
Pikiran Hinata melayang jauh ke masa lalu.
Dari mana semua ini bermula?
Jika ia menarik simpul, jawabannya adalah pernikahan. Iya, benar. Pernikahan dengan Toneri adalah awal dari kehancuran, tapi ... kenapa semua alurnya terasa begitu cepat? Seolah segala sesuatu telah dipersiapkan jauh sebelumnya dan hanya menunggu waktu yang tepat untuk meledakkan Hyuuga dari dalam.
Bagaimana caranya?
Bagaimana bisa kerajaan bisnis sekuat Hyuuga, yang telah bertahan turun-temurun, dihancurkan begitu cepat setelah...
Hinata menarik napas panjang. Berkali-kali ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan mimpi dan bukan pula delusi yang akan hancur dalam sekejap. Dia benar-benar kembali dan di bawah sana, para Otsutsuki sedang menunggu.
Tangannya sedikit gemetar saat meraih pegangan tangga, refleks tak sadar yang timbul akibat trauma bertahun-tahun disiksa oleh Toneri. Batinnya teriris, sejujurnya dia belum siap bertemu dengan orang-orang yang telah menghancurkan dirinya sampai ke inti. Namun, kali ini Hinata tidak bisa menunjukkan kelemahan. Bagaimanapun, nasib klan ada di tangannya saat ini. Ia harus berusaha untuk memperbaiki semuanya.
Hinata berjalan dengan langkah pelan, seolah enggan.
Semuanya akan baik-baik saja.
Kalimat itu terus berulang di benaknya, seperti mantra yang harus ia percayai agar tidak jatuh ke dalam jurang ketakutan. Ia telah memastikan Hiashi dan Hitomi masih hidup dan mereka akan selalu menjadi pelindungnya, tidak peduli apapun yang terjadi.
Selama mereka ada, Hinata tidak sendiri.
Ia menggigit bibirnya, menekan ketegangan yang masih tersisa, setelah itu melangkah turun. Hari ini, Hinata akan menghadapi Otsutsuki Toneri—dengan tekad yang berbeda dari masa lalunya. Menolak untuk terjatuh kedua kalinya dalam pesona iblis yang menghancurkannya.
Harusnya seperti itu.
Namun, saat pandangannya menangkap sosok Toneri, dunia Hinata seakan berhenti berputar. Kenangan masa lalu yang mati-matian ia timbul mencuat ke luar seperti mengejeknya dalam genggaman yang tak bisa lepas. Senyum manis yang ditampilkannya tampak kontras dengan senyum bengis yang pria itu lemparkan setelah menendang tubuhnya berkali-kali.
Hinata merasa mual, darahnya berdesir dingin, dan kakinya mendadak kehilangan kekuatan. Meski dirinya diberi kesempatan untuk mengulang waktu, nyatanya tubuhnya masih mengingat setiap rasa sakit, setiap tamparan, setiap luka yang pernah pria itu ukir di kulitnya. Trauma itu masih membekas begitu hebat hingga tubuhnya limbung sesaat.
Dada Hinata berdenyut hebat, seakan paru-parunya tak bisa menampung cukup udara dan ia merasa sesak. Tangannya terangkat, memeluk tubuhnya sendiri, dan mengeratkannya di sekitar perut sebagai tanda refleks melindungi sesuatu yang sudah tidak ada.
Bayinya ...
Kemudian, kenyataannya menghantam begitu pedih.
Ia menunduk sesaat, perutnya rata. Tidak ada apa pun di sana, tidak ada kehidupan kecil yang harus ia lindungi mati-matian, tapi tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya. Di hadapannya, Toneri masih tersenyum—guratan yang dulu pernah ia anggap begitu menawan, kini terasa seperti senyum iblis yang menyamar sebagai manusia.
Makan siang di Hyuuga Mansion berlangsung dengan harmonis di permukaan. Kaguya melayangkan guyonan santai kepada Hitomi, sementara Ashura dan Hiashi larut dalam diskusi bisnis yang seolah tidak ada habisnya. Di mata mereka, ini hanyalah makan siang biasa—pertemuan dua keluarga besar yang tengah menyusun ikatan, tapi bagi Hinata, ini adalah awal dari pertarungan panjangnya.
Ia duduk diam di samping Neji, persis di seberang Toneri. Hinata menahan gemetar tubuhnya mati-matian agar tidak menimbulkan kecurigaan. Wajahnya sudah pias, ia benci ada di situasi ini. Dari sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan pria itu—tajam, menusuk, tak berkedip, dan ada senyum tipis menghiasi bibirnya.
Hinata berusaha keras memberikan senyuman tipis ke arah Toneri—senyum yang dulu mungkin terlihat tulus, tapi kini hanyalah ilusi kosong. Ia tahu setiap gerak-geriknya sedang diamati, baik oleh Toneri, maupun oleh Neji.
Neji sedari tadi terus meliriknya—Hinata menyadari bahwa Kakaknya mengerutkan dahi, dan menatapnya dengan tatapan curiga. Di saat seperti ini, Hinata mengutuk Neji, kenapa pria itu begitu jenius sehingga dapat menangkap kegelisahannya begitu cepat? Neji bukan orang bodoh dan Hinata tahu, sejak tadi pria itu sudah menyadari ada sesuatu yang berbeda darinya.
Di bawah meja, Hinata semakin erat menggenggam erat kain dress-nya, mencoba menahan diri. Berulang kali mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tak boleh gegabah—tidak sekarang, meskipun saat ini ia ingin melemparkan semua barang di atas meja ke wajah Toneri yang seolah tak berdosa. Wajah yang menatapnya dengan tatapan penuh klaim, seolah dirinya masih 'miliknya', dan itu membuat perutnya terasa semakin bergolak.
Jika saja mereka tahu siapa Toneri sebenarnya ... jika saja Ayah dan Ibu tahu bagaimana sosok itu menghancurkan hidupnya di kehidupan sebelumnya, tapi Hinata harus bermain cerdas. Mereka tidak boleh tahu. Belum saatnya.
Sial.
Percakapan berlangsung lancar, penuh basa-basi sopan yang menghiasi meja makan dengan gelak tawa. Hampir seperti tidak ada yang salah, walaupun Hinata begitu sesak sampai ingin mati rasanya—namun seolah tidak cukup, Ashura mengerling ke arahnya.
Ah, ia ingat momen ini.
Seketika, perasaannya dilempar kembali ke masa lalu—tepat saat di mana Ashura, dengan nada bercanda namun penuh makna, menanyakan sesuatu yang dulu membuatnya tersipu malu.
"Hinata, bagaimana perasaanmu pada Toneri?"
Sejenak, ruang terasa menyempit.
Di kehidupan sebelumnya, ia akan tersenyum malu-malu, dan pipinya merona. Ia akan menjawab dengan polos bahwa Toneri begitu baik, perhatian, dan penuh kasih sayang. Juga dengan nada berbunga-bunga khas gadis kasmaran ia mengatakan bahwa Toneri adalah pangeran dalam dongengnya, tapi sekarang ... ia tahu semua itu tidak lebih dari kebodohan yang mengantarnya ke neraka.
Sebuah kebodohan yang membuat segalanya hancur, tapi kali ini, Hinata tidak akan mengulang kesalahan yang sama.
Dia menatap Ashura dengan senyum simpul, seolah pertanyaan itu tidak terlalu berarti baginya.
"Aku dan Toneri masih membutuhkan waktu untuk saling mengenal."
Kaguya tertawa pelan, berakhir dengan senyumannya yang terukir lembut, tapi kata-kata yang keluar begitu tajam, "Hinata, perkenalan bisa dilakukan setelah pertunangan. Lagi pula, bukankah kalian sudah sering berkencan?"
Hinata merasakan tenggorokannya mengering.
Di masa lalu, dia mungkin akan mengangguk setuju, tapi sekarang dia ingin sekali mengatakan bahwa setiap momen bersama Toneri adalah awal dari dukanya—tapi, sebelum Hinata bisa merespons, Hiashi—dengan ketajaman seorang ayah yang menangkap gestur ketidaknyamanan putrinya—langsung turun tangan.
"Mereka masih terlalu muda." kata Hiashi tegas, tatapannya mengunci Kaguya—seolah melemparkan ultimatum tanpa gerakan. "Hinata baru menyelesaikan kuliahnya beberapa bulan lalu. Wajar jika dia belum siap. Pertunangan bukan sesuatu yang harus dipaksakan."
Suasana seketika terasa berat.
Ashura hanya tersenyum tipis, meskipun begitu, Hinata dapat melihat ada ketidaksenangan yang samar di matanya. Kaguya pun membuang muka, ekspresinya seolah enggan menyia-nyiakan lebih banyak waktu untuk mendengar alasan yang menurutnya tak masuk akal, apalagi Hiashi terkesan menyudutkannya. Hanya Toneri yang masih mempertahankan senyum simpulnya—senyum yang dulu akan membuat Hinata terpikat dan saat bibirnya bergerak pelan, berbisik tanpa suara—seolah menenangkan Hinata, meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja—Hinata yang dulu pasti akan jatuh cinta setengah mati, tapi sekarang, bisikan tanpa suara itu terasa seperti jerat yang siap melilit lehernya.
Sekarang ... Hinata tahu apa arti senyum palsu itu.
Suasana meja makan terasa lebih berat dari sebelumnya. Tak nyaman. Penuh ketegangan yang tidak terlihat, tapi bisa dirasakan di udara. Hinata tahu, jika dia membiarkan situasi ini berlanjut, maka semua akan berjalan sesuai keinginan Otsutsuki dan dia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Jadi, dengan suara yang tenang sempurna, ia mengambil alih percakapan, "Aku ingin meminta waktu," ujarnya, menatap satu per satu anggota keluarga yang ada di meja makan. "Tiga bulan. Waktu untuk benar-benar mengenal satu sama lain. Jika setelah itu kami merasa cocok, maka kita bisa langsung melangsungkan pernikahan tanpa pertunangan."
Meja makan jatuh dalam keheningan.
Ashura dan Kaguya sama-sama terbelalak, jelas tidak menyangka arah pembicaraan yang tiba-tiba berubah. Sementara itu, Toneri yang sedari tadi tersenyum tenang kini menegang sesaat. Tatapannya menajam, seolah tak percaya bahwa Hinata bisa berkata seperti itu.
Di bawah meja, Neji mengeratkan genggamannya. Ia menoleh sekilas ke arah Hinata, wajahnya penuh dengan pertanyaan yang belum terucapkan. Namun Hinata tidak goyah. Dalam tiga bulan, semuanya akan berbalik.
Hinata tidak bisa langsung menolak Otsutsuki. Bukan karena takut, bukan karena tekanan keluarga, tapi karena ia membutuhkannya. Otsutsuki harus tetap bermain dalam permainannya—sampai saat yang tepat tiba, karena Hinata tidak sekadar ingin menolak pernikahan ini.
Dia ingin menghancurkan mereka. Mereka harus membayar. Toneri harus membayar. Tidak cukup hanya dengan dipermalukan, tidak cukup hanya dengan dijatuhkan. Mereka harus dihancurkan dan Hinata akan memastikan mereka tidak hanya berakhir di penjara.
Kalau bisa ... ke neraka.
Agar anak-anaknya di surga dapat tertawa melihat keadilan ditegakkan.
*****
Setelah pertemuan hari itu, Hinata lebih banyak melamun di kamar. Ia mengunci pintunya, membiarkan cahaya senja yang masuk dari jendela mewarnai kesendiriannya dengan bayangan panjang yang membisu dan keluar hanya untuk mengambil makan dan minum. Tidak ada yang tahu betapa pikirannya terus bekerja, menyusun rencana, menggali ingatan, dan mencari celah.
Orang tuanya mulai khawatir, terlebih Neji—yang selalu punya insting kuat terhadapnya.
Seperti saat ini, ketukan di pintunya terdengar beberapa kali. Di luar, suara lembut memanggilnya.
Hinata enggan beranjak, namun, ketukan itu terdengar semakin eras.
"Hinata?"
Hinata menarik napas pelan, ia menutup matanya, dan bersiap memakai topeng yang akhir-akhir ini sering ia gunakan.
Dengan malas, ia beranjak ke arah pintu, dan membukanya. Saat pintu sedikit terbuka, Hinata memperlihatkan ekspresinya yang tenang. Di hadapannya, Neji menatapnya dengan pandangan tajam, seolah menelisik dari atas ke bawah, dan tidak meninggalkan seinci pun untuk ia telusuri.
"Ada apa, Kak?" kata Hinata, akhirnya membuka percakapan.
Neji melipat tangan di depan dada. Alisnya mengerut.
"Kau sakit?"
"Aku baik-baik saja, Kak." balas Hinata dengan senyum tipis yang nyaris sempurna. "Hanya sedang ingin bermalas-malasan saja."
Ini adalah jawaban yang akhir-akhir ini Hinata katakan pada Hiashi dan Hitomi, dan tampaknya mereka menerima alasan itu—tapi Neji? Dia hanya diam, matanya menyipit sedikit, meneliti ekspresi Hinata seperti sedang mengurai misteri.
"Kau bisa cerita apa pun padaku." kata Neji, nada suaranya sedikit melunak, berbeda dari biasanya yang terkesan mendesak.
Hinata mengembangkan senyum tulusnya perlahan. Matanya sedikit berkabut—seperti menyimpan terlalu banyak hal yang enggan diungkapkan. Sesaat, keraguan merayapi benaknya.
Apakah ia harus menceritakan semuanya pada Neji? Apakah ia harus memberitahu kakaknya tentang neraka yang ia alami di kehidupan sebelumnya? Tentang bagaimana Toneri menghancurkan segalanya, dan bagaimana ia sekarang mencoba merajut ulang takdir agar tidak jatuh ke lubang yang sama?
Tapi ... Neji akan segera bertunangan dengan Tenten. Neji memiliki hidupnya sendiri, dan ia tidak boleh mengacaukan pikirannya dengan masalah ini.
Hinata tersenyum samar, mencoba menghapus kegelisahan yang tersirat di wajah kakaknya.
"Aku baik-baik saja, Kak." katanya pelan. "Hanya ... beri aku sedikit waktu."
Neji diam sesaat, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu, akhirnya, ia mengangguk.
"Baiklah." kata Neji akhirnya, meski wajahnya masih menyimpan keraguan.
Lalu, tanpa ada kata-kata lainnya, Neji berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Hinata. Ia menatap punggung kakaknya saat ia pergi, merasakan beban yang kembali menghimpit dadanya.
Ia tahu peragai Neji—pria itu tidak akan berhenti sampai tahu kebenaran, tapi untuk saat ini ... ia harus menanggung semuanya sendirian.
Dengan cepat, Hinata menutup pintunya. Ia menghela napas dan menatap bayangannya di cermin.
Di pantulan cermin itu, tampak seorang gadis muda yang begitu cantik—tapi, dalam beberapa tahun ke depan, bila kembali menikah dengan orang yang salah, ia akan sekarat pelan-pelan. Mati di tangan suaminya sendiri, bukankah itu ironis?
Pikiran Hinata melayang jauh ke masa lalu.
Dari mana semua ini bermula?
Jika ia menarik simpul, jawabannya adalah pernikahan. Iya, benar. Pernikahan dengan Toneri adalah awal dari kehancuran, tapi ... kenapa semua alurnya terasa begitu cepat? Seolah segala sesuatu telah dipersiapkan jauh sebelumnya dan hanya menunggu waktu yang tepat untuk meledakkan Hyuuga dari dalam.
Bagaimana caranya?
Bagaimana bisa kerajaan bisnis sekuat Hyuuga, yang telah bertahan turun-temurun, dihancurkan begitu cepat setelah pernikahannya dengan Toneri?
Tangan Hinata mengepal. Ada sesuatu yang lebih besar yang belum ia pahami, dan yang lebih penting lagi ...
Apa yang sebenarnya membuat dirinya di masa lalu begitu mudah menerima permintaan Toneri?
Hinata menggigit bibirnya, berusaha menggali ingatan itu, tapi yang ia dapatkan hanyalah fragmen-fragmen kabur. Seakan ada sesuatu yang hilang. Bagaimanapun, di masa lalu, semua ini terasa begitu mengalir terlalu alami, dan terlalu mudah. Seperti ... ia memang dipersiapkan untuk jatuh dalam perangkap itu.
Hinata menutup matanya sejenak, jantungnya berdetak pelan tapi berat.
Jika ia ingin mengubah segalanya ... ia harus menemukan jawaban ini terlebih dahulu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
