
Apa sih arti dari cinta? Kapan aku akan mengalaminya? Seperti apa rasanya jatuh cinta? Punya pacar itu enak tidak? Itulah pertanyaanku yang masih misterius. Aku selalu menanyakannya pada ibu, tapi beliau hanya menjawab, “Belajar. Gak usah mikirin pacaran!”
Tara, gadis terpintar di sekolahnya akan melaju ke OSN. Dia dibimbing oleh Pak Heru yang ternyata membimbing anak laki-lakinya, Alan untuk melaju ke OSN yang sama dengan Tara. Alan dan Tara bagai rival yang tidak mau kalah dan mereka berdua sama-sama...
Let’s study!
Itulah sloganku, tak ada kata menyerah dalam kamus hidupku. Masa-masa SMA seperti ini adalah masa-masa yang bagus untuk mengukir sebuah kenangan. Tentu saja, berbagai lomba yang aku ikuti harus selalu menang. Saking sibuk belajar, sampai-sampai aku tidak pernah main, bahkan hanya sekedar buka internet untuk refreshing.
Just stay in my room and always study hard.
Tapi aku merasa tersiksa. Otak selalu merasa kaku karena terlalu banyak diberi makan ilmu. Sampai-sampai aku pernah stress ringan. Tapi aku senang dan bersyukur karena hasilnya tidak sia-sia.
Banyak orang yang iri pada diriku terutama kepintaranku. Sedangkan aku justru merasa sebaliknya. Aku iri dengan kawan-kawanku yang tak ikut lomba. Mereka tidak dijejeli ilmu berlebihan, bisa main bahkan pacaran. Masalah cinta sendiri, aku masih dibuat penasaran oleh kata CINTA. Aku tidak pernah merasa jatuh cinta pada laki-laki nyata, tapi aku pernah jatuh cinta pada tokoh dalam anime. Gila, ini mungkin hal aneh yang ada dalam diriku. Walau aku orang sibuk, tapi aku tidak pernah meninggalkan kartun kesayanganku. Ada Naruto, Doraemon, Inuyasha, Detective Conan, Crayon Shinchan dan masih banyak lagi.
Dalam bahasa Jepang, orang yang tergila-gila pada anime disebut otaku. Mungkin aku pantas mendapat gelar tersebut. Aku tergila-gila pada Naruto. Ide Masashi Kishimoto memang cool.
Apa sih arti dari cinta? Kapan aku akan mengalaminya? Seperti apa rasanya jatuh cinta? Punya pacar itu enak tidak? Itulah pertanyaanku yang masih misterius. Aku selalu menanyakannya pada ibu, tapi beliau hanya menjawab, “Belajar. Gak usah mikirin pacaran!”
Suatu hari, aku pernah curhat sama ibuku di beranda rumah. Beliau mewawancarai diriku dan bertanya soal cowok. Dan semua pertanyaan yang membuatku penasaran itu akhirnya terjawab juga. Inilah curhatku:
Mama : Kamu sudah pernah merasakan debaran saat bertemu cowok belum?
Aku : Hmm.. belum. Tapi aku selalu merasa berdebar saat akan lomba. H2C
gitu. Mama gak tau arti H2C? Itu sih singkatan dari Harap-Harap
Cemas. Hehe.
Mama : Menurut Tara, cinta itu apa sih?
Aku : Pastinya itu salah satu dari nama-nama sifat. Tapi kalau penjelasan
secara logisnya aku tidak tahu. Pokoknya cinta itu adalah rasa suka
antara cewek dan cowok.
Mama : Punya pacar itu penting gak?
Aku : Ya gak lah! Pasti ganggu doang tuh. Tara lagi belajar, tiba-tiba ngajak
ketemuan, aku lagi les, dia ngajak SMS-an. Ah, pokoknya ganggu
banget. Mending sekalian jadi suami aja kalau gitu.
Tertawa bersama
Mama : kalau ada yang nembak, what should you do?
Aku : Ditolak dengan lembut. Soalnya kalau nolaknya kasar, bisa-bisa si
cowok jadi stres dan dendam tuh!
Mama : Kalau seandainya Tara punya pacar, kira-kira apa manfaatnya?
Aku : Kalau pacar Tara multitalenta, aku suruh dia jadi tukang ojek biar
bisa nganterin Tara les tiap hari. Atau Tara jadiin jasa pengangkutan
barang buat bawa-bawain belanjaan. Ih, jawaban ngasal deh!
Terbahak-bahak bersama.
Mama : Kamu penasaran gak sama cinta?
Aku : Ah, enggak tuh. Aku justru penasaran banget sama kelanjutan cerita
Naruto.
Mama : Menurut Tara, asyikan jadi anak berprestasi tapi gak punya pacar atau
jadi anak bodoh tapi punya pacar?
Aku : ih, mama! Dimana-mana lebih enak jadi anak berprestasi meski rela
gak punya pacar seumur hidup.
Percakapan diatas itu hanya percakapan rahasia antara aku dan mama. So, kalau ada yang gak terima dengan pernyataan-pernyataan tadi, I’m sorry.
-
Latihan OSN Matematika. Pak Heru, guru pembimbingku menerangkan panjang lebar tentang pemecahan soal bilangan rasional. Awalnya bingung tapi selanjutnya berubah menjadi gampang. Pak Heru adalah satu-satunya guru terdekatku. Orangnya humoris, dan mudah bergaul dengan muridnya, penjelasannya mudah dimengerti oleh muridnya, dan selalu mentraktirku makan gratis.
Ketika mulai jenuh, Pak Heru langsung membuat kehebohan yang membuatku meledakkan tawa. Selain itu, Pak Heru juga biasa membicarakan kehidupan sosial seperti biasanya. Beliau terkagum padaku, lebih tepatnya dengan otakku. “Kau seperti cucu Einstein.” Begitu pendapatnya. Aku tak begitu paham. Yang jelas Pak Heru selalu terheran-heran jika aku dapat memecahkan soal matematika yang begitu rumit baginya. Bahkan hanya dengan melihat mataku, Pak Heru menyimpulkan bahwa aku memiliki potensi akademik yang luar biasa dan merekomendasikanku untuk melanjutkan sekolah ke Oxford. “Tatapan matamu tajam. Ada sebersit cahaya di pupilmu, menunjukkan jika kau orang yang tak mudah menyerah. Kau selalu penasaran dan kecanduan hal-hal yang berbau dengan akademis.” Bagitu komentarnya.
Pak Heru melanjutkan bimbingan, ia mengambil kumpulan soal-soal OSN dari dalam tasnya, “Oh ya, nanti kamu akan bertanding lawan anak saya.” Kata beliau seraya melipat tangannya. Aku mengerut, “Anak bapak jago matematika, ya?”
“Ya pastinya lah. Bapaknya aja jago matematika.” Tukas Pak Heru dengan nada angkuhnya. “Nanti hari Minggu datang ke rumah bapak. Waktunya tinggal seminggu lagi. Nanti kamu akan belajar bersama anakku.”
Oke, aku akan bertanding melawan anaknya guru pembimbingku sendiri.
--
Hari Minggu.
Aku sama sekali gak tahu dimana rumah Pak Heru. Beliau sempat SMS aku, dia bilang rumahnya di sebelah padang bunga Dandelion yang masih bermekaran. Aku kesana naik sepeda, namun ternyata rumah Pak Heru masuk ke gang sempit. Jalanan sedikit licin, takut tergelincir dan akhirnya aku memutuskan untuk turun dari sepeda dan menuntunnya.
BRAAAKK
Seorang cowok menabrakku. Buku-buku yang kuletakkan di dalam ranjang sepeda berjatuhan semua. Kupikir si cowok itu bakalan minta maaf, tapi ternyata dia sama sekali tak mengucapkan kata maaf. Ia justru berkata, “Apa kau bodoh? Gang ini sempit, seharusnya kau menitipkan sepedamu!”
Aku marah. Darahku naik, ia hanya berlalu begitu saja, tidak membantuku sama sekali. Jalanan yang sedikit basah membuat buku-bukuku yang berjatuhan jadi kotor. Aku geram, “Kau yang bodoh. Jalanan ini untuk dua arah, kau pikir jalan gang ini milikmu!” dan terakhir, aku melemparkan sepatuku ke arahnya.
Lelaki itu berbalik arah, menatapku dengan tatapan dendam, sepertinya tak terima karena lemparan sepatuku tepat mengenai punggungnya dan meninggalkan bekas di baju putihnya. Ia berjalan mendekatiku yang masih sibuk memungut buku-bukuku yang berjatuhan tadi. “Hei, kau melempar sepatu dan kena tepat ke punggungku. Apakah kau tak merasa bersalah? Apakah kau tak berusaha untuk minta maaf?” Tukasnya seraya menjatuhkan sepatuku tepat di depanku dan mengenai buku OSN matematika. Mataku terbelalak kaget, aku mendongak ke atas, wajahnya terlihat jelas. Lelaki bermata teduh dengan rambut acak-acakan yang membuat kesan natural. Kaos putih lengan panjang dan jeans panjang. Ia menatapku dengan tatapan dingin, aku memalingkan darinya, memungut buku-bukuku dengan cepat dan langsung berdiri.
Aku menatap kearahnya. “Kau menjatuhkan sepatuku dan itu mengenai bukuku yang paling berharga. Apakah kau tak merasa bersalah? Apakah kau tak mencoba berusaha untuk meminta maaf?” tanyaku mengulang pernyataan dia.
Dia mendengus kesal dan aku merasakan hembusan napasnya yang sangat berat, “Kau yang melemparkan pertama kali. Kalau kau tak cari masalah, bukumu juga akan baik-baik saja. Kaulah yang pertama berulah.” Tegasnya. Aku semakin memeluk erat buku-bukuku, ingin rasanya kutinju dia. Dan mulutku dengan sangat terpaksa dan sangat berat mengucapkan, “Maaf.”
Dia tersenyum bangga, “Terlalu lirih, aku tak bisa mendengarnya.”
Genggamanku semakin erat. Ingin rasanya buku ini kulempar kearahnya, menjengkelkan sekali. Sangat egois!
“Maaf!” ulangku dengan nada tinggi dan ketus.
Laki-laki itu tersenyum bahagia, sorot matanya menunjukkan bahwa ia menang. Dan aku tak suka sorot mata itu. Aku benci orang macam dia. Egois, tak merasa bersalah, dan mencari kesalahan orang lain.
Aku meletakkan buku-bukuku kembali ke dalam keranjang dan terus menuntun sepeda tanpa memperdulikan dia atau menoleh kembali kearahnya. Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Heru yang kurang 100 m lagi aku lalui dengan perasaan kesal seraya ngedumel sendiri.
Aku memastikan sebuah rumah yang nampak kokoh dan di sampingnya ada sebuah pemandangan langka. Itulah padang bungan Dandelion. Aku mengetuk pintu, dan seorang wanita cantik membukakan pintu untukku dengan nada lembut dan ramah. Aku dipersilakan duduk di sofa, dia memanggil ayahnya. Beberapa menit kemudian, Pak Heru datang.
“Oke, kita mulai sekarang. Halaman 23, ada yang susah tidak?” tawarnya. Aku melihat-lihat soal yang rumit.
“Kurasa Alan belum datang.” Sambung Pak Heru sembari menatap pintu yang masih tertutup rapat.
Aku tak menghiraukan, Pak Heru mulai menerangkan. Salam seorang anak memecahkan kesunyian. Aku menjawab salam tersebut sembari menoleh kearahnya. Kau tahu siapa dia? Tentu saja dia itu adalah cowok yang tadi menabrakku. Aku kaget dan dia lebih kaget, aku terbelalak dia juga, aku menganga dia seperti itu juga, aku berdiri dia langsung menegakkan tubuhnya, dan aku berteriak dia juga melakukan hal yang sama.
“Kau?!” teriakku dan si cowok itu bersamaan.
“Sudah saling kenal, ya? Ini Alan anak kedua saya.” Kata Pak Heru, hal itu tak kami hiraukan. Dalam hati aku masih ngedumel, sedangkan dalam hati Alan mungkin dia juga sedang ngedumel sendiri. Alan menaruh jajanan diatas meja dengan kasar. Pak Heru membentak, “Sopan sedikit di hadapan tamu. Siapa yang mengajarimu berlaku kasar terhadap tamu?”
Alan memasang wajah bete, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana, dan dengan nada rendah ia berkata, “Aku ingin belajar sendiri saja.” Ia berlalu masuk ke dalam ruang keluarga. Pak Heru langsung menarik tangannya. “Duduk, kau akan kubimbing bersama dia. Kenapa kau dingin seperti itu? Sambut tamu kesayangan bapak dengan kehangatan.”
Alan menatap sekejap, mata kami saling bertatapan, namun dengan cepat pula kami memalingkan tatapan. “Duduk!” bentak Pak Heru. Sepertinya, Alan dengan terpaksa duduk di sebelahku. Sangat berat hati. Aku bisa melihat dari raut wajahnya. Awalnya jarak kami 30 senti, namun perlahan-lahan kami saling menjauhkan tempat duduk dan pada akhirnya kami terpisah 1,5 meter. Pak Heru semakin bingung dengan suasana seperti ini. Aku sendiri masih tidak terlalu yakin kalau cowok ini bakalan jadi rival diriku.
“Ayah membela siapa?” tanya Alan tiba-tiba. Pertanyaan itu membuat Pak Heru bingung. Apa yang harus beliau jawab?
Alan adalah anaknya sendiri, tetapi aku adalah anak didikannya. Jawaban yang sangat sulit dijawab oleh beliau, “Tentu saja membela dua-duanya.”
Alan nampak iri. Aku tahu perasaannya. Ia pasti ingin belajar dengan ayahnya tanpa ada orang lain seperti aku. Tapi aku juga membutuhkan beliau sebagai guru pembimbingku.
Bimbingan berlangsung dengan sunyi. Pak Heru izin ke belakang untuk beberapa menit saja. Aku sibuk dengan soal dihadapanku. Tiba-tiba saja, “Itu salah jawabanmu.” Seru Alan. Aku menatapnya heran, bagaimana bisa dalam jarak radius 1,5 meter ia dapat membaca tulisanku yang kecil-kecil?
Aku menatap buku di hadapanku. Aku mengecek kembali, aku yakin jawabanku benar. Kembali kutatap dia yang masih menatapku, “Kau yang salah, hasilnya x=10, kau salah dibagian perkaliannya.” Jelasku tak mau kalah. Mulailah sebuah pertengkaran mulut antara aku dengan Alan. Pak Heru hanya bisa geleng-geleng kepala.
--
Waktu OSN pun tiba. Aku beserta tiga kawanku dari OSN Fisika, Biologi dan Kebumian berkumpul jadi satu dan berangkat menuju lokasi lomba. Kami sudah siap menghadapi OSN kali ini. Buang jauh-jauh H2C, dan saatnya bertempur!
Aku sendiri akan melawan Alan. Aku harus yakin, bahwa aku bisa lebih hebat dari dia. Sesampainya di lokasi, sekolah kami bertemu dengan sekolah unggulan Alan. Meski SMA 2 IC ditakuti banyak orang karena telah melahirkan puluhan juarawan, hal itu tidak membuat kami, para wakil OSN dari SMA 1 YH menyerah.
Lomba berlanjut, aku melahap soal Matematika dengan mudah. Kalian tahu apa yang terjadi berikutnya? Aku dan Alan lolos seleksi tingkat kota, lalu kami sama-sama berjuang kembali dibimbing oleh Pak Heru untuk melaju ke tingkat provinsi. Aku lolos pada tingkat provinsi, namun tidak untuk Alan. Ia jauh berada di peringkat 15, sedangkan aku pada peringkat 3. Kini, hanya aku sendiri yang melaju ke tingkat nasional. Bimbingan dengan Pak Heru pun terasa sunyi. Alan tak pernah nampak jika aku berkunjung ke rumahnya. Seharusnya aku senang mengetahui Alan kalah dan tak perlu berdebat lagi dalam bimbingan, namun ternyata aku rindu saat-saat itu. Entah kenapa, aku justru kurang fokus. Kurang menantang karena tak ada Alan. Biasanya Alan selalu berkomentar dan menyalahkan jawabanku sehingga aku lebih termotivasi dalam mengerjakannya. Tapi sekarang, keadaan justru berbalik. Ah, sudahlah. Lupakan laki-laki egois itu.
Perjalanan panjang itu pun berbuah manis. Suatu kebanggan yang luar biasa. Aku meraih peringkat 3 OSN tingkat Nasional. Pembuktian pun selesai. Alan mengakui kehebatanku. Pak Heru memujiku, guru-guru menyanjung diriku dan orangtuaku tak habisnya memeluk diriku.
--
10 tahun kemudian.
Aku kuliah di Oxford beneran sesuai dengan harapan Pak Heru dan dua minggu lagi aku akan diwisuda. Aku mengambil jurusan yang berhubungan dengan Matematika. Saat ini aku sedang berada di sebuah perpustakaan, mencari buku Matematika. Jauh tinggi diatas rak buku, disitu ada buku yang kucari. Aku mencoba menggapainya, namun tangan seseorang berhasil mengambil buku tersebut dan memberikannya padaku. Pada saat itulah, aku merasakan debaran kencang di dadaku saat tahu ternyata orang yang mengambilkan bukuku tadi sangat tampan dengan kacamata minusnya, dia memakai jas seperti seorang dosen.
“Kamu belum diwisuda, ya? Dasar! Masa kalah sama mantan rivalmu.” Serunya, tangannya menepuk ringan kepalaku dengan hangat dan lembut. Aku tak bisa menahan debaran aneh ini, tapi aku sempat berpikir. Dia bilang dia adalah mantan rivalku, kuamati wajahnya. Matanya yang teduh serta rambut yang kini nampak rapi, tampan dan dia sangat mirip dengan Alan.
“Jangan-jangan, kau Alan.” Tebakku ragu dengan suara sangat lirih.
Dia tersenyum ramah menatapku, “Ya, sekarang aku sudah jadi dosen. Senang bisa bertemu denganmu di tempat ini.”
“Kau? Dosen?” tanyaku kembali tak percaya. “Kau benar-benar dosen disini?”
Dia mengangguk perlahan. “Dasar payah, apa saja yang kau lakukan? Bahkan aku hanya menyelesaikan pendidikan sarjana dan pascasarjana selama enam tahun.” Serunya dengan nada mengejekku. Aku memukul dadanya yang bidang dan keras bagai papan kayu dan aku sendiri justru merasa kesakitan.
“Biarlah, kau juga pernah kalah dari aku waktu SMA. Setidaknya kita impas kan?” seruku. Dia tertawa ringan. Senyum dan tawanya, sorot matanya, kenapa dia berbeda dengan dulu. Dia tidak egois dan nada suaranya tidak ketus. Bahkan sentuhannya pun terasa beda. Seperti tak ada kebencian. Aku mulai merasa sakit di dadaku. Aku tak bisa menahan rasa senang ini. Sebenarnya sih, masih sebal juga jika mengingat masa SMA dulu. Tapi aku sudah terlanjur cinta padanya. Mungkin.
Kau tahu, inilah yang dinamakan Cinta.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
