
***Spoiler
Agak bersusah payah, ia akhirnya berhasil menggapai ponselnya yang ada di nakas. Seperti biasa, gangguannya di pagi hari adalah Jess yang baik hati.
“Ya?”
“Ih, harusnya lo bersemangat, An. Ini masih pagi. Jangan sampai lo lesu.” Di seberang saja, dilatari dengan deru kendaraan juga klakson yang cukup mengganggu pendengaran, Jess berkata demikian riang. Hal ini lantas membuat Xena merotasi matanya namun ada kekeh kecil yang spontan keluar dari bibir mungilnya itu.
“Lo jemput? Gue enggak buat...
Part 31 NEW PROPOSE
Bangun pagi dengan pening mendera, sudah lama tak ia rasakan kecuali beberapa hari lalu. Kala gelap menyapa hingga dirinya membuka mata, pusing yang ia rasa sama hebatnya. Xena menghela napas pelan. memijat sisi kepalanya berusaha agar sedikit mereda namun, tetap saja sama.
Kalau ia meminum kembali obat pereda nyeri kepala lagi, bisa-bisa ia makin ketergantungan. Berjalan sedikit terhuyung, sembari sesekali memejam, menuju dapur untuk sekadar membuat teh hangat. Beruntung ia tak perlu menyalakan kompor dulu. Ada dispenser yang panasnya cukup untuk membuat segelas teh. Membuka laci penyimpanan makanan, siapa tau masih ada satu roti lapis cokelat di sana.
Segelas teh, dua bungkus roti, menjadi bekal yang menurut Xena cukup menghilangkan pening. Semoga saja. Duduk setengah bersandar di bantal besar, ia mencoba menikmati sarapannya. Pelan bukan karena penuh penghayatan namun karena peningnya tak kunjung hilang. Ia tak mungkin ke toko kalau kepalanya berdenyut seperti ini.
Dering ponsel yang cukup nyaring mengisi ruang tiga petak yang ia tempati. Kontrakannya sederhana. Ia tak butuh menghabiskan banyak uang untuk sekadar sewa rumah yang besar walau Jess bilang, bisa untuk mereka tinggali sama-sama. Ada Meli serta Ica, belum lagi Jess juga Asya, namun Xena menolak. Bukan tak ingin, kadang kala, ada satu waktu di mana Xena ingin meresapi semua yang terjadi dalam hidupnya. Termasuk menangisi ketiga orang yang ia sayangi, yang telah pergi lebih dulu meninggalkan dirinya.
Juga Riga. Tak bisa ia pungkiri kalau ada beberapa malam yang ia lewati dengan simbah air mata, menangisi pria kaku itu. Tak ada satu peninggalan apa pun yang bisa Xena amati, menatapnya tanpa bosan, juga sebagai pengantar tidurnya yang sepi. Kecuali kenangan yang terus saja ia hidupkan agar tak ada satu pun bisa ia lupakan perkara Riga Angkasa.
Agak bersusah payah, ia akhirnya berhasil menggapai ponselnya yang ada di nakas. Seperti biasa, gangguannya di pagi hari adalah Jess yang baik hati.
“Ya?”
“Ih, harusnya lo bersemangat, An. Ini masih pagi. Jangan sampai lo lesu.” Di seberang saja, dilatari dengan deru kendaraan juga klakson yang cukup mengganggu pendengaran, Jess berkata demikian riang. Hal ini lantas membuat Xena merotasi matanya namun ada kekeh kecil yang spontan keluar dari bibir mungilnya itu.
“Lo jemput? Gue enggak buat sarapan.”
“Ih, tega banget. Gue enggak dibuatkan sarapan. Sudah jemput lo, tapi enggak ada upah. Sadis.”
Xena mau tak mau akhirnya tergelak. Memejam sejenak, karena denyut di kepalanya kembali berkuasa. “Gue kayaknya enggak ke toko, Jess,” katanya pelan.
“Eh? Kenapa?”
Gadis itu menggeleng pelan, yang segera ia sadari kalau Jess tak akan melihatnya. “Enggak kenapa-napa, Jess.”
“Sepuluh menit lagi gue sampai,” kata Jess dan langsung menutup sambungan teleponnya itu perlu ada ucapan lagi dari Xena. Gadis itu menghela napas pelan. menyesap lagi teh hangatnya yang tak terlalu manis. Dua cuil roti lapis cokelat sebagai peneman yang rasanya hambar menyapa lidah.
Tak butuh waktu lama, suara motor Jess menderu halus tak jauh dari pintu kontrakannya. Ia hanya membuka kunci tanpa perlu dibukakan. Toh, Jess akan masuk tanpa dipersilakan. Seperti kebiasannya.
“Na?” panggilnya sembari mendorong pintu. Wajahnya khawatir yang tak ia tutupi sama sekali dan begitu mendapati Xena yang duduk bersandar sembari memejam, ia tau, kalau sahabatnya itu dalam kondisi tak baik-baik saja. “Lo sakit?”
Xena membuka dengan perlahan matanya. “Pening banget gue, Jess.”
Jess mendekat, meletakkan telapak tangannya pada kening Xena. “Lo demam. Ke dokter, ya?”
Seringai tipis Xena tercipta. “Gue bukan bocah lima tahun yang demam langsung ke dokter. Cuma butuh istirahat aja, Jess.”
Jess mingkem. Kalau Xena sudah berkata seperti itu, maka tak ada yang bisa merayunya. “Oke. Gue temani?”
Xena menggeleng kembali. “Lo harus ke kafe, kan? Gue butuh sendiri. Gue serius, Jess.”
Ada decak kesal yang Jess lontarkan karena Xena yang terkesan mengusirnya itu. “Niat gue baik, Na.”
“Iya, tapi lo juga dibutuhkan di kafe, kan? Asya sendirian, lho.” Xena tersenyum kecil menanggapi. “Gue serius, Jess. Enggak apa-apa. habis sarapan langsung minum obat, kok.”
Jess mau cemberut tapi apa yang Xena katakan benar adanya. Kalau ia meninggalkan Asya sendirian, ia tak tega juga. Ia memang tak ta apa kafe hari ini ramai atau biasa saja namun, Asya pasti kerepotan sekali. “Oke kalau gitu. Nanti gue mampir ke toko ngabarin Mbak Meli. Apa sebaiknya toko enggak usah buka?”
Alis Xena sedikit berkerut, berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan. “Buka aja tapi Mbak Meli jangan terima orderan apa-apa kecuali untuk besok. Soalnya takut ada barang datang.”
Jess mengangguk mengerti. “Ya sudah. Nanti siang gue kirim makan dari kafe, ya. Lo ada obat penurun demam? Kalau enggak ada gue belikan dulu.”
Hati Xena menghangat makin banyak. Jess ini memang sahabat yang sangat perhatian. “Enggak usah, Jess. Gue punya stok.”
Sahabatnya itu tak mengalihkan pandangan kecuali menatap tepat pada manik mata Xena. Pada bagian kiri mata yang seelok boneka, tadinya, ada bekas luka yang kentara sekali. Sungguh, Xena memang tak bisa dikenali dengan mudah kecuali ketika ia bicara. Siapa pun yang pernah dekat dengannya, pasti menyadari kalau pemilik suara yang terkesan dingin namun penuh lembut itu adalah Xena. Walau kini, wajahnya bisa dibilang tak sesempurna sebelumnya.
“Apa ... ada pengaruhnya dari kejadian dulu, Na?”
Ada kesiap kecil dari bibir Xena, keterkejutan tampak jelas di matanya. Segera, ia memalingkan pandangan dari Jess. Tak mau kalau ada sesuatu yang Jess ketahui dari efek setelah kejadian lampau. Memang, dokter pernah memperingati kalau hantaman di kepala Xena cukup keras. Walau tak menimbulkan pendarahan atau luka besar, tapi setelah ia sadar, pusing yang ia derita sering hilang timbul. Peringatan dokter kala itu, hanya Xena lipat sebatas peringatan biasa. Ia tak menyangka kalau akhir-akhir ini kembali mengalaminya lagi.
“Gue enggak tau,” kilah Xena. “Gue cuma capek kayaknya. Kurang istirahat.”
“Lo nonton drama sampai larut malam?”
Pura-pura, Xena menyeringai tanpa dosa. Menimbulkan decak sebal dari Jess. “Kebiasaan!”
Sahabatnya itu benar-benar pamit pulang setelah memastikan Xena meminum obat penurun panasnya. Padahal Xena tak berminat untuk meminumnya sekarang. baginya, ia hanya butuh tidur dan berharap kembali bugar di siang harinya. Mungkin setelah makan siang, ia bisa ke toko dan mengecek barang yang datang hari ini. Stok bunga untuk flower ballon, memang sudah menipis.
Pintu kontrakan sudah ia kunci rapat. TV kembali ia matikan dan gegas menuju kamar setelah kembali membuat segelas teh hangat. Memilih untuk terpejam sejenak adalah pilihan yang paling tepat menurutnya. Di kamar, ia termangu. Foto semalam masih terserak di atas kasur.
Pelan, ia kembali memperhatikan potret usang ibunya dengan sang paman. “Apa dulu Mommy berselingkuh?”
Namun pemikiran keji itu ia tepis sekasar mungkin. Sepanjang ia ingat mengenai sosok ibunya, banyak yang bilang kelembutan yang Xena miliki berasal dari sang ibu. juga betapa berdedikasinya Mommy di samping Papa. Tak pernah terlewatkan hari-hari Papa selama ada dinas ke luar kota tanpa ditemani Mommy. Setia juga selalu mendukung Papa, bagaimana pun kondisinya.
Lantas?
Apa maksud foto ini?
Sekali lagi ia susuri dengan amat potret usang yang kini ada di genggaman tangannya. Rumah besar dengan pilar besar, yang tampaknya berwarna putih sebagai latar. Di samping tempat mereka berdiri dengan senyum yang terlihat bahagia, ada jejeran bunga yang juga sudah pudar warnanya. Tulisan tangan dengan cetak miring yang rapi ini, ternyata juga dibubuhkan tahun. Entah tahun yang dimaksud adalah tahun di mana foto itu diambil. Tapi besar kemungkinan, adalah tahun di mana foto itu diambil.
1982.
Lagi-lagi, kepala Xena harus bekerja extra untuk mengingat tanggal serta tahun di mana kedua orang tuanya menikah. Apa tahun di mana tertulis di foto, ada di masa pernikahan kedua orang tuanya? Kalau iya ... apa memang ibunya berselingkuh? Tapi ... tapi kenapa?
Denyut yang Xena rasakan di kepalanya makin hebat menghantam. Pejam sekadar mengusirnya pun sudah tak lagi mempan. Merebahkan diri adalah satu-satunya jalan yang bisa ia lakukan kini. Berharap selain ada petunjuk di ingatannya di antara sakit yang dirasa, pun ia meminta pada Tuhan-nya, agar sakitnya menghilang dengan segera.
****
“Kak An bikin Mbak Meli khawatir,” kata Meli begitu mendapati Xena yang memasuki toko. Wajah gadis itu agak pucat tapi seperti dipaksakan tesenyum.
“Lebay, deh, Mbak Meli,” selorohnya sembari meletakkan tas tentengnya di meja. “Ada orderan, Mbak?”
Meli meletakkan banyak kartu yang butuh disortir, menghampiri gadis yang katanya sakit. Saat tadi pagi mendapak kunjungan dari Jess serta kabar Anne sakit, Meli sebenarnya cukup khawatir. Ditambah, setelah makan siang gadis ini malah tiba di toko. Meli takut, terjadi hal yag mengkhawatirkan terkait Anne. Pingsan misalnya. Bukan tanpa sebab, wajah Anne pucat sekali. Walau ditutupi pemulas pink, tetap saja itu kentara.
“Ada lima pesanan flower ballon. Repeat order. Kali ini untuk ucapan kelulusan, Kak An. Mbak sudah bilang pre-order sepuluh hari, mereka enggak masalah.”
Xena mengangguk pelan. mengecek sendiri laporan orderan yang belum dikerjakan. “Ini ada pesanan buket selamat datang? Kapan masuknya?”
“Oh, satu jam lalu. Itu minta diantar hari Kamis, Kak.”
“Stok bunganya? Pengantaran kapan katanya?”
“Besok. Tadi juga kurir sudah info, ada pengantaran jam tiga sore. Bunga artificial-nya kayaknya, Kak.”
Xena kembali mengangguk. “Berarti semuanya aman, ya, Mbak?”
“Aman, lah. bismillah lancar, Kak. Lagian kenapa Kak An ke toko? Masih bisa bsok, kan? nanti sore aku laporan, kok, ke WA Kak An. Mbak Meli takut di jalan Kak An malah kenapa-napa.”
Gadis berambut pendek itu menoleh, terkekeh pelan pada sosok wanita yang ia anggap sebagai kakak. “Makasih, Mbak Mel. Xen—Anne enggak apa-apa, kok. Kalau terlalu lama rebahan, malah lama sehatnya.” Kadang bibir Xena mesti diperlancar menyebut nama barunya.
“Iya, sih. Mbak Meli juga gitu. Kayaknya badan enggak enak kalau engga dibuat bergerak.”
Xena menanggapi dengan senyum kecil saja. beruntung Meli tak terlalu mendengar ada kegugupan saat ia bicara tadi.
Sisa pekerjaan hari ini dilalui Xena dengan baik. Pusingnya sudah berkurang memang sejak tadi ia keluar kontrakan. Ia berharap perjalanannya ke toko, tak menemui kendala. Hilang fokus misalnya. Dan ketika ia tiba, lega rasanya bisa sampai di toko dengan selamat. Balas menyapa ramah Mbak Tika yang keluar membuang sampah bekas membungkus kado sepertinya.
Akan tetapi, ketenangan Xena tak berlangsung lama. Begitu Jess tiba, cemarah panjang ia dapati sebagai hadiah karena menjumpainya di toko. “Lo lagi sakit juga!”
“Sakit apa, sih? Gue cuma butuh tidur, Jess. Jangan berlebihan.” Xena akhirnya bersuara karena terlalu banyak Jess bicara sepertinya. Pun Meli di sudut sana bersama Ica yang tampak terdiam mendengar ceramah Jess yang seperti tanpa jeda itu.
“Berlebihan? Lo mau pingsan lagi? Na, lo kudu jaga diri. Kita mau perang. Jangan kalah dulu sebelum perang.”
Meli terbatuk, Xena mendelik tak percaya. “Perang?” tanya mereka bersamaan. Satu per satu mereka saling pandang, heran juga tak tau arah ucapan Jess ke mana.
Jess malah berdecak. “Masa lo enggak paham juga? Kita mau perang sama keluarga lo, lah.”
“Oh ... ngambil haknya Kak Anne, ya, Kak Jess?” sambar Meli penuh semangat. “Nah, benar itu. Kita perang kalau gitu. Enggak bisa seenaknya keluarga Kak Anne buang Kak Anne karena keadaannya seperti ini.”
Giliran Xena dan Jess yang saling pandang, terutama pada Jess yang melemparkan tatapan minta penjelasan. Xena hanya bisa menghela napas pelan sembari mengedip memberi isyarat jangan banyak bicara pada Jess. tapi Jess tetap lah Jess.
“Nah, Mbak Meli sepakat sama aku, kan? Hak itu memang bisa dituntut, kok. Kenapa mesti takut? Sekarang Anne memang harus berjuang dalam perang. Kita dorong sampai dia jauh dan siap pokoknya,” kata Jess berapi-api. Tak mau kalah dengan semangat yang Meli punya.
‘Iya, betul.”
Xena meringis saja melihat kelakuan mereka.
***
“Jadi?” Jess mendorong gelas berisi jus sirsak pesanannya. Merasakan rasa masam tapi menyegarkan versi dirinya. “Apa yang pertama kali kita lakukan?”
Xena mengunyah dengan gerak lambat. Di sekitarnya, tampak kepadatan kendaraan yang cukup panjang. Mereka makan malam di kafe Jess. seperti biasa, Asya membuatkan pasta ekskra keju sembari menyelipkan doa semoga Xena cepat sembuh. Xena tersenyum haru saat mendapati piringnya dari Asya.
“Gue mau balik ke rumah.”
“WHAT? Lo gilá?”
Kening Xena berkerut akhirnya. “Gilá gimana? Lo, kan, yang nyuruh gue kembali? Tempat kembali gue, ya, rumah gue lah.”
Jess menggeleng pelan. “Gimana-gimana? Gue enggak ngerti.”
“Gue punya rumah, Jess. Lama enggak gue tempati. Ada yang mau gue cari dan pastikan di sana.”
Tatapan Jess maasih berselimut heran. “Enggak ada yang bakalan curiga?”
Gadis itu mengusap pelan dagunya. “Sudah empat tahunan lah gue enggak pulang ke sana. Gue harap, enggak ada yang curiga.”
“Kalau itu keputusan lo, kita berangkat.”
“Tunggu gue selesaikan orderan sepuluh buket bunga dulu.”
Part 32 WELCOME BACK, NA.
Tadinya Jess mau protes tapi begitu Xena menjelaskan kepulangan mereka pastinya tak sebentar, gadis yang kini mengecat rambutnya menjadi hijau pupus itu pun menyetujui. Tak gampang ternyata meninggalkan apa yang sudah mereka bangun di sini walau tak seberapa. Jess dengan adanya Asya sebagai bagian dapur namun di kafe, Jess bertugas mengantar menu dan mengurus pembayaran. Dibantu satu orang lain, Dian, yang memang sengaja untuk membantu Jess ataupun Asya.
Belum lagi Xena, di mana dirinya memang cukup kewalahan akhir-akhir ini karena banyak pesanan flower ballon. Hampir tiga minggu lamanya, mereka berkutat dengan persiapan untuk meninggalkan orang-orang yang bekerja di bawah mereka kini. Karena bisa dibilang, mereka ini bos walau kata-kata itu tak pernah ingin didengar sampai di telinga mereka berdua.
“Gue sudah beres,” kata Xena mendahului sebelum Jess benar-benar bicara. Untuk tiga minggu yang cukup melelahkan, Xena akhirnya bisa terbebas dari cekikan orderan yang sebenarnya ia syukuri, tapi karena kondisi sekarang membuat tekadnya makin bulat untuk pulang, ia cukup terengah memenuhi penanan yang ada.
Berulang kali ia bertanya memastikan pada Meli seandainya mereka lama di Jakarta, bagaimana jalannya toko bunga ini. Meli dengan gagah beraninya bilang, kalau itu tak perlu Xena khawatirkan. Ia bisa membuat rangkaian kecil. Mengirim flower ballon karena sudah lama ia mengamati dan memang sudah berhasil membuatnya sendiri. Hanya saja, kartu ucapan yang menjadi special thing di florist yang Xena kelola adalah kendalanya.
Meli tak bisa menulis seindah tulisan tangan Xena.
“Kalau ada pesanan masuk, Mbak Meli bilang terus terang saja kalau enggak bisa buat tulisan tangannya seperti biasa. Kalau mereka menolak, berarti bukan rezeki,” pesan Xena akhirnya.
Mengangguk pasrah, walau sebenarnya Meli ingin menyanggah. Tapi apa yang gadis berambut sebahu itu kemukakan, benar adanya. Kualitas harus lah nomor satu. Jangan sampai ada pelanggán kecewa lantaran diturunkannya standart pesanan mereka.
“Gue juga,” kata Jess memecah lamun Xena. Ia tersenyum puas sekali. “Semua stok bahan baku sudah gue prepare untuk satu bulan ke depan. Kontak supplier juga sudah gue beri ke Asya. Gue percaya, Asya bisa mengelola. Anak baru biarpun masih kaku melayani tamu, gue rasa bakalan cepat menyesuaikan diri.’
Xena mengangguk saja.
“Jadi ... kita berangkat besok?” tanya Jess memastikan. Lagi-lagi Xena menjawab dengan anggukan. Membuat Jess sedikit mengerutkan kening heran. “Lo kenapa? kayak enggak memiliki semangat?”
Xena malah mengedikkan bahu sebagai respon. “Gue enggak tau, apa kepulangan gue ini tepat atau malah nantinya akan ada drama lanjutan.”
“Yah, pastinya bakalan ada, Na. Makanya gue perlu menanyakan kesiapan hati lo. Sanggup atau enggak.”
“Gue kembali untuk Djena, bukan untuk Om Riga.”
Decih tak percaya serta merta menjadi irama yang membuat Xena merotasi matanya. Jess mencemoohnya demikian telak. “Jangan bilang kangen sama Om Riga, ya.”
“Gue enggak pernah berucap itu di depan lo, Jess,” kata Xena kalem yang masih disambut Jess dengan cibiran.
“Segera, Na. Segera. Lihat aja nanti.”
Jess membiarkan Xena tak lagi menatapnya alih-alih Jess memperhatikan bagaimana tatapn Xena lurus sekali mengarah pada jaan raya. Seolah di dalam kepalanya, sedang terjadi pergulatan penuh ragu. Jess bisa merasakan itu dengan amat.
“Kalau lo ragu, Na, enggak usah kembali pun enggak apa.” Jess berkata dengan lirihnya. Sebenarnya ia cukup menyesal karena mendukung Xena agar berani. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tak ingin sahabatnya ini terpuruk lama. Ada sebagian hatinya yang tertinggal di Jakarta. Bukan sebatas hubungannya dengan Riga melainkan arti keluarga.
Walau hanya sekelumit ia ketahui kalau kedua orang tuanya meninggal, tapi ada satu bagian dari Xena yang hidup hingga kini. Kenangan yang membuat Xena bisa terus tersenyum. Dan Jess tak sampai hati kalau sampai senyum itu menghilang hari ke hari. Kadang, di antara obrolan seru mereka bertiga bersama Asya, terselip nama Vally di sana. Atau juga, nasihat sang ayah yang menurut Xena ia sedikit lupa-lupa ingat. Lalu ... ia teringat kalau mereka semua sudah lama tiada.
Keputusannya untuk pergi, sangat lah tak tepat. Apalagi saat Jess muai mneghubungkan banyaknya konspirasi yang terjadi menyelimuti Xena, ia tau dan sadar, bahayanya sama dengan ia menantang bom bunuh diri.
Sontak, ucapan Jess mendapai kernyitan bingung dari Xena. Sorot matanya menatap lekat sang sahabat meminta penjelasan lebih. Akan tetapi, Jess memilih menikmati jusnya alih-alih bicara. menyikapi hal itu, Xena menghela napas pelan. “Gue enggak ragu, Jess. justeru makin hari makin penasaran apalagi gue sudah mulai mengikuti medsos Rubah. Paling enggak gue tau pergerakan dia dulu. Karena dia kunci keberadaan gue.”
Jess kini memilih mengadu pandangan dengan Xena. “Maksudnya?”
“Gue enggak tau motif dan rencana apa yang sebenarnya Rubah lakukan. Yang gue tanggap, dia hanya pengin gue pergi dari Om Riga. Tapi setiap kali gue tanya, bagaimana bisa gue ditemukan olehnya. Cara dia mengindari serta mengurus surat-surat mengenai gue. Itu bikin gue pusing mendadak.”
“Lo benar. Itu pun yang menjadi tanda tanya besar sama gue. tapi belum pengin gue suarakan karena, yah ... gue harus melihat kondisi lo sendiri.”
Xena makin tak memahami arah bicara Jess. “Maksudnya?”
“Gue trauma, Na. Itu benar. Gue takut, lo pun mengalami hal yang sama. Apalagi kondisi fisik lo sekarang. Jangan memungkiri satu hal yang penting ini, Na. Dulu, bisa dibilang lo sempurna. Sama seprti gue. diciptakan Tuhan demikian sempurnanya. Sekarang? Karena kejadian itu, jangannya mengangkat beban terlalu lama. Gue ngangkat nampan berisi mangkuk sup dua aja, sudah gemetaran. Padahal lo tau gue, kan? Gesit. Cekatan. Bebas bergerak.” Jess memperlihatkan tulang lengannya yang bergeser. Ada tonjolan di sana walau fungsinya sudah kembali namun untuk normal rasanya butuh waktu yang lama.
Xena memahami apa yang Jess katakan kini.
“Gue tau, lo enggak suka kalau harus mengambil alih Djena. Gue akhirnya mengerti kenapa lo enggak suka ketika lo de ngan asyiknya ada di taman belakang. Merawat bunga. Seolah bunga-bunga itu kawan lo yang baru.”
Xena memilih diam.
“Bukan passion lo berada di belakang meja dengan banyaknya kerjaan, kan?”
Tepat sekali apa yang Jess katakan. Membuat Xena merinis pelan.
“Bicara mengenai trauma, bukan hanya gue, Na. Seperti yang pernah gue bilang, ada yang kehilangan juga seperti keluarganya Putri, kan? Gue masih berkomunikasi sama teman-teman di kampus. Saling tukar kabar. Dan, yah ... keluarga Putri sampai detik ini masih sedih dengan apa yang terjadi. Walau pun diberitakan terorisnya ditangkap. Tapi mendengar cerita lo, gue yakin, ini bukan sekadar teroris.”
Pelan, Xena menyepakati hal ini. “Dan ... siapa yang dimakamkan atas nama gue, Jess. Itu pun kita mesti cari tau.”
Jess menjentikkan tangannya dengan binar puas. “That’s, Na. Itu yang mesti kita ungkap. Gue menyetujui lo pergi, bukan lantas benar-benar mendukung lo di sini. Enggak.” Gadis itu menggoyangkan telunjuknya. Lalu kembali melanjutkan bicara. “Tapi selesaikan ulu masa lalu kita di Jakarta. Baru lah kita pilih, hidup damai. Lo di toko kembang, gue di kafe.”
Ada satu hal yang baru Xena sadari di sini. Entah kenapa, sejak ia tinggal di Bandung, pemikirannya tak sesimple dulu. Ada banyak hal yang harus ia pertimbangkan baik-baik juga butuh pemikiran lebih. Termasuk pembicaraan ini. Selama ini, mereka berdua jarang sekali atau bisa dibilang Xena menghindari sekali untuk mulai menyusun puzzle retak yang terjadi dalam dirinya. Melalui obrolan yang sarat akan banyak makna juga teka teki ini.
Akan tetapi, saat ia tanpa sengaja mendengar seseorang membawa kecelakaan tahun lalu, juga ada seseorang yang menjadi incaran pihak tertentu. Maka mulailah, sepertinya Tuhan juga turut membantunya, agar Xena tak lagi menghindari kenyataan ini. Fakta di mana memang banyak sekali lubang menganga dalam hidupnya.
“Lo jangan takut, Na. Jangan ragu. Ada gue di sisi lo, kok.” Jess menyentuh lengan Xena, sedikit mencekalnya tanda simpati. Membuat Xena akhirnya memutuskan dengan satu keyakinan penuh.
“Oke, besok kita berangkat.”
Senyum Jess terkembang. Setidaknya, ada banyak harapan ketika mereka kembali ke sana. Semua tabir yang sengaja ditutupi, bisa dikuak satu demi satu.
“Tapi sebelumnya gue perlu memastikan satu hal,” sela Xena buru-buru. Pun geraknya mengambil ponsel di tas yang ia letakkan di meja. Semua gerak Xena tak luput dari pengamatan gadis itu.
Xena sedikit mengabaikan Jess, memilih fokus pada ponselnya. Menekan pelan layar ponselnya pada angka yang tak pernah ia lupa hingga detik ini; nomor telepon rumahnya.
Dan benar, suara di ujung sana adalah penentu langkah yang akan ia ambil begitu tiba di Jakarta esok hari.
Suara Narti.
***
Xena membuka pelan jendela losmen yang ia sewa seminggu ini. Ia tak mungkin segera mengarahkan tujuannya ke rumah di mana kenangan akan keluarganya tak pernah padam. Merasakan embus angin yang cukup segar karena pagi ini, mereka sudah tiba di Jakarta. Jess masih terlelap padahal perjalanan semalam lancar tanpa ada kendala.
Akan tetapi, Xena sendiri rasanya seperti orang yang habis lari marathon. Lelah. Akumulasi tenaga yang terlalu diporsir karena harus meninggalkan rutinitas mereka, memang sangat menguras tenaga. Ia memutuskan hari ini lah, kunjungan perdana setelah sekian lama tak berkunjung ke rumah besarnya.
Dulu, Xena pernah merengek untuk sekadar menemui Narti, Didi, juga Jaka. Para pekerja setia mereka namun, Riga melarang keras. Katanya, selama tak bersama Riga, gadis itu sama sekali tak boleh keluar dari jalur yang sudah ditetapkan; hanya boleh ke sekolah dengan antar jemput, les tambahan pun ditunggui bodyguard, juga saat ia kuliah.
Riga membuat Xena benar-benar seperti burung dalam sangkar emas.
“Kita ke rumah lo jam berapa?’ tanya Jess parau, membuat Xena menoleh dan terkekeh.
“Mandi dulu, lah. Lo tidur kayak kerbau gitu.”
Jess mencebik. Menarik kembali selimutnya. Tindakannya itu mendapat gelengan heran dari Xena. Saat ia memastikan kalau di rumah itu masih ada Narti di sana, ia tak bicara sepatah kata pun. Kilas memorinya terputar pada masa kecilnya yang bahagia di sana. Ia memang sering ditinggal bersama Narti di rumah namun, kasih sayang yang Xena rasa tak pernah ada kurangnya.
Juga ada Didi yang selalu menemaninya berkegiatan di sekolah.
“Aku kembali, Mom, Pa,” katanya sembari kembali menatap luar jendela. Di bawahnya, kepadatan lalu lintas Jakarta menyapa penglihatannya. Debu mulai naik diembus angin yang sudah tak lagi segar. Matahari pun mulai terasa terik. Menimbulkan kenyit di kening Xena, sudah berapa lama ia termangu di sini tanpa sadar waktu sudah berjalan?
“Keputusan ini ... apa lebih baik dari saat aku di Bandung?”
Part 33 ONE SECRET
Turun dari taksi online yang mengantar keduanya ke rumah besar yang selalu Xena ingat dalam kenangannya, ia terpaku sejenak. Semua kenangan enam belas tahun tinggal di sana sedari lahir, terputar tanpa bisa ia kendalikan. Mata Xena mendadak panas. Mungkin dalam sekali kedip, luruh sudah membasahi pipinya.
Suara teriakannya saat bermain air bersama Kak Vally. atau mendengarkan bagaimana Mommy berkisah mengenai caranya menanam dan merawat taman walau lebih banyak dibantu Didi serta Jaka. Pun segala petuah yang agak samar Xena ingat dari sang ayah. Semuanya jelas masih Xena ingat.
“Lo pasti bisa.” Jess menepuk pelan bahu Xena. Menciptakan sensasi kejut yang cukup membuat Xena menghela napas berat.
“Gue takut,” cicit Xena. Mendapati Jess yang menatapnya dengan pandangan bingung, tak jua membuat Xena melanjutkan bicaranya. Apa yang ia takutkan? Padahal tadi, ia yang paling gagah berani turun dari losmen sewaannya untuk memesan taksi online. Di belakangnya, Jess berjala masih dengan menahan kantuk.
Sekali lagi ia menarik napas, memenuhi rongga udaranya dengan banyak udara. Siapa tau, ada kejutan yang tak siap untuk Xena hadapi.
“Ayo, Na. Gue dukung lo.” Menunggu Xena bicara dan bertindak saat ini membuat sabar Jess menipis. Ia paham, kalau banyak keraguan Xena di sana. Namun mereka sudah tba di sini? Tak mungkin kembali tanpa membawa sesuatu, kan?
Pelan, Xena mengangguk. Agak gemetar ujung jemari yang kini ia abaikan, ia pun menekan bel yang tepat berada di dekat gerbang. Belum juga bel itu ditekan, sudah ada yang menghampiri. Jaka.
“Siang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” Jaka menatap mereka dengan pandangan curiga. Sejak tadi, dua gadis ini hanya berdiri saja di depan gerbang. Entah apa yang mereka inginkan, Jaka wajar menaruh curiga. Tak pernah ada kunjungan ke rumah ini sejak lama. Ditelisik dari pakaian mereka, hanya pakaian sederhana.
Terutama pada gadis yang mengenakan jaket dengan tudungnya. Mengenakan masker juga kacamata bulat yang sepertinya tebal. Jaka cukup heran, apa penampilannya itu tak membuatnya merasa kepanasan? Di hari terik seperti ini?
Xena terdiam sejenak, tersenyum kecil, “Mau bertemu Bu Narti. Ada?”
Mendengar nama salah satu penghuni rumah ini, membuat Jaka makin mengerutkan kening. Banyak dugaan berputar di kepalanya termasuk apakah mereka berdua ini saudara jauh dari Narti? Seingat Jaka, Narti sudah tinggal sendirian di sini dalam waktu yang lama. Baik kakak juga adiknya, tak tinggal di pulau Jawa melainkan Sumatera.
Sama sepertinya, yang hidup sebatang kara di Jakarta. Ah, Jaka lebih beruntung. Memiliki satu anak walau sudah menikah dan memiliki kehidupan sendiri di Karawang, sesekali ia mendapat kunjungan. Telah lama istrinya meninggal karena sakit. Sementara Narti? Sejak pernikahannya hingga sang suami meninggalkannya lama, tak dikarunia satu orang anak pun.
Benar-benar sendirian hidup di Jakarta ini.
“Bu Narti?” tanya Jaka memastikan. Siapa tau, para gadis ini tersasar arah karena rumah-rumah di sini memang sepi juga besar-besar.
“Iya. Bu Nartinya ada? Saya keponakan dari Tegal,” dusta Xena sembari melirik sedikit pada Jess. mengharap sahabatnya itu membantu memuluskan langkahnya.
“Tegal? Bu Narti enggak punya saudara dari Tegal,” kata Jaka yang makin bertambah kecurigaan pada mereka berdua. Terutama melihat geliat yang semakin mengarahkan kalau mereka berdua ini bohong. “Mungkin kalian berdua salah alamat.”
Dari balik maskernya, Xena masih mempertahankkan senyum. Walau tak terlihat oleh lawan bicaranya, tapi ia yakin garis senyumnya pasti terlihat jelas. “Enggak, Pak. Saya enggak salah alamat.”
Jaka berdecak kesal. Habis sudah kesabarannya. “Jangan membuat saya mengusir Mbak berdua dengan cara kasar, ya.”
“Kenapa mesti mengusir kami?” tanya Jess lantang. Kali ini dengan cara baik sepertinya agak sulit namun ketika Xena menahannya, Jess terlihat murka. Geram kesal lantas menyelimuti diri Jess. matanya sontak menatap tajam ke arah pria yang mungkin salah satu dari penjaga keamanan di rumah ini.
“Pak Jaka,” panggil Xena pelan.”Tolong, panggilkan Mbak Narti.” Kali ini, Xena kembali bersuara namun ada ketegasan juga sorot matanya yang tak ragu lagi menatap Jaka. Juga kacamata serta maskernya ia turunkan.xena juga mempersiapkan diri dengan tatapan Jaka yang terbeliak kaget menatapnya.
Mungkin ngeri karena melihat wajah Xena ini.
Hal ini sontak membuat pria paruh baya itu melongo. Matanya berulang kali mengerjap sembari memperhatikan dengan amat, siapa gadis yang ada di depannya kini.
Bukan tanpa sebab ia melakukan pemindaian lebih dari netranya.
Suaranya. Caranya bicara. Belum lagi, walau ada bekas luka yang cukup membuatnya mengerutkan kening sesaat setelah menatap gadis itu, sekelibatan pemikiran mengenai sang nona, dikikis habis begitu saja. Kecuali ... saat ini. Pikiran itu laksana cahaya yang terang sekali masuk dan berkuasa di kepala Jaka. Membuatnya berucap dengan amat pelan, “Nona?”
“Iya. Aku Xena, Pak Jaka.”
Kesiap serta satu pekik penuh kejut meluncur tanpa bisa dikendalikan Jaka. “Enggak mungkin,” katanya sembari menggeleng. Tak percaya pada apa yang ia lihat kini. “Enggak mungkin. Non Xena ... Non Xena ...,”
“Ada apa ribut-ribut, Jaka?” Seorang perempuan paruh baya tergopoh menyusul mereka. Menatap Jaka dengan pandangan bingung karena pria itu justeru terlihat seperti sedang menatap hantu pada dua gadis yang satu di antaranya, bergerak mendekat.
“Mbak Narti,” panggil Xena.
Narti, wanita paruh baya itu, membeku. Suara yang begitu ia kenali, yang selalu dekat di hatinya, yang sangat ia hapal alun serta cara memanggil dirinya, ada di hadapannya. Berdiri. Menatapnya tanpa ragu serta dihiasi satu senyum penuh makna yang sepertinya mengerti, kenapa Narti terpaku seperti ini.
“Enggak mungkin,” kata Narti pelan. Seolah kesadarannya baru saja kembali setelah terbang bersama angannya.
“Ini Xena, Mbak.”
Pelan, Narti bergerak mendekat. Matanya berkaca-kaca sembari memberi pandangan tak percaya. Saat telapaknya menyentuh pipi kiri Xena dengan teramat lembut, air mata yang sejak tadi ditahan, turun membasahi pipi. erisak hebat, dibawanya gadis itu dalam peluknya. Tak ada keraguan sama sekali. “Ya Tuhan, Non Xena!!!”
***
“Pokoknya Non mau makan apa bilang? Non mau mandi air hangat? Kamar Non selalu rapi,” kata Narti dengan binar kegirangan yang amat. Belum juga bibir Xena membalas ucapa tadi, datang Jaka dengan laporannya.
“Non enggak mau lihat taman belakang? Bunganya bagus semua tumbuh. Saya rawat baik-baik, Non.”
“Mbak Narti potongin buah, ya. Non kurus banget.”
“Non, Pak Jaka segera ganti bunga di kamar, Non, ya. Mulai malam ini Non tinggal di sini, kan?”
Atas segala perhatian juga keceweretan mereka hari ini, Xena hanya terkekeh saja. Sudut matanya sudah berair entah sejak kapan. Mungkin saat Xena dan Narti berbagi tangis? Atau ketika rangkulan di mana seorang Jaka dengan suara yang bergetar menahan air matanya, ikut larut dalam pelukan di teras depan tadi.
“Saya ... saya ... sungguh enggak percaya Non dimakamkan. Hari-hari saya selalu berdoa sama Tuhan, kalau apa yang saya lihat itu bohongan,” isak Narti sesaat setelah mengurai sejenak peluk erat tadi. Menatap Xena lekat-lekat. Dalam netranya yang berbayang karena air mata, ia tak meragukan sama sekali kalau gadis ini, gadis yang dalam segi wajah serta penampilannya banyak berubah, adalah Nona Muda-nya.
“Bukan Bibi aja, kok. Saya juga,” kata Jess kalem. Yang sontak membuat Narti juga Jaka menoleh. Memberi pandangan bingung karena tak pernah bertemu dengan gadis yang rasanya seusia dengan Xena ini.
“Mbak Narti, Pak Jaka, kenalkan. Ini Jess, sahabat Xena,” kata Xena menengahi kebingungan di antara mereka.
Narti berdiri, segera memeluk Jess erat. Membuat gadis itu terbeliak kaget juga sesak karena peluk itu cukup membuatnya terganggu bernapas. Erat sekali. “Makasih, Non Jess. Makasih. Sudah selamatkan Nona Muda saya. Makasih, Non. Ya Tuhan. Saya mesti banyak-banyak bersyukur dan beramal sebagai rasa terima kasih. Ya Tuhan.”
Bergeliat lemah, Jess akhirnya dilepaskan dari jerat peluk erat Narti. Meringis namun tak mengurangi rasa gembira dalam wajah tuanya itu. Menggandeng dengan segera Xena juga Jess. perasaan bahagianya tak terkira siang ini. pasti ada banyak kisah serta cerita yang akan ia ketahui segera namun, lebih dari apa pun yang terjadi. Ia sungguh bersyukur, keyakinannya kalau Nona Muda Dinandirja masih hidup.
Mengabaikan banyak perhatian serta tawaran dari Narti juga Jaka, Xena lebih menyukai pertanyaan sederhana yang sudah lama ia tahan. Mungkin sejak pertama kali ia menginjakkan diri di apartement mewah Riga. “Kalian apa kabar?”
Kompak, Narti dan Jaka saling tukar pandang. Dan serentak juga, mereka tersenyum kecil. “Kami baik-baik saja, Non. Tuan Riga enggak pernah lupa menggaji kami. Memberi uang untuk pengurusan rumah ini. dan meminta kami jangan pergi ke mana-mana sampai jelas, status rumah ini berpindah ke tangan siapa.”
“Maksudnya?” Xena mulai menegakkan punggung. Di sampingnya, Jess pun demikian. Jaka memilih diam, membiarkan Narti yang bicara.
“Sejak Non dikabarkan meninggal, semua aset Tuan Besar dikelola Tuan Alif.”
Xena mengangguk pelan.
“Dan nanti, kalau Tuan Riga sudah enggak ada di kantor Tuan Besar, rumah ini akan dilelang. Yang saya dengar seperti itu, Nona.”
“Apa?!” Ini bukan suara Xena, melainkan Jess. “Sumpah, ya, Na. Beruntung lo kembali. Kalau enggak? rumah sebesar ini mau dilelang? Gilá aja!” sungut Jess kesal sekali.
“Itu dia, Non Jess. saya juga sepemikiran sama Non. Masa rumah ini mau dilelang? Hanya karena pemiliknya sudah enggak ada. Kalau diberi ke yayasan amal mungkin kita masih enggak masalah. Uangnya mau mereka pakai pribadi sebagai warisan.”
“Hah?” Jess kembali menyuarakan keberatannya. Decak kesal lagi-lagi keluar dari bibirnya. Xena sampai menggeleng heran dengan tingkah Jess kali ini. “Ck! Bukan gitu, Na. Pak Jaka bilang, ini mau dibuat seolah untuk pembagian warisan, lho. Sama siapa tadi, Pak?”
“Pak Alif.”
Jess menjentikkan jemarinya. “Nah, itu. Lo kenal?”
Xena mengangguk tak memungkiri kalau dirinya memang mengenal siapa seorang Alif Mahesa dalam keluarga besar Dinandirja. Walau hanya bertemu sesekali namun, Xena bisa merasakan tatapan yang sering terarah padanya, dengan pandangan tak suka serta meremehkan. Xena kecil, tak terlalu akrab dengan pamannya itu. yang mana memang sepertinya, seorang Alif Mahesa tak menyukainya. Begitu pikir otak kecilnya dulu.
Yang ia mengerti dan pahami, duduk di dekat keluarganya. Bukan terkesan ia tak ingin mengenal banyak orang, Hanif sangat posesif padanya. Ia hanya diperbolehkan dikenal oleh keluarga besarnya saja.
Hanya itu.
“Dia paman gue dari pihak Papa.”
Jess manggut-manggut. “Orangnya pasti serakah.”
Xena tak tau harus merespon apa. “Setau gue, enggak. dia punya usaha sendiri. Cuma enggak tau, ya, sejak enggak ada Papa.”
“Ehm ... Non,” panggil Narti pelan. “Saya lupa bilang kalau ...,”
“Kenapa, Mbak?” tanya Xena penasaran. Narti terlihat ragu berkata namun, anggukan kecil yang Jaka beri, semakin membuat Xena tak sabar. “Ada apa, sih?”
“Sejak pemakaman Non, anak sulung Pak Alif tinggal di sini. Katanya untuk menjaga rumah ini.”
Netra Xena membuat sempurna. “Apa?”
Part 34 ARSLAN MAHARDHIKA PUTRA
Xena pernah mendengar sepupunya bernama Arslan. Sekolah di luar negeri hingga sempat bekerja di sana pada perusahaan komunikasi berskala internasional. Vally bilang, pekerjaan Arslan ini bisa dikategorikan bonafit. Xena tak pernah mengenanya secara langsung. Selain karena dirinya yang selalu duduk di dalam perlindungan sang ayah, pamannya itu selalu menghadiri jamuan makan malam hanya bersama istrinya; Bibi Tilly.
Mungkin karena darah Dirdja mengalir dalam diri Bibi Tilly, wanita paruh baya yang selalu tampil glamor dengan banyak perhiasan di tangan serta lehernya itu, yang cukup ramah walau Xena yakin, itu hanya formalitas. Walau Bibi Tilly tak pernah bicara menyinggung atau terkesan dingin serta kaku padanya, Xena tetap merasa aneh dengan tatapannya.
Nama Arslan Mahardhika Putra, anak satu-satunya yang dimiliki Uncle Alif dan Bibi Tilly, hanya ia tau dari cerita-cerita mereka yang membanggakan dengan amat sepak terjang sang putra. Xena kecil ingat, papa dan mommy-nya jarang sekali membanggakan dengan cara seperti mereka berdua terhadap Vally.
Tapi Xena selalu bangga pada apa yang Vally lakukan. Seolah, sang ayah mengatakan pada dunia kemampuan putri sulungnya pun tak kalah dari para saudaranya yang lain. Tanpa perlu kata-kata. Dan benar, banyak orang yang terpana bukan sekadar kecantikan yang Vally punya. Pun prestasi juga kiprahnya di Djena, membuat nama Vally makin berjaya.
Xena ingat, Hanif pernah berkata, “Tak perlu banyak bicara untuk menunjukkan diri kita, Xena.” Hanif mengeratkan genggaman tangannya pada putri bungsunya. Sang putri, menatap Hanif tanpa kedip. Berusaha mencerna walau sulit ucapan ayahnya itu. “Kita hanya perlu, berusaha semaksimal mungkin. Talk less do more.”
Dan kini, Xena mulai memahami kenapa ayahnya bicara mengenai pembuktian diri. Lalu sekarang? Sang sepupu yang tak pernah Xena kenal langsung, menempati rumahnya? Atas dasar apa? Apa ini berhubungan dengan kata-kata lelang yang tadi Narti bicarakan? Tapi ia di sini. Ini rumahnya. Peninggalan orang tuanya. Rumah masa kecilnya yang sarat sekali kenangan.
Ah ... Xena lupa kalau ia sudah dimakamkan.
“Saat aku dimakamkan,” Xena merasa perutnya mulas mendadak jika mengatakan hal ini. Mendadak bayang dirinya ada di dalam peti, sendirian, tanpa ada satu pun yang menemaninya jelas terbayang di pelupuk matanya. Lalu peti berisi dirinya perlahan diturunkan e liang lahat. Ditimpa kembali dengan tanah kuburan yang tadi digali. Ditaburi banyak bunga-bungaan segar. Tertancap di salah satu sudut, patok namanya lengkap dengan tangal lahir dan hari kematiannya.
Ya Tuhan. Ia tak bisa membayangkannya. “Apa ... Kak Arslan datang?”
Narti mengangguk. “Dan setelah pulang dari sana, kami semua diminta untuk melayani Tuan Arslan sama seperti saat kami melayani Nona.”
“Siapa yang meminta Kak Arslan di sini?”
Ada ragu yang mendadak hadir di mata Narti. Bolak balik ia menatap Jaka yang mendadak menunduk. Mungkin tak siap kalau harus mengatakan hal ini namun, Xena kembali mendesak mereka.
“Mbak? Pak?”
“Tuan Riga,” kata Narti lemah. Itu adalah kenyataan yang ada. Tepat di malam setelah pemakaman dari Nona Muda-nya, semua masalah yang berkaitan dengan rumah ini dibicarakan dengan lugas oleh Riga. Narti tak bisa membantah selain mengiyakan apa yang dikatakan Riga.
Xena memejam sejenak. “Kak Riga?” Sekali lagi ia memastikan apa yang didengar benar adanya.
“Iya, Non.”
Memang ... Riga mengenal Arslan? Atau ... ada sesuatu yang memang Riga tutupi darinya? Tapi, siapa Xena untuk Riga memangnya? Hingga perkara berkenalan dengan Arslan saja, Riga harus memberitahunya. Iya, kan? Miris dengan pemikiran sendiri, juga betapa banyak yang ternyata tak ia ketahui membuatnya resah. Bukan tanpa alasan kalau dirinya mulai meragukan apa keputusannya ada di rumah ini adalah kebenaran?
“Jadi ... aku enggak bisa tinggal di sini, ya?”
Narti kelabakan. Itu benar. Kalau ada Arslan di sini, bagaimana ia bisa menyembunyikan Xena? Walau rumah ini besar dan ada banyak kamar, tapi sebuah kebetulan bertemu itu ada, kan? Dan kalau ia ditanya bermacam-macam jenis pertanyaan, Narti tak tau bisa terus menutupi atau tidak mengenai keeradaan sang nona di rumah yang seharusnya sah masih dimiliki ini.
“Pak Jaka punya ide, tapi ini rasanya kurang pantas.”
Kening Xena berkerut lantaran sejak tadi, Jaka yang duduk di depannya memang jarang bicara. “Ide apa, Pak?”
Sama halnya dengan Xena, Jess pun tampak penasaran. “Ide apa, Pak? Soalnya kalau Xena di luar, menurut saya pribadi agak riskan. Xena punya tujuan makanya dia kembali.”
“Jess,” erang Xena frustrasi. Tak mengerti kenapa bibir Jess ini mendadak licin sekali bicara. Padahal sejak awal keluar kamar losmen, ia sudah memperingati Jess agar jangan banyak bicara. Tapi nyatanya?
“Apa, sih, Na? Lo butuh banyak dukungan dan informasi. Kalau hanya spekulasi lo sendiri, belum tentu ketemu titik terangnya.”
Baik Narti juga Jaka saling pandang, lalu mata mereka kompak mengarah pada dua gadis di depannya yang tampak saling menatap dengan pandangan tajam. Tak mau mengalah. Narti akhirnya mengambil tindakan, berdeham kecil untuk menengahi mereka. Juga tak menyangka kalau Nona Muda-nya memiliki karib yang sepertinya sangat akrab ini.
Sungguh beruntung Xena memilik Jess sepertinya.
“Gue serius bicara itu, Na. Lo memang punya tujuan, kan? Dilihat dari segi mana pun, Mbak Narti dan Pak Jaka ini pasti turut mendukung lo. iya, kan, Mbak, Pak?” tanya Jess memastikan. Kalau bisa Jess menjitak kepala Xena sekarang, pasti sudah ia lakukan. Kenapa juga ia melarang agar sedikit orang yang tau?
Memang itu antisipasi yang sangat bagus, hanya saja, melihat kesungguhan dan ketulusan selama bicara di depan Xena, Jess sudah bisa memastikan kalau kedua orang yang ada di depannya, adalah pendukung setia Xena. Siapa tau saja, mereka justeru bisa membantu memuluskan rencana mereka; menyusup dalam tubuh Djena.
“Oke.” Xena menghela napas panjang. Menyerah. “Bukan Xena enggak percaya dengan Mbak Narti juga Pak Jaka. Xena cuma takut,” Ada jeda sejenak sebelum Xena melanjutkan bicaranya. Jemarinya saling tertaut, bimbang namun ia tak bisa lagi mundur. “Mbak Narti dan Pak Jaka kena imbasnya. Xena enggak tau hambatan apa yang akan menghadang karena, yah ... sepertinya banyak banget yang Xena enggak tau.”
Narti juga Jaka mengangguk berbarengan. “Non enggak perlu khawatir sama kita berdua. Saya yakin, baik saya, Mbak Narti, bahkan Pak Didi mendukung semua rencana Nona. Karena apa? Melihat Nona Xena kembali dalam keadaan sehat saja, saya sudah sangat senang. Sungguh,” kata Jaka demikian tulus yang membuat Xena trenyuh mendadak.
“Makasih, Pak.”
“Justeru kami yang berterima kasih Non mau kembali.” Kini, Narti yang bicara. tatapannya meneduh mendadak mengarah pada Xena. “Bagi kami, Non adalah penerangan di rumah ini. Kami selalu menunggu dengan setia Non kembali. Persis seperti janji kami pada Non, kan? Janji Non juga pada kami, kan?”
Sekali lagi, Xena menangis. Yang mana kali ini tangisnya adalah tangis bahagia. Ternyata ... masih ada orang-orang yang menyayanginya demikian tulus.
***
Ide dan skenario dadakan yang disusun Jess juga Pak Jaka, diterima dengan mulus oleh Arslan. Di depan pria berkacamata bertubuh tegap itu, Narti memperkenalkan Jess serta Xena. Mengatakan kalau mereka berdua adalah keponakan dari kampungnya yang belajar merantau. Meminta izin untuk tinggal sementara di sini hingga dapat pekerjaan. Juga membantu di sini selama jeda waktu mencari pekerjaan.
Arslan hanya menatap enggan keduanya lantas naik ke lantai dua. “Terserah Mbak Narti. Yang penting jangan ganggu saya,” katanya di ujung tangga sebelum kakinya benar-benar melangkah menaiki satu per satu anak tangga.
Jess mencibir. “Apa-apaan lo?! Numpang aja.”
Xena mencubit pelan lengan Jess. Membuat gadis berambut hijau itu meringis sakit. Melayangkan tatapn tak suka yang jelas mengarah pada Xena. “Gue benar, kan? Dia yang numpang, lo yang punya.”
“Gue Anne, Jess, kalau lo lupa. Xena sudah dimakamkan.” Sepertinya Xena sudah mulai terbiasa menyebutkan dirinya yang diberitakan sudah tertutup tanah itu.
Lagi-lagi hanya ada decak kesal dari Jess. Sementara Narti yang menemani mereka, hanya terkekeh menertawakan tingkah laku mereka berdua.
“Mari, Non. Kita makan. Kamar kalian lagi dibersihkan Pak Didi dan Pak Jaka, ya.”
Xena mengangguk pelan, berjalan mendahului menuju dapur. Narti bilang, makan malam sudah siap dan sengaja memasak makanan kesukaan Xena; pasta dengan ekstra keju yang banyak. Ketika mendapati menu yang ada, erangan tak terima datang dari Jess.
“Astaga. Gue mual mendadak,” keluhnya. Tapi saat disuguhan ayam rica-rica pedas yang biasanya Narti buatkan untuk Vally, binar mata Jess mendadak menyala penuh semangat. “Makasih, Mbak Narti. Mbak terbaik pokoknya buat Jess.”
Di sela makan santai mereka, Narti banyak bercerita mengenai keberadaan Arslan. Yang hanya pergi bekerja pagi hari tanpa sarapan, juga kembali di sekitar jam tujuh malam. Masuk ke kamarnya dan tak keluar lagi. Makan malam selalu ia lakukan di kamar. Meminta Narti mengantarkannya. Sementara di dalam kamar, tak ada kegiatan yang mencurigakan selama delapan bulan seorang Arslan tinggal di sini.
Narti kadang curi lihat apa yang dikerjakan Arslan di kamar saat mengantar makan malam namun, tak ada yang bisa ia jadikan sebauh kecurigaan. Pria itu hanya berdiri di jendela kamarnya yang besar. Menikmati embus angin yang sengaja ia ciptakan dari celah jendela yang terbuka itu. Dan sering kali Narti mendapatinya dalam posisi yang sama setiap malam.
Entah dengan alasan apa, Narti hanya menjalankan tugasnya saja.
Kecuali kala weekend menjelang. Biasanya Jumat malam, Arslan tak pulang ke rumah ini. Pria itu pernah berkata, kalau weekend saatnya kunjungan ke rumha orang tuanya. Narti beserta tiga rekannya yang lain, hanya mengangguk patuh dan memilih diam lantaran tak terlalu memahami kenapa ada orang lain di sini walau kenyaataannya, majikan pemilik rumah ini sudah tiada.
“Jadi, dia ngapain di sini? Ngawasin kerja kalian?” tanya Jess lebih pada diri sendiri tapi karena mereka ada di meja makan di mana adan Narti, akhirnya wanita paruh baya itu yang menanggapi dengan kekehan kecil.
“Enggak juga, Non Jess. Enggak pernah Arslan mengecek pekerjaan kami atau komentar. Benar-benar hanya untuk tidur saja sepertinya.”
Jess makin mengerutkan kening. Sementara Xena tampak berpikir dalam-dalam.
“Dia kerja di Djena, Mbak?”
Narti mengangguk yakin. “Saya pernah melihat Tuan Arslan dijemput Pak Vino. Katanya ada meeting bersama. Seperti itu lah, Non.”
Xena mengangguk pelan. Meresapi. Kenapa Riga meminta Arslan berada di rumah ini? Juga bekerja di Djena? Sejak kapan? Apa ada tujuan tertentu? Namun lebih dari itu semua, Xena ingat apa yang harus ia lakukan pertama kali setelah kembali ke sini. Kamar utama orang tuanya. Atau ruang kerja sang ayah. Atau mungkin, kamar Kak Vally.
Iya. Xena butuh ke semua ruang yang hanya dikunjungi sesekali saat ia masih di sini. Sekadar mengentaskan rindu akan kehadiran mereka yang tak akan pernah kembali. Tapi kini? Tak sekadar untuk menuntaskan kangen yang masih tersisa namun, untuk menguak hal-hal yang tak terlihat bagi matanya kini.
“Semua di rumah ini ... pernah ada yang masuk?” tanya Xena tiba-tiba.
Narti yang tadinya hendak mengambilkan setengah porsi pasta keju untuk Nona-nya, mendadak kaku. Matanya terbeliak kaget. Sesaat setelah kesadarannya kembali, Narti tampak duduk kembali dengan gelisah. Matanya menatap Xena takut-takut yang semakin membuat Xena mengerutkan kening.
“Kenapa, Mbak?”
Wanita paruh baya itu duduk dengan pandangan terus saja menunduk, membuat Xena makin didera curiga. “Mbak?” desaknya lagi. Kali ini, dengan nada tak sabar. “Ada apa?”
“Itu, Non,” Narti masih mengumpulkan keberanian untuk bicara. Walau kejadiannya sudah lama, tetap saja ia masih ada ketakutan untuk bicara.
“Mbak?” Xena memejam sejenak, lalu matanya menatap tajam tanpa ragu pada wanita yang ia sayangi ini. Selama mengenalkan, Xena tak pernah meragukan kasih sayang dari Narti. Bahkan bisa dibilang, Narti yang lebih sering memeluknya jikalau ditinggal sendirian di rumah saat kedua orang tuanya dinas di luar kota.
“Tuan Alif pernah masuk ke ruang kerja Tuan Besar. Entah mencari apa. Katanya sudah izin dengan Tuan Riga. saya mau konfirmasi, enggak berani.”
“Kapan?” tanya Jess yang langsung membuat Narti maupun Xena menoleh. “Kapan Alif-Alif itu datang ke sini?”
Narti tampak menimang sebentar, menggali ingatan di mana dirinya dibentak katanya terlalu cerewet. Padahal kedatangannya saat itu, diragukan kebenarannya oleh Narti. Biasanya Riga selalu memberi kabar kalau ada yang ia butuhkan, atau asistennya butuhkan yang berasal dari ruang kerja seorang Hanif Dinandirja. Itu pun sudah lama berlalu. Mungkin, setahun sejak meninggalnya sang Tuan Besar, asisten serta Riga masih mondar mandir ke ruang kerja Hanif.
Tapi saat itu? “Dua tahun lalu, Non, kalau saya enggak salah ingat.”
Dua tahun lalu?
Baik Xena maupun Jess mengerutkan kening. Bingung.
“Tapi sudah dirapikan kembali?”
Narti mengangguk.
“Ada yang hilang?”
Wanita itu tampak kebingungan. “Mbak dan Pak Jaka mengingat-ingat, enggak ada yang hilang, sih. Tapi memang kondisi ruang kerja Tuan Besar jadi kacau saat itu.”
Xena mengangguk pelan. “Oke, Mbak.” Ia menolak tawaran Narti yang ingin mengisi piring makanya yang sudah kosong. “Sudah kenyang, Mbak.”
Narti membiarkan ada jeda cukup lama di ruang makan dengan masing-masing dua gadis muda itu tampak berpikir. Sebenarnya Narti sendiri pun turut memikirkan hal yang sama. Apa ada sesuatu yang buruk yang memang terjadi di malam meninggalnya Tuan Besar mereka? Pembunuhan misalnya. Berkaca pada kejadian pada hari di mana sang Nona Muda dipisahkan dari rumah ini bersama Riga.
“Ke kamar, yuk,” ajak Jess. “Gue ngantuk.”
Xena menoleh, ucapan Jess benar juga. “Ayo. Sudah selesai dibersihkan mungkin kamar kita,” putus Xena pada akhirnya. Bersama, mereka menuju tempat yang sudah disiapkan. Sengaja Xena memilih di wing kanan rumah utamanya yang lebih banyak mengarah pada taman. Biasanya, wing kanan dipergunakan untuk tamu-tamu yang mengunjungi keluarga mereka ketika ada acara besar yang Mommy atau Papa-nya adakan.
Ditemani oleh Narti, sesekali suara Narti memberitahu mengenai sedikit perubahan letak lukisan atau pajangan yang ada di dalamnya. Sebenarnya Xena tak terlalu menjadikan itu masalah, walau Narti berulang kali meminta maaf atas kelancangannya.
“Oiya, Mbak Narti,” Xena berhenti sejenak tepat di potret besar di mana sang ibu serta ayahnya ada di dalamnya. Mengenakan gaun putih yang cantik juga betapa tampan sang ayah mengenakan setelan resmi, yang ia tau, kalau potret ini adalah foto pernikahan kedua orang tuanya. Mereka semua terhenti dan mengikuti arah pandang Xena.
“Mbak Narti sejak kapan bekerja ikut Mommy?”
Tak merasa ada kecurigaan atau perasaan apa-apa, Narti menjawab dengan lugasnya. “Tahun 1980, Non. Sudah lama banget,” katanya disertai kekehan.
“Apa Mbak Narti pernah tau hubungan masa lalu Mommy?
Tepat ketika pertanyaan itu mengudara, Arslan muncul dari koridor penghubung rumah utama dengan wing kanan.
Part 35 DICKERING
“Memang kamu lulusan apa?”
Xena mencoba menormalkan laju napas. Di depannya, duduk Arslan dengan santainya. Mengenakan kaus berkerah hitam dipadu celana selutut juga sandal rumah yang santai. Memilih duduk di salah satu ruang di mana TV besar yang tak difungsikan di wing kanan, Xena memang diminta untuk mengikuti pria itu.
Saat Arslan memperhatikan mereka yang berdiri di depan potret besar Om-nya, Arslan sedikit tak suka. Mereka orang asing, pikirnya. Kenapa harus memperhatikan semua yang ada di rumah ini sedemikian detail?
Berjalan tanpa ragu ke arah mereka yang seperti orang berbisik, dan benar saja, ada kesiap kecil yang kentara sekali mereka terkejut karena Arslan menghampiri.
“Kalian sedang apa?” tanya Arslan dengan tatapan menghunus terlebih pada perempuan kampung berambut hijau. Katanya dari mana? Kampung? Dan rambutnya? Ya Tuhan! Ada yang lebih berlebihan darinya?
“Maaf, Tuan.” Narti segera menghampiri sedikit juga menunduk. “Saya sedang jelaskan potret-potret yang ada.”
“Gunanya?” Arsan bersidekap tak suka.
“Ehm ... maaf kalau saya lancang,” kata Narti.
Arslan berdecak. Lalu matanya memindai satu per satu gadis yang berdiri tak jauh dari kepala pelayan di sini. Dan gadis kampung berambuT hijau lah yang mengesankan kalau dirinya tak ada pengaruhnya dengan keberadaan Arslan di sini. Padahal siapa dia? Hanya keponakan dari pelayan, kan?
“Kalian di sini sampai dapat kerja, kan?”
“Iya. Saya di sini sampai dapat kerja, kok,” kata Jess tak menggeser sedikit arah pandangnya. Sejak melihatnya masuk ke dalam, berjalan pongah, dan belum lagi mengesankan mereka berdua ini hanya kutu busuk yang menjadi benalu di sini, Jess sudah mengibarkan bendera perang tanpa perlu terucap.
“Bagus kalau begitu.”
Kali ini Xena bertindak. Kesempatan tak mungkin datang dua kali, kan?
Tak pernah ia lupa membawa satu notes kecil juga pulpen yang pas pada pegangan notes-nya. Sejak ia gunakan nama Anne Rossaline, juga hal-hal yang menyertainya termasuk pura-pura bisu. Karena ia tak mau ambil risiko berlebih kalau-kalau, ada seseorang yang mengetahui suara aslinya. Walau wajahnya kini sulit dikenali kecuali orang itu benar-benar dekat dengannya, maka tak mudah mengenalnya sebagai seorang Roxeanne Arizona.
Apalagi sekarang, ada di sini, di rumah utamanya. Tak mungkin ia segera membuka jati dirinya sebelum mengetahui, ada rahasia besar apa yang sebenarnya menaunginya. Satu per satu akan ia urai dan berharap, semuanya tak terlambat untuk ditangani.
Menulis buru-buru dan segera memberikannya pada Arslan yang masih menatapnya dengan janggal. Xena sungguh menekan perasaan sedih yang hebat sekali menderanya karena tatapan seperti itu—lagi-lagi—ia terima. Juga kepra-puraannya yang harus selalu ia ingat, ia bersuara saat ada di dekat orang-orang tertentu.
[Sekiranya di kantor Tuan ada lowongan, boleh saya diinformasikan?]
Saat Arslan membaca pesan dari Xena, sebenarnya ia cukup terkejut. Ternyata gadis yang terlihat tak banyak bicara, memang tak bisa bicara. Arslan pikir, gadis ini tak mau bersitatap dengannya tadi karena sungkan juga masih memiiki sopan santun. Mengingat strata sosial yang mereka miliki. Tak seperti gadis yang ada di sebelahnya.
Sangat tak sopan. Ia mencibir dengan sengaja serta memberi tatapan tak suka pada Jess, gadis tak sopan itu.
“Jadi ... kalian butuh kerja?”
“Kalian?” tanya Jess.
Segera Xena meminta kembali notes tadi dengan sopan.
[Iya, Tuan.]
Dengkus tak suka kentara sekali Jess beri mengarah pada Jess. “Saudari kamu bilang, kalian butuh kerja. Dan sekadar informasi saja, kalau saudari kalian yang meminta pekerjaan pada saya.”
Jess memekik pelan, sementara Narti melotot tak percaya dengan kata-kata yang baru saja terucap dari Arslan. Melempar tatapan penuh tanya jelas dilakukan keduanya pada Xena. Sementara Xena, tersenyum kecil sembari menganggu meyakinkan. Di mana di mata Arslan, Xena ini membutuhkan pekerjaan namun, di mata kedua orang yang ada di depannya, tak demikian.
“Tapi jenis pekerjaan apa yang bisa saya beri untuk kamu, An? Kalau melihat ... kondisi kamu,” Arslan menatap lekat Xena yang tak mengalihan matanya ke mana-mana. “Saya belum ada info.”
Xena kembali menarik sudut bibirnya tipis. [Siapa tau nanti ada, saya boleh diberitahu]
Berbekal tulisan itu lah, Arslan meminta Xena juga Jess mengikutinya. Menyuruh Narti menyiapkan secangkir kopi untuknya juga makan malam.
“Kami lulusan SMA, Tuan,” jawab Jess dengan rasa kesal yang sangat ia tekan. Saat mengimitasi langkah Arslan yang memimpn, Xena meremas tangannya kuat-kuat. pertanda agar jess bisa mengendalikan rasa tak sukanya pada Arslan. Walau sebenarnya, Xena sendiri memang tak menyukai Arslan sejak kali pertama bertemu tadi.
Kesan angkuh, arogan, serta merasa memiliki segalanya, tergambar jelas dalam kacamata Jess untuk Arslan.
“Oh, SMA.” Arslan menganggk pelan. “Kalau SMA, mungkin Office Girl?”
Jess hampir menjatuhkan rahang. Bibirnya terbuka pelan dengan tatapan tak percaya yang mengarah jelas pada pria di depannya ini.
“Saya bukan sedang merendahkan lulusan SMA. Tapi memang untuk bagian administrasi di kantor saya, minimal Diploma,” terang Arslan begitu melihat bagaimana ekspresi terkejut dari Jess. Agak menggelikan memang untuk ia jelaskan seperti ini. Apa yang mau diharapkan? Tau-tau bekerja sebagai seorang staff? Dengan lulusan SMA? Yang benar saja. pikirnya begitu.
Xena buru-buru mengeluarkan notes-nya. Menulis dengan cepat dan memberinya dengan sopan pada Arslan.
[Tak masalah, Tuan. Selama pekerjaan itu halal juga untuk tambahan kami kuliah]
Arslan terpaku pada kata demi kata yang Xena tulis. Bukan perkara bagus atau tidaknya tulisan tangan ini dibuat namun, makna yang tertulis di dalamnya. Pekerjaan halal. Dan mereka sembari kuliah? Hebat. Bukan tanpa sebab ia memuji. Saat ia menimpa ilmu dulu, tak bisa disambi sama sekali dengan pekerjaan lainnya. Sang ayah, Alif Mahesa selalu menuntutnya dengan nilai sempurna. Tanpa terkecuali. Bahkan hingga kini, segala yang ia lakukan selalu dalam barometer ayahnya.
Ia pernah mendengar banyak teman sejawatnya dulu, kuliah dengan jalur beasiswa di mana ada satu waktu mereka bekerja untuk menambah uang saku. Walau tidak pernah dalam satu frame dengan kumpulan mahasiswa beasiswa namun, siar kabar itu tak pelak menjadi bahasan tersendiri. Bukan untuk pujian, tapi cemooh dari kawan-kawan akrabnya.
Tadinya, Arslan dibuat kagum namun pergaulannya yang membuat dirinya memandang semua itu dengan remeh. Ada seringai tipis yang Arslan ciptakan tanpa ia sadari.
“Jadi kalian juga kuliah? Dan bekerja nantinya sambil kuliah?” tanya Arslan memastikan.
“Iya, Tuan,” tukas Jess cepat.
“Besok saya infokan apa ada lowongan atau enggak.”
Mereka kompak mengangguk.
“Kalian bisa pergi. Saya mau makan malam.”
Jess menggeram kesal sekali. Sedikit menghentak, ia menarik Xena untuk segera menjauh. Begitu jarak mereka aman, sembur amarah Jess Xena terima.
“Lo gilá?”
“Apa yang gilá?”
Jess mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Sumpah, ya, Na. Lo frontal juga.”
“Gue melihat peluang, Jess. Mumpung Arslan di Djena. Siapa tau, gue bisa menyusup tanpa ketahuan.” Xena memutar kunci kamarnya. Yang Narti siapkan adalah kamar tamu yang paling besar. Ranjang ukuran besar sudah siap untuk mereka tiduri. Pun aroma vanilla yang selalu Xena sukai, menguar sempurna membelai penciumannya denga penuh manja.
Sejuk dari pendingin ruangan sudah memenuhi ruang kamar itu.
“Wow!” Jess terkagum dengan pemandangan yang ada di depannya kini. “Ini ... kamar tamu keluarga lo?”
Xena hanya mengangguk sekilas. “Biasanya dipakai Tante Iklima, adik Papa.”
“Gimana kamar lo?”
Gadis itu hanya tersenyum simpul. Membuat Jess membayangkan betapa mewah kamar yang Xena tempati di atas. Segera ia berkeliling di kamar ini. Dan benar saja, semua fasilitas yang membuat Jess menggeleng takjub, lengkap tersedia di sini. Narti bilang, kamar itu tak pernah terbuka kecuali berkala untuk dibersihkan. “Punya kamar begini gue betah banget enggak keluar, Na.”
Hanya kekehan yang bisa Xena beri.
“Pantas lo diburu, Na. Tajirnya bokap lo enggak main-main.”
****
Pagi hari, Xena membantu Narti yang gemetaran karena Nona Mudanya lihai di dapur. Memandangnya penuh takut juga khawatir terutama saat Xena mengiris bawang untuk bumbu. Beberapa kali Narti tampak memperingati yang justeru membuat Xena tergelak.
“Mbak enggak usah khawatir. Dapur sama aku itu sekarang berkawan.”
“Siapa yang berkawan dengan dapur?” tanya seseorang yang membuat gerak Xena kaku mendadak. Matanya terbeliak kaget dan hampir loncat dari tempatnya. Kenapa juga Xena bisa sembarangan bicara selama Arslan ada di rumah ini? bodōhnya ia! Rutuh Xena dalam hati.
“Kok, diam? Saya tadi dengar ada yang bicara. Yang berkawan dengan dapur. Kamu, Anne?”
Xena sudah pucat pasi. Sejak kapan Arslan muncul di dapur. Apa obrolannya dengan Narti disimak diam-diam oleh pria yang sudah rapi dengan kemeja lengan panjangnya itu? Ya Tuhan!
“Mungkin Tuan salah dengar.” Jess muncul dari arah belakang. “Tadi saya yang bicara. Bilang ke Budeh Narti kalau Anne sekarang berkawan dengan dapur.”
Kening Arslan berkerut dalam. Jelas ia mendengar hanya ada dua suara di dapur ini dan hanya ada Narti juga Anne berkutat di dapur.
“Tuan mungkin lapar? Jadi ... kurang fokus?”
“Apa kamu bilang?’
Jess menutup mulutnya dengan sengaja. “Hanya menyampaikan pendapat.”
“Kamu ...,” tunjuk Arslan kesal. Matanya mendelik marah pada gadis yang sekarang justeru menampilkan cengiran tanpa rasa bersalah padanya.
“Saya buatan sarapan untuk Tuan, ya?” tawar Narti menengahi apa yang terjadi antara Arslan dengan Jess pagi ini. mengdepin memberi kode pada Jess agar jangan banyak bicara kalau tak ingin menimbulkan masalah. Yang membuat Jess akhirnya mengalah dengan memberi anggukan kecil.
“Maafkan saya, Tuan,” kata Jess berusaha dengan amat untuk menurunkan intonasi suaranya.
Arslan mendengkus dan masih memberi tatapan sesinis mungkin. tanpa banyak bicara, ia pun keluar dari dapur. Meninggalkan mereka bertiga yang kini bernapas lega. Sementara dalam hati Arslan, sedang disusun rencana penyiksaan gadis kurang ajar itu.
“Jess,” erang Xena setelah benar-benar memastikan kalau Arsan telah pergi.
“Apa? Gue salah?” tanya Jess santai. Di tangannya, setangkup roti yang sudah Narti buatkan, ia lahap. “Dia aja nyebelin, kok.”
Xena hanya menggeleng pelan. “Jangan ada drama lo naksir sama Arslan, ya.”
Jess tersedak hebat.
“ARE YOU KIDDING ME?!”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
