
***Spoiler
“Apa?” tanya Riga bingung. Mendapati Xena yang mengerjap heboh di depannya. Persis seperti anak kecil yang menyambut ayahnya pulang. Meminta sesuatu dengan penuh ketergesaan. Sudah berapa lama ia tak melihat Xena seperti ini?
“Ih ... pura-pura enggak tau! Jadi pembicara di seminar dua hari lagi di kampus aku. Kok bisa?”
Riga hanya menggeleng dan sedikit menyingkirnya gadis yang masih tampak bersemangat itu.
“Om,” rengek Xena menahan tangan Riga.
“Kenapa?” Sudah lama juga Riga tak mendengar...
PART 11
“Kok, Om enggak bilang sama Xena?” Gadis itu langsung menyambut Riga yang baru saja membuka pintu. Xena sudah menunggu dengan tak sabar kedatangannya sore jelang malam ini. Atau sudah malam? Xena tak peduli. Baginya kini, ia ingin bertemu dengan Riga dan bicara langsung padanya.
Sejak pesannya masuk, Xena memang sudah tak sabar untuk memberondong pria yang masih mengenakan setelan resminya itu dengan banyak tanya. Riga tak akan mau diganggu dengan pesan remeh kecuali sangat urgent darinya.
“Apa?” tanya Riga bingung. Mendapati Xena yang mengerjap heboh di depannya. Persis seperti anak kecil yang menyambut ayahnya pulang. Meminta sesuatu dengan penuh ketergesaan. Sudah berapa lama ia tak melihat Xena seperti ini?
“Ih ... pura-pura enggak tau! Jadi pembicara di seminar dua hari lagi di kampus aku. Kok bisa?”
Riga hanya menggeleng dan sedikit menyingkirnya gadis yang masih tampak bersemangat itu.
“Om,” rengek Xena menahan tangan Riga.
“Kenapa?” Sudah lama juga Riga tak mendengar rengekan manja Xena. Apa karena banyak sekali waktu terbuang yang seharusnya Riga manfaatkan untuk ada di samping gadis kesepian ini? Ah ... Riga mendadak menyesalinya.
“Jawab dulu pertanyaan aku.”
“Iya. Puas?”
Xena cemberut. Masih mengimitasi langkah Riga hingga menuju kamarnya.
“Mau ikut juga?”
“OM!”
“Apa?” Riga rasanya mau tertawa tapi sungguh, menatap Xena yang sudah memerah wajahnya karena dijahili olehnya adalah hal yang jarang sekali terjadi. “Nanti saya cerita. Mau mandi dan ganti baju dulu. Xena bisa buatkan saya kopi?”
Binar penasaran yang tadi singgah di netra Xena berganti dengan kobaran api semangat. “Tapi diminum, ya. Jangan enggak.”
“Iya.”
Sebelum Riga benar-benar menutup pintu kamarnya, sosok Xena memang sudah berjalan ke dapur dengan senandung riang. Hanya seperti ini saja, Riga sudah menyukai suasana yang tercipta di antara mereka. Ia memejam sejenak. Mengingat kapan kali terakhir mereka bercanda akrab? Rasanya sudah lama sekali tak mereka lakukan.
Riga tak memiliki siapa-siapa lagi di dunia. Telah lama orang tuanya meninggal. Berjuang keras dalam angkuhnya ibu kota dalam hal mendidik serta mengasahnya agar menjadi orang yang terbilang sukses. Bertemu Valerie beberapa kali, tak menampik kalau dirinya ternyata memiliki ketertarikan sendiri pada gadis cantik bertubuh semampai itu.
Bekerja di bawah naungan Djena grup mulai dari staff biasa hingga menjabat sebagai manager di usia yang masih cukup muda, membuat seorang Hanif penasaran. mengujinya. Dan memiliki ketertarikan sendiri atas cakap yang Riga punya. Dan ketika bertemu dengan Vally, membuat Hanif makin kalau Riga cocok bersanding dengan putri sulungnya itu. tak peduli latar belakang Riga yang berasal dari orang biasa. Bagi Hanif, itu bukan perkara sulit. Riga termasuk pria bertanggung jawab dan berdedikasi. Dan sekarang, Hanif meminta Riga menjaga Xena? Maka itu lah yang akan ia lakukan hingga kini. Persis seperti di surat wasiat.
Dan kini, hidupnya berputar pada Xena. Memiliki latar yang hampir sama. Betapa sebenarnya Riga peduli pada sosok rapuh yang mungkin sekarang sedang menghancurkan dapurnya. Tak masalah. Asalkan ...
“OM!!!”
Tanpa banyak berpikir, Riga keluar kamar. Mendapati Xena mengibaskan tangan sembari sesekali meniupnya. Riga lupa, kalau Xena terkadang sangat ceroboh. Seperti ini.
“Bisa lebih hati-hati?” tanya Riga dengan tatapan menghunus. Membuat Xena yang tadinya ingin berkeluh kesah pada Riga, ciut mendadak. Tapi mau bagaimana lagi, tangannya sakit sekali. Panas.
Ck!
“Tadi kayaknya aku sudah pelan-pelan, Om. Tapi kenapa malah meleset gitu, sih, pas mau dituang. Jadinya aku ...,” Xena langsung melotot dan memekik kesakitan saat air mengguyur tangannya. Riga langsung menyalakan keran air dan membasuh tangan Xena dengan segera. “Sakit.” Rasanya Xena mau menangis saja.
“Enggak usah bikin kopi lagi.”
Xena menangis.
Riga tak peduli air mata Xena yang makin jadi. Dirinya sudah sangat menekan emosi yang siap meluap lantaran Xena yang sama sekali tak bisa berhati-hati ini. “Duduk,” perintah Riga tanpa belas kasih. Deru napasnya kentara sekali sedang ia kendalikan agar segala kata yang sudah dirangkai, tak meluncur sempurna.
Percuma memarahi Xena seperti ini. Dirinya ikut andil berbuat salah. Ia pikir, kecerobohan Xena berkurang jauh. Ah, Riga menyesali permintaannya tadi. Segera ia ambil salep luka bakar. Tangan putih itu memerah dan Riga yakin, Xena kesakitan sekali.
“Pelan-pelan,”lirih Xena sembari sesekali mengusap matanya. “Sakit.”
“Maaf.”
Xena mendongak dan menatap Riga yang hanya sekilas membalas tatapannya. Pria itu memilih sibuk merawat tangan Xena. “Untuk?”
“Kalau tadi saya enggak minta dibuatkan kopi, kamu pasti enggak tersiram air panas.” Sungguh, Riga ingin sekali memaki dirinya sendiri. Di luaran sana, Riga berusaha maksimal menjaga Xena. Sementara di dalam apartement ini? Yang seharusnya adalah tempat teraman yang bisa Riga beri, malah ia celakai hanya karena secangkir kopi.
Sial!
“Tapi aku mau buatkan Om kopi.”
Mata mereka saling bersemuka akhirnya. Netra seelok boneka yang sudah simbah air mata itu, Riga hapus perlahan. “Enggak usah. Nanti saya buat sendiri.”
Bukannya berhenti, Xena main jadi tangisnya. Membuat Riga cukup kebingungan. “Kenapa?”
“Enggak ada kah yang bisa kulakukan untuk buat Om senang?”
***
Riga berdiri tak jauh dari tepi ranjang Xena. Memastikan gadis itu tidur dengan nyaman tanpa terusik sama sekali entah kenapa menjadi kewajibannya. Matanya lurus menatap sosok yang sudah dia selimuti. Napasnya naik turun teratur. Pertanda kalau si pemilik tubuh sudah benar-benar terlelap.
Aktivitas Riga baru terhenti saat ponsel dalam sakunya bergetar. Sekali ia abaikan namun, ini sudah kali ketiga. Artinya penting. Segera ia liat siapa pengganggu malamnya.
Vino.
Tanpa basa basi, Riga segera keluar kamar Xena. Mematikan lampu utama kamar dan digantikan dengan lampu tidur yang lebih temaram. “Kenapa?”
“Pak, maaf ganggu.”
Riga diam menunggu Vino bicara.
“Untuk seminar nanti, kami sudah pastikan tak ada yang terlewat. Semua sudut auditorium aman dan saya pastikan orang-orang berjaga di sekitar.”
“Bagus. Pastikan tanpa membuat curiga.”
“Baik, Pak.”
Riga baru saja akan menutup telepon Vino, “Satu lagi, Pak.” Ia memilih menunggu saja.
“Saylendra memenangkan tender lagi. Perwakilan kita kalah telak. Pengajuan proposalnya hampir sama persis. Saya curiga, ada orang dalam yang bermain. Perbedaan paling signifikan, keuntungan yang mereka tawarkan lebih menggiurkan.”
“Kalkulasi kamu?”
“Kita bisa, hanya saja, butuh pendanaan lebih. Saylendra kelewat berani.”
“Dia bukan berani karena untungnya sedikit. Saylendra tau, Djena ikut dalam lelang tender. Tujuannya kita. Kamu harus paham, Vino.”
“Baik, Pak. Lalu langkah selanjutnya?”
“Menurut kamu?” Riga membuka sedikit celah pada pintu balkonnya. Merasakan semilir angin malam yang menyapanya tanpa ampun. Malam ini, angin bertiup cukup kencang. Rambutnya pasti sudah berantakan dibuatnya.
“Saya ... belum tau, Pak.”
Riga mengangguk samar. “Ya sudah. Kamu istirahat. Hari kita makin panjang dan berat.” Butuh beberapa menit berlalu sebelum akhirnya Riga memutuskan menutup pintu kaca. Embus angin terhenti seketika, berganti dengan semilir pendingin ruangan yang menyapa permukaan kulitnya. Juga aroma pengharum ruangan yang menguar otomatis dari salah satu sudut.
“Saylendra. Kapan dia puas?” decak kesal kentara sekali saat Riga mengucapkan kata-kata barusan. Ia jatuhkan tubuhnya pada sofa empuk yang langsung menerima Riga dengan bunyi derit kecil. Kepalanya mendongak, matanya menerawang seolah bisa menembus internite putih yang sekarang memenuhinya, lalu tangannya ia pergunakan untuk memijat pelipis saking tak tertahankan pusing yang mendera.
Ia sudah berusaha sangat keras. Tekanan yang ia terima bukan hal main-main yang bisa disepelekan.
“Kalau begini terus, Djena bisa bangkrut.” Riga tau, cepat atau lambat keruntuhan Djena akan menghampirinya telak. Bisa terhindarkan asal dirinya memiliki suntikan dana, bukan berupa pinjaman. Tapi lebih pada proyek-proyek kelas kakap yang nominal digit nol-nya bisa membeli apartement ini hingga beberapa unit.
“Apa yang mesti Riga lakukan, Om?” lirihnya. Kali ini serbuan tanggung jawab yang nyata ia tanggung, makin mencekiknya. Andai bukan karena hutang budi, mungkin dirinya akan menolak mentah-mentah permintaan seorang Hanif Dinandirdja.
Belum habis rasa tertekan yang Riga punya, satu pesan masuk yang membuatnya makin gila.
Vino : Pak, direksi minta rapat terkait tender kemarin. Saya rasa, mereka mulai persiapan meninggalkan Djena. Dan Dirdja lainnya mulai protes keras mengenai kepemimpinan Bapak. Mereka mau, pemilik sah yang berkuasa.
PART. 12
Sedannya terparkir mulus di basement apartement Riga. Untuk saat ini, dirinya memastikan kalau Riga tak akan mampu menolaknya. Dua cup coffe sebagai barang bawaan sudah di tangannya. Melenggang anggun menuju unit yang sudah dihapal di luar kepalanya. Sesekali membalas sapaan ramah dari para petugas keamanan yang ada di beberapa sudut lobby.
Seringnya ia ke sini membuat hapal wajah-wajah orang yang bekerja di sini, pun mereka.
Mengecek sekali lagi penampilannya yang dirasa sudah maksimal namun, tak ada salahnya untuk sekadar memastikan. Lipstik merah menyala dipulas sedikit lagi. Tubuhnya tertutup coat cukup tebal dengan panjang hampir sebetis. Membalut sempurna lekuk indah dirinya yang semampai. Parfum yang ia kenakan sudah memenuhi ruang besi yang membawanya naik.
Kali menghidu sebentar, “Ehm ... pasti Riga suka.”
Ponsel yang sejak tadi ia genggam, segera digunakan sekadar memberitahu si penerima kalau sebentar lagi dirinya tiba. Malam ini, Riga miliknya. Dan akan ia buat seterusnya, bahkan selamanya.
Ia tak butuh membunyikan bel. Password apartement ini ia hapal di luar kepala. Riga termasuk pria yang enggan direcoki urusan sepele. Hanya satu yang sukar sekali disingkirkan; Roxeanne Arizona. Gadis menyebalkan yang tak tau diri itu. Kalau mengingat Xena, mendadak darah Kali mendidih otomatis. Bibirnya mencebik tak suka namun buru-buru ia tepis amarahnya.
Malam ini, malamnya dengan Riga. Tak mau Xena menginterupsi baik sosoknya juga bayangnya dalam pikirannya.
Begitu pintu terbuka, sosok pria yang sejak tadi memenuhi kepalanya ada di ujung saja, dekat balkon. Menyendiri dengan kepulan asap sebagai peneman. Penuh percaya diri, Kali mendekat. Senyumnya terulas sempurna.
“Hai, Sayang.” Peluk Kali dari belakang. Suaranya sengaja ia hantar tepat di belakang cuping telinga Riga. Aroma asap manis yang biasa Riga kepulkan, menyapa penciumannya. Tangan Kali pun melingkar sempurna pada pinggang Riga setelah memastikan cup kopi tadi ia letakkan dengan benar di meja ruang tamu.
“Berat, Kal.” Riga berupaya melepaskan diri, tetapi Kali lebih pandai membuatnya tak bisa berkutik. Saat pria itu berhasil melepaskan diri dari tautan tangan Kali, ia kurang memperhitungkan kalau wanita cantik itu sudah berada di depannya. Jemari lentik berkelir merah itu sontak menangkup wajahnya. Melayangkan satu kecup berubah cium yang panjang serta penuh tuntut pada Riga.
Pada mulanya, Riga jelas menolak namun apa daya. Ketika bibir lembut itu mulai menjelajahi dirinya dengan teramat perhitungan, dirinya goyah. Riga segera mendekatkan diri, sedikit menekan Kali pada bibir balkon tapi tetap ia tahan geraknya dengan tangan yang lain pada pinggang. Cium itu disambut dengan sama menggeloranya.
Hal yang paling Kali sukai saat ciumnya terbalas adalah cara Riga memperlakukan dirinya. Penuh tuntut dan tak ingin kalah. Dominasi Riga memang luar biasa membuat Kali selalu memasrahkan diri. Tak memedulikan hati pria yang ia rasa, jemarinya mulai menjelajahi tubuh Kali.
Kali bersorak riang saat ini.
“Jangan berhenti. Lepaskan, Riga.” Kali melepas sejenak, sekadar mengisi dadanya dengan udara yang berembus. “Ada aku.” Bibirnya sengaja ia gerakkan persis di atas bibir Riga yang terbuka. Mata mereka bertemu dengan sorot yang berbeda. Bergerak sesensual mungkin, memasrahkan diri dengan perhitungan.
“Jangan salahkan saya malam ini kalau begitu.”
Kali terkekeh kecil. “Kapan aku menyesalinya? Aku malah menunggu dengan setia, kan?” Tangan yang tadi ia gunakan untuk menangkup wajah Riga, sudah ia kalungkan pada leher sang pria. Seolah menegaskan pada dunia, tak akan yang boleh memisahkan mereka berdua malam ini.
Dadanya membusung tinggi pernuh percaya diri. Terkadang bersentuhan dengan dada Riga yang masih tersembunyi dari balik kemejanya. Penuh lembut, jemari Kali ia pergunakan untuk menyusuri ceruk leher Riga. Turun dengan teramat pelan dengan memberi begitu banyak sensasi dalam seiap detik sentuhnya.
Sering Kali saksikan betapa menggiurkan dada Riga di sana. Otot-ototnya sempurna terbentuk, membuat dirinya tak pernah terpuaskan hanya sekadar diberi izin menyentuhnya. Kali rasa, mengusap ke seluruh permukaan dada Riga dengan ujung lidahnya, bisa memuaskan dirinya saat ini. Tentu saja dengan persetujuan Riga. Pria itu selalu menyenangi dominasi. Di mana Kali lebih sering terbaring pasrah dan menunggu. Berharap saat ini, malam ini, Riga mau melanjutkan segala hal yang selalu ia tuntaskan tanpa ada penyelesaian.
Satu demi satu, kancing kemeja itu ia buka dari lubangnya. Sesekali netra Kali mendongak dan mendapati mata Riga yang hanya diam saja tanpa protes. Mengulum senyum kecil dengan gerak sedikit menggigit ujung bibirnya, “Aku lanjutkan, ya?” tanya Kali bukan untuk memastikan. Untuk lebih menggoda Riga lebih tepatnya.
Terutama karena geraknya sudah sampai pada kancing kemeja terakhir. Hanya tinggal satu kali gerak, kemeja itu bisa Kali loloskan dan buang ke sembarang arah. “Tapi jangan di sini. Dingin, Riga.”
Riga masih menatap Kali tanpa putus. Nyata sekali gairah itu ada di mata wanita cantik berambut gelombang ini. Dengan pungung tangannya Riga memberi satu sentuh yang membuat Kali memejamkan mata. “Di kamar saya hangat. Kamu tau itu dengan pasti.”
“With my pleasure, Darl.” Kali tertawa penuh godaan.
Kali ini, Riga yang melayangkan cumbuan lebih dulu. Bukan sekadar tuntut lagi yang ia pinta tapi balas yang tak kalah menggebu harus ia dapatkan dari Kaliandra sekarang. Untuk perlakuan Kali malam ini, tak pelak Riga lakukan satu hal demi menghargai dirinya. Diloloskan satu tangannya ke dekat lutut dengan sedikit menunduk, dan Kali sudah berada dalam gendongannya. Ada kesiap kecil yang Riga dengar tapi segera berganti dengan kekehan dari wanita cantik itu.
Demi menuntaskan apa yang sudah mereka mulai, Riga berjalan dengan buru-buru. Membiarkan Kali membuka pintu dan menutupnya dengan segera. Sedikit kasar, Riga jatuhkan Kali di ranjang besarnya. Kali masih mempertahankan tawanya apalagi kemeja yang tadi sudah ia buka kancingnya, dilepas dengan sempurna oleh Riga. Menampilkan dadanya yang dipenuhi dengan bulu.
Tegap. Kekar. Seksi. Belum lagi terlihat begitu menantang di depan Kaliandra. Debar jantungnya sudah tak terhitung lagi. Membuatnya tanpa sadar, menggigit ujung bibirnya pelan. He is really damn hot!
Riga menunduk setelahnya. Menyapa kembali bibir Kali yang sudah sedikit berantakan karena perbuatan mereka tadi. Mengisap lembut tapi seiring detik berjalan, isapan itu penuh dengan hasr@t. Melumat satu per satu bagian yang terus saja menggoda untuk sekadar dijelajahi bagi Riga. Yang sebenarnya bagian tersebut sudah ia hapal di luar kepala mengingat Kali tak pernah segan ataupun malu melayangkan cumbuannya tiap kali sedang bersama. Pun ketika lidahnya mendobrak masuk. Kali menyambutnya dengan sorak sorai. Beradu satu sama lain, tak ingin kalah seolah saat ini Kaliandra yang harus menang.
“Ehm ... Riga,” desah Kali pelan. Napasnya terengah kemudian. Pagutan itu terlepas sejenak namun efeknya cukup membuat berantakan.
Jeda itu dipergunakan Riga dengan baik. Tangannya terampil sekali mempereteli gaun Kali yang hanya bertalikan tipis di bagian bahu. Bahkan tanpa perlu mengintip lebih jauh, d*da Kali sudah menyembul minta perhatian. Menyisakan tubuh berkulit putih itu dengan bra yang tak bisa membungkus sempurna payudaranya. Entah karena ukurannya yang sempit atau memang Kali sengaja, Riga tak ingin ambil pusing.
Kontras sekali warna yang dipilih; merah. Warna yang Riga suka.
Penegasan akan satu hal bagi sosok Kaliandra Sofyan di mata Riga; seksi dan menggoda.
Dadanya masih turun naik berusaha dinormalkan tapi apa daya, Riga selalu membuat wanita itu menggeram tertahan. Sentuh ujung jemarinya di seluruh area permukaan kulit mampu membuat Kali berulang kali mendesah. Bahkan sesekali ia memejam. Merasakan dengan amat rabaan yang Riga beri.
Saking tak tahan akan godaan jemari Riga, Kali bersiap untuk menangkap tangan itu. Ingin menggantinya dengan hal lain tapi Riga cegah.
“A-a.” Telunjuk Riga bergerak pelan tanda tak ingin diganggu. “Dilarang sentuh saya kecuali saya yang meminta.”
Kali cemberut.
Akan tetapi, tak sampai dua detik bra merah berenda nan seksi itu sudah terlepas karena ulah Riga. Belum cukup sampai di situ, bibir yang tadi membuat semua kinerja kepala Kali berantakan, makin jadi berbuat ulah. Satu demi satu dadanya mendapat kunjungan sentuh membara. Entah sudah berapa kali, wanita itu mendesah dan menyebut nama Riga.
Lenguhnya.
Desahnya.
Geramnya.
Semua yang Kali lakukan, menciptakan pergerakan dari Riga yang demikian konstan. Bukan untuk menghentikannya, tapi untuk memberitahukan kalau apa yang Riga perbuat atas tubuhnya, memang sudah selayaknya. Sesekali gigitan disertai isapan kencang sebagai balas desah Kali, Riga beri. Menimbulkan jejak merah yang tak mungkin hilang dalam semalam. Menatap hasil perbuatannya barusan, membuat sudut bibir Riga tertarik sedikit. Puas.
Saat netranya bermuara pada satu benda tipis berenda yang masih setia dikenakan Kali, Riga tampak berpikir. “Saya rusak atau kamu buka dengan senang hati?”
Ucapan Riga sontak membuat Kali tertawa. “Dirusak tapi diganti, kan?”
Tak butuh Riga jawab karena detik itu juga, dalam satu tarikan cukup kencang, kain itu terlepas. Terkoyak di kedua sisi dan segera Riga lempar ke sembarang arah.
“Kita lihat, apa kamu sudah siap?” Riga membasahi jari tengahnya dengan gerak pelan. Matanya lurus menatap Kali seperti mangsa yang tampak pasrah dalam kukungannya. Gerak Riga malah membuat nyeri makin hebat dirasa Kaliandra sekarang. Membasahi bibirnya demi menahan semua gejolak hasr*t yang sudah menggulung Kali tanpa ampun.
Riga mengusap ujung milik Kali pun masih dalam gerak yang teramat pelan. membuka lipatan di dalamnya dengan teramat pelan tanpa memutus tatapannya pada wanita yang sudah terengah padahal ia belum berbuat apa-apa. Membuat debar Kali makin jadi dan napasnya menjadi pendek-pendek.
Tujuan Riga sudah barang tentu, menggoda Kali. Dan tanpa aba-aba lebih dulu, jemarinya ia masukkan dalam satu kali sentak.
“RIGA!”
Pria itu justeru terkekeh. “Enjoy this game, Kal.”
Maka yang bisa Kali lakukan hanya memejam. Membiarkan jemari Riga mempermainkannya. Bukan hanya satu, melainkan dua, di dalam sana. Beradu sempurna. Menimbulkan suara desah juga geram yang mengalun mengisi ruang kamar Riga ini.
Dadanya membusung sesekali, matanya bergerak liar ke sana kemari merasakan sensasi yang sungguh menyiksanya kini. jemarinya mencengkeram sprey kuat-kuat karena rasa yang semakin membadai dalam dirinya, mulai membesar.
Tak ingin membuang waktu, Riga mendaratkan satu ciuman panjang dengan penuh nafs*. Dibalas tak kalah panas dari Kali sementara di dalam sana, jemari Riga masih bergerak. Mencari dan menjelajah hingga ia merasa sedikit dorongan Kali pada dadanya. Pun satu jerit dengan nada frustrasi dikeluarkan Kali.
Artinya ... wanita itu sudah terpuaskan. Bahkan hanya dengan jemarinya. Ah, Riga merasa tersanjung sekarang.
“Jangan menggigit bibir seperti itu, Kal.”
“Oh, kamu enggak suka?” Kali sedikit bangkit dari rebahnya. Berusaha dengan amat agar dirinya cepat menormalkan napasnya yang terengah. Permainan Riga seperti ini saja sudah menakjubkan, dan Kali merasa, itu baru pembukaan. Menumpukan diri pada kedua siku dan masih setia menatap Riga. Tangan pria itu sudah bersiap membuka gesper yang membelit celananya tapi dicegah dengan segera. “Aku saja.”
Riga menyerengai. “Untuk kali ini, saya persilakan.”
Senyum Kali puas sekali hari ini. Ah, tak sia-sia tadi dirinya merayu Riga di telepon. Entah kenapa felling-nya mengatakan, kalau Riga butuh penghiburan. Kali tak ingin buru-buru. Menikmati dengan caranya merayu. Membuat pria yang berlutut di antara kedua pahanya, tak melarikan perhatian kecuali pada dirinya.
Setelah kegiatan itu terlaksana, bukti jika Riga memang menginginkannya sudah nyata ada di depannya. Selama ini, tak pernah Kali rasakan bagaimana Riga yang sesungguhnya ada di dalamnya. Saling memberi dan menerima juga mencari kepuasan dalam tiap alun gerak mereka. Ingin sekali Kali merasakan hal itu, dan doanya mungkin akan terkabul kali ini.
Akan tetapi, impian hanya sebatas mimpi. Saat Riga kembali menindihnya, menatap lekat matanya, pun memberi satu sentuh pada pipi Kali—padahal milik Riga sudah sesekali bergesekan dengan celah di kedua paha Kali. Pria itu tertegun.
Berhenti.
Dan meninggalkan Kali begitu saja. Tanpa mengatakan apa-apa. Membiarkan Kali meneriaki namanya dengan lantang.
“RIGA BERENGSEK!”
PART. 13
Riga tahu dirinya keterlaluan. Sangat. Namun ia sama sekali tak bisa menyingkirkan bayang seorang Valerie Leah Dinandirja. Bagaimana wanita cantik yang menjadi tunangannya itu begitu memberi warna tersendiri dalam hidupnya.
Sentuhnya. Manjanya. Rengekannya.
Semua masih terekam sempurna dalam ingatan Riga. padahal sudah lima tahun berselang sejak berita kematiannya membuat dunia Riga runtuh seketika.
Di bawah guyuran shower di toiletnya, Riga menunduk kian dalam. Memaksa dirinya agar tak lagi merasa bersedih. Lima tahunnya ini ia gunakan untuk belajar lupa dan menerima namun, itu semua hanya kata. Valerie tak semudah itu terganti. Bahkan intervensi seorang Kaliandra Sofyan tak ada apa-apanya.
Dingin yang terus menghantam tubuh setengah telanjang Riga, tak dipedulikan sang pemilik tubuh. Menghukum dirinya seperti ini dirasa pantas lantaran mengabaikan Kali seperti tadi. Entah sudah berapa kali sentuhan itu tak pernah berujung pada satu pelampiasan.
Tak pernah.
Lelah menunduk dengan bertumpu pada tangan di dinding, Riga matikan kucuran shower. Berjalan tnapa peduli kalau tetesan air dari rambut serta tubuhnya membasahi lantai. Dinyalakan air pada bath up, menuang sedikit aroma terapi, dan memastikan suhunya seperti keinginannya, ia pun bergerak naik. Bersandar pada tepi bath up, ia memilih memejam.
Membiarkan air kembali menyentuh tubuhnya. Meresapi sekali lagi, dingin yang kembali menguasainya. Memejamkan mata. Menarik keping memori bersama seorang Vally yang tak lekang oleh waktu untuk Riga bisa lupakan.
“Ga, bagus enggak?” Vally memutar tubuhnya pelan. gaun berwarna putih dengan banyak renda serta taburan payut hampir seluruh permukaan bagiah depan, berkilauan tertempa cahaya dari butik.
“Bagus.” Senyum Riga terulas pun tangannya terulur merapikan rambut wanita yang ada di depannya ini.
“Kamu ganteng banget pakai setelan ini.” Tak pelak, pujian itu sembari diiring satu curi kecup pada rahang Riga. Terbiasa mendapat gerak spontan dari tunangannya, hanya membuat pria itu terkekeh. Yang ia lakukan justeru merengkuh agar wanitanya makin mendekat. Melayangkan satu kecup pada bibir berpemulas merah itu secepat kilat.
Jikalau ingin memperdalam cium tadi, Riga yakin, satu jam dari sekarang masih sempat sekarang menuntaskan hal yang sudah menguasai pikiran Riga. Membuat Vally meneriakkan namanya tanpa jeda. Sebelum gadis itu benar-benar bersiap ke Bandung. Acara perjamuan kali ini, Vally tidak bisa untuk tak datang. Bersama kedua orang tuanya sekaligus mengukuhkan diri, kalau Vally mulai menunjukkan diri sebagai calon pengganti dari ayahnya. Dalam Djena grup.
“Dasar maniak bibir.”
“Siapa yang tahan untuk enggak tergoda sama kamu, Val?”
Vally menggeleng pelan. Ponselnya berdering meminta perhatian. “Ah, Xena.” Gegas ia menempelkan benda pipih itu di dekat telingatnya. “Aku angkat sebentar, ya.”
Riga mengangguk memberi persetujuan. Ia jelas tau siapa yang menjadi pengalih perhatian Vally; Xena. Adik bungsunya. Gadis itu jarang Riga temui mungkin karena banyak kegiatan sekolah dan Riga rasa memang permbawaannya yang tak terlalu ingin kenal orang baru. Riga tak terlalu peduli.
Yang ia tau, detik itu juga, pembicaraan dua kakak beradik itu berlangsung seru. Namun Riga pandai membaca situasi. Jaraknya masih dalam jangkauan Vally. Satu dua kecup Ria daratkan pada leher Vally yang jenjang dan terekspos sempurna ini. Siapa yang tahan dipertontonkan hal seperti ini walau sering Riga melihatnya langsung. Di atasnya. Tanpa apa-apa.
“Xena itu lucu banget, ya. Aku sayang banget sama dia, Ga.”
“I know.” Riga menyingkirkan kembali rambut Vally yang mengganggu kegiatannya. Membuat diam-diam gadis itu memejam merasakan gesekan penuh godaan yang rahang Riga beri di ceruk lehernya. Bulu-bulu halus yang pria itu miliki, adalah kesenangan tersendiri bagi Vally saat menyentuh semua area permukaan kulitnya.
“Ga, jangan begini.” Tapi tidak, tidak di sini ia menikmati sentuh Riga yang bisa membuainya tanpa ragu.
“Kenapa memangnya?” Riga bicara dengan kekeh kecil di bibir. “Ini butik kenalan ibu kamu, kan? Pasti pemiliknya paham, kita lagi kasmaran.”
“Aldrich!”
Kalau Vally sudah memanggilnya dengan nama depan, artinya kegiatan Riga harus segera ia hentikan. Kalau tak mau mengambil risiko buruk, Vally yang mendiamkannya.
“Foto, yuk.”
Kening pria itu berkerut padahal geraknya membuka blazer yang akan ia kenakan di saat pesta pernikahannya nanti, sudah mulai terlepas.
“Untuk kenangan terakhir, Ga.” Vally tersenyum. Manis sekali. Seraya kedua mata seelok boneka itu mengedip manja. Tak ada yang bisa Riga lakukan selain menuruti.
Beberapa pose sudah tersimpan dan segera dikirim langsung pada ponsel Riga. Katanya sebagai cadangan kalau-kalau dalam ponsel Vally, hilang atau terhapus tanpa sengaja.
Setelah memastikan gaun itu tak ada kekurangan, juga beberapa tambahan detail di beberapa titik, mereka bersiap pulang. Menikmati sedan yang melaju membelah jalan Jakarta dengan kecepatan sedang. Sesekali Riga mendengar vally bersenandung pelan mengikuti irama musik yang terputar di audio mobil. Sesekali Riga melihat kedamaiannya pada wajah Vally.
Sumber bahagianya.
“Oiya, Ga. Janji satu hal sama aku bisa enggak?”
Lagi-lagi kening Riga dibuat berkerut dalam. “Janji apa?”
“Janji jangan selingkuh dari aku.”
Kontan saja Riga tergelak. Bisa-bisanya Vally berkata seperti itu setelah mereka menjalankan hubungan ke arah serius dalam kurun waktu tiga bulan lagi? Yang benar saja.
“Aku serius.”
“Aku pun serius, Val. Enggak akan. Janji.”
Vally kembali tersenyum kecil. “Dan bisa janji satu hal lagi?” Sebelum Riga melayangkan protes, Vally buru-buru melanjutkan kata-katanya. “Tolong jaga Xena. Perlakukan dia selayaknya orang yang paling penting buat hidup kamu juga, Ga.”
Beruntung Riga masih punya fokus walau tak banyak. Tapi tetap saja, ia menginjak rem mendadak walau tak menimbulkan efek yang bisa membuat mereka celaka. “Maksud kamu apa, Val?” tanya Riga penuh tuntut.
Vally malah tersenyum sembari menyentuh lengang Riga. Mengabaikan betapa wajah pria yang ia cintai ini sudah berubah kaku. Matanya menyoroti Vally tanpa ampun namun gadis itu tak terpengaruh barang sedetik. “Bisa, kan?”
“Val, jangan aneh-aneh.”
“Enggak aneh. Permintaan aku sulit banget?”
Demi apa pun yang Riga punya. Mendapati tatapan Vally yang tadinya berani mulai sendu lantaran Riga sepertinya enggan mengabulkan apa keinginannya itu, Riga akhirnya kalah. Menyerah dengan telak karena satu hal yang past, cintanya pada Vally besar. Menuruti apa pinta gadis itu adalah keharusan. “Oke. Aku janji.”
Riga tak pernah persiapkan diri, kalau janji itu sudah terlanjur terucap. Sudah terlanjur ia tancap dalam benak Vally. Yang mana gadis itu tersenyum penuh lega; senyum pelepasan. Karena selang beberapa puluh jam kemudian, kecelakaan itu terjadi.
Merenggut asa yang Riga punya.
Meninggalkan dua orang yang tak saling terkait untuk terikat hingga detik ini.
“Kak Riga, Xena bagus enggak pakai baju ini?” tanyanya sembari memutar pelan dirinya. Dress selutut yang mempertontonkan kakinya yang jenjang, putih, dan mulus tanpa cac@t sudah membuat Riga membeliak tak percaya.
“Enggak. Itu bagus tapi saya enggak suka kamu pakai di depan umum.”
Gadis itu merengut manja. “Aku pakai untuk datang ke pesta teman. Sore, kok, acaranya. Masa enggak boleh, Kak?”
Riga menggeleng tegas. “Kalau sekali saya bilang enggak, artinya enggak. Banyak jeans dan kaus oblong kamu, kan? pakai itu saja.”
“Ih ... masa ke pesta ulang tahun teman pakai begituan, Kak.” Xena mendekat dan segera menggamit lengan Riga. Mengerjap manja ke arahnya agar bisa dikabulkan keinginannya hari ini. Matanya mendongak, menatap lurus tanpa putus pada Riga yang sesekali mengalihkan tatapannya.
“Kak,” rengeknya sekali lagi.
“Apa, Xena?” Riga menyerah. Terutama karena kedekatan mereka benar-benar dikikis jaraknya. “Itu bagus, Xena. Tapi saya enggak suka.”
Bibir berpemulas soft pink itu makin mengerucut.
“Jangan begitu, Xena.”
“Begitu kenapa? Xena lagi kesal. Aku cuma minta itu saja.”
Yang Riga hanya lakukan, mengacak puncak kepala Xena yang sudah rapi disemat jepit dengan hias mutiaran cantik di sana. membuat makin merengut bibirnya tanpa bisa dikendalikan. Sejak peringatan keras dari Ronald, Riga sungguh mengkaji ulang apa yang ada di kepalanya. Termasuk rasa manis dari bibir Xena.
Ia sungguh seperti orang yang berengsek! Namun sungguh, keberadaan Xena sedikit banyak mengobati kerinduannya. Tapi ia patri kuat, Xena itu terlarang. Sangat amat terlarang hingga rasanya berdekatan dengannya saja, Riga sudah seperti pendosa.
Bagaimana bisa di dekat Xena saja, gelanyar aneh menguasainya dengan penuh? Hanya mengingat bagaimana cium lembut itu berlangsung saja, Riga sudah sakit kepala.
Riga membuka mata. Merasakan kalau dari sudut matanya, ada cairan bening yang menetes tanpa ia sadari. Ada sebagian dirinya merindu Vally, juga sebagian lagi memikirkan Xena. Dan ... sungguh, saat ia termangu menatap tubuh tanpa satu helai benang pun pada Kali, wajah Xena yang tersenyum membayanginya.
Ia menggeleng pelan. Mengentaskan pemikiran mengenai Xena yang kini ada di pelupuknya. Lantas ia teringat pada Kali. Buru-buru disambarnya handuk untuk menyelubungi dirinya. Saat ia membuka pintu kamar mandi, wanita cantik itu sudah terlelap. Menutup tubuhnya dengan selimut yang ada.
Pelan, Riga mendekat. Memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau Kali benar-benar tertidur. Deru napasnya teratur. Ada satu hal yang sedikit mengusiknya. Ada sembab yang nyata hadir di sudut mata Kali. Pertanda wanita itu menangis. lagi.
“Maaf, Kal. Saya memang enggak bisa.”
Riga mengambil dengan cepat pakaiannya dan segera keluar kamar. Menikmati kembali udara malam yang semakin dingin di dekat balkon. Sama seperti malam-malam sebelumnya, di mana dirinya tak bisa segera memejamkan mata.
Akan tetapi sebelum ia benar-benar melakukan aktifitasnya di balkon, ia mengarah pada kamar Xena. Di ambang pintu kamarnya, ia menatap penuh rindu pada gadis yang makin membuat warasnya terenggut ini. ia menghindar. Bersikap dingin. Arogansinya timbul untuk membentang jarak hanya untuk agar Xena mandiri dan bisa menghadapi dunia yang seharusnya gadis itu larut di dalamnya.
Tak mungkin ia kembali akrab seperti dulu. Ia tau batas dan janjinya menjaga. Bukan memiliki rasa yang masih terasa aneh untuknya. Mungkin ... karena Xena terlalu mirip dengan Vally. Makanya hati dan pikirannya semakin terdistraksi. Ini membuktikan kalau Vally selalu ada di hatinya.
Selalu di hatinya.
Itu yang ia yakini sekarang.
Riga menghela napas pelan, “Kapan semua ini berakhir?”
***
Xena bangun dengan senyum semringah yang tak bisa ia tutupi sama sekali. Dilirik, tangannya tak terlalu memerah seperti sebelumnya. Air panas kemarin pun tak terlalu meninggalkan bekas. Mungkin sebenarnya hanya sedikit namun, Xena terlalu histeris. Membuat Riga tak ayal ikut panik.
Bicara mengenai Riga, Xena memiliki satu ide yang mendadak muncul. Tenang, ini tak membahayakan dirinya. Semalam, ia sudah sangat dilarang mendekati area dapur kecuali kulkas dan tentu saja rak penyimpanan makanan. Siapa lagi yang melarang selain Riga?
Kalau hanya sebatas roti lapis selai strawberry, Xena bisa lakukan. Setidaknya ada sesuatu yang bisa ia perbuat untuk menyiapkan sarapan bagi Riga. Buru-buru ia keluar kamar berharap idenya ini bisa membuat Riga senang. Tapi ... rencana tinggal rencana.
Di meja makan, sudah ada Kaliandra yang terlihat lihai menyiapkan sarapan untuk Riga. Walau tak ada kata terucap dari bibir pria yang sudah mengenakan setelan rapi, tetap saja Riga tak menolak apa yang Kali siapkan. Berbeda jauh dengan Xena yang tak bisa apa-apa. Sekadar masakan dengan menu simple saja, ia harus turun ke kantin karena tak bisa dan bermusuhan dengan dapur. Atau menunggu Bi Sumi membuatkan makan.
“Eh, Xena sudah bangun. Sarapan bersama,” kata Kali dengan seringai liciknya. Sengaja ia menggunakan suara yang penuh lembut sekadar agar Riga tak melulu bersikap antipati karena Kali, sama sekali tak menyukai gadis itu.
“Ah, enggak Tante Kal. Selamat sarapan bersama.” Ada perasaan sedih yang tiba-tiba mendera lantaran Xena tak bisa berbuat apa-apa. Riga memang menjalin hubungan sejak dua tahun lalu dengan Kali. Yang selalu seliweran seenak jidat kalau Riga ada di Jakarta. Entah kalau pria kaku itu berada di luar kota. Mungkin juga disusul oleh wanita rubah itu.
Xena memilih masuk kembali ke kamar dan duduk di tepi ranjang. Menghela napas pelan dan mulai memikirkan aktifitas paginya yang mendadak kacau. Ah bukan. Kegiatannya tak ada yang berubah; mandi, sarapan, siap-siap kuliah, menunggu jam antar kelas dengan duduk nyaman di perpustakaan, dan pulang kembali tepat waktu. kecuali ... Jess mengajaknya keliling mall. Itu pun harus izin dua hari sebelumnya dengan Riga.
Atau duduk di sudut kesukaannya sejak pertama kali, Xena mampir ke kafe milik Jess. Makan pasta siram keju kesukaannya.
Lengkap, kan?
Menarik napas panjang, Xena akhirnya melangkah ke kamar mandi. Berendam sejenak mungkin bisa mengalihkan pikirannya yang terasa nelangsa ini. Baru saja niat itu akan dilakukan, pintu kamarnya sudah diketuk. Membuat keningnya berkerut.
“Xena.”
Gadis itu memejamkan mata sejenak. Mengisi paru-parunya dengan banyak udara. Suara Riga. Yang ia yakini pasti akan memberondong banyak tanya padanya. Terutama masalah sarapan. Xena mana mau satu meja dengan Rubah berekor sembilan itu? Tak akan pernah sudi. Terutama saat ia mengingat, bagaimana gencarnya Kali mengejar Riga.
Sungguh tak tau malu dan memuakkan. Tapi Xena mana bisa melarang? Siapa Xena? Hanya adik mantan tunangan Riga. Yang secara sengaja dititipkan pada pria dingin itu.
“Ya?” Berusaha sekali Xena menyambut dengan senyum. “Kenapa, Om?”
“Bisa panggil saya dengan panggilan yang benar?”
Xena hanya terkekeh kecil. “Sudah terbiasa sekarang.”
Pria itu membalas perkataan xena dengan cibiran sinis. “Kamu enggak lapar? Tangan kamu gimana?” Riga berusaha sekali untuk tidak menggunakan kembali nada tingginya. Biasanya, bicara dengan gadis ini selalu dengan nada lembut juga dengan balasan manja.
Entah siapa yang memulai, kalau kebiasaan lamanya dulu, luntur perlahan. Berganti dingin, kaku, serta makin memberi jarak terbentang di antara mereka
Xena mengerjap pelan. “Ah, tangan ya. Sudah enggak apa-apa.” Segera ia sembunyikan tangan yang kemarin mendapat perawatan pria yang menjulang di depannya ini.
Riga menekan gerak Xena dengan melangkah maju dengan mantap. Membuat gadis itu membeliak terkejut dan beringsut mundur. “Om, Xena mau mandi.”
“Tangan kamu.”
“Enggak apa-apa. Sudah lebih baik.”
Riga tak semudah itu percaya. “Lihat.”
Xena menantang mata yang menatapnya demikian tajam itu dengan berani. Tak peduli kalau nantinya ia dimarahi, asal untuk urusan kali ini dirinya bisa bebas, akan Xena lakukan. Menutupinya dengan banyak alasan yang tak perlu pun, akan Xena lakukan.
“Lihat.” Sekali lagi Riga berkata penuh tekanan.
Decih kesal keluar dari bibir Xena. Terpaksa ia ulurkan tangan yang kemarin sempat memerah itu. Matanya mengikuti gerak Riga yang meneliti tanpa jeda itu.
“Lain kali hati-hati.”
“Hem.” Xena merotasi pelan matanya.
“Sekarang sarapan.”
Kesiap jelas meluncur dari bibir Xena. Terutama saat Riga dengan setengah memaksa menariknya keluar kamar. Saat Xena sudah di meja makan, matanya segera berkeliling. Mencari sosok Kali yang ternyata tidak ada di sana.
“Tante Kal mana?” Xena sedikit mundur karena Riga menarik salah satu kursi untuknya. Menatap pria itu sekilas untuk kembali melayangkan tanya tapi Xena urungkan. Ia memilih duduk dengan perasaan janggal karena tak menemui Kali di sana.
Tadi ... ia tak bermimpi, kan?
“Pulang.” Riga tak berminat sebenarnya menghadapi pertanyaan ini. Tapi gadis di depannya tak akan pernah bungkam melontar banyak kata kalau ia tak segera menjawab penasarannya. “Saya suruh.”
Xena masih belum mengerti. “Kenapa?”
Netra Riga tepat bertemu dengan mata Xena yang memang tak dialihkan ke mana-mana. Mata yang serupa dengan milik Valerie hanya saja, Xena lebih terang dibanding milik kakaknya itu. Netra yang sering Riga agungkan untuk meletakkan sebagian hatinya agak menemukan tempat kembali. Yang ternyata harus direnggut darinya. Menyisakan satu lubang yang tak gampang untuk ditutup.
Mungkin ... pemilik manik mata terang ini pun memiliki perasaan yang sama. Riga yakin itu walau Xena tak pernah banyak bicara lagi mengenai keluarganya.
Netra yang sempat membuatnya tersesat dan untung ia segera menyadari.
“Saya tak ingin ada gangguan.”
***
“Senyum-senyum terus lo! Bahagia banget.” Jess terang saja curiga. Sejak awal kemunculan Xena di kafenya, senyum yang ada di bibir tipis berbalut lipstik peach itu tak pernah hilang.
“Iya dong.” Xena hanya menjawab dengan seringai usil. Apa yang tadi terlintas di benaknya perkara sarapan bersama Riga, bisa ia wujudkan.
Tak ada penolakan sama sekali. Justeru Riga terlihat antusias dan menunggu. Makan bersama sembari sesekali menyoroti hal yang sekiranya perlu. Sudah lama Xena tak duduk bersama seperti ini. Yang Xena ingat, Riga sering terburu-buru bekerja. Seolah waktu dua puluh empat jam tak pernah cukup sekadar untuk menyelesaikan banyak urusan.
Juga saat kembali dari kantor. Sering Xena menandai kepulangan Riga selalu mendekati angka sebelas malam. Itu saat Riga masih mengurus yang ada di Jakarta. Tepat tiga tahun setelah peringatan meninggalnya Hanif Dinandirdja, Riga bukannya makin santai. Tapi malah semakin sibuk dan mulai berubah.
Mulai menekan Xena dari segala arah. Membuatnya kebingungan dan makin merasa sendiri terutama menjadi beban bagi pria itu.
Dan untuk pagi yang berbeda ini, Xena benar-benar berharap, ada sedikit saja yang bisa ia lakukan untuk membuat senang hati Riga. Karena ucapan terima kasih saja ia rasa tak pernah cukup. Riga Angkasa, bukan siapa-siapa baginya. Mau mengorbankan banyak waktu untuk mengurus peninggalan ayahnya. Dengan baik. Memberi kenyamanan pada Xena yang sangat ia syukuri karena tau, sisa keluarganya baik dari pihak ibu maupun ayahnya, tak akan pernah segan menendangnya keluar. Jika uang Dinandirdja sudah habis mereka makan.
Juga melindunginya dengan amat.
Sungguh, jika boleh Xena meminta ia ingin kedekatan yang pernah terjalin bersama Riga tiga tahun lalu, berlangsung kembali. Setidaknya, ada hal yang Riga beritahu mengenai banyak keberatannya mengenai pekerjaan. Entah dirinya bisa bantu atau tidak nantinya, setidaknya, ada sedikit saja yang bisa Xena lakukan.
Jess hanya menggeleng dengan tingkah Xena kali ini. Sebagian hatinya bersyukur, ada senyum yang bisa gadis itu keluarkan. Tak melulu murung atau tanpa ekspresi seperti biasanya. Langkahnya pun ikut ringan memasuki pelataran parkir kampus dan kini menuju ruang kelasnya.
“Na,” panggil Jess sembari menahan bahu Xena. Gadis yang tadinya tak memperhatikan sekitar, akhirnya menoleh pada sahabatnya.
“Kenapa?” Pertanyaan itu pun seiring dengan pandangan matanya yang tertuju pada satu titik. Titik di mana Jess memaku matanya. Pada sosok cantik jelita yang berdiri di samping mobil merah terangnya itu.
“Dia bukannnya ... Kaliandra?”
PART. 14
Xena memilih memainkan ujung sedotannya. Menyesap pelan kadang tak sampai menyentuh ujung lidahnya. Matanya sesekali memperhatikan bagaimana wanita cantik di depannya ini tak bersuara sama sekali. Sejak bertemu hingga mereka berdua duduk di kafe yang tak jauh dari area kampus; Amore’ Kafe. Milik Jess.
Sengaja Xena memilih di sini, antisipasi kalau-kalau Kali berbuat seenaknya. Walau usianya terpaut cukup jauh dan bisa dikatakan, wanita yang berprofesi sebagai model terkenal ini seusia dengan sang kakak, tetap saja Xena tak memercayainya.
Sejak pertemuan pertamanya dengan Kali beberapa tahun lalu, wanita itu bersikap baik dan lembut. Namun seiring waktu terutama sejak ia mengetahui siapa Xena, sorot tak suka serta permusuhan kentara sekali dikibarkan Kaliandra Sofyan padanya.
“Kamu tau kenapa saya ajak bertemu?”
Sudah Xena duga. Bicara di depan Riga, suaranya mendayu penuh rayu. Juga terhadapnya yang manis seperti madu. Nyatanya? Hanya berdua di depan Xena seperti ini, rubah berekor sembilan ini menampilkan wujud aslinya. Cantik tapi dibalut dengan amarah dan rasa dengki. Entah karena apa.
“Enggak, Tante.” Xena menjawab dengan penuh kalem. Matanya tepat menatap Kali yang selalu berganti-ganti warna manik mata. Tak gentar sedikit pun. “Memang ada apa? Xena penasaran juga, sih.”
“Kamu pengganggu!” desis Kali tanpa menyembunyikan ketidaksukaannya. Sungguh. Jika ada satu makhluk yang ingin sekali disingkirkan, itu adalah sosok seorang Roxeanne Arizona.
“Maksudnya?”
“Enggak usah sok suci kamu! Saya tau, kamu selalu merebut Riga. Kamu siapa, sih? Bukan siapa-siapa buat Riga. Asal kamu tau ... kamu itu beban buat Riga!”
Xena beberapa kali mendengar Riga bicara seperti itu padanya. Hanya padanya. Dalam kondisi berdua tanpa ada orang lain. Xena masih mencoba menguatkan hatinya. Tak menyuarakan apa-apa karena merasa apa yang Riga bilang, benar adanya. Tak membantah sedikit pun juga membela diri, Xena tau diri. Sangat tau diri.
Akan tetapi, mendengar orang lain mengatakan hal seperti itu untuknya, sontak membuat hatinya sesak. Matanya berkaca-kaca tanpa disadari. Mungkin dalam sekali kedip, air mata yang Xena perjuangkan agar tidak jatuh, pasti akan luruh.
“Maaf.”
Tadinya, Xena ingin balas memaki dan menyudutkan Kaliandra.
Tadinya, Xena ingin sekali bicara dengan nada super tinggi kalau wanita itu lah sang penganggu.
Tadinya juga, Xena tak mau dibuat kalah seperti ini.
Namun ... gadis berambut panjang itu hanya mampu mengeluarkan satu kata dengan sangat pelan. Mungkin saja, apa yang Kali bilang benar adanya. Bahkan orang lain saja menganggap dirinya hanya beban. Walau Xena tak pernah meminta seujung kuku pun bantuan Kaliandra selama ia mengenalnya.
“Xena sudah waktunya kelas. Permisi.” Gegas, ia melangkah meninggalkan Kali yang sepertinya puas atas jawaban yang diberikan. Agak buru-buru melangkah tanpa peduli semisal ada pel@nggan lain yang akan kena tubruk. Sedikit kasar menarik pintu keluar kafe dan ... ia menarik napas panjang. diusapnya pipi yang sudah basah air mata.
Menepuknya pelan dan melangkah cepat karena waktu tak pernah melambat. Sekuat apa pun ia sembunyikan sesak yang tadi mendera, tetap saja ia hanya gadis biasa. Jalannya beriringan dengan tetes air mata yang terus saja jatuh tanpa aba-aba. Seolah ini satu-satunya cara melepas sedikit beban yang menghantamnya tadi.
“Asal kamu tau ... kamu itu beban buat Riga!”
Serangkaian kata itu demikian bercokol dalam seluruh syarafnya. Menggelontorkan segenap rasa sakit yang tak mau pergi barang sedikit. Kalau saja ia boleh memilih, pasti dirinya akan mengajukan menjadi orang pertama yang ikut dalam perjalanan bisnis kedua orang tuanya. Mengabaikan ujian matematika yang ia gemari di sekolah. Dan berakhir tewas di tempat seperti keluarganya.
“Xena.” Jess sama sekali tak tenang membiarkan Xena berdua dengan Kaliandra. Walau sepenggal kisah mereka Xena bagi, Jess yakin seribu persen niatan wanita itu tak pernah ada baiknya. Sorot matanya penuh benci pada Xena. Pun caranya bicara.
Tadinya Jess memaksa ikut tapi Kali mencegahnya. Juga Xena yang berkata dengan entengnya kalau menemani kekasih om-nya itu sekadar sarapan. Tetapi saat melihat dari kejauhan Xena berjalan setengah berlari dengan pandangan yang terunduk, Jess yakin, sahabatnya itu menangis.
“Xena,” panggil Jess lagi dan kini ia hampiri. Dirangkulnya tubuh kecil yang rapuh itu mendekat. “Lo diapain?”
Gadis itu menggeleng pelan.
“Kita ngemall aja, yuk.”
Dalam sepersekian detik, Xena mengangkat matanya yang basah untuk mengonfirmasi kebenaran ucapan Jess kali ini. Siapa tau, bicara dengan Kaliandra membuat gendang telinganya mendadak malfungsi.
“Ngemall. Refeshing. Lagian jam kuliah sudah mulai lima menit lalu. Ketimbang dihukum bikin essai.”
“Tapi ...” Xena ingin membantah tapi Jess lebih dulu menarik tangannya.
“Jangan banyak berpikir. Nanti kepala lo botak. Yang botak cukup Pak Jumhari aja.”
Mirip orang linglung, Xena mengikuti Jess melangkah. Tak butuh waktu lama bagi sahabatnya itu menyetop taksi yang wara-wiri di depan kampus mereka. Sedikit merasakan didorong karena ia tak kunjung masuk padahal sudah dibuka pintu tersebut.
“Macet, Na, di belakang. Buruan!”
Tak ada yang bisa Xena lakukan kecuali mengikutinya. Sepanjang jalan, hanya terdengar audio dari mobil yang terputar. Si supir hanya bertanya sekali mengenai tujuan dan kembali hening. Jess berinisiatif mengeluarkan tisu dari dalam tasnya.
“Hapus air mata lo.”
“Thanks, Jess.”
Ekor mata Jess memperhatikan bagaimana Xena menyeka air matanya yang memang sudah berhenti. Lalu gadis itu mulai merapikan make up-nya. Memulas kembali bibir tipisnya dengan pemulas yang tidak terlalu kentara. Merapikan surai rambutnya agar kembali tertata.
“Kenapa lo enggak lawan?” tanya Jess mendadak.
Gerak Xena menyisir rambutnya terhenti. Matanya menatap ke arah depan namun tak menemukan fokus di sana. Kepalanya justeru membayangkan kemenangan di wajah Kali yang seharusnya tak pernah ada.
“Gue enggak tau. Kata-kata Tante Rubah benar-benar bikin gue mati kutu,” kata Xena demikian pelan.
“Xena, listen. Lo punya gue. Lo bisa ceritain semua yang bikin lo galau. Jangan sendirian berpikir, Na. Belum tentu hati lo kuat.” Jess menggenggam tangan Xena yang masih memegangi sisir. Tulus sekali ia berkata seperti itu. Karena Jess yakin sekali, bukan hal yang mudah untuk berdiri seperti Xena entah apa masalah yang menderanya.
Xena terlalu penuh teka teki bagi Jess.
Mendapat perlakuan seperti itu membuat Xena mengerjap berulang kali. Mendadak hatinya diliputi perasaan menghangat yang sudah lama sekali tak pernah singgah. Xena bukan orang yang pandai bicara dan bergaul. Temannya hanya Valerie. Dan teman sebangkunya saat SMA, Tika Parasayu. Namun sejak lulus SMA, komunikasi mereka terputus begitu saja dan Xena tetap lah Xena. Yang tak ingin mencari tau kabar temannya, apalagi sejak ia mengetahui kalau Tika terlihat bahagia dengan hidupnya di Surabaya.
Ia takut, kehadirannya akan membuat Tika sungkan.
“Makasih, Jess.” Seulas senyum Xena beri. “Jadi ... kita mau ngapain di mall?”
Jess memekik girang. “Happy-happy pokoknya. Tapi janji, lo harus cerita sama gue tadi ngapain aja sama Rubah.”
Xena tak menjawab tapi memilih lebur dalam tawa yang Jess lakukan. Mengabaikan kerut tanya yang si supir lakukan sembari melihat spion tengah. Mungkin ia berpikir, dua gadis ini adalah gadis aneh yang ditemui hari ini.
****
Mereka benar-benar menghabiskan sisa waktu dengan berkeliling mall hingga lelah. Xena mengabaikan ponselnya yang sengaja dalam mode silent. Sesaknya harus ia lepas sebelum nantinya ia kembali ke apartement. Bersiap juga merangkai jutaan alasan kenapa dirinya tak mengangkat, memberi kabar, atau malah tidak ada di kelas ekonomi mikronya.
Hal yang pertama Xena inginkan, menonton di bioskop. Membuat terperangah Jess lantaran film pilihannya.
“Enggak ada pilihan lain?” Jess meringis. Heran sekali dengan apa yang baru saja Xena tunjuk. Tapi sumpah demi apa pun, binar mata hitam nan elok itu demikian gembira. Membuat Jess berpikir ulang untuk menolaknya.
“Banyak, sih. Tapi enggak apa, kan, kalau filmnya ini?” tanya Xena dengan tatapan memohon. “Tapi kalau lo enggak mau, kita pil—“
“Oke. Oke. Enggak apa, kok. Gue enggak masalah.” Jess menggenggam tangan Xena dan beranjak ke loket. Membeli dua tiket Disney Frozen 2 yang sedang digandrungi anak-anak.
“Thanks, Jess.”
Di sela film yang terputar, walau samar, Jess masih bisa mendengar Xena berkata, “Harusnya, saat itu gue dan Kak Val nonton film bersama. Dia janji, ngajak gue nonton film disney. Dia cinta banget sama princess, siapa pun itu tokohnya. Menghabiskan weekend berdua seperti yang sering kami lakukan dulu. Sayangnya, dia tewas bersama Papa dan Mommy.”
Jess tak tahu harus merespon apa setelahnya. Xena tak pernah menceritakan bagian ini sepanjang mengenalnya.
Xena menoleh sekilas dan menatap Jess yang juga mengarahkan mata padanya. “Thanks sekali lagi sudah mau temani gue. Gue anggap, gue lagi quality time sama kakak perempuan gue satu-satunya itu.”
Tanpa sadar, bibir Xena melengkung sedikit. “Jarang banget saat-saat seperti ini datang di hidup gue.”
“Kalau terlalu berat masalah lo, cerita Xena. Cerita.” Jess mengusap bahu sahabatnya itu pelan. Sejak kali pertama perkenalannya dengan Xena, ia sudah meyakinkan dalam hati, kalau gadis ini akan menjadi kawan karibnya.
Gadis berambut hitam itu memilih menggeleng. “Masalah gue enggak berat. Hanya saja tanggung jawab gue yang kayaknya enggak sanggup buat gue pikul. Dan gue enggak bisa berbuat banyak.”
Kening Jess berkerut.
“Belum waktunya lo tau, Jess. Nanti pasti gue cerita.”
Jess rasanya ingin mengguncang kepala Xena dan mengeluarkan isinya. Membaca satu per satu masalah yang sedang mendera sahabatnya itu. Sebagai orang yang dekat dengan Xena, mengetahui banyak yang seolah dirahasiakan seperti ini, membuat Jess geram sendiri.
Ada apa sebenarnya?
Karena Xena terlihat tak ingin lagi bersuara, Jess memilih mengalah. Kembali menikmati film yang rasanya kurang seru dari pada mendesak Xena bicara. Hingga ruangan yang banyak pengunjungnya ini mulai menyala kembali lampunya, Jess tak terlalu menikmati. Saat melirik sekilas, Xena terlihat tersenyum dengan mata yang tak teralih ke mana-mana selain pada layar.
“Kalau Kak Val ada, gue yakin banget dia bakalan jadi fans Elsa.”
Jess mau tertawa tapi ditahan. Mendengar suara Xena justeru menggelitiknya. Sendu sekali Jess rasakan nada suara itu menyapa telinganya. “Memang saat Kak Val enggak ada, usianya berapa?”
“Dua puluh lima tahun,” jawab Xena kalem. Memejam sejenak meresapi, betapa mungkin hari yang harusnya ia lewati bersama Valerie adalah hal menyenangkan. “Dia bilang, princess disney itu patut dicontoh semangatnya. Pantang menyerah dan selalu percaya, akan ada hari indah suatu saat nanti.”
“Dan lo percaya?” tukas Jess buru-buru.
Xena hanya menjawab dengan mengedikkan bahu. “Kayaknya ujung bahagia gue kalau bisa membawa beban yang ada di pundak ini, maju.”
“Lo bicarain apa, sih, Xena? Gue enggak paham”
Mendapat pertanyaan dari Jess yang menjurus pada terbukanya identitas Xena, gadis itu memilih bungkam. Menggeleng pelan dan menarik sahabatnya itu untuk segera keluar ruangan. “Gue kebelet pipis.” Xena berkilah dengan cepat agar tak menimbulkan pertanyaan lain.
Meninggalkan Jess yang mencebik karena kelakuan Xena yang selalu seperti itu; menghindar. Melangkah mengikuti gerak Xena yang sudah lebih dulu berada di ujung lorong.
Kedua gadis itu akhirnya memutuskan untuk mengunjungi food court. Sebelum kembali memulai petualangan berkeliling mall sekadar melepas penat terutama bagi Xena. Namun, baru saja kakinya keluar dari area bioskop, sosok yang sedang Xena hindari berdiri di sana.
Bersandar santai tapi sorot matanya tajam mengarah pada Xena. Mungkin salah gerak sedikit, Xena bisa terbunuh karena tatapannya itu. Lebih dari sekadar dingin dan kentara sekali aura kemarahan di sana. Membuat Xena menelan ludah perlahan. Menyembunyikan dengan amat, laju jantungnya yang sudah tak keruan dibuat.
“Puas main-mainnya?” tanya sosok itu yang bergerak mengarah pada Xena yang sudah membeku di tempat. Gadis itu makin ciut rasanya tapi saat ia melirik, ada Jess di sana. Yang tak mungkin harus terkena dampak kemarahan Riga.
“Sudah.” Xena membenahi tas ranselnya. “Jess, lo pulang sendiri, ya. Om gue jemput.”
Jess mengerjap berulang kali. Antara tak percaya juga bingung. Baru kali ini ia melihat dengan jelas, sosok Om alias wali Xena yang sesungguhnya. Mengenakan setelan rapi dengan tubuh tegap juga aura yang kental sekali akan dom!nasi, Jess sendiri akan lari ketakutan kalau berhadapan dengan pria ini.
Mendadak ia khawatir dengan Xena. “Lo yakin?” tanyanya perlahan.
Xena malah tersenyum walau pun sukar. “Tenang aja.”
“Vin, antar teman Xena pulang.” Riga langsung melirik pada pria yang selalu tak jauh dari jangkauannya. “Dan kamu,” Riga makin mendekat pada Xena. “Urusan kita belum selesai.”
PART. 15
Xena sama sekali tak membuka suaranya. Ia hanya mengimitasi dengan langkah besar-besar karena detik ketika Jess mengekori Vino, maka dengan segera tangan besar Riga Angkasa menariknya. Agak kasar dan penuh tekanan yang Xena rasakan di pergelangan tangannya tapi ia enggan mengeluh. Semua rasa yang bercokol di hatinya, ia simpan. Membiarkannya tertumpuk tanpa ingin tau kapan dimuntahkan.
Tak pernah sepanjang ia mengenai pria yang sebenarnya tampan di mata Xena ini, bertingkah kasar padanya. Mungkin ... sebatas kata tapi kalau perbuatan? Baru kali ini Xena merasakannya. Sedih rasanya mendapati perlakuan seperti ini pada seseorang yang pernah dekat dengannya. Yang hingga kini, ia tak pernah lupa, bagaimana sikap Riga padanya.
Andai bisa ia mengulang waktu juga bertanya, ada apa dan kenapa Riga berubah, pasti sudah ia tanyakan. sayangnya, keberanian itu tak pernah muncul. Hanya anggukan serta menuruti semua yang Riga katakan, yang Xena bisa lakukan.
Bahkan Riga sedikit mendorang tubuhnya ketika menyuruh Xena masuk ke dalam Jaguar hitam mengkilatnya. Tak ada basa basi di sana. Aura Riga luar biasa menyeramkan sebenarnya dan Xena pasrah kalau nantinya akan dimarahi. Sepanjang jalan tak jarang Xena mendengar umpatan yang keluar dari bibir Riga. Dari ekor matanya saja, Riga sudah menggertakkan rahang dengan kuat. Matanya nyalang ke depan dan sesekali tangan besarnya itu menekan klakson kuat-kuat.
Bunyi berisik yang timbul membuat jantung Xena kebat kebit juga. apa yang telah mengubah Riga hingga seperti ini, sih? Itu saja yang bercokol dalam kepala kecilnya. Sementara di lain pihak, sesekali Riga melirik ke arah gadis yang memilih menatap lurus ke jalan raya. Geram serta kesal sekali Riga dibuat olehnya. Xena benar-benar membuatnya marah.
Gadis itu menyadari dan merasa tak ingin menambah keruh suasana, ia memilih memejamkan mata. Syukur untung dirinya terjatuh tidur. Tapi ... suara perut Xena lebih minta perhatian ketimbang matanya yang sudah sengaja ia pejamkan.
“Kamu belum makan?” tanya Riga masih belum mau menurunkan intonasi suaranya. Geram serta kesalnya masih bertumpuk karena gadis ini. Walau ponselnya mengarahkan pada lokasi tepat di mana gadis ini berada, bukan berarti Riga bisa tenang saja mengetahui kalau anak yang dalam pengawasannya bisa melenceng begitu saja.
Tadinya Riga akan rapat membahas pergerakan terbaru serta kebijakan yang akan diambil terkait kalahnya tender yang belum lama diinformasikan oleh Vino. Pikirannya tadi pagi penuh dengan ide-ide baru. Sarapan bersama Xena dan mendengar banyak celoteh random dari gadis itu cukup membuat Riga bahagia.
Akan tetapi selesai rapat pagi tadi, Vino memberitahu kabar mengejutkan ini.
“Maaf, Pak. Kalau saja ini bukan rapat penting, pasti sudah saya info sejak awal.”
Riga mengumpat kasar dan gegas menyusul keberadaan anak itu dengan langkah buru-buru. Mengabaikan bahwasanya masih ada satu rapat penting lainnya. Bagi Riga, Xena lebih penting dari sekadar angka yang akan ia perjuangkan.
“Memang enggak ada yang berjaga di sekitar Xena?”
Vino mendadak bungkam.
“Vino?”
“Maaf, Pak. Mereka kelolosan juga.”
“BERENGSEK SEMUA!”
Beberapa staff yang berada di dekat koridor tempat Riga berjalan, sontak menatapnya dengan penuh ketakutan. Pengganti pemilik perusahaan ini selain dikenal tegas, dingin, dan kaku, juga memiliki peringai yang tak bisa disusupi kata ramah. Senyum Riga pun bisa dihitung jari selama memegang kendali Djena Grup.
“Panggil Tony. Dia harus bertanggung jawab. Memangnya Xena sekecil tikus bisa lolos dari pengawasan?”
Vino tak berani angkat bicara. menyela ucapan bosnya sama saja cari mati. Pria itu memilih segera menekan tombol B2 tempat mobil Riga terparkir.
“Jam berapa meeting?”
Buru-buru Vino menjawab, “Jam tiga, Pak.”
Riga melirik Tag Heuer miliknya dengan cepat. Kalkulasinya mengatakan kalau masih sempat dirinya menarik Xena dari titik terakhir dirinya berada, lalu kembali ke kantor dan mengikuti meeting. Untuk kali ini, ia bertarung tak ada yang boleh dilewatkannya. Membawa Xena ke kantor juga menghadiri meeting. Ia berharap, konsentrasinya tak buyar karena amarahnya sudah bergejolak sejak Vino memberitahu kabar mengenai gadis itu.
Bisa saja ia menyuruh Tony menjemput, tapi rasanya Riga harus memarahi Xena kali ini. Tak bisa gadis itu seenaknya membuat Riga kacau seperti sekarang.
“Jawab, Xena!” Riga membentaknya.
Di sampingnya, gadis itu mengerjap bingung. Tak pernah Riga sampai menggunakan nada tinggi ketika marah. Apa kesalahannya demikian besar hari ini hingga membuat pria berwajah kaku itu benar-benar habis sabar?
“Belum, Om.” Xena memilih tak berbohong walau mengatakan dengan suara sangat pelan. Bahkan ia berharap kalau Riga tak perlu mendengar jawabannya.
“Dari tadi kamu ngapain?!”
Tanpa disadari, air mata Xena sudah menetes. Dulu, ia selalu mendapat perlakuan lembut dari ayahnya. Tak ada seorang pun yang berani berkata dengan nada tinggi bahkan membentaknya. Awal kebersamaannya dengan Riga pun, pria itu memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih. Selalu bertanya mengenai apa yang disuka atau tak Xena sukai. Tutur katanya sopan juga terkesan mengayomi. Seolah menggantikan posisi ayah juga kakaknya yang telah tiada.
Kini? Seiring berjalannya waktu tinggal bersama Riga, Xena mulai terbiasa diabaikan. Mulai juga terbiasa disudutkan tapi tak pernah pria itu menggunakan bentakan sebagai jurus andalan.
Baru kali ini dan itu sangat membuat Xena bersedih.
“Vino, segera pesan makan siang. Untuk Xena. Extra kejunya banyak. Pasta kalau bisa.” Riga langsung melepas handsfree yang tadi ia kenakan buru-buru untuk melakukan panggilan pada asistennya itu. Ia tau, gadis di sampingnya menangis.
Dalam hatinya ia tak ingin mengeluarkan bentakan tapi sungguh, Riga demikian khawatir. Kalau gadis itu diketahui keberadaannya? Apa bukan semakin membuat runyam urusan?
Nanti ... nanti akan ia pastikan, Xena mendengar permintaan maafnya. Untuk kali ini, Riga biarkan gadis itu terisak pelan. Menahan sedih yang Riga tahu asalnya dari mana. Setir ia cengkeram kuat-kuat, menahan gejolak serta emosi yang kini mengarah pada dirinya sendiri.
Seharusnya ... ia tak berkata sekasar tadi.
***
“Om ... enggak makan?” tanya Xena pelan. Dirinya sudah duduk di ruangan Riga yang hanya sekali ia kunjungi saat itu. Masih lekat dalam ingatannya mengenai ruang kerja sang ayah. Bahkan hingga kini, tak ada yang diubah oleh Riga. Pernah sekali Xena berkunjung ke ruang ini karena janji makan malam bersama Vally.
Meja kerja sang kakak ada di ujung koridor lain, tadi sempta Xena melirik ke arah tempat biasanya Vally sibuk berkutat dengan laptopnya. Kali ini, meja itu sudah digantikan oleh karyawan lain. mendadak Xena teringat dan semakin merindukan sang kakak.
“Suapi.”
Xena tersedak. Gegas ia sambar gelas berisi lemon tea dalam cup, buru-buru ia tenggak mirip seseorang yang tak pernah terkena air tenggorokannya barang dua hari karena terdampar di gurun. Pun cara Xena mengusap bibirnya dengan kasar. Punggung tangannya basah oleh sisa minumnya tadi.
“Cepat.”
“Om! Yang benar saja!”
Riga mendongak. Sejak tadi ia memang membaca ulang materi yang Vino siapkan. Setengah jam lagi meeting dimulai. Vino sudah menginstruksikan beberapa divisi terkait agar lebih menekankan point benefit yang akan ditawarkan mengingat kerja sama ini, bukan perkara main-main lagi.
“Apa? Segera, Xena.” Riga kembali menatap laporannya. Sesekali ia ambil pena yang tergeletak di meja, mencoret sesuatu dan mulai menghitung perbandingan. “Saya lapar dan telat makan. Tau siapa penyebabnya?”
Hanya sekilas Riga menatap Xena yang masih memilih meminum lagi cup-nya. “Kamu,” imbuhnya dan kembali netranya bergerak memindai satu per satu lembar sebelum benar-benar siap.
Agak ragu tapi akhirnya Xena bergerak mendekat. Membawa kotak makannya penuh hati-hati. Setelah memastikan semuanya aman—agak mengerikan kalau sampai dirinya menumpahkan makannya di lembar yang sedang Riga teliti, ia menggulung spagheti pun penuh hati-hati. “Buka mulutnya, Om.”
Riga tak banyak protes, selain karena lapar, ia memang tak memiliki banyak waktu sekadar untuk makan. Kalau saja tadi ia memutuskan di kantor dan mengecek lembaran yang ada, dipastikan jam makannya tak akan terganggu. Sudah pria kaku itu katakan kalau Xena penyebab utamanya kali ini. Dan gadis itu punya tanggung jawab lebih untuk hari ini.
“Sudah cukup.” Riga melirik sekilas jam yang melingkari lengan kanannya. “Vin,” panggilnya kemudian. Membuat asisten yang sejak tadi duduk di kursi yang lain, gegas menghampiri.
“Ya, Pak.”
“Kamu revisi bagian yang saya coret.” Riga menyodorkan lembar yang tadi dikoreksi. Tanpa menunggu, Vino segera menyambar dan keluar ruangan. Melaksanakan titah bosnya dengan segera.
“Lima menit lagi saya meeting. Kamu di sini. Jangan coba keluar ruangan. Paham?”
Xena memilih mencibir. “Minum dulu, Om.” Segera ia sodorkan gelas berisi air mineral milik pria itu. tanpa banyak bantah, Riga melakukan apa yang Xena katakan.
“Dengar yang tadi saya bicarakan?”
Gadis itu memilih menggunakan anggukan sebagai jawaban, sembari merapikan sisa makan mereka yang sangat telat ini. Xena berdoa, semoga asam lambungnya tidak naik mendadak karena keterlambatan makannya hari ini.
“Kartu kredit kamu mana?”
Xena mengerjap pelan, masih sibuk mencerna.
“Mana?”
“Tapi, Om...,”
“Enggak ada tapi. Hukuman karena kamu enggak menuruti apa kemauan saya.”
“Om!” rengek Xena kali ini. Jarak yang memang sudah dekat, dipertipis dalam satu kali gerak. Segera ia menggamit tangan Riga tanpa permisi dan tanpa tahu diri. Baginya kartu berwarna emas itu adalah jalan mengumpulkan pundi uang tanpa kentara. “Xena janji, enggak belanja banyak lagi.”
Riga teguh pendiriannya. Tangan yang terbebas dari jerat Xena, ia ulurkan. “Mana.” Sekali lagi Riga berkata namun kali ini, nadanya lebih tegas.
“Om, Xena janji. Kali ini sungguhan.” Xena sedikit berjinjit demi agar Riga mau menatapnya. Biasanya kalau ia mengeluarkan jurus andalannya—mengerjap pelan dengan mata yang sengaja ia bulatkan.
“Enggak.” Riga hanya melirik sekilas. Tau dengan pasti bujuk rayu apa yang sedang dilancarkan Xena. Biasanya ia kalah tapi untuk kali ini, ia tak mau kalah. “Mana kartunya?”
Ada decak kesal yang dikeluarkan dari bibir gadis berambut hitam ini. Belum lagi bibirnya sontak mengerucut tanpa bisa dikendalikan. Cekalan tangannya pada Riga, ia empas begitu saja. Matanya bolak balik memindai Riga, berharap kata-kata tadi ditarik dalam sekejapan mata. Tetapi sepertinya, pria menyebalkan ini pantang untuk melakukan hal tersebut.
Satu kartu berwarna emas dikeluarkan dari dompet pink berlogo salah satu brand kesayangan Xena, mendarat mulus di telapak tangan Riga yang besar itu. Begitu mengetahui kartunya sudah ada di tangan, tanpa basa basi Riga patahkan begitu saja. Membuat kesiap kecil keluar dari Xena tanpa disadari oleh sang gadis.
“Mulai besok enggak ada lagi kartu kredit. Bisa saja saya blokir hari ini tapi saya masih sayang dengan malu yang kamu punya nantinya.”
Xena menelan ludah perlahan. Ia menyadari maksud ucapan Riga.
Suara ketuk di pintu kaca ruang Riga terdengar, pertanda Vino sudah menyelesaikan tugasnya. Dan benar saja, sosok asisten Riga muncul di ambang pintu. “Pak, semua sudah siap.”
“Saya meeting dulu.” Biar bagaimana pun, ada satu hutang yang Riga punya pada gadis yang masih menekuk wajahnya itu. Permintaan maaf. Untuk itu lah, ia beranikan diri mengusap kepalanya sekilas—setelah lama tak dilakukan lagi kebiasaan itu.
Hal itu jelas membuat Xena mematung. Hanya ekor matanya yang bisa digerakkan sekadar mengikuti arah langkah Riga keluar ruangan. Hingga bunyi pintu kaca tertutup, baru lah Xena menyadari, kalau sentuhan tadi benar-benar berasal dari Riga.
“Marah-marah tapi gitu. Kak Riga kapan enggak nyebelin, sih.”
Dan ketika melihat patahan kartu yang selalu menjadi penopangnya beberapa waktu ini, ia meringis sedih.
“Pakai apa lagi aku ngumpulin uang, ya?”
Buru-buru ia mengecek saldo atm di mobile bankingnya. Helaan napas pelan keluar tanpa bisa dikendalikan. “Kemarin sudah habis buat beli cincin. Tabungan itu.” Xena merosot lemah di sofa. Memijat pelipisnya gusar.
“Gimana dapat uang lagi tanpa ketahuan?”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
