
Isi Bab : 28, 29, 30, 31
Baca Free
PART 28
"Gue perhatiin dua hari ini tampang lo bahagia banget."
Denny tanpa perlu menunggu izin dari sang bos slash sahabatnya itu duduk di depan meja kerja Daru. Satu ordner berisi data market planning ia bawa untuk didiskusikan sebagai acuan target bulan depan. Daru hanya mendongak sekilas, lalu mengabaikan Denny. Dirinya lebih memilih mengutak atik layar laptopnya ketimbang meladeni sahabatnya itu.
"Ini mau diskusi apa sibuk sendiri? Gue mau catat poin-nya. Lepas makan siang kita meeting,” kata Denny sembari mengetuk jemarinya pada odner yang ia bawa.
"Lo seharusnya senang kalau muka gue bahagia. Malah ditanya ada apa."
"Sentimen lo," gelak Denny membahana. Tak urung itu pun membuat senyum dari bibir Daru tertarik walau sedikit.
Hanya sebatas kelakar itu saja yang mengawali hari Rabu ini. Selanjutnya Daru sibuk memberitahu mana yang harus didahulukan dan mana yang mesti ditingkatkan. Untuk masalah branding pada E-commerce tempatnya bekerja, Daru harus extra menguras isi kepala. Banyaknya persaingan juga promo yang gencar juga istilah 'bakar uang' kerap dihalalkan untuk menaikkan brand. Namun diibaratkan, promosi gencar selalu setajam mata pisau. Jika tidak memiliki landasan juga acuan yang jelas, bisa jadi, apa-apa yang sudah dikeluarkan hanya sebatas membuat nama perusahan terkenal. Profit sebagai tujuan utama tidak akan tercapai.
Mungkin tercapai, namun tidak memenuhi kuota. Dan Daru tidak mau hal itu terjadi. Tugas Daru dan manager baru lah yang harus merencanakan itu semua dengan konsep yang matang. Entah mengapa Daru merasa beruntung memiliki partner sekarang. Wawasan seorang Wirya Janubrata benar-benar membuka pikirannya lebar-lebar. Ia mulai kagum akan sosok itu.
"Nanti lo kirim dulu salinannya. Gue mau cek."
Hanya decak kesal yang Denny beri namun, tak urung pria itu mengangguk. Mark notes tertempel di sana sini pun tambahan coretan sudah menjadi hal biasa ketika berdiskusi dengan seorang Andaru Aria. Selepas asistennya itu beranjak, Daru menghela napas panjang.
Senyum kecil entah kenapa sedari tadi tak luntur tercetak di bibirnya. Tujuh tahun yang lalu, Daru pernah jatuh cinta. Pada seorang gadis cantik yang namanya sudah lama ia singkirkan dari memori. Bersamanya dulu, Daru pernah melukis indahnya hidup bernama rumah tangga.
Daru tahu apa yang mereka lakukan sebuah kesalahan. Akan tetapi, hal itu sama sekali tidak menyurutkan arti tanggung jawab juga cinta kasih yang ia miliki terhadap sang gadis. Justru bertambah besar seiring kandungan dalam diri gadis itu membesar. Semua dijalani bersama hingga mereka sepakat, akan menikah setelah anak yang menurut dokter berjenis kelamin perempuan itu lahir.
Daru naif. Berpikir nantinya mereka akan bahagia. Hingga tiba hari di mana sang putri lahir. Sungguh, bahagia itu menyapanya dengan hebat. Berterima kasih berkali-kali pada gadis yang ia cintai segenap hati dan berjuang lebih keras untuk bisa menghidupi.
Nyatanya, tidak seperti itu.
Dua minggu setelah anaknya lahir, mereka berdua ditinggalkan. Hanya ada sepucuk surat berisi permohonan maaf dan juga tanda tanya besar, bagaimana bisa Daru menghidupi mereka berdua jika masih dengan keadaan seperti itu.
Dulu.
Semua bayang bahagia yang pria itu milik, sirna sudah. Lenyap tak bersisa. Hanya ada Sheryl sebagai penyemangat jiwa. Akan ia buktikan kalau dirinya mampu, melebihi semua yang pernah dituduhkan padanya. Kalau dirinya, tak mampu menghidupi.
Hingga ia ada di titik sekarang.
Dan Daru tak ingin kembali jatuh pada pesona wanita yang berwajah cantik. Karena baginya, cantik hanya sekadar hiasan. Akan tetapi, ketika bayang wanita cantik yang menyiapkan secangkir teh lemon dengan pandangan yang lebih suka menatap marmer ketimbang menantang tatapannya, selalu hadir minta perhatian, Daru tergeragap penuh bingung sendiri.
“Apa yang aku pikirkan, sih?”
***
"How you feels today?" tanya Kala saat menyambut Sheryl. Wajah anak itu terlihat lelah namun binar matanya masih sama seperti tadi pagi. Ceria.
Dulu, Kala pernah berharap banyak sekali pada keajaiban tangan Allah. Agar suatu saat nanti akan ada janin yang dititipkan dalam rahimnya. Lalu dengan orang yang ia cintai, merawat dan melindunginya bersama. Melihatnya tumbuh dan akan berada di titik ini, penuh suka cita mengantar jemput anaknya dengan riang.
Seperti hari ini.
Pagi yang ia awali tadi terasa ringan. Keputusannya sudah bulat. Ragunya lindap. Entah mengapa justru ini membuatnya lebih lega walau semalam ketika ia memberitahu apa keputusan finalnya pada sang sahabat, tak urung celoteh juga ceramah panjang ia dengar. Namun itu semua tak menghalangi apa yang sudah ia yakini.
"Aku enggak bisa melihat Sheryl nangis, Sa. Enggak tega."
Risa menjawab dengan dengusan sebal, Kala yakin itu.
"Memang kamu ibunya?"
Kala tersenyum kecil. "Iya. Aku ibu pengasuhnya, kan?" Dan ia pun percaya di ujung sana Risa pasti memutar bola matanya menanggapi ucapan itu barusan.
"Terserah, lah."
Mungkin hingga batas waktu yang menurut Kala kondisi psikis Sheryl bisa membuat ia sedikit tenang meninggalkannya, barulah ia akan kembali mencari pekerjaan yang sesuai. Kala yakin, kalau memang Allah mengizinkan dirinya bekerja dalam suasana perkantoran pasti rezeki itu masih selalu ada untuknya.
"Mbak."
Panggilan itu membuat gelembung ingatan Kala buyar. "Ya?"
"Hari ini nilai renang 95. Gaya punggung aku mendekati nilai sempurna. Weekend depan setelah les piano, latih aku lagi, ya. I'm really happy for this, Mbak."
Di bawah terik sinar matahari menjelang sore, senyum semanis madu itu sungguh menawan hati Kala. Tak pelak, diberanikan diri untuk sekadar memberi sentuh lembut pada pipi sang anak. Hati Kala bergetar, jikalau bukan karena masih di lingkungan sekolah, mungkin dirinya sudah menitikkan air mata. Saking bahagianya.
Mata seelok boneka itu memejam. Merasakan dengan penuh penghayatan bagaimana sentuhan itu menyapanya. Sheryl sangat menyukai tiap kali Kala menyentuhnya. Sentuh itu begitu menenangkan dirinya.
“Tapi ... aku tetap sedih, Mbak.” Bahu Sheryl merosot. Membuat Kala bingung.
“Kenapa sedih?”
"Mbak tetap pulang kampung, kan?" Sheryl menatap Kala dengan mata mulai berkaca-kaca.
Wanita itu gemas dibuatnya. "Enggak. Mbak enggak jadi pulang kampung."
Bola mata hitam itu membulat sempurna. "Are you seriously?"
Detik itu juga, sang anak memeluk erat sang pengasuh. Tingginya sebatas pinggang, namun apa yang ia rasakan lebih dari sekadar pelukan. Diterima, disayangi, pun dibutuhkan oleh seorang anak membuat Kala benar-benar jatuh cinta.
"Aku jadi pengin jemput Papa, deh. Papa harus tahu kalau Mbak enggak jadi pulang kampung."
Kala mematung. "Memang Non enggak capek? Tunggu di rumah saja." Ia mencoba mengalihkan perhatian sang nona muda.
"Enggak mau. Aku harus beritahu Papa segera."
"Lewat telepon saja."
"Enggak. Aku mau Papa, Mbak."
Kala mengerang frustrasi. Bukannya ia tak ingin menemani, hanya saja ...
PART 29
Wanita itu mengedarkan pandangan. Menghitung banyak kemungkinan bertemu sosok pria yang membuatnya sedikit gusar. Ia bingung harus bicara apa, sementara dalam chat yang sering dikirim untuknya, pria itu meyakinkan Kala agar mau bekerja di sana.
Seharusnya hari ini ia memang datang memenuhi undangan untuk menandatangi kontrak. Namun ia menolak dengan keyakinan penuh.
Di hadapannya, nona mudanya tampak asyik memainkan ponselnya. Sesekali kepalanya bergoyang membuat kuncir rambutnya bergerak. Kadang keningnya berkerut, pun bibirnya mengerucut mungkin kesal karena permainannya kalah. Tak jarang ia bersorak riang ketika mendapat skor tinggi. Kala benar-benar merekam hal itu dengan jelas dalam benaknya.
Pakaian seragamnya sudah berganti dengan setelan kaus ber-print Ice bear lengkap dengan namanya. Pada bagian lengan, Kala sengaja membuat lipatan hingga pangkal lengan. Entah mengapa kaus dengan model seperti itu dipadu celana jeans pendek dengan aksen renda di bagian bawah, terlihat manis dan imut dikenakan sang nona.
Sheryl tak merasa bosan sama sekali padahal sudah menunggu hampir tiga puluh menit di sini. Biasanya, anak itu sudah gelisah dan sabarnya bersumbu pendek. Kali ini tidak. Kala yakin karena apa yang akan disampaikannya pada sang ayah lah yang membuat dirinya mau menunggu.
Apa sedemikian penting hal itu hingga harus disampaikan dengan segera?
"Om Denny," pekik Sheryl heboh.
Beruntung Kala tidak sedang meminum cokelatnya. Saat ia menoleh, pria itu sudah berdiri di sana. Kemungkinan bertemu seorang Denny Anggara memang sangatlah besar. Mengingat hubungannya dengan sang majikan, tak mungkin bagi Kala untuk menghindar.
"Hallo, Mbak."
Kala tidak tahu harus memasang senyum seperti apa.
"Maaf, ya, Princess-nya Papa Aria. Papa Aria masih meeting. Ini Om disuruh ke sini duluan, biar kalian ada yang menemani."
"Aku enggak perlu Om Denny temani sebenarnya, sudah ada Mbak Kala. Tapi berhubung Om sudah di sini, Om duduk di samping aku boleh."
Denny merasa kalah telak.
"Iya, deh. Ada Mbak Kala."
Ia pun mengusap puncak kepala Sheryl namun delikan tajam didapatnya. Tingkah Sheryl membuatnya bingung.
"Jangan sentuh. Ini didandani Mbak Kala. Aku enggak mau kalau enggak rapi. Aku harus rapi dan cantik, apalagi mau bertemu Papa."
Tawa Denny tersembur sudah. "Kamu diajari siapa?"
Sheryl tak mau menjawab. Dirinya lebih memilih kembali asyik dalam ponselnya. Membiarkan Denny duduk di sampingnya namun memasang sikap waspada kalau-kalau pria itu kembali mengusilinya.
"Apa kabar, Mbak?"
Denny kini memusatkan perhatiannya pada wanita yang ada di hadapannya. Penampilannya tak ada yang berubah, masih sama seperti kali terakhir ia bertemu. Sederhana namun membawa pesona tersendiri yang ia rasa tak bisa terelakkan.
"Baik. Saya harap Denny juga baik kabarnya."
Pria itu tersenyum kecil.
"Saya enggak sangka kalau Mbak Kala akan menolak. Padahal selangkah lagi."
Wanita itu tahu kalau pembicaraan ini pasti akan dimunculkan pada permukaan.
"Iya, maaf. Saya berubah pikiran."
"Sayang banget, ya, sama Sheryl?"
Kala tidak tahu apa perlu untuk menjawab hal ini atau tidak.
"Papa." Sheryl bangkit, lalu sedikit berlari ke arah sang ayah.
"Princess Papa. Nunggu lama, ya? Maafin Papa, ya."
Daru menghadiahi putri kecilnya dengan banyak ciuman. Ini membuat tawa Sheryl menguar.
"Sheryl, salim dulu sama Om Janu."
Pria yang berada di samping Daru sudah memperhatikan bocah kecil yang mencuri perhatiannya itu. "Hallo," sapanya. "Siapa namanya?"
Sheryl sedikit mundur, matanya menatap orang yang ada di samping ayahnya penuh perhitungan. Namun ia tetap berusaha santun. Mengulurkan tangan dan menyalaminya dengan penuh sopan. "Sheryl, Om."
"Anaknya cantik banget, Pak. Saya pikir, serius lho, Pak Daru ini single."
Daru tertawa kecil. "Kopi dulu, Pak."
Mereka pun menuju meja yang sudah ada Denny di sana.
Saat itulah, semesta sepertinya masih ingin bemain dengan hati Kala. Mata mereka kembali bertemu dengan jelasnya.
"Tari?"
***
Sepanjang jalan pulang mereka hanya ditemani audio yang otomatis terputar. Sesekali Daru melirik wanita yang tampak tenggelam dengan pikirannya. Tak ada yang bisa mengganggunya kecuali sesekali telapak tangan itu mengusap pelan punggung Sheryl yang sudah terlelap dalam pangkuannya.
"Kalau kamu pegal, Sheryl pindahkan saja ke belakang."
Kala menoleh. "Enggak, Pak."
Setelah itu, hening kembali hadir di tengah mereka. Daru menghela napas pelan. Kejadian tadi cukup menyita pikirannya. Ia tak menyangka rekan kerjanya mengenal pengasuh sang anak. Ekspresi yang ditunjukkan Kala menurut Daru sama persis seperti saat lampau.
Apa yang ditemui kala adalah orang yang sama? Yang membuat bungkam Kala ketika ditanya orang itu siapa? Seorang Wirya Janubrata? Apa hubungan mereka sebenarnya? Siapa sebenarnya Kala Mantari ini? Kenapa mendadak sekarang begitu banyak rahasia yang menyelimuti dirinya?
Tanpa sadar ia menekan klakson cukup keras.
"Oh ... sorry, sorry. Motornya main salip aja." Jelas itu sebuah alasan paling bodoh yang pernah terlontar dari dirinya.
"Hati-hati, Pak. Ada Non."
Daru melirik sekilas. Dalam pindainya, binar mata milik Kala sirna sudah. Berbeda dengan tadi pagi saat mereka berdua berangkat ke sekolah Sheryl. Daru bisa dengan jelas merasakan hal itu. Saat Janu memanggil namanya, Kala hanya mengangguk singkat. Lalu menghindar dengan alasan klasik, izin ke toilet.
"Pak Daru kenal Tari?" tanya Janu dengan raut wajah kaget yang tidak bisa disembunyikan.
"Jangan panggil ibu aku dengan nama Tari. Ibu aku enggak suka, Om. Dia ibu aku, Ibu Kala."
Sontak, semua yang ada di meja itu menoleh ke arah anak kecil yang mengeluarkan suara. Sementara sang anak dengan tenang meminum sisa es dalam gelasnya. Menyeka bagian bibirnya yang terkena sisa whipped cream, lalu berkata, "Papa, Om Denny dan Om satu lagi, duduk aja di sini dulu." Ia pun mendorong pelan kursinya. "Sheryl mau ke toilet."
Kalau mengingat kejadian di kedai kopi tadi, rasanya ia harus meminta bantuan Denny. Bukankah Kala seniornya di kampus? Mungkin saja Denny tahu sesuatu hal. Atau jangan-jangan Denny sudah tahu hubungan mereka berdua? Makanya Denny menggebu sekali ingin agar Kala bekerja di sana?
Sial!
Tidak. Daru tidak boleh kehilangan konsentrasinya. Mungkin ada baiknya ia bagitahu mengenai apa yang harus Kala lakukan untuk Sheryl nantinya. Daru memecah hening dengan informasi mengenai Anka berikut Donita. Juga meminta bantuan Kala mendampingi anaknya ketika wawancara sebagai korban dalam kasus yang Daru perkarakan ini.
Kala menyimak dengan baik atas semua permintaan majikannya.
"Terima kasih sudah ada untuk Sheryl." Daru menoleh sekilas. Bertepatan dengan Kala yang juga ikut menoleh ke arahnya.
Bibir Kala mengurva separuh. Walau tadi ia mengalami sesak yang demikian hebat karena pertemuannya dengan Janu, kata-kata Daru barusan membuatnya sedikit lebih baik. Memeluk anak yang kini ada di pangkuannya seperti dopamin. Ia sangat membutuhkan hal itu sekarang. Seharusnya juga, ucapan itu milik Kala.
"Saya yang seharusnya berterima kasih. Sudah diperbolehkan menyayangi Non Sheryl seperti ini."
Daru termangu mendengar hal tersebut.
PART 30
Di kamar, Kala membuka satu map merah besar yang berisi dokumen penting mengenai identitasnya. Bukan yang asli namun semuanya terlegalisir menunjukkan keabsahan dari dokumen tersebut. Hanya ada satu lembar yang asli, yang akan ia serahkan hingga waktunya tiba. Menyerahkan pada mantan suaminya dan ini pasti akan berujung pertemuan. Ia tak menyangka waktu yang diminta dalam tiap sujudnya dikabulkan Allah demikian cepat.
Kala sudah seharusnya siap, kan? Walau tak bisa ia pungkuri lagi, perasaan itu masih demikian mencekik. Hingga membuat Kala sukar bernapas normal. Ia harus menyiapkan hati untuk segala kemungkinan yang ada. Semua kenangan yang terpatri jelas dalam dirinya, terputar tanpa bisa ia kendalikan walau hanya mengingat namanya. Nama yang dulu ia semat dalam lantun doa di setiap waktunya bersama Sang Pencipta.
Kenangan indah bersama Wirya Janubrata sebanding dengan rasa sakit yang ditoreh pria itu padanya. Dua belas tahun usia pernikahannya yang karam dengan dua tahun ia berusaha menyembuhkan dirinya sendiri. Tidak ada yang menopang kecuali ia memperlama sujud, memperdalam dzikir dan mengadu hingga lelah pada pencipta-Nya.
Kedua orang tuanya hanya bisa bicara sabar, sabar, dan sabar. Namun sesekali tak urung membuat hati Kala terasa dirampas dengan paksa.
"Coba mau nurut, Nduk, ke Mbok Saritem. Diurut, minum jamu, siapa tahu kamu bisa punya anak."
Bukan satu atau dua dokter kandungan yang menjadi tempat Kala berikhtiar. Hingga rasanya, dirinya kelelahan sendiri. Kala memejamkan mata jika mengingat suara sang ibu saat menemaninya di dapur di satu waktu. Kala tahu dan paham, ibunya pasti menginginkan cucu mengingat ia anak tunggal dalam keluarga. Namun pernahkah ibunya bertanya bagaimana hati Kala?
Remuk.
"Kamu enggak membantah suamimu, kan, Nduk? Kalau dinasehati, nurut. Seperti ibumu itu. Penurut biarpun cerewet. Jangan kebanyakan nuntut. Nanti suamimu kesal."
Suatu ketika sang ayah memberi arahan ketika Kala menginap tanpa Janu. Padahal dirinya pulang sementara karena ingin sedikit membagi getir yang ia punya saking sudah tak lagi bisa ia bendung. Ia pikir, kedua orang tuanya memiliki seujung jalan keluar. Mendengar kata tersebut dari sang ayah, Kala menyingkirkan asanya dengan senyum hambar.
"Iya, Pak. Tari nurut sama Mas Janu, kok."
Berbekal chat dan juga telepon diam-diam sekali waktu pada sahabatnyalah ia belajar menguatkan hati. Belajar untuk tidak lagi menyimpan air mata ketika mengenang Janu walau sangat berat. Risa bilang, "Kamu ingat saat kamu pergoki Janu di kamar hotel? Setengah telanjang dengan perempuan lacur itu?"
"Jangan sisakan hati kamu untuk orang seperti dia, Tari. Jangan."
Diusapnya dengan kasar air mata yang semena-mena turun.
“Ya Allah, kuatkan aku dengan jalan ini. Beri hamba kekuatan lebih, karena hanya kepada-Mu hamba berserah. Maafkan khilaf hamba yang mencintainya lebih besar ketimbang cinta hamba ini terhadap Engkau. Ampuni hamba-Mu ini, ya Allah.”
***
"Gue enggak tahu sampai se-detail itu, lah. Pertanyaan lo mirip banget sama tim investigasi. Sumpah." Denny menatap Daru dengan pandangan curiga. "Lagian kenapa lo jadi tertarik pengin tahu hidup Mbak Kala, sih."
"Ya wajar, lah. Kan dia kerja sama gue."
Gelak Denny hadir dengan dramatis. "Lo yang enggak wajar. Kenapa lo enggak tanya langsung sama orangnya? Lo lebih sering ketemu dia ketimbang gue."
"Enggak guna lo."
"Bos ... Kalau naksir bilang."
Daru melempar tisu bekas mengelap alat makannya tadi. Tepat mengenai wajah Denny yang sontak melotot tidak terima.
"Bicara sama lo emang enggak guna." Lalu pria itu bangkit. Menyudahi sesi makan siangnya tanpa menunggu sahabatnya selesai.
Dua hari sudah berlalu sejak pertemuan aneh itu namun bukan ketenangan yang ia dapat, hanya risau yang makin membesar bercokol di hatinya. Daru berjalan cukup cepat kembali ke gedung perkantoran yang letaknya lumayan jauh dari kafetaria. Pikirannya melalang entah ke mana. Ah, tidak. Pikirannya masih ada, terpusat pada satu info yang menurutnya cukup krusial.
"Yang gue tahu, Mbak Kala itu sudah menikah. Gosip beredar di kampus dulu, suaminya bukan dari kalangan biasa. Hubungan gue juga enggak seakrab sekarang. Dapat nomor ponselnya aja dulu udah kayak nemu berlian. Makanya gue beruntung banget sekarang. Gue malah kaget banget Pak Janu dan Mbak Kala sepertinya kenal. Mungkin Pak Janu kenalan suaminya. Gue bukan enggak mau bertanya lebih jauh, Aria. Itu sudah privasi menurut gue."
Pikir Daru, Denny tak pernah tahu status asli seorang Kala Mantari. Berbeda dengannya. Dalam kartu identitas juga kartu keluarga yang menjadi arsip para pekerjanya di rumah, jelas tertulis kalau pengasuh anaknya berstatus cerai hidup. Artinya Kala single.
Pertanyaannya, apa Janu mantan suaminya? Masalah anak, Daru yakin seratus persen pendengaran dan memorinya tak salah. Wanita itu tidak memiliki anak. Seguk tangis Kala masih tersimpan rapat dalam benak Daru.
Pada dasarnya ia tidak mempermasalahkan apa status Kala. Ia hanya tergelitik dengan ekspresi wajah yang sudah dua hari ini mengganggunya. Raut wajah kecewa, benci, dendam juga sakit hati yang diperlihatkan Kala benar-benar sukses mencuri semua kewarasan Daru. Ingin bertanya lebih jauh namun selalu urung dilakukan olehnya. Wanita itu sudah membangun benteng dengan sangat kokoh hanya dengan senyum kecil dan jawaban singkat.
Obrolan mereka hanya seputar Sheryl. Tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi masing-masing. Ini sungguh membuat Daru frustrasi. Tapi kenapa ia harus merasa hal ini? Andai ia memiliki jawaban yang masuk akal atas semua hal yang bergemuruh dalam hatinya.
"Lho, Pak Janu sudah menunggu dari tadi?" Daru cukup terkejut mendapati partner kerjanya sudah ada di ruanganya.
"Ah, baru kok."
"Sudah makan?"
"Sudah, Pak.” Janu menjawab diiring deham kecil.
Daru hanya mengangguk kecil.
"Silakan duduk, Pak."
Setelah memastikan lawan bicaranya duduk, ia melanjutkan bicara. "Hasil meeting kemarin sudah di-forward sebelum makan siang tadi oleh Denny. Nanti kalau ada penyesuaiannya kita rombak lagi. Saya masih tunggu keputusan final katalog mana saja yang akan dijadikan halaman utama. Saya juga dengar akan ada wajah baru untuk menaikkan promosi."
Janu mengulum senyum. "Saya ke sini bukan untuk bicara mengenai hal pekerjaan."
Ucapan barusan membuat Daru membuat perhitungan dalam tatapannya. Wajah pria yang ada di depannya terlihat tenang, berwibawa dan tidak mudah terintimidasi. "Lantas?"
"Saya meminta izin untuk bicara dengan Tari."
PART 31
Daru membaca laporan tertulis Kala dengan saksama. Keningnya sesekali berkerut namun tak urung senyumnya terbit.
"Saya senang akhir-akhir ini Sheryl enggak membuat kepala pening."
Kala hanya menanggapi dengan garis sudut kecil di bibir.
"Kamu benar-benar bisa mengimbangi anak saya, ya."
"Pada dasarnya setiap anak itu enggak nakal, Pak. Hanya kita selaku orang dewasa yang enggak bisa menyelami isi kepalanya."
Daru terkekeh. Dirinya bangkit dan mengambil posisi berdirinya seperti biasa.
"Laporan mengenai Non saya rasa sudah selesai, kan, Pak?" Sepertinya sang majikan tidak terlalu mendengar suara Kala yang memang kurang jelas. “Saya undur diri kalau begitu."
"Tunggu. Saya masih mau bicara."
Merasa masih ditahan di sini, Kala menghentikan niatnya melangkah keluar ruangan.
"Ini tentang Pak Janu."
Kala mematung. Membiarkan menit berlalu dengan keji karena dirinya terlalu sibuk mendengar ucapan majikannya barusan.
"Dia ingin bicara sama kamu, Mbak Kala."
Daru tampak menimbang sebentar. Memperhatikan dengan jelas raut wajah yang langsung berubah ekspresi. Sepertinya dugaan Daru benar.
"Bapak berikan izin?"
Entah kenapa Kala malah bertanya dengan pertanyaan ambigu ini. Perlahan, langkah Daru mendekat.
"Saya hanya berikan kalau kamu menginginkan."
***
Kala tidak langsung beranjak ke kamarnya. Ia memilih mengecek keberadaan nona mudanya, apakah benar sudah terlelap atau belum. Setidaknya hanya untuk memastikan sejenak. Mengentaskan hatinya yang mendadak dihinggapi perasaan tak tentu.
Benar saja. Ketika Kala mendorong pintu kamar Sheryl dengan sangat perlahan, ia dapati sang nona muda duduk di tepi ranjang, membelakangi pintu.
“Non,” panggil Kala pelan.
Satu hal yang mesti Kala persiapkan adalah hatinya. Cemas langsung melanda begitu menatap dengan jelas, bagaimana air mata sudah membasahi pipi gadis yang menawan sebagian besar hatinya itu.
“Non kenapa?”
Kala langsung memosisikan dirinya di depan Sheryl. Bukannya mereda, tangis itu makin menjadi. Malah kini, gadis kecil itu menubruk sempurna tubuh Kala yang limbung karena spontanitasnya.
“Aku takut,” katanya di sela isak yang ada. Kala masih mencoba menenangkannya dengan memberi usapan pelan di punggung Sheryl. “Aku takut... aku takut Tante Donita datang lagi ke sini.”
Netra Kala memejam erat. “Tante Donita diurus polisi, enggak mungkin ke sini.”
“Di penjara enggak?” tanya Sheryl sembari mendongak. Walau matanya basah air mata, ia masih dengan jelas melihat pengasuhnya tersenyum menenangkan.
"Mbak enggak tahu kalau itu."
Ingatan Kala terpusat pada sesi wawancara kemarin. Ia sempat khawatir karena Sheryl sedikit ketakutan dengan banyaknya orang yang datang. Setelah diberi pengertian, akhirnya Sheryl mau bicara. Tangan mungil itu tak melepaskan Kala barang sejenak. Sesekali ia menatap Kala minta diyakinkan. Berkali-kali pula wanita itu mengusap tangan mungil itu, memberi kekuatan kalau Sheryl tidak sendirian. Ada dirinya, di sana, menemaninya.
Dan Kala pastikan itu terjadi.
Sheryl terdiam, mengusap jejak air matanya. Matanya yang seindah boneka, menatap lekat netra Kala. Menimbang sebentar sebelum akhirnya menyuarakan pikirannya. "I feel sorry for Aunt Donita if she has to go to jail. I just don't want to see them again. That's all."
"Does it mean that you have forgiven them?"
Kala menghentikan sejenak kegiatannya menguncir rambut panjang sang gadis. Ada lembab di sekitar keningnya yang sudah Kala usap dengan tisu yang tak jauh dari nakas. Rambut sang nona cukup berantakan mungkin karena sejak tadi menangis.
"You said I had to forgive them. You also told me that my life would be full of blessings if I did that. Papa and Grandma also would love me more." Sheryl mengerjap pelan.
Kala menghangat, matanya mulai basah.
“Mbak ... Mbak boleh peluk, Non?”
Bukannya menjawab, Sheryl justru semakin mengetatkan pelukan yang tadi sempat dilepaskan. Menghirup dengan rakus aroma tubuh wanita itu. Menyimpannya dalam hati kalau ini adalah tempat kedua ternyaman di dunia setelah pelukan sang ayah. Posisi ketiga sekarang ditempati Anna, sang nenek. Mungkin karena lama dirinya tidak bermanja-manja dengan sang nenek, posisi itu langsung bergeser dengan mudahnya.
"Non benar. Non lebih baik memaafkan mereka. Urusan di penjara atau enggak, Non enggak usah pikirkan. Fokus Non sekarang belajar dengan tenang."
"Tapi aku jadi pindah sekolah, kan?"
Kala tertawa. Sarannya ternyata benar-benar dijadikan kenyataan oleh sang majikan. Buktinya Sheryl sudah mengetahui hal ini.
"Berikan yang terbaik yang Non bisa di sisa semester ini, ya."
Gadis kecil itu tersenyum, manis sekali. Membuat Kala tanpa sadar memberi satu kecup kecil di puncak kepalanya. “Makasih, ya, Nak. Makasih."
"Can i call you Mommy?"
Tubuh Kala kaku, namun air matanya turun tanpa izin. Perasaan itu begitu membuncah dan membuat wanita berambut sebahu itu kehilangan kata-kata. Betapa ingin panggilan itu menyapa telinganya. Dan kini ...
"Just between us, okay? It's our little secret."
Senyum Sheryl sepertinya enggan pergi mendengar jawaban dari Kala. "Yes, it's our little secret."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
