
PART SAMPAI TAMAT
[NEMO] 61
Hulk duduk di tepi ranjang gue dengan wajah masam. Sekilas gue lihat, masih ada plester yang setia banget nempelin mukanya yang garang itu. belum lagi, jalannya yang masih agak tertatih mungkin pengaruh operasinya di perut. Gue enggak ada simpatinya sama sekali. Sakit dan penderitaannya bukan untuk membela gue, kok.
Dipikir, dengan dia datang atau gue tau kondisinya yang mengenaskan, hati gue bisa lembut? Enggak. Gue bukan perempuan seperti itu. Keras hati gue untuk sekadar memberi maaf.
Gue tetap melakukan aktifitas selepas pulang kerja, buat apa bertanya banyak padanya kalau gue sendiri masih kesal luar biasa. Seenaknya kalau bicara. Apa selama seminggu ini dia bertanya tentang gue dan anaknya? Enggak. Dia lagi pemulihan? Begitu alasannya?
Bullshit.
Sudah habis semua percaya yang gue punya buat Hulk. Enggak menyisakan barang satu karena sungguh, rasanya menyebalkan kalau ingat kelakuan Hulk ke gue. gila. Gue pikir dia kerja, sibuk ngurus toko yang mau dipindahkan, repot ngurus ini dan itu, eh ... malah sibuk dengan istri orang.
“Neng, kita mesti bicara.” Gue tau banget, dirinya gusar dengan tingkah diam gue sejak masuk kamar. Bahkan saat bersemuka dengan ibu tadi, gue pun diam saja. Dari nada bicaranya, Hulk berusaha banget meredam emosinya. Bukan cuma dia saja yang butuh diredam, gue juga.
“Abang mau memperbaiki semuanya. Abang salah dan tau, rasanya bicara maaf ke Neng enggak cukup menebus semuanya. Abang sudah selesai di sana. Abang hanya enggak tega ka—“
Refleks, gerak gue mengenakan piyama tidur terhenti. Sorot mata gue tajam mengarah padanya. Enggak peduli lagi dengan banyak hal yang gue tahan selama ini. Semua amarah yang terlipat rapi di hati, mulai bergejolak minta dikeluarkan secara utuh.
“Enggak tega? Sama istri orang? Abang bela sampai merugikan diri sendiri? Begitu?”
Dia diam.
“JAWAB!!!”
“Abang sungguh enggak sangka kalau kejadiannya akan seperti ini. Nisa sudah Abang anggap sebagai adik dan perasaan enggak tega enggak bisa diabaikan begitu saja, Neng.”
Gue tertawa miris. Seringai gue sudah enggak lagi santai menanggapi ucapannya. “Lo tau? Lo yang gila sama hidup gue. Kalau lo masih mau peduli sana orang lain, silakan. Pintu kamar gue terbuka karena gue memang enggak mau terima orang yang masih berkubang dengan masa lalu. Membela orang itu tanpa memedulikan istrinya gimana? Otak lo waras?!” Tanpa ragu, gue menudingnya. Enggak peduli kalau dirinya nanti akan balas menggunakan nada tinggi. Marah gue, sudah enggak bicara dengan kata-kata sopan yang akan menimbulkan rasa sakit hati.
Enggak. Hulk masih diam dengan sorot mata sendu yang mulai bergelayut. Mau bikin gue segampang itu memaafkan? Enggak akan.
“Yang lo nikahin itu gue, Rasyid. Bukan Nisa. Yang hamil anak lo pun gue. Sudah gue tegaskan kemarin, kan? Yang gue dapat apa? Dikecewakan sedemikian hebat, ya? Gue mesti tepuk tangan atau apa sama suami sendiri?”
Akumulasi semua perasaan gue untuk Hulk, merebak. Mencekik hati gue tanpa ragu dan membuat sesak dengan amat. Air mata gue kembali jatuh, mengabaikan perut gue yang bergejolak hebat, berkali-kali gue mengepalkan tangan berusaha banget biar enggak luruh kalah karena rasa enggak nyaman yang sudah mendera.
“Abang minta maaf. Ribuan kali akan Abang bilang hal seperti itu sampai dapat pengampunan Neng. Abang sudah selesai dan mulai hari ini enggak akan menjauh lagi. urusan Abang sudah selesai dengan Nisa. Bukan hanya perkara membela dia saja, Neng, tapi adanya hutang budi itu bikin Abang enggak bisa terlalu leluasa lepas dari Nisa.”
Gue berdecih. “Hutang budi? Perkara hutang budi saja sampai lupa sama istri?”
Hulk lagi-lagi diam.
“Kalau lo memang enggak bisa bikin gue jadi prioritas hidup lo, gue enggak masalah. Mumpung lo di sini. Lo bilang sama orang tua gue, lo kembalikan gue sama mereka. Gue enggak masalah.” Satu dua tetes air mata yang gue tahan, sudah turun dengan lancarnya.
“Lo tau ... sakit hati gue karena kelakuan lo ini, enggak gampang memberi maaf. Lo sudah keterlaluan banget bikin gue sedih dan kecewa.” Ugh! Utun ... ayo dong kerja sama sama Mami. Jangan dulu bikin Mami lemas seperti ini.
“Ceraikan gue, Rasyid.”
Gegas ia menggeleng dan bergerak mendekat tapi gue sudah memperhitungkan kalau dirinya akan bertindak seperti itu. “Diam di situ. Gue enggak mau lo sentuh,” peringat gue tegas.
“Enggak, Rin. Enggak semua masalah ini diakhiri dengan cerai. Abang enggak mau. Abang mau membuktikan sama Neng, kalau kemarin adalah pelajaran demikan berharga untuk Abang. Abang enggak mau kehilangan Neng.”
Lagi-lagi gue tertawa miris. “Berharga? Seharusnya lo tau, siapa yang harus jadi prioritas hidup lo sejak lo mutusin nikah sama gue.”
“Abang minta maaf,” katanya sekali lagi. Pelan ia kembali melangkah tapi gue makin mundur. Berulang kali gue menggeram kecil menahan amukan di perut yang membuat pening mendadak. Pandangan gue sudah enggak terlalu jelas, mulai berbayang tapi gue tahan.
“Ceraikan gue, Rasyid. Ceraikan.”
“ARIN!”
Hanya suara itu yang gue dengar sebelum semuanya gelap. Pusing di kepala gue merajamnya hebat banget. Mirip ribuan tusuk duri yang menerpa semua sistem syaraf gue.
***
Gue enggak tau seberapa lama terpejam. Terakhir kali gue ingat, gue ada di kamar dan meraung mirip orang gila karena ada Hulk. Gue rasa, gue lagi mimpi saat itu. perlahan saat mata gue terbuka, silau yang menyapa bikin gue rasanya mau menutup mata saja. Dan ... ugh! Aroma citrus yang kuat banget serta obat-obatan yang gue rasa menusuk banget penciuman gue.
Kenapa, sih, rumah sakit selalu khas dengan bau seperti ini? Bikin gue serasa sakit banget padahal cuma pingsan, kalau enggak salah ingat itu juga.
Pening yang gue rasa, masih ada walau enggak sekuat tadi. Dalam pejam yang masih gue lakukan, gue ingat, Utun. Tangan gue refleks meraba perut dan rasanya masih sama. Walau masih agak rata, tapi gue yakin Utun aman di dalamnya. Gue menghela napas lega setelahnya dan mulai kembali membuka mata. Mulai membiasakan netra dengan cahaya yang kelewat terang ini.
Dan saat menoleh ke tepi ranjang, Hulk di sana. Sebagian kepalanya ia taruh di ranjang gue dengan bertumpu pada lengan. Gue enggak tau apa dia tertidur atau pura-pura tidur, yang jelas, gue enggak mau membangunkan dia. Memilih menikmati rebah gue di sini, yang berakhir di ranjang rumah sakit.
Sekelebatan ingatan gue tertuju pada kata-kata yang meluncur sukses sebelum gue jatuh pingsan. Kata cerai yang enggak pernah pengin gue syahdukan tapi mau gimana lagi? gue kecewa dan sakit hati banget. Jangan kan perhatian kecil saat gue hamil, pas tau gue hamil saja responnya seperti itu.
Ah, memang nyatanya dia enggak pengin gue hamil lantaran masih pengin memberi waktunya ke tempat lain.
Dan saat dengan seenaknya dia pergi, Allah beritahu gue dengan telaknya, kalau untuk orang lain lah dia meninggalkan gue yang lagi hamil ini.
Lantas, esensi pernikahan seperti apa yang sedang gue jalani ini? Gue pikir, gue itu menuruti Ibu dan Ayah demi agar langkah gue berumah tangga, damai, sentosa, enggak ada kendala berarti, dicintai sama suami dan gue belajar mencintai dia selayaknya seperti pasangan suami istri lainnnya. Ah, tapi yang gue dapat apa?
“Neng sudah sadar?” Hulk yang tiba-tiba bangun, tampak terkejut mendapati gue yang sudah setengah duduk dengan tenang. “Apa yang Neng rasa? Sakit di mana? Abang panggil dokter, ya?”
Gue memilih bungkam. Terserah dia mau berlakon apa, gue enggak peduli. Semakin cepat gue bertemu dokter, semakin cepat juga gue tau keadaan gue.Satu hal yang pengin banget gue ketahui kondisinya, Utun. Semoga dia baik-baik saja. Seharusnya gue bisa kontrol diri dan lebih mementingkan utun ketimbang emosi gue yang gila-gilaan beberapa waktu lalu.
Dan enggak butuh waktu lama, dokter juga perawatnya datang. Memeriksa gue dan bertanya banyak mengenai ini dan itu.
“Kondisi kandungan Ibu lemah dan butuh bedrest semingguan ini. kita lihat perkembangan janinnya selama bedrest, saya beri penguat dan vitamin juga Ibu jangan terlalu banyak memikirkan banyak hal. Stress bisa memicu keadaan Ibu menjadi lebih buruk lagi. Kalau tumbuh kembangnya baik, pasti saya bisa referensikan Ibu pulang segera. Enggak enak rasanya bedrest di rumah sakit, kan?”
Gue tersenyum paksa. “Makasih, Dok.”
Selepas kepergian dokter, gue kembali memasang mode datar. Pengin bertanya Ibu di mana tapi masih enggan. Yang enggak gue persiapka, sesaat setelah pintu ruang rawat gue tertutup, Hulk menjatuhkan dirinya tepat di samping gue. meraih tangan gue dengan lembutnya dan mengecupi berulang kali.
Juga gue rasa, ada tetes air yang menyapa punggung tangan gue. Hulk nangis?
“Maafin, Abang. Maafin,” katanya demikian lirih. Gue bisa dengar ada sengau di sana tapi gue memilih diam saja. “Ini semua salah Abang. Abang yang paling bersalah dengan keadaan Neng sekarang. Abang yang buat kalian seperti ini. Abang minta maaf,” imbuhnya lagi dan makin gue rasa air mata Hulk terus membasahi tangan gue.
Saat kami bersemuka, netra Hulk memang basah. wajahnya seperti menanggung banyak kesakitan dan penyesalan. Oh satu lagi, gue bisa jelas melihat pipinya yang agak membiru entah kenapa. padahal saat tadi di kamar, lebam itu enggak ada. Tapi gue enggak mau peduli. Bukan urusan gue.
“Jangan minta hal yang enggak sanggup Abang luluskan, ya, Neng. Neng boleh hukum Abang semau Neng asal jangan minta pisah. Abang enggak sanggup.’
Detik itu juga, gue tarik tangan yang ada di genggamannya. “Jelas, kan, tadi dokter bilang apa? Jangan buat gue stress. Ada di dekat lo, bikin stress gue naik ribuan kali lipat.”
Dengan enggak tau dirinya, Hulk malah menyentuh sisi wajah gue. Merapikan rambut gue yang cukup mengangguk lalu mengecupnya singkat. “Abang enggak bisa beranjak, Neng. Abang takut, Neng pergi jauh dari jangkauan Abang.”
Gue abaikan semuanya. “Gue mau Ibu. Lo keluar, deh, mendingan.”
Dia mengangguk pelan sembari mengusap pipinya yang masih basah itu. Gue enggak peduli kalau dia menangis heboh, tersakiti sama ucapan gue, atau kecewa karena gue yang seperti ini. Karena buat gue, dia yang sudah memulai segalanya.
Segala hal yang gue rangkai dalam hal rumah tangga, dia hancurkan seperti itu. Dan maaf, adalah hal yang paling sukar gue katakan.
***
“Mae, lo yang benar saja lah. masa gue dikasih apel enggak dikupas?”
Sahabat gue malah ngakak. “Lo kayak gue aja. Senangnya apel dikupas. Bilang dong.”
Bibir gue mengerucut. Mau misuh-misuh kelamaan pun percuma. Gue cukup senang kamar rawat gue dipenuhi Mae dan anak-anaknya. Seru banget melihat mereka berceloteh ini dan itu terutama Gio. Bocah ganteng itu ternyata perhatian banget ke gue. Mengusap punggung tangan gue seperti bentuk perhatian khusus darinya. dia bilang, “Kata Papa, seorang gadis bersedih itu harus dihibur banget. Salah satunya, dengan usap-usap begini.”
Gue tergelak mendengar penjelasan bocah enam tahun ini.
“Biar Aunty Rin enggak sedih lagi, ya,” katanya sembari memberi kecup singkat di pipi. Duh ... si Mae punya anak imut amat, ya.
“Gio sama Nendra sama Papa dulu, ya,” kata Mae begitu melihat suaminya alias bos gue masuk dan menyapa gue. gue berkali-kali bilang maaf lantaran kondisi ini tapi yang bos gue katakan, “Pikirkan kehamilan kamu dulu aja, Rin. Kerjaan gampang.”
Sungguh, gue enggak enak hati banget jadinya.
Dan apa yang Mae katakan barusan, benar-benar dipatuhi oleh mereka bertiga. Meninggalkan kami berdua saja di sini. Gue tau Mae mau bicara tapi gue belum tau apa yang mau dibicarakan. Kalau seputar Whiskie, gue lebih baik menghindar. Masih enggan bicara banyak tentang pria yang kini mirip banget sama lintah.
Enggak sedetik pun dia lewatkan tanpa menunggu gue. Sampai gue ke kamar mandi saja, ia tunggu. Katanya takut gue jatuh atau butuh bantuan. Dan yang bikin gue kesal, Utun berulah banget. Semua yang masuk ke mulut gue, enggak lama dikeluarkan dengan sempurna. Bikin gue sampai lemah banget. Dan enggak terhitung lagi si Hulk yang telaten banget merawat gue.
Gue sama sekali enggak bicara. Walau ada Ibu dan Mama yang datang, gue anggap Hulk enggak ada. Mungkin mereka berdua tau, marah gue masih kentara banget untuk Hulk. Jelas, lah. Sebelum Mama kembali ke rumah untuk membantu Ibu menyiapkan semua keperluan gue di rumah sakit ini, beliau sempat berpesan ke gue.
“Mama tau Rasyid salah banget dan Mama enggak kurang-kurang marahin dia. Wajar Arin marah dan kecewa, tapi Mama harap jangan terlalu keras menghukum Rasyid, ya.”
Gue melengos saat Mama bicara seperti itu. anaknya tetap saja dibela. Gue mah apaan.
“Arin menantu kesayangan Mama. Sampai kapan pun, untuk hal ini rasyid yang terus Mama salahkan. Apalagi sampai bikin menantu Mama sedih begini. Enggak mudah memaafkan Rasyid juga Mama, Rin.”
Bibir gue memilih bungkam enggak mau bersuara sama sekali. Hingga mereka benar-benar meninggalkan gue berdua dengan Hulk saja. Lalu kabar kedatangan Mae serasa angin segar dari sesaknya berduaan dengan Hulk saat ini. Gue sambut gembira banget kedatangan si mae, lah.
“Gue marahin Kak Kiki tadi. Di depan Mas Satria. kesal banget gue sama sikapnya.”
Gue masih diam, memilih menikmati apel kupasnya.
“Dia enggak banyak bantah dan minta maaf karena bikin lo seperti ini.”
“Basi,” kata gue pelan. “Minta maaf mulu entah dari kapan tapi begitu lagi, begitu lagi. Malas lah gue.”
Mae terkekeh. “Jadi lo maunya gimana?”
“kemarin gue bilang minta cerai,” kata gue ringan. Tapi belum juga apel gue masuk ke mulut, Mae dnegan seenaknya memukul bahu gue dengan kekuatan yang cukup bikin gue meringis sakit. “Lo gila?”
“Lo yang gila, Rin!”
Bibir gue manyun.
“Gue tau lo kecewa tapi bukan ini yang gue harap dalam penyelesaian masalah lo, Rin. Lo boleh marah, maki-maki, atau mendiamkan Kak Kiki selama yang lo mau. Gue tau rasanya kecewa apalagi sama suami sendiri. Rasanya beda. Tapi bukan berarti lo bisa minta cerai begitu saja.”
Gue masih mempertahankan manyun yang gue punya.
“Pikirkan ulang untuk hal itu, Rin. Pergunakan waktu dengan baik. Lihat sejauh apa dia berjuang untuk memantaskan diri buat lo. Lo sudah berusaha menjadi istri yang baik buat Kak kiki, sekarang waktunya dia yang harus membuktikan diri.”
“Kalau nyatanya dia enggak mampu? Bikin gue kecewa lagi? Sama aja gue sia-siakan waktu dan hati gue, Mae.”
Eh ... kurang ajarnya Mae senyum ke gue.
“Jujur sama gue, lo cinta sama Kak Kiki, kan? Kalau cinta, masih ada harapan memperbaiki, Rin. Kesempatan kedua itu kadang diperlukan dalam sebuah hubungan. Ini bukan sekadar pertunangan doang, tapi sudah suami istri. Terikat sah. Apalagi sebentar lagi ada anak.”
[NEMO] 62
“Nak, jangan buat Mami seperti ini, ya?” katanya pelan sembari mengusap perut gue. Baru banget gue memuntahkan makan yang memang enggak enak tapi gue paksakan makan ketimbang gue kena infus terus. Gue enggak mau. Sakit rasanya sekarang. Belum lagi gue makin enggak bebas bergerak. Bedrest nyiksa gue juga, ya.
Tapi gue enggak boleh nyerah, kan? Gue harus berusaha untuk menstabilkan kondisi gue demi Utun. Kepala gue agak pening lantaran hanya bisa masuk infus. Oh ... apel yang siang tadi gue makan. Selebihnya? Enggak ada yang bisa masuk dan berakhir—lagi dan lagi—di closet. Gue sampai capek dan pengin nangis tapi kalau ingat Utun, gue berusaha banget untuk menahan diri.
Apa yang Hulk lakukan di perut gue, gue abaikan.
“Masih enggak enak perutnya?” tanyanya pelan. “Mau teh hangat?”
Gue menggeleng atas tawarannya. “Gue mau tidur. Lo pulang aja sana,” usir gue sembari menepis tangannya yang lagi-lagi ingin menyentuh perut gue. yang gue dengar hanya kekehannya saja.
“Abang enggak akan pulang. Di sini temani kamu, Neng.”
Selimut yang tadinya tersibak, kembali gue raih dan menutup sebagian badan gue. memberinya punggung tanpa berkata apa-apa lagi. mungkin karena capek muntah-muntah terus, bikin gue cepat banget ngantuk. Mungkin juga gue seharian ini capek lantaran memikirkan banyak hal yang Mae suarakan untuk gue pertimbangkan setelahnya.
Enggak tau, lah. Yang jelas, enggak berapa lama gue tertidur. Enggak peduli Hulk mau temani gue, kek. Dia milih pulang, kek. Sebebasnya dia aja. gue enggak tau seberapa lama gue terpejam, yang jelas, tidur gue malam ini nyaman dan nyenyak. Enggak ada rasa khawatir berlebih atau pikiran gue yang terlalu penuh sama hal-hal yang enggak bisa gue jangkau.
Gue sendiri enggak tau kenapa adanya rasa nyaman itu. Dan saat gue membuka mata kembali, jam di dinding kamar rawat gue sudah menunjuk pukul tiga dini hari. Gue lirik, Hulk lagi sholat. Khusu’ banget. Kurang ajarnya, mata gue enggak teralih ke mana-mana. Memperhatikan dengan amat semua geraknya.
“Jujur sama gue, lo cinta sama Kak Kiki, kan? Kalau cinta, masih ada harapan memperbaiki, Rin. Kesempatan kedua itu kadang diperlukan dalam sebuah hubungan. Ini bukan sekadar pertunangan doang, tapi sudah suami istri. Terikat sah. Apalagi sebentar lagi ada anak.”
Perkataan Mae kembali memenuhi kepala gue tanpa permisi. Gue enggak menjawab pertanyannya karena enggak punya jawaban yang pasti.
“Gue enggak tau hutang budi model gimana yang dimaksud Abang saat menyinggung si Nisa ini,” kata gue pelan. Rasa apel yang tadinya manis dan segar, berubah jadi hambar. “Gue cuma mau, dia cerita semuanya. All of. Enggak ada yang ditutupi. Kalau gue marah karena cerita yang dia punya, bukannya lebih baik ketimbang dia bohongin gue? Ditutupi begini? Yang bikin gue kecewa banget.”
Mae mengusap bahu gue pelan tanda simpati.
“Dia bilang, sudah cerita semuanya tapi apaan? Buktinya masih bilang kalau dengan Nisa ada hutang budi. Coba lo jadi gue? Hati gue ini enggak setegar kelihatannya. Kayak puyo. Rapuh.”
Dasar punya sahabat yang enggak bisa banget bikin hati gue adem. Satu cubitan cukup kencang diterima lengan gue padahal gue ini lagi bedrest. Bukannya diusap-usap sayang malah dianiaya. Gue protes malah dibilang berlebihan. S!alan, kan, Mae itu?
Hamil tapi tambah sadis.
“Mungkin ... ada sesuatu yang enggak perlu lo tau.” Mae berkata agak hati-hati di sini yang bikin gue melengos.
“Gue istrinya kali. Masa iya gue enggak boleh tau hal itu? Dia tau gue masih cinta sama Hekky.”
Mae ngakak. “Yakin? Bukan cuma bibir doang yang bilang cinta? Kalau cinta sama Hekky, gue yakin banget Hekky sekarang sudah di sini, Rin. Temani lo. Lo, kan, lebay masalah sakit sedikit. pasti sudah laporan sama Hekky minta disayang-sayang.”
Mae dan kata-katanya serta kekurang-ajarannya itu bikin darah gue mendidih mendadak. “Gue enggak gitu, ya!”
Mae malah berdecih sembari mencibir. “Lo lupa? lo itu manjanya kebangetan sama Hekky. Ditutupi pakai kata-kata tajam aja jadi enggak kentara,” sanggahnya telak bikin gue mingkem mendadak.
“Lagian, memang lo cerita sama kak Kiki beberapa kali bertemu Hekky di belakangnya?”
“Ya enggak cerita memang. Tapi pertemuan gue enggak ada apa-apanya. Sebagai bentuk penegasan kalau gue memang sudah bersuami dan yah ... kalau semingguan kemarin, gue agak bersyukur, sih. gGue ditemani. Lo enggak tau aja, dia mirip tukang ojek. Boro-boro banyak ngobrol sama gue. Cuma anter jemput aja. Enggak lebih.”
“Buat lo seperti itu, tapi di mata kak kiki bisa jadi enggak gitu. Sama seperti dia mungkin. gue enggak tau banyak, sih. Tapi enggak ada salahnya, lo coba saling terbuka. Kali ini benar-benar terbuka. Perbaiki diri masing-masing. Yah ... biarpun untuk kali ini, Kak Kiki salah banget. Gue hantam tadi pakai tas aja dia enggak berkutik.”
Gue melongo. “Lo serius?”
“Iya. Kepalanya benjol kali. Gue enggak tanya lagi, tapi dia kesakitan gitu.” Mae nyengir tanpa dosa. Ya Allah, Mae yang gue kenal kalem, enggak banyak bicara, bisanya diam saja kalau merasa disakiti sementara gue yang cuap-cuap dan geram lantaran dia yang enggak banyak gerak gitu, sekarang berubah drastis.
Efek hamil, kah?
Gue rasa, sih, iya. Soalnya berbanding terbalik sama keadaan gue. gue jadi kayak orang yang mundur ke belakang bukannya maju. Aduh ... hormon ibu hamil itu benar-benar bikin jungkir balik, ya, ternyata.
“Neng? Bengong?”
Gue mengerjap heboh. Saking terlarutnya sama obrolan Mae tadi, gue enggak sadar kalau hulk sudah selesai sholatnya. Duduk di samping gue lagi sembari menatap gue lekat-lekat. Benar yang Mae bilang, bagian pipinya ada yang memerah. Juga sudut bibirnya kayak ada yang luka gitu. Bikin gue pengin menyentuhnya.
“Ini kenapa?” tanya gue pelan dan sedikit menarik sentuhan lantaran Hulk meringis sakit.
“Enggak kenapa-napa.”
Gue benci banget dia yang seperti ini. Bikin gue lagi-lagi melengos. Kesal banget dengan tingkahnya yang bikin gue merasa, dia ini memang enggak anggap gue istrinya. Gue rasa, sih, begitu.
“Lho, kenapa, Rin? Ada yang salah?” tanyanya memburu gue agar kembali menatapnya. Tapi enggak, gue enggak mau kembali menantang matanya yang gelap itu. “Neng kenapa? Sesaat tadi, Abang merasa ada Neng di dekat Abang. Tapi sekarang? Neng jauh banget.”
“Bisa enggak, sih, lo bikin gue tenang? Lo bikin gue merasa gue ini istri lo? Atau memang lo memang cuma butuh status gue sebagai istri lo? Dengan mengumbar kata-kata manis di awal hingga lo berhasil nikahin gue? Begitu?”
Dia terperangah. Gelayapan juga. matanya enggak dialihkan ke mana-mana selain menatap gue yang tersengal karena kata-kata barusan, sungguh bikin sesak di hati gue bukannya bebas, malah makin mencekik.
“Maafin Abang.”
Gue sampai bosan dengan semua permintaan maafnya. Kalau Cuma minta maaf, gue bisa. Lakukan kesalahan lagi, minta maaf lagi. Gitu terus sampai jalan kelok sembilan di Sumatera sana, berubah selurus rambut gue ini.
“Neng mau Abang gimana? Abang sudah enggak mau berhubungan dengan mereka lagi. Abang salah. Memang hutang budi enggak harus seperti itu cara balasnya. Taruhan Abang besar banget dan jujur ... Abang takut banget saat melihat darah di malam Abang berantem itu.”
Gue menyimak biarpun mata gue enggak melihat Hulk.
“Abang takut, enggak dikasih kesempatan untuk terus bersama Neng lagi.”
“Kenapa enggak sekalian mati aja, ya, Abang? Jadi nyesal seumur hidup dibawa mati.”
Dia kayak shock banget gue bisa bicara seperti ini. “Kok, gitu? Jahat banget.”
“Lebih jahat juga Abang. Membela orang lain tapi ninggalin Arin sendirian di rumah.”
Dia bungkam. “Makanya, Abang enggak akan berhenti berucap maaf sembari membuktikan ke Neng, Abang kali ini serius dan sudah enggak mau lagi salah meletakkan posisi. Abang salah.”
Dengan penuh kurang ajar, Abang meletakkan kepalanya di paha gue. “Maafin Abang, Neng. Abang terima semua perlakuan Neng yang menjauh asal jangan benar-benar pergi. Abang enggak sanggup.”
“Arin sanggup ngadepin Abang yang enggak tau diri. Kenapa giliran Arin marah, Abang enggak sanggup?”
Dia diam.
“Mumpung Arin berbaik hati, mungkin malaikat yang tadi sholat bareng sama Abang lagi berbisik lembut biar mau mendengar penjelasan mengenai hutang budi yang dimaksud. Kalau Abang enggak bisa jujur juga, Arin enggak tau lagi gimana mesti bersikap.”
Refleks, Hulk angkat wajahnya dan menatap gue tanpa jeda. Senyumnya timbul walau gue tau, dalam sorot matanya sudah berkaca-kaca. Segera, gue ditariknya masuk dalam peluk yang gue tau penuh rindu. Pun kata-kata demikian lirih yang kali ini, mengusik banget hati gue.
“Makasih, Neng. Makasih.”
****
“Dia cuma mau jenguk Arin, bukan mau bawa kabur Arin.” Gue menatap Hulk dengan sinisnya. “Beri masuk. Enak saja dilarang gitu.”
Gue dengar banget, helaan putus asa keluar dari Hulk dan juga sorot matanya enggak percaya kalau gue masih bertemu dengan Hekky. Biar saja. Biar gue puas membalas rasa kecewa dari Abang. Berhubung gue enggak mau menurunkan sorot mata sinis ke arahnya, ia pun mengalah.
Saat Hekky masuk ruang rawat gue, jangan harap ada senyum dari Hulk. Dia dengan seenaknya duduk di samping gue, bikin Hekky enggak mendekat tapi gue rasa dia sendiri memang enggak lebih dari sekadar berdiri di ujung ranjang gue.
Kalau boleh gue luncurkan sebuah pujian, betapa memang Hekky ini pria yang baik, dia memang layak mendapatkannya. Gue selalu berdoa, akan tiba masa di mana Hekky, bisa berbahagia tanpa melihat ke arah gue lagi.
“Hai, Rin,” katanya dengan senyum kecil. Mengabaikan Hulk yang mendengkus mirip kerbau marah. Gue mau tertawa tapi sungguh, gue tahan biar dia paham juga. Saat si Nisa-pret masuk ke ruang rawat Hulk, lalu dengan ramahnya Hulk menyambut, itu yang gue rasa.
Gue pendendam? Yes. Sangat.
“Ibu bilang, kamu pingsan?”
Gue mengangguk saja.
“Tapi kandungannya gimana?”
“Anak dan istri saya sehat, kalau itu yang kamu mau tau.” Ini jawaban dari Hulk. Gue lihat, Hekky melirik ke arahnya dan tersenyum kecil disertai anggukan.
“Syukur lah kalau begitu. Saya khawatir keadaan Arin. apalagi seminggu ini, dia sendirian. Beruntung saya berbaik hati, menemani. Saya enggak tau akan jadi apa kalau istri Anda, pingsan di tempat umum.”
Hulk segera bangkit dari duduk tapi gue tahan. Melihat cekalan tangan gue, dia menggeram kesal banget dan duduk lagi. patuh banget.
“Iya, makasih bantuannya, ya, Mas Hekky. Maaf, merepotkan beberapa hari ini.”
Hekky masih setia sama senyumnya. “Kalau begitu Mas pamit. Jaga sehatnya, Rin. Bahagia kalau lagi hamil, jangan gampang ruwet pikirannya. Kalau enggak bisa berbahagia sama hidup sekarang, sini ... jalan ke arah aku. Enggak akan aku sia-siakan hidup kamu.”
Gue rasa, Hulk enggak tahan. “Maksud Anda apa?” Dia sudah berdiri tepat di depan Hekky.
“Kata-kata saya cukup jelas, kalau Anda gunakan kepala untuk berpikir.” Hekky pun enggak mau kalah dalam bicara. matanya nyalang ke arah Hulk tanpa gentar. “Mas pamit, Rin,” ucapnya sembari melirik sekilas ke arah gue tapi kembali mengimbuhi kata-katanya dengan segera. “Baik banget hati saya masih bisa nahan kepalan tangan ini untuk enggak menghantam Anda.”
Lalu Hekky pergi begitu saja. mengabaikan Hulk yang terlihat memerah menahan amarah.
Gue? Diam saja. Menikmati.
“Ada hal yang seharusnya Abang tau, Neng?” tanya Hulk dengan nada memaksa. Wajahnya masih kaku nan geram bersamaan. Gue? Mau ngakak tapi serius, gue masih bisa tahan. Gue mengedikkan bahu sebagai jawabannya. Pengin tau, dia sampai seperti apa menanggapi ini.
“Neng,” panggilnya lagi. Dan sekarang, Abang benar-benar duduk di samping gue. Matanya menatap gue tanpa ragu. “Semalam Abang sudah jujur semuanya. Semuanya tanpa ada yang ditutupi. Sekarang Abang juga mau Neng jujur.”
“Jujur dalam hal apa? Yang Hekky bilang itu kejujuran, kok.”
Dia mengusap wajahnya dengan nada frustrasi. Kentara banget soalnya. “Berapa kali Neng bertemu Hekky?”
Gue sok berpikir sejenak. “Mungkin semingguan kemarin.”
“Ya Allah,” desah Abang pelan. Keningnya sengaja ia jatuhnya persis di bantal yang gue kenakan dalam posisi setengah rebah ini.
“Kenapa pakai sebut nama Allah segala?”
“Kenapa harus bertemu Hekky, sih? memangnya ada keperluan apa? kenapa Abang enggak tau?”
Gue berdecih pelan. “Tolong ditanya sama kegiatan Abang semingguan kemarin. Ngapain aja selain pemulihan? Tanya kondisi Arin enggak? Yang Hekky bilang benar, lho. Arin hampir pingsan di tempat umum. Muntah-muntah hebat. Karena itu Hekky nawarin bantuan antar jemput Arin ke kantor. Ibu setuju. Abis ... punya suami tapi mentingin orang lain gitu.”
Gue dengar dia menggeram lagi. Kenapa coba? Hobi banget menggeram, biar dibilang apa? Sangar? Nyeremin? Enggak takut gue, sih.
“Seharusnya Abang bilang makasih karena Hekky jagain Arin. Dia enggak lebih seperti seorang kawan baik yang tau posisi.”
“Tapi ngeliat wajah Hekky tadi, Abang enggak merasa seperti itu. Dia seperti berharap banget sama Neng.”
Gue menoleh ke arahnya yang kini dekat banget sama gue. Embus napasnya aja sudah menyapa wajah gue tanpa ragu.
“Kalau dia berharap, itu urusan hati dia. Bukan Neng. Neng enggak bisa melarang mengenai hati seseorang. Yang jelas, hati Arin bukan untuk Hekky lagi. hati Arin ya ... milik Arin. Mutlak.”
“Milik Abang, kan?” tanyanya dengan satu cengiran konyol yang sudah lama enggak gue lihat.
“Bukan. Percaya diri banget. Apalagi setelah apa yang Abang lakukan? Hati Arin mahal harganya. Arin bisa aja mendepak Abang dengan segera.”
Matanya memejam cepat, “Jangan gitu. Abang sudah jelaskan, kan?”
“Tapi, kan, belum dimaafkan.”
“Enggak apa. Abang enggak masalah. Setiap hari, Abang terus menerus minta maaf pun rela. Asal jangan bergerak menjauh dari Abang, ya.” Hulk perlahan merapikan surai gue yang agak berantakan. “Abang mohon hal itu saja.”
Gue masih belum mau merespon pintanya. Walau semalam ia menjelaskan dengan sejelas-jelasnya, buat gue, enggak mudah untuk kembali memberinya percaya. Mungkin, permohonan maafnya sudah mulai mengusik tapi tetap saja, kecewa itu ada.
“Perkara hutang budi, di saat Abang baru merintis. Nisa, terutama. Banyak menyokong dukungan baik material juga waktu. Dukungannya saat itu, bikin Abang terus bangkit dan yah ... hingga ada di titik satu tahun lalu. Juga keluarga besar mereka, Neng. Biarpun Abang sudah enggak berhubungan lagi, tapi dengan keluarga Nisa, hubungan kami tetap baik.”
Gue masih ingat semua penjelasan Abang.
“Belum lagi saat Abang ada masalah. Mama dan bapak enggak tau. Biar tenang di Jakarta. Abang yang repot enggak apa. Mungkin itu juga yang membuat Abang enggak tega saat tau, suami Nisa seperti itu. Belum lagi Tante Kiki cerita panjang lebar mengenai suami Nisa. Bikin Abang kalap.”
Tangan gue terkepal kuat banget. Beruntung kuku gue enggak panjang dan enggak sampai melukai telapak tangan.
“Abang lupa ... kalau Abang punya prioritas. Abang benar-benar mirip orang bodoh saat itu. Abang salah, Neng. Salah banget. Maaf.”
“Kalau Arin enggak mau memaafkan Abang seumur hidup, gimana?”
Abang mendongak dari kepalanya yang sudah ia rebahkan di samping gue semalam. Saat ia berkisah mengenai hutang budi yang gue tanyakan itu. Matanya tampak putus asa dan pada akhirnya ia mengangguk pelan.
“Enggak apa. Asal Neng jangan bergerak menjauh dari Abang. Anggap saja ... itu hukuman yang Abang layak dapatkan.”
[NEMO] 63
Welcome, home!!!
Gue senang banget akhirnya bisa pulang, diperbolehkan pulang setelah dokter benar-benar memastikan gue bisa kembali aktifitas di rumah. Untuk masalah kerja, belum boleh. Referensi dokter, masih butuh isitrahat di rumah seminggu lagi. Kandungan gue memang enggak bermasalah tapi menjaga lebih baik.
Mungkin, karena beban pikiran gue yang terlalu banyak makanya gue drop terus.
Saat dokter menjelaskan hal itu, bisa gue lihat Hulk makin menunduk bersalah. Genggam tangannya ke gue diperketat seolah tanpa kata dia mau bilang, enggak akan melakukan hal itu lagi. Gue, sih, enggak banyak ucap dan minta dia berjanji. Sudah malas mendengar janjinya.
Saat gue tiba, sudah ada Mama di rumah. Gue tanya keberadaan Bapak, katanya pulang dulu ke Bandung ada urusan tapi bakalan segera ke sini. Gue, sih, senang saja. Mereka semua sayang sama gue. Beda sama hulk, bibir bilang sayang kelakuannya minus total.
Eh ... gue sudah berjanji belajar memaafkan, sih, ya. Enggak boleh punya pikiran aneh lagi. Di hari terakhir gue ada di rumah sakit, gue merenung sejenak. Semua yang sudah terjadi di hidup gue, enggak mungkin enggak ada yang bisa gue ambil hikmahnya, kan?
Melihat Hulk yang sama sekali enggak menurunkan kadar perhatiannya, juga banyaknya info yang ia beri selama menjalankan toko—Ini sudah beres. Serius. Enggak sampai seminggu, paket sisaan dari Makasar tiba di ruko baru yang disewa itu. Semua list pesanan barang baru, sudah mulai Hulk order di langganannya. Yang hamdalah banget, berpusat di Jakarta.
Tuh, kalau niat pasti beres. Gue sempat menyindir akan hal itu, sih. Dia bilang, “Bukan enggak niat, tapi masih bingung teknisnya karena Abang mau satu toko tetap berdiri, Neng. Abang enggak tau peruntungan di Jakarta gimana tapi paling enggak, ada satu toko yang bisa dijadikan cadangan.”
Gue paham akan hal itu.
“Tapi karena kejadian ini, Abang enggak masalah semuanya serba baru. Dari pada Neng pergi ninggalin Abang.”
Kembali, bibir gue mencibir. Sejak gue jadi istri Rasyid, makin pandai lah bibir gue mencibir atau sinis bersuara. “Takut tapi melakukan salah.”
Dia terkekeh, menyisir rambut gue yang baru saja dicuci. Enggak ada hair dryer, Hulk lupa bawa padahal kalau rambut gue enggak dikeringkan, lama banget basahnya. Enggak enak.
“Tapi, Neng, Abang serius enggak bisa tinggal di sana, ya. Kita kontrak rumah dekat ruko saja, ya. kan enggak terlalu jauh juga dari rumah Ibu. ibu bisa setiap hari berkunjung ke rumah jaga Neng. Kalau pulang nanti Abang antar. Teknisnya bisa berjalan lah nanti.”
Kening gue berkerut. “Kenapa memang enggak bisa tinggal di ruko?”
Senyum manis dari Hulk muncul juga, tapi belum sampai bikin gue merona seperti dulu lagi. Gue masih datar bersikap padanya. Masih bagus tata bahasa gue sudah sopan sekarang, enggak dengan nada tinggi dan ber-gue-lo lagi. Gue sadar, itu keterlaluan.
“Biar kerja ... difokuskan kerja. Dan rumah, dijadikan tempat pulang. Di mana ada Neng yang menyambut Abang pulang.”
“Asal kerja benar aja, Bang. Bukan modusin orang lain.”
Lagi-lagi dia terkekeh, kali ini geli banget bikin gue keki mendadak. “Cemburu Neng sadisnya sampai ke tulang. Enggak sanggup Abang handle.” Lalu setelah selesai menyisir rambut gue, dia mengarahkan apel. Bertanya dengan isyarat apa gue mau atau enggak. Gue jawab dengan anggukan kecil. entah kenapa apel buat gue sekarang semacam penangkal mual.
Apalagi kalau sudah dikupas. Enak banget.
“Memang sudah dapat rumah sewanya?” Gue comot dengan enggak sabar apel kupas tadi, mengunyahnya cepat karena enak banget rasanya di mulut.
“Sudah. Dua hari lalu Abang cek sama Ayah dan beliau beri izin. Tapi belum diisi apa-apa. Besok kalau sudah di rumah, Abang sama Bapak urus untuk isi rumahnya. Sementara sederhana dulu enggak apa, kan?”
Gerak gue mengunyah, gue perlambat. “Kapan, sih, Arin menyatakan keberatan?”
Sesaat, gue merasa Abang kembali menunduk tapi lantas memeluk gue demikian erat. “Enggak kurang-kurang Abang minta maaf atas hal ini.”
Gue belum seratus persen melupakan hal itu, sih. Buktinya, gue masih sering menyindirnya dengan telak.
“Semua setuju sama keputusan Abang untuk sewa rumah di dekat ruko. Mengingat ruko itu belum tentu baik kalau ada bayi nantinya.”
“Besar rumahnya?” Gue cukup penasaran mengenai keadaan rumah yang mau gue tempati itu. Abang justeru mengangsur ponselnya yang kini enggak pernah jauh dari gue. Iya. Dia bilang, gue diberi akses penuh untuk mengacak ponselnya. Banyak pesan masuk dari Dini juga Nisa awalnya, tapi sejak gue kirim satu pesan panjang, sudah enggak ada lagi pesan masuk dari mereka.
Enak aja. Dipikir suami gue apaan? Pesuruh?
Gue enggak peduli dengan ancaman kalau Nisa mau susul Abang ke jakarta. Dia punya kewajiban lain. Jadi istri orang, kan? Kenapa malah pengin menemui Abang terus? Itu mengganggu kami, kan? Abang juga sudah tegas banget, gue rasa. Mereka aja yang sepertinya belum mau menerima kenyataan. Mungkin.
Di dalam galeri ponsel Abang, foto-foto rumah itu ada. Tiap ruang dia foto hingga ke toiletnya. Rumahnya memang enggak besar, hanya ada satu kamar dan pekarangannya kecil. Hanya bisa dimasuki motor satu. Enggak masalah, sih, buat gue. Yang terpenting nyaman.
“Enggak, sih. Biasa aja. Enggak masalah, kan sementara waktu? Tunggu sampai uang Abang cukup untuk membeli rumah sendiri?”
Sudut bibir gue tertarik kecil. “Enggak apa. Asal nyaman.”
“InsyaAllah nyaman.”
Kami diam sesaat sebelum gue berkata yang masih mengganjal di hati. Sebenarnya lebih untuk memberi penegasan, sih. “Artinya, kita tinggal berdua, ya? Bertiga soon to be?”
Hulk menatap gue dengan pandangan sangsi. “Maksudnya? Iya lah kita tinggal bertiga nantinya.” Dia kembali menggenggam tangan gue erat. “Kenapa? Ada yang Neng takutkan?”
“Khawatir dan takutnya Arin itu besar banget, Bang.” Gue enggak alihkan ke mana-mana dari netranya. Biar dia juga tau, apa yang sudah ia rusak belum tentu bisa kembali normal. Ibarat retakan dalam kaca, selalu akan berbekas sampai kapan pun. “Karena Abang yang merusak duluan. Kecewa yang Arin punya, enggak gampang untuk bisa diterima seperti semula. Kayak ... bikin ketakutan terus menerus, Bang.”
“Enggak apa. Abang sabar dan terus berusaha meyakinkan, kalau khawatirnya Neng bisa habis di angka nol.”
Gue hanya mengamini dalam hati. Kembali melanjutkan kunyahan apel yang tertunda tadi. Mengawasi dari sudut mata, saat pria itu mulai merapikan barang-barang gue selama di sini. Jangan sampai ada yang tertinggal juga urusan dengan bagian administrasi. Gue memang gunakan asuransi dari kantor, tapi tetap saja mungkin timbul biaya lain. Saat gue tanya, Hulk hanya beri cengiran kecil sembari mengusap rambut gue.
“Arin sekarang hobi melamun, ya?” tegur Mama pelan sembari membawakan gue teh hangat. Coba? Nikmat mana yang gue dustakan, ya Allah. Semua orang di rumah ini sayang sama gue, gue bisa merasakan itu. gue enggak kurang kasih sayang dari kedua orang tua gue juga mertua gue. enggak ada yang bersikap seolah kehamilan gue ini adalah bentuk manja. Enggak.
Gue benar-benar diperhatikan dengan amat. Bikin gue semangat untuk enggak terus menerus sedih dan kepikiran akan kesalahan yang pernah Hulk buat.
“Enggak, kok, Ma. Kangen sama ikan.”
Mama tertawa. “Setelah semingguan ini malah kangennya sama ikan, ya, Rin.”
Gue terkekeh. “Gimana, ya, Ma. Teman Arin yang paling setia soalnya.” Tapi itu kejujuran memang. Beberapa kali gue memastikan ke Ibu biar enggak lupa perkara pangan ke ikan. Jangan sampai ada yang mengambang mati saat gue pulang nanti. Ibu berulang kali berdecak kesal, katanya malah ingat ikan bukan kesehatan.
Di dekat akuarium, gue duduk sembari menikmati semua peliharaan yang gue rawat ini. Berenang sesuka hati dan gue jadi sedih andai nanti gue benar-benar pindah ke rumah yang Abang bilang itu.
“Rin.”
Saat gue menoleh, Mama ternyata menyusul gue ke sini. Gue rasa ada yang mau beliau bicarakan. Buktinya dia langsung duduk di depan gue.
“Mama mau bicara.”
Nah, benar tebakan gue, kan? “Ya, Ma?”
“Kurang lebih, Mama sudah tau perkembangan hubungan kalian.”
Oh, Hulk pasti laporan.
“Dan Mama bersyukur kamu mau melunak untuk Rasyid. Memberi kesempatan untukd ia buktikan kalau kamu memang harus didahului ketimbang urusan lainnya. Memberi maaf karena salahnya.” Mama menggenggam tangan gue dengan lembutnya. Binar matanya penuh syukur gue rasa. Gue sendiri enggak tau jadinya harus merespon bagaimana.
Soalnya, gue belum benar-benar maafin anaknya, sih. eh ... suami gue lebih tepatnya.
Gue tau, kata-kata gue saat itu keterlaluan banget. Sadar, kok. Itu seharusnya enggak terucap dengan gampangnya. Habis mau gimana lagi? Gue emosi banget. Tumpukan dari segala hal yang bikin sesak dada gue bergumul jadi satu. Akumulasi dari semuanya terbentuk lah kata itu demikian sempurna banget, kan, meluncur?
Tapi gue juga enggak gampang memaafkan.
Gue biarkan mengalir apa adanya saja. sembari memperhatikan dengan sangat, Hulk ini benarbenar mau berubah atau sekali lagi, cuma bibirnya doang yang manis?
Bukan apa. Senyum Mama, tawa Ibu, doa Ayah, dan enggak lupa juga, Bapak yang kadang seru banget bercerita tentang hobi mancingnya itu, taruhannya. Kalau gue berpisah dari Hulk, semua itu enggak gue rasakan lagi. Mungkin bisa tapi bakalan beda rasanya.
Dan ... lagi-lagi gue kalah sama semuanya. Demi mereka, sekali lagi, gue biarkan Hulk ada di samping gue. Hanya satu doa gue sama Allah, kalau memang Hulk ini kembali jahat sama gue, tolong dengan cara-Nya bikin dia pergi dari gue. terserah caranya mau gimana gue enggak peduli.
“Mama enggak segan marahin Rasyid juga Bapak. Kami kecewa banget anak Mama seperti itu ke Arin.”
Gue tersenyum saja. bagus lah. enggak membela anaknya sendiri.
“Padahal dia sendiri yang ngotot pengin cepat nikah sama Arin saat tau, Arin sudah putus dari pacarnya.”
Kening gue berkerut. “Bukannya karena Mama dan Ibu, ya? Jodohin kami berdua?”
Eh ... si Mama malah terkikik sampai matanya sipit gitu. Bikin gue penasaran banget maksudnya apa. karena yang gue dengar enggak seperti itu, lho.
“Memang Arin lupa, ya, siapa Rasyid?”
Punggung gue menegak mendadak. “Memang kita pernah saling kenal, ya, Ma?”
Bukannya dijawab, Mama malah mengusap lembut rambut gue. “Nah, pas banget ada orangnya. Jelasin, Rasyid.”
Gue menoleh dan mendapati Hulk berjalan mendekat ke arah kami. Ia menatap gue bingung karena pertanyaan dari ibunya itu.
“Jelasin apa?” tanyanya yang sekarang mengambil duduk tepat di samping gue. Jus strawberry yang gue pengin banget sudah ia angsur dan sumpah ... menggugah banget liur gue buat turun. gue sampai membasahi bibir berulang kali melihat gelas yang Hulk beri.
“Kamu enggak bilang sama Arin kalau kalian itu kenal sejak kecil?”
Gue sukses tersedak. Sampai perih banget tenggorokan, mata, dan hidung gue saking kagetnya. “Apa?”
[NEMO] 64
Kilas memori masa kecil gue enggak terlalu bagus sebenarnya. Perkara teman kecil gue saja yang gue ingat cuma satu. Bukan apa, sepertinya setting kepala gue ini kalau yang enggak penting enggak bakalan gue ingat. Dan ... foto lama yang Ibu simpan di album yang ditaruh paling tinggi di buffet depan, bukti kalau gue ternyata pernah bertemu dengan Abang.
Dulu.
Saat gue mengenakan seragam putih merah, tepat kelas satu atau dua SD. Gue aja lupa.
Di foto itu, gue nyengir lebar banget. Manis tapi sorot mata gue tajam banget. Jadi, senyum pun kayak mengerikan gitu. oke, gue becanda. Di foto itu gue manis banget. Rambut panjang gue dikuncir dua, mengenakan jepit kupu-kupu di samping kanan dan kirinya. Dress kotak-kotak sebatas lutut dengan mengenakan sepatu pantofel hitam lengkap dengan kaus kaki berenda sebagai pelengkap yang paling manis.
Yang gue ingat, baju itu baju kesayangan gue dan masih gue simpan hingga kini. Dulu, kalau gue pakai dress itu, merasa sudah cantik sekomplek. Apalagi kalau Ibu dandani gue dengan banyak pernak pernik. Saat kecil gue menyukai hal-hal lucu seperti itu, beranjak remaja, gue merasa repot banget kalau terus mengenakan pernak pernik gitu.
Di sebelah gue, berdiri sosok cowok berperawakan kurus dan lebih pendek dari gue. Sumpah. Kecil, kurus, dan terlihat enggak punya gairah hidup. Gue sontak tertawa mengamati foto itu.
“Kamu ... engak takut jatuh?” tanyanya yang bikin gue melotot.
“Eh ... sana pergi! Jangan intip-intip!”
“Saya enggak ngintip apa-apa. saya cuma khawatir kamu jatuh.”
Gue mencibir, mengangkat sedikit rok gue yang nyangkut di ujung pagar. “Sudah ah. Jangan bilang ibu aku, ya.”
Hap! Gue mendarat mulus seperti biasanya. Segera kaki kecil gue berlari ke tempat tujuan gue, rumah Riri. Dia bilang, ada film Barbie baru.
Gue mengerjap dengan memori yang baru saja melintas. Iya. Gue ingat sekarang. Pada sosok cowok kurus itu. Nanta. Kadang Nanta dan ibunya datang berkunjung. Ibu bilang rumahnya masih di Bandung juga tapi mereka sekeluarga sering ke luar kota. Berhubung dia cowok, yang dunianya beda sama gue si pecinta Barbie, gue enggak mau temanan sama dia.
Ibu bilang, usia Nanta lebih tua dibanding gue dan mengharuskan memanggilnya Abang. Gue, sih, nurut aja. yang penting gue enggak temani dia main robot atau mobilan. Ogah!
Tapi satu hal yang paling gue ingat sekarang, saat gue nangis guling-guling. Obel di samping gue sudah kaku saat itu. Kenapa bisa gue lupa di bagian ini, ya? Apa karena terlalu fokus pada Obel?
“Kenapa kucingnya?”
“Enggak tau! Dia kelojotan gitu! gimana ini? Obel...,” raung gue. enggak peduli seragam gue kotor karena tindakan ini. serius, deh. sedih banget lihat Obel begini.
“jangan nangis. Abang sudah lihat kayaknya Obel sudah meninggal.”
Raungan gue terhenti saat itu juga. mata gue yang sudah buram karena air mata, menatapnya tanpa putus. “Meninggal itu ... mati, kan?”
Dia mengangguk tanpa ragu. Dan kembali, raungan gue makin jadi.
“Harusnya aku enggak main ke rumah Riri!” teriak gue dengan isakan yang bikin heboh gue rasa tapi berhubung saat itu sepi, enggak ada yang dengan gue nangis. Sejak pagi, si Nanta ini memang ada di rumah. katanya lagi sakit dan ibunya harus kerja jadi dititipkan ke rumah. gue, sih, enggak terlalu peduli yang penting dia enggak jahatin gue.
“Sudah, jangan nangis,” katanya sembari jongkok di dekat gue. Obel dia bawa untuk gue peluk dengan hati-hati banget. “Kalau saja saya tau kucing kamu kesakitan, pasti sudah saya obati.”
“Memang tau obatnya?” tanya gue sesegukan.
“Kalau jadi dokter hewan mungkin tau.”
Mata gue menatapnya lama. Bola mata Nanta itu bagus. Bulat dan hitam tanpa cacat. “Ya udah Abang aja jadi dokter hewan. Biar Obel enggak sakit lagi atau meninggal.”
Dia tersenyum. “Oke. Cita-cita saya, saya ganti. Biar kamu enggak nangis lagi.”
Air mata gue masih turun tapi mata gue masih menatapnya. “Memang cita-cita kamu sebelumnya apa?”
“Tentara. Tapi buat kamu, saya jadi dokter hewan.” Dia usap kepala gue lembut banget. “Sudah jangan nangis. Panggil Mbak kamu. Kuburin si Obel.” Lalu dia bangkit dari setengah jongkoknya itu.
“Eh, kamu mau ke mana?”
“Pulang. Sudah dijemput.”
Setelahnya, gue enggak pernah bertemu anak kurus itu lagi. Sama sekali. Gue juga enggak pernah bertanya mungkin karena gue enggak dekat dengannya. Dan saat gue dipertemukan kembali, di depan gerbang rumah gue, di mana hari itu adalah hari pertemuan gue kembali dengannya.
Dan sosok kurus itu berganti seperti Hulk. Hanya satu yang enggak berubah, kalau ingatan gue enggak salah juga; sorot matanya. Sehitam jelaga tapi bulat dan bertambah tegas.
“Enggak sangka kalau ini Abang,” kata gue pelan. Mata gue enggak teralih ke mana-mana selain pada potret lama itu sementara Hulk? Cuam cengar cengir doang seperti ketahuan entah karena apa.
“Kenapa Abang enggak bilang kalau kita dulunya saling kenal?”
Dia menggaruk kepalanya gue rasa karena gugup yang melanda. “Yah ... abis respon Neng di awal bikin Abang ngelus d*da mulu. Ketusnya enggak udah-udah.”
Gue terkekeh. “Iya, sih.” tapi ada satu hal yang menggelitik gue dari ingatan ini mengenai sosok Nanta yang ternyata Rasyid Ananta, suami gue ini. “Dan ... kenapa Abang benar-benar menjadikan cita-cita itu kenyataan?”
Matanya yang sejak tadi menatap gue, segera dialihkan begitu saja. pun deham kecil yang gue merasa ... Hulk lagi gugup? Di situasi ini? Kenapa coba? Kayak remaja yang ketauan lagi naksir gadisnya dan memperhatikan gadis incarannya terang-terangan. Serius.
“Abang,” desak gue dengan segera yang membuatnya kembali menatap gue walau masih enggan bersitatap lama.
“Yah ... Abang pikir, biar kamu enggak nangis dan paling enggak, kalau kamu punya hewan peliharaan lagi, Abang bisa bantu kalau ada apa-apa. enggak perlu sampai nangis histeris gitu,” katanya pelan.
“Tapi, Bang, asal tau aja. sejak Arin kehilangan Obel, Arin enggak mau pelihara kucing lagi. takut. Trauma gitu.” Gue kembali menekuri foto yang masih setia gue pegang. “Takut banget kalau nanti enggak bisa ngurus dan berakhir seperti Obel.”
Yang gue rasakan selanjutnya, kepala gue diusap lembut. Lalu ia labuhkan juga satu kecup kecil yang sangat singat.
“Enggak perlu takut. Nanti kalau sudah bisa pelihara kucing lagi, Neng boleh pelihara. Mau yang seperti apa? kalau ada apa-apa, kan, ada Abang yang bisa merawat.”
Senyum gue perlahan timbul dan rasanya ada kebahagiaan tersendiri yang menyusup tanpa ragu. “Benar boleh?”
“Kenapa enggak?”
“Takut,” cicit gue pelan. Serius, sih, ini. Punya peliharaan kalau tiba-tiba mati karena sebab tertentu rasanya sesak banget. Kayak ... gue enggak bisa menjaga dia gitu.
“Enggak usah takut. Ada Abang.”
Kami bersemuka pada akhirnya. Mengisi waktu yang tercipta di kamar gue ini. Sorot matanya, terlalu jelas mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Banyak permohonan di sana biar gue kembali percaya. Pada semua tingkah juga sikap serta segala eksistensinya dalam hidup gue.
“Apa ... kira-kira Abang bisa Neng percaya lagi?” tanya gue dengan penuh gemetar. Bukan hanya suara gue, pun tangan gue yang terulur menyentuh rahangnya yang cukup kasar. Gue tau, dia belum shaving. Penuh hati-hati, gue susuri rahangnya yang tegas itu. Menikmati sensasi berbeda yang gue rasakan di indera perasa yang ada di telapak tangan gue ini.
“Abang enggak mau lagi berjanji, Neng. Ucapan Neng benar. Abang takut, Abang lagi-lagi ingkar. Bikin Neng sakit hati dan kecewa. Abang tau, salah Abang masih menggunung di hati Neng. Enggak apa. Abang enggak akan lelah berkata maaf.” Tangan gue yang masih setia di rahangnya, ia balas dengan menahannya agar tetap berada di sana.
“Tapi Abang pengin banget, ini keinginan jauh dari lubuk hati Abang, biar Neng memberi kesempatan untuk Abang buktikan, Abang ini bisa dipercaya lagi. Memenuhi semua harapan Neng terhadap arti suami dan ayah buat baby kita.”
Gue lihat ia memejam seolah merasakan tangan gue yang masih setia di bagian wajahnya.
“Sejak pertama kali Neng tolak main bersama Abang dulu, Neng itu sudah memenuhi hati Abang. Berjuang memenuhi kata-kata Abang dulu menjadi seorang dokter hewan biar suatu saat nanti, Neng sadar, kalau Abang sejak dulu memang tertarik.”
“Tapi kemarin Abang rusak begitu aja,” keluh gue tanpa ragu.
“Iya. Abang enggak pungkiri salah itu sampai kapanpun. Mau disindir ribuan kali pun, Abang enggak akan berkelit. Pasrah.”
Sudut bibir gue tertarik sedikit. “Kok, gitu?”
“Daripada Abang tau dan lihat sendiri, Neng bisa tertawa sama orang lain. meninggalkan Abang begitu saja.” Dia sontak menggeleng. “Enggak. Enggak. Abang enggak sanggup. Abang lebih sanggup kena sindir ketimbang ditinggalkan.”
“Kalau memang cinta, jangan pernah menyakiti, Bang.”
Dia mengangguk pelan.
Sementara gue, meresapi dalam-dalam serta kembali membuat perhitungan. Pada apa yang ada di depan gue. Pada masa depan gue yang mungkin nantinya akan kami bicarakan. Pada masa lalu yang enggak bisa dihilangkan karena bagian dari hidup.
Dan karenanya juga, gue perlahan mendekat. Memberi satu kecup panjang pada bibirnya. Yang tadinya enggak ada balasan tapi gue lihat, ia melotot kaget karena sikap gue. Enggak berlangsung lama, sih, karena setelahnya dia sambut cium gue. Dengan segenap perasaannya yang bisa jelas gue rasakan dalam tiap kecup, pagut, yang berubah jadi isapan kecil penuh tuntut.
Dalam sekali gerak, Abang menggendong gue. Menjatuhkan gue tepat di tengah ranjang tanpa memutuskan pagut yang kami lakukan. Satu hal yang paling gue suka setiap kali Abang berada di atas gue; ia selalu memastikan, kepala belakang gue nyaman dalam tangannya. Sebelum ia gantikan dengan sempurna dengan bantal empuk agar gue semakin rileks dibuatnya.
“Neng.”
Gue tau banget sorot matanya sudah mengelam mendadak. Gertak tertahannya bisa gue dengar jelas sejak tadi di sela cium yang kami perbuat.
“Neng belum tanya dokter perkara hubungan, ya. Neng cuma cium Abang bukan berarti diperbolehkan sentuh yang lainnya, lho.”
[NEMO] 65
Gue pikir, hidup gue sudah kembali damai. Sudah berlalu sebulan dan Abang—gue ubah lagi panggilan Hulk, pelan-pelan. Anggap saja gue mulai kembali kasih dia apresiasi atas semua hal yang ia lakukan akhir-akhir ini.
Dia lagi sibuk banget sama toko barunya. Gue sesekali ke sana. Oh ... gue juga sudah pindah ke rumah kontrakan dekat ruko. Gue bilang kontrakan karena memang akadnya sewa, kan? Sama kayak ruko itu. Kontrak.
Di rumah, berdua, melakukan semua aktifitas dengan banyak bagian yang Abang kerjakan. Gue enggak boleh terlalu banyak aktifitas, kalau enggak, selain gue harus rela kuping panas dengar dia ceramah, belum lagi dia cerewet banget. Ngadu sana sini. Kan, si@l banget gue. Dimarahi sana sini. ketimbang gue harus menerima semua ocehan panjang kali lebar kali tinggi jadi volume, gue lebih baik nurut. Toh, enak. Duduk di sofa dengan tenang sembari melihat banyak akun shopping online. Membuat list belanja baru yang sekarang jarang banget isinya barang-barang gue, kecuali untuk keperluan baby.
Abang sudah enggak kembali ke Makasar. Sejauh yang gue tau, sudah benar-benar diserahkan pada Rama. Seharusnya masih ada satu hal lagi, tapi karena perkara kemarin, dia nyerah. Enggak mau ambil risiko. Hati kecil gue sendiri enggak menyetujui kalau dia balik lagi ke sana. Lagian, jarak Bandung Jakarta lebih dekat ketimbang Bandung Makasar. Logikanya aja dijalankan, kan?
Gue kembali bekerja memang, diantar jemput Abang pula. Enggak ada sedetik pun dia lewatkan tanpa tau keberadaan dan kabar gue tentu saja. dan yang enggak gue sangka, saat pulang kerja dan mampir ke toko—ini sudah jadi rutinitas gue sekarang. Gue tunggu Abang selesai di toko, baru pulang bersama—ada seseorang yang menunggu.
Nisa.
Abang kaget banget saat tau, ada Nisa di sana. Lagi bicara sok akrab dengan pegawai toko yang baru kami rekrut. Kebetulan anak itu rajin juga dan senang dengan dunia hewan.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Abang tanpa basa basi. Tangan gue sama sekali enggak dilepas genggamannya bukan karena gue takut menghampiri wanita berkerudung itu. Tapi sepertinya, Abang ini sedang menunjukkan kalau dirinya memang dimiliki gue. Gue meyakini hal itu karena saat kami masuk dan melihat ada sosok Nisa, Abang menatap gue dengan pandangan terganggu akan keberadaan dia.
“Tunggu Abang,” katanya dengan senyum yang bikin gue muak. Tapi gue enggak mau menampilkan taring di depannya. Ngapain? Ada saatnya taring gue keluar.
Dan saat dia mendekat ke arah kami, dengan pedenya ia mengulurkan tangan. Seolah meminta agaar gue menjabatnya, berkenalan. “Pasti Arin, kan? Akhirnya bisa bertemu dengan layak setelah dilarang Tante Sofi di rumah sakit.”
“Mau bertemu gue atau suami gue?”
Eh ... dia malah terkekeh gitu. Mirip kuntilanak. “Benar yang Kak Dini bilang, ya. Kamu kasar.” Dan seenaknya, ia malah mendekat pada Abang. Wah ... sakit jiwa. “Masa selera Abang turun jauh gini, sih? Yakin dia istri Abang?”
“Yah ... dalam dunia yang gue tau, kasar itu lebih baik ketimbang lembut tapi penuh bisa.” Gue meliriknya sekilas. “Oiya, Rara. Gimana hari ini?” tanya gue pada staff baru itu. Dia berdiri enggak jauh dari etalase makanan kaleng khusus kucing. Memperhatikan kami dengan penuh takut dan saat gue menyapanya, ia seperti dibebaskan dari cekikan di leher.
“Hari ini oke, Bu. bisa dicek laporannya.”
Gue mengangguk sekilas dan melepas genggaman tangan Abang. “Ah, gue mau cek kerjaan malam ini. Kalian mau bicara berdua? Silakan.”
Abang terperangah dengan sikap gue. sorot matanya dipenuhi tanda tanya yang besar banget sementara di sampingnya, sorot mata penuh kebahagiaan tanpa tau malu itu, nyata terlihat. Ah, sedikit pelajaran itu perlu kayaknya. Gue mendekat ke sisi wajah Abang yang membuatnya refleks menunduk. Satu cium gue beri bukan lagi di pipi—biasanya kalau gue gemas, sambil cium pipi, sekalian gigt rahang Abang. Enak banget bikin dia kesakitan gitu. Seru. Bukan nyiksa, ya. Gemas aja sama bentuk rahangnya. Buktinya dia enggak pernah keberatan, kok. Rara juga. sering banget memergoki gue yang jahil ini—tapi di bibirnya.
“Arin cek kerjaan Rara dulu, ya,” kata gue pelan. “Silakan kalau mau bicara.”
Bisa gue dengar dengan jelas, decih enggak suka dari Nisa. Ih ... seharusnya gue yang enggak suka karena keberadaannya. Dia siapa memang? Pengganggu.
“Ayo, Abang. Nisa belum selesai urusannya dengan Abang,” rengeknya sembari seenaknya menggamit lengan Abang.
Ck! Ck! Ck!
“Saya mau bicara di sini.”
Gue, sih, enggak lihat mereka bagaimana soalnya sudah mendekat pada Rara di meja kasir. Dia sudah siap dengan buku besarnya gitu. yang gue dengar dengan pasti, suara Abang itu penuh tegas. Dan saat gue benar-benar sudah di meja kasir, ternyata Abang enggak jauh dari posisi gue.
“Ra, saya minta tolong close aja tokonya. Ibu biar baca laporan kamu, sementara saya minta tolong pesankan Ibu jeruk hangat, ya. Sekalian makan malam. Kamu juga. Ibu menu biasanya.”
Gue mengerjap pelan.
“Oke, Pak,” kata Rara penuh semangat. Setelah Rara menerima sejumlah uang yang Abang keluarkan dari dompetnya, ia gegas pergi. Meninggalkan kami bertiga di mana si Nisa kembali mendekat pada Abang.
“Ih, aku ke sini mau ajak Abang bicara di luar. Urusan kita belum selesai, Bang.” Nisa kembali menarik Abang tapi segera disentak Abang.
“Urusan apalagi? Semua sudah selesai. Kalau bicara mengenai hutang piutang, sudah diselesaikan sebelum saya ke Jakarta. Butuh apa kamu? Bukti transfer? Saya punya.”
Ehm ... untuk bagian ini Abang memang belum cerita, sih. Dia hanya bicara mengenai hutnag budi selama dirinya membangun usaha. Enggak taunya ada sangkut pautnya dengan uang. Oke, ini agak sensitif. Sensitif banget malahan. Tapi gue sudah bisa menduga ke arah ini, sih.
Gue bisa membaca inti dari pesan-pesan yang sebelumnya masuk, selalu mengarah pada pembicaraan hutang budi juga pengingat, kalau Abang ini bisa disetir semau mereka. Saat mendengar kalau hutang itu sudah terbayarkan, seharusnya sudah selesai permasalahannya, kan?
“Bukan hanya perkara uang, Abang!” Nisa setengah memekik dan netranya mengarah tajam pada kami, lebih tepatnya ke arah Abang. “Abang janji, kalau Nisa sudah selesai urusannya dengan Niko, Abang mau nikahi Nisa. Nisa selalu ingat kata-kata itu, lho! Janji itu hutang, Bang. Lupa?”
Rahang gue hampir jatuh mendengar ucapan yang enggak ada basa basinya itu. di samping gue, si Abang malah asyik mainan sama ponsel! Wah ... ini? Serius? Abang berjanji hal seperti itu? gue sudah enggak tau mesti bagaimana menenangkan gejolak emosi yang mulai naik. Rasanya pengin banget gue cakar muka Abang saat ini juga.
Kebetulan banget, gue sekarang rajin memelihara kuku. Sering gue pulas pakai kuteks warna warni. Cantik aja dilihatnya. Kalau Sapto bilang, gue kurang kerjaan. Setiap kali mau sholat, pasti dihapus. Lalu dipakai lagi seolah, gue enggak punya pekerjaan yang bertumpuk. Padahal enggak ada santai-santainya sama sekali kalau Pak Bos sudah memberi email. Herannya, setelah gue pulas kuteks di tangan, gue selalu tepat waktu mengerjakan dan enggak ada kesalahan.
“Nisa ingat semua yang Abang katakan, lho! Nisa sudah dalam proses cerai dengan Niko. Nisa beruntung banget disadarkan sama Abang tentang Niko dan harusnya dengar kata Kak Dini, kalau Abang dari dulu cinta sama Nisa, kan?”
Tangan gue sudah terkepal kuat banget. Siap banget ini mulut melontarkan kata-kata keji. Dan sepertinya Utun paham banget kalau Maminya ini sedang dalam kondisi emosi parah. Biasanya, kalau sudah di toko, gue selalu minta Abang usap-usap biar enggak terlalu mual. Lalu makan bersama sembari cek laporan Rara sementara anak itu bebenah toko.
Nah kali ini, Utun anteng. Anteng banget malah.
Yang bikin gue tambah geram, Abang sama sekali enggak berkutik dari ponselnya. Kayak yang penting banget matanya ke arah ponsel.
“Mbak? Pakai bismillah ngomong kayak gitu?”
“Eh, saya enggak bicara sama kamu, ya. saya bicara sama Abang.”
Gue menggeram kesal. “Yang lo ajak bicara itu suami gue.”
“Enggak peduli. Yang saya pedulikan, Abang jadi suami saya.”
Gue berdecak kesal dan bersiap menghampiri wanita enggak tau diri ini. Belum juga langkah gue menjauh, sudah ditahan Abang dengan gelengan pelan.
“Nisa, tolong. Hargai diri kamu sendiri. Saya enggak pernah bicara itu. Di sini, di depan istri saya, enggak mungkin saya berbohong. Atau ... perlu saya bicara dengan orang tua kamu? Memberi kabar keberadaan kamu? Om Heri pasti senang kalau tau kamu ada di mana.”
Nisa agak terkejut mendengar apa yang Abang ucapkan. “Ah, aku bilang sama mereka kalau di sini. Bertemu calon suami.”
Calon suami, my ass! Ih ... rasanya pengin banget gue maki-maki perempuan ini! Saking enggak tahannya, gue sedikit mendorong Abang agar menyingkir.
“Lo tau, Nisa? Di mata gue, lo rendah banget.” Gue kini ada di depannya. Menatap nyalang pada wanita yang enggak ada gentarnya sedikit pun. Abang mau mencegah gue tapi gue larang. Enak saja. “Saking rendahnya, sampai enggak punya harga diri begini.” Tepat di depan d*danya, gue tunjuk penuh penekanan.
Gue enggak peduli kalau nantinya dia berkata yang menyakiti hati gue. Mungkin bahas masa lalunya dengan Abang. Tapi sebelum dia bicara, gue lebih dulu menyelanya. “Seorang perempuan itu punya harga diri. Enggak akan mau menerabas milik orang lain apalagi sampai menjadi duri dalam rumah tangga orang lain.”
Sorot matanya enggak terima gitu. “Saya cinta sama Abang. Kamu itu orang lain yang pantas dibilang duri di sini!” katanya dengan nada berapi-api. Dipikir, dia doang yang bisa seperti itu? Dipikir juga, gue bakalan takut gitu? Enggak.
Gue? Mencibirnya telak. “Yah ... kalau lo tuduhkan gue sebagai duri, lo mikir keadaan lo, lah!” Sekilas gue melirik pada Abang yang masih setia di belakang gue. “Lo tau,” Gue berbalik sedikit. “Lo boleh tanya sama suami gue satu hal.”
Dari gestur yang Nisa beri, gue yakin dia tunggu gue melanjutkan bicara. Mukanya mendadak kaku gitu.
“Yang ngejar gue itu ... Abang. Gue enggak pernah mengejar laki-laki selama dua puluh sembilan tahun ini, sih.” Pelan, gue susuri wajah Abang yang enggak mengalihkan tatapannya ke arah lain. Gue bawa wajahnya mendekat dan dia nurut aja.
“Beda sama lo. Yang jelas sudah beda kasta sama gue yang lo bilang kasar ini. Mungkin lo lembut dan ayu, mungkin. Gue enggak tau. Tapi sayangnya, yang kasar lebih menantang ketimbang yang lembut.” Sekali lagi gue kecup pipi Abang. “Iya, kan, Bang?”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
