Kisah si Anjing kecil dan semangkuk mie #CeritadanRasaIndomie

0
0
Deskripsi

Luka di kaki tak lagi dirasakannya. Dia hanya berlari menjauh dari orang-orang beringas dan marah. Sampai akhirnya dia mencium aroma yang wangi mengusik hidungnya dengan tajam. 

Wangi telur, bawang dan bumbu yang gurih membawanya ke tepian sungai. Bertemu beberapa lelaki yang sedang bersenda gurau. Laki-laki yang jauh berbeda dengan orang-orang beringas yang mengejarnya. Mereka pun rela berbagi semangkuk mie telur terlezat yang pernah tercipta.  “Terima kasih orang baik”

Aku hanya terus berlari tak tentu arah. Berlari diantara rimbunan pohon dan semak belukar dengan tertatih dan perih dari kakiku. Di belakang terdengar teriakan yang saling bersahut-sahutan. Mengejarku tak tentu arah.

                “Ayo digodak! Ojo sampek melbu kampung!” teriak lantang suara seorang pria. 

                “Aku wes entuk sikile, tapi sek iso mlayu,” teriak laki-laki tua yang membawa parang.

                Aku terus berlari menjauh dari orang-orang yang bergerak dengan beringas diantara rerimbunan pohon. Masih terdengar suara mereka dengan kata-kata yang tidak kalah keji.

                “Bunuh saja. Kalau tertangkap bunuh saja. Dia sudah mencuri ternak kita,” teriaknya lantang.

                Mencuri. Demi Tuhan, aku tidak pernah mencuri. Aku … aku hanya berjalan diantara rerimbunan hutan pinggir desa. Untuk mencari sesuatu yang bisa mengenyangkan perutku.

                Ya Tuhan. Mereka membawa senjata. Ada yang menghunus parang, ada pula yang menenteng tombak. Mereka terus mengejarku ke dalam hutan. 

                “Kalau tertangkap jadikan saja dia bahan Rica-rica,” teriak laki-laki lain. 

                Kata-kata itu membuatku tertegun. Bagaimana mereka bisa tega membunuhku untuk menjadikan bahan makanan ? Apakah mereka gila?

                Tuhan menciptakanku untuk menjadi sahabat manusia. Menjadi teman yang hidup berdampingan bersama. Namun orang-orang ini telah hilang akal menjadikan aku makanan.

                Aku mencoba bernafas di tengah pelarian. Sampai akhirnya menemukan sebuah kolam kecil dengan aliran air yang deras. Terdengar suara manusia, tapi suara yang lain.

                Bukan suara orang-orang bengis. Suara ini lembut bahkan terdengar kecipak air nan segar. Aku hanya mengintip sepasang perempuan sedang berenang-renang dalam kolam. Sambil berbicara tentang masa depan.

                Tapi keasyikan kedua gadis itu terganggu. Saat seorang lelaki tua mendekati mereka.

                Keduanya lantas mengambil jarik dan melingkupi tubuhnya yang basah. Mata mereka awas saat melihat lelaki tua yang dikenalnya. Wajahnya tampak keras dan  galak. Tapi tatapan mata laki-laki itu berubah. 

                Dia menatap kedua gadis dengan tatapan yang aneh. Matanya berkilat memandang pada tubuh muda  keduag gadis itu. Bibir tuanya bergetar sambil sekilas terlihat lidahnya menyeruak seperti orang yang bernafsu. 

                Mereka tidak berbicara apapun. Hanya saling memeluk dengan menggunakan jarik tua yang mereka bawa.  Pandangan mata laki-laki tua itu teralihkan. Saat mendengar ada sesuatu yang bergerak dari arah berlawanan. Laki-laki itu teringat apa yang sedang diburunya. 

                “Ndang Nyingkri teko kene,” usir laki-laki tua itu dalam Bahasa jawa.

                “Inggih, pak lek,” jawab kedua gadis itu. Laki-laki tua yang disapa pak Lek itu pun meninggalkan mereka. 

                “Ana, koen ndelok mau?”

                “Yo. Mosok guru ngaji ndelok wong wadon koyok ngunu,” jawab Ana.

                Kedua gadis itu merasa takut. Bertemu laki-laki tua yang seharusnya dihormati tapi justru berperilaku tidak wajar. Perilaku tidak selayaknya seperti orang tua yang dihormati. Apalagi dengan parang di tangannya seolah siap untuk menebas orang-orang yang berlawanan dengannya.

                “Opo mau sing digodak? Sampek nganti gowo ladeng,” 

                Ana hanya mengangkat bahunya. Dia segera mengambil baju diatas batu besar dan mengenakannya. Tubuhnya dilihat dengan pandangan tak senonoh membuat perutnya mual. 

                Tiba-tiba mata Ana tertuju pada suatu titik. Sesuatu berwarna coklat berada di tengah rimbunan semak yang hijau. Namun makhluk coklat itu justru bergerak menjauh. Seperti ketakutan didekati oleh tangan-tangan mungil seorang gadis cantik. 

                Sementara itu si makhluk coklat yang mengitari kolam kecil itu memilih berlari menjauh.  Menjauh dari kolam alami yang dulu sepi dari hiruk pikuk manusia, sekarang berubah menjadi tempat berenang.

                Ya, hutan itu dulunya sunyi. Hanya di huni oleh makhluk-makhluk tak bertuan. Namun kini siapa pun bisa masuk begitu saja. Tempat ini tak lagi menjadi rumah yang aman dan damai.

                Aku hanya bisa terus berlari dan berlari. Saat melihat gerakan sesemakan, aku akan menjauhinya. Saat berhadapan dengan lelaki tua itu, aku melihat seringainya yang kejam. Apalagi parangnya  teracungkan kepadaku.

                Saat langit beranjak gelap, suara-suara bengis itu perlahan hilang. Sinar matahari meredup berganti senja. 

                Aku hanya terus berjalan sendiri dengan kaki tertatih bersama suara perut yang semakin nyaring. Hanya sejumput rurumputan hijau untuk mengganjal perut yang semakin lapar. Sampai tepat  di tepian sungai, tempatnya biasa mencari ikan tercium aroma yang sedap.

                Wangi telur, bercampur bawang dan rempah menyeruak hidung. Membuat rongga perutnya semakin kencang bernyanyi. Dia mendekat dan mendengar percakapan  4 laki-laki. Mereka duduk di depan api yang membara sambil membawa mangkuk yang berasap. 

                “Mungkin itu asal bau yang harum ini. Sudikah mereka berbagi makanan yang lezat itu,” batinku sambil menahan liur. Dengan kaki belakang terasa nyeri, aku pun bergerak mendekat. Suara mereka terdengar semakin keras. Terdengar tawa diantara mereka. 

                Mereka tertawa membicarakan kecerobohan acara camping malam minggu. 

                “Heri… Heri!! Lek kowe gak lali,  bengi iki iso mangan Indomie kuah campur telur dan sayap ayam. Rasanya pasti lebih luar biasa daripada ini,” ujar pemuda berkuncir.

                “Lebay. Jangan menyebar hoak ya. Justru perpaduan indomie kuah dengan telur saja sudah luar biasa. Coba ke warmindo, bahan utamanya kan 2 ini. Tanpa ayam wes enak,” sahut pemuda yang dipanggil Heri.

                Obrolan mereka terputus saat mendengar suara gesekan semak-semak di sekitar tempat mereka mendirikan tenda. Empat pemuda itu memperhatikan sekitar mereka dengan pandangan waspada. 

                Sampai akhirnya Heri melihat sekelebat makluk  berwarna coklat bergerak cepat ke kanan dan  ke kiri. Saat dia menyibak semak, dia melihat makhluk berbulu coklat yang lucu. Bulu coklat yang lebat dengan mata yang bulat, tapi terlihat seperti ketakutan. 

                Anjing kecil itu bergerak mundur sambil mengeluarkan suara gonggongan yang lemah. Tatapan matanya mengundang iba 4 pemuda itu.

                “Kau lapar ya?” ujar Agung, pemuda bertubuh tinggi kurus mencoba mendekati anjing itu. Namun lagi-lagi anjing itu berjalan mundur selangkah.

                Sampai akhirnya Agung mengambil mangkuknya yang telah kosong dan mengisinya dengan Indomie Soto yang masih tersisa. Tidak lupa potongan telur rebus dia masukkan ke dalamnya.

                “Kemarilah! Kamu ingin ini kan?” ucapnya pelan. Dia merendahkan badannya yang menjulang sampai ke posisi duduk.  Tiga laki-laki lain mengikutinya.

                Akhirnya anjing kecil itu pun berani untuk mendekat. Tubuhnya yang kecil akhirnya berbaring di depan mangkuk. Dia melahap dengan cepat mie kuah yang masih cukup panas sambil sesekali menengadahkan kepalanya. Anjing kecil itu rupanya tidak peduli dengan lidahnya yang kebas karena panasnya mie. 

                Empat laki-laki itu hanya diam mengamati betapa rakusnya si anjing kecil. Seperti sudah berhari-hari tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.

                “Anjing liar ini kelaparan?” gumam Heri. Tidak ada sepatah katapun dari teman-temannya. Mereka terlihat tertegun melihat betapa cepatnya semangkuk mie telah habis dalam sekejap.

                Anjing itu menengadah menatap 4 laki-laki yang akhirnya duduk bersila mengelilinginya. Dia menggonggong pelan namun tidak dipahami maksudnya. Tapi ekornya mengibas ke kanan dan kekiri dengan cepat. Seperti ingin mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang memberinya makanan senikmat itu. 

                “Masih lapar? Aku buatkan lagi yaa. Kasihan kau ,-” kata-kata Heri terputus. Matanya tertuju pada kaki belakang kanan anjing coklat itu. 

                “Astagfirullahaladim. Coki kakimu!” teriak Heri. Tanpa sadar dia menciptakan nama khusus untuk si anjing liar.

                Teriakan Heri membuat mata  temannya langsung tertuju pada kaki belakang. Kaki itu putus. Tidak ada paw seperti pada 3 kaki lainnya.  Darah yang telah mengering dan sepintas terlihat tulang. 

                Anjing coklat yang akhirnya mendapat nama Coki mengaing kesakitan saat tangan Heri bergerak di dekat luka kakinya. Kepalanya direbahkan diatas sesemakan. Sambil matanya berkedip menatap Heri.

                “Terima kasih. Terima kasih orang-orang baik,”

              Terdengar suara yang terang dan jelas. Namun tidak ada seorang pun dari 4 pemuda itu yang mengucapkannya.

              “Siapa? Siapa yang bilang terima kasih? Kamu?” tanya Heri kepada setiap temannya. Namun semua orang disana memastikan tidak mengatakan apapun. 

                Saat rasa kaget itu hilang, Heri dan teman-temannya melihat ke arah Coki. Anjing itu berbaring dengan mata terpejam. Tertutup untuk selama-lamanya. Setelah menyantap semangkuk mie.

                

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan