[not] FINDING NEMO. [Bab 46 - 50]

1
0
Deskripsi

PART GRATIS SAMPAI TAMAT

[NEMO] 46

Berulang kali gue mengusap ujung hidung dengan aroma minyak kayu putih. Kepala gue pening mendadak padahal seharian ini makan enggak telat. Abang batalin semua booking hotel dekat tepi pantai karena kondisi gue makin lemas sejak muntah-muntah tadi. 

Entah karena sea food atau pengaruh perut gue yang habis jungkir balik naik wahana atau juga karena angin yang terlalu kencang. Gue enggak tau. Yang jelas, setelah gue makan sea food yang enak itu, perut gue bergejolak parah. Padahal jeda antara gue makan dengan disudahinya petualangan gue seru-seruan sama Abang itu cukup lama. Gue sampai kebingungan sendiri jadinya.

Apalagi Abang.

Mukanya panik banget saat gue enggak bolik-balik dari toilet dan begitu melihat gue setengah jongkok di kloset, dia langsung membantu gue memijat tengkuk dengan pelan. Lumayan bikin gue sedikit lebih lega. Agak lama gue duduk dengan kondisi lemas juga pening yang tau-tau mendera. Bikin gue enggak punya selera makan sedikit pun padahal lapar. 

“Kalau ngantuk, Neng tidur saja,” kata Abang yang masih fokus mengendalikan kemudi. Cukup lenggang jalan Jakarta malam minggu ini.

“Pengin minum jeruk anget.” Gue sedikit menegakkan punggung. “Masih lama enggak keluar tolnya?”

Abang tersenyum kecil. “Sabar, ya, sebentar lagi kita keluar tol. Mau sekalian makan? Tadi Neng baru makan sedikit.”

Gelengan gue beri sebagai jawaban. “Takut muntah lagi.” Gue usap pelan perut gue yang masih sedikit enggak nyaman. “Masuk angin kayaknya.”

Usapan lembut gue terima di kepala. “Terlalu seru mainannya, ya? Ke dokter, ya?”

“Enggak mau. Butuh tidur aja.” Sejak awal Abang mengusulkan gue untuk berkunjung ke klinik terdekat tapi gue menolak. Yakin gue masuk angin biasa enggak perlu terlalu berlebih. Apalagi gue habis main seru parah gitu. Bisa jadi memang kondisi tubuh gue kaget juga dengan aktifitas yang tadi gue lakukan.

Gue dengar Abang menghela napas pelan. “Oke.”

Selebihnya gue memilih memejam sejenak biar enggak terlalu terasa perjalanannya sembari sesekali menghidu aroma kayu putih. kadang usapan lembut penuh sayang itu gue terima dari Abang. 

“Oiya, Abang lama di Makasar?”

Mobil Ayah mulai memasuki gerbang tol keluar, pikiran gue sudah mulai dipenuhi enaknya jeruk anget. 

“Belum tau, sih.”

“Kenapa Abang enggak percayakan pengelolaan toko sama Rama? Abang percaya sama Rama, kan?” tanya gue penasaran. Abang bilang, Rama ini orang yang paling bisa diandalkan di toko. Semua jenis barang dia hapal dan tau fungsinya dengan benar. Banyak pelanggan yang suka dengan referensi yang Rama berikan kalau mengenai makanan serta ragam obat yang bisa diberikan pada hewan peliharaan.

Sesuai dengan referensi Abang tentu saja. 

“Abang rencananya juga seperti itu. Mungkin bulan depan. Untuk dua atau tiga minggu ini Abang serah terima dulu. Nanti laporannya biar Rama enggak terlalu pusing juga. Harus ada yang bantu karena toko enggak cuma satu, Neng.”

Gue mengangguk paham.

“Neng enggak perlu khawatir mengenai Dini. Abang bisa pastikan itu, kok,” katanya sembari tersenyum kecil. “Abang tadi sudah jelaskan, kan? Apa ada yang masih mau Neng ketahui lagi?”

Sebagai jawaban, gue menggeleng. “Tadi jelas, kok. Asal enggak main-main sama kepercayaan Neng aja.”

Sekali lagi, gue coba untuk percaya. Karena dirinya juga berjanji enggak akan sembarangan lagi dengan ponsel. Mengesankan segampang itu, ya, gue? enggak juga. gue Cuma enggak kepengin capek dengan pemikiran buruk. 

“Rama sudah peringati Abang mengenai Dini. Abang pikir, hanya sebatas seperti itu saja ternyata benar-benar di luar dugaan banget. Abang kesal, jelas. Tapi kalau semakin abang ladeni, perempuan seperti itu bikin makin jadi. Kalau abang abaikan, hanya sebatas hubungan kerja saja, Abang rasa itu sudah paling aman. Toh, Abang cuma tinggal sekali ini bertemu juga bersama Rama,” jelasnya tadi saat kami menunggu pesanan datang.

Tatapan gue sama sekali enggak teralih dari mana-mana, mencari kebohongan atau alasan yang sedang Abang buat mungkin selama menjelaskan sama gue perkara telepon dari cewek aneh itu. Tapi enggak ada. Dirinya berkata dengan mantap dan membuat gue pada akhirnya menyerah memberi penilaian buruk pada Abang. Gue rasa memang Dini ini yang bermasalah. 

Gue takut? Jelas itu ada. Selama tiga minggu ke depan, Abang enggak ada di samping gue. Enggak nyata banget di depan gue. Ketar ketir itu muncul seiring dengan telepon tadi. Tapi tanggapan Abang yang ketus dan dingin bikin gue percaya, kalau Abang memang enggak macam-macam.

“Arin bukan orang yang gampang memberi maaf, Bang. Apalagi dengan hal yang sama. jadi ... Abang bisa menilai diri sendiri harus bersikap seperti apa ke Arin. karena Arin pribadi bisa jamin, Arin bukan orang yang sembarangan bertegur sapa.”

Abang menangkup wajah gue, menatap penuh lekat sembari bibirnya tersungging satu senyum manis. Berhubung pembicaraan ini agak-agak sensitif membawa hal yang kemarin terjadi, gue enggak merona. Atau berdegup selayaknya gue melihat senyum itu ada di wajah Abang. Gue suka caranya tersenyum kali ini. Manis banget. Tapi sungguh, untuk kali ini gue mengabaikan senyum itu.

Netra gue serius menatapnya karena ini bukan perkara main-main.

“Iya, Abang ngerti. Makasih sudah kembali beri Abang percaya. Enggak akan Abang sia-sia.”

Gue mengangguk saja.

“Arin melamun?” tanyanya pelan. bikin gue terkesiap karena memang enggak menyadari kalau pikiran gue ternyata sedang mengingat percakapan kami yang belum genap seharian berlalu tadi. 

“Inget tentang Dini tadi,” kata gue tanpa berusaha menutupi.

Abang berdeham sekilas, buat gue menoleh ke arahnya.

“Kemarin ada, sih, satu referensi ruko di daerah Pondok Indah. Neng mau cek besok?”

Kening gue berkerut. Kenapa jadi teralih pada ruko, ya? Pikiran gue masih ke Din-din itu, lho. Abang aneh banget. Mau mengalihkan pembicaraan, kah? Wah ...

“Semakin cepat dapat ruko, semakin cepat kita pindah. Pengurusan surat Abang enggak terlalu repot ketimbang memindahkan toko, Neng.”

Oh ... masih terkait ternyata.

“Tapi kalau Neng enggak sehat, enggak usah. besok Abang cek sendiri.”

Laju mobil ternyata ditepikan oleh Abang. Saat menyadari, Abang parkir di salah satu tempat makan ayam bakar. “Abang cek dulu ada jeruk angetnya enggak, ya. Neng tunggu di sini,” katanya sembari melepas seat belt.

“Tunggu. Arin ikut.” Gue buru-buru mengimitasi geraknya. Bikin dia menatap gue kebingungan. Dan saat gue tepat berada di depannya, walau agak mendongak, “Arin lapar ternyata. Makan ayam bakar boleh, deh.”

“Siap, Neng Sayang.”

***

“Kencang sedikit, Neng. Tadi cuma geli aja,” kata Abang dengan pelan. Lagi-lagi gue mendesah pelan.

“Segini cukup?”

Dia mengangguk tanpa ragu. “Nah, ini enak banget. Penuh penekanan.”

Ck! Bisa-bisanya.

“Turun dikit, Neng.” 

Oke, gue patuh. Menurunkan tangan untuk menyentuh bagian yang Abang bilang. “Di sini?”

“Nah, benar di situ. Agak kencang, ya. Bikin yang merah, Neng.”

Gue mencibir saja. 

“Eh, merah enggak, sih?”

“Merah, Abang. Mau lihat? Nanti Arin foto.”

Dia ngakak. “Serius, deh. Abang enggak tau kenapa begini badannya. Ketularan Neng kayaknya.”

“Enak aja. Arin habis makan sudah biasa lagi. Memang Abang aja yang sebenarnya sakit.”

“Makan dua ayam bakar tanpa nasi, ya, Neng. Langsung sembuh. Hebat banget ayam bakarnya.”

Gue ngakak. “Tapi beneran, deh, kenapa Abang bisa yang sakit begini?”

“Yang bikin Abang sakit itu, Neng,” katanya.

Gue melongo. Sedikit menarik bahunya biar kami bersitatap. “Maksudnya apa, ya?” tanya gue dengan nada kesal.

Saat dirinya sedikit menoleh ke arah gue, tawanya membahana. “Gitu aja marah.”

Lagi-lagi gue mencebik dengan tingkahnya. “Sudah buruan ini dilanjut. Keburu tambah masuk angin.”

“Merah, kan, tapi?”

“Item, Bang.”

Dia manyun.

Yang muntah-muntah tadi itu, kan, gue. Kenapa jadi Abang yang minta kerokin coba? Mana punggungnya lebar banget mirip white board zaman gue kuliah dulu. Dan yang kena dimintai tolong, kan, gue. Ya ampun. Musibah banget gue kencan di Dufan.

Belum lagi requestnya aneh banget. Disangka tenaga gue kuli banget, ya? Minta segala dikencangi tekanannya. Kan ... gue capek!

“Neng, yang ikhlas. Ini sakit banget. Ya Allah,”

“Tadi minta kencengin sekarang kesakitan. Kerokan sendiri aja, deh!”

Gue dengar dia berdecak kesal. “Kalau bisa pasti Abang lakukan sendiri, Neng. Merawat suami sakit itu pahala, lho.”

“Ih, itu Arin ngerti. Tapi kalau badannya selebar jalan tol gini, ya, Arin pegel kerokinnya. Ini, sih, sama aja nyiksa istri, Abang!” keluh gue otomatis. Yang malah direspon dengan tawa yang enggak main-main gelinya.

“Enggak bisa pijitin Abang, ya?”

Ini Abang serius atau main-main, sih, kalau berkata? Gue kerokin dirinya saja sudah pegal tangan gimana kalau harus mijitin? Bisa lepas kayaknya tangan gue dari engselnya. “Yang benar aja, Bang!”

Kami sudah saling berhadapan. Sebagian dada Abang memang sudah merah terkena kerokan dari gue. Punggungnya jangan tanya. Gue sendiri bingung, kenapa malah Abang yang seperti orang masuk angin sementara yang muntah-muntah tadi itu gue.

“Injak-injak punggung Abang aja, deh. Pegel banget ini, Neng.”

Subhanallah.

“Enggak lama, deh. Abang tau Neng capek. Abis itu kita tidur, ya.”

Kok, gue curiga, ya?

“Tenang. Untuk malam ini, Neng bebas tugas dari ditiduri Abang.”

Gue mengerjap pelan. Tangan gue yang enggak terkena minyak gosok, gue pergunakan untuk menyentuh rahangnya pelan. bikin Abang memejam merasakan sentuhan gue. pun dengan gerak pelan gue mendekat dan begitu jaraknya pas, gue mencium rahang yang tadi gue beri sentuhan.

“Tapi kalau Neng mau mainan sama Abang, Abang masih sanggup dua ronde, kok,” katanya dalam pejam sementara gue mencibir enggak kentara. Enak saja.

Enggak pakai basa basi, rahang yang tadi gue kecup, gue gigit tanpa ampun.

Rasain!!!


[NEMO] 47

Abang kembali ke Makasar sudah berlalu dua hari. Dan gue merasa, hubungan kami terutama terkait komunikasi Abang perbaikin dengan sungguh-sungguh. Kadang video call tanpa perlu berkata-kata karena gue di kantor sementara Abang mengerjakan pekerjaannya. Gue dikenalkan secara virtual oleh Rama dan beberapa orang yang membantunya di sana.

Gue enggak antar seperti sebelumnya. Bukan enggak mau, tapi berbarengan dengan hari kerja gue. yang ada Abang yang mengantar gue dulu, baru ke bandara. Kebetulan Abang pakai penerbangan siang. Katanya juga pengin lebih lama sama gue. masih kangen.

“Sampai bertemu di ponsel lagi, ya.”

Senyum gue enggak selebar biasanya. Ada sedihnya juga, sih, ditinggal lagi ke Makasar tapi mau bagaimana lagi? Ini juga sudah termasuk dalam pilihan gue, kan? Gue cuma berharap, Abang enggak bikin gue kecewa lagi.

Gue yakin, gue bisa melalui ini. Toh Abang enggak menyia-nyiakan kesempatan yang gue beri. Sejauh yang gue lihat, sih, seperti itu. Oh ... atau karena baru dua hari, ya? Abang bilang, untuk kali ini ia di Makasar paling lama tiga minggu. Gue lihat saja apa ada yang berubah atau enggak dari perilakunya.

Kalau ada, gue benar-benar patut curiga. Dan kali ini gue enggak mainan perkara kecurigaan gue. Kalau perlu gue ke sana saja membuktikan sendiri. Gue paling benci soalnya memendam perasaan yang enggak mengenakkan macam curiga. Lebih baik gue tau sendiri ketimbang gue tau dari orang lain. Jadi gue bisa memutuskan langkah apa yang harus gue ambil. 

“Rin, nanti kamu minta approval sama Pak Satria, ya,” kata Bu Ira dari mejanya. Bikin gue menoleh mendadak dan segera mengangguk. 

“Kamu juga tanya, budget gathering-nya mau ditambah atau pakai estimasi tahun lalu.”

Ah, mendadak gue ingat bagaimana keseruan kami saat jelang gathering. Pasti rasanya berbeda banget kalau enggak ada Mae. Biarpun dia pendiam, kalau sudah bekerja seorang Maemunah Azzahra itu serius dan totalitas banget. Belum lagi semua acara disusun dengan baik saat itu. Makanya gue sempat kesal juga saat Pak Bos menyepelekan cara kerja Mae di gathering tahun lalu. 

Untuk kali ini, Mae ikut enggak, ya?

Gue tanya sama Pak Bos, deh.

Gegas gue beranjak ke meja Bu Ira, mengambil laporan yang ia maksud. “Yang ini, kan, Bu?” tanya gue memastikan. Tapi bukannya mendapat jawaban, malah Bu Ira melihat gue kayak aneh banget gitu. Ada apa coba?

“Kenapa, Bu?” tanya gue penasaran juga.

“Kamu sakit, Rin?”

Sontak gue memegang kening sendiri. “Ah, enggak. Sehat banget begini, kok, sakit.”

“Tapi wajah kamu pucat banget, lho.” Bu ira berdiri. Memastikan sendiri kondisi gue. tangannya terjulur menyentuh kening gue dengan lembut. Persis seperti seorang ibu yang memeriksa kondisi anaknya. “Sapto, lihat deh. Arin pucat banget, kan, ya?”

Sapto yang sedang memfotocopy berkas menoleh dan menatap gue lekat. Bikin gue mengerutkan kening tapi penasaran juga dengan jawabannya. “Iya, Bu. Lo kurang darah, Rin? Anemia?”

Gue gegas menggeleng.

“Jangan terlalu keras bekerja, Rin, kalau memang lagi kurang sehat.”

“Pas kemarin Arin ke Dufan memang muntah-muntah, sih. Tapi setelahnya enggak pusing, kok. Biasa aja gitu.”

Sejak Mae resign, otomatis teman gue menggosip cuma Bu Ira dan Sapto. Kalau Bu Ira lebih ke arah keluarga dan hal-hal random seputaran tumbuh kembang anak. Oh ... perkembangan media sosial buat anak-anak juga Bu Ira semangat banget kalau membahasnya. Enggak seperti Mae yang senang mendengarkan celotehan gue mengenai banyaknya list belanjaan untuk nantinya gue ceklis satu per satu. Yakin lah, kalau gue bicara mengenai masalah list belanjaan yang ada Bu Ira ceramah panjang.

Katanya, “Hemat, Rin. Bu Ira tau itu uang kamu. Tapi lebih berguna ditabung. Kalau suka belanja, beli saja perhiasan. Lebih enak. Sayang kalau perhiasan dijual. Kalau baju? Sepatu? Dijual juga harganya turun, kan? Itu juga kalau laku.”

Gue nyengir. Ucapannya memang ada benarnya, sih. 

“Kamu yakin Cuma muntah-muntah aja?” tanya Bu Ira yang malah bikin kening gue makin berkerut. Gue rasa, bakalan jadi obrolan seru. Jadi gue tarik kursi yang enggak jauh dari meja Bu Ira. Duduk sembari berpikir, apa lagi yang gue rasakan setelah ke Dufan itu. Tunggu ... kenapa jadi ada pengaruhnya? Gue enggak sakit, kan?

“Yakin, kok, Bu.”

“Enggak mual kalau pagi?”

Nah, kan. Bu Ira ini aneh kalau nanya.

“Kenapa mesti mual di pagi hari?”

Sapto di ujung sana malah ngakak. Si@lan banget. Memangnya salah perkataan gue?

“Kapan terakhir kali datang tamu bulanan, Rin?”

***

Sejak pertanyaan dari Bu ira mengudara, terus saja bergema di kepala gue dan enggak mau menyingkir barang sejenak. Bikin gue melongo saat ditanya Pak Bos.

“Rin, yang konsent gitu.” Pak Satria mengulurkan laporan yang tadi gue beri. Gue meringis malu.

“Maaf, ya, Pak.”

Gue bisa melihat hanya gelengan pelan yang diberi sebagai respon kata-kata gue tadi. Gue tambah malu jadinya. Duh ...

“Mengenai budgeting gathering, Bu Ira tanya apa mau pakai proposal lama dulu, Pak?”

Bos gue berdeham sekilas. “Boleh. Nanti Sapto yang cek lokasi.”

“Ehm ... Mae kira-kira ikut enggak, pak?”

Baru kali ini gue lihat Pak Bos kayak menderita gitu. Bahunya merosot seperti orang kalah perang. Bikin gue penasaran, kan, Pak Bos ada apa?

“Itu lah masalahnya. Mae pengin ikut. Ngotot pula. Sampai sering nangis kalau malam setiap kali membahas masalah gathering. Katanya kalau jalan-jalan sama teman kantor beda dengan keluarga.”

Gue mengatupkan bibir. Kehilangan kata-kata. Bukan apa, ini seperti bukan Mae saja. Apa karena dirinya lagi hamil?

Hamil.

Hamil.

“Rin, kok kamu malah bengong?”

Gue mengerjap heboh. “Ah? Masa, sih, Pak?”

Lagi-lagi Pak Satria menggeleng heran. “Sudah sana kembali ke meja kamu. Muka kamu jga pucat gitu. Sakit?”

Sepertinya gue butuh kaca yang besar untuk memeriksa bagaimana sebenarnya wajah gue hari ini. sudah tiga orang yang berkata demikian tapi gue sendiri enggak merasa sakit. Akhirnya gue pamit meninggalkan ruangan Pak Bos dengan tanda tanya besar. Pertama; masalah wajah gue yang pucat. Kedua; perkara hamil. Gue segera ingat-ingat kapan kali terakhir gue datang bulan.

Ini bulan Oktober, gue nikah pertengahan Juli dan bertepatan dua hari sebelum gue akad, mens gue selesai. Artinya ...

“Gue telat?” lirih gue tepat di ujung tangga dari ruang Pak Bos. “Gue ... ada kemungkinan lagi hamil? Gitu?”

Masa, sih?

Kaki gue mendadak cepat banget bergerak menuju meja Bu Ira. Di sana, wanita paruh baya itu lagi sibuk mencatat dan mengecek laporan yang gue beri sebelum naik ke lantai dua tadi. “Bu,” kata gue sembari menarik kursi yang sama tadi. 

Saat kami bersemuka, Bu Ira menatap gue horor banget. “Kenapa muka kamu, Rin?”

“Ih. Muka Arin belum berubah jadi kuntilanak. Tambah pucat memang, Bu?”

“Bukan. Tapi kayak orang habis nemu harta karun kayak belanjaan yang kamu sukai gitu.”

Gue mencibir saja. “Bisa aja si Ibu.” Gue sedikit menarik kursi agar lebih dekat. “Bu, Arin lagi ingatingat mengenai datang bulan. kayaknya Arin telat, deh.”

“Kok, kayaknya, sih? kamu aneh banget. Enggak ingat terakhir kali kedatangan tamu kapan?”

“Ingat. Itu dua hari sebelum akad nikah dan sampai sekarang belum mens lagi,” kata gue dengan lugas.

Binar wajah Bu Ira tambah banyak. Matanya bahkan mengedip berulang kali. “Sudah cek hamil?”

Gue menggeleng. Menyadari hal ini saja baru, kok. Gimana gue bisa memutuskan menggunakan alat penguji kehamilan?

“Ya sudah, pulang kerja Arin cek. Siapa tau benar hamil.”

Kata-kata itu gue simpan banget di hati. Ada buncah bahagia yang enggak bisa gue tutupi bahkan Bu Ira sendiri sampai bilang, “Duh ... Ibu doakan semoga benar, ya, Rin. Kalau nanti hasilnya positif, segera periksa ke dokter sama Mas Hulk. Pasti Mas Hulk senang, deh.”

Gue cemberut. Padahal perkataan Bu Ira tadi melambungkan asa gue, lho. Eh ... malah ikut-ikutan memanggil suami gue dengan sebutan Hulk. Enggak terima gue jadinya. “Ih, si Ibu. namanya Rasyid.”

Bu Ira? Ngakak.

“Pokoknya Ibu doakan yang terbaik, ya, Rin. Semoga Allah ijabah. Enggak pakai acara tunda menunda, kan?”

Pertanyaan Bu Ira segera gue sambut dengan gelengan. 

“Nah, bagus itu. Arin sendiri sudah siap jadi ibu, kan? Walau nantinya banyak kekurangan, Arin bisa banyak belajar. Pasti nanti tau apa yang mesti dilakukan. Enggak ada istri atau ibu sempurna untuk keluarganya. Tapi istri atau ibu yang baik, yang menyayangi keluarganya, yang bisa menempatkan diri sesuai porsinya, itu banyak. Dan Arin pasti bisa.”

Duh, Bu Ira kalau soal menyoal kata-kata bijak itu paling jago. Enggak ada lawannya.

“Makasih, ya, Bu,” ucap gue setulus mungkin. tapi semua itu dirusak banget sama ucapan Sapto yang bikin gue pengin jitak kepalanya sampai benjol.

“Kalian lagi apa, sih? Serius banget. Si Arin apalagi. Sok mellow banget. Enggak pantas lo begitu. Pantasnya seorang Arin itu bar-bar enggak dengan sok imut kayak gini.”

Sialan memang Sapto ini.

***

Enggak tanggung-tanggung gue beli alat penguji kehamilan. Lima sekaligus. Tapi gue belum mau bicara sama Ibu. Nanti saja kalau sudah ada hasilnya. Dan kalau nantinya ada dua garis, gue minta Ibu temani ke dokter. Enggak mungkin tunggu Abang ke Jakarta lagi, kan? Kelamaan.

Gue enggak mau membuat hal-hal konyol kalau benar gue hamil. Bismillah. Semoga saja dugaan bu Ira ini benar. Hati gue sudah berbunga-bunga banget, lho, sejak Bu Ira memberi banyak petuah mengenai hamil. 

Itu baru Bu Ira, bagaimana dengan Ibu? Sudah enggak terbendung lagi rasa senang di hati gue, kan?

Dan karena hal ini, gue enggak bisa tidur pulas. Serius. Kayak ada yang mengganjal banget dan penginnya cepat pagi menjelang. Kalau bisa, tanpa perlu tidur juga enggak apa. Berbekal info dari Bu Ira, katanya paling baik itu diuji ketika pagi hari. Harap-harap cemas juga gue!

Agak gemetar gue buka satu per satu testpack yang ada. Membaca sekali lagi petunjuk penggunaan setelah semalam gue baca dengan penuh teliti. Semalam juga Abang bervideo call tapi gue enggak mengatakan apa-apa terkait apa yang gue simpan di hati ini. Biar dulu sampai gue benar-benar mendapatkan jawaban atas rasa penasaran ini.

Biar jadi kejutan juga. sepertinya itu bagus. Ya, kan?

Satu alat penguji gue gunakan. Mata gue lurus menatap setiap perubahan yang ada. Mulai dari garis merah satu yang kentara banget hingga dua garis yang samar banget muncul. Hati gue mencelos, seperti lepas dari cangkangnya gitu. degup jantung gue jangan ditanya ributnya kayak apa. Tapi enggak. Gue butuh pengujian lainnya. Biar lebih yakin.

Alat kedua pun gue gunakan dan kali ini, dua garis merahnya benar-benar jelas bikin mata gue enggak kedip menatapnya. 

“Ini ... serius?” tanya gue pelan. Sampai gue bekap mulut gue biar enggak teriak mendadak. Saat mata gue melirik, masih ada tiga alat lagi yang belum gue pergunakan. Menarik napas panjang, gue ambil satu lagi. Gue rasa tiga kali uji, sudah sangat lebh dari cukup. Kalau hasilnya sama, berarti gue memang harus mengunjungi dokter kandungan.

Ehm ... langkah pertama, sih, jelas gue info ke Ibu dan Ayah. mereka orang yang paling dekat sama gue. setelah ke dokter dengan membawa hasil yang lebih akurat, baru deh ke Abang.

Dan ... alat ketiga pun menunjukkan hasil yang sama. Sudah lah enggak ada lagi yang bisa menutupi gembiranya hati gue pagi ini. Bahkan kantuk yang mendera gue tadi sama sekali enggak ada alias hilang begitu saja. 

“GUE HAMIL!!!”


[NEMO] 48

Mata gue enggak lepas menatap hasil pemeriksaan yang baru saja gue lalui. Ucapan dokter saja enggak terlalu gue dengar sakign takjubnya. Apalagi di mesin USG tadi. It’s amazing. Gue merasa hangat yang melingkupi diri benar-benar bikin perasaan sangat bahagia. Sungguh.

“Kalau sekiranya ada mual dipagi hari, itu kondisi lumrah. Hanya saja perlu diwaspadai kalau terlalu intens dan membuat Ibu enggak bisa beraktifitas normal.”

Gue manggut-manggut saja.

“Ibu bekerja?”

“Iya, Dok.” Gue masih belum mau melepas tatapan dari hasil USG. Ujung jemari gue menyentuh bagian di mana katanya janin gue tumbuh. Masih kecil banget tapi gue sudah jatuh sayang. ini ... darah daging gue. Yang akan tumbuh di dalamnya dengan banyak cinta. Enggak akan gue biarkan tumbuh kembangnya terhambat. Gue mau beri yang terbaik buat Utun. Biar aja enggak usah keceh-keceh ngasih nama panggilan. Nanti ketika lahir, barulah gue beri nama dan harapan serta doa yang bagus-bagus di dalamnya.

“Rin, dengar dokternya dulu. Ya ampun.” Ibu menyenggol bahu gue yang bikin gue gelagapan mendadak. Rasanya pengin misuh-misuh tapi ini Ibu yang melakukan ke gue. Jadi yang bisa gue lakukan cuma meringis malu saja.

“Maaf, ya, Dok. Excited banget saya,” kata gue jujur.

Beruntung dokter yang menangani gue maklum banget. Malah menimpali ucapan gue dengan banyak kata syukur lantaran diberi kepercayaan yang cukup cepat mengenai perkara kehamilan. Iya, dokternya benar. Gue benar-benar bersyukur mendapat anugerah seperti ini.

“Jangan lupa makan sehat, ya,” kata dokter menutup sesi konsultasi dan pemeriksaan hari ini. Gue keluar ruangan dengan perasaan yang luar biasa bahagia. Saat gue menoleh pun, Ibu demikian. Binar gembiranya enggak ditutupi sama sekali. Tanpa sadar, gue gamit tangannya dan setengah bersandar pada bahu Ibu yang masih tetap kuat menopang gue.

Sampai kapanpun gue yakin, bahunya selalu kuat menopang gue. Selalu.

“Dijaga baik-baik, Rin.”

Gue menoleh sekilas dan mengangguk segera. “Iya, Bu.”

“Mau kasih tau Rasyid kapan?”

Mendadak gue kebingungan. Bukan apa, gue bukan enggak mau beri kabar ini ke Abang. Dia harus tau, lah. Masa sudah menghamili gue dia enggak tau kalau punya jejak bernama anak. G!la aja. Eh ... gimana, sih? Gue, kan, istrinya. Ya ... wajar kalau dia berhasil menghamili gue. Duh ... Arin mulai error kayaknya.

“Ehm ... nanti pas Abang pulang aja, Bu,” putus gue mendadak. Gue pengin tau ekspresi Abang kalau dengar berita bahagia ini bagaimana. Pasti sama seperti saat pertama kali gue tau; shocked dan enggak sangka. Lalu gembira banget setelahnya. Gue yakin banget.

“Rencananya pulang kapan?”

Gue ingat-ingat pembicaraan kami selama ini. Dia bilang paling lama tiga minggu di Makasar. “Awal bulan depan kayaknya, Bu.”

Ibu berdecak kesal sembari membukakan pintu untuk gue. Mendorong gue untuk segera masuk karena Ayah sudah setia menunggu di mobil. Enggak mau ikut bukan lantaran enggak mau dengar berita bahagia dari gue yang sebentar lagi memberinya cucu, bukan. Tapi saat mau masuk ke rumah sakit, Ayah dapat telepon dari buyernya. Enggak mungkin menunggunya selesai bicara, kan?

“Gimana, Rin, kata dokter?” tanya Ayah dengan wajah antusias. Mengabaikan Ibu yang tampaknya cemberut.

“Alhamdulillah, Yah, positif. Kata dokternya perkembangannya baik dan dikasih banyak vitamin juga.”

Ayah pun sama, wajahnya terlihat gembira dan penuh syukur. Gue terima satu belai lembut dan hangat darinya di puncak kepala. “Ayah senang dengarnya. Anak ayah sebentar lagi jadi ibu. Enggak sangka, ya.”

Yah, si Ayah hebat banget bikin mata gue berkaca-kaca gini. Gue jadi mellow, kan? 

“Kapan mau kasih tau Rasyid? Jangan ditunda kelamaan.” Ayah mulai menyalakan mesin mobil.

“Nah, itu, Yah,” sambar Ibu. “Masa si Arin mau nunggu sampai Rasyid pulang? Masih tiga minggu lagi pulang ke Jakarta.” Ibu langsung bersidekap dengan tampang garang gitu. Bikin gue mengerutkan kening. Ibu kenapa coba?

Ayah melirik melalui spion tengah. Mobil sudah melaju keluar dari area parkir dan siap menuju rumah. Gue masih duduk tenang saja lah. Biarkan saja ibu marah-marah enggak jelas. 

“Jangan ditunda, Rin. Kabar baik gini.”

Gue masih memikirkan hal ini, sih. “Iya, Yah.” Pakai cara aman saja biar enggak ribet. Gue lirik, Ibu enggak sekesal tadi. 

“Arin mau dibuatkan apa sama Ibu? Udang balado? Rempeyek udang? Udang asam manis? Ayo bilang sama Ibu. Eh ... Ibu juga mau bilang sama ibu-ibu arisan, ah. Biar semuanya tau, Ibu mau punya cucu.”

Ibu dan kerempongannya.

***

Gue sengaja tunggu Abang video call, tadi kami sudah janjian karena seharian ini Abang repot. Pengalihan satu tokonya sudah berhasil mulus, lapornya. Tinggal mengosongkan stok yang mau dialihkan ke toko lainnya. Rama bilang, dia mau mengurus satu toko yang paling besar dan paling potensial tapi bagi hasilnya harus seimbang.

Tanggung jawab Rama memang besar, sih, di sana. Abang belum memutuskan hal ini. Katanya mau diskusi sama gue dulu mnegenai hal ini. Gue pikir, itu enggak masalah, ya? Jadi ada cabang Abang yang masih bertahan di sana pun di Jakarta nantinya. hanya toko saja enggak perlu pakai praktik dokter hewan kecuali nantinya ada yang bisa diajak kerja sama mengisi slot di sana.

Itu masih bisa dipikirkan.

Dering ponsel yang gue tunggu, berbunyi. Senyum gue jelas banget terkulum karena mendapati nama Abang di sana. Tanpa ragu, gue geser icon hijau agar wajah Abang muncul di layar. Hal yang pertama gue ketahui, wajah itu agak lelah. Kantung matanya kentara banget. Apa Abang di sana kurang tidur?

Ngapain segala kurang tidur? Gue tanya Mae, mereka sudah jarang banget tanding bareng. Vodka ada seminar yang cukup menguras waktu sementara Gin informasi dari Mae, lagi ada di Belanda. Pameran. Gue baru tau kalau Gin ini arsitek.

Ternyata circle Abang di Daki Monyet bukan hal yang bisa diremehkan.

“Assalamu’alaikum, Neng Sayang.”

Seperti biasa, gue mencibir dengan sapaan yang mungkin kalau orang lain bisa blushing, kalau gue enggak. “Wa’alaikum salam, Abang Hulk.”

Dia ketawa. Renyah banget yang bikin wajah lelahnya sedikit berkurang. “Abang kangen.”

Gue berdecak saja. membenahi posisi setengah rebah biar nyaman. Pulang dari rumah sakit, Ibu benar-benar memanjakan gue, lho. Gue senang banget kalau kabar ini bikin mereka pun happy. Ayah? Jangan tanya. Beliau malah dengan suka rela menemani gue nonton drama di ruang depan. Katanya lama enggak bersama anak perempuannya.

“Neng juga,” kata gue jujur. Gue itu paling enggak suka menutupi apa yang ada di hati. Lebih suka segera memberitahu tapi perkara hamil, gue masih berpikir dulu. Gue masih kepengin melihat bagaimana wajah Abang, sih. 

Tapi ... kata Ibu kabar baik itu enggak bagus kalau ditunda terlalu lama. Ayah bahkan setuju dengan hal itu. Jadi ... gue nurut saja, lah. Malam ini gue kasih tau Abang mengenai kehamilan gue.

“Benar?” tanyanya enggak percaya gitu. Binar matanya lekat banget menatap gue walau terhalang ponsel. Gue mengangguk saja sembari mengulum senyum kecil. “Ah, Abang jadi pengin ke Jakarta tapi masih banyak yang harus diurus.”

Mendadak binar itu ganti sama sendu, bikin gue merasa bersalah mendadak.

“Ih, Abang jangan gitu dong. Di sana, kan, Abang mesti cepat selesaikan. Jangan ditunda kelamaan biar cepat pulang.”

Dia mengangguk cepat. “Harus. Makanya Abang kerja keras banget. Untung Rama bantu banyak.”

Gue setuju akan hal itu.

“Jadi menurut Neng gimana? Masalah toko yang dikelola Rama?”

“Arin setuju aja, Bang. Selama kerja sama Abang, Rama ada sesuatu yang mengganjal enggak? kalau enggak, harusnya itu enggak jadi masalah.”

Gue lihat dia mengangguk pelan. “Oke lah. nanti Abang ngobrol serius sama Rama.”

“Ingat, harus ada hitam di atas putih biar jelas kerja samanya gimana.”

Lagi-lagi Abang mengangguk. “Hari ini Neng ngapain aja? Maaf, ya, seharian enggak beri kabar apa-apa. Abang pengin dengar dulu hari ini aktifitas Neng apa saja nanti gantian, Abang cerita.”

“Ehm ... ngapain aja, ya? Yang jelas kerja setengah hari karena izin ke rumah sakit.”

Gue tau banget, sorot mata Abang berubah khawatir. Bahkan duduk yang tadinya santai bersandar di salah satu bantal besar yang gue tebak dirinya ada di kamar, langsung duduk tegak gitu. “Apa? rumah sakit? Siapa yang sakit? Neng enggak bilang sama Abang seharian ini? Neng, biarpun Abang sibuk hal-hal urgent kayak gini har—“

“Bisa tenang dulu enggak? Kan, giliran Arin yang cerita. Kenapa Abang yang mendominasi, ya?”

Abang kadang mirip kerbau, sukanya mendengkus gitu. Mana bikin tambah seram mukanya. Gue rasa diamnya Abang memberi gue kesempatan untuk menjelaskan atau lebih tepatnya, gue beritahu mengenai kehamilan ini. Iya. Gue beritahu sekarang saja. Hal baik harus segera diberitahu. Lagian enggak ada yang salah, kan? Abang suami gue. Dia harus tau juga kalau berhasil bikin gue hamil biarpun selama ini, kami enggak pernah terlibat pembicaraan mengenai anak.

Enggak ada yang enggak suka kalau istrinya hamil, kan? Gue yakin, Abang pasti suka dan bahagia. Benak gue sudah menggambar betapa sorot matanya yang gelap itu berbinar penuh gembira menyambut kabar yang sebentar lagi gue umumkan.

Gue keluarkan tiga ala penguji serta hasil USG yang masih sering gue curi lihat. “Arin hamil,” kata gue dengan senyum selebar jalan tol.

Butuh waktu beberapa detik bagi Abang—mungkin—mencerna apa yang baru saja gue beritahu. 

“Hamil?” ulangnya yang gue jawab dengan anggukan tegas. Wajah Abang masih sama. Enggak memperlihatkan ekspresi lain selain kaget. Iya lah pasti kaget. Gue juga seperti itu, kan?

“Kenapa hamil?”

Tunggu ... kenapa pertanyaannya aneh banget. “Maksudnya?”

“Abang pikir, kita tunda dulu kehamilan Arin.”

Ini ... gue enggak salah dengar, kan?

“Ah ... seharusnya masalah hamil ini kita bicara lebih serius, ya, Neng. Abang sering lupa diri kalau sudah di dekat Neng. Abang penginnya kita tunda dulu masalah hamil. Tapi kalau sudah terlanjur gini, ya ... sudah. Mau gimana lagi.”

Jantung gue sudah ada di lantai rasanya. Enggak perlu mendebat banyak hal sama Abang. Gue memilih mematikan sambungan telepon. Mengabaikan panggilan yang terus menerus memunculkan namanya di layar gadget gue.

S!al. Gue baru tau, kalau kabar hamil adalah hal yang bikin gue sesak seperti ini.


[NEMO] 49

“Lho, Rin? Kamu kenapa?”

Gue mengerutkan kening. “Kenapa apa, Bu?”

“Itu ... mata kamu sembab? Nangis? Kenapa?”

Ah, gue lupa. segamblangnya gue bicara, gue tetap perempuan. Yang punya banyak sisi mellow alias cengeng dengan kadar berlebih. Apalagi ditambah hamil begini yang gue rasa mulai menunjukkan eksistensinya. Alias berulah di pagi hari.

Gue bukan enggak terima perut dikocok menggunakan goyang bor atau goyang patah-patah yang pernah viral. Enggak sama sekali. Tapi mengingat perkataan Abang yang mengesankan kenapa gue mesti hamil sekarang-sekarang ini padahal jelas dia yang bikin gue hamil, rasa sakit hati gue timbul kuat banget.

Bikin gue rasanya pengin ninju perut demikian keras biar enggak bikin gue mual

Tapi gue masih ingat, betapa dosa dan bersalahnya nanti hati gue seandainya hal itu gue lakukan. Gue belum gila seratus persen, cuma enggak waras kalau bicara. Otak gue masih bisa digunakan dengan jalan yang lurus dan baik, kok. 

“Iya semalam nonton drama,” kilah gue. Malas berurusan panjang sama Ibu, belum pengin ditanya macam-macam soalnya. Ketimbang gue malah berakhir di pelukan Ibu dengan tangis, gue memilih membungkam kata. Masih ada empat hari kerja lagi untuk gue lalui. Enggak mungkin gue membolos demi menangisi sedih yang gue derita karena hamil.

Semua pesan, chat, telepon, panggilan, bahkan pesan suara yang Abang kirim, gue abaikan. Enggak ada satu pun yang berniat gue respon. Buat apa? Gue memberi kabar bukan sesuatu yang buruk tapi ditanggapi seolah hanya lalu begitu saja.

Kesannya ... dia enggak terima gue hamil. Sampai gue bangun tadi, enggak percaya banget dengan kata-kata juga ekspresi Hulk seperti itu. kalau memang mau nunda, kenapa juga mesti berhubungan sama gue segitu semangatnya?

Ah ... gue juga bego! Arin bego!

“Eh ... anak Ibu malah bengong. Kenapa, sih? Drama apa yang ditonton sampai enggak bisa menginjak bumi lagi?”

Rasanya gue mau tertawa tapi enggak bisa. Pada akhirnya bibir gue cuma mencebik kecil ucapan Ibu. Segelas susu yang gue tau adalah susu hamil, disodorkannya ke gue. Ragu gue terima tapi ini semua hasil kerja keras Ibu tadi pagi. Buatkan gue susu, sarapan, memastikan gue makan teratur. Gimana bisa gue untuk menolak semuanya?

Jadi yang gue lakukan saat ini; duduk manis sembari menikmati susu dan roti bakar yang Ibu buat sebagai peneman. Bekal makan siang saja Ibu sengaja siapkan, lho. Ya Allah, Ibu luar biasa banget padahal hati anaknya lagi koyak mirip jala milik nelayan usang. 

Gue hanya bisa memberi senyum tulus dan rasa terima kasih yang gue yakin itu enggak pernah cukup akan kasih sayang Ibu. juga kembali mengingat permintaannya mengenai jodoh gue; Rasyid Ananta. Sampai detik ini gue masih belum menemukan korelasi yang benar-benar tepat di mana Ibu bilang Abang ini baik untuk gue. Kalau nyatanya, ucapannya semalam saja sudah bikin gue patah banget.

Ini lebih dari sekadar gue mendapat kiriman foto aneh.

“Arin berangkat, ya, Bu,” pamit gue setelah ojek yang gue pesan sudah ada di depan gerbang. Ibu mengiring gue hingga duduk nyaman di jok belakang. Oh ... enggak lupa hal yang sebenarnya menghangatkan hati gue bersamaan dengan mirisnya perasaan gue. Ucapan Ibu.

“Pak, minta tolong hati-hati, ya. Anak saya lagi hamil muda.”

Andai Ibu tau, pria seperti apa yang Ibu inginkan jadi suami gue. 

***

“Rin, lo yakin bisa habiskan ini semua? Lo makan kayak orang kalap. Kenapa, sih?” tanya Sapto dengan kernyitan heran di dahinya. Gue makan siang berdua kali ini. bekal gue ada. Tapi entah kenapa gue mau soto daging juga.

“Makanya gue ngajak lo. Kalau enggak habis, lo yang sikat.”

“Sialan!!!”

Tapi gue ngakak dengan umpatan Sapto.

“Eh, gimana hasil periksa kemarin? Jadi hamil, kan?”

Tawa itu lesap tanpa bisa gue kendalikan. “Jangan ngomongin itu, Sap. Gue bad mood jadinya.”

“Lho, kenapa?”

Gue yakin banget, kalau Sapto pasti penasaran kenapa gue malah seperti orang yang sama sekali enggak gembira dengan kehamilan yang gue alami. Iya lah. gimana gue enggak sedih begini? Laki gue enak banget bicaranya. Ketimbang gue kembali ditanya Sapto, gue memilih mengangkat tangan tanda enggak mau diusik mengenai hal yang sama.

Beruntung Sapto cukup mengerti. Dia kembali sibuk dengan sotonya walau gue yakin banget, benaknya penasaran. Makan siang kali ini gue sengaja enggak bawa ponsel. Buat apa? Rajin banget. Kalau isi chatnya hanya sebatas permintaan maaf, gue juga bisa kalau salah mengucapkan maaf. Kata-kata yang sudah terlanjur terucap itu yang bikin masalah sama gue.

Argh! Kenapa jadi begini, sih?

Dan benar saja, makan siang gue hanya sedikit yang masuk dan disentuh oleh mulut gue. Saat mulai mengunyah, semuanya jadi enggak enak. Sama sekali. Padahal sebelum makan siang tadi, bayang soto daging yang masih mengepul asapnya ditambah kuah gurih dan aroma bawang goreng sebagai taburannya itu, bikin selera makan gue naik ribuan persen. Tapi saat semuanya menyapa ujung lidah, enggak ada sama sekali rasa lezat seperti biasanya.

Malah pahit. Bikin gue mau muntah.

“Makan yang banyak, Rin. Kerjaan lo banyak gitu. nanti pingsan, lho,” kata Sapto penuh nada khawatir. “Muka lo tambah pucat aja. Ibu hamil kali ini lebih menyeramkan ketimbang bu bos yang hamil.”

Gue mencibir. Kami dalam perjalanan kembali ke kantor. Sengaja berjalan kaki sekadar melemaskan otot kaki yang enggak banyak gerak di dalam ruangan. Padahal tadi Sapto menawarkan motornya untuk ke kedai soto tapi gue menolak.

“Kalau nanti lo sudah nikah, Sap, lo seneng enggak dengan kabar kalau istri lo hamil?”

Pertanyaan gue bikin Sapto menghentikan langkah. Matanya menatap gue dengan pandangan bingung tapi sejurus kemudian berdeham kecil. “Yah, senang lah. Artinya kualitas sperma gue bagus banget. Dan Allah kasih izin kepercayaan yang besar dalam hidup kami berdua.”

Mendengar hal itu dari Sapto, bikin gue mengkaji ulang pemikiran rasa bersyukur akan kehamilan gue. Gue senang, kok, hamil. Siapa yang enggak senang mengetahui hal ini? Ada kehidupan lain di dalam rahim gue di mana Utun ini bergantung banget sama gue. Mana mungkin gue membiarkan dirinya tumbuh tanpa pengawasan dari gue? enggak mungkin. 

Segenap hati gue sudah jatuh sayang.

Hanya saja ... kata-kata Abang demikian lekat menggerogoti hati gue. Mendadak gue mengusap perut dan berkata demikian lirih, “Kamu tenang aja, Mami sayang sama kamu. Papi biarin aja. enggak usah ada papi juga enggak apa.”

“Lo ngomong apa, Rin? Ngomong kayak orang kumur-kumur. Bukan lo banget.”

Gue hanya tersenyum kecil. Iya, itu keputusan gue. Terserah Abang mau gimana sama kehamilan gue. yang jelas, dia sudah tau gue hamil. Mau dia peduli sama gue atau enggak, gue malas mencari tau. Buat apa. Kata-kata itu sangat melukai diri gue.

Kalau enggak mau bikin gue hamil, jangan berhubungan terlalu sering dan dikeluarkan di dalam dong! Rasanya gue mau protes kayak gitu tapi semuanya gue telan mentah-mentah.

Orang yang paling dekat sama hidup kita memang benar, ya, potensinya paling besar bikin sakit hati.

“Sapto, lo mau tolongin gue enggak?” tanya gue mendadak. Sapto sampai menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah gue yang kini memberinya cengiran penuh misteri.

“Apa?” tanyanya dengan nada curiga.

“Beliin gue rujak di seberang sana, ya. Gue malas nyeberang.”

“Nyusahin banget lo!”

Gue ngakak. “Nolongin ibu hamil itu pahala, Sap.”

***

“Arin benar enggak mau pulang aja?” tanya Bu Ira penuh khawatir. Dirinya berdiri enggak jauh dari gue jongkok di toilet. Semua makan siang beserta buah yang lagi gue nikmati, keluar sempurna tanpa ada satu pun yang masuk. Belum lagi badan gue mendadak meriang banget, kepala pusing sampai rasanya ada gempa di bawah kaki gue.

Gue pernah sakit, tapi enggak sampai seperti ini. gue juga pernah dirawat karena DBD di rumah sakit saat sekolah dulu, tapi pening yang gue rasa enggak sedahsyat ini. ini bikin gue enggak berdaya banget.

“Kalau Arin pulang, Ibu gimana?” Gue mengusap sudut bibir yang basah setelah terkena bilas takutnya ada sisa muntahan. 

Bisa gue lihat senyum penuh arti dan sama sekali enggak ada keberatan di sana, muncul. “Enggak apa. Lagi enggak banyak laporan juga. Pak Satria pasti maklum sama keadaan kamu.”

Entah kenapa, gue malah menitikkan air mata.

“Eh ... Arin kenapa malah nangis?” Bu Ira mendekat ke gue dan segera mendekap gue. Enggak ada perasaan jijik lantaran tadi membantu gue memijat tengkuk. Hal ini sontak bikin gue tambah mellow. Jadi lah gue sesegukan dalam peluk Bu Ira. Usapan lembut berkali-kali gue terima di punggung. Berkali-kali juga gue menyusut ingus yang enggak pakai permisi membasahi hidung gue ini.

Ah, sudah lah. Gue memang benar-benar enggak tau malu!

“Pulang aja enggak apa. Istirahat. Hamil muda emang enggak bisa diprediksi kapan bugarnya.”

Gue mengangguk pelan.

“Dari tadi ponsel kamu bunyi terus. Ibu enggak sengaja lihat nama penelpon, si Rasyid. Biasanya kalian sering video call. Ada masalah?” Kali ini suara Bu Ira terdengar pelan tapi penuh perhatian. Sejak enggak ada Mae di kantor, kadang gue berbagi sekelumit dengan Bu Ira. Banyak hal yang membuka mata gue kalau sedang dalam sesi curhat termasuk bekal kepercayaan yang gue kasih kembali pada Abang.

Ditanya seperti itu, gue mewek.

“Sabar. Tiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Yang enggak bisa diselesaikan adalah ketika kalian hindari masalahnya.”

Gue diam mencerna ucapan Bu Ira.

“Kamu lagi hamil muda. Usia hamil yang riskan banget. Harusnya happy dan menikmati kehamilan jangan terlalu banyak pikiran.”


[NEMO] 50

Suasana makan malam kali in semarak banget. Kedua mertuaku datang berkunjung. Gue tau banget kenapa mendapat kunjungan mendadak gini. Pasti Ibu mengumumkan dengan sangat seru betapa bahagianya dia sebentar lagi punya cucu. Pun Mama ketika menyambut gue tadi.

“Eh, tapi Arin pulang cepat?” tanya Ibu penuh curiga. Gue malas menutupi hal-hal yang memang enggak bisa ditutupi begitu saja.

“Iya, tadi hampir pingsan. Sama Pak Bos disuruh pulang. Ini juga dikasih naik taksi sama beliau,” Itu benar adanya. Dan hamdalah, Mae temani gue sepanjang jalan pulang. Mulai dari senyum-senyum girang karena kami sama-sama hamil pun keseruan obrolan seputar kehamilan serta banyak tips dari Mae, hingga ...

“Pasti Kak Kiki senang banget tau kalau lo hamil, ya, Rin?”

Gue langsung menghilangkan semua sisa tawa yang ada. Sneyum gue saja langusng kabur tanpa ragu dari bibir membuat Mae bertanya hingga dua kali.

“Ah, dia kayaknya enggak senang gue hamil, Mae.”

“Lo ... bicara apa, sih? Enggak mungkin Kak Kiki begitu, Rin,” katanya setengah memekik.

“Yang jadi istrinya Whiskie itu gue, Mae.” Sedikit kesal gue membanting diri ke sandaran belakang. “Lo pikir, Kak Kiki lo itu baik, ya?”

“Eh ... enggak gitu, Rin. Gue ... gue ... lo ada masalah apa? Cerita coba.”

Gue mendengkus enggak suka yang sengaja biar kentara didengar Mae. “Dia enggak terlalu suka gue hamil kalau lo mau tau.”

“Apa?!” 

Gue sampai menjauhkan ponsel dari telinga. Gue pikir Mae enggak bisa teriak, ternyata luar biasa juga suaranya. Campuran rasa terkejut juga enggak percaya kentara banget ia suarakan di sana. Bikin gue merotasi mata saking enggak sangka.

“Dia bilang, yah ... mau gimana lagi, sudah hamil. Padahal niatnya pengin nunda dulu.” Gue ulang ucapannya yang sangat gue ingat ini. “Kalau enggak pengin istrinya hamil kenapa keluarin di dalm dan enggak pakai kondom. Yang bego siapa, ya, Mae?”

Baik Mae atau gue enggak ada yang bersuara. Gue sendiri memilih menatap luar jendela menikmati jalan jakarta yang sudah macet. Enggak peduli berapa argo taksi nanti, gue pakai voucher yang Pak Bos beri tadi saat gue pamit izin pulang. Ditambah besok gue diberi izin cuti hingga Jumat sampai gue benar-benar sehat dan bisa beraktifitas seperti semua.

“Gue enggak sangka Kak Kiki bisa bilang begitu sama lo,” kata Mae pelan.

“Apalagi gue yang jadi istrinya.” Mata gue menerawang jauh. Mobil yang bergerak lambat di sisi taksi yang gue tumpangi, terlihat biasa saja. Pikiran gue melayang entah ke mana. Enggak butuh waktu lama untuk mata gue kembali basah. “Gue pikir, kehamilan gue bisa bikin dia gembira atau yah ... kaget banget karena diberi kepercayaan cepat dari Allah. Eh ... malah dikasih bom begini. Sialan, ya, Kak Kiki lo, Mae.”

“Lo sudah dengar penjelasannya?”

Gue memejam sejenak. “Memang butuh dijelaskan model gimana, Mae? Sakit hati banget gue saat kasih tau betapa gembiranya gue pulang dari rumah sakit malah digituin.”

“Yah ... siapa tau ada alasan kenapa Kak Kiki bilang seperti itu.”

Senyum gue timbul tapi bukan jenis senyum penerimaan. Justeru senyum miris yang penuh pedih kayaknya. Saat gue lihat di spion tengah, gue mengenaskan banget tampangnya. Sudah pucat, mata panda gue kentara banget, sudah gitu ditambah kalau gue berkedip sering-sering air mata yang gue tahan-tahan bisa meluncur sempurna banget.

“Males,” kata gue singkat. “Gue bentar lagi sampai rumah, Mae. thanks sudah dengar curhatan gue. doain aja gue kuat selama hamil ini. Kalau Abang enggak mau gue hamil, gue enggak mau ngemis untuk dirinya terima anak gue.”

“Jangan gitu, Rin.”

“Pikir gue, Mae, Abang hanya mau enaknya sama gue. entah alasannya apa tapi gue merasa, dalam setiap hubungan pernikahan, keinginan memiliki anak itu setinggi harapan untuk terus memupuk cinta yang ada. Tapi hak preogratifnya ada pada Allah. Kita cuma bisa berusaha. Kalau untuk rasa cinta dan bahagia, bisa dicari tanpa perlu andil terlalu besar dari Allah. Kalau anak? Tanpa izin-Nya, apa bakalan dikasih jalau belum waktunya?”

Gue tarik napa sejenak sebelum melanjutkan apa yang ada di hati gue.

“Yang bikin gue enggak terima, kenapa kata ya ... mau gimana lagi sudah hamil. Itu mengesankan gue yang sengaja bikin diri gue hamil. Gue hamil kalau enggak ada lawannya mana bisa hamil, sih? Laki gue kenapa otaknya jongkok banget, ya?”

Gelembung ingatan gue pecah saat Ibu mengusap bahu gue pelan. bikin gue mengerjap heboh lantaran semua yang ada di ruang tamu, menatap gue dengan pandangan khawatir.

“Arin kenapa? kok, melamun?” tanya Mama dengan lembutnya. Ia pun mneghampiri gue dan Ibu. “Ada apa? aneh rasanya hamil, ya? pusing? Mual?”

Gue menggeleng sembari tersenyum kecil. “Enggak ada apa-apa, kok, Bu, Ma.” Gue menatap satu per satu pada mata tua yang menatap gue dengan teduh itu. biar enggak terlalu mengkhawatirkan gue, lebih baik gue menutup semuanya dengan senyum penuh palsu. “Arin emang agak capek aja.”

Mama tersenyum mahfum. “Ya sudah, istirahat. Mama sama Bapak nginap di sini. mau dengar cerita Arin selama hamil, ya. enggak apa, kan?”

Mertua gue tau enggak, ya, kelakuan anaknya?

“Mama senang Arin hamil?” tanya gue spontan. Bikin Ibu mengerutkan kening dan segera memberi tatapan sinis. 

“Mana ada di antara kami yang enggak senang mau dapat cucu, Rin? Kamu aneh banget kalau bicara,” ketus Ibu yang bikin gue terkekeh. 

“Arin tanya Mama, bukan Ibu.”

Biarpun gue lagi hamil begini, Ibu tetap saja memberi satu jeweran di telinga. Enggak sakit tapi bikin gue malu hati. Mama? Tertawa.

“Mama senang banget, lho, dapat berita kamu hamil. Makanya buru-buru ke Jakarta demi bisa menengok mantu kesayangan Mama ini.”

Gue terharu banget. “Makasih, ya, Ma,” kata gue tulus. Mama mengangguk sembari mengusap puncak kepala gue penuh lembut. Ah, andai di sini ada Abang? Apa dia enggak malu hati sudah berkata begitu ke gue? Enggak mau terima anaknya ada di perut gue? Sementara penerimaan di keluarga inti kami, semuanya gembira banget.

Yang salah memang otaknya Abang. Butuh disetrum jutaan volt kali biar sadar. 

***

Malam ini gue tidur agak larut. Enggak peduli dengan ponsel gue yang ada di dalam tas sejak tadi. Baru gue keluarkan setelah gue berganti dengan piyama dan selesai shalat isya. Seperti biasa, puluhan chat, telepon, pesan, dari Abang masuk. Enggak ada minat sedikit pun di hati gue untuk membacanya. Buat apa? Enggak penting.

Baru saja gue naik ke ranjang tinggal tarik selimut, pintu kamar diketuk. Suara Mama terdengar di sana. Ada apa, ya?

“Rin, Abang telepon kamu katanya. Ponsel kamu enggak aktif?” tanya Mama sembari menyerahkan ponselnya ke gue. 

“Ah, ada. Di tas enggak tau kalau Abang telepon.” Gue berusaha banget untuk menutup geram karena tingkah Abang yang menyebalkan ini.

“Abang khawatir banget sama kamu. Bicara, ya?” kata Mama sekali lagi menyodorkan ponselnya. Kalau sudah begini, gue bisa apa? Menolak nanti bakalan ketauan kalau gue lagi perang dingin sama Hulk. Nyebelin banget memang tuh laki!

“Assalamualaikum, Neng,” katanya dengan nada yang gue dengar kayak lega gitu. bodo amat.

“Ya. Kenapa?”

“Enggak ada niatan jawab salam?”

“Sudah di dalam hati. Ada apaan? Kalau enggak penting banget, mau tidur. Capek.”

Gue dengar Abang menghela napas pelan. “Sejak semalam Abang coba hubungi, Arin sama sekali enggak angkat. Arin marah?”

Pikir lo aja?! Tapi kata-kata itu enggak gue utarakan. Gue milih diam sembari duduk di kursi meja rias. Menatap lekat wajah gue yang cemberut karena telepon darinya. Ngapain telepon gue? khawatir sama gue? 

“Abang minta maaf,” cicitnya pelan. “Abang salah.”

Gue masih belum mau merespon. 

“Kemarin Abang dimarahi Mama karena pembelaan tentang kehamilan Arin dan yah ... Abang sadar, Abang salah.”

“Oh.”

“Jangan marah lagi, ya. Abang salah.”

“Ada lagi yang pentng? Kalau enggak ada, mau tidur. Capek. Seharian enggak bisa makan. Tadi bisa makan sekarang ngantuknya datang. Jadi males bicara lama-lama. Bisa disudahi teleponnya?”

“Enggak mau memaafkan Abang dulu?”

Gue berdecih kasar. “Ngapain? Enggak penting juga maaf dari saya, kok.”

“Neng? Neng, kok gitu?” 

Gue tau, ada nada panik di sana.

“Udah lah. saya serius, capek. Enggak perlu khawatir mengenai saya, kok. Santai aja.”

Enggak perlu menunggu jawaban apa dari Abang, gue matikan saja teleponnya. Minta maaf setelah dimarahi ibunya? Ck! Memang otaknya berarti enggak bisa digunakan untuk berpikir jernih dong?!

Nyebelin banget, ya, Rasyid Ananta!

Dipikir gue hamil ini, bagi dia musibah banget kali, ya? Gue usap lembut perut gue yang masih rata. “Tenang Utun. Kamu aman sama Mami. Kerja sama yang baik, ya. Enggak usah peduli sama Papi. Biar aja. Papi kamu sesat!”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya [not] FINDING NEMO. [Bab 51 - 55]
1
0
PART GRATIS SAMPAI TAMAT
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan