Menghilang (Bab 1)

15
11
Deskripsi

“Luka harus disembuhkan, bukan dihilangkan, Nona.”

Na Young duduk diam menatap seorang pria yang sedang menikmati sarapannya dengan tenang. Dia adalah J-Hope, tetapi dia meminta agar dipanggil Hope. Ya, artinya memang harapan.

Pria ini datang tepat saat Na Young hampir menjatuhkan diri ke sungai. Dia menahan tubuh Na Young sekuat tenaga dan mengangkatnya keluar dari jembatan. Lalu dengan mudahnya dia berkata, “Aku adalah harapanmu, Nona. Semesta tidak mungkin mengirimku padamu tanpa alasan.”

Setelah itu, dengan santainya dia menarik Na Young ke mobil dan membawanya pergi dari tepi jembatan dengan aliran sungai deras di bawahnya itu. Di sinilah Na Young berada sekarang. Sebuah apartemen mewah di tengah kota yang sangat terkenal.

“Kamu baik-baik saja? Jangan melamun.” Ujar Hope yang segera mengembalikan lamunan Na Young. “Kamu belum menyentuh makananmu. Apa kamu tidak lapar?” sambungnya seraya merapikan meja makannya yang terkena tumpahan serbuk roti bakarnya.

“Aku tidak lapar.” Jawab Na Young dingin.

“Jangan begitu. Nanti kamu sakit. Menangis juga butuh tenaga. Nanti kamu bisa pingsan.” Sahut Hope lagi yang kembali menikmati bubur jagungnya.

Na Young tidak menjawabnya.

Hope menoleh sesaat. “Kalau kamu butuh sesuatu, katakan. Jangan diam saja, ya.”

“Ya, aku butuh sesuatu. Suatu alasan kenapa kamu menolongku?” tanya Na Young masih dengan sikap dinginnya.

Hope tidak menjawab, hanya mengangguk pelan mendengarkan lantunan beat lagu yang sedang terputar di ruangan itu.

“Biarkan aku pergi dari sini, Hope. Tidak ada gunanya aku untukmu.” Ujar Na Young yang lebih terdengar seperti permohonan.

Hope mencoba mengambil makanan lain di hadapannya. “Ini sepertinya enak.” Ujarnya mengabaikan ucapan Na Young. Ia pun mencicipi sesuatu dengan garpunya. “Hmm, yummy! Biar aku suapi kamu, ya. Ini enak. Kamu harus mencobanya.”

“Aku sudah bilang kalau aku tidak lapar.”

Hope pun mengambil roti yang sudah dibakar sebelumnya, lalu meletakkan mayonaise di atas rotinya, juga sedikit saus. Kemudian menambahkan juga sedikit telur, dan terakhir bacon. Na Young hanya diam memperhatikan setiap gerakan Hope yang tampak tidak peduli dengan ucapan yang diutarakannya.

“Aku menolongmu atas dasar kemanusiaan, Nona Choi.” Ucap Hope tiba-tiba sambil masih menyiapkan roti di tangannya.

“Kita tidak saling mengenal, Hope. Untuk apa menyelamatkanku? Apa untungnya bagimu?” ujar Na Young sinis.

Hope menatapnya sekilas. “Apa untuk menolong seseorang harus berkenalan lebih dulu? Ini juga bukan jualan yang harus ada untung dan rugi, Nona.” Jawabnya begitu santai. “Jika aku bertanya padamu, apa untungnya kamu melompat ke sungai? Memangnya kamu yakin akan mati? Bisa saja kamu tidak akan mati, dan hanya tersangkut di pohon yang ada di tepian sungai. Benar, kan? Tentunya, kamu berharap dengan mati akan dapat menghilangkan rasa sakitmu, kan? Bagaimana kalau akhirnya seperti yang aku katakan? Bukankah itu hanya akan menambah rasa sakitmu? Bukan saja sakit batin, tapi juga sakit secara fisik. Apa kamu mampu bertahan jika seperti itu?” ia memandangi Na Young yang hanya menunduk dengan kepala rendah.

Na Young tidak mempertimbangkan hal yang diucapkan oleh Hope. Ia hanya berpikir instan. Ternyata kenyataan itu justru membuat hatinya semakin sakit. “Kenapa Tuhan harus menempatkanku pada posisi yang sesulit ini? Kenapa?” batinnya lirih.

“Luka itu harus disembuhkan, bukan dihilangkan, Nona.” Ujar Hope lagi di tengah rasa frustrasi Na Young yang bergejolak hebat. “Nah, lihatlah. Terlihat enak, bukan? Kamu benar-benar harus mencobanya.” Ia menunjukkan roti racikannya pada Na Young seolah ia ingin menghibur wanita itu.

Hope memang bukan tipe orang yang romantis dengan kata-kata. Dibandingkan dengan ucapan manis, ia lebih suka bertindak dan memberikan sesuatu secara langsung. Oleh karenanya, ucapannya akan terdengar lebih rasional dari pada ucapan manis semata.

Na Young memperhatikannya lagi tanpa merespons, dan Hope menyadari ekspresi itu.

“Kamu harus memahami bahwa hidup memang berjalan tidak pernah sesuai keinginan dan kamu harus belajar untuk menerimanya.”

“Kamu tidak akan mengerti, Hope!” sentak Na Young tiba-tiba.

Sedikit terkejut, tapi kemudian Hope tersenyum padanya. “Kata siapa? Aku bisa bicara begini karena aku pernah melewatinya, Nona Choi.”

“Apa yang kamu alami belum tentu sama denganku, Hope!” kembali Na Young menunjukkan sisi emosinya yang labil.

Hope selesai meracik rotinya, dan menyuapkan roti itu kepada Na Young. “Makanlah dulu.” 

Na Young membuang muka. “Apa kamu tidak mengerti bahasa manusia? Aku tidak lapar!”

“Makan dulu, Nona Choi. Nanti kamu sakit.” Desak Hope yang masih bertahan menyodorkan rotinya ke hadapan Na Young.

Na Young menatap Hope dengan kesal. Ia tidak suka dipaksa seperti itu. Namun, melihat tatapan tulus dan senyuman dari Hope, ia pun akhirnya pasrah.

“Baiklah, aku menyerah!” ujar Na Young, lantas menerima suapan dari Hope.

Hope tersenyum melihat Na Young yang mengunyah dengan lahap. “Enak, kan? Tenang saja, aku tidak akan memberimu racun. Aku juga akan memakannya supaya kamu percaya.” Ia pun langsung melahap roti yang tadi juga digigit oleh Na Young.

Untuk sesaat Na Young tercenung. Pria itu tanpa ragu melakukan hal yang menurutnya tak seharusnya dilakukan bersama orang asing.

“Hmm …” Hope menganggukkan kepala dan tampak menikmati roti buatannya. “Selesai sarapan, aku mau ke tempat latihan. Kamu mau aku antar pulang ke mana?” ia menatap Na Young.

“Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri.”

“Pulang sendiri?” Hope menatap Na Young lebih serius. “Dengan risiko kamu akan menjatuhkan diri lagi ke sungai? Hm, no, no! Sepertinya aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”

“Aku bisa menjaga diriku sendiri, Hope.” Jawab Na Young berusaha meyakinkannya.

Hope tersenyum. “Kalau kamu tidak mau memberi tahu di mana rumahmu, maka aku akan menguncimu di apartemenku ini.” Ia kembali menggigit rotinya dengan santai.

“Yaa! Mana bisa begitu? Apa hakmu mengunciku di sini? Aku tidak mau!”

Hope menatap Na Young seraya mengunyah makanannya. “Baiklah, kalau kamu tidak mau, maka kamu harus ikut denganku.”

“Ikut kamu ke mana?” tanya Na Young bingung.

“Kantor polisi. Aku akan melapor kalau kamu …”

“Yak! Apa-apaan kamu itu?!” Na Young menyela Hope dengan tatapan mendelik.

Hope terkekeh pelan. “Ya, terserah padamu. Pilihan ada di tanganmu.”

“Oke, oke! Aku akan pulang ke rumah!” Na Young kembali pasrah pada pria di hadapannya ini.

Hope tersenyum dan kembali menikmati makanannya lagi. “Baiklah. Aku akan mengantarkanmu pulang, tapi nanti.”

Kening Na Young mengerut. “Kenapa nanti?”

“Sekarang habiskan dulu makananmu, lalu mandi. Kamu terlihat berantakan sekali. Nanti kamu bisa pakai pakaianku saja. Kamu ikut denganku dulu, lalu setelah itu, baru aku akan mengantarmu pulang.” Hope meneguk orange juice-nya seraya menatap ke jendela. Ia terlihat memperhatikan pemandangan yang tampak cerah. “Boleh aku tahu, dengan siapa kamu tinggal?” pandangannya tiba-tiba beralih pada Na Young.

“Sendiri. Aku tidak punya siapapun.”

Hope mengangguk. “Hmm, baiklah kalau begitu. Habiskan makananmu. Kita akan berangkat setengah jam lagi.” Ujarnya seraya bangkit dari duduknya dan menikmati lagu yang terputar. Ia menggerakkan tubuhnya dengan penuh semangat.

“Aku tidak tahu harus berterima kasih atau harus marah padamu karena sudah menyelamatkanku.” Ujar Na Young datar. 

Hope menatap Na Young lekat. “Sepertinya tidak perlu keduanya. Kamu hanya perlu bersyukur atas hidupmu saja. Itu sudah lebih dari cukup untukku.” Ia tersenyum begitu tulus.

Na Young hanya bisa menatap bingung pria di hadapannya itu. Pria yang baru dikenalnya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, tetapi sudah mampu menghangatkan hatinya yang sedang rapuh.

***

Na Young sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian yang sudah disiapkan oleh Hope. Ia melihat pria itu juga tengah bersiap. Dalam hati, ia sempat berpikir, “Kenapa aku harus mengikuti keinginannya? Padahal bisa saja aku kabur dari tempat ini tanpa perlu mempedulikan pria itu, kan?”

“Yaa! Kamu melamun lagi? Sudah aku bilang jangan melamun, kan?” Hope tiba-tiba saja muncul di depan wajah Na Young dan membuatnya terkejut.

“Ng, maaf…”

Hope tersenyum. “Tidak apa-apa. Kamu ikut aku dulu tidak apa-apa, ya? Karena aku harus menyelesaikan pekerjaanku lebih awal. Nanti setelah pekerjaanku selesai, latihanku juga, aku janji akan mengantarkanmu pulang. Oke? Mungkin ini terdengar sedikit memaksa, sih. Tapi aku harap kamu bisa mengerti.” Ia menatap Na Young.

Na Young mengangguk tanpa suara.

“Baiklah. Tunggu sebentar. Aku belum selesai bersiap.” Hope kembali berjalan ke sana kemari untuk mempersiapkan sesuatu yang tidak diketahui Na Young.

Hope berkaca sesaat memperhatikan penampilannya, lalu mengambil sesuatu di dalam tas. Ternyata itu sebuah sunscreen. “Kamu mau pakai ini juga?” ia melirik Na Young dengan menunjukkan sunscreen-nya.

“Hm, tidak perlu. Terima kasih.” Jawab Na Young canggung.

Ada sesuatu yang ingin ditanyakan oleh Na Young, tapi terasa berat di mulut untuk mengeluarkannya. “Ng … Hope?”

“Ya?” Hope menoleh sebentar sembari merapikan sunscreen di wajahnya.

“Aku ingin tanya sesuatu.”

“Apa soal aku tidak menanyakan alasanmu melakukannya?” tembak Hope tanpa ragu.

Na Young bergeming. “Apa dia bisa membaca pikiranku?” pikirnya.

“Jawabanku mudah. Karena itu bukan urusanku. Kamu punya hak untuk tidak menceritakannya padaku atau siapapun. Aku hanya berkewajiban menolongmu. Kalau kamu mau bercerita, ya tentunya aku akan mendengarkannya. Namun, kalau tidak, tidak masalah juga untukku. Kenapa memangnya kamu bertanya begitu?” Hope menuju ke arah Na Young setelah selesai dengan sunscreen-nya.

Na Young menggeleng pelan. “Yang aku tahu, biasanya saat seseorang menemukan orang lain yang mencoba melakukan hal seperti itu, pasti akan marah dan memaki. Kenapa kamu tidak?”

Hope duduk di hadapan Na Young seraya memakai sepatu. “Percayalah, aku pernah merasakannya. Ketika kita melakukan hal bodoh dan orang lain menyalahkan kita, itu akan membuat kita semakin frustrasi. Sometimes.

Na Young diam tidak menjawabnya.

“Mungkin aku tidak akan bertanya mengenai alasannya, tapi aku berharap kalau kamu tidak akan mengulanginya lagi. Seberat apapun permasalahanmu, jangan mencoba melakukannya lagi atau hal-hal lain yang mungkin dapat lebih menyakitimu lagi. Apa boleh aku meminta seperti itu padamu?”

Na Young menatapnya lekat. “Kenapa aku harus mendengarkanmu?”

“Kamu tidak harus mendengarkanku, tapi setidaknya, sayangilah dirimu sendiri. Kamu itu tidak pantas melakukan hal-hal buruk seperti itu.” Hope berjalan kembali menuju kaca di ruangan untuk melihat penampilannya. “Jangan pernah kalah dengan masalahmu, orang-orang yang menghakimimu dan menyakitimu. Kamu harus buktikan bahwa kamu bisa melawan segalanya dan hidup dengan baik.”

Na Young menarik napas panjang.

Hope menghampiri Na Young. “Dunia itu kejam, tapi kamu pasti bisa menghadapinya. Jangan kalah. Saat kamu bisa memeluk dunia, di situ rasa puas akan kemenangan hadir, Nona Choi.” Ia menatap wanita itu dengan senyum lebarnya.

Na Young diam saja menatap Hope yang sudah berdiri di hadapannya.

“Aku sudah siap. Kita berangkat, ya? Let’s go!” Hope mengulurkan tangannya pada Na Young.

Na Young menyambutnya, lantas beranjak meninggalkan apartemen.

Kali ini Hope tidak mengendarai mobilnya sendiri, tetapi menggunakan supir. Mereka pun duduk di bangku tengah, dan fokus Na Young tertuju pada Hope yang tampak sibuk dengan tablet di tangannya.

“Hope, apa pekerjaanmu?” tanya Na Young pelan.

Hope menutup tablet dan tersenyum menatapnya. “Aku seorang penyanyi rapper dan juga dancer.”

“P-penyanyi? Benarkah itu?” Na Young terkejut karena ia tidak pernah menonton TV atau mengetahui tentang dunia entertain. Jadi, ia merasa tidak terlalu familiar pada Hope.

Hope mengangguk. Senyumnya terlihat semakin mengembang, entah itu menunjukkan rasa bahagia, atau sedang menertawakan kebodohan Na Young yang tidak mengenalinya sama sekali.

“M-maaf, aku tidak mengenalmu.” Sesal Na Young dengan wajah menunduknya.

“Tidak apa-apa. Tidak semua orang harus mengenalku. Terlebih aku ini penyanyi rapper, bukan grup atau penyanyi solo. Jadi, bukan masalah besar.” Jawabnya dengan santai.

Na Young menatapnya. “Apa tidak apa-apa kalau aku terlihat denganmu seperti ini, Hope? Bukankah nantinya kamu bisa terkena skandal?”

Hope tertawa. “Tidak perlu dipikirkan. Aku bisa mengatasinya kalaupun memang ada skandal yang beredar.”

“Sepertinya kamu terlalu menggampangkannya, Hope. Kalau kamu terkena skandal karena aku, itu pasti akan menyulitkanmu, kan? Kamu menyelamatkanku saja itu sudah menjadi beban untukmu. Apalagi kalau sampai terkena skandal. Kariermu bisa terkena imbasnya, Hope. Seharusnya kamu mempertimbangkan banyak hal.” Na Young menghela napas pelan.

Hope menoleh padanya. Terkejut karena ia tidak mengira kalau Na Young akan berpikir sejauh itu. Ia pun merasa sedikit tidak enak pada Na Young. “Hm, maafkan aku, Nona Choi. Jujur aku memang bukan tipe orang yang terlalu suka memusingkan hal ini sebenarnya. Aku hanya ingin bisa berteman dengan siapa pun, termasuk denganmu, tapi aku melupakan kenyataan bahwa aku seorang public figure yang tidak bisa sembarangan dalam bertindak.” Sesalnya seraya membungkukkan tubuhnya sedikit pada Na Young.

“Eh?” Seketika Na Young menjadi bingung dan salah tingkah dengan sikap Hope.

“Aku mengerti keresahanmu. Mungkin kamu berpikir kalau kejadian ini mungkin saja mempersulitmu, mengganggu kehidupan pribadimu, dan lain-lain. Maaf, aku tidak memikirkannya sebelumnya. Namun, jika memang kekhawatiranmu itu terjadi, aku bisa menjelaskannya, dan aku juga akan pastikan media tidak akan menyentuhmu. Maaf kalau aku terkesan menggampangkannya, Nona Choi. Aku benar-benar menyesal.” Sambungnya masih dengan nada menyesal.

Na Young menggeleng. “A-aniya. Bukan begitu maksudku. A-aku bahkan tidak berpikir kalau ini akan mempengaruhiku, Hope. Aku hanya takut keberadaanku justru bisa merusak kariermu ke depannya. Aku takut niat baikmu menyelamatkanku justru bisa menghancurkan segalanya yang sudah kamu capai. Begitu maksudku.”

Hope memandang Na Young dalam diam. “Kenapa dia malah memikirkan karierku? Aku pikir dia khawatir jika sampai terlibat skandal. Hidupnya sudah sesulit itu. Harusnya aku yang khawatir karena aku bisa saja menambah permasalahan di hidupnya, kan?” pikirnya dalam hati.

“Hope? Kamu melamun?” Na Young mengayunkan tangannya di depan wajah Hope.

Hope tersadar. “Ah, maaf. Hm, kamu tidak perlu khawatir tentang karierku atau apapun itu. Seperti aku bilang tadi, aku menyelamatkanmu atas dasar kemanusiaan. Meski nantinya akan ada skandal yang beredar, setidaknya nyawa seseorang sudah berhasil aku selamatkan. Nyawa lebih penting dari hal apa pun di dunia ini, Nona Choi.” Jelasnya dengan seulas senyum di bibir.

Perasaan Na Young menghangat. Sikap Hope benar-benar membuatnya tidak bisa berkata apa-apa. “Hope … terima kasih.” Ucapnya pelan.

“Sekali lagi aku katakan, kamu tidak perlu berterima kasih. Aku hanya ingin mendengar kamu mengatakan bahwa kamu tidak akan mengakhiri hidupmu lagi. Kalau kamu butuh teman cerita atau apapun karena kamu tidak memiliki siapapun, kamu boleh menemuiku. Kita bisa saling bertukar cerita nanti.” Hope menatap Na Young. “Mulai sekarang, anggaplah aku sebagai temanmu. Aku siap menemanimu melewati apapun yang kamu alami. Itu pun jika kamu mengizinkannya, Nona Choi.”

Na Young mengangguk. Matanya berbinar menahan haru karena sikap Hope yang benar-benar terlihat setulus itu padanya. “Terima kasih banyak, Hope. Apakah aku harus menganggap ini sebagai utang?”

Hope tersenyum simpul. “Tidak ada utang di antara kita, Nona Choi. Hanya ada pertemanan. Kamu mengerti?”

“Ng … Baiklah. Jadi, kita sekarang berteman?”

Hope mengangguk. Ia mengulurkan tangannya bersiap menjabat tangan Na Young. Wanita itu pun tersenyum tipis dan menyambutnya dengan senang.

“Seperti katamu, Hope. Kamu adalah harapanku. Harapan yang datang tepat di tengah badai kehidupanku yang sangat kencang. Kamu memberikanku setitik harapan bahwa aku mampu selamat.” Batin Na Young. “Terima kasih sudah menerimaku sebagai temanmu, Hope.” Katanya dengan tatapan harunya.

Hope tersenyum. “Ah, kita sudah sampai.” Ujarnya saat mobil mereka memasuki area parkiran sebuah gedung.

Mereka turun bersama setelah mobil terparkir. Na Young mengikuti langkah Hope memasuki lift dan sampai di sebuah lantai perkantoran. Mereka menyusuri lorong yang terdapat banyak ruangan di sisi kanan dan kirinya. Sampai Hope akhirnya membuka salah satu pintu dan mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, yang terlihat seperti studio senam karena dipenuhi dengan kaca di sepanjang ruangan.

Suasana begitu ramai di dalam ruangan itu. Ada banyak orang yang tampak sibuk berwara-wiri dengan membawa peralatan masing-masing di tangannya. Mereka pun melangkah masuk dan Hope mulai menyapa satu per satu orang yang ada di sana. Ia juga memperkenalkan Na Young dengan sopan pada mereka. Dari sekilas pembicaraan yang Na Young dengar, mereka akan melakukan latihan untuk pengambilan rekaman sebuah dance video pada esok hari.

“Wah, Hyung! Akhirnya datang juga. Tumben sekali kamu terlambat datang.” Sapa seorang pria pada Hope dengan semangat. Pria dengan rambut panjang berwarna ungunya dan sebuah tindikan di alisnya tersenyum ke arah mereka memamerkan barisan gigi rapi di balik bibir pinknya.

“Sssttt! Jangan berisik. Pastikan saja nanti kamu tidak melakukan kesalahan, Jekey.” Hope menatap teman-temannya yang sedang melakukan peregangan.

“Jekey sudah tidak sabar ingin dimarahi olehmu, tuh, Hyung.” Sahut seorang pria lain yang sedang peregangan kaki di lantai, tertawa dengan renyah.

Pria itu terlihat lebih kecil dari Hope dan pria berambut ungu. Rambutnya dicat warna-warni, dan memakai aksesoris berupa anting dan kalung. Berbeda dengan Hope yang tidak terlihat mengenakan aksesoris apapun. Bahkan telinganya tidak memiliki tindikan saat Na Young memperhatikannya. 

Pria berambut ungu itu berdecak kesal. “Kamu ini menghinaku saja, Hyung! Ngomong-ngomong siapa yang kamu bawa itu?” tanyanya seraya memperhatikan Na Young yang sejak tadi hanya diam di belakang Hope.

“Jangan-jangan …” pria mungil yang tadi melakukan peregangan di lantai sudah berjalan menghampiri Na Young dengan tatapan menyipit. “Lihatlah, kamu membawa wanita cantik ke sini, tapi tidak mengenalkannya pada kami. Keterlaluan sekali kamu, Hyung.”

Hope tertawa pelan memperhatikan teman-temannya yang terlihat tertarik untuk mendekati Na Young. “Sudahlah, jangan mengganggunya. Dia temanku, namanya Choi Na Young.”

Annyeong. Wah, kalian kenapa belum mulai latihan? Sudah jam berapa ini?” seorang pria lain muncul dengan pakaian kasualnya menghampiri kedua pria yang sedang berada di dekat Na Young. “Loh, loh, ada siapa ini? Kenalkan, aku Seokjin. Pria paling tampan di dunia dan sudah diakui di jagat raya bumi. Panggil saja aku Jin.” Ujarnya yang langsung mengenalkan diri.

Pria berambut ungu mendorongnya menjauh. “Yak! Apa-apaan kamu itu, Hyung? Baru juga datang sudah mengajaknya berkenalan! Antre dulu! Kami saja belum berkenalan.” Protesnya.

“Hai, Nona Choi. Perkenalkan, aku Jimin. Yang paling kecil, lucu dan imut di sini. Salam kenal, ya.” Pria bertubuh mungil itu mengenalkan dirinya dengan semringah.

“Yak, Nuna! Kenalkan, aku Jungkook. Paling muda di antara makhluk-makhluk tua ini. Kamu bisa memanggilku Jekey.” Kini, pria berambut ungu juga ikut mengenalkan dirinya.

“Yaa! Kalian ini, ya! Mengalah dulu dengan yang lebih tua. Tidak boleh mendahului.” Tawa pria bernama Jin itu pun berhasil membuat Na Young tertawa melihatnya.

Hope yang memperhatikan Na Young yang sedang diganggu teman-temannya, jadi ikut tersenyum. “Manis juga senyumnya itu. Akan terlihat bagus kalau kamu selalu tersenyum, Nona Choi.” Gumamnya dalam hati.

Jekey mendorong Jin menjauh. “Tidak ada, ya! Mengalah terus sama kamu tidak akan ada habisnya, tahu! Kami tidak laku kalau ada kamu! Kami, adik-adikmu ini, juga butuh berkenalan dengan wanita cantik, ya! Bukan kamu saja!” protesnya tidak terima. 

Aigoo! Lihatlah, mereka kekanakan sekali, bukan, Nona Choi? Harap maklum. Di sini sudah seperti taman bermain untuk mereka. Aku harap kamu memaafkan mereka, ya. Sebaiknya kamu pergi bersamaku saja nanti.” Jimin terlihat serius pada Na Young.

Hope mendorong Jimin menjauh. “Jangan percaya padanya, ya. Dia sama saja.” Katanya dengan santai, yang semakin membuat Na Young tertawa kecil dengan tingkah mereka. “Ayo, sudah, sudah! Siap-siap sebentar lagi latihan.” Teriaknya pada teman-temannya itu.

“Siap, Hyung!” balas mereka serempak.

Hope mengalihkan pandangannya pada Na Young. “Maafkan sikap mereka, ya? Kamu pasti rishi. Mereka memang seperti itu. Suka sekali jahil, tapi mereka sebenarnya baik, kok.” Jelasnya merasa sedikit tidak enak.

Na Young tersenyum. “Tidak apa-apa, kok, Hope. Aku tahu mereka hanya bercanda. Jangan terlalu khawatir.”

Hope mengangguk. “Syukurlah kalau begitu. Kamu tunggu di sini, ya. Aku Latihan dulu. Kalau kamu butuh sesuatu, minta saja pada staff-ku. Mereka akan membantumu. Aku sudah menyampaikannya pada mereka, kok.”

Na Young mengangguk paham. “Hm, baiklah. Terima kasih, Hope. Aku jadi merepotkanmu lagi.”

“Jangan terus berkata seperti itu, Nona Choi. Aku tidak merasa direpotkan sama sekali.” Hope pun tersenyum sebelum akhirnya ia meninggalkan Na Young bersama para staff di pinggir ruangan.

Hope terlihat mulai memimpin latihan dance mereka. Mata Na Young tak bisa berhenti menatap sosoknya. Sosok manusia berhati malaikat baginya.

🌷🌷🌷

Jangan lupa pencet love dan tinggalkan komentar kalian, yaa. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Malaikat Tak Bersayap (Bab 2)
12
9
“Kamu tidak pernah tahu apa alasan semesta mengirimku untuk berada di hidupmu.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan