
"Sasu, aku mau tanya. Boleh nggak?"
Sasuke, yang sejak tadi hanya menikmati momen tenang itu, membuka matanya setengah dan menoleh sedikit ke arahnya. "Tanya apa?"
Hinata mengerling jahil, sebelum berucap dengan nada serius. "Em, kalau aku jadi ubur-ubur, kamu masih sayang aku nggak?"
Sasuke mengernyit. Kerandoman apa lagi ini?
Setelah kejujuran perasaan mereka hari itu, hubungan Sasuke dan Hinata memang tidak berubah secara eksplisit—tidak ada deklarasi resmi, tidak ada label, tapi siapa yang peduli? Karena bagi Hinata, yang penting adalah fakta bahwa Sasuke mencintainya. Dia mengatakannya sendiri, tanpa ragu, dan tanpa paksaan. Itu lebih dari cukup.
Seperti sekarang.
Minggu pagi ini, mereka berdiri di tengah keramaian Disneysea, dengan langit cerah membentang luas dan angin laut sesekali bertiup melewati mereka. Awalnya, Hinata hanya ingin mengunjungi teater. Dia mendadak ingin merasakan atmosfer magis, tapi tidak ingin sesuatu yang terlalu formal.
Sasuke, yang seperti biasa mengerti selera gadisnya, langsung menyarankan Soaring Fantastic Flight—wahana yang bisa memberikan pengalaman terbang melintasi dunia dalam layar imersif yang begitu nyata.
Tapi kenyataannya?
Bukannya langsung menuju Soaring Fantastic Flight, Hinata justru menarik-narik tangan Sasuke ke arah wahana lain yang lebih menantang. Sejak tadi, dia terus menggiring Sasuke ke berbagai sudut taman, dengan mata berbinar dan senyum yang tak pernah luntur.
"Sasu! Lihat!"
Hinata berjingkrak kecil, menunjuk antusias ke arah Indiana Jones Adventure: Temple of the Crystal Skull—roller coaster bertema petualangan arkeolog legendaris itu. Wahana dengan jalur misterius, efek kejutan, dan tentu saja, sensasi yang cukup untuk membuat jantung berdebar lebih cepat dari biasanya.
Sasuke menghela napas. Kenapa harus wahana ini? Tapi melihat Hinata yang begitu bersemangat, matanya berbinar layaknya anak kecil yang baru pertama kali ke taman hiburan, Sasuke hanya bisa pasrah.
"Ayo, ayo, Sasu!" Hinata menarik pergelangan tangannya dengan semangat.
Sasuke tidak terlalu suka adrenalin berlebih. Dia bukan penggemar wahana yang membuat perut seolah ditinggalkan di atas saat tubuh melesat turun. Sekali lagi ia melirik ke arah gadisnya. Ia begitu berseri-seri, dan Sasuke akhirnya menyerah. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya menepuk kepala Hinata pelan—kebiasaannya—sebelum membiarkan dirinya ditarik ke antrian.
Tak butuh waktu lama, mereka sudah berada di dalam kereta. Suara tematik khas Indiana Jones menggema, suasana dalam wahana begitu autentik, membuat seolah-olah mereka memang sedang dalam ekspedisi petualangan.
Hinata duduk di sebelah Sasuke, tubuhnya sedikit bergeser gelisah di kursinya.
"Kita bakal selamat, kan?" gumamnya setengah bercanda.
Sasuke, yang sudah memasang sabuk pengaman, hanya menoleh dengan ekspresi datarnya. "Kamu yang ngajakin naik ini, Nat."
Hinata terkikik kecil, sebelum tiba-tiba—BRUKK!
Kereta melesat masuk ke dalam kegelapan.
"KYAAAAA! SAAAAASUKEEEEE!"
Hinata menjerit tanpa malu-malu begitu mereka melewati jalur misterius, dinding-dinding batu di sekeliling mereka dihiasi ukiran kuno yang samar-samar bercahaya. Tiba-tiba, suara drum petualangan semakin nyaring. Lintasan berguncang, membuat kereta seolah melayang beberapa detik di udara sebelum jatuh kembali dengan goncangan.
Sasuke mencengkram pegangan di depan dengan kuat, sementara Hinata justru mencengkram lengan Sasuke dengan lebih erat. Napasnya memburu, tapi di sela-sela teriakannya, ia juga tertawa.
Begitu mereka memasuki sebuah lorong yang lebih gelap, suara Indiana Jones terdengar memberi peringatan tentang bahaya besar di depan mereka, dan benar saja—tanpa aba-aba, bola batu raksasa meluncur ke arah mereka dari ujung lorong!
"AAAAAAHHH! SAAAAASUKEEEE!"
Hinata menutup matanya rapat-rapat dan menunduk sedikit. Tangannya makin erat mencengkram lengan Sasuke, sementara pria itu justru mendengus sambil menyunggingkan senyum kecil.
"Buka matamu, Nat." bisik Sasuke di telinganya.
Hinata dengan ragu membuka matanya sedikit—dan tepat di saat itu, kereta mereka melompat dari jalur, menghindari batu raksasa di detik terakhir!
Hawa panas menyapu wajah mereka, efek visual api dan asap mengepul di sekitar lorong sempit, sementara kereta mereka meluncur ke arah cahaya terang di ujung perjalanan.
Hinata tertawa terbahak begitu wahana berhenti. Pipinya merah karena adrenalin, matanya berbinar penuh kegembiraan.
"GILA, INI SERU BANGET!" Hinata memukul lengan Sasuke dengan semangat, nafasnya masih tersengal. "Sas, kita harus naik lagi!"
Sasuke hanya bisa menatapnya dengan ekspresi tidak mungkin.
"Sekali aja cukup, Nat."
Hinata mencibir. Tapi dia terlalu bahagia untuk berdebat sekarang. Lagipula, ini masih pagi. Mereka masih punya banyak waktu untuk menjelajahi taman hiburan ini, dan kalau Sasuke berpikir mereka selesai? Oh, dia salah besar.
Setelah sukses menyeret Sasuke menaiki Indiana Jones Adventure, Hinata kini punya target baru. Sesuatu yang lebih menantang. Sesuatu yang bisa membuat jantungnya berdebar lebih kencang, baik karena wahana itu sendiri atau karena—yah, Sasuke yang ada di sebelahnya.
Hinata menatap peta di tangannya dengan mata berbinar.
Tower of Terror.
Sasuke melirik peta itu dengan tatapan malas. "Aku tahu itu ekspresi apa, Nat."
Hinata menoleh dengan senyum licik. "Kita naik ini, ya?"
Sasuke menatap gambar gedung hotel tua menyeramkan di peta itu, sebelum kembali menatap Hinata dengan ekspresi tidak terpengaruh.
"Kita?"
Hinata mengangguk penuh semangat. "Iya. Kita."
Sasuke mendesah panjang. "Aku baru aja hampir kehilangan nyawa di Indiana Jones, sekarang kamu mau naik Tower of Terror?"
"Ini lebih seru, Sas! Dan lagi, kita belum pernah naik ini sama-sama."
"Alasannya jelek."
"Tapi kamu tetap akan ikut, kan?" Hinata berkedip manis, tangannya menggenggam tangan Sasuke dan mengayunkannya sedikit ke depan dan belakang. Seakan dia tahu pasti Sasuke tidak akan menolak.
Sasuke menatapnya lama, lalu menghela napas pasrah. "Iya, ayo."
Hinata langsung menarik tangan Sasuke menuju gedung besar berarsitektur Gothic yang berdiri menjulang di hadapan mereka. Gadis itu masih berseri, sesekali bergumam yang dibalas dengan deheman singkat dari Sasuke. Pemuda itu tampaknya lebih sibuk merapikan rambut gadisnya yang sedikit berantakan karena wahana permainan sebelumnya.
Mereka kini berdiri di antrian, dikelilingi pengunjung lain yang tampaknya sama-sama antusias. Cahaya temaram di dalam gedung memberikan efek mencekam, ditambah dekorasi khas hotel terbengkalai dengan perabotan berdebu, lampu gantung kuno, dan potret-potret tua yang seakan menatap langsung ke arah mereka.
Sasuke berdiri dengan tangan tersilang di dada, mengawasi ruangan dengan ekspresi tenang. Sementara itu, Hinata berdiri di sebelahnya dengan mata berbinar, senyum tak lepas dari wajahnya.
Lalu, akhirnya, mereka dipanggil masuk ke dalam lift raksasa.
Mereka duduk berdampingan di barisan tengah. Sabuk pengaman dipasang, suara gemuruh mulai terdengar.
"Lihat kan, Sas? Ini nggak semenakutkan itu." gumam Hinata, meski dia tahu sebentar lagi pernyataan itu akan terbantahkan sendiri.
Sasuke hanya menoleh tanpa berkata apa-apa.
Kemudian, suara narasi mulai berkumandang, menceritakan kisah hotel angker ini. Lampu redup, suara guntur menggema, suasana berubah menegangkan. Dan dalam hitungan detik—
DOR!
Lift melesat ke atas dengan kecepatan gila.
"KYAAAAAAAAAH!!!"
Hinata spontan berteriak dan mencengkram lengan Sasuke erat-erat. Jantungnya terasa ditinggalkan di bawah sana, tubuhnya melayang di udara saat lift berhenti sesaat di puncak.
Lalu—
JATUH BEBAS!
"AARRRGH!"
Hinata berteriak lebih keras, kali ini benar-benar merasa dirinya hampir melayang dari kursinya.
Sasuke, di sisi lain, tidak mengeluarkan suara sama sekali—tapi tangan yang Hinata genggam tadi kini mencengkeram tangannya balik. Kuat.
Lift naik kembali.
Kemudian, BRUKK!
Turun lagi.
Sekali lagi.
Dan lagi.
Di tengah kepanikannya, Hinata melirik ke samping dan melihat ekspresi Sasuke—rahangnya mengeras, matanya tetap terfokus ke depan, tapi napasnya sudah sedikit memburu.
Sepertinya Sasuke juga agak panik, tapi terlalu gengsi untuk menunjukkannya.
Tepat saat lift berhenti di atas untuk terakhir kalinya, sebelum terjun bebas sekali lagi, Hinata mendadak mendapat ide gila.
Tanpa peringatan, dia meraih wajah Sasuke dan—
CUP!
Mencium pipinya.
Lift kembali turun dengan kecepatan gila, tapi kali ini Hinata tidak berteriak. Dia hanya terkikik kecil, menikmati bagaimana wajah Sasuke yang semula tenang kini tampak lebih tegang.
Begitu lift akhirnya berhenti total dan pintu terbuka, Hinata turun dengan langkah ringan, sementara Sasuke berdiri di sebelahnya dengan ekspresi sulit dijelaskan.
Hinata menatapnya dengan senyum penuh kemenangan. "Seru, kan?"
Sasuke menatapnya dengan mata menyipit. "Kamu tadi nyium aku di tengah-tengah kita hampir mati?"
Hinata terkikik, lalu meraih lengan Sasuke dan menyandarkan kepalanya di bahunya. "Biar momen jatuhnya makin terasa spesial."
Sasuke menghela napas panjang.
Benar-benar gadis gila.
Setelah keluar dari Tower of Terror, Hinata masih tersenyum sumringah, seolah baru saja memenangkan lotre. Sementara Sasuke berjalan di sampingnya dengan ekspresi datar yang bercampur pasrah. Gadis itu bahkan masih menyandarkan kepalanya di bahunya, menikmati sisa-sisa adrenalinnya, seolah mereka tadi tidak baru saja dibuat melayang jatuh tanpa kendali di dalam lift terkutuk itu.
"Kita ke mana sekarang?" Sasuke bertanya, masih berusaha menenangkan jantungnya yang sedikit tertinggal di lantai atas wahana tadi.
Hinata menegakkan tubuhnya, matanya berbinar begitu melihat jalur roller coaster yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Rel besi menjulang dengan tikungan tajam dan loop 360 derajat yang tampak menantang—tapi bagi Hinata, itu terlihat lebih seperti tantangan seru dibandingkan ancaman.
"Ini, Sas! Kita naik ini!" Hinata langsung menarik tangan Sasuke dengan antusias, nyaris tanpa peringatan.
Sasuke menatap wahana itu, lalu menatap Hinata. "Kamu serius?"
Hinata mengangguk cepat. "Banget!"
Sasuke mendengus, menyadari bahwa menolak hanya akan memperpanjang argumen yang pada akhirnya akan dia kalahkan juga. Jadi, dia hanya membiarkan Hinata menariknya menuju antrian, sementara di kepalanya, dia sudah bisa menebak bagaimana wahana ini akan berakhir untuk mereka berdua.
Wahana Raging Spirits menjulang megah dengan desain kuil kuno dan patung-patung suci yang tampak mistis di sekelilingnya. Asap tipis mengepul dari kolam di bawah rel, menciptakan efek dramatis yang membuatnya terlihat semakin menantang. Terdengar suara dentuman dari kejauhan, bercampur dengan jeritan orang-orang yang baru saja meluncur di lintasan curam, membuat antrean semakin terasa menegangkan.
Hinata mengepal tangan, berusaha menenangkan dirinya sendiri saat antrean mulai maju. Ia melirik ke arah jalur roller coaster di depan, mata lavendernya membulat ngeri begitu melihat jalur berputar 360 derajat.
"Sasu, aku agak deg-degan." Hinata menggigit bibir bawahnya, menoleh ke samping melihat Sasuke yang berdiri santai dengan ekspresi datarnya yang ikonik.
Sasuke mengangkat alis mendengar pernyataan itu. "Seriusan? Kamu yang tadi jingkrak-jingkrak ngajak naik ini?"
Hinata mencebik, tangannya menggenggam lengan Sasuke erat. "Aku nggak nyangka ada muter-muter segala ..."
Sasuke terkekeh kecil, mengusap kepala gadisnya dengan lembut. "Ya udah, nggak usah naik kalau takut."
Hinata mengerutkan hidungnya. "Nggak mau. Aku udah antre, pokoknya aku naik!"
"Yakin?"
"Yakin!"
Sasuke menarik sudut bibirnya, merasa geli dengan kegigihan gadisnya.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di kursinya, sabuk pengaman terkunci dengan sempurna. Hinata tampak percaya diri—lebih percaya diri daripada seharusnya. Mereka duduk bersebelahan di kursi roller coaster, dengan sabuk pengaman sudah terpasang erat. Hinata mencengkeram pegangan di sisi kursinya, sementara Sasuke menatap lurus ke depan dengan ekspresi santai.
"Sas, kamu takut, ya?"
Sasuke mendengus. "Bukan aku yang bakal teriak nanti."
Kereta mulai bergerak perlahan, menaiki jalur menanjak curam dengan bunyi mekanik yang mengiringi. Dari atas, mereka bisa melihat pemandangan seluruh area DisneySea, tetapi Hinata sudah terlalu fokus dengan degup jantungnya yang semakin kencang.
Dari lambat, terus menanjak ke ketinggian.
"Sas, tinggi banget ya." suara Hinata mulai terdengar ragu.
Sasuke menoleh ke samping dan langsung menemukan wajah gadis itu yang mulai tegang. Ia menahan senyum.
"Sasu, aku takut ..." Hinata mencubit lengan Sasuke, wajahnya mulai pucat.
Sasuke menoleh, terkekeh pelan. "Baru sadar sekarang?"
"Masih bisa turun nggak, ya?"
Kereta mencapai puncak. Beberapa detik hening, sebelum—
Mereka jatuh.
Kereta meluncur tajam ke bawah, menghantam tikungan tajam sebelum berputar ke kanan dan kiri dengan kecepatan gila. Hinata berteriak histeris, sementara Sasuke tertawa kecil mendengar teriakannya yang makin lama makin kencang.
"Sasukeeee! Aku bakal matiii!"
Wahana terus berputar, menghantam tikungan tajam dan meluncur cepat di jalur berliku. Hinata tidak berani membuka mata, hanya bisa menjerit sejadi-jadinya sambil mencengkeram tangan Sasuke seakan hidupnya bergantung pada itu.
"AAAAHHHHH SASUKEEEEEEEE!!"
Sasuke nyaris tersedak tawa, meskipun gravitasi menyeret tubuhnya ke belakang. "Nat, kita baru setengah jalan!"
"Nggak mau! Aku mau turun!"
Sasuke hanya tertawa, sebelah tangannya menepuk paha Hinata untuk menenangkannya.
"Nat, rileks aja," katanya, meskipun suaranya hampir tertelan angin.
"A-AKU NGGAK BISA!" Hinata mencengkeram lengan Sasuke erat-erat, wajahnya panik total.
Sasuke hampir merasa kasihan, tapi di sisi lain, ini lucu juga.
Saat jalur berputar 360 derajat, Hinata menjerit lebih keras, sementara Sasuke tetap tenang dan sesekali menahan tawa. Gadis itu menutup mata rapat-rapat dan meremas lengan Sasuke sekencang mungkin.
"HABIS INI KITA BALIK AJA, SASUKEEEE!!"
Dan akhirnya, roller coaster mulai melambat, lalu berhenti di pemberhentian akhir.
Hinata masih mencengkeram lengan Sasuke, napasnya memburu. Sementara itu, Sasuke malah tertawa kecil dan melepas sabuk pengamannya dengan santai.
Kereta akhirnya berhenti di titik awal, dan pengaman terbuka otomatis. Sasuke menoleh ke samping, mendapati Hinata masih memejamkan mata dengan tangan masih menggenggam lengannya erat.
"Nat, udah selesai."
Hinata tidak menjawab, hanya terdiam di tempatnya.
Sasuke mengangkat alis, lalu menyenggol bahunya pelan. "Nat?"
" ... "
"Nat, jangan bilang kamu pingsan?"
Hinata menghela napas dalam, akhirnya membuka matanya perlahan. "Sas, aku nggak pingsan ..."
Sasuke menyeringai. "Tapi?"
"Perutku dikocok ... aku mau muntah!"
Mata Sasuke membulat. Tanpa banyak bicara, ia langsung menarik tangan Hinata, membawanya menjauh dari area wahana menuju pohon rindang terdekat.
Hinata berjongkok di bawah pohon, tangannya memegangi perutnya dengan ekspresi tersiksa. Sasuke berdiri di sampingnya, memijit tengkuknya pelan untuk membantu gadis itu memuntahkan isi perutnya.
Sudah Sasuke duga akan jadi seperti ini.
"Udah?" tanyanya, menatap gadisnya yang masih pucat.
Hinata mengangkat wajah dengan mata berkaca-kaca. "Sasu ... pusing ..."
Sasuke menghela napas panjang, menahan tawa yang hampir meledak. "Iya, kita duduk di sana, ya."
Mereka akhirnya pindah ke bangku yang disediakan di dekat area wahana. Sasuke membelikan Hinata segelas cokelat hangat, menyodorkannya pada gadis itu yang masih berwajah kusut.
"Masih mual nggak?" tanyanya.
Hinata menerima gelas itu dengan tangan gemetar. "Nggak, tapi masih sedikit pusing aja ..."
Sasuke menatapnya serius. "Nanti kalau masih mau main wahana, naik yang aman-aman aja, ya. Muka kamu pucat gini."
Setelah beberapa menit duduk di bawah pohon, menghirup dan menikmati cokelat hangatnya, Hinata akhirnya mulai pulih. Pusing yang menghantamnya setelah Raging Spirits perlahan mereda, meski efeknya masih terasa di perutnya. Ia meneguk cokelatnya sekali lagi, lalu mendongak menatap Sasuke dengan mata berbinar.
"Seru!" serunya dengan antusias.
Sasuke menatapnya dengan ekspresi skeptis. "Tapi bikin kamu pusing, kan?"
Hinata mengangguk mantap, tanpa sedikit pun penyesalan di wajahnya. "Tapi seru, Sasu!"
Sasuke menghela napas panjang, menatap gadis di hadapannya yang seolah tidak pernah kehabisan energi meskipun hampir muntah barusan. Dengan pasrah, dia akhirnya mengusap wajahnya, sebelum menyerah dan mengacak rambut indigo Hinata dengan gemas.
"Iya, seru sayang, seru banget." ucapnya dengan nada mengalah.
Hinata terkikik pelan sebelum kembali menyesap cokelatnya. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Sasuke yang masih menatapnya seperti orang bodoh yang terjebak dalam hubungan dengan gadis yang terlalu suka adrenalin.
"Udah mendingan?" tanya Sasuke akhirnya.
Hinata mengangguk. "Udah, kok."
"Bagus. Sekarang kita cari wahana yang nggak bikin kamu muntah lagi."
Hinata menatapnya dengan ekspresi berpikir, lalu tersenyum lebar. "Aku tahu tempat yang pas!"
Sebelum Sasuke sempat bertanya, Hinata sudah menarik tangannya, menyeretnya ke area lain dari taman hiburan itu. Mereka melewati beberapa gerbang, sebelum akhirnya tiba di Mermaid Lagoon—dunia lain yang terasa jauh berbeda dari wahana sebelumnya.
Atap berkubah biru membentang di atas mereka, dihiasi lampu-lampu pastel yang berkilauan seperti pantulan cahaya di dalam laut. Dekorasi bawah air yang penuh warna memenuhi ruangan, dengan pilar-pilar berbentuk karang dan patung makhluk laut yang tampak seolah hidup dalam cahaya temaram. Suasana di sini lebih santai dan menenangkan, bagaikan benar-benar melangkah ke dunia Ariel dan para sahabatnya.
Sasuke melangkah di samping Hinata, membiarkan gadis itu menarik tangannya ke sana kemari. Matanya berbinar penuh antusias, seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali menginjakkan kaki di taman bermain.
Sasuke melirik Hinata yang tampak berbinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan tempat favoritnya. "Jadi, kita ke sini sekarang?" tanyanya dengan nada setengah geli.
"Sasu, lihat deh!" Hinata mengabaikan Sasuke dan malah menunjuk ke arah air mancur yang menyembur pelan dari patung King Triton. "Bagus banget, kan?"
Sasuke hanya tersenyum kecil, menikmati ekspresi bahagia yang tergambar jelas di wajah gadisnya.
"Nat, kamu kenapa sih kalau ke tempat kayak gini selalu hiperaktif?" tanyanya, tapi tangannya tetap menggenggam erat jemari Hinata, membiarkannya sesuka hati menyeretnya ke dalam dunia kecilnya.
Hinata mengangguk cepat. "Iya! Ini kan tempatnya Ariel dan aku suka Ariel!"
Sasuke hanya menggelengkan kepala, membiarkan Hinata menyeretnya masuk lebih dalam ke dalam dunia bawah laut yang magis itu. Gadisnya masih sangat ceria, seolah tidak pernah ada adegan memuntahkan isi perut di wahana sebelumnya. Ia menarik Sasuke ke sebuah wahana berbentuk cangkang kerang besar yang berputar lembut.
"Ayo naik ini!" serunya.
Sasuke mengangkat alis. "Bukannya ini wahana buat anak kecil?"
"Tapi romantis!" Hinata mencebik, menatap Sasuke dengan mata berkaca-kaca penuh harapan. "Ayo, ya?"
Sasuke menghela napas panjang, tahu bahwa ia tidak mungkin menolak permintaan gadisnya. "Iya, iya, sayang."
Mereka pun masuk ke dalam kerang besar itu, yang perlahan-lahan mulai berputar lembut, diiringi alunan lagu Under the Sea yang diputar di seluruh wahana.
Hinata bersandar nyaman di bahu Sasuke, tubuh mereka sedikit bergoyang mengikuti irama wahana. Matanya mengamati dekorasi bawah laut yang berkelap-kelip, bibirnya membentuk senyuman kecil.
Kemudian, ia berdehem pelan.
"Sasu, aku mau tanya. Boleh nggak?"
Sasuke, yang sejak tadi hanya menikmati momen tenang itu, membuka matanya setengah dan menoleh sedikit ke arahnya. "Tanya apa?"
Hinata mengerling jahil, sebelum berucap dengan nada serius. "Em, kalau aku jadi ubur-ubur, kamu masih sayang aku nggak?"
Sasuke mengernyit. Kerandoman apa lagi ini?
Ia menarik napas panjang, menatap Hinata beberapa detik sebelum menjawab. "Masih, Nat."
Hinata tersenyum puas, matanya berbinar bahagia seperti baru saja memenangkan sesuatu.
"Kalo aku jadi paus? Kamu masih sayang aku?"
Sasuke mencubit hidung Hinata pelan, lalu menjawab tanpa ragu, "Iya, aku masih sayang kamu."
"Tapi, nanti badanku jadi gede banget, Sasu!" Hinata menatap Sasuke serius, seakan hal ini adalah perkara hidup dan mati.
Sasuke menahan tawa. "Iya, nggak apa-apa. Aku tetap sayang kamu."
Hinata menyipitkan mata curiga, sebelum kembali mengajukan pertanyaan yang lebih konyol. "Kalau aku jadi hiu? Masih sayang aku nggak?"
Sasuke akhirnya terkekeh, tangannya terulur mencubit pipi Hinata gemas. "Hiu imut kayak gini mah, aku bawa pulang."
Hinata mencebik, berpura-pura kesal. "Ih, Sasu ... aku serius!"
Sasuke menahan tawanya, lalu menarik Hinata dalam dekapannya, mengecup lembut dahinya. "Mau kamu jadi ubur-ubur, paus, hiu, bintang laut, kepiting, atau kelomang sekalipun, aku tetap sayang kamu, Hinata."
Hinata tertawa lepas, pipinya memerah malu. Ia kemudian memeluk pinggang Sasuke erat-erat, membenamkan wajahnya di dada pemuda itu.
"Kamu gombal banget, deh!"
Sasuke tersenyum kecil, lalu menatap Hinata dengan penuh kelembutan. "Tapi kamu suka, kan?"
Hinata mengangguk cepat. "Sukaaaaaaaaa!"
Sasuke tertawa pelan, lalu mengusap punggungnya. "Kalau aku yang jadi ubur-ubur, kamu masih tetap suka aku nggak?"
Hinata mengangkat wajahnya, menatap Sasuke dengan mata berbinar, sebelum mengecup pipinya singkat dan berbisik di telinganya.
"Nggak lah, ngapain aku suka ke ubur-ubur? Aku cari cowok lain aja!"
Sasuke langsung melotot, sebelum dengan geram mencubit pipi Hinata lebih keras.
"Dasar nakal!"
Hinata tertawa keras, sementara Sasuke hanya bisa mengusap wajahnya pasrah, tahu bahwa gadis ini akan selalu menjadi pusat kekacauan kecilnya, tapi, ia tetap menyukainya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
