Anjana Sonokeling & Rahul | Bagian 1

1
0
Deskripsi

Pertemuan Pertama Sang Nona Besar Sonokeling dan Tuan Sekretaris

Anjana menatap tajam kearah pria di depannya. Ia duduk sambil menyilangkan kakinya dan menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Raut wajahnya sangat masam dan menunjukkan ekspresi ‘sangat jijik’ pada pria di hadapannya. Ia menatap penuh rasa kesal pada pria tersebut. Pria yang dipungut oleh kakaknya dan diangkat menjadi sekretaris pribadinya itu juga hanya bisa menatap kearah bawah, saat ini ia belum berani dengan lantangnya menatap wajah sang Nona Besar Keluarga Sonokeling. Pria itu masih berusaha memahami dan mempelajari situasinya. 

Pria tersebut sempat mengamati nonanya sekilas. Cara duduk nonanya yang menyilangkan kaki dan melipat kedua tangan di depan dadanya itu memberikan kesan defensif dan rasa tidak nyaman terhadap dirinya.  Saat ini, pria itu hanya bisa terdiam dengan ekspresi dinginnya, ia pun tidak tahu harus menunjukkan ekspresi seperti apa karena sedikit saja membuat sang nona besar tidak berkenan, maka ia harus siap dengan konsekuensinya. 

Bagi pria tersebut yang selalu mengekori nona besar sebelumnya, ia tidak begitu kenal dengan nona Anjana, sang nona besarnya saat ini. Ia hanya memperhatikan dan mengamati Nona Anjana dari kejauhan. Sejauh pengamatannya dan dari informasi para pegawai yang bekerja di kediaman Sonokeling, ia menyimpulkan bahwa Nona Anjana memiliki kepribadian yang jauh berbeda dari nona besar sebelumnya, ia kekanakan, mudah tersinggung, mudah emosi, suka mencaci maki, namun ia tidak suka dengan kekalahan dan memiliki ambisi yang besar.

Sedangkan bagi Anjana, kehadiran pria tersebut bagaikan hama yang mengganggu ekosistem di keluarga tersohornya. Dari awal kedatangan pria tersebut di rumah Sonokeling, Anjana lah satu-satunya yang tidak menyukai kehadirannya. 

“Kenapa kau menatap ke bawah seperti itu? Apa kau menatap kaki jenjang seksiku? Menjijikan.” Tukas Anjana dengan nada ketus. 

Pria di hadapannya hanya menghela napas. Sepertinya memang benar, nona besar saat ini mudah tersinggung. 

“Tatap mataku! Aku berbicara denganmu, bukan seekor anjing.” Perintah Anjana dengan nada sedikit tinggi.

Pria itu, berusia 4 tahun lebih tua dari Anjana, postur tubuhnya tegap dengan tinggi kira-kira 183 cm. Ia berpakaian layaknya seorang sekretaris dengan jas hitam formalnya dan rambut model side part yang tersisir rapi dan menampakkan dahinya tersebut. Secara umum, pria itu terbilang cukup tampan dengan kulit sawo matang dan sepasang manik matanya berwarna hitam kecoklatan serta tatapan wajahnya yang datar dan dingin. Kini sepasang manik mata hitam kecoklatan tersebut menatap lurus ke sepasang manik mata hitam legam di hadapannya. Keduanya saling bertatapan untuk waktu yang agak lama.

Bagi pria tersebut, tatapan mata Anjana berbeda dari biasanya. Ada tatapan kebencian dan kekesalan yang sangat mendalam yang ditunjukkannya saat ini.

“Sekarang aku adalah nona besar disini. Aku ingin kau segera keluar dari sini, malam ini paling lambat. Aku tidak peduli walau kau mantan sekretaris kakakku.” Tukas Anjana dengan nada angkuhnya. Anjana merasa percaya diri, karena mulai hari ini ia telah resmi diangkat menjadi Nona Besar Sonokeling, alias penerus Keluarga Sonokeling, salah satu keluarga tersohor yang merupakan satu dari tujuh keluarga pendiri negara ini.

Mendengar pernyataan Anjana, pria tersebut tersenyum simpul, namun entah bagaimana di mata Anjana pria tersebut nampak sedang mengejeknya, ia tersinggung lagi, “Apa-apaan senyummu itu?” 

“Nona,” nada bass tersebut akhirnya keluar dari mulut sang pria. Sekejap Anjana bergidik dan sedikit terkejut dengan nada suara beratnya itu. Sebenarnya, Anjana tidak menyangka suara pria tersebut terdengar agak lembut dan sedikit menggoda, karena selama ini pria itu adalah sekretaris kakaknya, sudah sewajarnya Anjana tidak pernah berbicara secara langsung atau mendengar suara pria itu. 

“Yang mulia permaisuri meminta saya untuk menjadi sekretaris anda.” Lanjut pria tersebut. 

Anjana terkejut mendengar jawaban pria di hadapannya, ia hanya bisa terkekeh dan melirik sinis kearah sang pria, “Sudah ku bilang, aku nona besarnya sekarang, aku lah yang mengatur Sonokeling saat ini.” Masih dengan nada angkuhnya, Anjana tidak mau kalah.

Pria tersebut menampakkan ekspresi bombastic side eye-nya seakan ‘aku lelah dengan bacotan anda’ kepada sang nona di hadapannya. Sepertinya Anjana terlalu mudah misinterpretasi ekspresi pria di hadapannya, ia selalu merasa ekspresi yang ditunjukkan pria tersebut seakan merendahkan dirinya. Ujung-ujungnya, Anjana selalu merasa tersinggung dengan tingkah laku maupun perkataan pria dingin di hadapannya itu.

Sementara pria tersebut yang awalnya diam mengamati nonanya, kini seakan ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi nona liar di hadapannya saat ini. Nampaknya, pria tersebut memang sengaja ingin membuat nonanya kesal. 

“Apa-apaan lirikan matamu yang merendahkan itu? Padahal tadi ekspresimu sudah bagus, menunduk hormat dan diam saja di hadapan nonamu.” Tukas Anjana dengan tajam, matanya nampak berapi-api.

Bukannya berusaha meredakan amarah sang nona, rupanya pria tersebut kembali memperbesar bara api pada diri nonanya. Pria itu berkata dengan nada acuh, “Anda hanyalah nona besar, sedangkan perintah kakak anda saya terima sebagai perintah Yang Mulia Permaisuri. Kedudukan kakak anda saat ini lebih tinggi dibandingkan anda.”

“Cih,” Anjana mendecakkan lidahnya, “Bahkan kau masih sangat patuh dengan perintah kakakku, tapi tidak denganku. Menjengkelkan.” Sindir Anjana kesal. Hati Anjana semakin panas. Sisi liar dalam hatinya menunjukkan bahwa ia ingin sekali mengumpat, namun syukurnya sisi dirinya sebagai nona besar yang elegan masih dapat mengontrolnya dengan baik, Anjana masih dapat menahan amarahnya. Sabar Anjana, pikirnya. 

“Saya hanya menjalankan perintah Yang Mulia Permaisuri. Setelah saya menjadi sekretaris anda, saya akan mendengarkan perintah anda, selama itu masuk akal.” Jawab pria tersebut dengan santainya.

Anjana semakin naik pitam. Bagaimana bisa pria yang statusnya di bawah dirinya, hanya seorang sekretaris berbicara seperti itu di hadapannya yang seorang nona besar. Bagi Anjana, kata-kata pria tersebut adalah kata-kata yang merendahkan dirinya, ‘mendengarkan perintah Anjana, selama itu masuk akal’. Rupanya pria tersebut berpikir bahwa Anjana terlalu kekanakan untuk menjadi nona besar. 

Ketika Anjana hendak melayangkan umpatan kepada pria tersebut, tiba-tiba pria tersebut mengambil secarik amplop dari saku jas nya, mengeluarkan selembar kertas, dan meletakannya diatas meja, ia melanjutkan, “Sebelum anda marah-marah dan mencaci maki saya, ini ada surat perjanjian yang ditulis kakak anda kepada saya. Yang Mulia Permaisuri sangat khawatir pada anda.”

Anjana langsung menyambar kertas di atas meja tersebut, ia langsung membacanya dengan mata penuh bara amarah hingga akhirnya tatapannya membelalak, dan menunjukkan ekspresi seakan tidak percaya. 

Anjana membacakan bagian inti penting dari surat perjanjian itu supaya pria di hadapannya bisa mendengarkannya dan mengonfirmasikan kebenarannya.

“- Sekretaris Rahul Cendana, resmi menjadi sekretaris Nona Besar, Anjana Sonokeling mulai detik ini. Karena Nona Anjana belum dipersiapkan dengan matang sebagai pemimpin Sonokeling, dengan hormat saya menunjuk Rahul Cendana sebagai sekretaris sekaligus menjadi penasihat untuk adik saya yang ceroboh dan pecicilan.” Seketika Anjana langsung berhenti membaca dan meremas kertas tersebut, ‘menyebalkan sekali’ gerutu Anjana di dalam hati. Ia yakin surat perjanjian itu ditulis kakaknya, ia tahu betul setiap detail goresan tangan kakaknya. 

Anjana melirik pria bernama Rahul Cendana di hadapannya, pria di hadapannya itu kini gantian menatap tajam kearahnya sambil tersenyum puas. Anjana benar-benar merasa dipermainkan oleh perjanjian kakaknya dan sekretarisnya. 

“Nona, anda belum selesai membaca perjanjiannya sampai bawah. Saya harap anda membaca hingga akhir sebelum meremas dan merobek kertasnya.”

Anjana menatap Rahul dengan kesal, rasanya ia bahkan sanggup untuk meninju sekretarisnya itu. Walau hatinya penuh dengan rasa kesal dan amarah, Anjana mencoba menenangkan diri dan kembali professional. Ia kembali membuka kertas perjanjian tersebut, membaca kembali dengan seksama, kali ini ia membaca dalam hatinya, “Hak untuk memberhentikan Rahul Cendana sebagai sekretaris sekaligus penasihat, sepenuhnya berada di tangan saya, Anjani Sonokeling, Yang Mulia Permaisuri. NB: Penasihat memiliki kewajiban menjinakkan, mengingatkan, dan mengarahkan Nona Besar.”

Anjana memijat keningnya yang entah sejak kapan kepalanya mulai terasa pusing. Awalnya ia masih bisa sabar dengan amarahnya, namun pada akhirnya kesabarannya tidak sanggup menampung amarahnya yang membara bagai gunung meletus, “Bajingan.” Akhirnya Anjana mengeluarkan kata cacian untuk pertama kalinya pada sang sekretaris. 

Ekspresi Rahul nampak tidak kaget, sepertinya ia sudah siap menerima makian tersebut. Rahul memajukan posisi tubuhnya, sambil menatap dalam Anjana, “Mohon maaf, anda tidak bisa mengusir saya.”

Anjana meremas kertas tersebut dan melemparnya tepat hingga mengenai dada bidang Rahul. Pria yang dilempari kertas perjanjian itu hanya diam dan masih menatap nonanya, tidak berkedip. Sebenarnya Rahul sendiri pun tahu benar seberapa besar rasa kesal dan bencinya sang nona kepada dirinya, namun perjanjiannya dengan Yang Mulia Permaisuri tidak akan bisa ia tolak, ia berhutang budi pada kakaknya Anjana. Apapun permintaan Yang Mulia Permaisuri, walau itu menyangkut nyawanya sendiri, Rahul akan dengan senang hati menjalaninya.

Anjana menarik napas panjang dan menghembuskannya, helaan napasnya sangat kencang, Anjana yang marah sebelumnya kini sudah dapat mengontrol amarahnya, ia berubah menjadi lebih tenang, kemudian ia mengatur ekspresinya dan intonasi suaranya, “Penasihat Rahul,” panggilnya dengan nada lembut. 

“- aku khawatir justru anda yang akan pusing menghadapiku. Aku Anjana Sonokeling, bukan Anjani Sonokeling yang hebat, mumpuni, dan sempurna itu.”

“Ya saya tahu, tanpa saya, kakak anda lah yang akan khawatir, makanya saya tetap berusaha membimbing anda sampai anda bisa menjadi Nona Besar Sonokeling yang mumpuni melebihi kakak anda." 

Anjana tersenyum kecut, “Anjing yang penurut pada kakak rupanya.”

Rahul yang mendengar pujian dari nona besar itu juga hanya bisa membalas dengan seyuman simpul.

“Kau tidak marah?” Anjana mencoba mengetes kesabaran Rahul.

“Untuk apa saya membuang energi untuk marah pada nona besar yang liar ini.”

Pedas sekali. Anjana mencoba mematik amarah Rahul, namun pada akhirnya selalu dirinya yang tersulut amarah lebih dulu. Sepertinya memang Rahul sangat pantas menyandang status penasihatnya itu. Pria yang sangat sabar namun juga berkata-kata pedas itu jadi terlihat semakin menarik di mata Anjana. Pasalnya, selama ini ia hanya melihat Rahul sebagai anjing peliharaan kakaknya yang penurut dan selalu mengikuti kemana pun kakaknya pergi. Bahkan awalnya Anjana berpikir sekretarisnya itu orang yang tidak kompeten, namun saat ini dugaannya meleset jauh. 

Anjana mulai menikmati waktu saling caci memakinya antara dirinya dan sang penasihat sekaligus sekretaris pribadinya itu. Anjana menopang dagunya dengan tangan kanannya, “Kalau begitu, setelah aku menjadi Nona Besar Sonokeling melebihi kakakku, apa kau mau jadi anjing manis yang menurut padaku?”

Rahul tahu betul, sang nona besar sedang menikmati waktunya mempermainkan dirinya. Dirinya pun tidak merasa marah dicaci maki seperti itu, Rahul menerima permainannya dengan sang nona, ia mengikuti ritme permainannya sesuai dengan harapan nona besar. Bagi Rahul, cara pertama untuk menjinakkan nona besar yang liar di hadapannya ialah dengan mengikuti apa yang dia inginkan, walau kata-kata pilihan yang keluar dari mulut Rahul sangat pedas, rupanya sang nona besar pun sudah tidak mudah tersulut. Rahul pun tidak menyangka, sepertinya menjinakkan Anjana menjadi misi yang tidak terduga dari ekspektasinya. 

Senyum Rahul mengembang, sangat manis, ekpsresinya terlihat lebih berwarna dibanding sebelumnya, hal tersebut membuat Anjana cukup kaget dengan berbagai ekspresi yang ditunjukkannya. Bahkan selama Rahul menjadi sekretaris kakaknya, tidak pernah Anjana melihat ekspresi senyum Rahul, ia hanya menampakkan ekspresi datar, dingin, dan diam saja. Anjana menyimpulkan, rupanya sang kakak sepertinya berhasil menjadi Nona Besar Sonokeling yang berwibawa sebelum dirinya dan bahkan bisa menjinakkan orang-orang bawahannya dengan sangat baik. 

Anjana memang mengakui bahwa dirinya tidak sehebat dan sesempurna sang kakak. Dirinya pun tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi nona besar, dia menyadari kapasitas dirinya, wajar jika sekretarisnya pun terlihat bangga mempermainkan dirinya dan bahkan dari ucapannya pun ia memilih kata-kata yang pedas terhadap sang nona.

Rahul membalas pertanyaan sang nona dengan nada suara rendahnya, “Tentu saja, jika anda berhasil melebihi kakak anda, saya akan senang hati mengundurkan diri sebagai penasihat. Namun –“

Rahul bangkit dari duduknya, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya, ia menatap nonanya yang masih terduduk di hadapannya, membuat ia seakan-akan menatap rendah sang nona, ia tersenyum sangat manis diikuti dengan lirikan mata yang menunjukkan ekspresi licik, “-- jika nona gagal, sepertinya nona lah yang akan menjadi peliharaan saya. Nona tahu kan, saya penasihat disini, jangan sampai penasihat seperti saya justru jadi majikan sementara anda yang nona besar hanya bisa menjalankan saran dan perintah saya.”

‘Brengsek.’ Amuk Anjana di dalam hatinya. 

Anjana bangkit dari sofa dan berjalan dengan penuh amarah hingga langkah heels nya berdentum sangat kencang. Ia berhenti tepat di samping Rahul, tidak melirik, hanya menatap datar lurus ke depan, “Selamat datang di neraka, Rahul Cendana. Kau akan menyesal, karena kau lah yang akan tunduk di kediaman Sonokeling ini.”

Langkah heels Anjana kembali bersahutan dan ditutup oleh suara bantingan pintu ruangan kerjanya. Anjana meninggalkan sekretarisnya sendiri. Ia sudah tidak peduli lagi. Saat ini, ia hanya fokus berjalan menuju kamarnya.

Sesampainya ia di kamar, ia membuka pintu dengan sekali hentakkan dan mengejutkan maid pribadinya yang sedang membersihkan kamarnya, wanita paruh baya itu, Bik Rum menyambut nonanya, “Air hangat sudah saya siapkan.”

Anjana masih nampak sangat kesal, ia melepas heelsnya dan membantingnya ke lantai marmer kamarnya, Bik Rum terkesiap dan hanya terdiam, ‘Ah, mood nona sedang buruk rupanya’ batinnya. Bik Rum kemudian memungut dan merapikan sepasang heels mewah bertaburan permata tersebut, sayang rasanya heels mewah dengan harga fantastis ini dibanting oleh nonanya.

“Dia berlagak layaknya seorang tuan besar Sonokeling. Menyebalkan!”

Anjana menggurutu dan menghempaskan badannya di atas kasur. Bik Rum mendekati nonanya sambil membawa kudapan dan teh hangat dari troli yang dibawanya. 

“Tenangkan diri dulu Non, silakan diminum dulu teh nya.”

Anjana masih tidak peduli, ia kembali ngedumel, semua uneg-unegnya ia lampiaskan. Bik Rum hanya tersenyum datar dan mendengarkan semua keluhan nonanya. “Sombong banget dia, padahal bekas sekretaris kakak, tapi dia bisa berbicara seakan-akan dialah pemimpin Sonokeling ini –“

“B*cot, dasar **#@**”

Bik Rum meringis mendengarkan rentetan kata-kata indah yang keluar dari mulut manis sang nona. Dia sudah tidak terkejut dengan semua luar dan dalamnya sang nona. Bi Rum bahkan sudah seperti ibu keduanya bagi Anjana. 

Bik Rum langsung menghentikan sang Nona yang masih mengeluarkan kata-kata indah dengan meletakkan jari telunjuknya persis di depan mulutnya hingga Anjana terdiam.

“Ssshhh, nona yang manis jangan sampai anda kelewatan, anda sudah mengucapkan kata caci makian lebih dari lima kata.” Seru Bik Rum mengingatkan.

Anjana langsung menghempaskan jari telunjuk Bik Rum, “Iya aku tahu.” 

“Teh nya Non, diseruput dulu aja biar lebih tenang.”

Anjana mengacak poninya dan ngedumel, “Sial. Sini berikan teh nya.”

Bik Rum memberikan secangkir teh tersebut dengan sangat hati-hati, “Panas Non, pelan-pelan.”

Anjana menyeruput dengan pelan dan elegan, seakan-akan walau dia habis kesurupan, ia masih bisa mengingat dengan baik etika dalam minum teh. Anjana kembali dalam mode anggunnya saat meminum teh kesukaannya, teh melati. Seteguk, dua tegukan, hingga akhirnya habis tanpa tersisa setetes pun. Anjana langsung menyerahkan cangkirnya pada Mbak Rum.

“Tolong kasih tau ke Pak Don, dan jangan sampai ada yang dengar,” tukas Anjana memerintahkan maid pribadinya. Pak Don adalah pengawal pribadinya. Baik itu Pak Don maupun Bik Rum, keduanya sudah membersamai tumbuh kembangnya Anjana. Mereka adalah orang kepercayaan Sonokeling. Pak Don dan Bik Rum sudah ada di Sonokeling bahkan sebelum Anjana lahir. Usia mereka terbilang sudah tidak muda, namun juga mereka masih sigap dan setia kepada Sonokeling. Bik Rum masih seorang gadis karena ia tidak menikah dan benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk Sonokeling, sementara Pak Don sudah menduda dan hanya memiliki seorang anak yang tinggal di desa.

Anjana melanjutkan, “- Ini adalah misi rahasia dari Nona Besar Sonokeling untuk Pak Don, tolong selidiki Rahul Cendana, termasuk keluarga Cendana yang hancur itu. Dan satu lagi, tolong Bik Rum amati gerak gerik Rahul dan laporkan langsung ke saya bila ada yang mencurigakan.”

Bik Rum langsung membungkuk hormat dan langsung bergegas menginfokan ke Pak Don.

Setelah Bik Rum keluar kamarnya, Anjana kembali mengacak rambut panjangnya, pusing sekali rasanya. Ia masih memikirkan banyak hal di kepalanya, hal-hal yang membingungkan, menyebalkan, dan bahkan hal-hal yang belum ia pahami sepenuhnya sebagai penerus keluarga tersohornya. Semenjak resmi menjadi Nona Besar Sonokeling, Anjana tahu bahwa beban dan tanggung jawab ini sangatlah besar dan bukan main-main. Ia kembali teringat dengan kata-kata Rahul, walau pedas dan menyakitkan, semua ucapan Rahul benar dan tepat. 

Anjana memang belum pantas menjadi Nona Besar Sonokeling yang mumpuni. Ia  selalu overthinking setiap mengingat kinerja kakaknya yang begitu sempurna dan luar biasa, dia pun tidak sanggup membandingkan kinerja dirinya dengan sang kakak, sangat jauh. Di lubuk hati terdalamnya, Anjana mengakui bahwa ia tidak cocok dengan gelar barunya ini, ia sangatlah berbeda dengan sang kakak, ia masih kekanakan, ceroboh, pecicilan, mudah tersulut amarah, mudah emosi, bahkan suka mencaci maki. Anjana menilai dirinya sendiri hanya 20 poin dibandingkan kakaknya yang mendapat nilai sempurna, yaitu 100.

Anjana menatap foto yang terletak di meja kecil di samping ranjangnya. Foto ia bersama Kak Anjani, Ibu, dan Ayahnya. Sedetik kemudian, mata Anjana mulai berair, ia langsung memposisikan foto tersebut sehingga tak tampak lagi di pandangannya, dan ia menutup wajahnya, dirinya hendak menangis sesenggukan namun ditahan, dengan cepat ia mengusap wajahnya supaya tidak ada air mata yang menetes ke pipinya, dia tidak suka terlihat lemah.

“Kak Anjani, kenapa kakak tega ninggalin Sonokeling ini, hanya aku sendiri saat ini, beban ini sangat berat Kak.” Anjana menenggelamkan kepalanya sembari memeluk erat kedua kakinya.

Di tengah kesedihannya, Anjana kembali teringat semua kata-kata Rahul yang menusuk hatinya itu. Ia masih sesenggukan sambil komplain sebal, “Dan kenapa kakak meninggalkan sekretaris sialan itu disini, seharusnya dibawa saja ke istana. Ah sial, menyebalkan.” 

Anjana menyadari, bahwa statusnya saat ini memang di bawah kakaknya. Dari awal, Anjana mengakui ia tidak akan pernah bisa melebihi kakaknya. Sewaktu kakaknya masih berstatus Nona Besar Sonokeling, Anjana saat itu hanya bisa berkeliaran dengan liar dan bebasnya. Anjana selalu menghindari semua hal berkaitan dengan tugas pemimpin Sonokeling karena ia terlalu menggantungkan segalanya pada sang kakak yang sempurna itu. Pada akhirnya, ketika sang kakak dipilih langsung oleh Raja untuk menjadi permaisurinya, saat itu lah dunia Anjana pun ikut gonjang-ganjing. Tentu saja karena artinya status Nona Besar Sonokeling pada akhirnya jatuh pada dirinya. Sampai akhir hayatnya, Anjana lah yang akan memimpin Sonokeling hingga lahir keturunan dirinya yang melanjutkan.

Ia kemudian teringat perdebatannya dengan Rahul tadi dan kembali overthinking, ‘bagaimana kalau aku beneran gagal menjadi pemimpin Sonokeling, Rahul pasti akan tertawa dan menginjakku. Bagaimana kalau ternyata Rahul adalah mata-mata dari keluarga Cendana yang ingin merebut kekuasaan Sonokeling. Tidak, bisa jadi Sonokeling malah hancur di tanganku’.

Pikiran Anjana benar-benar kalut dan ia tidak bisa berpikir jernih. Setidaknya jika sekretarisnya bukan dari keluarga Cendana, seandainya dari orang atau keluarga biasa, Anjana bisa lebih lega dan tidak terlalu kepikiran. Masalahnya saat ini sang sekretaris sekaligus penasihatnya berasal dari keluarga Cendana yang sengaja dihancurkan oleh pihak kerajaan karena ia membelot dan tidak mendukung raja yang baru. Bagaimana bisa kakaknya dengan mudahnya memperkerjakan seorang anggota keluarga Cendana dan bahkan menempatkan ia di posisi yang cukup tinggi sebagai penasihat sekaligus sekretaris Sonokeling. 

Anjana masih kepikiran. Begitu banyak permasalahan yang muncul padahal baru hari pertama ia digelari Nona Besar Sonokeling. Rasanya ia sudah ingin menyerah, tapi di sisi lain ia masih punya rasa gengsi yang tinggi. Dia adalah Nona Besar Sonokeling saat ini, dia adalah Anjana Sonokeling. Tekadnya tidak mudah runtuh. Walau sering overthinking, sesungguhnya Anjana memiliki tekad yang sangat kuat bahkan melebihi kakaknya. Apalagi akibat kejadian dirinya dengan Rahul tadi, Anjana tidak akan dengan mudahnya menyerah dan mengalah, ia tidak akan sudi menjadi anjing peliharaan penasihatnya itu.

“Bodo amat dengan semua ancaman itu, Anjana Sonokeling lah yang akan memimpin. Rahul, kau akan tunduk dan menyesal.”

--

 

Anjana Sonokeling Vibe : Dreamy Blue, Brown, Black

post-image-67ecd2f861550.png

 

Rahul Cendana Vibe : Gloomy Monochrome

post-image-67ecd3226a99b.png

 

Their Song : Hurts So Good 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Cerpen : Me vs Him
0
0
Apa sih arti dari cinta? Kapan aku akan mengalaminya? Seperti apa rasanya jatuh cinta? Punya pacar itu enak tidak? Itulah pertanyaanku yang masih misterius. Aku selalu menanyakannya pada ibu, tapi beliau hanya menjawab, “Belajar. Gak usah mikirin pacaran!” Tara, gadis terpintar di sekolahnya akan melaju ke OSN. Dia dibimbing oleh Pak Heru yang ternyata membimbing anak laki-lakinya, Alan untuk melaju ke OSN yang sama dengan Tara. Alan dan Tara bagai rival yang tidak mau kalah dan mereka berdua sama-sama berebutan supaya dipuji oleh Pak Heru.Kira-kira siapakah diantara Tara dan Alan yang sukses dan menjadi pemenang sesungguhnya? Akankah rasa benci itu berubah? Siapa tahu dari rival saling benci jadi cinta. Ups.-2014-
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan