BTvsKC [Bab 16 - Bab 20]

2
1
Deskripsi

Masih bisa dibaca Free alias gratis

Isi bab sesuai judul

Belajar Masak Itu, Harus Ikhlas! (1)

            
 

Saat memarkir Bobo di pelataran kos, tubuh Regi sudah tidak ada lagi tenaganya. Semuanya terkuras habis padahal ia sudah makan malam. Harusnya ia memiliki tenaga dong. Tapi tidak. Ia benar-benar lelah. Ingin segera rebah dan tidur karena besok ia harus bangun pagi. Menuju apartemen Barra lagi, hingga enam bulan ke depan.

     Rasanya Regi ingin teriak biar lelahnya sedikit hilang tapi mana mungkin. Bisa-bisa ia diguyur air cucian oleh penghuni kost yang lain.

     “Neng Regi baru pulang?” tanya Pak Sarmin. Sekuriti kos. 

     Regi cuma nyengir tanpa menjawab. Rasanya bibir Regi terlalu lelah hanya untuk menjawab ‘iya’.

     “Neng, ada paket.” Sarmin pun menghampiri dengan membawa satu kotak berpita ungu. 

     Regi menatap kotak itu dengan sangsi. “Dari siapa, Pak?” Ia heran, siapa yang mengirimkannya paket? Ia tak belanja online kahir-akhir ini.

     “Enggak tahu, Neng. Cuma terima doang.”

     Regi mengangguk saja. Diterima kotak itu dengan ragu. Begitu masuk ke kamar kos, kotak itu hanya diletakkan di dekat rak sepatu. Tidak ada nama pengirim pun kartu. Hanya ada tulisan, teruntuk Regi.

     Ia pun segera mandi biar sedikti lebih segar dan bisa tidur. Bagi Regi, mandi sebelum tidur itu harus. Kalau pun tidak mandi secara keseluruhan, setidaknya ada air yang mengenai tubuhnya yang lengket. Saat ia membereskan pakaian kotornya, senyum Regi terangkat sedikit. teringat pada kejadian sore dua jam sebelum ia pulang.

     “Sore ini kita masak saja, lah. Saya yang beri komando, kamu laksanakan.”

     Regi tertawa mendengar bahasa yang digunakan Barra. “Aye... aye... captain.”

     Barra cuma menggeleng tapi senyum kecilnya terbit. Setelah makan siang, ia masuk ke dalam kamar meninggalkan Regi yang sibuk merapikan bekas piring dan mangkuk kotor. Ia tak tahu setelahnya apa yang dilakukan sang gadis. Love tersayangnya mendengkur di tepi ranjang. Nyaman sekali. Biasanya Love tidur di tempatnya tersendiri. Tapi hari ini Barra tidak mau mengambil sebuah risiko. Ia tak ingin mendengar sebuah pengumuman kalau Love, kucing persia yang masih imut juga lucu dan menyenangkan versinya, meninggalkan dirinya karea sapu jahanam yang dipegang Regi.

     Entah sudah berapa lama Barra tertidur, ia tak menghitung. Ketika ia keluar kamar, semua kekacauan tadi sudah beres dan rapi serta kembali pada posisi. Beruntung di apartemen ini, Barra tidak mau mendapatkan kiriman guci koleksi sang baginda permaisuri. Kalau tidak, ia tak tahu harus berkata apa kalau-kalau pecah karena ulah Regi tadi. Barra bergidiki ngeri membayangkan betapa panjang lebarnya sang ibu berceramah mengenai arti satu guci yang pecah.

     “Regi,” panggil Barra. 

     Tak ada sahutan sama sekali. Barra curiga. Ia pun mengitari apartemennya, siapa tahu gadis itu bersembunyi lagi di balik sofa. Atau lebih parah, di balik lemari besarnya yang ada di dekat televisi. Tidak ada. Di semua penjuru apartemen tidak ada kecuali satu tempat. Kamar. Barra pun bergegas mengarah ke sana dan ketika pintunya dibuka cukup kencang, Barra mendesah lega. Sakit karena berjalan mengitari apartemennnya terbayar. 

     Gadis itu di sana. Tidur demikian pulas hingga tak mendengar Barra yang menggunakan tongkat mengarah padanya.

     “Regi,” panggilnya. Alih-alih khawatir, karena ia pikir, sudah menemukan gadis itu. “Regi,” panggilnya lagi. Gadis ini benar-benar mirip mayat kalau tidur. Sama sekali tidak terganggu. Barra memilih duduk di tepi ranjang. Memperhatikan lamat-lamat gadis bar-bar yang tadi sempat ia marahi, berkata ketus juga sempat menggunakan nada tinggi saking gemasnya Barra atas kelakuannya itu.

     Rambut panjang Regi hampir menutup wajahnya. Kulitnya bersih, Barra yakin, gadis ini menggelontorkan uangnya untuk merawat diri dengan apik. Wajahnya oval dengan alis yang cukup tebal. Matanya sebenarnya bagus, hanya saja Barra sering kali kesal karena entah kenapa Regi ini mendekati bodoh polos atau polos bodoh. Tatapan matanya yang selalu membuat Barra kesal berlama-lama menatapnya.

     Belum lagi bentuk tubuhnya yang tinggi juga proporsional. Kalau Regi mendaftar jadi model, Barra rasa diterima. Mungkin karena setelah bebersih tadi, Regi menghapus make up atau memang tidak mengenakan make up, Barra kurang yakin. Namun satu hal yang Barra sadari, gadis ini innocent tanpa make up

     Ditambah, Regi mengenakan kaus oblong longgar bertulis namanya. Juga celana pendek selutut yang santai sekali dikenakan Regi. Seperti di rumahnya sendiri. Barra geleng-geleng pada akhirnya.

     “Regi,” panggilnya lagi. Kali ini Barra mengguncang pelan bahu sang gadis. Ini juga sudah sore. Nanti malah terlalu malam unutk sekadar makan malam.

     Perlahan kelopak mata Regi terbuka. Hal pertama yang sebenarnya ingin ia lihat adalah sosok sang ibu. Dirinya tadi sempat bermimpi, tidur dipelukan Ambu. Juga ada Disti yang bercerita panjang lebar mengenai sekolahnya.

     Ia mengerjap sekali lagi mengharap mimpinya jadi nyata. Tapi ketika kesadarannya mulai penuh, ia mengerut.

     “Kenapa kamu manyun gitu?” tanya Barra heran.

     Regi pun bangun dari tidurnya. “Bapak ngapain di sini?”

     Barra melongo.

     “kalau nagih utang bisa, kan, enggak sampai harus di kamar?”

     Barra tidak tau harus bagaimana.

     “Saya tau, utang saya banyak banget. Tapi saya enggak niat kabur, kok.” Regi masih mendumel. Ia segera menyibak selimut yang menyentuh kakinya. Tanpa permisi ia pun melewati barra. Satu hal yang ia lupa, Barra dan tongkat penopang langkahnya.

     “BAPAK!!!”

     “Siapa suruh mata kamu enggak dipakai?”

 

***

 

     Baru saja Regi akan memejamkan mata karena dilirik, jam di dinding sudah menunjuk angka sebelas. Getar ponselnya membuat dirinya menyambar gadget itu dan melihat siapa penelepon laknat maha pengganggu itu.

     Barra.

     Ya, Tuhan! Tidak ada kah esok hari yang akan datang menyapa? Hingga malam menjelang tidur saja Regi masih harus menerima gangguannya? Padahal pamit pulang tadi, Regi sudah bertanya lho, kira-kira Barra butuh apalagi? Susu, sudah ia buatkan. Camilan, juga sudah ia keluarkan dari kulkas. Juga buah. Oh, jangan lupa satu teko besar air putih di meja makan. Semuanya sudah Regi persiapkan.

     “Kenapa, Pak?” Regi tidak membuat-buat nada suaranya yang memang kelelahan.

     “Besok jangan telat. Kita masak pagi-pagi. Saya mau makan masakan rumahan. Bukan beli lagi.”

     Regi menggeram kesal. Ia sudah tau! Bahkan tiga kali Barra mengingatkannya!

     “Kalau Bapak ganggu saya mau tidur, saya bisa kesiangan besok!”

     Demi galaksi andromeda yang ada! Barra malah tertawa. Ini Regi mesti membeli sesuatu agar Barra tidak dalam keadaan ngaco seperti ini.

     “Ya, sudah. Selamat malam, Regi.”

     Malas menjawab, Regi memilih segera mematikan dan segera tidur. Dirinya memang luar biasa lelah. Sesukanya ia pada kegiatan bebenah rumah, kali ini ia harus membersihkan apartemen Barra dua kali. Padahal saat pertama kali, ia menyelesaikannya dengan cepat. Selain karena memang hunian Barra rapi juga tidak terlalu kotor, semua furniture di sana tak terlalu banyak. 

     Beda halnya ketika Regi yang membuat angin puting beliung dadakan. Regi meringis melihat hasta karya dirinya sendiri. Ini semua salah Love!!! Ia jadi berpikir, kalau Barra tinggal bersama Love, bagaimana ia yang harus beberapa kali ke sana sekadar memenuhi kewajibannya pada selembar surat perjanjian memuakkan itu?

     Dalam surat perjanjian itu, tak tertera kalau Barra memiliki peliharaan. Harusnya ia bisa protes, kalau-kalau Barra memintanya mengurus Love. Jangankan ingin didekati, sekadar melihat hewan bernama kucing itu saja, Regi sudah lari terbirit-birit. Pengalamannya pada kucing membuat dirinya trauma tingkat tinggi pada hewan yang banyak orang bilang, hewan lucu dan manis itu.

     “Dari mana manis? Luka sepanjang ini karena kucing!” sungutnya ketika melihat satu gurat panjang di dekat betisnya akibat cakaran kucing. Karena Regi telaten meawat bekas luka itu, sekarang hanya sebatas garis samar dengan warna kulitnya. Belum lagi ia ingat, bagaimana kucing itu mengeluarkan taring serta desis galaknya. Dulu. Saat ia berusia tujuh tahun.

     Regi. Kucing. Barra.

     Disatukan. Maka akan timbul badai besar.

     

 


 

Belajar Masak Itu, Harus Ikhlas! (2)

 

            
 

Begitu Barra membuka pintu kamar, Regi sudah ada di dapur. Terlihat segar walau sepertinya masih berwajah bangun tidur. 

     “Kamu sudah mandi, Regi?” tanya Barra tanpa berpikir. Ketika mendapat tatapan bingung dari Regi, ia menyesali pertanyaannya. Kalau bisa, pria yang masih mengenakan handuk di kepalanya ingin menarik dengan segera ucapannya barusan.

     “Belum. Mana keburu. Cuma sudah sikat gigi, kok. Sama pakai parfum. Regi wangi kok, Pak.”

     Barra sudah bilang belum kalau Regi ini polos mendekati bodoh. Mungkin saat ingin diturunkan ke bumi, pembagian kadar bodoh dan polosnya seimbang. Atau malah berat sebelah. Buktinya, Barra rasa gadis yang menggelung tinggi rambut cokelatnya itu tidak berpikir arah kalimatnya seperti apa.

     “Mandi dulu sana.”

     Regi manyun.

     “Siapa tau di kos kamu enggak ada air hangat. Apartemen saya tersedia.”

     Tadinya Regi sedang merapikan piring-piring bekas makan malam yang belum tersusun di rak. Tapi ia segera menghentikannya. Bahkan meletakkan sendok pun sedikit lebih kasar. Menyebabkan bunyi cukup berisik di pagi hari yang masih malu menunjukkan cahayanya.

     “Water heater kos saya selalu nyala, Pak. Tawarannya saya tolak.”

     Barra tertawa. “Pemalas banget jadi perempuan. Mandi pagi itu segar. Cepat, mandi.”

     “Enggak!”

     “Mandi, Regi.” Barra berjalan perlahan dibantu tongkat setianya. 

     “Kan, mau masak sarapan. Ngapain, sih, mandi sekarang?” Regi masih belum terima disuruh-suruh mandi. Regi paling malas mandi pagi di hari Minggu. 

     “Saya enggak mau masak sama orang yang masih bau iler kayak kamu.”

     Regi mendelik tajam ke arah Barra yang kini sudah berjarak cukup dekat dengannya. Kalau saja melempar centong nasi ke arah Barra dikatakan sebuah pemakluman, pasti sudah ia lakukan. Regi kesal. Dongkol banget. Akhirnya, daripada berdebat lebih lama ia pun menuruti. 

     “Sebelum mandi, keluarkan dulu paha ayamnya. Sayurnya, buncis, wortel. Cabainya juga. “

     Regi misuh-misuh. Namun tak ada lagi yang bisa ia perbuat kecuali menuruti. Ia tak tahu Barra mau masak apa untuk sarapan pagi ini. Yang penting, ia menuruti saja perintahnya. Hanya berharap, memasak bersama Barra agenda yang menyenangkan. Mengingat Barra ini orangnya benar-benar bisa membuat Regi selalu menukar sabar yang ia punya, dengan emosi yang demikian besar. Bisa-bisa Regi terkena keriput di usia sebelum tiga puluh tahun kalau terlalu lama dekat dengan Barra. Semoga tidak. Jangan sampai. Regi mendadak ngeri dibuatnya.

     “Regi, jangan lama.”

     Belum juga masuk ke kamar mandi. Paduka Mahadiraja, Barra Herdiyanto, sudah berteriak. Barra dan ujian sabar. Kolaborasi sempurna yang harus Regi hadapi beberapa bulan ke depan. Iya, kan? Semoga Regi lulus dengan nilai sempurna.

     Sepertinya saran Barra itu ada benarnya. Regi lebih segar dan bersemangat. Ia kembali menggulung rambutnya tinggi-tinggi. Ia tak mau mengorbankan rambutnya yang biasa terkena sentuhan salon, dengan asap dari dapur. Atau lebih parah, terkena api dari kompor. Ia takut hal itu terjadi.

     “Kita mau masak apa, Pak?” tanya Regi yang mendapati Barra yang duduk di kursi dekat dapur. Dilihatnya pria itu sedang mengupas bawang. Sangat kontradiktif sekali, kan? Barra yang ketus juga nyebelin, malah bisa masak dan jangan lupa, sepertinya Regi kalah dalam hal perawatan kulit dan wajah.

     Ketika Regi mendekat, aroma yang ada di sekitar Barra bukan sebatas parfum yang akhirnya Regi biasa kenali. Ada aroma body lotion yang sama seperti miliknya. Nivea. Astaga! 

     “Yang simple. Saya suka masakan rumah bukan berarti yang ribet-ribet.”

     Regi manyun. Dirinya mana mengerti masakan rumah yang dimaksud Barra. Sepertinya mereka berbeda selera. “Saya bantu apa?”

     “Iris bawang bisa?”

     Regi nampak ragu tapi ia harus mencoba, kan?

     “Saya enggak mau, ya, ada tragedi kena iris pisau.”

     “Ya pelan-pelan, Pak,” sungut Regi.

     Lalu Barra mengangsur duo bawang yang ia takar sebagai bumbu. Pun bawang bombay. Jangan lupa cabai serta tomat.

     “Ini semuanya, Pak?”

     “Ini baru sedikit. Mau ngeluh?”

     Regi tidak lagi mau berbantah. Pelan-pelan ia mengiris semua yang Barra beri tadi. Cukup lama Barra memperhatikan Regi mengiris satu bawang dan ia sudah tak sabar.

     “Astaga! Lama banget, Regi!”

     “Saya, kan, baru belajar.” Bibir Regi maju dua centi. Tak terima.

     “Begini caranya biar aman dan juga cepat.” Barra akhirnya mengambil alih apa yang tadi ia beri pada Regi. Lalu mengajari bagaimana cara memotong semuanya. Sesekali ia memberitahu tebal dan tipis juga arah iris. 

     “Saya praktek pakai bawang yang lainnya boleh enggak?”

     Barra nampak menimbang sebentar. “Setelah sarapan, deh. Lapar.”

     Regi mengangguk tak membantah. 

     “Kamu masak nasi, saya tumis bumbu dan kamu ingat-ingat step-nya. Kalau bisa dicatat.”

     “Ya elah. Divideoin aja gimana?”

Barra menggeleng pelan. “Terserah. Sipain dulu wajan yang mau dipakai. Ada di rak bawah. Minyaknya keluarin. Yang rendah kalori, Regi. Ada di rak atas. Bumbunya dekatkan di dekat kitchen sink. Biar mudah dipakainya.”

Regi turuti saja instruksi Barra.

***

“Harum banget, Pak.”

Barra jemawa. “Kalau numis bumbunya pas, pasti rasanya enak pun wanginya harum. Aroma kecap sama bumbunya bikin selera makan, kan?”

Regi mengangguk tanpa ragu. “Saya siapin nasi dan piring, deh. Bapak mau jus apa nanti?”

“Wortel dan jeruk saja. Itu favorit saya.”

Regi langsung melesat ke dapur. Menyiapkan semua hal untuk sarapan mereka juga juicer.

“Sarapan dulu. Nanti keburu dingin. Jusnya nanti dulu,” kata Barra yang kini sudah duduk di meja makan.

Regi nyengir. Perutnya memang sudah minta diisi, sih. 

“Kerupuk ada di rak paling ujung, Regi.”

“Iya, Pak.”

Buncis dan wortel hanya direbus dan ditumis sebentar, disiram kecap asin hanya untuk penambah rasa. Sementara paha ayam tadi, Barra masak ayam kecap dengan irisan bawang bombay yang belum terlalu matang. Buat Barra, cita rasa bawang bombay yang setengah matang, lebih enak disantap.

Mereka makan dengan tenang dan diseling obrolan ringan. Seputar kerja juga hobi. Regi bicara tanpa beban dan juga tidak ada rasa kesal karena mulai terbiasa dengan Barra yang selalu asal nyeletuk. 

“Kamu tuh makan selalu begini, ya?”

Regi mengerjap pelan. merasakan ujung bibirnya yang terkena sentuhan tisu dari Barra. Juga bagaimana telatennya Barra mengusap sisa kuah pada tepi bibir Regi.

“Jadi perempuan tuh kalau makan yang pelan. Sopan. Bagus di depan saya. Kalau di depan calon suami gimana?”

Regi sukses tersedak!!!

***

     “Kita serius mau nonton?” tanya Regi. Dirinya sudah kerepotan dengan barang belanjaan. Sementara orang di sebelahnya, cuek aja dengan gadget-nya.

     “Dy!” pekik Regi.

     “Apaan, Rex.” Maudy menoleh, menatap sahabatnya yang kerepotan dengan pandangan remeh. “Lo ngapain, sih, belanja banyak-banyak gini? Ribet tauk!”

     Regi cemberut. “Lo pikir gue mau?” Kakinya menghentak karena kesal sebenarnya. “Kalau bukan Paduka Raja Barra yang minta gue belanja, malas banget gue. Padahal baru banget, lho, kulkasnya diisi penuh sama ibunya. Heran banget. Isinya amblas ke mana, ya?”

     Maudy terkekeh. “Ini kita balik dulu ke apartemen bos baru lo? Tiket sudah gue beli, lho.”

     Regi bingung mendadak jadinya. “Gue telepon dia dulu, deh.”

     “Ya, lah. Kemarin kita udah batal ke salon. Masa iya, batal kencan lagi.”

     “Gue sayang lo, Dy.”

     “Gue cinta lo, Rex. Tenang aja. Biarpun gue tau, lo masih enggak bisa move on dari Dion.”

     Dengan semena-mena Regi menepuk bahu Maudy, keras. Membuat sahabatnya itu meringis kesakitan. 

     “Sok tau banget lo!”

     Maudy tertawa. “Udah move on beneran?”

     Regi abaikan. Ia memilih melakukan panggilan pada Barra yang di dering ketiga baru diangkat.

     “Pak, saya telat sampai apartemen Bapak, ya. Saya mau nonton dulu.”

     “Enak saja! Pulang!”

     “Yah, Bapak! Tiketnya sudah dibeli. Sayang, kan?”

     “Pulang, Regi. Kamu beli makanan Love. Love nanti meninggal enggak makan.”

     Regi menghela napas pelan. “Pak...”

     “Pulang, Regi.”

     Tanpa perlu menyahuti kata-kata Barra, segera ia tutup telepon itu dengan kesal. 

     “Gimana?” tanya Maudy sembari memotek batang cokelat yang tadi dibeli. Mengangsur sisanya pada Regi namun ditolak. Maudy mengerutkan kening. Biasanya, Regi dengan cokelat sangat suka. 

     “Disuruh langsung balik.”

     “Lagian lo polos banget, sih. Kenapa mesti jujur? Bilang apa, kek, gitu.”

     Regi cemberut. Ia melirik pada banyaknya kantung belanja yang ditenteng. Salah satunya ada kantung berisi banyak makanan kucing yang memang tadi ia beli. Maudy enggak banyak bertanya karena merasa ada di list belanjaan Regi tadi.

     “Ini karena Love.”

     “What?” Maudy mencoba menajamkan pendengaran.

     “Love,” ulang Regi.

     “Siapa Love?”

     “Anaknya Barra?”

     Rahang Maudy hampir jatuh. Beruntung ia sempat menelan gigitan cokelat yang terakhir. Kalau tidak bisa jadi cokelat itu jatuh ke lantai mall. Menjijikan. “Barra duda?”

     Regi hanya mengedikkan bahu. “Udah, lah. Balik aja. Gue males ribut.”

     “Terus tiketnya?”

     Bahu Regi lagi-lagi merosot. Padahal ini film yang Regi tunggu tayangnya di bioskop. Pun Maudy. Mereka sengaja mengambil hari minggu dan di-booking jauh-jauh hari agar tidak tertinggal.

     “Atau gini, deh. Lo alasan apa gitu.”

     Regi menoleh dengan ragu. “Apa?”

     Maudy tersenyum kecil. Lalu berbisik yang diakhiri dengan pelototan tajam dari Regi.

***

     “Maaf, ya, Pak,” kata Regi setelah memastikan semua belanjaannya masuk ke dalam kulkas sesuai dengan yang pernah Barra ajarkan. Pun buah-buahan segar kembali terisi. Camilan Barra lebih banyak berupa buah-buahan. Selama Regi mengurusnya, ia tak pernah meminta camilan seperti gorengan atau kue-kue manis. Semanis camilan yang Barra makan, hanya roti lapis madu. Itu saja.

     “Mau marah juga percuma.” Barra enggan menanggapi sebenarnya. Tapi melihat gadis itu datang dengan banyak tentengan dan terlihat kesulitan, Barra sebenarnya tidak tega. Tapi mengingat Regi yang terlambat pulang hampir 3 jam lamanya dari kesepakatan membuat dirinya berang juga.

     “Ya, gimana lagi.”

     Barra menutup buku yang sedang ia baca. “Duduk,” perintahnya pada gadis berambut cokelat itu. “Kamu tau salah kamu?”

     “Pulang telat?”

     Barra menggeram marah. “Lainnya?”

     Regi melarikan pandangannya ke arah lain. Saat tadi sempat bersemuka, Regi yakin Barra dalam keadaan marah padanya. Kilat emosi jelas sekali bisa terbaca olehnya.

     Regi menggeleng pelan saja karena memang tak menemukan jawaban.

     “Saya belum makan malam dan ini sudah lewat batas makan malam saya.”

     Regi menunduk memperhatikan ujung kakinya. Otak kecilnya mengingat sebelum ia pergi belanja, ia sudah menyiapkan makan malam untuk Barra. Masakan tadi pagi masih ada, kok. Juga potongan apel dan anggur yang sudah ia masukkan ke kulkas.

     “Jam berapa sekarang?” tanya Barra masih kesal.

     Regi hanya melirik sekilas Baby G di lengan kirinya. “Jam sebelas, Pak.”

     “Coba, deh, kamu pikir kenapa saya marah. Kamu harus kembali ke apartemen saya dengan belanjaan. Saya enggak tau kamu sudah makan atau belum,” Barra mengembuskan napas pelan. “Dan kamu harus kembali ke kos. Ini sudah malam dan kamu nyetir. Mikir enggak kamu kalau di  jalan sudah malam gini bahaya?”

     “Kamu mau nabrak orang lain karena kecerobohan kamu itu?” tuding Barra.

     Regi bingung jadinya. Ia terbiasa pulang larut, kok. Jam sebelas dari kantor saja pernah. Tapi memang tidak terjadi apa-apa karena konsentrasinya masih penuh. Sial saja nasibnya karena saat itu Dion membuatnya benar-benar sakit hati. Belum-belum memikirkan rasa sakit hatinya yang belum tuntas, ia harus berurusan dengan maha benar Barra Herdiyanto. Seperti saat ini. 

     “Jujur sama saya, kamu dari mana? Alasan yang kamu buat terlalu mengada-ngada asal tau saja.”

     Regi mati kutu.

     “Regi.” Barra masih belum mau menurunkan nada ketusnya. 

     “Maaf. Tadi saya jadi nontonnya.”

     Barra bangkit, lalu menyambar tongkatnya. Berjalan tertatih-tatih ke kamar tanpa perlu menatap Regi lagi. Bahkan panggilan Regi ia abaikan.

     Hingga setengah jam berlalu, dan Regi mengetuk pintu kamarnya untuk pamit pulang, Barra enggan bicara. Ia hanya ingin gadis itu tepat waktu kembali ke apartemen. Gadis itu ada di apartemennya sejak pukul setengah enam pagi tadi. Banyak pekerjaan yang ia kerjakan di sini. Selain membantunya memasak sarapan, membantu Barra untuk melatih gerak tangannya, ia juga mencuci pakaian Barra yang sudah bertumpuk.

     Melayani Barra dengan riang tanpa paksaan sama sekali. Walau sesekali ia cemberut dan misuh-misuh, Regi tetap mengulum senyum tiap kali bertanya ini dan itu. Barra yakin gadis itu pasti lelah. Namun ia memaksa Regi untuk belanja karena memang tidak ada persediaan buah lagi. Barra biasa beli buah tiga hari sekali. Pun stok makanan kaleng Love. 

     Maksud Barra, selepas gadis itu belanja, mereka makan malam bersama dan Regi bisa pulang. Tidak terlalu malam dan masih bisa istirahat karena besok Regi bekerja, kan? Kenapa gadis itu tidak mengerti juga, sih?

     Benar-benar otaknya hanya terisi kesenangan belaka, ya?

     Barra kesal sekali hingga tak bisa memejamkan mata. Bahkan Love yang bergelung di lengannya saja tak mampu membuat kesal yang Barra rasa menghilang. Belum lagi besok pagi Regi harus datang ke sini. Menyiapkan ini dan itu, baru lah sang gadis bekerja. Bagi Barra, saat ini kesehatan Regi penting. Kalau Regi ikut-ikutan sakit, tidak bisa merawatnya, lalu dia bernasib seperti apa?

            


 

Target Adalah Target. Jangan Mainan!

 

            
 

Saat Barra keluar kamar karena mencium aroma kopi, sosok yang membuatnya kesal sepanjang malam sudah ada di sana. Kali ini tampilannya jelas berbeda. Walau kembali menggelung rambutnya tinggi-tinggi, pakaian yanag Regi kenakan sudah rapi. Tidak lagi menggunakan kaus kebesaran dan celana pendek. 

     “Morning, Pak,” sapa Regi dengan senyum semanis madu. Sengaja. Maudy pernah bilang, salah satu keunggulan Regi adalah senyumnya yang menawan. Deretan giginya yang rapi serta ada gingsul sedikit yang menyembul di bagian kanan, menambah kata menawan dalam senyum yang ia punya itu.

     Regi percaya apa yang dibilang Maudy. Sahabat lengketnya itu tidak akan berbohong. Ya, kan? Makanya kenapa, ia menunjukkan senyum itu pada Barra. Niatnya baik. Membujuk sang bos baru agar tidak lagi cemburut atau marah-marah. Oh, satu lagi. Regi semalam melihat dengan baik tutorial membuat kopi yang baik dan katanya enak. Regi turuti saja, lah. Ia juga bikin sontekan step by step membuat kopi. 

     Semoga Mahadiraja Barra suka. 

     “Bikin apa kamu?” tanya Barra setelah duduk di kursi kebesarannya. Aroma manis vanilla menyapa penciumannya. Regi ganti parfum? “Biasanya pakai Paris, kamu ganti parfum?”

     Gerak Regi yang sedang mengoles roti gandum untuk Barra, terhenti. Ia tak sangka kalau parfum vanilla yang dikenakannya, bisa dikenali dengan mudah oleh Barra. “Enggak suka, ya, Pak?”

     “Enggak cocok sama kamu.” Barra bicara jujur. Ini terlalu manis untuk takaran perempuan setengah bar-bar macam Regi. Barra serius. Menurut penilaiannya, parfum sebelumnya lebih enak digunakan dan cocok bagi kepribadian Regi yang kadang asal-asalan itu. “Kenapa kamu melihat saya seperti itu?” Barra mengerutkan kening kebingungan ketika mata mereka mengudara.

     Di sana, Regi manyun. “Ini parfum kesukaan saya padahal. Kata pacar saya, manis seperti saya.”

     Barra tersedak ludahnya sendiri. “Pacar kamu bohong berarti.” Ia pun menyambar cangkir kopi yang dibuatkan Regi tadi. “Ini enggak kamu campur sianida, kan?”

     “Bukan sianida lagi, Pak. Baygon!”

     Barra ngakak. Hiburannya benar-benar hidup. Regi dan segala ucapannya yang spontan. Dan jangan lupa, ekspresi wajahnya yang selalu menghibur Barra. Saat lidahnya disapa kopi buatan Regi, Barra nampak menimang sejenak. Matanya diedarkan ke sekeliling ruangan, indera pengecapnya ia gunakan dengan sangat baik sekadar mencicipi kopi itu.

     “That’s good. Saya suka,” puji Barra tulus. “Ini bukan kopi sachet-an, kan?”

     Tadinya Regi sudah ingin terbang ke surga karena mendapat pujian Barra, tapi sayapnya patah. Belum sampai dua meter ia terbang, sayap itu Barra patahkan hingga remuk. Regi susah payah, lho, mencatat resep, uji coba sejak pagi juga, belum lagi beberapa kali kena senggol panci panas. Dan mendapat pujian seperti itu? Luar biasa memang Barra Herdiyanto membuat mood Regi amblas.

     “Lho, saya salah bicara?” tanya Barra bingung. Ketika mendapati gadis itu malah manyun. Duduk saja seperti orang terpaksa, bunyi decit kaki kursi yang beradu lantai marmer begitu berisik. Barra makin bingung jadinya.

     “Bapak mau sarapan apa?” Regi dengan ketusnya melirik ke arah Barra yang nampak bingung melihat ke arahnya.

     “Ya kamu siapkan apa untuk saya? Kali ini saya ikut kamu aja, lah.” Barra mengedikkan bahu. “Selama itu roti gandum. Asal topping-nya jangan terlalu manis. Saya enggak suka. Nanti cepat diabetes.”

     “Aamiinn,” celetuk Regi.

     “Oh, kamu doakan saya cepat mati, ya?”

     Regi hanya memutar bola matanya jengah.

     “Ini lapis madu.” Regi memang sudah menyiapkan sarapan roti lapis tersebut. Setelah memastikan garpu tersedia di piring, ia pun mengangsurnya pada Barra. Ia pun sarapan yang sama dengan sang bos menyebalkannya itu.

     “Kamu pulang kerja biasanya jam berapa?”

     Regi menghentikan kunyahannya, nampak berpikir. “Sekitar jam enam dari kantor, sih, kalau lagi banyak kerjaan.”

     Barra hanya mengangguk seolah paham. “Jam kantornya?”

     “Jam lima. Kenapa memangnya, Pak?”

     Barra menghela napas. “Masa kamu enggak bisa mikir juga, Regi. Astaga.”

     Regi mengerjap. “Memang ada apa, sih?”

     “Makan malam saya, Regi.”

     Pikir Regi, dirinya masih sempat, kok, untuk tiba di apartemen Barra sebelum jam makan malam bos barunya itu. Lalu apa yang salah sebenarnya, sih? Regi bingung. Barra ini terlalu banyak aturan dan ini itu. hidupnya belibet sekali mirip benang kusut. Menurut Regi seperti itu.

     “Saya itu maunya makan malam dimasak dulu. Saya lebih suka makanan fresh. Sebelum saya ditabrak kamu, saya pulang kerja selalu on time jam lima. Sampai di sini jam enam. Sebelum jam tujuh saya sudah harus makan malam Regi. Itu masalahnya.”

     “Iya, saya tau. Saya kan pulang jam enam dari kantor. Masalahnya di mana?” Regi masih belum bisa menghubungkan di mana letak bedanya.

     “Kamu enggak menyiapkan saya makan malam? Kamu yang harus masak, bukan saya.”

     Regi manyun lagi. “Iya, saya juga tau itu.”

     “Pulangnya lebih awal, jam lima dari kantor. Memang kamu ini jam kantornya dari jam berapa ke jam berapa, sih? Masa iya, pulang kantor saja selalu telat. Memang kamu ngapain aja selama lebih dari delapan jam di kantor.”

     Bibir Regi makin maju. Kesal.

     “Enggak usah manyun gitu. Saya enggak suka pagi saya dirusak sama wajah jelek kamu.”

     “Kerjaan saya juga banyak, Pak.”

     “Diperingkas, lah. Masa iya enggak bisa. Kerja tuh yang cerdas. Jangan Cuma buang waktu.”

     Regi makin manyun saja, lah.

     “Sudah, sana. Kerja.” Barra mengibaskan tangan. “Oh, kasih makan Love dulu.”

     Regi langsung melotot ngeri. “Enggak mau!!!”

     “Kasih makan aja. Love masih di kamar saya. Heran, anak saya lucu banget begitu kamu takut. Harusnya kamu ngaca, Regi, kamu sama Love itu cantikkan Love.”

     Barra dan Love. Seharusnya dipasangkan dalam satu jenis makhluk. Sama-sama kucing. Bukan kucing dengan majikannya. Kalau bisa Regi memohon, agar Barra jangan diciptakan sebagai manusia. Tapi tidak mungkin. Buktinya, manusia aneh bin ajaib bernama Barra ada di depannya. 

     “Cepat. Nanti kamu telat.” Barra mengibaskan tangannya. Setelah sebelumnya ia menyelesaikan piring sarapannya juga cangkir kopi yang Regi buat. Ini semakin membuat Regi cemberut dan juga kesal. 

     “Ingat, segera pulang ke sini setelah selesai kerja. Jangan macam-macam kamu. Apalagi nongkrong-nongkrong sama teman kamu.”

     Tuhan, kirimkan Thanos saat ini juga. Hilangkan Barra dengan segera!

***

     “Regi, ini sudah hampir tiga minggu berselang tapi jualan kamu masih belum sampai target.” Ini Herman, bos di kantor Regi yang bicara. Mereka kini ada di ruang Herman karena menurut pria ini, karyawan cemerlangnya agak menurun prestasinya. Dirinya cukup terkejut mendapati laporan yang masuk mengenai target dari seorang Bhregitta Ifandari.

     Biasanya gadis berambut cokelat itu selalu paling unggul dibanding sales lain. Apalagi ia sendiri punya target pribadi, dan Herman tau itu. Sebagai seorang atasan, penting baginya untuk mengetahui apa tujuan untuk mencapai suatu target. Karena ketika tujuan itu jelas dan memang harus dicapai, maka dalam diri seorang marketing seperti Regi akan mencapai tujuan itu dengan gigih. Tak hanya Regi, bahkan Maudy yang masih turun naik dalam hal target pun Herman tau untuk apa semua nominal digit nol yang masuk dalam rekening tabungan dua gadis bawahannya itu.

     Herman menempatkan diri bukan sekadar atasan saja, namun sebagai penyemangat seluruh tim yang ia punya. Jika semuanya bersemangat mencapai target, bukankah target yang ia punya pun tercapai? Makanya sebisa mungkin ia memosisikan diri sebagai atasan yang tidak terlalu menekan tapi bisa membuat mereka menyadari arti pentingnya menggapai target. 

     Regi menunduk semakin dalam. Ujung high heels-nya dijadikan tumpuan pandangannya. Ia benar-benar menyesali kenapa bisa tak konsentrasi selama diadakan event akbar itu. Ia menghitung, sudah berapa daftar customer yang menjadi kliennya. Biasanya para calon customer Regi selalu berakhir dengan terjadinya transaksi down payment. Akhir-akhir ini, karena Regi sendiri sibuk mengurus Barra, semua target customer-nya jadi lari. Bukan lari, sih, mungkin kalau Regi berusaha lebih keras mereka akan membulatkan tekad untuk membeli mobil yang Regi tawarkan.

     “Maaf, Pak.” Hanya itu yang bisa Regi katakan sekarang. Tak mungkin ia menyalahi target yang Herman beri padanya. Toh, Herman sudah menyediakan media promosi dengan booth, diskon, juga beberapa aksesoris untuk pembelian tipe tertentu. Juga pemilihan kantor pembiayaan yang bisa dipercayan para customer-nya. Dan Regi menyia-nyiakan hal itu.

     “Maaf, sih, enggak mengembalikan hari, Regi.” Herman tersenyum kecil. “Kamu ada apa memangnya? Saya melihat kamu jarang fokusnya. Seperti bukan Regi yang saya kenal.”

     Regi makin menunduk. Mungkin kalau lehernya sepanjang jerapah, sudah pasti menyentuh ujung sepatunya. “Iya, kemarin ada sedikit masalah. Tapi sudah bisa dikendalikan kok, Pak.”

     “Pacar kamu?” tebak Herman. Lalu mendapati Regi yang menggeleng gegas, membuatnya berpikir. “Orang tua kamu?”

     “Enggak, Pak. Bukan.”

     “Kalau Regi enggak mau cerita, saya enggak memaksa. Yang terpenting tolong diingat, Regi punya target sendiri, kan? Jangan sampai targetnya enggak tercapai. Bonus kamu nanti enggak turun, lho.”

     “Iya, Pak.”

     “Atau targetnya terlalu berat?” pancing Herman lagi.

     “Enggak, kok, Pak. Regi emang lagi enggak fokus. Tapi mulai hari ini Regi janji, bakalan lebih fokus. Toh, ini sudah menjadi kewajiban Regi bekerja. Harusnya Regi lebih teliti dan juga kerja keras seperti biasanya.” Regi memberanikan diri menatap bosnya di kantor.

     Pria paruh baya itu tersenyum puas. Jangan dipikir kalau seorang bos seperti Herman itu identik dengan perut buncit dan badan yang gembal. Jangan. Seorang Herman Sanjaya bertubuh tegap dan terlihat gagah walau sudah menginjak usia lima puluhan tahun. Katanya, di sela briefing yang sering Regi hadiri setiap awal bulan, selain target yang membuat tubuhnya seperti ini, ia juga mesti melirik pada penampilannya.

     Entah korelasinya apa, tapi yang jelas, ketika melihat seorang Herman dengan pakaiannya parlente dan cukup fashionable, ini pun bisa membuat customer makin percaya pada anak buahnya. Regi sudah membuktikan hal itu berkali-kali. Dan kali ini, Regi seperti benar-benar kecolongan. 

     Dari dua puluh unit yang harus dijual Regi, ia baru menjual tujuh. Sementara akhir bulan sudah dekat pun pameran sebulan lagi selesai. Kalau hitungan kasar Regi bisa masuk dengan jatah kerja lembur juga selalu stand by di pameran, target bulan ini yang tidak tercapai bisa ia alihkan di bulan berikutnya.

     Tapi permasalahnnya, Barra Herdiyanto sudah me-warning-nya mengenai jam kerja. Regi pusing mendadak pada akhirnya. 

     Sudah hampir jam empat sore sejak ia berkutat pada berkas-berkas yang akan dikirim pada kantor pembiayaan mobil, ia pun juga harus membangun komunikasi yang terputus dengan para calon customer-nya dulu. 

     Semoga saja Barra tidak memarahinya lagi ketika nanti tiba di apartemen dalam kondisi telat, bukan seperti yang seharusnya ia janjikan tadi pagi.

 


 

Tinggal Bersama? Gila Aja!

 

            
 

“Duduk, Regi.”

     Capek kerja, disambut muka masam sama Barra, terus hawa-hawanya mau dimarahi lagi. Kelarlah hidup Regi. Atau lebih baik, Regi setor nyawa sekalian saja, ya? Tapi Regi belum banyak menumpuk pahala. Dosa Regi masih sebanyak buih di lautan. Belum bisa menyenangkan Ambu juga masih ada tanggungan untuk kuliah Disti.

     Lalu kalau dirinya keburu dicabut nyawanya? Regi membiayai itu semua bagaimana? Tapi kalau ia harus menghadapi amarah Baginda Diraja Barra seperti ini, ia bisa apa? Padahal ia sudah sangat buru-buru menyelesaikan sisa pekerjaannya tapi mau bagaimana lagi? Target tetap target. Itu saja Regi beruntung, customer yang coba dihubungi kembali, mau merespons dan dengan bujuk rayunya, akhirnya jadi untuk kredit mobil.

     Ia juga harus banyak berterima kasih pada Maudy yang mau membantunya membereskan sisa berkas yang harus dipenuhi bagi pihak leasing nantinya. Kalau semua harus dibereskan di hari ini juga, Regi yakin, ia bisa selesai di atas jam delapan malam. Biasanya, sih, ia tak masalah. Tapi sekarang? Ada Barra yang menyebalkan yang akan merongrong waktunya untuk bertanggung jawab.

     Menyesal pun tak bisa lagi ia ucap. Saat ia dengan rasa percaya diri bisa bertanggung jawab, kalau seperti ini caranya, Regi bisa mati berdiri nantinya.

     “Regi, kamu enggak capek berdiri gitu?” tanya Barra sembari menghela napas panjang. Tablet yang sedari tadi menemaninya, ia letakkan di meja. Matanya menatap gadis berambut cokelat yang masih mengenakan seragam kerjanya dengan pandangan lekat-lekat.

     Jangan lupa napas sang gadis yang nampak tersengal. Seperti habis maraton. Dilihat dari penampilannya, sepertinya itu memang dilakukan Regi. Buktinya, ada titik peluh di sekitar keningnya. Belum lagi penampilannya yang, astaga... jauh sekali dari kata rapi. Seragamnya juga sama. Biasanya untuk pegawai wanita dengan seragam seperti itu, mengenakan rok sebatas lutut namun Regi tidak. Ia memadukannya dengan celana jeans hitam yang nampak santai. Mungkin sudah diganti atau memang penampilan hariannya seperti itu jika sedang bekerja. Yang jelas, Barra mengenal betul seragam yang dikenakan Regi. 

     “Tapi saya enggak dimarahin, kan?” Regi belum mau beranjak. Ketika menyelesaikan sisa pekerjaannya, ia tak sadar kalau sudah hampir pukul enam sore. Ia bergegas pulang. Ingin berkirim pesan tapi takut Barra tambah marah. Beruntung jalan Jakarta masih bersahabat dengannya. Begitu tiba di lobby, tanpa berpikir dirinya masih mengenakan seragam lengkap pun high heels, lupakan make up yang hampir luntur, ia setengah berlari agar cepat tiba di unit Barra.

     “Mau marah juga percuma. Daya saya sudah habis.”

     Regi berjalan mendekat dengan ragu.

     “Duduk sini.” Barra menepuk sofa di depannya menyuruh Regi segera menuruti.

     “Kita perlu bicara masalah waktu kerja kamu.”

     Regi memilih diam saja. Ketimbang ia bicara tambah salah dan membuat Barra marah, ia menurut saja lah. Siapa tau Barra mengerti kalau pekerjaannya ini memang menuntut. Padahal ia benar-benar lelah, tapi mau bagaimana lagi?

     “Kamu ditempatkan di Honda mana?”

     Regi mengerjap. Sepanjang mengenal Barra, dirinya memang berbincang random. Tapi jarang sekali menyinggung tentang pekerjaan. Regi hanya bilang kalau dia sales mobil. Ah, hari ini ia mengenakan seragamnya. Pantas Barra tau kalau ia menjual mobil Honda. Merek kacang goreng yang selalu laris di pasaran Indonesia.

     “Fatmawati,” sahut Regi pelan.

     Lama mereka didera hening. Barra nampak menimang sesuatu, Regi yakin itu, soalnya terlihat ia mengerutkan kening. Belum lagi mimik wajahnya yang serius.

     “Kamu tinggal di sini saja, lah.”

     Regi menatap Barra horor. Ini pria aneh menyebalkan ini serius? Gila aja!!! Tidak ada ide yang lebih buruk lagi selain hal yang baru saja ia dengar?

     “Saya enggak akan macam-macam. Ngapain juga.” Barra menyandarkan diri ke sofa. “Kamu bukan tipe saya, by the way.”

     “Lah, Bapak mikir aja kenapa. Saya dan Bapak beda jenis. Satu tempat gini. Bahaya, Pak!” Regi jelas histeris. Ini berhadapan dengan Barra yang bertemu dalam hitungan jam saja sudah bisa menguras emosi dan sabar Regi, bagaimana jadinya kalau mereka tinggal bersama?

     Sampai di kos, Regi tidak perlu melihat Barra lagi. Ia bisa jingkrak-jingkrak semaunya. Mau memaki Barra seperti kebiasaan barunya sekarang pun ia tak akan sungkan. Kalau Regi tinggal di sini? Jangankan mau berkata kasar, mau mendelik marah saja ia masih berpikir nyawanya yang tidak akan selamat karena kekuasaan Barra.

     Bukan apa, Barra memiliki kuasa untuk meremukkan Regi hingga hancur dengan sikap menyebalkan tak terbantahnya itu. 

     “Ya kalau kamu mau tiba di sini jam lima pagi sesuai perjanjian, dan menyiapkan makan malam juga sesuai perjanjian, silakan kamu menolak usulan saya.” Barra menatap Regi dengan pandangan malas. “Lagian, ada poin yang menyebutkan kamu boleh tinggal di sini. Toh, status kita beda. Saya bos, kamu pesuruh. Jelas sekali bedanya, Regi.”

     Regi manyun kuadrat! Oh, tidak lagi. Sekarang manyun yang Regi punya sudah dalam level triplet. Kuartet juga boleh, lah!!!

     “Sekarang saja, kamu sudah ingkar dengan perjanjian yang ada. Makan malam saya, masih harus beli. Sementara saya biasanya masak. Kamu bilang kamu mau tanggung jawab, mana?”

     “Tapi kalau saya enggak kerja dan penuhi target kerja saya, gimana coba nasib pekerjaan saya,” kata Regi tak terima. 

     “Makanya saya buat simple.” Barra menyugar rambut tebalnya, desah frustrasi pun sudah lolos dari bibirnya. Apa keputusannya ini juga mengandung resiko asal tau saja. Ibunya memang memperbolehkan dirinya menempati salah satu apartemen aset yang dimiliki Rustam Herdiyanto, tapi bukan berarti ia bebas seenaknya membawa seorang perempuan masuk ke dalamnya.

     Pengecualian untuk Regi. Ibunya paham apa maksud tanggung jawab yang diminta Barra pada perempuan berwajah oval itu. Yang ibunya tidak tau, ada perjanjian tersembunyi di antara mereka. Membuat Regi makin tak berkutik dibuatnya. Rere hanya tahu dan memahami, kalau sesekali regi akan membantu Barra di apartemennya selama masa penyembuhan. Mereka tidak menuntut mengenai masalah biaya, karena memang ini murni kecelakaan.

     Ada salah Barra juga di sana. Barra mengakui hal itu. Memberi banyak pengertian agar ibunya tidak terlalu mendesak Regi mengenai masalah biaya. Tapi ini semua disembunyikan juga dari Regi oleh Barra. Alasannya jelas ada. Selain membuat Regi tidak bisa berkutik karena masalah biaya yang ada, ini juga dijadikan senjata untuk Barra. Agar Regi menuruti pintanya. Se-simple itu memang rencana yang dibuat Barra.

     Alasan utamanya, Barra masih sangat kesal karena kecelakaan itu. Memang, ada unsur dari dirinya yang teledor saat menyeberang. Namun alih-alih mengakui dirinya salah, ia justru ingin memanfaatkan momen ini. Padahal banyak sekali pekerjaan yang jadi terbengkalai juga tertunda selama masa penyembuhan yang ia jalani sekarang. Tapi sepertinya Tuhan tau ia sedang memanfaatkan seseorang, makanya, Tuhan beri Regi yang benar-benar luar biasa membuat sabar dalam diri Barra habis terbakar. Ia pikir, Regi pandai memasak. Jadi ia bisa bekerja tenang tanpa perlu merusuhi ibunya dengan masakan rumahan. Ternyata oh ternyata... 

     Tuhan adil kalau masalah asas manfaat.

     “Saya enggak mau satu kamar sama Love.” Regi bergidik ngeri ketika otaknya dihantam satu fakta mengerikan mengenai binatang berbulu kesayangan bos-nya itu.

     “Iya, lah. Enak saja Love sama kamu. Bisa jadi mayat besok paginya. Saya enggak terima kamu macam-macam sama Love!”

     Lah, bos-nya histeris!

***

     Seminggu kemudian, Regi resmi tinggal di kamar seberang Barra. Tadinya ia menolak mentah-mentah. Pertama alasannya, ada Love. Kedua, ia masih bisa mengatur waktu berangkat juga pulang kerja. Ketiga, ia masih waras untuk menyetujui ide gila milik Barra. Keempat, Regi juga masih sayang nyawa kalau-kalau ibunya yang eksentrik itu tiba-tiba datang, lalu menceramahinya ini dan itu. 

     Tapi semuanya amblas masuk ke jurang.

     Ia babak belur mengatur waktu. Sering telat membuatkan Barra sarapan. Pun makan malam yang lebih sering mendapat gerutuan. Jangankan untuk sekadar masak malam bersama, makan malam selalu beli yang membuat Barra ngoceh karena rasanya ini dan itu. Barra tidak pernah mempermasalahkan biaya yang keluar karena makan malam, sama sekali tidak. 

     Akhirnya Regi mengetahui satu fakta kalau Barra ini selain kurang menyukai masakan luar, ia juga alergi terhadap makanan yang terlalu gurih. Alerginya bukan timbul bentol-bentol atau bintik kemerahan. Tidak. Tapi tenggorokannya langsung sakit. Makanya, ia memilih masak sendiri. Toh, lebih sehat dan higienis. Begitu pikir Barra yang membuat Regi memutuskan hal ini.

     “Ini doang barang kamu?”

     Regi cemberut. “Masa saya bawa-bawa kulkas juga?”

     Barra tertawa. Memperhatikan gadis yang nampak santai mengenakan jumpsuit selutut dengan kaus yang digulung hingga pangkal lengan itu menggeret dua koper miliknya. Lalu rambutnya dicepol dan sepertinya gadis ini memotong sedikit bagian poninya. Membuatnya nampak lebih segar dan... menggemaskan?

     Tunggu, Barra memujinya?

     Tidak!

     Menggemaskan versi Barra pantas disandingkan dengan Love.

     “Kamu udah cek isi kulkas?” tanya Barra ketika gadis itu keluar dari kamarnya. Itu pun ia harus menunggu sekitar tiga sampai empat puluh menit. Mungkin gadis itu membereskan baju serta bawaannya tadi.

     “Sudah. Tapi mau ngecek lagi list belanjanya. Bapak ada lagi yang diperluin?”

     Barra mengusap ujung dagu licinnya. “Kamu mau mampir ke Laneige?”

     “Ngapain?”

     “Belikan saya masker dan serum, ya.”

     Regi ingin tepuk jidat jadinya. 

     “Nanti saya kasih list barang apa aja yang habis milik saya. Kalau kamu mau, boleh beli maskernya aja. Selebihnya bayar sendiri.”

     Regi ngelus dada!!! “Seriously?

     “Loh, iya. Saya mana tau kamu cocok atau enggak di Laneige. Kalau kamu mau merek lain, silakan. Nanti bon-nya kasih saya.”

     Regi menyipitkan pandangan. “Kok, saya curiga ya?”

     Barra terkekeh. “Sudah, buruan. Nanti telat bikin makan malamnya.” Pria itu kembali menekuri layar laptopnya. Regi enggan mendekat, ada Love bergelung manja di sana. Sesekali makhluk mini mungil yang sering diberi kecup manja Barra, mengeong. Astaga! 

     Menurut Regi, itu menjijikan.

     “Kita mau masak makan malam apa, Pak?”

     Barra mengangkat pandangannya, ia melihat Regi yang kini terlihat menulis beberapa hal. Sesekali mengecek apa buah persediaan dalam kulkasnya masih fresh atau tidak. Barra lebih menyukai buah yang benar-benar segar. Makanya ia lebih suka membeli sesuai kebutuhan Barra ketimbang banyak dibuang. Sayang. 

     “Saya berangkat dulu, ya,” pamit Regi sembari membenahi slingbag-nya. Ia pun sudah mengenakan sneakers putih yang nangkring cantik di salah satu sepatu klimis milik Barra. Jomplang kelihatannya, biarpun sepatu koleksi Regi bersih dan wangi.

     “Kamu ada uang belanjanya?”

     Regi mengangguk walau ragu. “Kalau kurang nanti saya pakai kartu kredit saja.”

     “Lho, jangan dong. Pakai ini saja.” Barra mengeluarkan kartu gold miliknya. Lalu ia menatap Regi dengan pandangan bingung. Karena gadis itu sama sekali tidak beranjak dari posisinya di dekat pintu keluar. “Ini. Masa saya harus menghampiri kamu, sih?” Barra makin tak sabar dibuatnya.

     Regi menimang sesaat. “Ada Love. Saya takut.”

     Barra ngakak.

 

 


 

Dipikir, Mantan Sudah Mati. Ternyata Masih Hidup.

            
 

Regi sudah menyelesaikan belanjaannya. Semuanya. Tak ada yang tertinggal. Mulai dari bumbu kering, stok tepung juga madu, dan jangan lupa beberapa bungkus puding karena Barra memintanya. Yoghurt juga. Belum lagi stok keju dan gula rendah lemak. Kalau dipikir-pikir, semua barang belanjaan yang Barraa mau itu tidak sembarangan. Ada beberapa yang Barra inginkan hanya merek tertentu. Kalau tidak tersedia, Barra memilih tidak membelinya. Itu pesan yang selalu Barra tekankan setiap kali, walau baru dua kali ini Regi belanja, sih. Tapi Regi selalu mengingat hal itu dengan jelas.

Ia tak mau bikin ulah dengan Paduka Barra. Bisa kalau emosinya karena Barra selalu bisa membuatnya kalah telak dalam hal adu pendapat. Kalau sama Maudy, Regi selalu bisa imbang. Entah kenapa dengan bibir Barra yang sedikit tebal itu, ia selalu kalah. Padahal Barra itu, kan, lawan jenisnya. Seharusnya bisa lebih kalem dan menjaga bicara, ya? Apa saat Tuhan beri kesempatan untuk menjadi cerewet, sosok Barra dulu mengacungkan tangan paling tinggi? Begitu?

Jika beda adanya demikian, Regi tidak pernah bisa membayangkan akan menjalani harinya nanti seperti apa. Apa sebaiknya Regi harus membeli wireless bluetooth yang slim kali, ya? Jaga-jaga siapa tau Barra dalam level maksimal menyebalkannya, Regi bisa mendengarkan musik saja.

“Tinggal buah.” Regi membaca lamat-lamat catatan yang ada di ponselnya. Pun pesan dari Barra agar buah untuk saladnya jangan sampai ada yang tertinggal. Katanya, besok pria itu mau makan salad. Makan pun dihitung jumlah kalori yang masuk. Astaga! Regi yang perempuan saja tidak serepot itu. Apa jiwa mereka tertukar, ya?

Kalau bicara buah, Regi sekarang semakin pintar dalam memilih. Ia tak segan meminta bantuan si penjaga konter untuk membantunya. Karena sudah langganan, akhirnya si Mas Jaga Konter mau saja membantu Regi. Pun direcoki Regi yang bawel bertanya ini dan itu.

     Regi, sih, santai. Apa yang ia tanya juga berguna bagi hidupnya, kok. Ia tak perlu terlalu repot memilih mana yang manis dan matang, mana yang belum. Anggur, kiwi, apel, nenas, tomat, jeruk sunkist, pepaya, dan jangan lupa wortel yang cukup banyak, sudah Regi masukkan dan ceklis dalam list yang ia punya.

     “Go home,” kata Regi sembari tersenyum. Setelah mengucapkan terima kasih atas bantuan si Mas Penjaga Konter tentu saja. 

     “Lho, Regi?”

     Tuhan sepertinya belum ingin membuat seorang Bhregitta Ifandari senang. Buktinya, ketika ia menoleh ke arah sumber suara, sosok perempuan saingannya ada di hadapannya. Cengar cengir tidak jelas namun kental sekali aura permusuhannya. Kadang Regi ingin mengguncang kepala si perempuan, apa, sih, salah Regi sampai harus ditatapi sinis seperti itu?

     Regi termasuk sepupu yang ramah, lho. Maksudnya, ia sering meladeni semua tante, om, dan juga para keponakannya jika acara kumpul keluarga. Tidak ada yang ia buat pilih kasih, termasuk keluarga besar sepupunya itu, Rena.

     “Kamu... belanja?” Rena menatap Regi dengan sangsi. Gadis berambut cokelat itu? Mau berurusan dengan dapur? Keajaiban apa yang sedang terjadi saat ini. Rena tau dengan pasti bagaimana Regi selama ini. Bagaimana tidak, ibunya sering sekali membanggakan dirinya di depan semua orang. Hanya Regi, Regi, dan Regi.

     Seperti tidak ada orang lain saja!

     “Iya.” Regi malas berlama-lama. Apalagi saat ia melihat sosok lain yang menghampiri mereka. Dion.

     Dengan penuh manja, Rena bergelayut di lengan kanan Dion. Menempelinya mirip lintah. Ini membuat Regi mengernyitkan kening. Apa enggak ada ruang privasi, ya? Ini, kan, supermarket! Dasar pasangan norak! Dan dasar mantan enggak guna! Sungutnya dalam hati.

     “Kamu enggak mau ucapkan selamat untuk aku, Regi?” tanya Rena dengan pandangan yang masih meremehkan. Kepalanya sengaja ia sandarkan pada bahu Dion. Ini membuat Regi benar-benar jengah.

     “Untuk?”

     “Pertama, acara pertunangan kita satu bulang lagi. Kedua, aku diterima kerja di kantor Dion. Jadi, kami enggak terpisahkan. Iya, kan, Bebs.”

     “Iya, Bebs,” sahut Dion. Bibirnya sengaja ia tarik dalam level maksimal. Ia tak tahu kalau harus bertemu Regi di sini. Beberapa waktu lalu, ia bicara dengan Regi. Tapi hingga detik ini, Regi seolah melupakan semua pesan juga apa permintaan Dion padanya.

     Mungkin ia sendiri sudah sangat keterlaluan meminta Regi untuk sedikit mengerti mengenai masalahnya. Namun ia tak pantang menyerah. Dalam hatinya, ia masih yakin, kalau Regi masih bisa ia kendalikan. Hanya saja, bagaimana caranya untuk melancarkan apa rencana yang ia punya kalau lintah macam Rena selalu saja menempelinya seperti ini?

     Ruang bebasnya sudah tak ada lagi. Namun ia bisa apa?

     “Oh. Congrats kalau begitu.” Ini Regi bicara sebenarnya sudah menahan kesal dan gemas yang berbarengan memintanya untuk dipikirkan dan dirasakan secara utuh. Kesal karena bisa-bisanya ia tertipu dengan semua pembicaraan dengan Dion kala itu. sesibuk apa pun dirinya di kantor, kadang ketika matanya ingin terpejam menuju alam mimpi, ia masih memikirkan tentang Dion. Kadang juga, ia ingin bertukar kabar dengan pria yang masih belum mau bergeser dari hatinya itu, sekadar ingin mendengar suaranya.

     Kalau mau marah dan kesal dengan perasaan Regi, silakan saja. Regi sendiri bingung, kenapa masih bisa menyimpan perasaan seperti itu pada Dion. Dua tahun menjalin hubungan, walau sesekali ribut karena silang pendapat, tapi semuanya tidak membuat Regi menyingkirkan Dion begitu saja. Dibilang sakit hati, Regi sangat-sangat sakit hati. Tapi Regi bisa apa kalau nyatanya, nama Dion masih menguasai hatinya.

     Sekarang saja ia tak memikirkan sosok pria yang nampak lebih gemuk ketimbang sebelumnya itu. Apa dirinya harus berterima kasih pada Barra, ya? Walau menyebalkan, sosok bos barunya itu, yang membuat pikiran Regi sibuk sana sini dan membuatnya tak terlalu memikirkan Dion sang pacar yang tidak tau diri itu.

     Semua tingkah Rena serta Dion tak ada yang luput dari perhatiannya. Walau sepupunya itu mirip cacing kepanasan, tapi Dion dengan sabar meladeninya. Ah, lagian buat apa Regi kelamaan di sini? 

     “Gue duluan, Ren,” pamit Regi. Ia hanya mencoba tersenyum masam pada Dion. Kalau dipikir-pikir, Regi memang perempuan paling tolol yang pernah ada. Status tidak pernah dalam keadaan putus, tapi diselingkuhi terang-terangan. Namun masih mau mendengarkan apa keluh Dion saat itu. Hingga sekarang, status mereka tidak ada kejelasan. Tapi Regi ambil sebuah kesimpulan kalau dirinya dan Dion, sudah tamat. Berakhir tanpa perlu kata-kata terucap.

     Bagi Regi sebenarnya, diselingkuhi pacar itu menyakitkan. Tapi mau bagaimana lagi, Dion masih bisa ia ingat semua kebaikannya. Ah, dasar payah! Pernah terlintas di kepala Regi, mengenai status hubungan mereka ini bagaimana. tapi keadaan tak memungkinkan sekali. Regi sibuk bukan main.

     Tunggu, kesibukannya ini ternyata ada manfaatnya juga. Kalau kata anak zaman now, ber-faedah. Ia bisa melupakan banyak rasa sakit akibat perselingkuhan Dion di belakangnya karena Barra. Barra menginterupsi Regi dengan digdayanya namun luar biasa berefek. Kadang malah, jika timbul keinginan untuk menghubungi Dion, justru Regi tau-tau sudah jatuh tertidur. Saking lelahnya antara bekerja dan merawat tuan maha benar Barra Herdiyanto itu.

     Regi akhirnya senyum-senyum sendiri memikirkan hal itu. Apa ia mesti berterima kasih, ya? Tunggu sebentar. Masa iya dirinya harus berterima kasih pada orang yang sudah membuat hidupnya tak lagi bebas? Tidak sudi!!! Biarpun kesibukannya menyita banyak perhatian hingga tak lagi memikirkan Dion, tapi bukan berarti Barra banyak mengambil alih hidupnya, kan? Regi kembali manyun. Mengabaikan beberapa orang yang berpapasan dengannya yang menatap dirinya dengan pandangan heran.

     Mungkin Regi disangka sudah gila! Masa bodo!

 

Barra. H :

Jangan lama. Makan malam 

harus dimasak.

     

Astaga! Radar bos barunya itu sampai sejauh apa, ya? Padahal Regi hanya berniat sedikit untuk duduk di salah satu jejeran minuman yang sedang in sekarang. Sekadar melepas lelah akibat keliling supermarket mencari list barang belanjaan Barra. Belum lagi titipan Barra mengenai produk kosmetiknya.

     Regi hanya bisa menghela napas panjang kalau begini. 

     “Take away aja, Mas. Boba-nya double, ya,” kata Regi akhirnya. Padahal sungguh, ia ingin sekali menikmati cup large Hazelnut itu dengan santai. Setelah menghabiskan gelas pesanannya, ia akan naik ke lantai lima sekadar mampir untuk membeli pesanan Barraa tadi. Tapi kali ini? ya ampun. Regi harus rela menikmati cup-nya sembari mendorong trolley menuju lantai lima.

     Barra harus membayar mahal untuk ini. sebuah ide licik pun terlintas.

 

Regi Cute :

Pak, saya enggak boleh beli lisptik?

     

Tak lama pesan itu terbalas.                             

Barra. H : 

Astaga. Bibir kamu emang seksi 

pakai lipstik segala? Enggak usah. 

Maskeran aja.

Regi Cute : 

Idih. Wajah saya tuh bebas jerawat dan enggak perlu maskeran banget, lah. Di salon aja sebulan sekali cukup. 

Barra. H : 

Enggak ada.

 

Regi Cute : 

Yah, udah terlanjur dibeli. 

Pakai gold.

Barra. H : 

Kamu tuh perempuan, harusnya paling tau mengenai pentingnya menjaga kesehatan kulit. Apalagi kamu hobi banget dempulan. Minimal maskeran di rumah lah. Pakai bahan alami. Lisptik enggak perlu dibeli. Yang lain aja.

Regi Cute : 

Parfum Dior boleh?

Barra. H : 

Gampang. 

Bon-nya kasih saya aja.

Regi Cute :

Serius?

     

Regi hampir loncat kegirangan. Tidak peduli kalau di lift yang ia masuki, cukup penuh dengan pengunjung lainnya. Regi tidak membawa trolley belanjannya. Ia memilih menitipkan pada security supermarket dengan menggunakan kartu titipan sebagai jaminan. Jadi ia tak perlu bersusah payah mendorong-dorong belanjaannya ke sana ke mari.

     Lagian, ia sedari awal sudah salah langkah. Harusnya ia ke lantai lima dulu baru belanja. Dasar saja otak dan kakinya kadang tidak sinkron. Otak maunya ke mana, kaki maunya ke mana. Jadilah seperti ini.

     Pokoknya, ia akan mampir ke salah satu outlet parfum yang ada di mall ini. Kalau tidak salah ingat, ada beberapa merek yang ia gemari. Termasuk Victoria Secret juga Dior, sih. Tapi ia lebih memilih Dior ketimbang Victoria Secret. Entah kenapa, Regi sendiri bingung. Sebuah pesan masuk lagi. Segera ia buka dan membacanya.

 

Barra. H :

Tinggal hitung total biaya tambahan selama rawat jalan aja.

     

“Anjing!” maki Regi spontan. Suaranya yang cukup nyaring membuat sebagian penghuni lift menoleh ke arahnya dan menatap Regi dengan pandangan curiga. Ada pula yang menatapnya dengan sinis. Tapi Regi enggan peduli. Yang ia pedulikan adalah sosok yang masih dibantu tongkat untuk berjalan di sekitar apartemennya. Regi yakin, senyum iblisnya sudah tercetak di sana.

     Barra luck nut!!!

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
T-Rex Dan Barra
Selanjutnya BTvsKC [Bab 21 - Bab 25]
2
1
Masih bisa dibaca Gratis alias FreeIsi bab sesuai dengan judulnya
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan