
***Spoiler
Ia menghela napas panjang. bergerak turun bukan untuk kembali ke ranjang melainkan mengambil potret yang selalu ia bawa. Menatap lekat seperti biasa dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Dibawanya potret itu ke posisinya duduk tadi. Bercumbu dengan langit kelam yang makin kelam menit ke menit.
“Xena pengin susul kalian aja jadinya,” katanya pelan. “Kalau Jess dengar ini, pasti aku dijitak. Katanya enggak bersyukur masih diberi kesempatan hidup. Apa konsep hidup seperti itu, Mom? I need your...
Part 41 MOMMY’S ROOM
Malam ini, Xena kembali tak bisa tidur. Sebenarnya banyak malam berlalu di mana Xena memilih duduk di dekat jendela. Menatap langit yang tampak jelas dari sudut kamar ini. Jendela kamar tamu ini besar, ditambah sengaja dibuat seperti sofa empuk dengan banyak bantal di dekatnya. Xena tinggal menyingkap tirai yang menutupi, maka hamparan langit malam tersaji jelas di sana.
Dan itu Xena lakukan sekadar untuk menghadirkan kantuk yang justeru tak mau hadir hingga dua atau tiga jam lamanya sejak ia terbangun. Seperti sekarang. Apa ia harus menelan obat tidur agar bisa terlelap?
Buku yang tadi menjadi acuan planning mereka nantinya, masih tergeletak di meja beserta toples camilan yang nyaris kosong. Mereka berdiskusi layaknya pemecah misteri level profesional. Mulai mengaitkan satu sama lain dengan hal-hal yang di luar pemikiran Xena juga Jess. Yang membuat Xena menyadari, apa memang jalan yang harus ia tempuh menggapai kata ‘damai’ harus seruwet ini?
Ia menghela napas panjang. bergerak turun bukan untuk kembali ke ranjang melainkan mengambil potret yang selalu ia bawa. Menatap lekat seperti biasa dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Dibawanya potret itu ke posisinya duduk tadi. Bercumbu dengan langit kelam yang makin kelam menit ke menit.
“Xena pengin susul kalian aja jadinya,” katanya pelan. “Kalau Jess dengar ini, pasti aku dijitak. Katanya enggak bersyukur masih diberi kesempatan hidup. Apa konsep hidup seperti itu, Mom? I need your answer because it’s very difficult to me,” lirihnya kemudian.
“Bilang sama Xena, apa yang harus Xena lakukan?” Ia kembali mengusap pelan potret yang sudah ada di tangannya. Tetes demi tetes air matanya turut serta menyapa permukaan potret berlapis pigura dengan gaya etnik itu. “Kenapa Xena seolah buta sekali dengan keluarga Dirdja ini, sih?”
Hingga dirinya terlelap tanpa berniat menghapus jejak air matanya. Mendekap erat potret yang selalu dekat dengan hatinya. Juga berharap dengan ama, esok hari damainya mulai menyapa. Mungkin memang jalan yang ia lalui harus terjal. Tapi sungguh, kalau boleh ia memilih, ia ingin dilahirkan dalam keluarga yang biasa saja. Atau mungkin, mengharap sekali tak ada kecelakaan yang menimpa kedua orang tua serta kakaknya. Yang mana jika mereka masih ada, pastinya ia hidup dengan limpahan kasih sayang serta normal apa adanya.
Iya. Seandainya kedua orang tuanya tidak tewas karena kecelakaan. Yang mana ... kemungkinan besar kecelakaan itu hasil rekayasa untuk tujuan tertentu. Benar. Ini yang harus ia kuak sembari membuka lapis demi lapis serta mengurai benang yang sudah terlanjur kusut ini.
Membawa setumpuk beban di kepalanya membuat Xena tak menyadari kalau pagi sudah menjelang. Padahal sinarnya mulai mengusik namun, Xena terlalu lelap terpejam. Saat Jess bangun, ia cukup terkejut mendapati Xena yang tidur di dekat jendela. Meringkuk sembari memeluk potret yang tak pernah jauh dari jangkauan sahabatnya itu.
Ada rasa peduli serta kasihan yang besar sekali Jess rasakan untuk Xena. Mungkin karena merasa mereka berdua sama-sama ditinggalkan orang tua. In case, perkara ditinggalkannya ini menurut Jess berbeda. Orang tua jess meninggal karena sakit sementara Xena? Kejam sekali kalau memang benar ada dalang di balik semuanya. Dan Jess yakin, memang orang ini bukan sembarang orang. Mungkin hatinya sudah digantikan hati iblis. Makanya dengan tega memisahkan orang tua dengan anaknya. lalu ... ingin menguasai warisan yang ada?
Entah kenapa Jess selalu condong mengarahkan curiganya pada Alif Mahesa. Walau hingga detik ini ia belum pernah bertemu dengan sosok paman dari Xena, perasaannya mengatakan dengan kuat kalau semuanya bersumber dari sana. Ia hanya harus mencari bukti kuat bagaimana cara untuk menjeratnya. Karena satu hal yang pasti Jess yakini, orang yang ada di balik semua prahara yang ada, keji. Tak main-main dalam tindakannya. Tak pandang bulu melibas segalanya. Halal baginya untuk berbuat di luar nalar manusia termasuk membunuh.
Meninggalkan Xena yang masih terlelap dengan perlahan menutup gorden penutup jendela, ia pun keluar kamar. Memberitahu Narti untuk menyiapkan sarapan bagi Xena. Dan hari ini, Jess tak ingin diganggu karena harus mengurus tokonya walau Asya melaporkannya secara online. Bagi Jess, kafe Amorè adalah hidupnya. Untuk saat ini, ia memang harus membantu Xena mengungkap segalanya. Bukan tanpa sebab, Jess masih sering bermimpi buruk di mana ada Putri yang terus membayangi.
Ada beban tersendiri dalan benaknya, kalau peristiwa di kampusnya itu tak terselesaikan dengan tuntas. Mungkin saja, seumur hidup ia akan terus dihantui perasaan tak mengenakkan seperti ini. Tidak. Tidak. Ia tak mau. Ia harus membantu Xena mengungkap semuanya. mungkin dengan ini, Putri bisa tenang.
Sementara ketika Xena terbangun, ada pening yang mendera serta agak kesulitan membuka matanya. saat ia lirik, jam di dinding sudah menunjuk pukul sepuluh. Ah ... ia sangat terlambat bangun. Mengedarkan pandangan, ia mencari sosok Jess yang tak ada di kamar ini. Ranjangnya telah kembali rapi. Juga ada satu troli dengan aneka makanan yang terlihat lezat serta potongan bunga segar sebagai penghias.
Masih dengan potret yang ada di tangan, “Mommy, aku izin masuk ke kamar, ya. Maaf kalau Xena terkesan enggak sopan.” Ia pun menaruh potret itu di nakas tepat di sebelah buku catatan yang sudah rapi tergeletak di sana. Sebelum ia memulai pencarian, mengisi perutnya adalah hal yang paling utama ia lakukan.
****
“Gimana kafe?” tanya Xena sembari meluruskan kakinya di kursi panjang dekat kolam renang. Sore ini Xena memilih menghabiskan waktu di sana sembari menikmati smothies strawberry-nya. Sementara Jess baru saja selesai berenang entah sudah berapa kali putaran.
Katanya sebelum benar-benar menceburkan diri ke dalam kumpulan air ini, “Gilá, sih, ini. Puas banget berenang di sini.”
“Asya bilang semuanya baik-baik aja. Pelanggán baru juga banyak yang berkunjung. Anak baru juga sudah mulai bisa diandalkan. Kadang Mbak Meli ke kafe, kok.”
Xena mengangguk pelan. “Gue bilang sama Mbak Meli kalau terlalu repot, ditutup sementara juga enggak masalah tapi dia enggak mau. Katanya nanti dia enggak bisa ngasih jajan Ica.”
“Astaga. Tapi enggak apa, sih, kalau florist lo tetap jalan paling enggak pelanggán setia di sana enggak akan kabur, Na.”
“Lo benar.” Xena meletakkan gelas smoothies yang tersisa separuh itu pelan. “Setelah semuanya selesai, gue mau besarkan toko bunga itu.”
“Djena?”
Gadis berambut sebahu itu tersenyum kecil. “Sejak awal gue enggak pengin pegang Djena, kok. Kalau semuanya sudah beres, gue mau bayar orang yang kompeten aja dengan tiap bulan laporan ke gue..”
“Bos kecil, ya, Na.”
Xena terkekeh saja. Pikirannya ditarik pada kegiatannya di kamar orang tuanya sejak siang tadi. Tak ada yang aneh di sana kecuali ia temukan buku yang ia rasa milik ibunya. Ada di dalam brankas khusus di mana banyak perhiasan ibunya tersimpan rapi di sana. Tadinya ia kesulitan untuk membuka kode kombinasi setelah memasukkan kunci. Banyak angka dicoba dan hampir saja Xena putus asa.
Memilih merebahkan diri di ranjang besar milik orang tuanya. Meejam sejenak menghirup aroma Lily yang ia sukai. Ah ... ia menyukai Lily karena ibunya juga. Menggali banyak ingatan manis antara ia juga ibunya.
“Mom, kenapa suka Lily?” tanya Xena suatu kali. Saat itu, mereka berdua tengah duduh di taman yang ada di samping rumah. Banyak tanaman bunga tumbuh dengan baik hasil perawatan dari ibunya. Xena kecil mengenakan baju terusan dengan aksen renda di bagian dada. Rambutnya yang lurus panjang, dikuncir dua seperti kelinci lengkap dengan pita. Tak lupa, Narti memakaikannya sepatu senada dengan warna bajunya. Kuning gading.
“Ehm ... mungkin warnanya?” Senyum manis dari Rossie, tercipta. Matanya menatap Xena penuh cinta juga satu belai lembut diterima gadis yang tampak menggoyang kaki karena masih belum mengerti apa maksudnya.
“Tapi Kak Vally suka mawar karena warnanya bagus.” Xena mengerjap pelan menyuarakan hal-hal yang ia ingat mengenai sang kakak; panutannya.
Masih dengan senyum serta tangannya yang tak berhenti mengusap puncak kepala Xena penuh sayang, ibunya pun berkata, “Memang. Tapi Mommy lebih suka Lily, Xena. Bagi Mommy, Lily itu suci, anggun, elegan, dan juga ... menawan hati.”
“Iya, kah?”
Rossie tanpa ragu mengangguk.
“Kalau begitu, Xena mau seperti Lily. Yang menawan hati.”
Ada gelak kecil mewarnai obrolan ringan mereka. “Xena memang menawan hati siapa saja yang melihat.” Usapan demi usapan Xena sterima seraya banyak dijelaskan cara merawat tanaman yang ada di taman rumahnya. Juga satu keinginan kecil, kalau ibunya ingin memiliki toko bunga sendiri. Nanti. kalau Xena sudah dewasa. Katanya begitu.
“Mommy pengin nama toko bunga itu ...,” Rossie menelengkan kepalanya untuk menatap Xena lekat. Seolah minta pertimbangan pada Xena kecil yang ternyata mulai menikmati bunga Lily yang bermekaran di depannya.
“menurut Xena, toko bunga itu namanya apa?”
Gadis itu menoleh, mendapati ibunya yang menatap lekat. Sorotnya sungguh hangat menyapa Xena. Selayaknya mentari bagi Xena di setiap paginya. Yang selalu memberinya semangat walau ibunya lebih sering dinas ke luar kantor bersama sang ayah.
“Xena boleh memberi toko bunga untuk Mommy?”
“Why not?”
Binar bahagia menyapa Xena tanpa ampun. “Xena tau namanya apa!” pekiknya girang. “An Flower.”
“An?”
“Iya. Nama tengah aku. Anne.”
Rossie tergelak sempurna. “Akan jadi nama toko bunga yang terkenal di Indonesia nanti.”
Gelembung ingatan itu pecah seiring dengan harapan baru untuk kombinasi angka yang akan ia tekan kali ini. Mengambil notes serta pulpen, ia gunakan kombinasi pada layar ketik pada ponsel lama di mana angka juga bersamaan dengan beberapa huruf di dalamnya.
“An Flower,” katanya pelan. “berarti ... 2 untuk A. 6 untuk N. 3 untuk F. 5 untuk L. 6 untuk O. 9 untuk W. 3 untuk E. Dan 7 untuk R. GOTCHA!!!” pekik Xena girang. Menggantung asa besar-besar untuk kombinasi kali ini, benar adanya.
Dan saat dicoba, bunyi klik tanda terbukanya brankas terdengar pelan. Membuat degup jantung Xena tak keruan. “YES!!!”
“Na, lo bengong?” Jess menggoyang pelan lengan Xena yang terkulai di sisi tubuhnya. Agak mencurigakan peringai Xena sore ini. Senyum-senyum sendiri seolah telah menemukan harta karun berharga. “Jangan bilang lo habis ketemu hantu?”
“Ngaco lo!”
Jess tergelak. “So?”
Xena kembali menyesap smoothies-nya. Meresapi rasa masam nan segar yang menyapa lidahnya. “Gue enggak tau ini trmasuk pencurian atau apa, tapi gue menemukan buku semacam catatan punya Mommy juga satu berkas yang dilipat gitu.” Xena melirik Jess yang kini menatapnya penuh minat. “Lo tenang aja, gue simpan dengan aman di kamar. Dan kamar juga gue kunci, kok.”
“Bagus.” Jess pun sama seperti Xena, ikut menyesap jus jeruknya. “Lo lihat isinya, nanti lo ceritakan aja.”
Alis Xena bertautan. “Maksudnya?”
“Ya ... siapa tau buku itu buku harian Mommy lo. Masa gue ikutan baca. Ada kisah cintanya, kan, enggak lucu kalau gue harus tau.”
Mendapai jawaban dari Jess membuatnya terkekeh. Obrolan mereka mulai random membahas toko serta kafe hingga senyap menyapa mereka. Xena memilih menikmati sore sementara Jess membuka kimono mandinya. Mengenakan two pieces yang menampilkan tubuhnya yang indah, walau ada gores panjang di lengan bagian atasnya. Melakukan gerak pelan merenggangkan otot sebelum benar-benar ia memutuskan untuk masuk dalam kolam renang.
“Lo yakin, Jess?” tanya Xena ragu. Bukan tanpa sebab Xena bertanya, ia takut, lengan Jess kurang bisa menopang tubuhnya nanti. Jess? Malah terkekeh meremehkan. Pelan ia menyusuri area kolam sebelum menuruni tangga. Lalu mulai meluncur menguasai kolam.
Xena hanya memperhatikan dalam diam. Di kepalanya mulai tersusun apa-apa yang harus ia lakkan nanti malam. Besok hari minggu. Mungkin ia harus mencoba menyalakan komputer milik ayahnya. Mengutak atik sembari berharap ada kemujuran kedua yang menghampirinya. Siapa tau di dalamnya apa yang mereka cari, bisa ditemukan.
Hingga ...
“YA, TUHAN! JESSLYN!!!”
Part 42 ONE BY ONE
Xena tak tahu harus bertindak seperti apa. Badannya kaku, matanya hanya mampu menatap Jess yang terbaring lemah di pinggir kolam dan makin lama makin buram karena sudah digenangi air mata. Tangannya gemetar hebat. Ingin sekali ia berteriak, “Jess, bangun!” Tapi di sini, ada Arslan. Yang sibuk mengurus Jess sejak ia tak muncul ke permukaan.
Kalau saja ia tak melamunkan hal-hal lain, ia pasti tau kalau ada yang tak beres dari gerak Jess di kolam.
“Kamu jangan diam saja! Panggil Narti!”
Gadis itu mengerjap heboh. Arslan benar. Narti. Iya. Dia butuh Narti. Tanpa butuh kata, Xena setengah berlari menemui Narti yang entah ada di mana. Beruntung pikirannya masih ingat, kalau dirinya tengah pura-pura bisu. Kalau tidak, pasti ia sudah berteriak memanggil Narti atau siapa pun yang ada di dekatnya. Entah Didi atau Jaka.
“Mbak Narti, tolong Jess,” kata Xena terengah karena menemukan Narti di ruang tamu utama. sedang membersihkan pajangan yang ada di lemari kaca besar milik ibunya itu. Tidak. Xena tak berteriak, masih memikirkan banyak kemungkinan kalau Arslan tiba-tiba ada di belakangnya. Ia tak mau mengambil risiko terbesar itu.
“Non Jess?”
Xena mengangguk gusar. “Cepat. di kolam renang samping.”
Narti tanpa menunggu lagi segera mengikuti langkah nona mudanya yang tergesa. Hampir setengah berlari seolah keadaan penting sekali di sana. Pikiran Narti pun mendadak khawatir karena tak biasanya sang nona terlihat segusar itu.
Begitu mereka sampai di tepian kolam, Jess sudah tersadar. Terbatuk pelan, setengah bersandar pada Arslan yang masih menatapnya dengan khawatir. Saat mata mereka saling bertemu, tak ada yang lebih melegakan kecuali uluran tangan Jess pada Xena. Ingin sekali Xena berucap banyak kata pada Jess yang semuanya dilipat penuh usaha karena tak mungkin berkata apa-apa di depan Arslan.
“Gue enggak apa,” kata Jess lirih.
Satu decak penuh kesal berasal dari sosok pria yang kini duduk bersila di depan Jess. “Kamu bilang begini enggak apa-apa? Kalau mau bunuh diri jangan di sini!” sentaknya.
Hal itu sontak membuat Jess juga Xena menoleh. Jess menatap Arslan dengan pandangan kesal dan baru akan menyuarakan geramnya, sudah ditahan Xena. Satu ulas senyum Xena beri sebagai rasa berterima kasih. Ingin menulis satu pesan, Arslan sudah mencegahnya.
“Bilangin aja sama saudari kamu, kalau mau beerenang pemanasan dulu. Jadi enggak kaku. Bikin orang khawatir saja!”
Lagi-lagi Xena mengangguk.
“Bi Narti kenapa malah diam?” omel Arslan. “Ambilan handuk kering. Jangan sampai bocah ini sakit nantinya.” Lantas ia berdiri, bergegas pergi meninggalkan mereka. sebelum langkahnya menjauh, ia menunjuk pada Jess. “Kamu punya hutang, Jess. kalau bukan karena saya, kamu bisa tenggelam dan berakhir di peti mati!”
Jess tadinya mau membantah, melempar semua ucapan pedas yang ia terima barusan namun, saat mereka bersitatap, Jess tau ucapan Arslan hanya luapan emosi karena melihatnya tadi. Mengerjap pelan sembari menormalkan laju jantungnya yang berdebar entah karena sebab apa, Jess memilih mengangguk pelan. “Terima kasih,” katanya kemudian
Arslan menjauh dengan dengkusan juga gerutuan karena kausnya kini basah. Berusaha mengacuhkan keberadaan dua gadis itu di mana salah satunya, sudah mulai merenggut waras yang ia miliki. Jesslyn Rasopati. Niatnya ingin menegur berbalut jahil pada mereka yang tampak bersantai menikmati hari itu dengan bersiap marah namun, mendapati Jess gelagapan di dalam kolam, ia takut. Menolongnya adalah satu-satunya pemikiran yang terlintas dengan cepat, seiring dengan geraknya yang melompat masuk ke dalam kolam.
Beruntung, ia tak terlambat. Kalau saja ia terlambat menyelamatkan Jess, entah nasib gadis itu seperti apa. ingin memaki saudarinya, saat ia membopong tubuh Jess naik ke kolam, raut wajahnya sudah pucat pasi. Tak tega juga ia memarahinya.
Menggeleng pelan, ia bergegas menaiki anak tangga menuju kamarnya. Berganti pakaian dan mungkin minta disiapkan makan oleh Narti. Ia lapar. Setelah beradu argumen tak henti-henti di rumah utamanya. Kesal, ia mendorong pintu berukir indah itu dengan cukup keras. Menimbulkan kegaduhan baru yang ia tak pedulikan lagi. Tadinya ia ingin pula membanting diri ke ranjang besar nan empuk ini sekadar mengentaskan kesal yang masih bercokol di hati namun, ia ingat. Bajunya basah.
Kuyup.
“Sial memang Jess! Awas saja!” katanya penuh geram. Disambar handuk yang ada di dekatnya dan menju kamar mandi.
Sementara di tepian kolam, dibantu Narti juga Xena, Jess melangkah pelan. Banyak pertanyaan yang Xena suarakan tapi Jess sendiri tak tau apa yang terjadi. Mendadak tangan serta kakinya kaku. Mungkin benar yang tadi dikatakan Arslan, kalau dirinya kurang pemanasan. Atau mungkin, karena peristiwa itu juga yang membuat tangannya mendadak nyeri saat ada di dalam kolam. Entah lah, Jess belum ingin berpikir panjang. Ada ketakutan yang sungguh mengerikan merayap dalam benaknya.
“Maafin gue, Jess. Maafin,” isak Xena yang mengangguk lamun Jess. Membuatnya menoleh, mendapati Xena yang mengusap sudut matanya berkali-kali.
“Lho, kenapa?”
Mereka sudah tiba di depan kamar. Dibantu Narti untuk masuk ke dalam, Jess masih mempertahankan kernyitan bingung pada Xena. “Kenapa lo minta maaf, Na?” tanya Jess
“Kalau saja,” Xena masih terisak. “Kalau saja tadi gue enggak melamun, pasti gue tau ada yang enggak beres sama lo tadii.”
Jess tersenyum penuh arti. “Gue enggak apa, kok.”
“Enggak apa dari mana? Kalau tadi ... tadi ...,”
“Nyatanya gue enggak apa-apa, Na,” sela Jess yang mana untuk menyakinkan hatinya, bahwa sekelebatan pemikiran nan mengerikan itu harus sirna. Dia sekarang sudah duduk di sini, bersama Xena. Walau keadaannya kacau juga dirasa mulai dingin karena menggigil. “Gue butuh mandi kayaknya.”
Xena mengangguk pelan. “Oke. Lo mandi.”
“Saya siapkan teh hangat, ya, Non Jess.”
“Enggak usah, Mbak. Nanti Jess ke ru—“
“Enggak. Non di sini aja. Nanti saya buatkan minuman hangat pokoknya. Non mandinya jangan kelamaan takut masuk angin. Kalau dirasa demam, kita ke dokter aja, ya?”
Jess gegas menggeleng, menolak.
“Enggak ada penolakan, Jess. Benar yang Mbak Narti bilang, kalau lo demam kita ke rumah sakit,” tukas Xena sembari menyeka sisa air matanya. Tak peduli jika Jess kini menatapnya jengah. Membiarkan Jess melangkah ke toilet sementara Xena memilih mengganti kausnya yang juga agak basah lantaran tadi menopang langkah Jess hingga kamar.
Sembari menunggu Jess menyelesaikan mandinya, Xena memilih menatap map serta buku catatan di mana ada nama ibunya di sampul depan. Tulisan tangan Mommy indah, puji Xena dalam hati. Mengusap pelan sembaru membayangkan senyum ibunya yang selalu sehangat mentari itu. Tatapan teduhnya yang membuat Xena selalu menemukan semangat kala tiba-tiba merasa sedih terlalu sering ditinggal sendiri, kala itu. Mendadak juga, ia pun mengambil foto usang yang tersimpan rapi di belakang potret yang selalu menemaninya itu.
Foto ibunya beserta sang paman. Di tahun 1982.
“Apa yang lo temui, Na?” tanya Jess pelan. tangannya lihai mengeringkan rambutnya yang basah. pakaianya sudah berganti jauh lebih nyaman dan tercium aroma kayu putih dari Jess. “Gue agak mual perutnya. Makanya gue pakai minyak kayu putih. Mbak Narti masih lama enggak, ya?” jelas Jess lantaran Xena mengerutkan kening dengan sementara tatapannya menatap Jess heran.
“Ah, ini ... yang tadi gue bilang.” Xena kemudian memperlihatkan buku serta map yang ia bawa tadi. Jess menatapnya seklas lalu mengangguk kecil. “Gue mau lihat isinya. Kira-kira Mommy bakalan marah enggak, ya?”
Jess terkekeh. “Marah pasti. Anaknya baca catatan ibunya coba.”
Hal ini sontak membuat Xena mencibir. Memilih menyingkir dari Jess ke spot yang ia sukai kini, dekat jendela. Mulai membuka lembar per lembar tulisan tangan yang agak miring ke kanan namun rapi dan mudah sekali terbaca.
Padamu yang selalu di hati, Alif Mahesa.
Aku tulis, bukan tak berniat meletakkan kisah cinta ini tapi ... sebagai pengingat, kita pernah berbagi kisah. Aku harap sutau hari nanti kamu mengerti, kenapa kulepas semuanya. Demi kamu.
Rossie.
Gemetar Xena membaca tiap kata yang tertulis di sana. Itu artinya ... kisah itu benar adanya. Kalau ibunya, panutannya, pernah menjalin kisah bersama pria lain. Segera ia buka lembar lainnya. Ingin menemui benang merah atas semua yang hal yang terjadi kini.
November 1982
Aku sudah menutup segala kisah padamu, Lif. Bahagia lah dengan Laras. Tak ada yang salah mencoba. Sama seperti aku yang akan mencoba; melupakanmu, menerima orang baru suatu hari nanti untuk aku cintai. Seperti aku mencintai kamu, Lif.
Foto kamu masih selalu aku simpan. Sebagai saksi di mana hatiku tak pernah main-main untukmu, Lif.
Xena mengerjap pelan, membuka plelan potret keluarganya. Mengambil foto usang itu dan mencocokan tahun di mana foto itu diambil. 1982. Senyum ibunya terkembang lebar sekali. Menyiratkan ketulusan hatinya pada pria di sampingnya yang juga sama; tersenyum penuh cinta. Xena masih belum bisa menemukan korelasi yang tepat, kenapa mereka semua harus terpisah kalau memang saling mencintai?
Dan ayahnya?
Ya Tuhan! Xena hapal betul betapa sang ayah selalu menatap ibunya penuh cinta. Apa ... tidak-tidak. Xena memilih meniadakan pemikiran buruknya. Gegas ia membalik lembaran berikutnya.
Februari 1983
Selamat atas pernikahan kamu, Lif. Aku enggak apa-apa. Aku enggak apa-apa. Selamat berbahagia. Ini yang terbaik untuk kita berdua.
Xena tau, tanggal beserta tahun pernikahan kedua orang tuanya. Yang setiap tahun tak pernah dilewatkan untuk dirayakan. Xena selalu ingat, dalam satu tahun ada banyak perayaan di rumahnya; ulang tahunnya, ulang tahun Mommy serta Papa, belum lagi ulang tahun Kak Vally kesayangannya, juga ulang tahun pernikahan kedua orang tuanya. Oh ... tak lupa dua hari raya besar yang selalu dirayakan bersama seluruh penghuni rumahnya dengan penuh suka cita.
17 Juli 1985.
Di mana setiap tanggal 17 Juli, kedua orang tuanya memilih mengadakan pesta di Djena. Dihadiri banyak orang-orang yang tak Xena kenali. Dari balik punggung sang kakak, Xena selalu bersembunyi. Atau lebih tepatnya, disembunyikan dengan sempurna oleh keluarganya. Kak Vall sering bilang, “Mereka hanya tersenyum manis di depan kita, Na. Di belakang kita? Jahat.” Begitu peringatan yang selalu tertanam di kepala Xena.
Itu lah yang membuat Xena memilih, berada di balik Vally atau kedua orang tuanya. Mengingat hal itu, berarti kedua orang tuanya menikah setelah sang paman menikah. Dan mungkin saja ... benar, itu bisa sangat terjadi. Ibunya sudah mulai melupakan pamannya. Kenapa tidak? apalagi Xena ingat kisah yang Narti bagi untuknya.
Kalau kdua orang tuanya, saling mencintai hingga akhir hayat. Benar. Itu kebenarannya. Sang paman, masa lalu ibunya. Xena mengangguk yakin sekarang. kembali ia memberanikan diri membuka lembaran berikutnya yang ... kosong?
Tapi kenapa?
Lagi-lagi, hingga mungkin sepuluh lembaran kemudian ... semuanya kosong. Lalu.
02 Januari 1885
Aku terima lamaran kamu, Hanif. Walau rasanya aneh menikahi sahabat sendiri tapi aku jelas melihat kesungguhan kamu. Semoga ... kamu mau terima aku yang belum mampu melupakan Alif hingga detik di mana aku terima cincin kamu ini.
Part 43 ONE BY ONE (PART. 2)
Xena kembali menguatkan diri. Ia buka kembali lembar berikutnya.
Juli 1988
Aku enggak sangka, kalau hamil anak kamu, Mas. Aku senang bukan main. Enggak sangka juga, segala pengamatan aku akan tingkah konyol kamu dulu, kamu menyimpan rasa cinta yang hangat untuk aku. Aku sampai enggak sadar, kalau ternyata ... kamu berarti di sisi aku. Enggak sabar tunggu kamu pulang, Mas.
Hati Xena mendadak diliputi jutaan kupu-kupu. Senang bukan kepayang lantaran tulisan sang ibu. Menandakan kalau goresan ini mewakilkan segala ungkapan yang dimiliki ibunya. Netranya berkaca-kaca kembali, dan penuh semangat Xena membuka lembar berikutnya.
November 1988
Thanks for loving me, Mas Hanif. Thanks.
Lalu ada satu lembar foto di sana. Ibunya tengah membesar perutnya. Sedikit menunduk mengusap perutnya itu. mengenakan midi dress dengan coat besar ditambah satu syal yang menyelimuti lehernya. Latar foto itu bersalju. Di samping sang ibu berdiri, ada seorang pria yang tampak gagah mengenakan boots serta jaket tebal. Namun ada satu yang tak pernah lekang untuk Xena ingat; tatapan hangat penuh cinta milik sang ayah. Yang hanya tertuju pada ibunya.
Di bawah foto mereka, tulisan tangan yang sangat ia kenali tertera di sana; tulisan ibunya.
Jikalau hati memang telah terpatri, ia akan tau ke mana akan berhenti. Di satu titik, di mana segala bahagia mengiringi. Nov-1988
Tak pelak, air mata Xena jatuh membasahi buku itu. bayang kalau ibunya sempat menyelingkuhi perasaan sang ayah, sirna. Mereka memang ditakdirkan mencintai di saat yang tepat. Di saat sang pama telah lebih dulu memulai dengan pernikahannya. Juga ibunya yang memilih untuk berani mencoba hati yang baru.
Januari 1989
Kuberi nama Vallerie Leah Dinandirdja. Cantik sekali putriku ini. Engkau kebanggaan kami, Nak. Semoga nantinya, engkau pun bangga memiliki orang tua seperti kami yang banyak kurangnya ini.
Foto bayi kecil nan cantik tertempel di sana. Xena sering mendapatkan cerita yang keluar dari bibir ibunya mengenai sosok yang ternyata mirip dirinya dulu; sang kakak. Rindu yang Xena miliki untuk kakaknya ini makin jadi tak kala deretan foto-foto lainnya, tertempel di sana. Ternyata ibunya sengaja membuat duplikat di mana dirinya bisa menikmati sendiri foto anaknya secara pribadi. di sini. di ruang yang mungkin bisa disebut buku harian.
“Kak Val,” lirihnya pelan.
Cukup lama Xena terisak lantaran banyak sekali kilas indah yang ia lewati di mana ada mereka bertiga di dalamnya. Segala kenangan itu hidup dengan sempurna di kepalanya. Di rumah ini semuanya terjadi ... dan, apa katanya? Mau dilelang karena sudah tak ada lagi penerus Hanif? Tidak. Tidak. Gegas, Xena mengusap air matanya kasar. Tidak ada yang boleh melenyapkan kenangan ini. Tak ada satu pun yang boleh dan tak akan ada yang bisa.
Ia bersumpah.
Juni 1991
Aku enggak tau kalau Alif begitu membenci Hanif. Apa salahnya? Enggak ada. Cinta kita memang tak ditakdirkan bersama, Lif. Sering kukatakan itu padamu. Kenapa tak ada satupun yang kamu mengerti? Selama ini? Pernah kah aku berniat meninggalkan? Bukan kah kamu yang kalah dalam perdebatan ini? Aku tak pernah takut kalau memang harus memperjuangkan cinta, tapi kamu? Memilih menyerah, kan? Dan sekarang? Kenapa kemarahan kamu, kamu tumpahkan pada Hanif? Apa salah Hanif? Bahkan kamu caci Vally? Ya Tuhan! itu sama saja kamu lukai hati aku, Lif.
Kening Xena berkerut. Apa ada sesuatu yang terjadi?
Agustus 1991
Ini bukan salah Hanif. Kecelakaan itu bukan salahnya. Aku rela menyembah di kaki kamu, Lif. Kenapa kamu seperti ini sekarang? Hanif tak kurang-kurang menghargai kamu sebagai seorang kakak ipar. Membiarkan aku yang duduk menemani kamu di ruang rawat seeprti keinginan kamu. Apa kurangnya lagi? Tak bisa kah kamu lihat bagaimana wajah Laras? Terluka, Lif. Aku enggak bisa seperti terus.
Kecelakaan? Kecelakaan apa? Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa ibunya tak menceritakan detailnya? Astaga! Xena dibuat geram kini. Tak sabar ia membuka lembar berikutnya.
Desember 1991
Aku tau kamu marah, Lif. Mas Hanif juga berulang kali minta maaf, kan? Apa salahnya mencoba menerima? Toh, aku lihat Laras mencintai kamu dengan tulus. Aku bisa merasakannya, Lif. Aku enggak mau menemui kamu yang masih terus menyimpan rasa enggak suka, baik pada Hanif terutama Laras. Mereka enggak salah di sini. Enggak ada satu pun dari kita yang salah. Cinta itu enggak bisa dipaksakan, kalau kita memaksa, akibatnya panjang, Lif. Kamu tau itu. Bukan kah, kamu sendiri yang akhirnya menyerah? Ya sudah. Ayo ... kita berbahagia dengan hidup yang sudah digariskan.
Jangan menyerah juga untuk terus melatih kaki kamu. Aku yakin, akan segera pulih seperti yang dokter bilang. Tinggal semangat kamu aja yang perlu ditingkatkan. Di sini, aku selalu berdoa untukmu, Lif.
Ingatan Xena ditarik pada perkenalan pertama yang samar sekali. Ia memejam sejenak, berusaha dengan amat agar bayang itu tak terlalu kabur dalam ingatannya. Mau merutuki kenapa berkenalan dengan seorang Alif Mahesa pertama kali, saat usianya terlalu kecil. kalau tak salah, saat Xena berusia delapan tahun.
Pamannya menatap dengan seringai tajam juga cara jalannya. Benar. Cara berjalan sang paman berbeda. Menggunakan tongkat untuk menopangnya. Sedikit pincang namun penuh percaya diri menyambut siapa saja yang menyapanya. Termasuk ketika Hanif serta Xena kecil menghampirinya. Walau suaranya terdengar hangat juga menerima, tapi entah kenapa, Xena ciut menantang matanya. seringai dari sang paman siap sekali menebasnya tanpa ampun. Membuatnya makin mengetatkan genggamannya pada sang ayah.
“Kenapa, Xena?” tanya Hanif pelan. Ayahnya memilih menyingkir dari keramaian, menyejajarkan diri pada tinggi Xena kala itu.
Takut-takut, Xena melirik ke arah pria yang masih berbincang di sudut lainnya dengan bertopang tongkat. “Uncle Alif,” lirih Xena pelan.
“Kenapa Uncle?” Hanif menatap Xena dengan rasa ingin tau. Dirapikan rambut panjang sang putri penuh sayang. “Ada yang salah?”
Xena menggeleng pelan. “He like a monster.”
Hanif tergelak saat itu. “No. Uncle Alif orangnya baik, kok. Xena belum kenal saja. Tapi Xena perlu ingat satu hal.”
Gadis kecil dengan bola mata seelok boneka itu mengerjap pelan. Menunggu ayahnya bicara.
“Everyone here is like a monster. Ready to attack at any time. What you need to pay attention to, there are monsters that are only appearances. There is a monster waiting for us to let our guard down. Never let your guard down, Xena. Remember this. Okay?”
Xena, yang saat itu tak mengerti apa maksud ucapan ayahnya hanya mengangguk pelan. Kepala kecilnya memroses kalau pamannya memang monster yang harus ia waspadai. Tak boleh lengah barang sedikit.
Artinya ... memang ia harus mencurigai Alif Mahesa sekarang. Yang membuatnya harus segera bisa membuka akses ruang arsip di kantor Djena. Benar. Harus. Itu tujuannya selama semingguan ini. Toh, Jess sudah berkata kalau mereka dapat shiffing sore. Artinya, akan banyak waktu leluasa untuknya mencari. Atau ... kalau ada kesempatan lagi karena tak mungkin malam ini ia menyelinap ke ruang kerjaayahnya. Terlalu berbahaya karena ada Arslan di sini. Kenapa juga pria itu harus pulang sekarang, sih? Biasanya juga di hari senin.
Tapi kalau ia tak pulang? Ya Tuhan! Entah apa yang terjadi pada Jess kini. Xena mengerang frustrasi akhirnya. Antara merasa berterima kasih juga kesal yang berbarengan ia hadapai karena keberadaan Arslan di rumah miliknya ini.
Menggeleng pelan mengusir rasa tak nyaman di hatinya kini. membuka kembali lembar demi lembar buku itu. tak banyak yang ditulis ibunya mengenai Alif. Kini, semua tulisan ibunya mengisahkan cinta mereka di mana ada Vally di antara mereka. Merasakan dengan amat bagaimana cinta mereka kuat dan ternyata benar-benar membuat ibunya menyimpan dengan sendirinya kisah lalu bersama sang paman.
Lalu lembaran yang Xena bukan, terhenti pada halaman di mana tulisannya cukup panjang di sana. Membenahi posisi duduknya, ia pun mulai membaca.
Oktober 1998
Tepat delapan bulan Xena lahir. 14 Februari 1998. Bertepatan dengan hari kasih sayang di mana Tuhan demikian sayang pada kami semua. Kuberi nama Roxeanne Arizona Dinandirdja. Yang katanya, mirip aku. Bola matanya, garis senyumnya, belum lagi banyak kemiripan di antara kami. katanya. Padahal aku bilang, Xena ini mirip sekali dengan Mas Hanif. Ah ... tak masalah mirip siapapun di antara kami. Xena adalah cinta kami juga. di mana Vally sangat gembira menyambut adiknya ini. saling menjaga ya kalian. Jangan pernah saling meninggalkan. Kalian permata berharga kami berdua, Nak. Kebanggaan kami.
Doa Mommy untuk Vally, jadilah perempuan kuat. Yang siap menantang dunia, karena kamu seorang Dirja. Kuat namun tak lupa kodrat seorang perempuan di mana tau ke mana harus menunduk. Karena Mommy tau, keras kepalanya kamu tak mudah untuk dikendalikan. Persis seperti Papa. Tapi Mommy yakin, hati kamu sama hangatnya mentari pagi.
Doa Mommy untuk Xena, jadilah perempuan tegar. Apa pun halangan di depannya nanti, Mommy mengharap kamu bisa terus melangkah. Jalannya seperti apa, Mommy selalu dukung kamu, Nak. Di mana pun Mommy berada. Jangan mudah menyerah dan selalu tanya hati kamu, Nak. Mommy yakin, hati akan terus menuntun kamu menuju kebenaran. Di sana lah Tuhan membisikkan petuah-Nya.
Djena dalam keadaan enggak baik-baik saja. Mas Hanif sering pulang malam. Mommy takut, terjadi sesuatu yang buruk tapi enggak. Mommy yakin, Tuhan lindungi dia. Selalu. Xena juga enggak rewel. Selalu tenang dan seolah menjadi pelipurku, Mas. Vally juga. Mereka berdua anak yang sangat pintar. Aku yakin, badai Djena segera berlalu. Hanya tinggal rumah kecil ini, Mas, yang kita punya. Aku enggak masalah sebenarnya tinggal di mana saja. Tapi rumah ini kenangannya banyak. Kalau bisa, buat semegah mungkin nantinya. Di mana semua kenangan kita bisa dirasakan anak-anak kita nanti. Ah ... ingatkah kamu obrolan seru entah di mana yang mana.
Saat kita bicara kalau nanti anak-anak sudah bertemu dengan pria yang tepat? Di mana tinggal kita berdua di sini? Ah ... aku enggak mau. Anak-anak tetap tinggal di sini. Kita setuju akan hal itu, kan? Rumah besar, paviluin khusus untuk Narti, Didi, dan Jaka. Mereka orang-orang yang setia, Mas. jangan diabaikan keberadaan mereka. lalu sayap kanan dan kiri untuk Vally dan Xena. Sama megahnya. Designnya mereka boleh memilih sendiri. Kita hidup bersama sampai para cucu kita lahir. Iya, kan?
Aku selalu berdoa, kamu pasti bisa melalui ini. Tak perlu bantuan Kakek. Tak apa, Mas. Aku tau, kamu punya kualitas lebih dari yang kamu tau. Dan kalau Djena besar nanti, seperti kata-kata kamu dulu, angkat Dirja bersama kamu.
Semalam Laras telepon, memberi kabar kalau Alif siap membantu Djena. Dia melihat perjuangan kamu, Mas. semoga saja benar, ya. enggak masalah, kan, kalau Alif membantu? Kisah kami telah usai lama. Laras pun sudah tak lagi menyinggung mengenai kami di masa lampau. Sama seperti kamu yang menerimaku dulu.
Aku bahagia, Mas. Walau sedang terjal yang kita alami. Seenggaknya, kita ada di titik di mana perasaan lampau sudah tak lagi menganggu.
Kalau benar Alif membantu, besar kemungkinan kamu bisa menutup loss control tahun ini, kan?
Djena pernah dalam krisis besar? Saat tak lama sejak kelahirannya? Begitu? Dan Djena disokong pamannya? Benar kah? Semua pertanyaan itu menyerbu xena tanpa ampun. Membuat keningnya berkerut hebat. Lagi-lagi dengan agak tak sabar, ia membuka lembaran berikutnya.
Kosong.
Lalu ... lagi-lagi kosong hingga.
Feb 2003
Tuhan masih menyayangi kita, Mas. Dalam kasih-Nya lah kita masih bisa merayakan ulang tahun Xena. Djena makin hari makin baik. Aku tau kamu bisa, Mas. Aku bangga sama kamu. Garisku memang ditakdirkan bersisian denganmu, ternyata. Aku menulis ini sembari senyum enggak mau pergi, Mas. Ah ... begini rasanya dicintai dengan amat. Aku beruntung sekali, Mas, dicintai kamu. Terima kasih atas segalanya.
Walau aku tau, kamu mulai enggak suka dengan Alif. Aku juga enggak mengerti kenapa Alif semakin lama semakin aneh. Lagi-lagi membawa kisah lalu. Juga ... bantuannya.
Jadi ... telah lama memang pamannya mengincar Djena? Menunggu saat yang tepat dan ketika lengah ... Ya Tuhan! Lengah. Ayahnya sudah memperingatinya di mana Djena memang sudah digerogoti? Begitu? Apa motivasinya? Balas dendam karena cinta lampaunya? Tapi kenapa? Bukan kah Uncle Alif sudah berbahagia juga dengan Tante Laras?
Menggeleng pelan, Xena kembali membuka lembara di mana tulisan ini adalah tulisan terakhrir ibunya. Ia sempat membolak balik halaman lainnya berharap ada tulisan lain selain yang tengah ia tandai ini. Tapi tak ada. Hanya ini sau-satunya tulisan di lembar terakhir buku milik ibunya.
Ia mengedikkan bahu pelan. berusaha kembali fokus membacanya. Dan saat netranya menangkap deretan tulisan di sana, ia membeku.
Di mana tanggalnya ... sontak membuat Xena merasa kehabisan pasokan udara. Degup jantungnya seperti tak bekerja normal. Matanya nanar menatap rentet angka serta nama bulan yang tertera di sana. Entah apa ibunya seperti memiliki firasat atau sengaja membuat pikiran Xena meruncing pada satu titik; kecelakaan mereka semua adalah rekayasa.
25 Mei 2014
Seminggu sebelum kecelakaan itu terjadi.
Part 44 ONE BY ONE (PART. 3)
“Jadi? Gimana?” tanya Jess penasaran. Sejak ia membiarkan Xena duduk di dekat jendela, ia tau sahabatnya itu butuh privasi lebih. Tak ingin banyak mengganggu, ia memilih menikmati teh hangat beserta camilannya. Ada niat dalam dirinya untuk mengucapkan terima kasih secara benar pada Arslan namun, ia urungkan niat itu lantaran melihat Xena yang sepertinya tak baik-baik saja itu.
Beberapa kali sahabatnya menangis, lalu kembali tersenyum. belum lagi ekspresi wajahnya, seolah benar-benar tenggelam dalam apa yang tengah ia baca. Jess benar-benar tak ingin menganggu barang sejenak.
“Gue butuh arsip tahun 2000an kayaknya,” kata Xena tanpa menoleh pada Jess. Ia lebih memilih menatap luar jendela yang sudah terang dengan lampu taman. Ternyata membaca tulisan ibunya cukup memakan waktu. Ia menghela napas pelan. “Atau ... apa itu? Akta pendirian perusahaan? Yang ada perubahan direksi? Apa itu namanya?”
“Ya akta pendirian, Na.”
“Gue butuh nominal saham Uncle Alif.”
Jess mengerutkan kening. “Gimana? Gimana?”
Lagi-lagi helaan napas Xena terembus pelan. Ada erang frustrasi di sana. “Djena pernah hampir bangkrut, nah ... saat itu Uncle Alif beri bantuan. Apa namanya masuk dalam jajaran pendiri atau enggak? Kalau iya, berapa besarannya. Gue takut, semakin besar saham yang dimiliki Uncle Alif, dia makin bisa berkuasa.”
Jess mengangguk. “Berarti selain mencari approval di tahun yang ada coretannya itu, juga akta pendirian perusahaan terbaru. Ya, kan?”
Gamang, Xena mengangguk.
“Di sana ada cerita tentang Tante lo enggak?”
Xena menatap Jess dengan bingung. “Siapa?”
“Ck! Ibunya Arslan.”
“Enggak banyak cerita tentang Tante Laras, sih.”
“Agak susah untuk membongkar motif Kaliandra berarti.”
Xena menyetujui hal yang baru Jess utarakan. “Gue juga bingung cara mencari tau surat kematian palsu itu dari mana.”
“Berdoa aja semoga ada keajaiban sebelum semuanya terlambat terlalu lama, ya, Na.”
“Semoga,” lirih Xena. Kusut yang melingkari Dirdja memang membuat Xena dilanda pening yang cukup membuatnya mendadak kelimpungan namun, tiap kata-kata yang ditulis ibunya terutama pada bagian menyemangati ayahnya, sudah membakar Xena. Tak akan ia biarkan Djena jatuh pada orang yang salah. walau ia tak ingin mengelola, bukan berarti ia tak peduli, kan?
Ini semua ... yang tengah kembali ia nikmati, berasal dari Djena. Ibunya benar. Rumah ini kenangannya. Yang tak akan semudah itu diserahkan apalagi sampai dilelang. Tidak. Tidak.
“Kita kerahkan semuanya kalau gitu, Jess,” putus Xena pelan. Jess yang sedang menikmati sisa teh di cangkirnya itu urung melakukannya. Ia memilih meletakkan cangkir itu lagi. Mengarahkan pandangan pada Xena yang kali ini, tak ada keraguan di depannya.
“Gimana maksudnya kerahkan semua?”
“Gue yakin, Om Riga tau gue kembali. Dia hanya butuh gue bicara, Jess. gue yakin banget akan hal itu. riga ada di posisi Djena, juga Om Ronald. Biarpun Mommy enggak pernah singgung, tapi tulisan terakhirnya menyiratkan kalau ada hal-hal yang memang disembunyikan dan Om Ronald yang tau.”
“Om Ronald ini sebenarnya hubungannya apa sama keluarga lo, Na?” Jess cukup penasaran sebenarnya.
“Pengacara keluarga gue yang paling Papa percaya. Gue beberapa kali bertemu dan makan malam sama keluargnya, sih. kenal sama anaknya juga. tapi, ya ... gitu. enggak akrab banget.”
“Lo tau kantornya?”
Xena mengangguk.
“Lo berani ambil risiko?”
“Setelah minggu ini kalau ita dapat berkas yang kita cari, kita susun langkah lanjutannya.”
Untuk hal ini, walau Jess tau tak akan mudah, malah Jess tersenyum lebar. Membuat Xena mengerutkan kening bingung. Dan rasa penasarannya terjawab ketika Jess akhirnya bicara.
“Gitu dong! Itu baru Roxeanne Arizona! Boleh orang lain menilai lo lemah, tapi nyatanya enggak. Lo kuat. Lo tegar. Lo bisa hadapi semuanya.”
Senyumnya pun terkembang. “Thanks, Jess, for supporting me.” Benar. Yang Jess katakan tadi benar adanya. Orang lain boleh menilai dirinya lemah namun, ia bukan perempuan seperti itu. seperti harapan ibunya, ia adalah Dirdja yang tegar.
“Always, Na.”
Saling merangkul, adalah hal yang mereka lakukan kini. Hanya suara ketuk di pintu kamarnya yang membuat rangkul itu mengurai. Saling memandang dengan Xena yang mencuri detik melirik pada jam di dinding kamarnya; pukul delapan malam.
“Siapa?” tanya Jess kemudian dengan langkah pelan menuju pintu.
“Mbak Narti, Non Jess.”
Tanpa sadar, mereka berdua menghela napas lega. Mereka masih memikirkan kemungkinan Arslan yang tiba-tiba mengetuk pintu kamar atau malah mencuri dengar. Bisa kacau segala yang Xena rancang. Walau kamar ini hanya beberapa orang yang tau kalau mereka yang tempati, antisipasi adalah hal yang paling bisa mereka lakukan kini.
Bunyi klik juga kepala Jess yang terjulur mengawasi sekitar di belakang Narti adalah hal yang refleks ia lakukan. Dan saat Jess bersitatap, ada senyum maklum yang Narti ciptakan di sudut bibirnya. “Enggak ada yang ikuti Mbak, Non.”
Jess nyengir. “Bukan apa, Mbak. Ada Arslan. Kita enggak tau dia ada di posisi siapa.”
Narti mengangguk patuh. Mendorong troli makanan yang memang sengaja ia siapkan untuk nona muda serta sahabatnya itu. Sup ayam Narti siapkan lantaran Jess tadi mengeluh perutnya agak tak nyaman. Sementara pasta ekstra keju sebagai makan malam untuk Nona-nya adalah hal yang pastinya disukai mengingat Xena dan keju, dua hal yang lekat sekali.
“Makan malam apa, Mbak? Harusnya enggak usah repot dibawa ke kamar.” Xena menghampiri Narti yang mulai menyajikan masakannya di meja dekat sofa yang biasa digunakan Jess untuk menonton serial drama.
“Pasta ektra keju.” Dan benar, ketika Narti mengatakan hal itu, binar cerah didapati dari raut wajah Xena. Sementara di belakangnya, Jess mencibir dengan dengkusan tak suka.
“Xena dan keju. Astaga. Kapan lo bosan, Na?”
Gelak dari Xena keluar sudah. “Buat gue, keju itu sesuatu.”
“Gue lagi enggak terima dongeng mnegenai kisah cinta lo sama Om lo itu, ya. Gue lapar.”
Narti yang mendengar ucapan Jess, sontak mengerutkan kening. “Kisah cinta siapa? Om siapa?”
“Mbak Narti enggak tau? Xena dan Kak Riga?”
Xena langsung berupaya membekap bibir Jess yang malah sudah menderaikan tawa. Membuat Xena makin gencar mengejarnya sementara Jess terus sama menghindari kejaran Xena.
“Eh ... kenapa jadi main kejar-kejaran? Makan dulu, Non. Nanti keburu dingin,” lerai Narti sembari menggeleng namun tak ditutupi kalau dirinya menghangat tiba-tiba. Sudah lama sekali ia tak melihat nona mudanya seceria ini. Benar. Kehadiran Jess rupanya memberi warna baru pada diri sang nona. Setidaknya, ia tak selalu berpikiran kalau dia hanya tinggal sendiri. Masih banyak yang menyayanginya termasuk dirinya tentu saja.
“Jess nyebelin.” Xena bersidekap. Bibirnya manyun. Dia duduk dengan mata yang menatap Jess tak suka.
“Ih ... ngambek gitu jelek, lho!” ledek Jess lalu kembali terkekeh. “Sudah, ah. Makan dulu. Besok kita butuh tenaga banyak.”
Xena menyetujui hal itu. mulai makan dengan tenang walau masih mendengar kikik geli dari Jess. Mau dibungkam menggunakan cara apa pun, Jess tetap akan bisa menemui celáh meledeknya.
“Tapi Non Jess benar, kok. Kisah Tuan Riga dan Non Xena ini benar-benar bikin kita semua merasa mereka pasangan paling cocok.”
“Mbak Narti!” pekik Xena tak percaya. Matanya menyoroti dengan pandangan horor ke arah Narti yang kini mengerling jahil ke arahnya.
“Gimana, Mbak? Mbak tau?”
Narti mengengguk antusias. “Siapa yang enggak tau? Sejak pakai seragam Non Xena memang seperti ditunggu Tuan Riga.”
“Ih ... enggak gitu!” sergah Xena. “Mana ada?”
“Coba Mbak Narti cerita, aku penasaran dari sejak kapan? Om Riga, tuh, parah banget galaknya. Aku yang ngeliat dia melotot langsung ciut macam tikus yang kejepit di antara reruntuhan besar.”
Xena mencibir mendengar perkataan Jess yang malah diamini oleh Narti.
“Memang, Non. Tuan Riga itu galak, tegas, tapi hanya lembut sama Non Xena.”
Sudah lah. Mereka berdua kompak mengungkit masa lalu di mana masa-masa itu lah yang selalu Xena genggam hingga kini. Merah wajahnya pun tak bisa menyingkirkan senyum malu-malu yang Xena punya. Angannya bekerja mengingatkan betapa mereka pernah sedekat itu.
Akan tetapi, saat tanpa sengaja netra Xena melintasi cermin besar yang ada di meja rias, senyum serta rona itu lindap.
Di sana, wajahnya terlihat jelas. Dengan parut yang cukup mengganggu di bagian kiri. Belum lagi, dekat pelipisnya yang sama; cukup mengerikan untuk terus dipandangi. Wajahnya ... berubah. Tak lagi Xena yang Riga kenali. Yang pernah memenuhi netra sehitam jelaga itu dengan pandangan kagum juga ... lirihan menyebut nama kakaknya.
Ia tak tau, kalau risiko yang nantinya akan ia ambil termasuk menampilkan dirinya di depan Riga. Apa ... ia sanggup?
***
Arslan mendengkus sebal. Laporan yang ia terima dari tim marketing yang ada di bawah asuhannya, sebenarnya tak menemui kendala sama sekali. Hanya saja, sejak dua jam meneliti laporannya, ia sudah tak menemui konsentrasi di sana. Bayang gadis yang ia tolong kemarin sore adalah penyebab utamanya. Padahal ia berusaha sekali mengenyahkan dirinya tak ternyata mampu membuatnya berkali-kali mengacak rambutnya.
Sila! Rutuknya entah sudah berapa kali. Belum tuntas kegilaan yang menciptakan kekacauan pada suasana hatinya, ketuk pada ruang kerjanya terdengar. Membuat keningnya berkerut. “Siapa?”
“Riga.”
Jelas ia merasa aneh karena kunjungan dari pimpinan tempatnya bekerja ini. Ah ... seharusnya ia tau, kalau laporan yang lembarannya kini sudah berantakan, harusnya ada di meja si pemilik langkah yang kini mendekat padanya.
“Sorry, Kak, enggak bukakan pintu.”
Riga menyeringai. “Saya masih punya tangan.”
Arslan terkekeh. “Maaf laporannya masih saya periksa.”
Riga memilih menarik kursi yang ada di samping kanan meja kerja Arslan. Duduk di sana sembari menyamankan diri. Tak peduli kalau cara duduknya bisa membuat setelannya kusut. Jadwal meetingnya hari ini tak ada.
“Kamu kerasan kerja di sini?”
Ditanya seperti itu menimbulkan desah pelan yang tak Arslan tutupi. “Kak Riga paling tau apa yang saya inginkan.”
Riga mengangguk pelan. “Saya butuh pendapat sebenarnya.”
“Pendapat?” ulang Arslan bingung. “Pendapat apa?”
“Kalau,” Riga menggeser pelan kursinya dengan sekali gerak. Roda yang bergesekan dengan lantai membuat bunyi decit yang cukup mengangguk namun ia abaikan. “Kalau di mata kamu ada yang berbuat curang, apa yang kamu berbuat.”
Arslan langsung bersikap waspada. “Curang banyak arti, Kak.”
“Penggelapan dana.” Riga bicara dengan nada penuh santai tapi tatapannya setajam elang siap menebas siapa saja lawan bicaranya kini. Pasokan udara di ruang Arslan dirasa makin tipis karena intimidási yang Riga perbuat.
“Cut,” jawab Arslan lugas. Manik mata mereka bertemu. Arslan bukan takut pada Riga, tidak. namun segan yang ia miliki pada pria yang berselisih delapan tahun dengannya ini cukup menimbulkan rasa awas yang cukup tinggi untuk berada di sekitarnya.
“Walau itu artinya ... keluarga kamu?”
Jemari Arslan langsung terkepal kuat. Buku jarinya memutih. Matanya bukan lagi sekadar tajam membalas tatapan Riga kini. Gertak di rahangnya kentara sekali.
“Atau ... kamu mulai berubah visinya?”
“Enggak!” Jawaban yang Arslan beri tak berubah sejak kali pertama bicara serius dengan seorang Riga Angkasa.
“Good.” Riga perlahan bangkit. “Saya tunggu laporannya kalau begitu, Ar.” Berjalan pun dengan langkah pasti dengan tatapan mengedar tanpa ragu mengelilingi ruang kerja Arslan yang tampak biasa saja. Kecuali sebuah pajangan dinding bertuliskan; Your mind is the ultimate killer.
“Asal jangan sentuh Mami.”
Ucapan itu lantas membuat Riga terhenti. Menoleh dengan gerak dramatis, seringai tipisnya timbul dengan satu anggukan kecil.
“Ibu Laras aman, Ar. Asal ... kerjakan yang saya ingin.”
Part 45 RIGA’S ULTIMATUM
Xena kembali pada rutinitas yang membuatnya tak terlalu bebas bergerak. Ia hanya berharap, segera datang hari di mana dirinya menjalani shifting sore. Kepalanya telah penuh pertanyaan dan entah mengapa ia meyakini ada yang tersembunyi di sana. Juga harapnya, pada weekend ini Arslan kembali pulang ke rumahnya. Sehingga ia bisa leluasa berada di ruang kerja ayahnya.
“Siang, Anne,” sapa Vino kelewat ramat yang membuat Xena menoleh cepat. Bingung, ia menatap Vino tanpa kedip. Lamunnya buyar mengenai segala harapnya tadi. Berganti dengan Vino yang berdiri di samping meja kerjanya sembari tersenyum kecil. Hal ini membuat Xena makin gusar di mana keyakinan kalau Riga pun Vino, telah mengetahui siapa sebenarnya ia.
Xena hanya membalas dengan anggukan. Dari balik maskernya ia tersenyum ragu. Sejak pagi dirinya memang telah menaruh curiga namun, semuanya ia lenyapkan karena Riga terlalu banyak mau sejak pagi tadi. Hanya meninggalkan dirinya kala jam sudah menunjuk pukul sepuluh. Itu pun hanya berlangsung setengah jam lamanya.
Gadis itu mana bisa bergerak lebih jauh dari jarak pandang Riga, ia yakin itu. Ada saja yang harus ia lakukan di ruang itu. Yang rasanya pekerjaan itu hanya untuk menahan Xena di dalamnya.
“Bapak sudah tunggu,” imbuh Vino tanpa mengurangi ramahnya sama sekali. Sungguh, ini justeru semakin membuat Xena ketar ketir. Apa bisa ia menolak? Tidak. Selain pasrah dengan helaan napas pelan, ia bisa apa?
Kembali ia mengangguk kecil sebelum tangannya mengeuk pintu ruang Riga. Suara yang sangat ia kenali itu mempersilakan dirinya masuk. Kembali Xena meraup udara yang semakin tipis karena terhalang masker, ia tetap harus melakukannya. Kalau tidak, di dalam ruang milik Riga ia merasa tipis sekali pasokan udaranya.
“Sudah makan?”
Anggukan Xena beri sebagai jawaban.
Mendapati gadis itu masih berdiri tak jauh dari pintu, membuat Riga menggeleng pelan. “Duduk di sana,” katanya sembari menunjuk sudut sofa di mana banyak lembar kerja yang Xena tak tau kapan muncul di sana. Apa sewaktu makan siang tadi, Riga tak makan? Malah makan berkas alias bekerja? Memang, Xena tau Riga ini pekerja keras tapi kalau sampai menunda makan siang? Apa itu sama saja tak sayang dengan dirinya sendiri?
“Saya lihat, tulisan kamu bagus. Bantu saya menyalin pekerjaan itu.”
Xena melongo. Bolak balik menatap Riga juga meja yang tadi ditunjuk pria itu. Maksudnya apa? Tapi pertanyaan itu jelas tak mungkin ia suarakan selain anggukan pasrah yang bisa ia berikan. Sementara seringai tipis sekali timbul dari sudut bibir Riga.
Melihat gadis yang kini mulai duduk di sofa sembari mulai menyalin apa yang ia perintahkan tanpa banyak bertanya, membuat segala praduga Riga mengenai siapa sebenarnya gadis ini, bulat seratus persen. Tidak. Ribuan persen.
Apa yang Riga perintahkan adalah hasil meeting yang masih acak. Yang sering kali Riga tambahkan tiap kali meeting selesai sesuai dengan kebijakan yang ia inginkan. Di mana, sering kali juga hasil meeting itu lah yang menjadi bahan lapornya pada seorang Xena di apartement dulu.
“Mau sampai kapan kamu seperti itu, Na?” tanya Riga mirip gumaman. Menggeleng pelan, ia tak jadikan itu soal asal gadis itu tak lagi menjauh. Bahkan Jumat lalu, ia tinggalkan makan malam yang seharusnya bisa untuk melobby satu bukti untuk menjerat Alif, ia undur. Memilih melajukan kendaraannya pelan hingga sedan mewah menjemput dua gadis itu. Sorot salah satu gadis itu, yang Riga kenali sebagai sahabat Xena, terlihat memantau sekitar sebelum akhirnya ia pun masuk ke dalam mobil itu.
Riga bergerak penuh jarak namun tetap bisa menjangkau sedan itu hingga benar-benar berhenti di rumah lama yang dulu sering ia kunjungi. Apalagi sambutan orang yang paling dekat dengan Xena di sana; Narti. Benar-benar menguatkan dugaan kalau Xena ... masih hidup.
Suara dering ponsel pertanda satu pesan masuk, membuyarkan angannya. Melirik enggan pada benda itu yang kini menampilkan nomor yang tak ia ketahui.
(+62813********445)
Sudah saya serahkan bukti terakhir pada Pak Ronald. Tolong bebaskan saya dari segala tuntutan, Pak. Saya mohon belas kasih Anda.
Jemari Riga mengetuk pelan penuh irama di meja yang dibalut kaca hitam yang cukup tebal ini. setelah semua yang terjadi? Orang ini meminta belas kasih? Riga terkekeh pelan. “Enak saja.”
Mengenyahkan pikirannya pada sosok pengirim pesan yang memohon padanya, ia memilih tenggelam pada sisa pekerjaannya. Masih ada waktu untuk membuktikan kalau semua yang terjadi saling terkait ditambah, orang yang mereka sasar ada di ruangannya. Walau Riga belum tau apa motifnya, tapi kini, mata Riga tak akan lagi teralih.
Masa bodo dengan apa yang terjadi di sekitarnya, bagi Riga sejak awal, harusnya Xena yang menjadi prioritas perlindungannya.
Cukup lama Riga biarkan Xena tenggelam dalam perintahnya itu sementara ia sendiri pun dibuat sibuk dengan banyaknya email yang masuk. sesekali ia melirik pada gadis yang tampak asyik menulis. Kadang juga, kacamata tebalnya itu ia benahi. Tapi satu hal yang pasti, gadis itu tak membuka maskernya sama sekali.
Apa ia tak kesulitan bernapas?
Baru saja ia akan bertanya, suara interkom berdering. Membuat Riga harus melipat keinginannya untuk menyuarakan rasa penasarannya itu. Telepon itu dari Vino. Katanya, “Pak, ada Pak Alif.”
Riga melirik Tag Heuer pada lengan kirinya. Pukul setengah tiga siang. Persis seperti yang Alif janjikan untuk membahas bagian terakhir dari penentuan harga sebelum lelang dua minggu lagi. Di mana nantinya ini adalah lelang terakhir yang akan Riga hadiri.
“Suruh masuk.”
Xena mencuri-lirik pada kegiatan Riga dan melarikan netranya pada pintu begitu terdengar bunyi klik disertai Vino juga ... Alif, yang masuk ke dalam ruangan. Masih sama seperti terakhir kali Xena ingat, pamannya masih berjalan dengan bertopang tongkat. Tak banyak berubah dari terakhir kali Xena ingat saat dibacakan surat wasiat orang tuanya dulu.
Uncle Alif-nya masih setenang air. Hanya saja kali ini, ada sorot tak terima ketika Alif menatap Riga yang masih duduk santai di kursi kebesarannya itu. Xena mengamatinya penuh lekat. Tak mau kehilangan moment atas kesempatan yang sangat langka ini. Berharap dengan amat, Riga tak menyuruhnya pergi. Menegakkan telinga baik-baik sementara matanya kembali ia tujukan pada tugasnya. Kepalanya ia pergunakan untuk merekam dengan baik apa yang nantinya mereka bicarakan.
Kesempatan tak akan datang dua kali, kan?
“Selamat datang kembali, Pak,” sapa Riga dengan uluran tangan. Yang segera disambut dengan kekeh serta seringai kecil dari Alif.
“Terima kasih.” Walau disambut uluran tangan itu, rasanya Alif ingin sekali meremukkannya sekarang. tapi tidak. ia tak akan melakukannya sekarang. Sebentar lagi tujuannya tercapai. Kenapa ia harus bersusah payah menyingkirkan pria konyol di depannya ini? Semua suara mendukungnya. Tinggal menunggu.
Iya. Hanya tinggal tersisa beberapa bulan lagi maka tujuannya tergapai. Atas apa yang Riga lakukan semingguan ini, yang membuatnya meradang tiba-tiba, masih bisa ia kendalikan. Lalu matanya mengedar, mendapati sosok perempuan dengan seragam ... OG?
“Siapa dia?” tanya Alif dengan nada remeh.
“Oh ... Maaf, Pak. Tadi saya minta bantuan membereskan file. Vino repot sekali untuk meeting kita besok.” Riga tersenyum kecil yang ditanggapi dengan tatapan curiga dari Alif. “Anne, kamu boleh keluar sekarang.”
Merasa dipanggil, Xena mendongak. Ia tak percaya kalau Riga memintanya keluar. Mengerjap pelan namun tubuhnya bangkit. Tak berani membantah. Siapa dirinya sekarang? Anggukan kecil dengan sedikit membungkuk ia beri sebagai tanda pamit. Tak mungkin juga ia bersuara sekadar meminta izin keluar ruangan.
Meninggalkan harapan yang tadi melambung cukup tinggi; bisa mendengar pembicaraan antara Riga juga Alif. Saat berpapasan dengan Vino, justeru pria itu yang lebih dulu tersenyum ramah serta sedikit membungkuk padanya. Sungguh, Xena curiga namun tak bisa ia suarakan sekarang. Yang bisa ia lakukan kini, hanya balas dengan anggukan kecil dan memilih melenggang pergi.
Berhubung area kerja Xena sudah berada di lantai ini, ia tak bisa sembarangan tuun ke lantai di mana Jess bekerja. Sedikit bingung, ia memilih menuju pantri yang tak jauh dari dekat lift yang biasa para karyawan gunakan untuk naik turun lantai tujuan. Berjalan pelan sembari menikmati satu per satu mereka yang bekerja di bawah naungan Djena. Walau di sini hanya terisi bagian HRD serta Finance, tetap saja Xena bisa merasakan kalau mereka lah salah satu dari banyaknya penopang Djea.
Ada senda gurau di antara mereka. belum lagi, fokus pada masing-masing pekerjaannya. Belum lagi, saat pertama kali ia ditempati di area divisi marketing, banyak juga obrolan ringan di mana hidup mereka banyak bergantung pada Djena. Lantas? Kalau Xena tak berjuang mengungkap apa yang sebenanya terjadi dalam tubuh usaha yang dirintis ayahnya ini, mereka semua bagaimana nasibnya?
Tulisan ibunya kembali membayang di mana ketika Djena pernah mengalami masa sulit. Xena menoleh pelan pada ruang yang tak jauh darinya kini. Memang, masa itu telah berlalu lama. Belum tentu orang yang sama yang berjuang untuk Djena masih ada hingga kini. Kalau Xena bisa diberi akses melihat data karyawan, pasti akan mudah untuk mengetahui siapa yang bekerja untuk Djena dalam kurun waktu yang lama.
Kendati demikian, perjuangan ayahnya lah yang harus sangat ia hargai.
“Bos sedang bertemu Riga, Max.”
Xena membeku saat itu juga. langkahnya berhenti mendadak lalu segera ia merapatkan diri pada tembok di dekatnya. Sembunyi. Adalah hal yang terlintas paling depan dari segala pemikirannya saat ini. Pun tubuhnya yang gemetar hebat. Suara itu ... suara yang sama saat ia mendengarnya di Bandung.
“Kau benar. Sebentar lagi tujuannya tercapai.”
Dia terkekeh pelan. Xena tak tau wajahnya karena sungguh, untuk sekadar mengintip barang secuil saja keberaniannya hilang total.
“Beri waktu baginya, Max. Setelah itu kita eksekusi. Dendam kita terbalas.”
Tubuh Xena merosot tanpa ampun. Tangannya membekap bibir agar tak mengeluarkan suara. Keringat dingin mulai bercucuran. Jantungnya sudah tak tak lagi berdegup seperti biasanya. Laju napasnya pun rasanya sesak mirip dihimpit ribuan ton bebas.
“Tenang saja. Selama Bos dalam pengawasan saya, enggak akan mudah baginya untuk pergi.”
Lalu suara ujung sepatu beradu dengan lantai terdengar mirip alun penuh debar yang menyapa pendengaran Xena. Tangan Xena makin kuat menutup mulut sekadar untuk bernapas saja ia persulit karena takut, suara napasnya membuat orang itu sadar, ada yang mencuri dengar percakapan tadi. Sungguh, ia takut kalau suara tadi berjalan ke arahnya. Yang mungkin dalam sekali toleh, bisa dipastikan kalau Xena akan ketahuan ada di balik tembok ini.
Dingin keringat yang mengucur membasah pelipis makin jadi Xena rasakan. Ia memejam sembari terus menajamkan telinga, berharap dengan amat, agar ada satu sela di mana dirinya bisa meloloskan diri. Derapnya makin jadi Xena dengar. Menggema. Menciptakan kidung kian mencekik bagi Xena.
“Ya Tuhan! jangan sampai orang ini tau aku di sini!”
“Siang, Pak Alan,” sapa seseorang yang samar-samar masih bisa Xena dengar. Bukan. Bukan si pemilik suara berat juga mengerikan itu. ada orang lain yang puji Tuhan, seperti memberi kesempatan untuknya bisa meloloskan diri.
Tanpa banyak berpikir, Xena bangkit. Menguatkan hati juga dengan sisa tenaga yang ada, Xena berbalik. Melangkah senormal mungkin, agar tak kentara kalau dirinya sejak tadi ada di balik tembok itu. Mengesankan pula, kalau dirinya baru muncul dari balik pintu yang ada di sana.
****
“Saya tak mengerti kenapa semua aliran dana untuk proyek kamu hentikan, Riga?” tanya Alif tanpa basa basi. Setelah memastikan pintu ruang riga tertutup dengan keluarnya offce girl tadi, ia tak ingin berbasa basi lagi.
Suaranya pelan namun Alif tau, banyak nada tak sudah di sana yang ia gelontorkan pada sosok pria yang sungguh, ia tak habis pikir kenapa Hanif mempercayakan Djena padanya. Alih-alih dirinya yang berkuasa.
Padahal telah ia buat skenario panjang untuk membuat Djena dalam genggamannya. Sial. Alif mencengkeram pegangannya pada tongkat dengan cukup kuat.
“Masih kurang, kah?” tanya Riga pelan. Untuk kali ini, ia tak main-main lagi. Segala bukti sudah ia dapatkan. Ronald juga sudah mengumpulkan jadi satu dan sudah dalam pihak kepolisian. Riga hanya butuh satu moment, esok, untuk mengungkap satu dari beberapa dugaan yang mengarah pada Alif.
“Kurang?” Alif menelengkan kepala. Menatap Riga dengan sorot mata tak biasa. “Apa maksud kamu?”
Lawan bicaranya justeru dengan santai mengedikkan bahu. “Tak ada maksud apa-apa, Pak.”
“Sudah seminggu tak ada aliran dana masuk, Riga. Itu menghambat jalannya produksi. Bahkan kalau kamu mau tau, kita sudah merugi ratusan juta. Kalkulasi kamu di mana? Nol?” berangnya tanpa ampun. Alif tak lagi bicara dengan nada santai. Emosinya naik. Walau tak perlu menggunakan suara tinggi, seharusnya Riga tau dengan siapa dirinya berhadapan.
“Memang.” Riga bersidekap. Bersandar pada kursinya sembari lantang membalas tatapan tajam Alif. Tak gentar sama sekali. “Besok penentuannya, Pak Alif. Apa aliran dana itu diteruskan atau tidak. Mengingat, laporan dari Anda hingga detik ini belum juga saya terima. Saya yang butuh kalkulasi nol yang Bapak sebut tadi.”
Tangan Alif terkepal kuat. Napasnya menderu. Matanya nyalang menatap Riga tanpa ragu. Namun satu bisik halus ia terima merasuki kepalanya. “Biar saja. Biar Riga puas menjatuhkan kamu di sisa jabatannya. Sebentar lagi, Lif. Sebentar lagi. Djena di tangan kamu.”
Menarik napas panjang, menormalkan gemuruh di dadanya yang siap sekali ia sembur. Baik kalau itu mau kamu. Segera saya kirim laporannya.”
Riga mengangguk pelan.
“Perlu kamu tau satu hal, Riga. Saya turut membesarkan Djena. Tak mungkin saya hancurkan begitu saja.”
Lagi-lagi anggukan Riga beri. “Saya yakin, Pak Alif demikian mencintai Djena. Benar?”
Ucapan itu sarat sekali makna yang tertangkap dalam benak Alif namun, ia memilih kembali bicara dengan suara senormal mungkin. “Benar. Saya mencintai Djena.” Didorong pelan kursi tempatnya duduk, berjalan dengan ditopang tongkat, ia memilih angkat kaki dari ruang yang sebentar lagi akan menjadi miliknya.
Kalau saja saat itu pria bernama Riga Angkasa ini lenyap, sudah bisa dipastikan kalau semua tujuannya beres. Sial. Sial. Sial. Sudah tak ada lagi alasan Alif untuk melenyapkan Riga kali ini.
Alif berjalan tanpa perlu pamit pada Riga yang masih menatap kepergian satu-satunya kandidat yang akan menggantikan Djena dalam waktu dekat ini. Baginya, itu tak perlu. Riga di sini seharusnya mematuhi ucapannya. Bukan dirinya yang terlihat seperti anj!ng pesuruh. Piyan benar-benar bodōh! Seharusnya mereka berdua lenyap. Xena ... juga Riga.
“Pak,” sapa Alan pelan. “Anda ... baik-baik saja?”
Kental sekali aura kelam dalam tatapan Alif kini. “Laporan yang sudah kamu revisi sudah dikirim?”
“Sudah, Pak.”
“Saya cek dulu sebelum memastikan dikirim pada Riga. Sial orang itu.”
Alan memilih mengekori langkah bosnya. Yang mana setiap kali berhubungan dengan Riga, pasti emosi sang bos selalu tersulut. Seringai kecil Alan ciptakan lantaran tak butuh waktu lama juga untuknya bergerak. Bukan dalam perintah Alif lagi. Bukan. Ia hanya tinggal menanti datangnya waktu itu datang.
“Baik, Pak.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
