

Anak Antropologi
“Nah, jadi Singhasari itu sebenarnya bukan nama kerajaan saat Ken Arok pertama kali menjadi Raja.” Seorang pemuda berwajah arab serius menjelaskan di sebuah Laboratorium Multimedia kampus. “Awalnya, nama kerajaannya adalah Tumapel,” sambungnya lagi berapi-api.
Dia sering disebut ensiklopedia berjalan karena dengan tiba-tiba sering memberikan fun fact atas sesuatu; fun bagi dia tapi tidak untuk teman-temannya. Namanya Zaki Zulkarnain, mahasiswa baru Jurusan Antropologi, UB. Anak saudagar kain asal Kota Hujan, Bogor.
“Ada Ken Arok pasti ada Ken Dedes, dong.Secantik apa, ya, kira-kira Ken Dedes?” cowok botak tiba-tiba bergumam sendiri. “Mirip Raisa, Maudy Ayunda, Chelsea Islan atau Enzy Storia, ya?”
Teman-temannya yang lain tak segera menanggapi.
“Enzy sepertinya lebih pas jadi Ken Dedes. Bener ini mah pas pisan kalau itu Enzy,” Si Botak mengambil kesimpulan sendiri.
Logat sundanya masih kental. Ia memang berasal dari Bandung, nama aslinya Ganesha Jayawiranata, teman-temannya lebih senang memanggil dia dengan nama Gagan atau Gajah. Kadang juga dipanggil Bimbel, karena namanya sama dengan salah satu lembaga ternama di Indonesia.
Kedua orang ini adalah teman satu angkatan Bara, semenjak dia memutuskan untuk kuliah di Malang mengambil jurusan Antropologi. Bara merasa bahwa ini salah satu cara menebus kesalahannya karena tidak menuruti ajakan Ayah dan Bunda ke Malang saat kejadian nahas yang menimpa orang tuanya dua tahun lalu. Orang tua Bara adalah pengusaha agrobisnis yang sukses di Indonesia dengan belasan anak perusahaan di bawah holding Aryo Agro Group. Saat ini, Om Jodi yang juga sahabat Ayah Bara didapuk sebagai CEO perusahaan, juga mengambil alih peran menjadi wali Bara di Jakarta. Om Jodi sangat menentang ketika Bara hendak kuliah antropologi, Om Jodi merasa Bara harus kuliah bisnis di luar negeri. Sebagai putra mahkota salah satu konglomerat agrobisnis, ilmu bisnis jauh lebih penting, tetapi Bara kekeh dengan pilihannya.
Zaki terus panjang lebar bercerita selagi Bara diam dengan tatapan kosongnya. Pembahasan sudah masuk ke keris keramat milik Mpu Gandring, Keris bertuah yang mengantarkan seseorang menjadi raja namun juga akan menghancurkan orang tersebut. Bara tak menggubris ketika Zaki mulai membahas tentang keris. Bara malah teringat dengan koleksi keris ayahnya. Bayangan Bara melayang ke kejadian dua tahun lalu. Senyum tulus Ayahnya, paras cantik Bundanya, kerapkali mendatanginya tiba-tiba. Bara merindukan kehadiran mereka.
“Woy!Ngelamun mulu, lo!” Gagan membuyarkan renungan Bara. “Cabut, yuk, Bar, bosen gue dengerin Zaki ngoceh mulu!” Zaki menjitak kepala Gagan tak terima.
“Mau ke mana emang, Gan, panas-panas begini?” Bara menunjuk kondisi di luar ruangan yang memang cetar membahana panasnya. Ada rasa enggan dalam hati Bara untuk mengikuti kemauan Gagan. Ia sebetulnya sedang berusaha menjaga jarak dengan semua orang. Baginya, tujuan hidup dia sekarang adalah menebus kesalahan atas kematian orang tuanya. Berteman adalah hal terakhir yang ada dalam benaknya.
“Enak di sini, adem.” Bara meneruskan lamunannya, memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengan Gagan.
“Kayaknya ada yang lebih adem Bar....” Gagan mendekatkan tubuhnya ke Bara membuat Bara semakin tersudut, lalu menunjukkan sesuatu di gawainya.
Bara sontak bangkit dan merampas telepon pintar milik Gagan.
“Kirana....” Bara bergumam kecil sambil terus menatap layar gawai di tangannya.
“Baru posting story dia Bar. Lihat aja, 10 menit yang lalu.” Gagan terus memanasi Bara, dia tahu Bara menyukai Kirana sejak pertama kali memandangnya saat pendaftaran ulang mahasiswa baru di Gedung Samantha Krida. Sudah tiga bulan yang lalu, tetapi sampai hari ini Bara masih belum berani berkenalan.
“Yuk, cabut!” Bara bergegas merapikan tasnya, diikuti Gagan yang langsung memakai snapback biru bertuliskan LA.
“Hei, kalian mau pada ke mana? Ya salam, kenapa gue ditinggal?” Zaki menyusul setelah mengenakan jas almamaternya. Zaki sudah lebih dulu akrab dengan Gagan, setelah sama-sama tahu berasal dari Jawa Barat. Rasa kesamaan dan senasib sepenanggungan membuat mereka otomatis menjadi sangat dekat.
Baru saja mereka keluar dari laboratorium, jalan mereka dicegat oleh para senior. Guruh dan teman-temannya merupakan senior yang ditakuti mahasiswa baru. Sikap mereka yang kasar secara verbal dan terkadang adu kontak fisik, kerap membuat mahasiswa baru memilih menghindar.
“Hei,Maba! Mana jas almamaternya?” Guruh berdiri di hadapan Bara dan mencengkeram kerah kemeja Bara. Bara menatap tajam mata Guruh, mahasiswa asal Medan tahun ketiga itu. Bara lantas membuka tasnya dan mengeluarkan jas almamaternya.
“Ini, Kak,” jawabnya malas.
“Kenapa tak kau pakai?” Guruh memukul perut Bara yang membuatnya terduduk di lantai, Gagan mendekat lalu membantu Bara berdiri. Zaki datang menyusul.
“Kalian tahu, kan, aturan di kampus ini, Maba wajib memakai jas alamamater di tahun pertama!” Guruh berteriak di depan ketiga sahabat itu.
“Kuliah sudah selesai, Kak!” Bara berdiri mendekat, menatap langsung mata Guruh.
“Wih wanian yo maba iki, jancok!” giliran Bejo yang menunjuk hidung Bara sembari mengatakan jika Bara sebagai Maba sudah berani kepada senior. Bejo memiliki tubuh lebih kecil dari Bara ini mencoba mengikuti Guruh dengan melayangkan pukulan, namun Bara dapat berkelit membuat Bejo tersungkur. Kedua teman Guruh yang lain mulai emosi dan bersiap menangkap Bara, beruntung Dewi Fortuna masih bersama Bara dan sahabatnya. Saat keributan akan terjadi, seorang dosen bernama Pak Herman Prabowo melintas di hadapan mereka.
“Ada apa ini ribut-ribut?” Pak Herman berhenti di antara dua kubu.
“Nggak, Pak, tadi Mas ini kepeleset, kayaknya gara-gara kulit pisang,” kilah Gagan sambil membantu Bejo berdiri namun kakinya menginjak jari tangan Bejo.
“Jancoook!!!”
“Hei Bejo, jaga ucapanmu! Sudah-sudah pada bubar sana, masuk kelas atau pulang kalau tidak ada kegiatan!” Pak Herman membubarkan kerumunan mahasiswa seperti mengusir ayam yang berusaha mematuk beras yang sedang dijemur.
Cinta Pertama
Jika cinta sudah melanda maka lautan akan diseberangi, gunung akan didaki, itulah rayuan gombal para pencari cinta. Begitu pula yang ada dalam benak Bara, tidak ada artinya kejadian dengan Guruh tadi demi bisa menatap secara langsung gadis pujaan hatinya.
Bara mengingat-ngingat kembali peristiwa tiga bulan yang lalu. Pendaftaran ulang mahasiswa baru Universitas Brawijaya selalu dilakukan di Gedung Samantha Krida, sebuah gedung auditorium yang juga dipakai untuk acara wisuda. Saat itu Bara sedang mengamati Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ada di UB Barisan tenda dan meja berjejer di mana anggotanya berusaha menarik Maba agar berminat untuk bergabung. Bara tertarik melihat UKM olahraga basket, sepak bola dan bola voli. Namun hidungnya menangkap aroma wangi lemon yang segar dan magnollia yang lembut menggelitik indra penciuman Bara. Leher Bara refleks berputar dan mencari asal aroma harum tersebut, matanya lalu tertambat pada seorang gadis berkemeja putih dan celana jeans belel serta sepatu Otnisuka berwarna kuning. Cahaya matahari pagi seperti menyinari paras wajahnya yang berkuning langsat dan membuat rambut hitam panjangnya berkilau seperti intan permata. Sebuah pemandangan yang sangat indah terekam permanen di memori Bara.
“Woi Bara, baby, baby Bara Bara.” Gagan menggunjang-gunjang tubuh Bara, membuat Bara tersadar dari lamunannya.
“Sudah maju sana kenalan lo Bar!” si arab berambut ikal itu mencolek bahu Bara sambil menunjuk posisi Kirana.
Bara tersenyum kecut mendengar kalimat Zaki. Masih ada rasa malas kenapa ada dua makhluk ini selalu mengikutinya. Kaki Bara juga seperti terpaku di lantai. Tetapi matanya tidak lepas memandangi Kirana dari jarak sekitar 10 meter.
“Ya salam, ente masih ragu aje bro, percaya, gue lihat lo bedua cocok Bar, gue dapet penglihatan, nih. Tuh, tuh, lo lagi ijab kabul.” Zaki bertingkah dengan memejamkan matanya seolah dia seorang cenayang yang meramal masa depan.
“Apaan sih lo Zak.”
“Ya Bara, ane ini indigo, lahir kelilit tali pusar, jadi emang bisa, begini-beginian mah,” kelit Zaki.
Memang benar di antara mereka yang paling sering bercerita soal penampakan-penampakan adalah Zaki. Entah itu karangan belaka atau kejadian sebenarnya. Sementara Gagan sangat penakut. Sedangkan Bara tidak terlalu peduli dengan hal-hal berbau klenik serta mistis.
“Lo pemburu hantu bukan peramal.”
“Buruan, Bar. Gue lapar banget, nih.” Gagan menimpali sambil mengelus perutnya. Satu hal yang Bara ogah berada di antara mereka berdua adalah Bara selalu tekor karena harus membayari makan mereka, walaupun uang bukan masalah bagi Bara,tetapi, ya, nggak tiap hari juga kali.
“Bismillah.Doain, gue, ya, gaes!” Bara mengumpulkan keberanian lalu berdiri, menatap dua makhluk yang sedang mengangkat tangan mereka seraya membaca ayat kursi. Bara tersenyum kecut lalu melangkah menghampiri gadis impiannya.
“Halo, boleh kenalan, nggak?” Ah, basi! keluh hati Bara.
“Hai nama gue Bara, boleh kenalan?” kali ini dia mencoba dengan suara diberat-beratkan. Ah masih norak!
Langkahnya membawa dirinya semakin dekat dengan Kirana, sementara diaa masih bingung kalimat apa yang pertama akan diucapkannya.
“Kirana, ya?” spontan kalimat itu yang keluar lebih dulu dan membuat Bara tampak menyesal telah mengucapkan. Gadis itu memandang Bara, memicingkan matanya lalu tersenyum.
“Siapa, ya? Kita kenal?”
“Saya kenal kamu tapi kamu tidak kenal saya.”
“Saya Bara.” Bara menjulurkan tangannya.
“Kirana. Jurusan apa?” Kirana menyambut tangan Bara.
“Antraxx, eh anprotologi, anu antologi!” Bara semakin grogi setelah menyentuh lembut tangan Kirana. “Huhah... wait wait, sori grogi kenalan sama cewek cantik.” Bara mengontrol napasnya kemudian memulai lagi.
“Hai, saya Bara, Antropologi.” Bara lega berhasil menyusun kalimat yang utuh, sambil tersenyum, senyuman yang membuat Kirana tertarik.
“Boleh saya minta tangan saya kembali?” Kirana menunjuk tangan yang masih dijabat terus oleh Bara.
“Oh maaf.”
“Mau gabung? Kita lagi cari referensi buku untuk tugas, kenalin ini teman-temanku!”
“Ini Maya.” Kirana menunjuk pada seorang gadis berkacamata bulat dengan rambut dikepang.
“Yang itu Laras.” Kirana menunjuk cewek yang tinggi dengan rambut bondol, terlihat sedikit tomboy.
“Kita semua dari Fakultas Hukum, kamu sendirian?” Kirana mengubah posisi duduknya dan melihat lurus tajam ke arah Bara.
“Saya bareng temen juga, tuh,di sana.” Bara menunjuk tanpa mengalihkan pandangannya dari Kirana, momen langka, ucap batinnya. Dia ingin sepuasnya menatap gadis impiannya itu.
“Bareng tempat sampah?” Kirana heran ketika melihat apa yang ditunjuk Bara.
“Hah, tempat sampah?” Bara spontan menengok ke arah yang ditudingnya tadi. Memang hanya ada meja kosong dan tempat sampah, tidak ada Zaki dan Gagan. Kepalanya celingukan mencari dua orang-orangan sawah sialan itu. Zaki ternyata sedang membaca papan informasi dan Gagan sedang berjalan mondar-mandir sambil latihan baris-berbaris di selasar antara pintu masuk gedung perpustakaan dan jalan kampus ke arah rektorat.
“Selamat siang, sayangku.” Cowok bule menggeser posisi duduk Maya lalu bercokol di samping Kirana, tangan kirinya merangkul.
“Apa, sih, Ram!” Kirana tampak risih, langsung menampik rangkulan cowok bule itu.
“Jangan sombong dong, sayang.” Cowok bule itu berusaha lagi melingkarkan lengannya di bahu Kirana.
Kirana membuang lengan cowok bule tadi dan hendak berdiri namun lengan Kirana dicengkeram oleh Si Bule yang membuat Kirana meringis menahan sakit.
“Mas, yang sopan sama perempuan!” Bara berdiri dan menarik tangan Si Bule.
“Wis ojok melok-melok!” Si Bule membentak Bara untuk tidak ikut campur seraya melotot.
“Rama kenapa, sih, kamu kasar banget.” Laras Si Tomboy mulai ikut bicara.
Rama mendorong Laras hingga terjatuh. Bara semakin emosi, dia tidak suka perundung apalagi terhadap wanita, double strike buat Bara dan harus diberi pelajaran. Bara membantu Laras berdiri.
“Mas jangan kasar sama perempuan!” Bara menunjuk hidung Rama, Kirana dan Maya menemani Laras yang masih meringis kesakitan.
“Kakean cangkem jancok!” Rama melayangkan pukulan tepat di pipi kanan Bara.Kacamata Bara terpelanting, dia tersungkur. Sedetik kemudian dia bangkit lantas menyeruduk perut Rama dan mereka bergulat di lantai. Zaki dan Gagan yang melihat perkelahian segera menghampiri, niatnya ingin divideo untuk bahan sosmed siapa tahu viral, hanya saja ketika yang dilihat Bara sedang bergumul dengan seorang bule mereka mengurungkan niatnya dan langsung membantu memisahkan Bara dan Rama.
“Jancok arek endi koe, heh?” Rama misuh-misuh ke arah Bara, ujung bibirnya tampak berdarah akibat pukulan balasan Bara.
“Nggak usah nanya-nanya anak mana, urusan kasar sama cewek itu haram bro, gue nggak bakal diam!”
Kirana, Maya dan Laras sudah meninggalkan tempat kejadian dengan tergesa, Rama yang melihat Kirana pergi segera menyusul, mengejar Kirana.
Gadis Nirvana
Gagan sibuk menikmati mie ayam keduanya. Zaki anteng menyeruput kopi susunya sedangkan Bara masih mengelus pipinya yang lebam akibat bogem Rama. Kantin Antropologi agak lengang siang menjelang sore ini, azan Asar mulai terdengar di kejauhan.
“Sakit, Bar?” tanya Gagan sambil terus mengunyah.
“Mau nyobain, lo? Nih!” Bara mengepalkan tangannya dan belaga akan meninju wajah Gagan. Baso di mulutnya buru-buru dia telat.
“Baskara!” Teriakan genit terdengar dari belakang punggung mereka.
Seorang cowok bertubuh tambun dengan rambut belah pinggir rapi dan klimis memanggilnya. Dia Ega Prayoga satu angkatan dengan mereka. Kecurigaan teman seangkatan terhadap Ega adalah dia penyuka sesama jenis, terutama kepada Bara, apalagi dengan gayanya yang sedikit melambai menambah kuat hipotesa mereka.
“Ega embul belum pulang? Emang masih ada kelas?” Bara menyapa dan menggoda sambil mengelitiki perut Ega yang bundar.
“Baskara, aduh geli, jangan begitu dong!” Ega berjoget-joget kegelian.
“Baskara tidak ikut makan seperti mereka.” Ega menunjuk Gagan dan Zaki.
“Nggak laper, Ga. Lihat kamu aja udah kenyang gue,” nyeri di pipinya sedikit bisa Bara lupakan.
“Ya, sudah aku pesan makanan dahulu, ya.” Ega menuju ibu kantin, memesan nasi rames dengan ekstra tempe dan telur ceplok ditambah es teh manis. Tak butuh waktu lama ia sudah kembali lagi ke meja Bara.
“Wow, lapar benar tampaknya kakak Ega ini!” Gagan meledek.
“Ganesha, ini adalah kudapan sore hari.” Ega ngeles sambil menyuapkan sendok ke mulutnya yang lebar. Bara salah satu teman yang memahami gaya tutur Ega yang gemar menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dia tampak tidak terganggu.
“Eh, Baskara, kamu sudah punya pasangan belum?” Ega bertanya sambil memasukan tempe ke mulutnya.
“Hmmm, pasangan apa?” Bara curiga.
“Mau aku kenalkan dengan seseorang tidak?” rayu Ega.
"Curiga, nih, gue tiba-tiba dicomblangin." Bara mulai ragu-ragu.
"Tenang saja Baskara, kenalan saja, kan, tidak apa-apa, menambah pergaulan," rayu Ega lagi.
"Ya, boleh, deh. Atur aja Ga," balas Bara.
"Nah, gitu, dong." Ega bergegas berdiri, “Sebentar, ya, Baskara, kamu tunggu di sini!” pinta Ega yang langsung berlari ke parkiran.
"Aih, si bulet main cabut aja." Gagan berkomentar sambil mencomot tempe di piring Ega.
Beberapa saat kemudian Ega muncul dengan menggandeng tangan seorang wanita berambut panjang dengan paras sangat ayu memakai jaket jeans ber-hoodie yang bergambar pohon hijau di bagian belakang serta penuh pin dan emblem di bagian depan jaketnya.
Buaian sepoi angin tak membuat hati
Bergeming pikiran wajah ayumu
Rintiknya hujan di gelap malam semakin
Membuat hati sepi oh merindu
Tak kuasa diri menahan rasa sepi mengingatmu
Wajah ayumu buatku tak berdaya dalam cinta
Penggalan lagu Tjah Ayu yang dinyanyikan oleh Chrisye dan Naif seketika itu saja berputar di kepala Bara. Satu yang mencolok mata Bara adalah emblem kotak berwarna hitam dengan gambar emoticon berwarna kuning. Emoticon smiley face tapi dengan lengkung garis yang tidak sempurna.
"Baskara ini kenalin sepupu Ega." Ega menarik tangan cewe tadi untuk mengulurkan tangannya ke arah Bara.
"Halo, Baskara."
"Lola." Cewek tadi menjawab singkat sambil menyambut uluran tangan Bara.
“Penggemar Nirvana juga?” Bara tertarik melihat emblem logo band asal Seattle itu.
“Kalau, iya, kenapa? Kalau, nggak, juga kenapa?” Lola bermain teka-teki, matanya tidak berhenti terus memandang Bara, ada sesuatu yang unik dari cowok ini, hati Lola sedikit berdesir.
“Pasti, iya, sih, kalau dilihat dari emblem itu!” Bara mengarahkan telunjuknya pada sebuah emblem berwarna hitam. “Sayang di usia muda vokalisnya bunuh diri.” Bara melanjutkan ceritanya tentang Kurt Cobain sang vokalis Nirvana.
“Itu, kan, kata media bunuh diri, bagaimana jika kenyataannya dia dibunuh?” Lola mengeluarkan argumen penuh tanda tanya lagi.
“Dibunuh? Bukannya dia menembak kepalanya dan ada surat bunuh dirinya juga?” Bara mengeluarkan informasi yang selama ini didapat dari majalah musik koleksi di perpustakaan ayahnya.
“No, dia memang ditemukan mati dengan luka tembak di kepala, tapi di darahnya mengandung kadar heroin tinggi. Logikanya dengan kadar heroin tinggi apa bisa menarik pelatuk atau nulis surat?” Lola menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lagi.
“Ya, bisa saja dia nulis dulu sebelum dia make heroin, kan?” Bara berusaha meyakinkan teorinya meski terdengar mulai ragu.
“Well, it’s your opinion and this is mine.” Lola tersenyum mencoba mengurangi tensi.
Ega dan Gagan sedang rebutan bakwan terakhir di piring. Zaki si arab tulen matanya masih menatap laptop berkutat dengan penelitian tentang Singhasari yang nantinya adalah kerajaan cikal bakal Majapahit. Sesekali jemarinya mengacak-acak rambutnya yang ikal tak beraturan, tanda dia sedang mentok. Bara masih asyik bertukar cerita dengan Lola, gadis Nirvana asal Surabaya. Cerita hidupnya menarik, keteguhan hatinya untuk mengikuti passion yang dicintainya layak diacungi jempol.
“Jadi kamu ini kabur dari rumah?” Bara mengubah posisi duduknya lantas menyalakan rokok kreteknya. “Eh, aku ngerokok nggak apa-apa, ya?” Bara permisi terlebih dahulu kepada Lola karena ada beberapa orang yang merasa terganggu dengan asap rokok apalagi perempuan.
“Bebas aja, itu pilihan dan hak kamu, kok.” Lola tidak keberatan sama sekali bahkan dia melihat bungkus rokok Bara yang tidak umum dan jarang ditemui.
“Rokok obat, Sehat Tentrem.Rokok ini bisa menyebabkan kesehatan.” Lola membaca dengan lantang kalimat yang tertera pada bungkus rokok Bara.
“Hmmm, menarik, aromanya juga unik, seperti….” Lola berkomentar layaknya seorang juri ajang pencarian bakat.
“Seperti mati lampyu, ya, sayang, seperti mati lampyuuu....” Gagan menyambar bungkus rokok sambil joget-joget India terus mengambil satu batang.
“Halah, lo, Gan mau minta rokok aje pake nyanyi segala!” Zaki protes keras karena jogetan Gagan menyenggol laptopnya.
“Oke lanjut, kenapa harus kabur?” Bara masih penasaran dengan cerita Lola.
“Papa pengen aku jadi dokter, Mama pengen aku jadi arsitek, tapi mereka tidak pernah nanya aku maunya apa....” Lola mengucir rambutnya menjadi ekor kuda.
“Kamu sudah bicara sama mereka?” tanya Bara lagi.
“Tidak ada ruang diskusi di keluargaku, anak wajib nurutin orang tua.” Raut wajah Lola berubah sedikit bete.
“Eh, nggak perlu diterusin ceritanya kalau kamu nggak mau.” Bara salah tingkah melihat Lola yang tiba-tiba murung. Lagian kenapa Bara segitu penasaran sama kisah Lola yang baru dikenal? Bara tidak melanjutkan rasa ingin tahunya, dia kembali lagi fokus pada tujuan hidupnya. Pertemanan hanya merepotkan.
Belum selesai obrolan mereka, Guruh, Bejo, dan kawanan para perundung memasuki kantin dan berbuat kebisingan. Bejo menghampiri Ega.
“Heh,Gendut! Katanya kamu homo, ya, hahaha!” Bejo mulai mem-bully Ega sekaligus body shaming. Guruh duduk di meja belakang Bara memperhatikan sambil tertawa mendengar rundungan Bejo. Beni yang berbadan kerempeng dan gondrong melempari Ega dengan puntung rokok.
“Aduh!Apa, sih, kalian itu, aku lelaki tulen.” Ega membela diri.
“Lelaki, kok, lemah gemulai. Banci kali, ah!” Bejo semakin menjadi, dia bergaya seorang banci di depan Ega. Wajah Ega semakin merah menahan emosi, dia tidak bisa membalas. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Heh, cukup! Kalian memang senior, tapi jangan keterlaluan!” Bara berdiri lalu mendorong Bejo agar menjauh dari Ega. Guruh berancang-ancang untuk memukul Bara dari arah belakang, beruntung Lola dengan refleks cepat menahan tangan Guruh kemudian menarik ke arah punggung Guruh dan memitingnya. Guruh mengerang kesakitan. Beni dan Bejo hendak melawan, Gagan dan Zaki sudah siap berdiri.
“Woy! Beraninya keroyokan sama cewek, sini lawan gue!” Bara sudah pada posisi tarung, kepalan tangannya sudah siap.
“Berhenti atau tangan lo patah!” Lola berteriak dan semakin menaikkan posisi lengan Guruh. Teriakan Guruh membuat Bejo dan Beni mundur. Lola kemudian mendorong Guruh ke arah Bejo dan Beni, membuat mereka terjerembab menahan Guruh yang masih kesakitan sambil memegang bahunya yang terasa ngilu akibat pitingan Lola.
“Awas, yo, koe!” Bejo menuding Bara seraya mengancam sambil berjalan memapah Guruh.
“Kamu nggak apa-apa, Lola?” Bara menghampiri Lola kemudian memeriksa Lola dengan saksama.
“Nggak kenapa-kenapa, aman, kok.” Lola memberi kode jempol ke arah Bara.
“Yakin, beneran?” Bara memastikan dengan wajah agak cemas. Lola tersenyum pipinya merah tersipu, dia senang mendapat perhatian dari Bara walau agak sedikit lebay, tapi diperhatikan adalah kesukaan semua wanita.
“Aku jalan dulu, ya. Sebentar lagi jadwal siaran.” Lola langsung beranjak berdiri dan berjalan ke arah parkiran motor.
“Siaran apa?” Bara berteriak lantas memegang pipinya yang kembali nyut-nyutan, Lola hanya melambai dari kejauhan.
Stalking
Kepulan asap rokok membumbung keluar dari hidung dan mulut Bara, tangan kirinya masuk ke dalam jaket tebal model bomber berwarna merah. Suhu hari ini membuat PLN sedikit berkurang untungnya, sebab AC akan dimatikan oleh semua pemiliknya di rumah. Bagaimana tidak, suhu di luar saja sudah menunjukkan angka 20 derajat, sangat dingin. Biasanya suhu jarang sekali turun di bawah 24 derajat. Kota terbesar kedua di Jawa Timur ini selain dijuluki sebagai Kota Bunga, Kota Malang juga dikenal dengan Kota Pendidikan. Bagaimana tidak, dari luas area 145 kilometer persegi, tersebar beberapa perguruan tinggi negri dan swasta. Salah satunya kampus Bara. Kenikmatan lain yang dimiliki kota ini, pegunungan mengelilingi dari setiap arah mata angin. Gunung Arjuno di ufuk utara, Gunung Semeru di tepi timur, Gunung Kawi dan Panderman di bagian barat serta Gunung Kelud di sisi selatan.
Orang tua Bara memilih sebuah hunian yang jauh dari keramaian, di sebuah perumahan dengan lokasi dataran tertinggi di Kota Malang, sebuah kawasan di bilangan Bukit Tidar. Rumah megah berdiri menyendiri di titik puncak kawasan tersebut, logo perisai berhias gambar singa serta daun tembakau dan cengkeh itu mencuri perhatian. Logo berwarna emas itu tampak elegan bersama pagar berwarna hitam tinggi menjulang menambah kesan mewah. Jarak antara gerbang dilengkapi pos penjagaan sampai ke halaman depan rumah berjarak sekitar 50 meter. Sepanjang jalannya berjejer rapi pohon cemara. Bangunan dua lantai bergaya arsitektur mediterania bercampur tropikal, ciri khas nusantara.
Gagan dan Zaki masih saja terkagum-kagum setiap berkunjung ke rumah Bara. Zaki dengan fun fact-nya menjelaskan bahwa rumah gaya mediterania ini berasal dari negara Spanyol yang menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di sana yang beriklim panas.
“Gitu Gan, jadi cocok juga dengan iklim di negara kita, makanya di tahun 80-an banyak orang kaya Indonesia memilih gaya rumah macam ini.” Zaki menutup penjelasannya.
“Hah, gimana, Jak, gue nggak denger?” Gagan berteriak.
“Ya salam. Lo di mana Gajah?” Zaki celingukan mencari asal suara Gagan yang ternyata tidak ada di dekatnya ketika menjelaskan tadi.
“Viasha hagi dhih dhapuh.” Gagan muncul dari arah dapur dengan mulut penuh roti.
“Bro, buruan ke sini, kita di belakang aja!” Bara berteriak dari arah halaman belakang rumah.
Bagian belakang rumah Bara memang menjadi area favorit Bara karena di bagian ini ada kolam renang dan bungalo yang terpisah dari rumah utama, di situlah tempat Bara tinggal. Bara sengaja bermukim di bungalo karena lebih kecil dan nyaman dibandingkan dengan rumah utama. Alhasil rumah mewah itu hanya ditinggali oleh Mbok Ijah dan Pak Yoto, asisten rumah tangga yang sudah ikut keluarga Aryosantoso sejak Bara masih balita.
“Malam minggu gini-gini ajah, nih, kita?” Gagan membongkar kesunyian sambil sesekali menyuapkan kue putri salju ke mulutnya.
“Enak di sini Gan!” Zaki dengan posisi tidur di kursi santai kolam renang sambil memegang buku koleksi perpustakaan Ayah Bara. “Banyak koleksi buku yang jarang ada dipasaran nih di sini,” ujar Zaki menambahkan.
“Iya juga, sih, makan tinggal ambil.” Gagan berdiri dari posisinya dan kembali berjalan menuju dapur.
Bara hanya tersenyum melihat kelakuan dua anak adam yang seolah tak pernah berhenti berdebat itu. Mau diusir tapi mereka sudah jauh-jauh datang dari kosan mereka. Wajah masam sudah dipasang semenjak mereka berdiri di depan gerbang, tapi urat malu mereka sepertinya sudah losdol, blong alias rusak. Malah mereka menerebos masuk seolah sudah sangat akrab dengan Bara. Paling tidak malam ini dia tidak melamun, siapa tahu kedua orang ini bisa membantu mengalihkan pikirannya. Biar otaknya tidak terlalu liar memikirkan betapa bencinya Bara kepada Om Jodi, yang selalu bersitegang dalam urusan pilihan kuliah.
Di awal kuliah keributan selalu terjadi hingga harus dibantu oleh kakek Bara untuk memberi pengertian kepada Om Jodi bahwa keinginan Bara lebih penting dari segalanya. Dia hanya ingin lebih dekat dengan kegemaran orang tuanya. Tanah kelahiran ayahnya yang juga tempat Bara menyapa dunia pertama kali saat keluar dari kandungan ibunya. Hanya beberapa bulan saja memang dari hari kelahiran sebelum mereka kembali ke Jakarta, Ayah Bara sangat ingin anaknya lahir di tanah kelahirannya di Bumi Arema.
Bara sangat suka menyendiri. Pengalaman buruk mabuk-mabukan dengan teman SMA membuat dia anti sosial, baginya masalah dalam hidup ini hanya bisa diselesaikan oleh diri sendiri, siapa yang kuat dia yang akan berkuasa. Tapi dua orang makhluk ajaib bernama Gagan dan Zaki ini seperti besi yang selalu nempel ke sebuah magnet. Apesnya magnet itu adalah Bara. Contohnya Bara pernah kena sial harus kena hukuman kakak senior waktu ospek karena ulah dua orang itu. Alasannya karena rambut Bara tidak sesuai aturan. Petunjuknya adalah bagi mahasiswa baru cowok rambut rapi 3-2-1 asumsi mereka adalah 3 cm di depan, 2 cm di belakang dan 1 cm di samping. Ternyata 3 dikurang 2 dikurang 1 sama dengan plontos. Alhasil Gagan dan Zaki kena sanksi, Bara yang sudah sesuai aturan ikutan masuk karena diseret Gagan. Mau tidak mau di dalam ruangan mereka bertiga harus menikmati posisi dorong bumi alias push-up.
Alunan musik keluar dari speaker portable Marshall berwarna hitam itu. Bara mengisap rokok kreteknya dalam-dalam sambil menikmati alunan lagu 90-an dari aplikasi Spotify. Judul playlistbuatannya “Me and Ayah” tampak pada smartphone Bara. Dulu Bara dan Ayah bundanya sering menari-nari di halaman dekat kolam renang ini diiringi lagu-lagu era 90-an, eranya orang tua Bara. Bara masih terpaku di depan layar gawainya.
“Bar, kok senyum-senyum sendiri sih, lo sakit?” Zaki melihat gelagat tidak beres.
“Wah, gegar otak, nih, gara-gara ditonjok Si Bule,” timpal Gagan.
Bara cuek, dia tersenyum lagi sambil matanya terpaku di layar smartphone. Sesekali dia memejamkan matanya lalu tersenyum lagi seolah ada hasrat yang terpuaskan.
“Nonton bokep lo, ya?” Gagan curiga lalu merampas smartphone Bara.
“Eh, apaan, sih, Gan!” Bara berusaha merebutnya dari Gagan yang berlari mengelelingi kolam renang.
“Ciye, ciye, stalking, nih, ye.” Gagan meledek dengan memamerkan smartphone Bara yang sedang membuka Instagram Kirana.
“Bar, lo spam likes, nih? ketauan dong kalau lagi stalking.” Gagan berkomentar lagi.
“Gan, balikin sini!” Bara mendadak diam dan pandangan matanya berubah tajam.
“Iya, iya, ini gue balikin.”
“Udah kita samperin aja, yuk! Sekalian cari suasana baru,” ajak Zaki tiba-tiba.
“Samperin siapa? Jangan gila, Zak!” Bara panik.
“Nanti ada Si Bule kacau lagi suasana, nggak enak sama Kirana.” Bara mencari alasan selogis mungkin.
“Ya, elah, Bar. Sama bule aja ngapain takut.” Gagan nyeletuk, memancing.
“Guenggak takut, gue menghargai Kirana.”
“Ya salam, Bar. Lo justru harus nunjukin ke Kirana lo lebih gentleman dibanding Si Bule.” Zaki mengompori.
“Lo nggak lihat apa di perpustakaan tadi, Kirana lihat Rama kayak gimana gitu, lebih ke jijik gitu.” Zaki semakin semangat.
“Nggak terlalu jauh, kok, paling setengah jam sampe kita.” Zaki memperlihatkan Google Maps posisi kafe tersebut.
“Ayo, Bar, buktikan dan tunjukkan lo memang beneran suka sama Kirana.” Zaki terus merayu.
“Bener, Bar, gue yakin Kirana lebih suka sama tipe cowok GT-Man,” ucap Gagan asal.
“GENTLEMAN!” Bara dan Zaki kompak meralat ucapan Gagan dengan penuh emosi.
“Udah ayo, naik mobil lo ya, biar kita bisa bareng.” Zaki memberi usul.
“Nggak, ah, lo tahu kan gue nggak mau pake mobil.” Bara menolak keras, ya dia paling malas memakai fasilitas milik orang tuanya. Sebelum Bara bisa membuktikan kemampuan dirinya, dia enggan menikmati fasilitas orang tuanya, apalagi cuma untuk gagah-gagahan atau pamer dan dipandang keren sama orang lain. Walau, toh, nantinya jadi milik dia juga, Bara tetap bersikukuh bahwa dia harus layak mendapatkan semua ini bukan karena sekadar warisan.
“Gue naik motor aja sama Gagan!” Bara spontan menarik Gagan yang hendak menyuap mie goreng ke mulutnya.
“Lah, terus gue naik apa?” Zaki bingung melihat Bara yang sudah berjalan ke arah garasi bersama Gagan dengan tangan masih memegang piring berisi mie goreng.
“Ya salam, apes bener ojol lagi ojol lagi!” Zaki membuka aplikasi ojek online untuk segera meng-order.
The Big Bang
Sebuah kafe di bagian utara Kota Malang, menuju Surabaya, sebuah rumah lama dua lantai disulap menjadi coffe shop. Lokasi parkir kendaraannya pun harus di pinggir jalan karena tidak ada lahan parkir khusus, dari luar memang tampak sempit tetapi saat memasuki kafe tersebut, dengan sentuhan tata ruang yang tepat menjadi tampak lega, lantai dua pun dibuat model rooftop untuk para smoker agar lebih leluasa tanpa mengganggu tamu lain. Kafe ini milik Maya teman akrab Kirana dan malam ini tepat pembukaan kafe. Bara dan Gagan sudah sampai dan mengamati Kirana dari jauh setelah memesan kopi gula aren dan matcha untuk Gagan. Kirana sedang asyik bercengkerama dengan Maya dan Laras di seberang ruangan, di sebuah sofa dengan meja kecil di hadapannya.
Sebuah notifikasi Whatsapp masuk ke smartphone Bara.
“Zaki nggak jadi nyusul Gan, ada rapat ketua angkatan di kampus katanya.” Bara memberi informasi kepada Gagan yang masih membolak-balik menu makanan. “Yo wis, ben kita ajah Bar.”
“Kalian berduaan aja?” Kirana sudah berdiri di samping meja Bara dan Gagan.
“Uhuk.” Bara tersedak oleh es kopinya.
“Anu, eh, iya, berdua aja.” Bara jadi kikuk di hadapan Kirana, yang lalu mengajak Bara dan Gagan untuk bergabung di meja mereka.
“Kok tahu ada kafe ini?” Maya membuka pertanyaan.
“Iyalah, siapa yang nggak tahu kafe ngetop ini. Kopinya enak, makanan enak, harga terjangkau.” Gagan bergaya persis salesman yang sedang mempromosikan produknya. Maya dan Kirana hanya tersenyum.
“Hebat walau baru buka hari ini ternyata kita sudah ngetop,” ledek Maya sambil tertawa.
“Uhuk..., uhuk..., hoe!” Kini giliran Gagan yang keselek pisang goreng karena malu ketahuan ngibul. Bara menepuk-nepuk punggung Gagan sambil ikut tertawa.
“Aku tadi lihat postingan IG kamu Kirana, makanya kita nyusul ke sini.” Bara berusaha menjelaskan.
“Aku tahu, kok.” Kirana menunjukan spam likes Bara di postingan IG-nya. Spontan wajah Bara semerah tomat matang.
“Maaf, nggak maksud stalking atau apa, cuma aku pengen….”
“Hahaha..., nggak apa-apa, kok, Bar. Aku senang malah kamu nyusul ke sini.” Kirana menenangkan Bara.
“Aku ke toilet bentar, ya. Eh di mana, ya, toiletnya?” Bara grogi. Maya menunjukkan letak kamar mandi lalu Bara berlari ke arah yang ditunjuk Maya. Dari arah pintu masuk muncul Rama bersama dua orang lainnya. Mereka bergaya sangat arogan, terlihat dari caranya berjalan dan tatapannya yang meremehkan. Rama lalu beranjak menuju meja Kirana.
“Sayang, kok, nggak ajak aku ke sini, sih?” Rama membelai rambut Kirana.
“Rama, udah, deh, aku pengen bareng teman-temanku dulu.” Kirana menampik tangan Rama, Laras Si Tomboy berdiri namun ditahan oleh Kirana.
“Ngapain, sih, kamu di kafe model begini? nggak kelas tahu, mending kita jalan ke Surabaya aja, yuk.” Rama menyindir kafe kecil milik Maya itu dengan nada melecehkan.
“Kamu aja sama gerombolanmu sana, aku lagi bantu Maya. Malam ini, kan, grand opening,” ketus Kirana.
“What so grand about this place anyway?” Rama berdiri dan berjalan mengelilingi kafe sembari memperhatikan pernak-pernik yang dipajang di meja maupun dinding.
“Barang bekas semua gini,” ejek Rama lagi.
“Paling tidak ini usaha jerih payah Maya sendiri Rama.” Kirana mulai naik pitam.
“Maksudmu apa?” Rama terpantik emosinya dan mendekati Kirana.
“Dia berusaha di atas kaki dia sendiri,” balas Kirana cepat. “Bukan ngandelin fasilitas dari orang tuanya.” Kirana tak tahan lagi.
Seketika Rama mencengkeram lengan Kirana dengan geram. Dia merasa dipemalukan di depan umum, sebagian tamu bahkan memperhatikan Rama dengan pandangan sinis.
“Bro, kan, gue udah bilang jangan kasar sama cewek!” Bara sudah berdiri di belakang Rama.
“Ooo, kowe maneh.Kenapa? Kamu naksir sama dia?” Rama menyadari Bara adalah cowok yang dia pukul kemarin di perpustakaan.
“Hanya cowok nggak waras saja yang tidak suka sama Kirana,” balas Bara sambil menatap tajam mata Kirana sembari tersenyum. Senyumanan yang menenangkan bagi Kirana.
“Udah, deh, kalian jangan ribut di sini dong!” Maya akhirnya berdiri di antara Bara dan Rama memisahkan dua pejantan yang kadar testosteronnya sedang melejit dan siap beradu otot.
“Kamu kalau berani ayo kita selesaikan di luar!” Rama menantang Bara dengan menekan dada Bara dengan telunjuknya.
“Siapa takut. Ayo, tunjuk tempat, kita duel!” Bara tidak kalah ngotot.
“Sudah kalian laki-laki selalu senangnya adu otot.” Kirana berlari keluar meninggalkan mereka yang masih saling tatap penuh amarah. Bara yang melihat Kirana pergi otomatis mengejar Kirana.
“Kirana, tunggu!” Bara mencoba mencegah Kirana namun terlambat. Kirana sudah memasuki taksi biru yang kebetulan lewat. Bara segera menuju motornya dan memanggil Gagan untuk cepat naik lalu membuntuti taksi itu.
Rama tidak mau ketinggalan. Dia bersama kelompoknya segera masuk ke mobil Rubicon merah marun dan mengejar motor Bara. Mereka masuk ke jalan-jalan kecil mengikuti taksi Kirana. Motor Bara berhasil didekati oleh Rama. Pria bule itu pun menginjak gasnya dalam-dalam sehingga mobil mereka sejajar dengan motor Bara. Rama lalu membuka jendela mobilnya.
“Kamu harus diberi pelajaran, jangan macam-macam di Kota Orang!” Rama berteriak kemudian mobilnya dipepetkan ke motor Bara dan disenggol hingga Bara hilang kendali, membuat motornya oleng dan memasuki sebuah area yang gelap hingga terperosok. Rama tertawa puas, kakinya semakin dalam menginjak pedal gas berlalu dalam kegelapan jalan.
Motor Bara terperosok ke sebuah lubang, untung Bara dan Gagan sempat lompat, mereka tergeletak di sebuah tanah lapang dengan beberapa luka lecet. Gagan memegang kepalanya yang cepak sambil mengecek apakah ada darah atau ada yang retak.
“Bangsat Si Bule! Untung kepala gue nggak kenapa-napa,” gerutu Gagan.
“Lo bener nggak apa-apa, Gan?” Bara memastikan lalu berdiri dan membersihkan badannya yang penuh kotoran. Dilihatnya luka di telapak tangan bagian kiri serta lecet di siku yang mengeluarkan darah.
“Nggak apa-apa, Bar.” Gagan berdiri dibantu oleh Bara.
“Kita di mana ini, kenapa gelap banget, Bar?” Gagan memicingkan mata berharap bisa melihat lebih jelas.
Tiba-tiba tanah bergetar dan terdengar suara ledakan seperti petasan yang cukup keras, selepas itu sebuah sinar memancar di kejauhan. Sekitar 50 meter dari tempat mereka berdiri. Gagan ketakutan, ia refleks memeluk Bara. Bara mendorong Gagan agar tidak mendekapnya. Gagan lalu pindah posisi dengan berdiri di belakang Bara, lalu menyembunyikan wajahnya di balik punggung Bara.
"Itu cahaya apa, Bar?" Gagan menunjuk sorot cahaya menjulang.
"Lampu Batman kali," jawab Bara asal.
"Becanda aja, sih, lo. Lihat dulu, tuh!" Gagan memegang kepala Bara dan mengarahkannya ke lokasi cahaya berasal.
"Yaelah, palingan ada acara di situ jadi dipasangin pemecah awan. Ya model lampu gitu." Bara mencoba memberikan jawaban ilmiah.
"Kalau lampu itu, kan, gerak-gerak cahayanya Bar, ke kiri, ke kanan terus biasanya paling dikit ada 2 lampu.” Gagan berkelit lagi sambil menirukan gaya lampu bergerak ke kiri ke kanan, mirip boneka pompa angin di depan toko.
"Susah kalau penakut model lo gini, daripada penasaran, ayo kita ke sana." Bara menyalakan motornya.
Motor berjalan perlahan menuju sumber cahaya. Kurang dari 10 meter lagi tiba-tiba motor berhenti dan mati. Dari cahaya lampu motor samar-samar menunjukkan tempat yang mereka masuki. Semacam pemakaman kuno.
"Lah, kok, berhenti Bar?" Gagan panik, matanya ditutup ketika melihat gundukan kuburan, nisannya ditutupi kain berwarna putih. Bara mencoba menyalakan lagi motornya tapi tampaknya sia-sia.
"Turun, kita jalan aja!” perintah Bara.
Gagan mengikuti Bara sambil memegangi jaketnya. Matanya dipejamkan lagi saking takutnya. Muncul semburat cahaya melalui celah-celah tanah.
"Gan, bantuin gue!" Bara mulai menggali tanah itu meminta Gagan yang masih memejamkan matanya.
"Nggak, ah.” Gagan masih celingukan. “Nanti kalau zombie yang muncul, gimana?” Gagan semakin halu.
"Heh! Lo, kan, yang penasaran, sini bantu kalau nggak pulang sendiri aja sana!" ancam Bara.
"Iye, iye, hih! Lo, mah, purikan." Gagan akhirnya membantu menggali tanah.
Setelah menggali dengan hanya bermodalkan tangan selama 10 menit, mulai tampak sumber cahaya berasal dari sebuah peti yang terkubur. Mereka semakin cepat menggali agar peti tersebut terlihat utuh.
Peti berhasil mereka angkat, terbuat dari kayu jati berukuran 40 x 50 sentimeter. Mereka lekas mengangkatnya.
“Berat banget!” keluh Gagan. Di seluruh sisi peti penuh dengan ukiran. Gembok besi padat yang sudah penuh karat mengunci rapat peti tersebut.
"Gan, cariin batu!" Bara mencari cara untuk membukanya.
"Ini, Bar!" Gagan memberi batu koral sebesar bola kasti.
"Gajah! Gedean dikit napa, ini gemboknya besi padet.” Bara kesal. Gagan akhirnya membawa batu kali yang lumayan besar seukuran bola sepak.
"Bismillah...." Bara ambil ancang-ancang untuk membuka gembok tadi dengan batu kali. Setelah 3 kali mencoba akhirnya gembok berhasil terbuka.
"Akhirnya jebol!" Bara membasuh peluh di jidatnya.
"Bar, lo yakin, nggak bahaya, nih?" Gagan semakin ketakutan.
"Udah aman kok, kita buka ya.” Bara melihat cahaya warna merah dan putih dari celah peti kayu.
Bara membuka petinya hati-hati. Tiba-tiba....
DUARRR!! Ledakan kedua.
Suara menggelegar dan cahaya terang warna merah dan putih melesat lurus ke langit. Sontak Bara dan Gagan terjengkang dan buru-buru merangkak mundur menjauhi peti. Dua buah benda tampak melayang. Benda berbentuk bulat seperti cincin melayang dan semakin membesar kemudian naik ke atas dan berubah bentuk menjadi sebilah Keris dan sebuah Belati. Sampai di ketinggian dua kali pohon kelapa, benda itu berhenti. Kemudian bergerak seolah menunjuk ke arah Bara dan Gagan.
Bara dan Gagan bangkit dan berlari sekuat tenaga. Keris tadi masih mengejar Bara walau dia mencoba menghindar dengan berkali-kali menundukkan kepalanya. Keris itu terbang seperti drone. Begitu pula Gagan, dia berlari zig-zag dari kejaran belati misterius itu. Siapa kira-kira yang jahil mengerjai mereka, pikirnya.
Takdir berkata lain, walau sekuat apa pun usaha mereka menghindar, akhirnya Keris dan Belati tersebut menghunjam dada Bara dan Gagan secara bersamaan.
Seseorang mengamati kejadian itu dari kejauhan dan tampaknya orang itu sungguh paham dengan apa yang menimpa Bara serta Gagan, dia bergumam: "Akhirnya hari ini datang jua."
Sementara itu, berjarak sekitar 35 kilometer dari lokasi kejadian, terdengar sebuah ledakan diikuti munculnya kilatan cahaya berwarna kuning membelah udara, melesat bagaikan roket, meninggalkan cerukan besar di atas tanah. Cahaya itu terus melaju hingga akhirnya berhenti di sebuah gedung peninggalan kolonial Belanda beratap kubah. Dilihat dari penampakannya sudah tidak berpenghuni selama puluhan tahun.
Seorang pria perlente, tinggi sekitar 165 sentimeter memakai jas berwarna hitam dengan motif garis-garis tipis vertikal, menyambut gembira kedatangan tamu cahaya tersebut. Pria itu memakaikan jubah kepada sesosok makhluk yang perlahan membentuk sosok tubuh tinggi besar seiring meredupnya cahaya tersebut. Selesai pria itu memakaikan jubah, dia lantas berlutut di hadapan makhluk itu dan berkata: “Selamat datang Yang Mulia.”