
BAB FREEE
RATE : 21+
***
Unggahan sama seperti bab free di wattpad. Yang belum pernah baca kisah Xena-Riga, bisa dibaca dari bab awal ini, ya.
Tenang, masih free sampai bab 50
***Spoiler
“Satu ... atau dua?” Jemari yang sedari tadi ada di dalam Xena, ia keluarkan. Cairan bening yang berasal dari dalamnya, menyelimuti. Pelan, ia bawa jemari itu dan menyentuhkannya pada pipi sang gadis yang tampak berkobar di bawahnya.
Xena menggeram kesal. “I’m done!” Ia mendorong kasar tubuh pria yang ada di atasnya. Cepat,...
Prakata
Serupa Lily yang tumbuh subur di taman itu, cinta yang kupunya tanpa sadar tumbuh dengan pesatnya.
Sejalan dengan tanggung jawab yang kupunya, aku pun tau batas itu tinggi sekali untuk ditembus.
Namun bolehkah sekali ini saja … aku mengharap kamu ada dalam dekap?
PROLOG
Hanya ada satu yang Xena mengerti. Betapa ia sangat memuja sentuh dan semua yang bisa diberi malam ini oleh sang pria. Akumulasi hal-hal yang pernah ada di kepala kecilnya, diproyeksikan dengan jelas oleh si pria. Tanpa ampun. Tanpa jeda. Dan yang lebih mengherankan bagi Xena, semua tampak nyata.
Akan tetapi ...,
“Kenapa?” Xena bertanya dengan nada penuh frustrasi. Matanya terbuka sempurna dan mendelik tajam dengan napas saling memburu. Sang pria yang sudah memosisikan diri tepat di atasnya, hanya menyunggingkan senyum kecil. Seolah meremehkan namun sungguh, dalam kegelapan matanya, pria itu sudah sangat tak sabar.
Butuh puluhan bulan baginya menyadari, kalau ia begitu tersiksa dengan jarak yang dibentang.
“Satu ... atau dua?” Jemari yang sedari tadi ada di dalam Xena, ia keluarkan. Cairan bening yang berasal dari dalamnya, menyelimuti. Pelan, ia bawa jemari itu dan menyentuhkannya pada pipi sang gadis yang tampak berkobar di bawahnya.
Xena menggeram kesal. “I’m done!” Ia mendorong kasar tubuh pria yang ada di atasnya. Cepat, disambarnya pakaian yang tercecer. Jangan tanya wajah sang gadis; sangat berantakan. Wajahnya pun merah padam. Marah.
“You sure?” Riga terkekeh. Matanya tampak santai memperhatikan gadis berambut ash brown yang mulai berpakaian. Beberapa tanda kemerahan karena ulahnya nyata di beberapa titik.
“Jangan main-main sama aku, Riga. Selesaikan,” Xena menoleh dan masih memberi tatapan menghunus. “Atau aku pulang.”
“Your choice. Aku cuma mau memastikan, kamu dan aku puas. Itu aja.”
Xena merotasi matanya dengan jengah. Segera ia kenakan kain penutup pada bagian pahanya. "Ah, aku baru ingat. Ada janji dengan Arslan dua jam lagi."
Dapat Xena saksikan sendiri bagaimana mata sehitam jelaga itu kembali keruh. Aura penuh intim tadi berganti demikian cepat. Xena takut? Tidak. Ah, bukan sekadar takut. Tapi ia pun menginginkannya. Dalam satu kali sentak, sang pria sudah menariknya. Mengukungnya tanpa ampun.
"In your dream!”
Xena tertawa puas. "Jangan pernah main-main denganku, Riga. Jangan pernah."
PART. 1
Kabar duka.
02 Juni 2014
Tanpa ragu, Xena berlari sepanjang koridor sekolah. Titik peluh sudah mulai menguasai dahinya. Ia tak peduli. Pikirnya hanya tertuju pada ruang kepala sekolah. Katanya ... ada seseorang yang diutus dari kantor ayahnya.
Sejak semalam, perasaannya sudah tak keruan. Ditambah hingga dirinya menyelesaikan sarapan, tak ada satu pun kabar dari orang-orang yang ia sayangi. Biasanya sang kakak rajin menghubungi setiap kali punya kesempatan. Ah, mungkin saja mereka semua sibuk dengan urusannya.
Itu lah yang Xena tancap dalam benaknya. Semaksimal mungkin mengikuti semua ujian yang ada hingga ... panggilan untuknya tiba.
Napasnya memburu, matanya memastikan sekali lagi ruang yang ia tuju adalah benar. Sepanjang usianya bersekolah di Bina Nusantara, ia tak pernah menginjakkan kaki di sini. hanya beberapa kali menyambangi ruang guru itu pun dengan adanya tujuan tersendiri. Memberikan tugas serta perintah lain dari wali kelasnya.
Ia butuh beberapa menit untuk menormalkan laju jantungnya. Juga helaan napas yang berulang kali kejar-kejaran akibat larinya tadi. Dirasa cukup, ia memberanikan diri mengetuk pintu kayu berukir yang tergantung sempurna; Head Master, pada tengah pintunya.
“Pak,” sapa Xena saat benar-benar sudah masuk ke dalam ruangan yang cukup besar itu. Itu pun setelah Xena dipersilakan masuk. Matanya sedikit mengedar. Menutup gugup, Xena belum ingin beranjak dari posisinya di ambang pintu. Di sisi kanan, Xena disuguhi lemari besar berpintu kaca lengkap dengan isi banyak piala. Pun piagam pernghargaan yang ada di sudut satunya. Sekolah Xena memang bisa dikatakan, sekolah unggulan seantero Jakarta.
Netranya segera ia tundukkan saat Surya Palopo menoleh ke arahnya.
“Ah, Xena.” Surya berdeham sekilas. Menatap sekilas lawan bicaranya dan kembali melanjutkan ucapannya. “Duduk, Nak.”
Xena menurut dan saat ia sudah menyamankan duduk, keningnya sontak berkerut. Xena kenal pria ini. Tapi ada apa?
“Xena,” panggil sang pria.
“Kak Riga.” Entah kenapa, perasaaan tak keruan yang sejak tadi ia rasa, makin jadi arusnya di dalam dada. “Ada apa?”
Yang Xena dapati bukan segera jawaban melainkan hanya saling lempar pandang antara sang kepala sekolah dengan pria yang ia kenal sebagai tunangan kakaknya tercinta; Aldrich Riga Angkasa.
“Tolong ... kabar ini Xena cermati dengan baik dan,”
“Dan?” desak Xena tak sabar. Sama sekali ia tak sabar hingga posisi duduknya segera ia ganti sedikit bergerak ke arah pria yang beberapa kali ia temui itu.
Ada satu helaan napas panjang sebelum akhirnya Riga bersuara, “Orang tua kamu dan ... Vally,” Riga memejam sejenak, merasakan pedih yang sejak tadi ia tanggung. Apalagi saat dirinya mengucap nama yang demikian mengusik relungnya. “Terlibat kecelakaan semalam.”
Xena tak mengedipkan mata. Hanya menatap Riga tanpa jeda. Mencerna segala ucap yang ia dengar barusan.
“Dan ... mereka semua meninggal di tempat.”
***
Pemakaman.
03 Juni 2014
Gerimis yang turun, tak menganggu gadis yang mengenakan terusan hitam itu. Ia tetap berusaha tegar berdiri di antara tiga gundukan yang sudah tertutup rapi. Bunga-bungaan sudah tersebar cantik di atasnya. Masing-masing sudah memiliki nama; nama yang menjadikan dirinya bagian keluarga.
Kacamata yang ia gunakan sekadar untuk menutupi betapa bengkak matanya karena menangis. Terutama saat mobil jenazah tiba di kediaman megahnya. Ia meraung. Berteriak histeris hingga pingsan berkali-kali tapi tetap saja, tiga orang yang sangat ia cintai, tak akan bangun menyapanya. Mereka sudah terbujur kaku, bahagia menghadap Tuhan.
Menyisakan dirinya yang masih sangat muda menghadapi dunia. Pijakan yang Xena punya dirasa runtuh tanpa ada lagi penopang, apalagi saat Riga memberitahu berita duka ini. Dan keruntuhan Xena makin jadi, saat untuk kali terakhir, ia diperbolehkan menatap ketiga orang keluargnya. Papa, Mommy, serta sang kakak, Vallerie.
“Non, minum susu dulu, ya,” tawar Narti sesaat sebelum mereka semua menuju pemakaman. Sejak semalam, Xena memang tak menelan atau meminum apa-apa. baginya, semua hambar dan kenyang bersamaan.
“Enggak, Mbak. Aku enggak mau,” tolak Xena sembari menyeka air matanya. pihak keluarga baik dari Papa atau Mommy-nya, sudah mulai berdatangan. Mereka semua memeluk Xena dan menyampaikan ucapan belasungkawa. Xena masih tak ingin percaya semua yang terjadi demikian cepat ini.
Bagaimana di malam mereka pamit, Vally sempat berpesan padanya agar berhati-hati saat ujian. Jika nilainya bagus, rewards liburan ke Bali sudah menunggu. Xena cemberut lantaran tahun lalu pun sama; liburan ke Bali.
Jika ia ingat-ingat, malam itu memang orang tuanya banyak memberi pesan. mulai dari jaga kesehatan, jangan lupa makan teratur, dan satu hal yang mengusiknya kini.
“Xena harus jadi perempuan kuat. Terjang semua yang menghadang dengan cara kamu. Jangan pernah berpikir untuk menyerah. Dirja pantang menyerah, Xena. Kamu harus tau itu.” Hanif Dinandirja berkata sembari mengusap puncak kepala Xena penuh sayang. Sorot matanya lembut namun penuh tegas di dalamnya.
“Xena anak Papa. Pasti Xena juga enggak gampang nyerah kayak Kak Val yang sering menang tender itu. ya, kan?”
Hanif tergelak, menjawil ujung dagu xena yang terbelah penuh sayang. “Kamu benar. Contoh Vally. Tapi ingat satu hal. Papa lebih suka kamu menjalani hidup seperti apa yang ada di hati kamu.”
Kening Xena berkerut dan makin berkerut kala sang papa melanjutkan ucapannya.
“Karena hati paling tau, ke mana akan berlabuh.”
“Xena enggak ngerti, Pa.” Benar. Itu benar adanya. Xena mana paham akan hal ini. Pikirnya hanya sekolah, mengikuti kegiatan yang ia pilih sebagai pengisi waktu luang, dan kembali ke rumah. Hidupnya tak banyak warna. Biasa saja. Bahkan bagi remaja berusia lima belas tahun ini, memiliki teman dekat berlawan jenisnya, tak ada keinginan di dalamnya. Sangat berbeda dengan teman-temannya.
Yang dibicarakan, tak pernah jauh dari, “Lihat, deh. Ganteng banget, kan, ketua OSIS kita?”
“Kamu enggak perlu mengerti. Suatu saat kamu pasti paham. Ingat-ingat saja pesan Papa, ya.” Hanif menatap Xena demikian lekat. Sementara sang putri bungsu pada akhirnya mengangguk dan tersenyum kecil mengiakan permintaan sang papa.
Yang tak pernah ia sangka, akan menjadi pesan terakhir sebelum mereka kini berbeda dunia.
Lagi-lagi Xena menghapus air matanya. Ingatan itu demikian membuatnya sesak.
“Kita pulang,” kata seseorang yang membuat Xena menoleh. Agak mendongak karena pria di sampingnya ini tinggi menjulang. Tubuhnya tegap apalagi ditambah kali ini, ia kenakan kemeja hitam yang agak kotor ujungnya. Selama prosesi pemakaman, pria ini tak segan membantu turunnya masing-masing peti di peranduan terakhirnya.
“Xena mau sendiri, Kak.” Xena kembali menata pusara kedua orang tuanya. Sedikit berjongkok sekadar masih ingin melepas rindu.
“Saya temani kalau begitu.”
Kembali ia menoleh dan benar, Riga pun sama. Menyejajarkan dirinya di samping Xena. “Kak Riga ulang saja. Xena mau sendiri.”
“Saya enggak akan biarkan kamu sendiri.”
PART. 2
Detik sebelum dibacakan surat wasiat.
06 Juni 2014
Sudah berlalu tiga hari sejak Hanif, istri, beserta anak sulungnya dimakamkan. Berita tentang mereka pun tersebar seantero Indonesia. Pemilik usaha ritel kedua terbesar di Indonesia, meninggal dengan cara yang tragis, banyak memenuhi kolom surat kabar juga laman berita online. Pun siaran di TV.
Hanya saja, Xena tak mau mendengar semuanya. Bagi gadis itu, mereka bertiga masih ada. Masih dalam meeting penting yang dibahas di Pandeglang. Xena ingat, kunjungan mereka juga diperuntuk untuk pabrik baru yang sebentar lagi diresmikan.
Suara pintu kamarnya terketuk yang membuat Xena mengangkat wajahnya dari bantal. Ia tak ingin beranjak dari sana sama sekali. Sekadar makan saja, Narti yang siapkan dan memastikan kalau nona mudanya makan dengan benar. Walau sukar sekali membujuknya.
“Masuk aja, Mbak,” sahut Xena dengan sedikit mengencangkan suaranya. Ia pikir, Narti yang masuk ke dalam namun ia salah sangka. Riga yang masuk dengan pandangan tajam ke arahnya. Tanpa ragu, pria itu pun tanpa permisi duduk di tepi ranjangnya. Tak jauh dari duduk Xena yang kini menatap Riga penuh curiga. “Kak Riga,” cicitnya pelan sekadar memastikan kalau benar pria yang ia kenal ini, orang yang sama.
“Pagi ini kenapa enggak mau makan?”
Xena kembali menundukkan wajah. Menggeleng pelan sebagai jawaban.
“Makan, Xena.”
Lagi-lagi gelengan Xena beri. “Pengin ikut Mommy dan Kak Val aja.”
Satu hal yang mulai kini Xena ingat mengenai perlakuan Riga padanya. Tanpa ragu, Riga mengendongnya. Membuat Xena menjerit tapi diabaikan. Hingga ia didudukkan dalam sedan mewan yang ia tau milik pria bermata tajam itu, baru lah Riga bicara. “Kita makan.”
“Tapi Xena enggak mau!”
“Makan, Xena!”
Untuk kali pertama, Riga menggunakan suara penuh domin@sinya. Membuat Xena ciut nyalinya mendadak. Yang kini ia lakukan hanya mengetatkan pegangannya pada seat belt yang sudah melingkari tubuhnya.
Sepanjang jalan, Xena membisu pun Riga. Lengannya yang kokoh mencengkeram kemudi dengan eratnya tanpa Xena tau, ada sesal yang merayap di hatinya karena nada bicaranya tadi. Hingga deru mesin mobilnya ia matikan pertanda sudah sampai di lokasi tujuannya, gadis itu tak mau mengeluarkan kata.
“Kita sampai.” Riga melepas seat belt dan menoleh sekilas pada Xena yang juga mengimitasi geraknya. “Maaf kalau saya bicara kasar tadi.”
Ucapan itu sukses membuat Xena menoleh, membuat mereka bersemuka akhirnya. Mata setajam elang tadi sudah berganti dengan tatapan demikian teduh. Xena ingat, tatapan itu selalu Riga beri saat dirinya ada di antara Vally juga tunangannya itu. Iya. Riga adalah tunangan dari sang kakak. Yang Xena rasa, sama-sama merasakan rasa sakit akan kehilangan orang yang sama.
“Iya, Kak. Xena juga minta maaf bikin susah.”
Sebuah usapan lembut Xena terima, membuatnya memejam sebentar. Menikmati. “Vally bilang, kamu suka bubur kampiun di sini.”
Lalu mata Xena mengedar dan akhirnya ia terkekeh. Tersenyum girang karena hal ini sedikit banyak membuat sedihnya berkurang jauh. “Makasih, Kak Riga.”
“Kita makan, ya. Nanti siang, ada pembacaan akta waris dari Pak Ronald. Kenal, kan?”
Senyumnya lindap saat itu juga
***
Tiga hari setelah meninggalnya orang tua Xena.
06 Juni 2014
Riga tak main-main memberinya informasi. Saat mereka tiba, di rumahnya sudah penuh dengan anggota keluarga baik dari pihak ibu juga ayahnya. Mereka semua menatap Xena penuh minat. Seperti siap memberi kepalanya untuk dikekang oleh gadis lima belas tahun itu. Xena jadi bergidik ngeri menyaksikan mereka semua. Mengencangkan genggaman tangannya pada Riga yang tak beranjak dari mana-mana kecuali sisinya.
“Aku takut, Kak,” bisik Xena pelan saat mereka sudah duduk di ruang tamu. Sebagian Xena mengenalnya, sebagian lagi tidak.
Riga yang mendengar keluhan Xena, sedikit menunduk ke arahnya. Berusaha menenangkannya. “Ada saya. Kamu tenang saja.”
Dan mereka menempatkan diri pada posisi tepat di dekat seseorang yang Xena kenal sebagai rekan kerja ayahnya, Ronald Nasution. Ia sempat berjabat tangan dan mendengar ucapan bela sungkawa dari bibir pria paruh baya itu.
“Semuanya sudah berkumpul saya rasa.” Ronald mulai angkat bicara, membuat kasak kusuk yang sejak tadi ia dengar, terhenti. Hening kemudian menyapa semua yang ada di sana termasuk saat ia melirik ke arah putri bungsu dari orang yang ia segani selama ini. bukan hanya sebatas rekan kerja, hubungannya dengan keluarga Dirdja yang satu ini, lekat sekali. Bahkan Ronald tak pernah segan untuk dimintai bantuan Vally saking menganggap gadis itu seperti anaknya sendiri.
Mengetahui Hanif meninggal dengan cara yang tragis seperti ini, timbul hasrat yang berbeda dalam benaknya. Mungkin, setelah ini pekerjaannya akan berat tapi ia siap. Apalagi saat ia teringat seminggu lalu, Hanif dengan konyolnya mengirimkan satu surel. Yang membuatnya datang ke kantor sahabatnya itu tanpa ragu. Menerjangnya dengan banyak pertanyaan yang membuat dirinya keheranan luar biasa.
“Surat wasiat itu perlu, Ron. Masa seperti itu saja enggak tau?” kelakar Hanif kala itu. Tadinya, Ronald tanggapi seloroan itu dengan senyum lega tapi mendapati kabar tiga hari lalu, membuatnya merenung. Apa itu jelas seperti pertanda?
“Saya, Ronald Nasution, dengan ini menyatakan bahwa telah diberikan kuasa untuk dan atas nama Hanif Dinandirdja, SE, sebagai pengacara pribadinya. Dalam hal ini, bekerja di bawah naungan pribadi untuk dan atas nama keluarga inti Dirdja. Meliputi Bapak Hanif Dinandirdja selaku pemberi kuasa, beserta Nyonya Rossie Putri Sanjaya dan dua putri mereka, Vallerie Leah Dinandirdja dan Roxeanne Arizona Dinandirdja.”
Satu per satu orang yang ada di sana, Ronald tatap. Mereka semua memilih menunggu karena Ronald sendiri tau, apa yang mereka tunggu. Rasanya ia ingin tersenyum girang tapi juga disertai takut yang amat.
“Dan atas kuasa yang diberikan, dengan ini saya secara sah dapat membacakan surat wasiat yang ditulis pemberi kuasa, dalam hal ini Bapak Hanif Dinandirdja, SE.” Ronald menarik napasnya pelan. Surat wasiat itu memang pernah ia baca, segala point yang tertera di sana membuat keningnya berkerut heran tapi setelah mendapat penjabaran yang cukup masuk akal, di mana ia sendiri menyetujui pemikiran seorang Hanif, ia buka perlahan.
“Selamat pagi, semua saudara dan saudariku. Dan terkhususkan untuk putriku tercinta, Xena, apa kabar? Papa harap, kamu senantiasa sehat dan bahagia. Tak ada yang lebih Papa inginkan kecuali senyum kamu yang sehangat mentari pagi. Juga Vally, putri kebanggaan Papa sampai kapanpun. Jika seorang Ronald sudah membacakan surat ini di depan kalian, artinya Papa sudah bertemu Tuhan. Bahagia bersama-Nya. Untuk istriku tercinta, jangan sedih, bertahan sebentar saja karena aku pasti menjemputmu. Bangun di pagi hari tanpa satu cangkir kopi buatanmu, rasanya hampa.”
Xena mengetatkan genggamannya pada Riga. Dalam bayangnya, senyum sang ayah yang hangat, lekat sekali dalam ingatannya. Duduk bersantai di sofa kesayangannya sembari membaca majalah bisnis. Ditemani Mommy di sampingnya. Bahagia sekali. Dan kini, bayang itu tak lagi nyata di depannya. Sungguh, ini membuat Xena kembali sesak.
Telinganya sengaja ia tulikan tak ingin mendengar apa-apa selain merajut kenangan yang tak akan ia kaburkan sama sekali dalam benaknya. Satu per satu nama keluarga dari pihak sang papa, mendapat bagiannya. Ia tak peduli. Pekerjaan ayahnya pun ia tak tau karena Vally selalu melarangnya untuk tau lebih jauh selain alamat kantor ayahnya pun dirinya.
Katanya, “Kamu lulus SMA dulu baru Kak Val beritahu, betapa bisnis Papa harus kamu tau dengan baik karena kita Dirdja.”
“Kenapa kalau kita Dirdja?”
Xena ingat, Vally tergelak dengan pertanyaannya. “Kita punya tanggung jawab besar, Xena. Nanti kamu pasti tau. Sekarang, kamu puas-puasin semasa SMA karena enggak akan kembali.”
Kening Xena berkerut.
“Enggak ingin berkencan dengan teman sekelas atau cowok yang naksir kamu memangnya?” goda Vally saat itu. Membuat xena merinding seketika.
“Ih, aku enggak minat.”
“Ah, kalau cowoknya sekeren Riga pasti kamu mau. Ya, kan?”
Gantian Xena yang tergelak. “Mungkin. Kak Riga memang keren, sih. Kak Val beruntung banget dicintai Kak Riga.”
Vally mengangguk penuh binar di matanya. “Suatu saat, akan datang pria seperti Riga buat kamu. Kakak yakin banget.”
Hingga ia merasa ada yang menyentuh tepat di bahunya. Membuat lamun itu buyar begitu saja. Xena ingin memaki siapa pun yang menyentuhnya, namun saat ia menoleh, didapati Riga di sana dengan tampang kaku.
“Kamu harus siap, Aldrich Riga Angkasa. Ini amanat dan kamu harus jalankan.”
Lalu yang Xena ingat, banyak suara mencemooh serta tak terima yang bersumber dari kumpulan saudara sang ayah.
“Enggak bisa seperti itu dong! Pria ini hanya orang luar! Enggak mungkin memimpin Djena!!!”
“Benar! Riga orang luar. Enggak pantas menempatkan posisi tertinggi di sana. Lalu kami ini apa? Pelayannya? Tak sudi!!!”
“Kami tak masalah kalau Djena dipimpin Xena nantinya. Walau sekarang Xena masih kecil tapi paling tidak, nantinya Djena akan kembali ke tangan yang sah. Selama masa tunggu, kenapa bukan kami, saudara yang sah dari seorang Hanif yang menggantikan?”
“Ah, jangan-jangan kau, Ronald, yang mengada-ada dengan surat wasiat itu! Akui saja, lah!”
Xena menatap Riga penuh tanya sementara pria yang masih belum mau melepas tangannya, masih menatap satu per satu semua orang yang ada di depannya. Xena tau, aura kelam yang Riga tampilkan dalam sorot matanya sungguh menakutkan. Seolah sedang membuat banyak perhitungan atas apa yang ia dengar kini.
“CUKUP!” Suara Ronald yang cukup kencang menginterupsi. Hening sontak hadir tanpa aba-aba di sana. Masing-masing dari mereka saling berpandangan juga memberi tatapan tajam ke arah Xena dan Riga. Oh, jangan lupakan tatapan tak suka yang demikian kentara yang dilempar begitu saja ke arah Riga.
“Surat ini sah dibuat sebelum terjadi hal yang sangat membuat kita berduka. Juga point yang tertera di sana cukup jelas. Jikalau terjadi hal di luar kendali, seorang Vallerie tidak bisa memimpin roda Djena, maka Aldrich Riga Angkasa sementara waktu yang akan mengurus semuanya. Pembagian dividen akan tetap berjalan sebagaimana mestinya diawasi birokrasi hukum yang berjalan. Laporan setiap bulan Xena harus mengetahuinya. Hingga Xena cukup usia, 23 tahun nantinya.
Xena melongo. Baginya, usaha sang ayah sama sekali tak ia ketahui. Dan kini? Ah, itu belum seberapa dibanding dengan perkataan seorang Ronald di akhir surat wasiat itu dibacakan.
“Dan sejak surat ini dibacakan, wali hukum yang akan mengurus Xena hingga bisa memimpin Djena nantinya, ada di tangan Aldrich Riga Angkasa.”
Part 3
Ulang tahun Xena.
Februari 2015
Biasanya saat bangun pagi, 14 Februari di setiap tahunnya, Xena selalu bangun dengan semringah di wajah. Menyapa semua orang yang ada di rumah. Hingga ke tukang kebun pun, Xena hampiri sekadar mengucap selamat pagi. Ada doa khusus yang ia hatur seiring bertambahnya usia termasuk hari ini.
Genap enam belas tahun usianya.
Genap juga sedih yang mengiringnya hingga kini. Delapan bulan berselang sejak orang tua serta sang kakak meninggal, luka kehilangan itu masih menganga lebar. Aktifitasnya kembali tapi tak ada yang normal. Gempitanya menyambut hari sudah hilang. Seringnya mendung menjelang serta jikalau ia tiba-tiba teringat akan ibunya, pasti Xena menangis tergugu di sudut kamar utama. Memeluk potret keluarganya erat-erat.
Persis seperti hari ini. Bangun paginya mendung. Ia tujukan langkahnya menuju kamar utama orang tuanya. Semuanya masih sama. Tak ada yang berubah. Ia ingat, jikalau ia ketakutan dalam tidurnya, ia menyelinap masuk. Bahkan hingga seragam sekolahnya berganti, kebiasaan itu masih tetap dilakukan.
Sedewasa apa pun seorang anak, akan tetap menjadi anak bagi orang tuanya.
Akan tetapi, belum genap langkahnya masuk ke dalam kamar, suara Narti menghentikan langkahnya.
“Tuan Riga ada di ruang tamu,” katanya kemudian. Tanpa sadar, Xena mengulum senyum. Sejak hari di mana wasiat itu dibacakan, percaya lah, hanya Riga yang selalu ada untuknya. Mengunjunginya saat makan malam, bertanya ini dan itu seputar sekolah, bersama menonton film di ruang teater miliknya, atau jika weekend tiba, mereka berenang bersama.
Menyenangkan ada sosok yang menemaninya di saat sedih masih sering melandanya. Bahkan tak jarang mereka saling menguatkan karena sesekali, Riga sering bergumam mengenai kesukaan Vally.
“Iya, Kak Val suka banget sama mawar merah. Katanya seksi gitu. Padahal menurut aku, cantik warnanya tapi bisa melukai orang,” keluh Xena suatu hari saat mereka menyusuri taman belakang.
Respon Riga hanya terkekeh. “Tapi memang benar yang Vally bilang. Merah itu ... seksi.”
Berhubung Xena kurang memahami, ia hanya kembali melanjutkan langkah. Hingga tiba di salah satu koleksi kesukaannya; Lili.
“Nah, ini kesukaan Xena,” katanya dengan riang. Yang sudah bisa diduga oleh Riga jika gadis remaja ini menyukai hal-hal penuh lembut. Typical perempuan yang tak macam-macam dalam hidupnya. Pecinta aktifitas rumah dengan segala kehangatannya. Berbeda dengan Vally yang menyukai aktifitas di luar. Mengeksplorasi dirinya dengan kepala tegak. Berani. Pantang menyerah. Dan satu hal yang selalu Riga ingat, cantik dan seksi. Perpaduan yang sempurna menggambarkan seorang Vallerie Leah Dinandirdja.
“Non, malah senyum-senyum gitu.” Tak pelak, rona merah di wajah sang nona muda membuat Narti merasa bersyukur dengan amat. Semua yang ada di sini, sangat berterima kasih dengan Riga. Pria yang jarang sekali bicara itu setidaknya bisa membuat nona mudanya senang. “Tuan Riga sudah menunggu.”
“Ah, benar.” Buru-buru Xena berlari kecil tapi sebelumnya ia berbalik, membuat Narti menatapnya bingung. “Aku enggak berantakan banget, kan?”
Senyum Narti tercipta. “Enggak. Nona Muda selalu cantik.”
Xena terkekeh dan kembali melanjutkan larinya. “Kak Riga,” pekiknya girang setelah memastikan kalau pria itu benar-benar ada di sana. Berdiri membelakanginya, dengan setelan resmi yang kaku tapi Xena suka.
Saat Riga menoleh, ia tak pernah siap kalau ternyata Xena bisa berbuat seenaknya. Gadis itu melompat menerjangnya. Beruntung, Riga tak jatuh terjerembab menyentuh karpet yang menjadi pijakannya. “Xena,” geramnya tertahan.
“Maaf, Kak.” Xena sedikit menunduk karena posisinya lebih tinggi dari netra Riga. “Kupikir, Kak Riga lupa hari ini.”
Riga menggeleng pelan. “Enggak mungkin kalau seminggu belakangan, saya di-chat terus mengingatkan hari ini harus pulang.”
Gelak Xena menyusup dalam kalbu Riga terdalam tanpa sadar. Dipatrinya dalam hati, betapa gelak itu ternyata bisa membuatnya menghangat tiba-tiba. Menciptakan satu keberanian dalam diri sang pria untuk menyentuh gadis itu, membenahi surainya yang panjang. Menyisipkannya pada selaan telinga kemudian ia berbisik, “Happy birthday, Princess Xena. Wish you all the best.”
“Thank you.”
“Xena mau hadiah apa?” Riga sedikit membenahi posisi gendong Xena. Agar gadis itu nyaman tapi sepertinya, Xena tak peduli. Ia memilih mengetatkan kaitan kakinya persis seperti koala.
“Enggak butuh apa-apa. Pengin ke makam sama Kak Riga aja. Itu sudah lebih dari cukup.” Penuh ragu, Xena menyentuh ujung pelipis pria yang dekat dengannya kini. Merasa tak ada penolakan, Xena susuri dengan penuh lembut di sana. “Sekalian merayakan ulang tahun Kak Val juga. Kak Riga tau, kan, kalau ulang tahun kami sama?
Dalam pejamnya, Riga mengangguk. Mana mungkin ia lupa hari ini. “With my pleasure, Princess.”
Lalu Riga mulai menurunkan tubuh Xena namun gadis itu menolaknya. Membuat Riga mengerutkan kening. “Ada apa?”
Yang Riga tak siap, ketika bibir mungil Xena yang selalu serupa merah pada jambu, mengecupnya dengan kecepatan kilat.
“Terima kasih sudah menjadi seorang kakak yang sayang sama Xena.”
***
Peristiwa lanjutan.
Mei 2015
Di kamarnya, Xena duduk dengan banyak buku pelajaran. Dua hari lagi, ia akan menghadapi ujian kenaikan kelas menuju tingkat lanjutan; kelas sebelas. Jangan tanya bagaimana ia gugup tapi Xena selalu ingat, ia bisa melaluinya. Riga selalu memberinya pesan penuh semangat walau mereka terpisah jarak. Riga bilang, ada urusan bisnis di Bandung.
Hanya satu pintanya pada Tuhan, agar Dia selalu melindungi Riga. Entah kenapa, ia lebih memercayakan tangannya digenggam Riga ketimbang paman atau bibi yang notabenenya adalah pihak keluarga. Riga sendiri pada akhirnya membatasi pergaulan Xena entah karena apa. Xena terbiasa menuruti semua ingin ayahnya. Mengabulkan segala harap ibunya. Mencontoh perilaku baik dari sang kakak dan membuat senyum seluas samudera perempuan panutannya terkembang terus menerus.
Sunyi yang terbiasa menyapa Xena, kali ini rasanya berbeda. Belum lagi, suara guntur yang bergemuruh membuatnya berjengit kaget berkali-kali. Kilatnya terasa menambah cekam yang mendadak menguasainya.
“Bi Narti,” panggil Xena sesaat setelah ia beranikan diri membuka pintu kamarnya. Biasanya wanita paruh baya itu segera menghampirinya. Suara Xena pasti terdengar hingga seantero rumahnya. Karena hanya ada Narti, Joko, dan juga Didi. Mereka bertiga yang selalu setia menjaga dan mengawasi Xena di rumah besar ini.
“Bi,” panggilnya sekali lagi. “Argh!” Xena segera menunduk saking suara petir demikian memekak. Ia merasa ada yang janggal di sini. Lalu suara banting pintu juga pecahan kaca menyeruak. Membuatnya menegakkan tubuh.
Dirinya ketakutan. Sangat. Pikirnya, pasti terjadi sesuatu di rumahnya. Tapi apa? Ia hanya butuh Narti atau Joko atau Didi. Tapi mereka semua di mana? Bayang mengerikan makin jadi dalam benak Xena, membuat gadis itu ciut mendadak sekadar untuk turun memeriksa asal suara tadi.
Bayang hitam mulai menampakkan diri dari arah balkon rumahnya. Xena ingat, pintu kaca di balkonnya. Apa suara keras tadi berasal dari sana? Ia urung melaksanakan niatnya karena bayang hitam itu makin jelas tertangkap netranya. Pun derap langkah berat yang makin mendekat. Pikirnya, hanya lari. Sejauh mungkin entah karena apa. Dan satu hal juga, menemui Narti yang kini tak tau keberadaannya di mana.
Tak peduli kalau langkahnya melompati dua tiga anak tangga, sesekali ia kuat berpegangan pada relling tangga. Otaknya memerintahkan agar tak menoleh namun, ia menoleh sekilas.
“ITU! Dia di sana!”
Entah berapa orang yang ada di lantai atas, mencoba mengejar Xena yang kini sudah ebrada di ujung tangga. Menangis ketakutan tapi kakinya terus bergerak menghindar pada sekumpulan orang yang ia yakin, sedang menuruni tangga.
“Bi Narti! Pak Joko!” Ia tak peduli lagi kalau orang-orang tadi bisa jelas mengikutinya dari suara. “TOLONG!!!”
Dan benar saja, derap langkah itu persis di belakangnya. Suara-suara saling sahut terdengar jelas oleh Xena. Napasnya sudah megap-megap. Netranya berkeliaran sana sini mencari sosok tiga orang yang selalu ada di dekatnya. Getar di sekujur tubuhnya sudah benar-benar tak tertolong. Ia beruntung, masih memiliki kekuatan untuk terus berlari.
Petir kembali menampakkan wujudnya. Suara gemuruhnya memekak telinga, membuat Xena menjerit ketakutan. Dan puncaknya, ketika tiba-tiba semua penerangan di rumahnya, mati total. Menyisakan kilat-kilat petir sebagai penambah cekam yang luar biasa mencekiknya.
Xena rasanya sudah tak kuat lagi lantaran berlari menghindari derap yang mengejar di belakangnya. Ia terus berlari, harus berlari karena jika ia menyerah, entah apa nasib yang akan menyapanya. Hatinya sudah ketar ketir membayangkan segala hal buruk. buru-buru ia enyahkan walau sangat sulit. Paru-parunya bekerja ekstra pun kinerja jantungnya. Terutama otot kakinya yang tak lagi ia rasa bagaimana sesekali ia tersandung aneka pot di taman. belum lagi perih yang ia rasa karena tergores entah karena apa.
Ia terus saja berlari.
Hingga ...
“LEPAS!!! LEPAS!!! TOLONG!!!”
Ia meronta demikian kuat. tak peduli bagian mana yang terkena terjang serta tendangannya. Ia gunakan tenaga terakhirnya untuk mempertahankan diri. dan dalam satu kali sentak, dagu Xena ditarik mendekat pada sosok yang menangkapnya.
“Ini saya. Kamu tenang bisa?”
Sungguh, tak ada yang lebih ia senangi kecuali bertemu dengan netra hitam tegas milik Riga. Segera ia peluk erat pria yang kini memeluknya.
“Mobil saya di sana,” tunjuk Riga pada bagian taman belakang. “Puji Tuhan, saya enggak terlambat.”
Xena mengangguk. Air matanya sudah turun sejak tadi. Mereka bersembunyi di rumput pagar yang ditanam agak tinggi sebelum mencapai taman mawar milik Vally. “Xena takut,” cicitnya gemetar.
“Masih bisa berjalan? Kita harus gerak cepat sebelum mereka menemukan kita.”
Gerak Xena mengangguk cepat sekali. Yang Riga katakan benar adanya. Dan dalam sekali gerak, Riga sudah berdiri dan menariknya untuk kembali berlari. Xena abaikan kembali rasa sakit yang mulai menjalari diri. harapannya ada di sedan hitam milik Riga. Mobil yang bisa membawanya pergi menjauh dari siapa pun orang-orang yang mungkin kini mengerja mereka.
“Mereka di sana!”
Sontak, Xena menoleh. Sekelebatan pria-pria bertopeng itu cepat bergerak layaknya singa memburu mangsanya. Cekalan tangan Riga diperketat pun Xena. Hingga ia berhasil mencapai pintu mobil Riga, gegas ia buka dan masuk ke dalam namun satu suara membuatnya beku.
Suara tembakan mengarah padanya.
“Xena! Cepat!”
Tak ayal perintah itu bagai magnet. Menariknya segera untuk duduk dan mengenakan seat belt. bahkan dari dalam mobil pun, suara tembakan itu kembali nyaring terdengar. Dan dalam satu injakan gas, mobil itu melau demikian cepat. Xena sungguh beruntung, terhindar dari entah apa yang mereka incar. Mereka pencuri kah?
Yang tak pernah Xena sangka, tembakan itu mengenai lengan Riga. dan saat xena menyadari, ia memekik ngeri. “Kak Riga!”
“Sudah-sudah. Jangan panik. Yang petitng kita lolos dari mereka dulu.” Riga menoleh tapiringisnya jelas tercipta. Timah panas yang mengenainya cukup membuat ia kehilangan sedikit kendali. Namun bayang Hanif yang memintanya dengan amat untuk menjaga Xena, juga Vally, menyeruak. Memberi kekuatan lebih padanya.
“Telepon Om Ronald segera. Ponsel Kak Riga di saku jas. Ambil cepat!”
Gemetar, Xena menuruti perintah Riga.
“Passwordnya ulang tahun Vally.”
Jangan tanya bagaimana getar pada ujung tangannya saat menyentuh ponsel Riga. Bukan lantaran baru kali pertama ia memegang benda yang menurutnya privasi milik orang lain itu. Bukan. Ketakutannya sangat menguasai akalnya. Ia takut, Riga kehilangan banyak darah.
“Kak Riga, passwordnya salah,” erang Xena penuh frustasi. Sudah dua kali ia coba, kalau ketiga kalinya ia bisa membuat ponsel itu tanpa makna.
“Ah, saya lupa. Tahun lahir kamu belakangnya.”
Part 4
Aldrich Riga Angkasa.
Mei 2015.
Riga meringis saat dikeluarkan proyektil dari lengannya. Dia sungguh mujur. Masih bisa membawa Xena dengan selamat dan aman hingga apartementnya. Setelah menghubungi Ronald, Xena diminta untuk memberi kabar pada Nika, kenalan Riga yang berprofesi sebagai dokter. Riga tak ingin ambil risiko ke rumah sakit. Ia memilih Nika yang memeriksa keadannya.
“Tapi Kak Riga enggak apa-apa, kan?” tanya Xena penuh khawatir setelah mendengar Nika menghela napas lega.
Nika menoleh dengan satu senyum kecil. “Enggak apa, Dek. Kakak kamu enggak apa-apa. Kuat dia.”
Riga mencibir. “Cepat kerjakan. Saya banyak yang mesti diurus.”
“Astaga, Riga! Kerja terus? Setelah seperti ini? Kamu hutang banyak penjelasan, lho.”
Sebelah tangan Riga yang bebas, ia gunakan untuk mengibas pelan. “Sudah, kerjakan saja bagian kamu. Selebihnya urusan saya.”
Nika merotasi matanya, jengah. “Riga dan kebiasaannya!” Namun ia tetap mengerjakan apa yang harus dikerjakan. walau kehilangan cukup banyak darah, Riga masih beruntung luka tembaknya tidak mengenai otot vital yang bisa membuat lumpuh tangan. Saat ia bertanya kenapa, Riga memilih bungkam seperti kebiasaannya yang tak ingin privasinya diganggu.
“Nah, selesai,” kata Nika sembari mengusap peluh. “Jangan dibuat terlalu lelah dulu tangan kanannya. Istirahat beberapa hari kurasa cukup mengembalikan Riga yang perkasa.”
“Sialan kamu.”
Mereka berdua terkekeh, sementara Xena yang tak mengerti arah pembicaraan mereka, hanya menatap lurus pada interaksi keduanya. Ia lega luar biasa karena Nika memastikan Riga sudah baik-baik saja. Sepanjang jalan tadi, sungguh, adalah hal yang paling mengerikan yang terjadi pada hidup enam belas tahunnya itu.
Tak butuh waktu lama Nika di sana. Diiring Xena yang masih mengenakan piyama kotor juga penampilan yang berantakan, Nika berpamitan.
“Makasih banyak, ya, Kak Nika.”
Satu usapan diterima Xena dengan kerjapan mata.
“Kamu mirip banget sama Vally.”
Sontak, ucapan itu membuat netra Xena membulat. “Kak Nika kenal Kak Val?”
Bukan jawaban yang Xena dapat tapi sebuah senyum tulus ditaburi pedih yang Nika beri. “Aku pamit, ya. Jagain Kak Riga. Biasanya kalau sakit, dia manja.”
Xena terperangah. Maksudnya bagaimana?
Tak lama setelah Nika benar-benar pergi meninggalkan unit, Ronald tiba. Di mana saat menlihat Xena, pria paruh baya itu segera memeluknya erat. “Puji Tuhan, kamu enggak apa-apa, Nak.”
“Sebenarnya ada apa, Om?” tanya Xena lirih sesaat setelah pelukan itu diurai. Netra tua itu mengamati cermat-cermat penampilan Xena yang masih berantakan. Tak masalah baginya, asal Xena masih bisa diselamatkan dan tepat waktu.
Ia tak menduga akan mendapat kabar seperti ini. Artinya, kuat dugaan Ronald kalau kecelakaan Hanif bukan murni kecelakaan. Tapi siapa?
“Nanti kamu pasti Om beritahu. Sekarang lebih baik kamu ganti pakaian.” Ia pun segera menuntun Xena ke ruang tamu di mana ada Riga sedang mengenakan kemeja. Agak kesulitan yang membuat Xena bergegas membantunya.
“Pelan-pelan, Kak.” Xena berusaha hati-hati sekali saat melihat lengan berotot milik Riga yang diperban. Matanya mengerjap beberapa kali saat melihat tubuh polos Riga di depannya. Di sekolahnya, mana ada cowok-cowok sekeren Riga? Xena rasa tidak ada. Tapi kenapa juga Xena harus memperhatikan? Tujuannya membantu dan itu segera ia laksanakan. Mengancingi satu per satu butir kancing yang ada. Dan ketika mata mereka bertemu, kerut di kening Riga bertambah banyak.
“Astaga! Saya lupa menyuruh kamu ganti baju. Pasti kamu kedinginan, ya Tuhan! Saya jadi abai sama kamu. Ganti baju segera, ya. Nanti saya buatkan cokelat hangat? Xena mau?”
Gadis itu mengangguk girang. Mengikuti arahan yang Riga tunjuk dan membiarkan Ronald bicara ini dan itu. Xena memilih menyingkir lagi pula ia tak paham apa yang nantinya mereka bicarakan. Saat selesai mandi—ia tiba-tiba teringat dengan Narti, Joko, juga Didi. Bagaimana nasib mereka kini? Xena bergidik makin ngeri karena suara tembakan itu kembali terdengar jelas dalam ingatannya. Bagaimana kalau mereka semua ditembak? Dibunuh? Ya Tuhan! Xena benar-benar ketakutan sekarang. Khawatirnya pun sama besar membuatnya segera membuka almari besar yang ada di sana.
Sejenak, ia termangu. Di penglihatannya, semua baju-baju kakaknya tergantung sempurna. Ah ... senyum Xena terkembang kini. Mungkin selama sang kakak dan Riga berhubungan, sering kali kakaknya berkunjung ke mari. Meninggalkan jejaknya di sana. Satu dress berwarna putih yang terlihat hanya satu dari sekian banyak koleksi di dalamnya, ia ambil. Xena beruntung, tak terlalu kebesaran.
Gegas ia harus tau bagaimana dan kenapa ada orang-orang mendatangi rumahnya dengan cara yang menakutkan seperti ini. Tapi saat ia akan membuka pintu, sudah keburu Riga yang sudah mendorong pintu.
Riga, yang melihat Xena mengenakan dress pilihannya untuk Vally, terkejut luar biasa. Dalam bayangnya, di depannya adalah Vally. Yang cantik dan menggodanya bersamaan. B elum lagi rambut panjangnya yang masih setengah basah. Penuh domin@si, Riga melangkah. Membuat Xena memundurkan langkah kebingungan.
Hingga punggung Xena membentur tepi ranjang, membuatnya sedikit limbung. Dalam sekali gerak, tubuh Xena direngkuh Riga tanpa permisi. Memeluknya demikian erat. Mencoba menghidu aroma yang sangat ia rindukan; Rose.
“Kak Riga,” cicit Xena pelan sekali. Suaranya teredam dalam peluk yang sangat erat dan posesif ini. “Sesak banget napas aku.”
“Sebentar, Val. Sebentar.” Riga makin mengetatkan peluk. “Aku kangen.”
Seumur mengenal Riga yang masih bisa terhitung tahunan, baru kali ini Xena mendengar suaranya yang sarat putus asa. Kerinduan jelas sekali dalam alun yang dilontarkan bibir pria yang masih memeluknya ini. Xena pun sama. Merindukan sang kakak. Sangat.
Betapa polosnya ia ketika balas memeluk Riga tak kalah erat. Menimbulkan efek domino yang sangat tinggi akibatnya. Hal ini justeru membuat Riga menguraikan peluk tanpa mengalihkan matanya dari Xena. Perlahan tapi pasti, Riga mendekat hingga embus napasnya menyapa Xena tanpa ampun.
Terang saja membuat Xena kelabakan. Mencoba melepaskan diri tapi terlambat. Bibir mereka bertemu. Xena membeliak kaget, menatap langsung pda Riga yang memejamkan mata. Seperti menikmati segala sentuh yang ia buat. Pun tubuh Riga yang mulai mendorong Xena jatuh pada ranjang tepat di belakang Xena.
Jangankan dilepaskan, Riga semakin memperdalam ciumnya. Menahan tangan Xena tepat di atas kepala gadis yang masih kebingungan atas tingkah pria yang sudah menindihnya ini. Akumulasi takut, khawatir, bingung, ngeri, bergumul jadi satu namun tak bisa ia suarakan. Saat Xena sangka Riga sudah melepaskan, pada kenyataannya Riga hanya memberi sedikit kesempatan untuk gadis yang ada di bawah kukungannya untuk sekadar mengambil napas.
Dengan kekuatan yang tersisa, keberanian yang sudah berusaha Xena kumpulkan, ia menggigit bibir Riga cukup keras. Membuatnya memekik dan melepaskan Xena yang kini terengah. Tersadar atas apa yang ia perbuat, pun bayang Vally yang sudah tak lagi ada di depannya. Justeru Xena yang kini menatapnya penuh takut dan kengerian jelas tercetak di matanya.
“Xena,” lirih Riga putus asa. Diraupnya wajah penuh frustrasi dan ia jatuh bertumpu dengan lutut. Menutup wajahnya penuh gusar. Apa yang sudah ia lakukan barusan? Gila! Dia sungguh sudah gila dan terbentur keras kepalanya! Bisa-bisanya berbuat seperti ini pada Xena yang seharusnya ia jaga.
Sementara Xena, mulai bangkit dari rebahnya. Walau masih tak percaya atas apa yang Riga lakukan barusan, mendapati pria yang kini tampak gelisah, membuatnya mendekat.
“Kak Riga.”
Satu sentuh juga suara lembut walau terdengar ada gemetar di sana, membuat Riga mendongak. Xena ada di depannya.
“Kak Riga kenapa?”
Sungguh. Mendapati Xena yang mengenakan pakaian yang pernah Riga hadiahkan untuk Vally, menciptakan desir yang berbeda. Rasa rindu yang demikian besar juga ketidak berdayaannya akan sosok Vally, membuat Riga bergerak spontan.
“Maaf,” katanya pelan. Lalu tangan kecil milik Xena yang lembut, menyentuh perlahan wajah Riga. Mata mereka masih saling mengunci satu sama lain. Riga merasa ada yang salah di sini tapi apa? Sosok Vally sungguh nyata di depannya hanya berbeda sedikit sekali. Ah ... bola matanya. benar. Riga seharusnya menyadari kalau yang ia tatap kini, adalah Xena. Adik yang sangat Vally sayangi. Bukan tunangannya.
Gadis yang seharusnya ia jaga dengan segenap hatinya.
Tapi menerima sentuh Xena yang masih ada gemetar di sana, membuat Riga memejam.
“Enggak usah minta maaf. Xena tau, kita berdua sama-sama kangen Kak Vally. Kalau ... kalau Kak Riga salah sangka, Xena paham dan memaklumi. Kak Nika juga bilang begitu tadi. Xena enggak apa-apa, Kak Riga.”
Sontak, Riga membuka matanya. Masih bisa ia rasakan kalau sentuhan itu setia di pipinya yang bukan lagi satu tangan Xena di sana, melainkan keduanya.
“Makasih tadi sudah ada untuk Xena. Makasih sudah mau melindungi Xena. Dan maka—“
Untuk kali ini, Riga tak lagi dalam bayang Vally untuk mendekatkan dirinya. Melekatkan kembali pada apa yang tadi terpisah. Dan kali ini, Riga seperti dalam khayal tertingginya. Xena membalas walau sangat kaku, semua cumbuannya.
***
Apartement.
Mei 2015.
Xena memasuki rumahnya dengan perasaan waspada. Setelah tiga hari sejak kejadian itu berlalu, ia pun diperbolehkan kembali. Sekadar memastikan dengan mata kepalanya sendiri, kalau tiga orang yang selalu menemaninya di rumah, dalam keadaan baik-baik saja. Terkecuali Joko. Info dari Riga, ia terluka cukup parah di bagian lengan.
Melindungi Narti agar berlari menjauh walau akhirnya disekap di gudang juga. tapi Joko melawan. Mengakibatkan lengannya terkena sabetan benda tajam yang cukup panjang meninggalkan bekas. Masih menjalani perawatan di rumah sakit dan Xena bersyukur sekali, keadaannya stabil. Riga mengizinkan Xena setelah berkunjung ke rumahnya, lantas mengunjungi Joko di ruang rawatnya nanti.
Saat Narti dan Didi melihat Xena, mereka berpelukan sembari menangis. Mereka pun takut terjadi hal mengerikan pada nona mudanya. Berkali-kali Narti memeluk dan menatap Xena seolah tak percaya. Berkali-kali pula Didi berterima kasih pada Riga yang menyelamatkan Xena.
“Saya enggak kebayang Nona Muda, Tuan Riga. Benar-benar saya berterima kasih,” katanya sekali lagi yang mendapat gelengan heran dari Riga.
“Sudah berapa kali Pak Didi ucap seperti itu? Dari pada susah payah minta maaf terus, lebih baik buatkan saya kopi. Bisa, Pak?”
Didi melongo. “Tuan serius?”
“Why not? Saya suka kopi.” Riga merangkul Didi sekarang. Berjalan menuju dapur. Meninggalkan Xena yang masih setengah dipeluk oleh Narti.
“Tapi Non enggak ada kurang apa-apa, kan?” Narti kembali menatap Xena, memastikan betul-betul gadis cantik di depannya ini. Senyum yang Xena beri, sedikit banyak membuatnya lega.
“Xena serius enggak apa-apa. Kak Riga jagain Xena dengan baik.”
“Puji Tuhan, Tuan Riga memang sepertinya diutus Tuhan untuk melindungi Nona Muda, ya. Saya benar-benar takut, Nona. Takut banget. Setiap hari saya nangis, gimana nasib Nona. Kalau terjadi apa-apa, saya bersalah banget sama Nyonya.”
Xena membenamkan diri memeluk orang yang sudah lama bekerja dengan setia di rumah ini. Orang kepercayaan ibunya. Juga orang yang sering menemani Xena di saat semuanya sibuk dengan banyak aktifitas di luar.
“Bi Narti,” Xena mengurai peluknya. Rasa sesak yang tadi pagi menyapanya, mulai menyeruak. Membuat genang air mata di matanya mulai timbul. Riga sudah berpesan dan tak bisa dibantah sama sekali.
Rengekannya.
Permohonannya.
Bahkan, untuk kali pertama Xena menangis hanya demi agar Riga memenuhi pintanya.
Tetap tinggal di rumah orang tuanya. Tinggal bersama dengan orang-orang yang bekerja di sana. Memupuk terus kenangan akan ketiga orang yang telah pergi meninggalkan Xena sendiri. Dengan Riga yang mengawasi. Terserah kalau nantinya Xena dikelilingi oleh beberapa pengawal seperti opsi yang Ronald berikan.
“Enggak.” Riga memejam sejenak. Sebenarnya ia pun tak tega tapi mengambil risiko kalau Xena suatu saat disambangi orang yang tak dikenal lagi? Nyawanya terancam? Tidak. Riga tak mau ambil risiko besar itu.
Benar praduga Ronald sesaat setelah ia menceritakan apa yang terjadi di kediaman Hanif Dinandirdja tiga malam lalu. Ada kemungkinan besar kalau keluarga Xena termasuk di dalamnya, tunangan yang masih ia cintai hingga kini, tewas terbunuh. Tapi siapa dan apa motifnya? Masih terlalu abu-abu untuk dinilai.
Ronald sudah mengerahkan beberapa orang untuk menyelidiki. Dan berpesan dengan amat sangat, mnejaga Xena penuh kehati-hatian. Jangan sampai terulang lagi peristiwa ini sampai motif si pelaku, terkuak.
“Tinggal di sini dengan saya. kamu aman dan saya enggak khawatir berlebih.”
“Tapi, Kak,” Xena kembali merangsek menggamit lengan Riga. Menumpukan sebagian beratnya pada tubuh sang pria yang tampak enggan itu. “Aku merasa asing di sini. Aku biasa ada Bi Narti. Toh, ada Pak Didi yang bisa temani aku ke mana aja. Atau ...” Xena menghentikan langkah Riga yang mulai mengarak ke kamar.
Mendongak karena tinggi mereka tak seimbang. Kalau Xena berdiri sejajar dengan Riga, hanya sebatas bawah bahunya. Padahal kalau dipikir, Xena termasuk perempuan bertubuh tinggi di sekolahnya. Apa dulu Riga ini senang makan bambu? Jadi tinggi menjulang seperti ini? Ah, untuk apa Xena memikirkan hal ini? Ia harus membujuk pria itu bagaimana pun caranya.
“Aku rela dijaga pengawal, deh. Di sekolah, di tempat les, atau di mana aja asal aku pulang ke rumah.”
Riga menghela napas pelan. Memijat pelipisnya lelah. “Xena, dengar.” Ia meraih bahu Xena dan menumbuk tatapannya dengan tajam bisa Riga saksikan kalau berulang kali Xena menelan ludah gugup. “Saya enggak mau ambil risiko ada yang terjadi sama kamu lagi. Enggak lama. Sampai Pak Ronald menangkap pelakunya.”
Mata Xena sudah kembali berkaca-kaca. “Kak Riga,” pelasnya.
“Enggak, Xena. Enggak akan saya turuti untuk hal yang satu ini. Persiapkan saja keperluan kamu. Saya juga sudah perintahkan Narti beresin barang-barang kamu.”
Sudah lah, Xena kalah. Yang bisa gadis itu lakukan adalah menangis. Tak peduli kalau di depannya Riga. Tak peduli jika sebenarnya ia malu.
“Non? Non melamun?” tanya Narti yang kebingungan dengan nona mudanya ini. sejak tadi hanya terdiam tapi air matanya menetes tanpa isak. “Ada apa? Non jangan bikin Mbak sedih.”
Buru-buru Xena menghapus jejak air matanya. “Xena sedih kalau harus pergi dari sini, Mbak,” adunya.
Narti sangat memahami kesediha Xena kali ini. mungkin bagi gadis beranjak remaja ini, rumah besar ini sekarang sunyi. Tapi kenangan di dalamnya bisa membuatnya hidup. Dan kini? ia harus dipisahkan dengan hal yang bisa membuatnya berdiri tegar. Tapi mau dikata apa? Alasan Riga benar adanya. Keselamatan Xena adalah prioritas paling utama.
Entah kenapa, mereka semua selaksa dijatuhi bom atom. Tiba-tiba kehilangan majikan besar. Tiba-tiba disambangi orang jahat yang mengincar nyawa nona mudanya. Apa salah keluarga ini? Narti tak paham sama sekali. Setau Narti, keluarga Hanif adalah dermawan dan rendah hatinya. Tinggal dan satu atap dengan mereka, Narti tak buta dengan segala kebaikan yang diberikan majikannya ini.
“Aku bakalan kangen banget, Mbak,” isak Xena kini.
Narti tersenyum maklum. “Enggak apa, Non. Enggak apa. kami bertiga dipesankan Tuan Riga merwat rumah ini seperti seharusnya. Hanya pemiliknya yang enggaka tidur di sini tapi Nona Muda tetap di hati kami. kami tunggu sampai semuanya beres. Tuan Riga yang kami rasa bisa melindungi Nona Muda sekarang.”
Xena makin banjir air mata.
“Ingat pesar Tuan Besar? Belajar yang rajin dan suatu saat bantu Tuan Besar di kantor? Mbak sering dengar nasihat itu, Non. Kalau Non Vally, pasti semangat banget mengiakan permintaaan Tuan Besar.”
Gadis itu mengangguk pelan. yang dikatakan wanita paruh baya ini benar adanya.
“Nah, sekarang hanya ada Non. Non harapan Tuan Besar sekarang. Mbak hanya bisa berpesan itu saja.”
Ada cekat yang Narti rasa di tenggorokannya. Ia takut, jika dilontarkan apa yang menjadi ganjalannya, Xena akan semakin sedih tapi ...
“Dan Nona Muda harus terus hidup. Hingga diserahkan apa yang seharusnya Nona Muda genggam. Sekarang ada di Tuan Riga. Mbak Narti, Pak Didi, dan Pak Joko percaya, Tuan Riga bisa dipercaya dengan baik. Balas semua yang menyakiti keluarga Nona Muda. Kami di sini. Setia menunggu.”
Xena menghapus cepat air mata yang makin deras. “Mbak Narti janji, ya. Jangan ke mana-mana. Tunggu Xena pulang.”
Narti mengangguk tanpa bisa menahan laju air matanya jua. Dan tiba lah saat Xena harus benar-benar meninggalkan rumah ini. Duduk dengan perasaan tak keruan di kursi penumpang sedan mewah Riga. perpisahan yang ia lakukan, masih dengan banyak air mata.
Betapa rumah ini adalah rumah masa kecilnya hingga ia tumbuh sekarang. Dipaksa meninggalkannya karena alasan keselamatan. Mungkin karena lelah menangis, Xena jatuh tertidur. Membuat Riga menggeleng pelan setelah memastikan sedannya terparkir benar di basement. Tak tega membangunkan, Riga lebih memilih menggendong gadis itu menuju kamarnya.
Sesekali Riga mengubah posisi agar gadis yang masih terpejam ini tak terusik tidurnya. Bulu matanya lentik dengan alis yang cukup tebal namun rapi. Hidung bangirnya sempurna ada di wajahnya yang masih polos dan lugu ini. Dagunya yang terbelah menambah betapa Tuhan demikian sempurna menciptakan paras seorang Roxeanne Arizona. Hingga netra Riga tanpa sengaja terus saja menatap pada satu titik.
Bibir Xena.
Ya Tuhan! Tak seharusnya hal itu terlintas dalam pikirannya. Kesalahannya saat itu benar-benar bodoh. Bagaimana bisa ia hilang kendali hanya karena tatapan teduh Xena juga sentuhan gadis beranjak remaja ini?
Riga merasa seperti orang paling bej@t sedunia. Xena itu adiknya. Seharusnya itu yang ia tanam dan digenggam erat hingga kini. Adik yang harus ia jaga dan lindungi. Bukan malah ia berbuat sembarangan. Tapi kenapa ia sampai lengah? Menyesap rasa manis yang Xena punya tanpa ampun? Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali hingga gadis itu terengah dan bengkak.
“Tolong buka pintu kamar Xena, Bi,” perintah Riga begitu memasuki apartement mewah tiga kamar yang kini akan mereka tinggali. Ini salah satu property milik Riga pribadi yang tadinya mau ia lelang karena harganya sedang melonjak. Tapi mengingat keberadaan Xena yang butuh pengamanan lebih, Riga urungkan niat itu dan menggunakannya kini.
Perlahan, Xena direbahkan pada ranjang yang nantinya akan gadis itu tinggali hingga beberapa waktu ke depan. Masih terpejam dan sepertinya lelap sekali ia tertidur. Bahkan hingga Riga menggantikan posisi tangannya dengan bantal empuk pun, Xena tak bergerak sama sekali. Hanya lenguh kecil serta bibir mungilnya yang terlihat seperti menggumamkan sesuatu.
“Kenapa kamu mirip sekali dengan Vally?” tanya Riga sembari mengusap pipi Xena yang sedikit kemerahan itu. “Sampai saya enggak berdaya dibuatnya.” Dan ketika jemari Riga terhenti pada bibir Xena yang sedikit terbuka, satu usapan teramat pelan ia beri.
Ujung jemarinya menghantarkan rasa yang demikian mengusiknya kini. Lembut. Beraroma manis. Riga sepertinya akan menyalahkan set@n dalam dirinya karena sekali lagi, ia langgar batas yang seharusnya ia pegang.
Bibirnya kembali ia pertemukan pada bibir Xena yang sudah menggodanya sejak berada di lift tadi. Menyesapnya pelan. Tak akan melumatnya lantaran Xena masih terlelap. Dan saat ia memutuskan tautan bibirnya, Xena membuka matanya. Membuat Riga cukup terkejut dan segera menjauh.
Namun ...
“Kak Riga cium Xena lagi?” Gadis itu bukan tak merasakan bagaimana bibirnya kembali bertemu dengan milik Riga. Hanya saja, apa kali ini Riga menciumnya karena teringat sang kakak? “Kak Riga kangen Kak Val lagi?” Kali ini, Xena beringsut bangun dan duduk di tepi ranjang sementara Riga masih setengah berdiri di depannya dengan bertopang tangan.
Menatap Riga tanpa putus dan menunggu jawaban.
“Sudah, kamu tidur lagi. Saya mau kembali ke kantor.”
Lalu Riga pergi begitu saja. Menyisakan Xena yang tampak termangu. Dia bukan remaja bodoh yang tak tau cara kerja ciuman antar lawan jenis. Kadang, Xena mendengar betapa hebohnya rekan sebangkunya yang bergosip mengenai ciuman pertama mereka dengan sang pacar.
Sementara Xena?
Ciuman pertamanya dicuri hanya karena dirinya seperti sang kakak. Pun untuk kali kedua. Miris sekali nasibnya.
“Kak Riga nyebelin! Enggak tau, ya, kalau aku sudah jantungan setengah mati karena sikapnya tadi.”
Part 5
Birthday gift.
Oktober 2015.
Xena memilih intra menari di sekolahnya. Kegiatan ini cukup menguras waktu tapi ia senang. Berangkat pagi pulang sore dengan segudang aktifitas lainnya. Bagi Xena ini merupakan kegembiraan sendiri karena ia tak terlalu mengingat-ingat, kepergian orang tua serta kakaknya lagi. hidupnya berjalan datar di apartement mewah Riga. sesekali pria itu pulang dan tinggal cukup lama di sana.
Seperti kedekatan mereka sebelumnya, Riga banyak bertanya ini dan itu padanya. Terutama kegiatan serta nilai-nilainya di sekolah. Ia selalu mengingatkan kalau Xena harus memprioritaskan akademinya untuk jenjang sekolah lanjutannya, bisnis. Riga sudah mulai mempersiapkan xena agar ketika usianya tiba memegang Djena, dia sudah dalam keadaan siap.
Terkhusus hari ini, Xena pulang lebih cepat. Disambut tatapan tanya dari orang bekerja merapikan apartement itu; Bi Sumi. Gadis itu hanya menggeleng riang namun tangannya bergerak sibuk sekali. Pada akhirnya ia menyerah. Meminta bantuan Bi Sumi untuk mendekor dinding ruang tamu.
“Hari ini Kak Riga ulang tahun dan kebetulan banget, dia pulang malam ini. Makanya aku bikin kejutan.”
Bi Sumi hanya tersenyum kecil. sejak ia bekerja di sana, gadis itu memang jarang berinteraksi dengannya walau tak pernah menampilkan wajah tak suka. Gadis itu ramah dan sopan hanya saja, lebih senang menyendiri di kamar. Entah apa kegiatannya, Sumi tak ingin terlalu banyak ikut campur. Tugasnya jelas, merapikan apartement dan segala kebersihannya. Juga sesekali menyiapkan gadis itu makanan kalau Riga sedang ada di luar kota.
Pikirnya, Xena adalah adik tersayang dari tuannya.
Sementara di sisi lain, senyum tak pernah luntur dari bibir Xena. Sudah hampir dua bulan ia tak bertemu langsung dengan Riga. Hanya sambungan telepon juga pesan berisi perintah agar Xena tak macam-macam selama ia sekolah lah, komunikasi mereka berjalan. Dan kini? Xena sungguh menanti malam ini datang.
Beruntung segala persiapannya selesai tepat setengah jam sebelum jam makan malam tiba. Riga bilang di pesannya, kalau akan sampai di apartement tepat jam makan malam. Xena masih sempat mandi buru-buru dan bersiap menyambut Riga. Dan tepat waktu, saat pria itu membuka pintu setelah terdengar bunyi klik pada automatic lock di sana.
“Kak Riga!” Xena memekik girang, tanpa berpikir menerjang pria yang hampir roboh karena terjangan gadis itu.
“Xena,” geram Riga tapi tak melepas pelukan yang berubah jadi gendongan karena Xena sudah menempel mirip koala. “Kamu tambah berat, astaga,” keluh Riga otomatis yang membuat gadis itu menatap Riga dengan cemberut.
“Ih, nyebelin banget. Kalau cewek dibilang tambah berat itu bikin insecure, tauk!”
Riga terkekeh. Tadinya ingin ia turunkan gadis itu namun sekilas saat ia melirik dekorasi di ruang tamu, diurungkan niatnya itu. “Ada kejutan?”
Xena mengerjap pelan. bergeliat minta diturunkan tapi ditahan oleh Riga. “Kenapa?”
“Ih ... aku harus ambil kue ulang tahun dulu buat Kak Riga.”
Pada akhirnya, pria itu pun menurunkan dengan pelan gadis yang kian cantik saja di matanya. Ada gelanyar aneh sesaat setelah gadis itu setengah berlari meninggalkannya menuju dapur. Aroma vanilla yang manis juga masih terasa sekali tubuh Xena ada di atasnya.
“Nah ini dia!” Xena berjalan hati-hati setelah mengeluarkan satu cake berpotongan kecil dari kulkas. “Happy birthday, Kak Riga!”
Pria itu tersenyum. Sepanjang usianya kini, baru tiga kali ada yang merayakan ulang tahunnya. Mungkin kalau Vally masih ada, mereka pasti sedang menghabiskan waktu di pesisir Bali. Vally menyukai pantai serta pasir yang menyapa telapak kakinya. Dan kini?
Gadis dengan rona merah di pipi karena terengah napasnya, berjalan mendekat. Riga merasa, gadis ini potong rambut? Atau menata rambutnya? Surai hitam panjang lurus itu dibuat bergelombang pun poni depannya membuat Xena terlihat tambah menggemaskan di mata Riga. Belum lagi, dress broken white bermotif bunga-bunga kecil, tampak kontras sekali disanding dengan kulit putihnya itu.
“Ayo, tiup lilinnnya. Jangan hanya melamun.”
“Saya seperti bocah.”
Xena memberengut. “Padahal Xena capek, lho, siapin ini dan itu. Hargai gitu.”
Gemas, Riga mengacak rambut rapi Xena yang makin membuatnya manyun. Pria itu pun meniup lilin pada kuenya, lalu meletakkannya di meja. Sigap, Xena baru akan memotong kue namun geraknya mendadak kaku saat pinggangnya direngkuh penuh sadar oleh Riga hingga ia jatuh terduduk di pangkuannya.
“Hari ini kamu ngapain aja?”
Xena mengerjap serta merasakan debar yang sungguh membuatnya tidak fokus atas pertanyaan Riga. Ia bergeliat gelisah dan mencoba melarikan diri.
“Sebentar saja.” Riga kembali menahannya. “Saya rindu.”
“Ah, paling rindu Kak Vally.” Xena bersedekap. Dirinya menyadari, kian hari wajah mereka memang mirip hanya saja penampilan mereka tidak. Vally menyukai warna-warna berani sementara Xena lebih menyukai warna-warna soft. Juga selera. Mereka bertolak belakang.
“Tapi enggak apa, deh. Kak Riga boleh sepuasnya pandang wajah aku biar enggak kangen banget sama Kak Vally.”
Tadinya Riga ingin membantah dan mematahkan anggapan bocah jelang tujuh belas tahun ini tapi ... ia membeku kala Xena justeru menyurukkan dirinya pada dada bidang milik Riga. Mendekapnya lebih enak.
“Bukan hanya kak Riga, kok, yang kangen. Aku juga.”
Satu deham cukup keras membuat Riga terkejut pun Xena.
“Om mau bicara dengan Riga, bisa Xena?”
Gadis itu mengerjap heboh dan buru-buru turun dari pangkuan Riga. menghampiri pri aparuh baya yang menatap mereka dengan pandangan tak suka. Menutup gugup, Xena menghampirinya. Menerima ulur tangan pria yang menjadi salah satu orang kepercayaan ayahnya itu. mencium punggung tangannya takzim. “Om,” katanya.
“Masuk, Xena.”
Gadis itu menurut.
Sementara Riga menghela napas panjang. “Enggak terlihat seperti yang ada di pikiran Pak Ronald.”
“Benar, kah?” Ronald berdecih pelan. mengambil duduknya tepat di depan Riga. “Saya enggak melihat itu.”
Riga memijat pelipisnya pelan dan menghela napas. “Apa yang mau Om bicarakan? Ada perkembangan?”
“Sejauh ini, di kantor gimana?”
Lagi-lagi Riga menghela napas dan kali ini raut wajahnya lebih tegang ketimbang tadi. “Hampir semua pemegang saham, menolak kebijakan baru yang saya keluarkan.”
Nada sumbang paling tinggi berasal dari kakak Hanif, Alif Mahesa. Sejak awal dibacakan surat wasiat, hanya dirinya yang akhirnya diikuti dengan pihak keluarga lainnya, yang menentang paling keras. Sudah hampir dua tahun Riga meneruskan kepemimpinan Hanif tapi tekanan yang menderanya makin tak main-main.
“Pak Alif memang berbahaya. Proyeknya gimana? Sudah kamu cek?”
Riga mengangguk. “Sudah, Om. Dan memang banyak penyelewengan terselubung. Saya sudah minta Vino berhati-hati. Tapi sayangnya ...”
Ronald memilih menunggu.
“banyak tender yang dikuasai Alif, Om. Dan saya menduga, mereka bekerja sama pada grup Sailendra.”
Ronald cukup terkejut dengan infomasi ini. “Sailendra musuh Hanif paling utama. Kenapa bisa begitu?”
“Entah. Sedang diselidiki diam-diam oleh Vino.”
“Jangan sampai orang kamu ketahuan dan kalau bisa, jangan terlalu percaya dengan orang lain.” Ronald memperingati. “Hasil penyelidikan buram. Enggak ada lanjutannya. Dua tahun ini, bikin saya sakit kepala. Enggak ada satu pun titik terang termasuk kecelakaan Hanif.”
Kompak, mereka menghela napas pelan.
“Dan saya peringatkan sekali lagi, Xena ini masih kecil. Jangan kamu jadikan sasaran pelampiasan karena tidak ada Vally di sini. Jaga dia, lindungi dia, itu yang seharusnya kamu lakukan, Riga.”
Sorot mata Riga mengelam mendadak.
“Cari wanita yang sepadan dengan usia kamu. Kalian berbeda. Xena masih bisa melihat dunia yang seharusnya bisa ia lihat.”
Ada jeda sejenak sebelum Ronald melanjutkan bicara. “Kamu terlalu dekat dengannya. Ingat, sampai kapan pun, kita bekerja di bawah kakinya. She is the boss.”
***
Kaliandra Sofyan.
September 2017.
Usianya kini delapan belas tahun lebih beberapa bulan, Xena tak ingin hitung. Baginya kini, masa remajanya mulai menapaki arah dewasa. Banyak hal yang berubah darinya. Ia sendiri cukup terkenjut akan perubahan dalam dirinya termasuk tinggi badan. Entah kenapa, ia merasa bertambah tinggi. Atau perasaannya saja?
Ia sudah terbiasa dipantau dari jauh. Riga banyak urusannya di area pabrik, katanya. Mengecek langsung proyek yang berjalan di sana. Xena bukan tak ingin mengerti hanya saja, jika ia mulai bertanya keadaan Riga dan pekerjaannya, pria itu bergerak menjauh.
Ah, mungkin makin jauh dari jangkauannya. Pesan-pesannya kini singkat. Teleponnya hanya sesekali dan itu bisa dihitung jari olehnya dalam kurun waktu seminggu. Biasanya, hampir setiap hari Riga meneleponnya terutama malam hari. Bercerita ini dan itu sekadar menemani dirinya hingga terlelap. Kini?
Semua itu tak lagi Xena rasakan. Gadis itu merasa, Riga menjauh darinya. Meninggalkannya dalam apartement mewah dan berbuat semaunya walau masih terpantau. Bayangkan saja, kalau Xena melenceng sedikti dari jam pulang yang telah disepakati, ada seseorang bernama Antony menghampirinya. Mengingatkannya untuk pulang.
Pernah, di awal perkenalannya dengan rekan kampusnya, Xena ikut duduk bersama di salah satu kafe. Mendekatkan diri karena merasa, ini bagian dari sosialiasi dengan teman baru. Ia tak pernah menyangka kalau jam malamnya berlaku. Padahal baru menyentuh angka delapan malam dan ... Antony datang menghampiri.
Berkata demikian kaku yang membuat Xena malu. Sungguh. Tiba di apartement, Xena berang untuk pertama kalinya dengan Riga. dan pria itu? Hanya tertawa mengingatkan perjanjian mereka. menyebalkan sekali, kan?
Dan sejak saat itu, Xena memilih undur diri dari pergaulan.
“Non, makan siangnya sudah siap. mau makan sekarang?”
Peneman setia Xena hanya Bi Sumi. Tak ada lagi yang lain di sini. Oh, supir pribadi yang sengaja Riga pekerjakan untuk mengantar anak itu ke mana saja. Asal ... seizin Riga.
“Sekarang aja, Bi. Aku lapar. Nonton drama sejak pagi bikin aku lapar,” kata Xena dengan kekeh kecil yang disambut senyum Bi Sumi.
“Beres, Non.” Lalu wanita paruh baya itu menyajikan makanan yang baru saja ia masak di meja makan. Meladeni gadis cantik yang menggemaskan juga santun itu. gadis yang tidak macam-macam dalam tingkahnya. Lembut bertutur kian hati kian tampak cantik yang dimiliki. Terang saja, mungkin ini yang membuat tuannya memberi tali kekang yang cukup kuat serta penjagaan ketat di sekitar Xena.
“Oiya, Tuan bilang hari ini mau makan malam bersama. Nona tau?”
Xena yang sudah mulai menyendok lauk, mendongak dan mengangguk cepat. Penuh riang karena kali ini, Riga akhirnya pulang setelah satu bulan katanya berada di Pandeglang. Tadi pagi pesan singkat berisi informasi kepulangan Riga memang menciptakan kegembiraan tersendiri di hati Xena.
“Aku bantu buat makan malam boleh?”
Sumi mengangguk senang. “Boleh dong, Non. Pasti Tuan Riga senang kalau adiknya menyambut.”
Senyum tadi seketika lenyap namun buru-buru Xena ukir kembali. Ah ... Bi Sumi benar. Dirinya hanya adik seorang Riga Angkasa. Yang dijaga karena surat wasiat yang tak pernah mungkin ia lupakan hingga kini. bahkan suara seorang Ronald Nasution masih menggema di kepalanya tiap kali ia diingatkan, harus meraih banyak hal seputaran akademis.
“Kamu itu penerus Djena. Jangan buat malu dan belajar yang benar. Suatu saat, saya akan serahkan hal yang sudah sewajarnya kamu pegang dan kelola.”
Itu kata-kata Riga tiap kali Xena sedikit melenceng dari aturannya. Mulai dari aturan jam malam, pergaulan, nilai akademis, kegiatannya di luar kampus, bahkan hingga pakaiannya. Semua aturan Riga beri. Tadinya Xena biasa saja namun makin hari, Riga terus saja menekannya.
Tak ayal membuatnya protes sana sini. Ia ingat, sang ayah memang tegas namun aturan konyol seperti itu, Xena rasa tak mungkin dikemukakan oleh seorang Hanif. Buktinya, sang kakak masih bisa mondar mandir berlibur bersama kawan-kawannya di Bali atau Raja Ampat. Tak ada larangannya. Sementara Xena?
Perpisahan SMA-nya saja, hanya boleh di auditorium gedung serba guna sekolah tak boleh ikut perpisahan ke Jogjakarta. Katanya kalau mau, harus bersama Riga.
“Kak Riga nyebelin!!!” pekiknya tak terima saat itu namun Riga hanya mengedikkan bahu. Menyodorkan banyak lembaran untuk persiapan masuk ke kampusnya.
“Lebih baik kamu fokus kuliah,” putusnya lalu kembali pergi berhari-hari. Mengurung Xena kembali dalam sangkar mewahnya tanpa peduli sudah berapa banyak keluhan dilayangkan gadis itu.
“Non, jangan melamun kalau makan,” tegus Sumi yang tampak terheran karena Xena tak jua selesai dengan piring makannya. Apa ada hal yang gadis itu pikirkan? Tapi apa? Dengan semua kemewahan yang ada? Sumi rasa, banyak yang ingin ada di posisi Xena. Segalanya tersedia dan tak kurang apa-apa.
Ah, Bi Sumi benar. Kenapa juga ia harus melamun. Segera ia menyelesaikan makan siangnya. “Nanti mau masak apa, Bi? Butuh belanja enggak?”
Sumi menggeleng. “Semuanya sudah tersedia, Non.”
Xena menggangguk saja. “Oke. Nanti panggil Xena aja, ya, Bi. Jangan sampai enggak. Xena mau ikutan masak untuk Kak Riga.” Padahal ia menyentuh dapur saja jarang sekali. Kegiatannya di dapur hanya untuk mengambil buah, membuat minum dingin serta makan. Itu saja. Sisanya Bi Sumi yang mengerjakan.
Padahal Xena ingin juga diberitahu bagaimana mengerjakan hal-hal di dapur. Permintaan itu tak pernah diloloskan Bi Sumi, katanya ia takut dimarahi Riga lantaran membiarkan Xena berada di dapur entah apa sebabnya.
Dan sisa hari itu, berlalu cepat mungkin karena Xena memang sudah tak sabar mneyambut Riga. berharap ada sedikit saja kedekatan yang pernah terjalin di antara mereka, kembali. Mungkin ngobrol santai seputaran film yang sering dilakukan mereka berdua di rumah besar Xena kala weeked. Atau berenang bersama di Minggu sore. Atau ... apa pun yang pernah mereka lakukan dulu.
Xena rindu.
“Ini semuanya sudah siap, kan, Bi?” tanya Xena sekali lagi. memastikan semua hidangan makan malam kali ini benar-benar tanpa cela. Oh ... Xena pun sengaja membuat puding mangga siapa tau Riga suka. Dibantu Bi Sumi tentu saja.
“Sudah, Non.” Sumi sedikit terkekeh. Dilihat, gadis itu benar-benar sudah tak sabar bertemu dengan kakaknya. Mungkin karena ia sebatang kara? Hanya bertumpu pada sang kakak? Sumi hanya mengetahui sampai di batas itu saja.
Tak banyak yang Xena ceritakan mengenai dirinya pada orang lain. Riga dan Ronald pernah berpesan padanya, agar berhati-hati dalam memberi info terkait siapa dirinya. Ia masih jela smengingat, malam mencekam itu. Rasanya ia sungguh beruntung masih bisa diberi napas hingga kini. Ia tak tau apa jadinya kalau sampai tertangkap, atau Riga tak berhasil mengeluarkannya dari rumahnya sendiri.
Bunyi klik tanda pintu apartement ditekan kodenya, terdengar jelas oleh Xena. Sedikit buru-buru ia menyambut Riga. senyumnya terkembang lebar. Wajahnya sudah ia pulas make up tipis juga belajar menggunakan lipstik warna peach. Parfumnya pun agak lebih banyak ketimbang biasanya ia kenakan. Bandana yang ia kenakan sebagai penahan rambutnya agar tak berantakan, sudah ia cek berkali-kali agar simpulnya benar.
Pun dress tanpa lengan yang ia kenakan.
Bi Sumi bilang, “Nona cantik sekali. Mirip boneka apa itu? Barbie?”
Xena tergelak dengan pujian itu. Andai Bi Sumi melihat betapa sempurnanya sang kakak, pasti pujian itu dialamatkan terlebih dahulu untuk kakaknya; Vallerie.
“Kak Riga.” Senyum Xena masih setia di bibirnya. Ia tak lagi menyambut Riga dengan melompat seenaknya. Lebih ke arah malu juga sungkan, takut Riga mengeluhkan berat badannya lagi.
“Ah, Xena.”
Sudut bibir Xena perlahan kehilangan garisnya. Matanya segera teralih pada satu sosok cantik, tak lebih cantik dari Vallerie kalau Xena boleh bicara, yang berada di samping Riga. Pun rengkuhan tangan Riga yang demikian erat ada di pinggang sang wanita.
Ingatan Xena berputar pada gosip-gosip serta trending pendatang baru terutama model papan atas. Di mana nama mereka cepat sekali naik karena menerima iklan dari banyak produk make up yang digemari Xena. Salah satunya ... sosok yang ada di depannya ini.
“Kenalkan, ini tunangan saya. Kaliandra.”
Benar. Namanya Kaliandra Sofyan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
