mampir selepas pulang kantor. Itu pun tanpa kusuruh. Padahal aku sedang enggak ingin menerima kunjungan, tapi mau dikata apa kalau mereka sudah ada di lobby minta dijemput.

                “Nanti,” kataku malas. Aku lebih memilih duduk bersandar karena masih lelah. Belum lagi hatiku mendadak kesal. Segera kubuka tas dan mengambil kertas yang tertulis nama Rendra di sana. Sialan orang itu!

                Aku remas dan buang segera ke tempat sampah dekat meja TV. “Berengsek!”

                “Kenapa lo?” tanya Dona sembari menghampiri diriku dengan piring berisi kentang goreng. Aroma panas masih menguar tanda baru ditiriskan dari penggorengan. “Gue lapar banget. Si Nenek enggak mau mangkir beli makan dulu. Katanya takut lo pingsan.”

                Aku memutar bola mata jengah. “Apaan, sih, lo berdua.” Kucomot kentang goreng itu tanpa perlu mencuci tangan. Alhasil, Dona menepuk punggung tanganku pelan. matanya mendelik ke arahku. Dengan desis mirip ular ia menyuruhku mencuci tangan.

                Serius. Aku malas sekali bergerak. Mungkin lelah yang teramat jadinya seperti ini efeknya.

                “Tadi lo maki-maki siapa, Ya?” tanya Daisy yang langsung duduk di sampingku. Dirinya meletakkan nampan berisi tiga cangkir jus dingin yang tampak segar. Belum sempat niatku mengambil gelas itu, Dona masih saja melirikku dengan sinisnya.

                “Pir, lo jangan jorok! Cuci tangan!”

                Aku cemberut setelahnya.

                “Gimana lo hari ini?” Di antara mereka berdua, yang paling care mengenai hidupku adalah Daisy. Dia selalu menempatkan diri sebagai seorang kakak perempuan buatku juga teman berengseknya Dona. Pertanyaan seperti ini membuatku kadang merasa enggak sendirian banget.

                “Biasa aja, sih. Lo tau Ratu Inggrid macam gimana.”

                Daisy manggut-manggit saja. 

                “Gue tadi ketemu Rendra,” kata Dona sembari mengunyah kentang berlumur saus tomat. Dia penggemar saus tomat nomor satu. Berhubung mereka berdua sering mampir ke sini, aku selalu menyediakan stok saus itu dalam jumlah cukup banyak. Apa saja jenis makanannya, Dona selalu colak colek saus tomat. Aku sendiri heran, cowok kok sukanya saus tomat.

                Aku memelankan gerak menelan jus. 

                “Kita satu kantor. Wajar ketemu. Kalau tiba-tiba lo enggak ketemu Rendra itu yang bikin curiga. Kecuali dia resign mendadak karena dikasih tau lo hamil, Ya.”

                Dona tergelak. “Gue setuju sama ucapan lo, Nek.”

                “Ya enggak masalah juga dia resign. Enggak ada urusannya sama gue, kok,” sungutku. Memang benar, kan? Peduliku apa? Enggak ada. Sepanjang hari aku memikirkan hal yang ada di perutku. Bukan Rendra. Ada niat memberitahu aku hamil ke pria pendiam itu aja enggak ada. Lantas, hal apa yang mendasariku untuk memikirkannya?

                Enggak ada.

                Tau-tau, bantal sofa mendarat sempurna di bahuku hampir mengenai sisi kepala. Astaga! Daisy!!!

                “Lo mau nunda sampai berapa lama, Ya?”

                Kuhela napas pelan sembari meletakkan kembali bantal itu di tempatnya. “Gue enggak niat ngasih tau.”

                Dona tersedak kentang kurasa. soalnya buru-buru ia sambar gelas miliknya dan diteguk rakus isinya. “Jangan gila, ah! Anak lo butuh status jelas, bapak yang jelas juga, Pir!”

                “Dona benar. Lo jangan egois.”

                “Gue mau harap apa? Dia tanggung jawab? Semisal iya, memang dia bisa ngimbangin kehidupan gue sekarang? Rendra just a office boy, you know?”

                “Terus kenapa?” tanya Daisy. Kali ini nadanya lebih tinggi dan kesannya malah menyudutkanku.

                “Kenapa gimana, Dai? Ya lo mikir, lah. Gaji gue jelas beda dari dia. Tanggung jawabnya dari segi apa? Sekadar status?”

                “Gila emang lo!” Dona setengah memekik. “Lo belum ngomong sama Rendra aja, udah keburu ngecilin dia.”

                “Bukan gitu, Don. Ya... gue realistis aja lah. Dari segi gaji, gue sama dia jelas beda. Iya, kan?”

                Dona mingkem.

                “Dari segi jabatan, oke lah gue masih cungpret dibanding Ratu Inggrid. Tapi paling enggak, posisi gue lumayan. Dan sekarang, posisi gue terancam karena hamil. Kalau gue dipecat? Rendra tanggung jawab dengan dia sebagai OB? Gitu?” Aku berkata dengan nada frustrasi. Enggak peduli betapa kata-kata itu bergema sempurna di dalam apartementku ini.

                Dona sendiri menatapku enggak lagi dengan pandangan emosi tapi lebih pada prihatin. Mungkin sudah berpikir kali, bagaimana aku sekarang? Yang menghadapi langsung? Oke, ini salahku. tapi bukan berarti aku enggak lagi berpikir mencari jalan keluar, kan?

                Daisy sepertinya jadi ikutan stress. Buktinya dia malah yang menghela napas terus, memijit pangkal hidungnya pula. 

                “Terus sekarang, mau lo gimana, Ya?”

                ***

 

                Aku enggak tau mesti apa pagi ini. Bangun tidur entah yang terlalu pagi, aku biasa bangun jam lima, kali ini mataku enggan kembali terpejam padahal masih pukul empat. Ketika kuteguk teh hangat, justru kini aku berakhir di toilet. Duduk diam menormalkan perut yang bergejolak.

                Rasanya? Enggak enak! Sampai cairan yang kental dan pahit sekali pasti terasa di tenggorokan. Ya Tuhan! Aku sama sekali enggak tau kenapa begini! Bahkan untuk sekadar bangun dan mencuci wajah saja rasanya enggak sanggup. 

                Tapi aku enggak bisa seperti ini, kan? Dengan sisa tenagaku, aku keluar toilet. Hal yang menjadi tujuanku adalah ponsel. Minimal aku harus mengabarkan Daisy atau Dona. Syukur untung mereka bisa mampir dulu dan aku bisa nebeng. Enggak mungkin aku berkendara dengan kondisi seperti ini. aku masih sayang nyawa.

                Jam digital pada ponselku sudah menunjukkan pukul enam pagi. Artinya hampir satu jam aku di dalam sana. Mengeluarkan semua isi perut tanpa sisa kurasa. Pantas saja aku begitu lemah tak berdaya. 

Saya. P : Dai, lo bisa mampir? Gue muntah-muntah.

                Setelah berhasil mengirim pesan itu, aku memilih memejamkan mata sejenak. Berusaha menormalkan perasaan enggak enak juga keinginan mau muntah lagi. Getar ponselku menginterupsi.

Daisy.    : Otw.

                Seenggaknya, dari sekian banyak hal yang membuatku merasa sendiri, aku masih punya Daisy. Mungkin juga Dona. 

***

                Aku memaksakan diri bekerja. Mengabaikan ocehan Diasy sepanjang jalan ke kantor. Lagian, diriku sudah jau lebih baik dari sebelumnya. Walaupun enggak mandi, tapi yakin lah, aku enggak bau. Aku memang hanya menyeka tubuh menggunakan air hangat, keramas saja enggak. Enggak apa lah, untuk hari ini saja. Toh, biasanya aku rajin mengeramasi rambut panjangku ini.

                “Kalau lo pingsan jangan minta tolong sama gue!” kata Daisy dengan garang ketika kami sudah tiba di basement. Daisy beda lantai denganku walau masih satu bendera di perusahaan yang sama. Dirinya di lantai 21 sementara aku ada di lantai jajaran direksi, lantai 22. Di lantai 21, lebih pada operasional pusat seperti bagian keuangan, HRD, juga finance. 

                Aku cuma memasang senyum tanpa dosa. Toh, sejak dirinya datang, aku agak sedikit lebih baik walau dihujani banyak tatapan curiga. Katanya aku pura-pura sehat biar bisa bekerja. Aku menggeleng heran dengan pemikirannya itu.

                Saat kami berjalan di sekitar lobby, bahuku ditepuk. Ketika menoleh, kudapati pria berwajah oriental sudah memasang mungkin... senyum terbaik?

                “Semalam saya kirim pesan buat kamu. Enggak direspon,” katanya menyejajariku. Ah, aku ingat. Semalam memang ponselku minta perhatian, tapi aku keburu ngantuk dan memang lelah. Jadi memilih segera tidur ketimbang meladeni.

                “Sorry, Vin. Ketiduran.”

                Pria itu hanya mengedikkan bahu. “Weekend depan, dinner?”

                Aku memperlambat langkah, kulirik Daisy seperti tak peduli. Ia tetap berjalan seperti biasa mungkin juga enggak menyadari kalau aku sudah jauh tertinggal.

                “Gue belum tau ada acara apa weekend nanti,” kataku menanggapi Kelvin. Dia manager IT di kantorku. Seperti yang Dona bilang, kalau aku mungkin hamil anak Kelvin dia masih memaklumi. Mengingat gencarnya pria itu melakukan pendekatan. Padahal, aku sudah sering memberi signal kalau aku sama sekali enggak tertarik.

                Serius.

                Entah kenapa hatiku seperti enggak sreg tiap kali berdekatan dengan pria ini. Dari segi tampang, mumpuni kok. Jabatan ada, tampang lumayan, kurasa kalau ia menyayangi seseorang setulus hati. Tapi tetap saja, aku enggak bisa merasakan getar-getar asmara. Cheesy ya kedengarannya? 

                “Aku tunggu, deh, kabarnya. Jangan enggak ngabarin, Ya.” Dia menghentikan langkah sama sepertiku. Menunggu tepat di depan lift. Mataku mengedar pelan agar enggak terlihat seperti orang yang ditinggal berdua saja oleh Kelvin.

                “Ya, lo mau sarapan apa?” tanya Daisy.

                Aku menghela napas lega. Kupikir aku ditinggal berdua saja dengan Kelvin. “Belum tau, sih.”

                “Lo harus makan, Ya. Inget, lo lagi dalam kondisi enggak sehat.”

                “Kamu sakit? Kalau sakit kenapa masuk?” tanya Kelvin yang mengubah suaranya menjadi... sedikit panik? “Pantas aja terlihat pucat.”

                Begitu kotak besi itu terbuka, kami semua masuk. Aku sendiri memilih mengabaikan kata-kata Kelvin barusan. Yang aku enggak siap, Rendra ikut masuk ke dalamnya. Aku seperti orang kehabisan napas jadinya.

                “Eh, Ndra. Nanti gue titip beliin sarapan, ya. Tadi enggak sempat.” 

                Aku melirik ke arah Daisy yang berdiri tepat di samping kananku. Sementara di kiriku, kalian bisa tebak. Ada Kelvin. Dan di depanku, berdiri tanpa ragu walau pandangan matanya aku yakin menyusuri lantai kotak besi. Dia Rendra. 

                “Iya, Bu. Saya antar sarapan untuk Bu Inggrid dulu, ya.” 

                Aku tau, Rendra sedikit melirik ke arah Daisy sembari menunjukkan paper bag berlogo kafe yang ada di seberang kantor. Inggrid dan seleranya. Tunggu ... kalau Rendra sudah membeli sarapan untuk ...

                “Bu Inggrid sudah sampai?” tanyaku tiba-tiba.

                Merasa tak ada yang menjawab mungkin juga karena mereka yang ada di dalam sini bingung, pertanyaaan itu ditujukan untuk siapa. “Ndra, Bu Inggrid sudah sampai?” tanyaku ulang.

                Pria itu pun menoleh, kami bersemuka akhirnya. 

                “Ah, iya Bu. Sudah ada di ruangannya.”

                “Mampus gue,” lirihku. 

                “Kenapa lo?” tanya Daisy mendadak. 

                “Gue ada meeting pagi dan... gue lupa.” Aku enggak tau mesti bagaimana menghadapai Inggrid sekarang. Astaga! Harusnya ide cuti dadakan dari Daisy aku realisasikan saja, ya. Aku jadi menyesal.

                “Mau lo ada meeting atau enggak, lo harus sarapan dulu.”

                “Kalau kamu memang sakit, jangan diporsir kerjanya. Bahaya, Ya,” kata Kelvin seraya menyentuh lenganku. Aku sedikit berjengit. Kaget. Pikiranku sama sekali enggak ada di tempatnya. Kepalaku merancang susunan pekerjaanku pagi ini. Mencocokkan jadwal terutama pun salinan draft kontrak yang harus Inggrid baca. Setelah lolos dari mataku tentu saja. 

                Oh jangan lupa, agenda seminggu ke depan yang belum aku dapat dari Inggrid. Dan itu jangan sampai dadakan karena aku enggak mungkin lagi-lagi kena sembur dari pada petinggi karena meeting yang batal dadakan. Atau lebih parah, makan malam yang mulur karena Inggrid keasyikan kerja.

                Enggak. Enggak. Itu enggak boleh terjadi.

                “Ya? Lo bengong?”

                Enggak ada waktu untuk menjawab Daisy, aku memilih mengutak atik ponsel. Di sana agenda pentingku tersusun. Denting lift pun berbunyi, pertanda lantai tujuan Daisy juga Kelvin tiba. Menyisakan aku dan Rendra.

                Aku enggak menduga kalau Daisy frontal sekali. Ingatkan aku untuk membalas dendam pada Daisy siang nanti! Sialan memang sahabatku itu!!!

                “Ndra, nanti gue WA lo sarapannya apa aja. Sekalian punya Saya. Biar lo tau kesukaan Saya apa aja mulai hari ini.”

                 Jawaban Rendra jelas iya. Mana pernah ia menolak kalau diminta tolong seperti itu? Aku mendelik tajam ke arah Daisy yang malah menebar racun cengiran tanpa dosa itu! Sial! Sial!

                Rendra sedikit bergeser ke arah tepi lift. "Bu Saya mau sarapan apa memangnya?"

                Aku sama sekali enggak siap kalau harus kembali bersemuka dengannya. Kali ini, entah kenapa aku enggan beranjak. Diriku masih sangat jelas mengingat, bagaimana mata sehitam jelaga juga bibirnya yang agak penuh pun menghitam di pinggirnya, menguasaiku.

                Mengambil penuh semua kesadaranku juga membuatku beberapa kali melafalkan namanya. Mungkin kalau tembok apartementku bisa bicara, mereka pasti akan mengejekku hari ini.

                "Bu?" panggilnya lagi.

                Sialan! Kenapa juga aku harus mengingat malam laknat itu, sih? Aku menggeleng mengenyahkan memori berengsek itu. Mengabaikan Rendra yang berjalan di belakangku. 

***

                Rendra benar-benar membelikanku sarapan. Sebelum meletakkan di meja tempat biasa ia menaruh cangkir teh juga teko minum untukku, Rendra sudah lebih dulu bilang kalau ini Daisy yang menyuruhnya. Pun menolak uang yang kuberi. Aku mendengkus sebal karena penolakannya. Baisanya ia enggak pernah menolak, kok.

                Bubur kacang ijo dengan potongan roti yang sudah sempurna terbenam, itu kesukaanku. Aku beruntung ketika menaruh bokong, Inggrid sepertinya masih sibuk dan mengerti kalau belum jam kantor. Jadi, ia belum mengeluarkan taringnya. Aku masih punya kesempatan menyantap bubur ini dengan segera. Yah... seenggaknya aku punya tenaga. Benar kata Daisy, aku enggak boleh pingsan. Agendaku banyak ternyata selain meeting pagi ini. 

                Setengah mangkuk bubur itu tandas kumakan. Dan paling enggak, aku enggak mual. Mau muntah pun enggak kurasakan lagi. Saat melihat cangkir teh, aku merasa ada yang aneh. Kenapa ada irisan lemon? Aku jadi curiga. Dan benar saja, ketika kuangkat piring kecil yang digunakan Rendra sebagai tatakan cangkir teh, terselip satu notes di sana.

Saya harap Bu Saya suka.

Rendra.

                Fuck you!!!

                Apa-apaan Rendra? Ya Tuhan!!! Dia lagi cari perhatianku, gitu? Ya benar saja!!! Ini pasti karena Daisy! Aku yakin banget ada campur tangannya. Enggak mungkin tau-tau Rendra memberikanku teh dengan irisan lemon.

Saya. P : send a picture. (teh dengan lemon juga notes tulisan tangan Rendra)

Saya. P : Lo ada hubungannya, Dai?

                Aku enggak perlu lama menunggu balasan dari Daisy. Segera kubuka dan rasanya aku pengin banget murka.

Daisy : Gue cuma bilang lo butuh minum yang segar-segar tapi anget. Gue pikir air jahe, ternyata lebih dari ekspektasi gue. Gudjob Rendra.

                Dan enggak lama juga, pesan dari Dona lebih heboh lagi.

Dona Tela : Aih... mau dong dikirim notes sama bubur. Auw!!!

                “Ya, nanti meeting batalkan, ya. Saya ada urusan.”

                Aku yang enggak siap mendapati Inggrid ada di depan mejaku, gelagapan. Hampir saja menjatuhkan ponsel yang sejak tadi kuperhatikan.

                “Batal? Tapi sebentar lagi, Bu. Bagian keuangan sudah ready dan tadi juga saya sudah ingatkan.”

                Yang namanya bos, tetap saja bos. Inggrid hanya menanggapi dengan mengedikkan bahu. “Besok pagi saja. Saya seharian ini ada urusan di luar.”

                “Tapi age—“

                “Ini lebih penting dari sekadar agenda saya, Ya.”

                Aku mingkem.

                “Nanti saya forward jadwal baru saya. Kamu sesuaikan lagi. Yang sekiranya urgent, prioritaskan besok dibahas tapi saya mau besok meeting dengan keuangan dulu. Baru yang lainnya.”

                Enggak ada yang bisa kulakukan selain berkata, “Baik, Bu. Segera saya kerjakan.”

                “Saya pergi dulu.”

                Kalau sudah seperti itu, aku seharian ditinggal di kantor. Enak? Kata siapa? Seorang Inggrid Kesuma Wijaya, Board of Director CepatExpress, tombak utama berjalannya perusahaan ini kalau sudah bertitah enggak mungkin enggak dikerjakan. Pun ketika dirinya enggak ada di ruangannya. Itu hanya dirinya yang enggak ada. Pekerjaannya? Bolak balik masuk ke email-ku. 

                Tinggal aku yang meneruskan pada bagian terkait dan segera—jika bahasanya sudah segera artinya Ratu Inggrid meminta tanpa terkecuali; cepat, akurat, tanpa cacat. Dan kalau ada yang salah, itu aku duluan yang kena sembur.

                Jadi begitu dirinya menghilang dari balik koridor—hanya menyisakan aroma parfumnya yang mahal, aku hanya bisa menghela napas pelan. Mulai menyusun dari awal jadwal yang berantakan karena bos keluar kantor.

                Aku enggak sadar kalau sudah mendekati makan siang. Sudah menjadi kebiasaan kalau jelang makan siang, Rendra pasti keliling ruangan. Bertanya, siapa tau ada yang mau meminta tolong padanya membeli makan siang. Walau kebanyakan keluar kantor, tapi ada saja yang malas keluar. Terutama kalau pekerjaannya banyak, seperti aku ini. Tapi aku enggak mau mengambil risiko kalau Rendra mengirimku notes. 

                Enak saja! Memangnya dia siapa? 

***

                Daisy puas banget menertawakan keluhanku. Katanya aku lebay, terlalu berlebihan.

                “Lagian, Ya, lo tuh over percaya diri tau. Belum tentu maksudnya narik perhatian lo macam kelvin. Dia cuma mau mastiin lo baik-baik aja. Lagian, dia punya telinga kali. Dia dengar obrolan kita di lift.” Daisy masih juga menambahkan cerita yang enggak benar. Ini semakin membuat Dona, aku yakin banget, penasaran. Buktinya, ia terus mendesak Daisy agar menceritakan detailnya.

                Kesal, aku kembali menikmati makan siang berupa ayam penyet dengan level extra lah. Entah kenapa, aku kepengin banget makan ini. Pun timbul enggak sengaja, padahal aku sudah memutuskan enggak keluar kantor. Begitu Dona bilang, “Ayam goreng enak kayaknya, Dai.”

                Lantas otakku memerintahkan agar turut serta. Meninggalkan setumpukan pekerjaan tanpa merasa berdosa agar bisa menikmati ayam penyet.

                “Masih mual enggak?” tanya Daisy hati-hati. Yah... semenyebalkannya Daisy padaku, ia selalu khawatir akan keadaanku. Seperti sekarang.

                “Much better, sih.”

                Dia mengangguk. 

                “Gue baca-baca, makan buah itu bisa mengurangi mual, Pir.” Dona tiba-tiba menyodorkan artikel yang ia baca dari gadgetnya. Mengenai cara-cara mengatasi hamil muda.

                What?!

                “Apaan, sih, lo.” Aku menepisnya. 

                “Gue kasih tau biar lo juga sehat, Lampir!” Dona pasti enggak terima aku perlakukan seperti itu. Tapi aku masa bodo. Dona jarang marah lama, hanya bibirnya saja yang tercipta luar biasa tajam mirip silet.

                “Ya, semakin lama lo tunda kabar ini ke Rendra, semakin enggak baik.” Daisy bicara padaku tapi sorot matanya berubah dingin. Artinya, dia dalam mode serius. Aku enggak bisa membantahnya secepat kilat. Tapi serius, aku enggak mau bicara masalah ini dulu.

                Kepalaku saja masih penuh dengan banyak kemungkinan buruk, kalau ayah dari apa yang ada di perutku ini, Rendra, si Office Boy kantor. Ya Tuhan! Jelek amat nasibku!

 


 

Lembar 4

 

                Setiap kali langkahku mulai masuk ruang kerja, selalu saja tercium aroma damask rose dari scent diffuser salah satu merk ternama. Ini karena Inggrid begitu menyukai mawar. Aku enggak protes karena memang ini menyegarkan juga membuat semua ruangan harum. Karena ini pula aku pun memborong banyak pengharum ruangan untuk di apartement.

                Aroma yang kupilih lebih ke rempah dan kayu-kayuan. Aku merasa seperti di hutan pinus. Tenang dan begitu damai. 

                Tapi kali ini, padahal tapi pagi aku baik-baik saja. Enggak merasa aneh atau mendadak mual. Bahkan ketika Inggrid benar-benar pergi, aku menyelesaikan sarapan hingga tersisa kuah bubur sedikit. Sembari kerja, sih, tapi itu sungguh pencapaian luar biasa dalam sejarahku menyantap sarapan. Enggak ada yang aneh dan mencurigaikan. Iya, kan?

Begitu aku kembali dari makan siang, tepat ketika membuka pintu ruangan, aku mual. Bahkan aku terbirit-birit menuju toilet. Saking enggak tahan dengan perutku yang tiba-tiba bergelojak. Di dalam sana, kumuntahkan semua makan siang. Tanpa sisa. Bahkan sepertinya sisa sarapan juga sukses menjadi penghuni kloset.

Aku sampai bernapas mirip ikan, megap-megap saking apa yang kukeluarkan seolah tanpa jeda dan permisi. Tanganku sampai harus memegang pinggiran kloset untuk menopang badanku yang langsung terkuras dayanya. Aku sendiri tak tau sudah berapa lama berada di dalam toilet ini. Beruntung sekali tak ada karyawan lain yang masuk. Seenggaknya, enggak ada yang bertanya aku kenapa.

Kurogoh ponsel yang ada di saku blazerku. Melakukan panggilan singkat pada Daisy, satu-satunya orang yang terlintas untuk membantuku.

“Ya?” 

Aku mendesah lega. Itu suara Daisy. Ketika kubuka bilik toilet, ia segera masuk menghampiriku. Memapah serta membantuku agar bisa berdiri dekat wastafel. Ia juga yang membersihakn sudut bibirku, mungkin ada sisa air atau apa. 

“Kok bisa, Ya?”

                Aku menggeleng, mataku berkaca-kaca. Semua ini membuatku lemah juga sangat payah. 

                “Lo enggak makan apa-apa lagi, kan?”

                “Lo tau gue makan apa, Dai,” kataku pelan. dia mengangguk. 

                “Gue balurin minyak kayu putih, ya. Siapa tau baikan.”

                Aku pasrah saja. Setelah mendapat izin, ia mengusapkan cairan hangat itu ke sekitar tengkuk juga bagian atas dadaku. Juga perut dna pinggangku. Agak sedikit lebih baik ketika aroma itu menyapa penciumanku. 

                “Gue mau.” Aku meminta ditetesi sedikit pada telapak tangan, mengusapnya pelan, lalu mnegendusinya perlahan. Sejenak, ini luar biasa membuatku jauh-jauh lebih baik.

                “Lo bawa aja.”

                Kembali kuanggukkan kepala. Berusaha sekali aku menormalkan gejolak perut juga rasa mual yang menyerang tiba-tiba ini. Aku enggak sadar kalau air mata sudah membasahi pipi.

                “Ya?”

                “Gue bilang juga apa. Ini bikin gue beban, Dai. Gue enggak makan aneh-aneh tapi dia nyiksa gue gini. Gue enggak pernah dalam keadaan payah kayak gini. Baru kali ini gue dibuat enggak ebrdaya, dua kali Dai, dalam satu hari ini.” Aku enggak mau menghentikan laju air mata. Entah karena apa juga, aku enggak paham. 

                Aku hanya ingin menangis karena memang merasa... aku payah. Payah banget dengan kondisi seperti ini.

                “Sabar, Ya.”

                “Gue disuruh sabar untuk apa? Enggak ada! Udah lah. Niat gue bulat.”

                “Sebelum lo nekat berbuat aneh-aneh, lo mesti beritahu Rendra.”

                Aku menatap Daisy dengan tajam. “Kenapa gue harus kasih tau Rendra? Apa sih yang bikin lo menggebu banget biar gue bilang, gue hamil anak lo, Ndra. Gitu? Apa, Dai?”

                Bukannya menjawab, Daisy malah memelukku erat. Erat banget sampai aku merasa setengah tercekik karenanya. Ia mengusap punggungku dengna lembut, membuatku agak tenang tapi tetap saja aku belum mau berhenti menangis. jadi aku sengaja membasahi bahu Daisy dengan ingus dan air mataku. Toh aku yakin dia enggak marah.

                “Gue cuma mau lo enggak menyesali apa yang jadi niat lo. Apa pun nanti tanggapan Rendra, itu masih bisa dicarikan solusi.”

                Aku menggeleng pelan. “Dan gue pertaruhkan segalanya?”

***

                Minyak kayu putih sekarang jadi teman setiaku mengerjakan sisa pekerjaan tadi. Banyak yang kukerjakan walau aku sangat bersusah payah mengerjakannya. Sesekali aku menghirup aroma minyak kayu putih, merasa lebih baik setelahnya. Lalu ketika aroma mawar mulai menginterupsi, lagi-lagi aku menggosokkan tangan dengan cairan kayu putih.

                Aku tau sekarang, pengharum ruangan ini sumber masalahnya. Tapi aku enggak akan berani meminta Inggrid untuk mengganti aroma kesukaannya. Ah, sepertinya aku harus mulai menyetok banyak minyak kayu putih di laci.

                Tunggu... untuk apa? Aku tau aku bodoh sekali, super tolol malah. Melakukan hal yang enggak seharusnya dan berbuah pula. Kalau melakukan tanpa buah mungkin pikiranku enggak bercabang banyak banget begini. 

                Aku enggak yakin Rendra bisa memenuhi standart-ku sebagai seorang pasangan. Standartku enggak tinggi, kok. Aku cuma ingin pria yang akan menghabiskan sisa waktu yang kupunya dengan penuh tanggung jawab. Itu bukan sebatas uang. Mungkin uang kami bisa cari berdua. Kerja keras dan yah... mungkin aku sendiri mulai berhemat.

                Tapi ada kah jaminan suatu hari nanti, Rendra enggak meninggalkanku? Bersama anaknya? Berdua saja? Aku enggak mau hal itu terjadi dalam hidupku. Lagi. Masih sangat jelas kuingat ketika wanita yang harusnya bibir ini melafalkan panggilan agung bernama ‘ayah’. Meninggalkanku dengan Berry, boneka beruang kesayanganku di teras rumah. Aku menangis kencang saat itu, tapi tetap saja ayah pergi. Enggak kembali.

                Aku enggak menangis ketika ibu pergi. Entah dengan siapa saat itu. Ayah bilang, ibu pergi dengan orang gila. Tapi aku masih memiliki ayah. Jadi biar saja ibuku pergi dengan orang gila itu. Aku mana peduli. Tapi ketika ayahku yang pergi, lantas aku hidup dengan siapa?

                Padahal ayah adalah cintaku. Tapi dengan teganya ia meninggalkanku. Lalu dengan Rendra? Ada jaminan dia akan tinggal di sisiku? Belum tentu. Dan aku enggak mau mengambil risiko itu. Apalagi hubungan kami sama sekali enggak ada romansanya.

                “Bu.”

                Aku mendongak, kurasakan pipiku basah. Segera kuhapus dengan cepat karena ada Rendra di hadapanku. Tck! Mau apa dia? Kenapa setiap kali kepalaku memikirkan pria sederhana ini, malah orangnya muncul di depanku? Dia punya radar?

                “Ibu lembur?”

                Aku mengerjap. Kulirik jam pada toolbar komputerku. Aku memejamkan mata sesaat, ternyata sudah pukul lima sore.

                “Saya enggak lembur.”

                Rendra hanya mengangguk sekilas. Kubiarkan Rendra masuk ke dalam ruangan Inggrid. Aku segera membereskan semua barang-barangku. Mengecek sekali lagi email siapa tau ada pesan baru masuk dadakan dari bos. Beruntungnya enggak ada. 

                Aku juga mengetik pesan kalau hari ini pekerjaanku beres. Semua jadwal juga sudah ku-share padanya. Enggak lama notifikasi balasan masuk.

Inggrid : Oke, Ya. Thanks today. 

                Aku tersenyum. Bagaimanapun Inggrid menekanku mengenai pekerjaan, juga keinginannya yang selalu ingin sempurna dalam hal apa pun, aku selalu mengaguminya. Termasuk caranya mengapresiasi upayaku dalam bekerja.

                “Bu Saya.”

                Aku menghentikan langkah ketika akan keluar ruangan. Aku enggak perlu menoleh karena tau siapa yang memanggilku.

                “Ibu suka teh lemon tadi pagi? Kalau su—“

                “Enggak. Saya mau teh biasa saja,” kataku sembari menahan sekuat tenaga agar enggak menghampirinya. Aku lebih suka konfrontasi langsung dengan orang yang seenaknya memberi notes yang membuatku merasa dia seperti mencoba menarik perhatianku. Tapi aku tahan.

                “Oh. Baik, Bu.”

                “Dan satu lagi, saya enggak suka kamu kasih notes seperti itu.” Aku hanya menoleh sekilas, memberinya tatapan tajam agar ia mengerti, dengan perempuan seperti apa ia berhubungan.

                Tanpa perlu mendengar apa jawabannya, aku melangkah menjauh. 

***

                Mug yang kugenggam, menjalarkan hangat yang sempurna untuk diriku yang cukup kedinginan karena berdiri di balkon. Membiarkan angin malam mengacak tatanan rambutku. Sesekali kuseruput isi mug, teh melati, meresapi tiap manis yang menyapa ujung lidah. Aku sama sekali enggak peduli kalau masuk angin nantinya.

Pikirku melayang pada semua yang terjadi saat ini. Termasuk pembicaraanku dengan Daisy pulang kerja tadi. Dia memarahiku habis-habisnya. Mengataiku tolol juga. Daisy kalau sudah menggunakan kata-kata kasar, artinya dia dalam level marah besar. 

“Gue mau gugurin aja. Belum besar ini,” kataku enteng tapi enggak melihat ke arah Daisy yang sejak masuk mobil, hanya diam saja. Sebenarnya tadi ia bertanya mengenai keadaanku, sih. Aku hanya menjawab, sudah lebiih baik berkat minyak kayu putih.

Dia bilang, mungkin saja aku ini enggak tahan bau wangi yang terlalu mencolok. Dia juga menambahkan, hormon ibu hamil muda itu memang aneh dan suka di luar dugaan. Aku tau pasti dia memberitahuku dari artikel yang ia baca. Sama seperti Dona.

Dan kurasa, aku tepat bicara seperti ini padanya. Bicara mengenai keputusan dan kelangsungan kehidupan baru di tubuhku. Aku bukan enggak mau mengajak Dona ikut pembicaraan ini. Aku merasa, aku lebih suka bicara dengan Daisy. Usianya terpaut dua tahun di atasku. Kuanggap, dia saudariku di sini. Di Jakarta.

“Apa lo bilang?” tanya Daisy sembari menoleh ke arahku. Bisa kulihat dari sudut mata, auranya langsung berubah kelam. Cara bicaranya juga sudah berubah, sih. Ini yang membuatku menganggapnya selayaknya seorang kakak. Ada aura intimidasi yang Daisy punya. Membuat kami—aku dan Dona—sering tunduk pada titahnya.

“Gue mau gugurin aja.”

“Lo gila?”

Aku diam.

“Ya, jangan aneh. Lepas dari tindakan tolol lo sama Rendra, janin itu enggak salah. Lo pembunuh kalau berniat seperti itu, Ya. Lo mikir enggak? Rasa bersalah yang bakalan hinggap di hidup lo? Seumur hidup, Ya. Seumur hidup!”

Aku sudah memikirkan mengenai hal itu. Biar bagaimanapun, aku yang salah. Karena kebodohanku aku hamil. Ada makhluk hidup yang bernapas melalui hidupku. 

“Lo ngomong sama Rendra. Gue yakin dia mau tanggung jawab. Kelihatannya dia anak baik.”

“Bukan sekadar tanggung jawab yang gue cari, Dai.”

Aku dengar ia mendengkus kesal. “Apa? Cinta?”

Kugeleng dengan gegas pun tegas pada kata-kata Daisy barusan. “Gue enggak berpikir ke arah sana. Cinta gue juga udah mati, kok.”

Daisy berdecak. “Lo ngomong sama Rendra. Bicara gimana jalan keluarnya. Seenggaknya, biar bayi ini enggak lahir tanpa bapak, Ya.”

“Yang lo pikirin kenapa justru bayi ini, Dai?” Aku memberanikan diri menoleh ke arahnya. Aku sendiri sudah enggak peduli, betapa cengengnya aku akhir-akhir ini. Buktinya lagi-lagi aku menangis. “Lo mikirin hidup gue? Semua yang gue raih sekarang? Hidup gue nanti seperti apa?”

“Lo takut miskin karena punya anak?” 

Lagi-lagi gelengan yang kuberi. “Dari dulu gue udah miskin, Dai. Sekarang gue hidup enak karena kerja keras enggak kenal waktu. Dan gue hargai semuanya. All of. Tanpa terkecuali.” Kuseka air mata yang terus menderas. “Lantas, gue harus mengalah karena bayi ini? Begitu?”

Daisy diam. Tangannya mencengkeram setir kuat banget, aku bisa melihat itu.

“Dan gue enggak menjamin, Rendra akan terus bersama gue. Dengan gue yang seperti ini. Entah kenapa gue yakin Rendra punya potensi besar untuk ninggalin gue. Gue harus hidup sendiri lagi cuma sama anak gue? Udah cukup rasanya gue ditinggalin sendirian, Dai. Udah cukup.”

“Dan keputusannya seperti ini yang lo ambil, Ya? Lo bisa hidup berdua sama anak lo. Baha—“

“Bahagia yang mana yang bisa lo sebut? Setiap kali nanti anak gue tanya, mana bapaknya? Kerja di mana dia? Tampangnya seperti apa? Gue jawab apa, Dai? Apa? Gue enggak mau menjawab semua pertanyaan kayak gitu, kalau Rendra ninggalin gue kelak. Lebih baik, sejak awal gue kembalikan semuanya pada langkah awal.” Aku emosi. “Bayinya enggak ada, gue kenal Rendra sebatasnya aja. Simple, kan?”

“Lo tau, Ya. Otak lo terlalu over negative.”

Aku buang muka. Membiarkan Daisy kembali sibuk dengan setir walau sesekali ia mencoba mengajakku bicara, namun aku enggan. Rasanya keputusanku sudah sangat tepat. Enggak ada pihak yang akan dirugikan, kan? Baik aku atau pun Rendra. Ketimbang aku membiarkan ini berlarut, mungkin dengan Rendra yang akhirnya kubagitahu. 

Ah, aku sendiri sama sekali belum siap menghadapai begitu banyak ketakutan yang akan menyorot langsung padaku. Bukan enggak mungkin kalau nantinya, terembus kabar aku akan menikah dengan Rendra. Si Office Boy itu. Belum lagi pandangan miring tentang timpangnya kami dalam struktur organisasi perusahaan. Jangan lupa, Inggrid, bos-ku. 

Enggak. Enggak. Itu pilihan yang sangat amat berisiko. Cukup sekali aku mencelupkan diri pada kebodohan. Untuk kali ini, aku yakin pilihanku enggak ada salahnya.

“Gue harap lo berpikir ulang tentang niat lo. Gue serius, Ya. Seorang anak enggak bisa memilih dari rahim siapa ia dilahirkan. Saat ini, lo dianugerahi hal yang paling membanggakan bagi seorang wanita, Ya. Think about that.”

Aku mengangguk saja. Membiarkan mobil Daisy keluar lobby apartementku.

 


 

Lembar 5

 

                “Berengsek!!!” makiku seraya memukul setir. Mengabaikan tangan yang sedikit nyeri dan bisa kupastikan memerah. Aku segera mencopot pengharum mobil dengan segera begitu perutku beraksi. Membuangnya buru-buru dan kebingungan, bagaimana cara aku ke kantor sekarang?

                Masa iya, aku harus menggantung minyak kayu putih di sini? Aish!!! Merepotkan sekali!!!

                Aku memijat pangkal hidung. Mencoba untuk teratur bernapas dan sesekali menghirup aroma minyak kayu putih. Berusaha dengan amat agar perutku jangan berulah di basement. Kupastikan bisa pingsan kalau aku muntah-muntah lagi.

                “Mbak Saya? Mbak... kenapa?”

                Ketika aku menoleh, kudapati salah satu security gedung apartement tempatku tinggal menatapku dengan pandangan khawatir. Belum juga kujawab pertanyaan itu, ponselku berdering nyaring. Membuatku mengangguk sekilas ke arahnya, karena harus menjawab telepon ketimbang pertanyaan tadi.

                “Ya, Bu?”

                Aku mengerjap heboh mendengar serentetan suara yang begitu familier menyapa telinga.

                “Baik, Bu. Yaya sudah on the way, kok.”

Kini aku yang kelimpungan dengan apa harus ke kantor. Enggak mungkin membawa mobil dengan aroma yang masih tajam begitu. Bisa-bisa aku enggak sampai ke kantor. Dan aku memikirkan juga, kalau naik taksi online? Menggunakan pengharum mobil juga? Yang ada aku merepotkan orang lain, kan?

Shit!!! Shit!!! Shit!!!

Sudah, lah. Ketimbang diamuk macan betina macam Inggrid, aku memilih memesan ojek online. Mengabaikan kalau hari ini, rok sepanku cukup membuat sulit gerak.

Berkali-kali aku mengatakan agar hati-hati berkendara. Bukan apa, aku duduk miring di jok motor dan hatiku merapal banyak doa selamat. Yah... mau bagaimana lagi? Dalam keadaan begini, otakku ingat mati. Jalan Jakarta mana ada yang ramah, sih? Klakson di mana-mana, belum lagi motor lain yang main salip sana sini. Jangan lupa mobil yang seenaknya berhenti mendadak bikin aku jantungan.

                Begini caranya, pulang kerja nanti aku borong minyak kayu putih dan memandikan sedanku dengannya. Biar saja, lah. Aku enggak mau mengambil risiko celaka di jalan karena ojek daring. 

                Tiba di lobby, sepertinya semesta belum usai mainan sama hidup aku. Aku bacakan listnya, ya. Pertama, bangun pagi bukannya segar aku malah muntah-muntah hebat. Bahkan teh hangat enggak meredakan rasa mual di perutku yang makin jadi. Tapi aku mulai abaikan ketika ingat, pagi ini agendaku bertumpuk. Kedua, mobilku wangi pengharum mobil yang enggak tau kenapa, membuat aku makin mual, pusing dan ingin muntah. Ketiga, aku menggunakan ojek daring dengan duduk miring. Aku enggak mau buang waktu hanya sekadar ganti bawahan saat itu. 

                Kali ini, kesialan yang terakhir. Aku berpapasan dengan Rendra. Yang muncul di benakku kali ini adalah penampilanku. Biasanya aku selalu apik dan rapi. Tapi kali ini enggak ada jaminannya, kan? Saat aku melirik pada kaca-kaca di sepanjang koridor lobby, rasanya aku mau membenamkan wajah di wastafel saja lah!!!

                Aku berantakan!

                Seolah belum cukup, sebuah panggilan dari suara yang cukup familier menyapa dan bergaung di lobby. Kelvin.

***

                “Lain kali minta jemput aku, Ya.” Kelvin lagi-lagi berkata enggak perlu seperti itu. Di dalam lift pula! Aku tau, aku memang sedang didekati olehnya. Tapi caranya kebangetan frontal dan aku sendiri, sejak awal enggak terlalu merespon. Apa, ya? Aku memang enggak sreg. Hati enggak bisa dipaksa, kan?

                Di dalam lift, ada Rendra juga yang kutau ia menenteng paper bag yang sama seperti kemarin. Artinya itu sarapan untuk Inggrid. Juga beberapa staff lain yang kutau dari bagian keuangan. Aku enggak terlalu mengenal mereka secara pribadi, hanya sebatas nama. Jadi ketika tegur basa basi, aku hanya melontar senyum.

                Dona bilang sudah menjadi rahasia umum kalau Kelvin mendekatiku. Hanya saja, aku yang sering memberi batas. Justru itu juga yang membuatku justru mendapat predikat ‘sok jual mahal’. Lalu? Kalau situasinya seperti ini? Dengan kata-kata kelvin barusan, aku harus tanggapi? 

                “Ya?”

                Aku memejamkan mata sejenak. Kelvin pun bukan tipe orang yang gampang menyerah untuk mendapatkan sebuah jawaban, misalnya. Seperti sekarang. 

                “Iya, next kalau butuh tebengan.”

                Saat menunggu lift, dirinya mengomentariku. Katanya aku seperti bukan aku. Mungkin karena rambutku enggak tertata rapi lagi, atau aku yang bodoh enggak menggunakan jaket sekadar menutup kemejaku biar enggak tertempel bau polusi di jalan. Ah, sial banget pagi ini! Andai Daisy hari ini enggak cuti, aku yakin banget, bakalan terbebas dari situasi ini.

                Beruntung, Kelvin enggak banyak omong lagi. Seenggaknya aku bisa bernapas lega. Pikiranku jadi mulai bisa bekerja untuk menyusun apa-apa saja yang mesti kukerjakan. Pun ketika lift berhenti di lantai tujuan Kelvin dan staff lain. Aku hanya tersenyum kecil merespon sapaan dari mereka. Pintu lift segera tertutup, menyisakan aku dan Rendra.

                Kali ini, aku merasa ada yang berbeda dari pria itu. Tapi apa peduli, kan? Enggak ada. Jadi aku abaikan saja, mau dia diam saja atau tau-tau berubah cerewet. Bukan urusanku. Urusanku di sini, bekerja. Sama sepertinya. 

                Setelah memastikan penampilanku sudah seperti biasanya, aku duduk kembali di meja kerja. Merapikan barang-barangku yang kutaruh sembarangan tadi. Yang terpenting, aku sudah absen dan bos-ku tau aku sudah tiba. Namun ketika akan memulai dengan menyalakan komputer, dua bungkus roti lapis cokelat tersaji. Berikut teh lemon yang kutau, siapa yang menyediakan.

                Bedanya, tanpa notes.

***

                It’s a crazy day... i guess. Aku mau nangis saja tapi enggak mungkin. Biasanya aku enggak masalah kalau Inggrid mulai berulah. Terutama ketika ada bagian-bagian yang menurutnya tak sesuai. Seperti sekarang. Di dalam ruangannya, bos-ku membahas masalah keuangan dengan Pak Sarman. Sudah hampir satu jam tapi belum ada satu pun yang keluar ruangan.

                Aku sendiri sudah ketar ketir karena dari mejaku saja, aura permusuhan kuat banget. Inggrid ini jeli dan setiap kali bertanya, entah kenapa selalu menitik pada satu fokus padahal jenis pertanyaannya berbeda. Pokoknya, kalau bicara dengan Inggrid harus sesuai fakta. Kalau enggak, dibantai habis-habisan.

                Imbasnya ke aku? Wah ... jelas ada. Aku bakalan disuruh meminta data yang akuratnya sesuai dengan kemauannya tanpa peduli kalau itu lintas divisi. Aku sering melakukannya dan berulang kali orang yang kumintai data, selalu mengeluh. Mereka mengeluh padaku pun percuma, aku sendiri kerja di bawah Inggrid. sama seperti mereka.

                Nasib ... nasib.

                “Yaya,” panggilnya.

                Aku bilang juga apa, aku cuma menunggu waktu agar suara itu keluar. Kakiku spontan melangkah berikut notes juga pulpen. Aku enggak mau ketinggalan dua hal ini. Penting sekali untuk mencatat semua kata-kata Inggrid yang mirip kereta. “Bu.” Sopan santun, aku mengetuk pintu kaca dan sedikit mendorongnya setelah mendapat izin.

                “Ya, kamu catat.”

                Aku sudah siap untuk mencata walau sambil berjalan. Inggrid enggak akan kasih aku jeda sekadar duduk. 

                “Saya lagi minta data keuangan semester dan akhir tahun 2018 ke Pak Sarman. Kamu cek lagi, nanti saya forward mana aja yang mesti kamu double cek. Itu akan saya jadikan base meeting ke komisaris dan pemegang saham satu bulan lagi.”

                Aku mengangguk.

                “Untuk Pak Sarman, jangan sampai datanya salah seperti ini. Bisa digantung saya nanti,” kelakarnya. Tapi aku tau, jenis kelakar yang Inggrid keluarkan itu adalah sindiran telak. Enggak mungkin Pak Sarman ditahan segitu lama kalau laporan beliau beres. Aku yakin ada sesuatu.

                “Iya, Bu,” kata pria itu dengan senyum masam. Aku meliriknya sekilas. Wajah Pak Sarman sudah enggak lagi ramah. Lalu ia pun menarik sedikit kasar bundel yang kuyakin laporan darinya. “Kalau begitu saya permisi, Bu.”

                “Baik, Pak.” 

                Hebatnya, Inggrid selalu tersenyum ramah walau kutau pikirannya perang. Aku hanya mengekori sosok Pak Sarman hingga menghilang dari pintu kaca tadi lewat ekor mataku. 

                “Ya,”

                Aku segera menoleh dan bersiap mencatat lagi.

                “Saya mau indikator dan tabel sesuai dengan tabel yang sudah saya forward ke kamu, ya. Datanya kamu minta yang real. Kalau perlu inspeksi dadakan. Andai Sarman enggak terima, bilang ini perintah saya.”

                Aku menelan ludah bulat-bulat. “Baik, Bu.”

                “Heran. Saya enggak buta banget lah sama laporan keuangan gitu. Ditanya malah melintir,” dumel Inggrid lalu menjatuhkan dirinya ke kursi kebesarannya. “Hari ini ada agenda keluar kantor, Ya?”

                Aku segera membuka catatan, enggak mau sekadar mengingat saja walau aku yakin dengan jawabanku, sih. “Enggak, Bu. Tapi besok ada janji makan siang sama pihak Lazade.”

                “Si Bule Sinting itu, ya?”

                Aku mau ketawa tapi enggak bisa. Kulihat Inggrid sepertinya enggak suka dengan agenda itu tapi enggak bisa menghindar. Aku yakin itu.

                “Ya sudah lah. Bilang sama sekretaris Bule Sinting itu makannya di Mandarin aja.”

                Kupilih menjawab dengan anggukan. Kupikir sudah enggak ada lagi yang mesti kukerjakan di sini. Karena aku yakin banget tugas yang baru saja diberi bisa membuatku lembur berhari-hari. Belum lagi mengikuti aktifitasnya ke luar kantor. Mengecek laporan keuangan sebelum diserahkan pada seorang Inggrid itu butuh konsentrasi. Enggak bisa sembarangan. Bisa-bisa aku disembur kalau asal membuatnya.

                Benar dugaanku. Ketika membuka email yang katanya sudah dikirim bos, aku hanya bisa menghela napas pelan. Ini namanya penyiksaan. Kulirik jam di komputer, sudah menunjuk jam makan siang. Aku makan keluar saja, lah, biar enggak suntuk dan mengisi energi positif untuk mengerjakan laporan ini.

                Kusambar ponsel dan mengetik pesan untuk Dona. Makan bareng. Dona itu kadang suka sesuka hati kalau enggak diberi pesan dulu. Tapi kalau makan bersama Dona, jarang di kantin. Pria jadi-jadian itu lebih suka makan di restoran seberang kantor yang juga ada coffee shopnya.

Dona : mereka ada menu baru dan gue mau coba. Dapat potongan pula. Lo ikut gue aja lah. Gue malas ke kantin.

                Enggak ada yang bisa kulakukan selain mengikutinya. Ketimbang aku di sini atau menerima ajakan Kelvin makan siang. Pesannya berbarengan masuk bersamaan dengan pesan Dona. Bicara mengenai Kelvin, tadinya aku suka menanggapi beberapa kali ajakannya. Tapi entah kenapa sekarang ini aku malas. 

                Tapi kalau makan di sana, artinya aku bakalan bertemu dengan Dewangga dong? Astaga! 

***

                “Makasih,, ya, Dewa traktirrannya. Sering-sering aja kayak gini,” kata Dona dengan heboh. Aku rasanya mau ganti wajah atau menutup muka semringan Dona dengan kantung plastik saja lah! Memalukan. 

                “Sama-sama Mas Doni. Sering ajak Saya ke sini aja. Nanti saja traktir, deh.”

                Dona tertawa. Sialan! Jadi memang ini akal-akalan Dona saja, ya? Padahal aku sudah lama menghindari Dewa juga. Pria yang enggak jauh jaraknya dariku, hanya tersenyum kecil ketika kamu bersemuka.

                “Saya makin susah untuk didekati. Punya gandengan?” tanyanya frontal. Aku sampai meringis mendengar kata-katanya.

                “Ih, Lampir mah belum punya cowok. Dia aja yang jual mahalnya kebangetan. Nanti gue kasih resep buat de—“

                “Dona, udah deh,” selaku sembari mencubit pinggangnya. “Terima kasih makan siangnya, ya.”

                “Sama-sama, Ya.”

                Aku segera menggamit tangan Dona biar enggak meneruskan ocehan ngawurnya itu. Tapi belum genap langkahku menjauh, Dewa sudah kembali memanggil seraya menghampiriku.

                “Pulang kerja, aku tunggu, ya. Jangan hindari aku terus, Ya.”

                Kepalaku bilang, terima saja ajakannya. Toh, aku hari ini enggak bawa mobil. Ketimbang pulang dengan Kelvin yang nanti membuatku bete karena kata-katanya, lebih baik sama Dewa. Baru saja kepalaku mau mengangguk untuk menyetujui ajakannya, aku melihat Rendra berjalan di ujung sana. Persis menuju lobby kantor tapi aku yakin, ia menatapku sesaat.

                Aku enggak tau apa yang terjadi padaku. Aku merasa, tatapan itu seolah bicara tanpa kata juga sarat akan tanya. Entah apa itu aku enggak paham.

                “Ya.” Suara Dewangga menginterupsi.

                “Tapi hari ini aku ada lembur. Kamu gimana?”

                Dewa terkekeh. “Kapan aku nolak nunggu kamu lembur.”

                “Oke kalau begitu.”

                “Balas pesan aku, Ya.”

                Aku meringis. “Oke.”

                “Ekhem. Gue dilupain, Pir?”

                Aku tertawa pelan. “Yuk. Kami balik kantor dulu, Wa.”

                Pria itu mengangguk seraya tersenyum. Satu hal yang kusuka dari seorang Dewangga, Store Manager yang kata Dona, gantengnya kebangetan ini adalah caranya tersenyum. Deret giginya yang putih juga kentara sekali kalau pria ini adalah tipe pria humble dan gampang sekali bergaul. 

                “Duh, andai lo enggak hamil. Serius, Pir, gue lebih setuju lo dekat sama Dewa.”

                Aku mencubit lebih keras pinggang Dona tanpa ampun. Membuatnya menjerit-jerit kesakitan tapi aku mana peduli! Gila aja dia bilang begitu? Kalau ada yang dengar?!!!

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya UoL. [Bab 6 - 10]
2
0
*** Spoiler                Saat makan siang tadi aku hanya pamit keluar. Kutanya mau titip makan atau enggak, dia hanya tersenyum. Jadi kuanggap dirinya memang enggak mau makan keluar dan enggak ada agenda makan di luar bersama kliennya. Kalau pun ada, aku yang paling tahu.                “Bu.”                Wanita cantik itu mendongak, tersenyum kecil dan menyuruhku duduk di kursi yang ada persis di depan mejanya. Aku menurut saja.                 “Look.” Inggrid menggeser tampilan laptopnya ke arahkku. Aku enggak mungkin enggak fokus menatap tiap hal yang ada di sana. Makin memahami aku makin ternganga. Ini serius?                “Ngeliat wajah kamu begitu, saya tarik kesimpulan kamu sependapat dengan saya, Ya.”                Aku terkekeh. Mengembalikan kembali layar laptop pada posisi semula.                 “Jadi kamu tau, kan, betapa proyek Lazade ini luar biasa?”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan