After Breakup Arc: Ignored

5
0
Deskripsi

Setelah Asuma-sensei menjelaskan mengenai bab baru metafisika, mereka dititahkan untuk belajar berkelompok. Asuma-sensei udah cabut meskipun jam pelajaran masih sisa tiga puluh menit, dan Sasuke, dengan insting Uchiha-nya yang tajam, langsung mode detektif.

Mata Sasuke melirik ke kelompok Hinata. Mayoritas cowok.

LOH? KOK HANYA HINATA CEWEK SENDIRIAN DI SANA? APA INI? HAREM ANIME?

"Apa dia udah deket sama cowok lain? Nggak mungkin kan? Tapi ... siapa tuh yang duduk di sebelahnya? Kiba? Oh, nggak. Cuma...

Pagi ini, Konoha High School kembali riuh—bukan karena ujian dadakan atau guru killer baru, tapi karena topik yang lebih panas daripada gorengan baru diangkat: Kabar putusnya Hyuuga Hinata dan Uchiha Sasuke.

Iya, masih heboh—padahal sudah seminggu berlalu, tapi ya gitu, gosip di sekolah itu kayak Wi-Fi gratis— cepat tersebar, susah diabaikan.

Menurut Shino, suasananya kayak lebah berdengung. Menurut Ino, lebih mirip kompor gas yang dinyalain barengan—padahal Ino juga salah satu pematik gosip paling up to date, secara dia sohib belahan jiwanya Hinata—pokoknya ribut.

Para siswa?

Heboooh, diskusi kayak lagi sidang paripurna. "Kenapa mereka putus? Sasuke kurang apa? Hinata kurang apa?!" meski sebenarnya mereka kesenengan, akhirnya bidadari jelita yang turun ke bumi sudah tidak berpawang. Bisa dong deketin—ehem, modus—tipis-tipis tanpa takut kena deathglare Sasuke.

Para siswi? 

Diam-diam senyum simpul, ada yang langsung googling: "Cara jadi cewek cool tapi nggak kelihatan usaha."—Ada juga yang udah masukin skincare ke keranjang belanja: "Siapa tau besok glowing dan dilirik Sasuke"—padahal skincare baru dipake seminggu, ekspektasinya langsung kinclong kayak lampu neon

Meskipun diam-diam para siswi insecure juga—ya gimana nggak? Mantan dari crush mereka itu beneran paket komplit tanpa cacat, semua ceklis paripurna disambar habis oleh Hinata. Siapa yang bisa nolak Hyuuga Hinata? 

Cantik? Bidadari nggak mungkin jelek. Pintar? Unggulan juara pararel ketiga di bawah Shikamaru dan Sasuke. Kaya? Anak sulung Papa—ehem, gula—Hyuuga Hiashi, pewaris tahta yang kalau warisan dibagi, mungkin cukup buat sepuluh generasi tanpa perlu promo payday. Bahkan Haruno dan Yamanaka yang terkenal dengan karisma mereka harus ngaku kalah, bukan karena nggak percaya diri, tapi karena gimana mau tanding? Levelnya aja udah beda dimensi.

Hinata tuh kayak final boss, siswi lain masih level tutorial.

Itulah kenapa, pas kabar Sasuke dan Hinata pacaran mulai heboh, para siswi cuma bisa diem, nelen ludah, dan potek dalam hening.

Nggak ada yang berani protes, bukan karena takut juga, tapi karena, ya: "Gue ngaku kalah aja deh sama Neng Hinata. Sungkem gue, sadar diri lebih baik."—kurang lebih inilah batin para siswi waktu mereka patah hati si most wanted akhirnya berpacaran. 

Beberapa siswa dan siswi bahkan memulai slogan absurd: "Hyuuga untuk Uchiha""Sasuke cuma buat Hinata" dan yang paling niat: "SasuHina forever! Ayo cepet nikah, kita mau kondangan!"

Rasanya kayak direstui langsung sama alam semesta. Ya gimana enggak?

Hidup Uchiha Sasuke itu nyaris sempurna. Kaya? Duh, sebelas dua belas sama Hinata. Bedanya Sasuke bukan pewaris, tapi juga bukan perintis, intinya Sasuke kaya pake banget—dia bahkan punya mobil sport hitam metalik yang parkir manis di depan Konoha High School. Tampan? Biarpun model rambutnya aneh karena mirip pantat ayam, tapi cuma Sasuke yang cocok pake model rambut begitu. Pintar? Jangan ditanya, saingannya cuma dengan Shikamaru yang punya IQ 200 buat rebutin juara satu pararel sekolah. 

Hanya kurang satu: drama kehidupan cinta biar makin lengkap.

Sudah jelas kenapa dunia merestui ketika Sasuke mengumumkan hubungannya dengan Hinata. Bukan karena cinta ala-ala film romantis, tapi karena mereka setara. 

Paket sempurna + paket sempurna = Paket Couple Goals!

Tapi balik lagi, Sasuke itu nyaris sempurna—sampai ada satu hal kecil yang mengganggu pikirannya. Kecil dan nggak penting. Sama sekali nggak worth it buat dipikirin, tapi entah kenapa, pikirannya kayak di-lag, dan otaknya mendadak downgrade jadi versi trial.

Hyuuga Hinata.

Tepatnya, mantan pacarnya.

Bukan karena dia belum move on, bukan juga karena dia kangen—ya sejujurnya Sasuke masih ada perasaan kangen, dikit doang sih, kalo bisa diukur kayak sekecil planet Jupiter. Jadi, Sasuke mempertanyakan, dengan kekangenannya yang sekecil itu, kenapa Hinata masih nongkrong di kepala Sasuke kayak iklan pop-up yang susah ditutup? Kenapa setiap pagi buka mata, yang muncul di otaknya bukan "Anjay, gue keren banget kawan." tapi malah: "Kenapa Hinata bisa santai gitu setelah putus?!" 

Tiba-tiba, kepalanya memutar flashback ke momen putus yang ... ya, cukup dramatis—menurut Sasuke doang sih. Kalau menurut orang lain? Sampah abis.

Sore itu, pukul lima dan Sasuke baru selesai latihan basket bareng timnya: Naruto, Gaara, Lee, dan Sasori. Mereka sedang berlatih untuk pertandingan besar dua bulan lagi, pembukaan festival olahraga musim panas yang di sponsori langsung sama Universitas Konoha. 

Di pinggir lapangan, Hinata duduk santai, seperti biasa—buku di tangan, mata fokus membaca, tanpa banyak bicara. Bukan tipe cewek berisik yang nuntut perhatian berlebihan, bahkan pas jalan bareng pun, Hinata selalu tahu mau ke mana. Nggak pernah ada jawaban, "Terserah."—Intinya: gadis paket hemat, tanpa drama.

Namun, sore itu, entah apa yang ada di pikiran Sasuke saat dia menghampiri Hinata, diikuti oleh teman-temannya yang masih saling bersenda gurau, tawa mereka mengisi udara sore yang mulai dingin.

Sasuke berdiri di depan Hinata, keringat masih menetes di pelipisnya, napas belum sepenuhnya stabil dan si jelita Hinata dengan refleks menyodorkan handuk—kebiasaan yang sudah hampir setahun Hinata jalani. Tangan Sasuke terhenti di udara, bukannya meraih handuk itu, dia malah melontarkan kata-kata yang lebih kering dari dahinya. 

"Aku mau putus."

Begitu aja. Simple. Datar. Tanpa preambul atau efek background musik sedih. Padahal di pinggir lapangan, Hinata cuma duduk sambil baca buku, kayak biasa. Setelah pacaran hampir setahun, Sasuke—yang katanya jenius itu—mutusin gadis paket komplit ini seolah-olah lagi ngapus catatan yang salah tulis atau basa-basi bacot, seolah-olah dia baru bilang, "Aku lupa bawa buku."

Hinata mengerjap, terdiam sejenak. Mungkin sedang memproses apakah barusan dia salah dengar, tapi ternyata tidak. Setelah jeda yang hanya berlangsung beberapa detik—tapi terasa seperti seumur hidup di kepala Sasuke—Hinata mengangguk pelan, "Oke."

Waktu itu, yang heboh bukannya Hinata yang baru saja diputuskan Sasuke. Justru Naruto dan Lee yang bereaksi berlebihan, mata mereka membelalak, mulut menganga seperti baru lihat diskon 90% di tempat langganan.

"Apa?!" teriak Naruto, nyaris menjatuhkan botol minumnya.

"Lo serius, Sas?!" Lee menambahkan dengan ekspresi horor, seolah Sasuke baru aja ngumumin pensiun dari dunia basket.

Di sisi lain, Gaara dan Sasori cuma saling melirik, senyum terkekeh pelan. Bukan karena mendukung, tapi karena mereka tahu persis: Uchiha ini mundur dari pertarungan—secara, duo sepupu merah ini emang diam-diam bersaing buat dapetin bidadari macam Hinata, dan Sasuke? Baru aja buka peluang emas buat mereka.

Sementara itu, Hinata tetap tenang. Bukan karena dia nggak peduli, tapi karena ... ya emang nggak ada yang perlu diributin.

Dia bangun dari duduknya, menaruh handuk kecil yang tadi disodorkannya ke tangan Sasuke—dengan gerakan santai. Bibirnya mengulas senyum tipis yang sialnya membuat Gaara dan Sasori meleleh. 

"Aku pulang dulu, ya."

Sasuke? Masih terdiam. Bukan karena speechless karena lega, tapi karena pikirannya cuma berputar di satu pertanyaan, "Kok gampang banget sih?!" 

Oke? Itu aja?

Dia pikir Hinata bakal ... ya minimal bereaksi lah. Mungkin nangis, mungkin marah, mungkin minta penjelasan, atau paling tidak, ada sedikit dramatisasi yang bisa bikin Sasuke merasa berarti—tapi tidak, Hinata cuma setenang itu. Seolah-olah dia baru aja denger pernyataan trivial kayak, "Cuaca hari ini panas, ya."

Esoknya, kabar itu melesat begitu saja. Cepat, tanpa filter, tanpa jeda. Seolah-olah angin pagi di Konoha High School membawa kesegaran baru: Uchiha Sasuke PUTUS sama Hyuuga Hinata.

Sasuke? Kaget, tapi ya ... nggak terlalu kaget juga sih sebenarnya, karena dia sudah menduga—atau lebih tepatnya, suudzon—ini pasti kerjaan mulut ember Naruto, dan benar saja. Di lorong sekolah, Sasuke liat Naruto nongkrong santai, memulai percakapan dengan gaya lebay level dewa.

"Gue ada gosip panas nih!" kata si Uzumaki memancing penasaran teman-teman yang lain. 
 

Padahal pelaku utamanya berdiri nggak jauh dari situ, mendadak pengen nyebur ke lubang semut saking malunya.

Sasuke ngedeketin Naruto dengan tatapan, "Lo serius?"—Naruto yang seolah bisa membaca tatapan itu hanya tertawa, "Bro, gimana nggak gue ceritain? Kan lo putusin Hinata di depan umum!"

Memang sih, poinnya valid. Sasuke mendadak menyesal, harusnya dia putuskan Hinata di tempat privat saja, bukan di lapangan, bukan di depan temen-temen, apalagi di depan si kuning Naruto. Lalu yang membuat Sasuke tambah uring-uringan adalah—harusnya dia tahu apa yang bakal terjadi. 

Dipikirnya sih, Hinata dateng ke sekolah dengan wajah berantakan. Harusnya Hinata galau, sedih, atau minimal ... kepikiran dikit lah soal hubungan mereka yang kandas tiba-tiba, tapi kenyataannya? Gadis itu malah terlihat lebih bahagia dari sebelumnya.

Iya, lebih bahagia.

Senyum cerah. Aura glowing. Bahkan kayaknya—Apa dia makin cantik?! Dan itulah momen ketika Sasuke sadar, "Ini kok kayak gue yang diputusin?!"

Sejak seminggu lalu, kegiatan antar-jemput yang biasanya jadi rutinitas Sasuke sebagai pacar yang baik, sudah diambil alih oleh Neji.

Hyuuga Neji.

Sepupu Hinata yang—secara teknis—cuma dua tahun lebih tua, tapi auranya udah kayak bos mafia elegan yang suka bikin orang ngerasa kalah karena ... ya, dia cuma berdiri aja padahal. Neji sekarang kuliah di Universitas Konoha, tapi tetap punya waktu buat jadi supir pribadi sepupunya, dan setiap pagi, Sasuke harus menonton adegan yang sama—berulang-ulang—selama seminggu terakhir.

Neji turun dari mobil, buka pintu dengan santai, Hinata keluar dengan senyumannya yang bikin hati para siswa meleleh. Lalu ...

ADEGAN SIALAN ITU TERJADI!

Cium pipi. Cium kening.

TEPAT DI GERBANG SEKOLAH.
 

Selama. Seminggu. Penuh.

Sasuke berdiri di kejauhan, tatapan datarnya mungkin kelihatan tenang, tapi dalam hati?
"APA-APAAN NIH ANJING?!"

MEREKA CUMA SEPUPUAN! Kenapa harus ada cium kening segala?! APA INI DRAMA KOREA VERSI NYATA? Kenapa harus di GERBANG SEKOLAH, tempat strategis yang dilalui semua orang?!

Sasuke nelen ludah, bukan karena sedih, bukan juga karena patah hati—eits, dia juga nggak cemburu, tapi cuma nggak cuma melihat pertunjukan gratis yang bikin sakit mata. Setidaknya begitu yang diyakini Sasuke.
 

Kembali ke masa sekarang, Sasuke duduk di kelas, matanya menatap kosong ke arah papan tulis. Ada beragam coretan Asuma-sensei tentang metafisika, tapi otaknya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya nggak penting.

"Kenapa dia nggak nge-chat gue sama sekali? Apa dia nggak ngerasa kehilangan?"

"Harusnya dia ngerasa kehilangan dong? Atau minimal kepikiran dikit gitu? Kenapa malah dia yang keliatan santai-santai aja?"

Sasuke menghela napas pelan, matanya melirik ke arah jendela. Melempar pandangannya pada awan yang bergelung di langit. Biar dalam hati pikirannya sibuk menganalisis setiap momen mereka bersama, kalau dari luar harus tetap sok cool, dong. Jangan biarkan coolnya Uchiha tergerus, Kakek Madara bisa bangkit dari kubur kalau itu terjadi. 

Setelah Asuma-sensei menjelaskan mengenai bab baru metafisika, mereka dititahkan untuk belajar berkelompok. Asuma-sensei udah cabut meskipun jam pelajaran masih sisa tiga puluh menit, dan Sasuke, dengan insting Uchiha-nya yang tajam, langsung mode detektif.

Mata Sasuke melirik ke kelompok Hinata. Mayoritas cowok.

LOH? KOK HANYA HINATA CEWEK SENDIRIAN DI SANA? APA INI? HAREM ANIME?

Dan yang bikin panas adalah Hinata tertawa tanpa beban, bahkan ada adegan pukul-memukul manja pakai efek pink-pink pula di mata Sasuke, kayak ada filter Instagram yang nggak diundang.

Sasuke mulai overthinking level dewa.

"Apa dia udah deket sama cowok lain? Nggak mungkin kan? Tapi ... siapa tuh yang duduk di sebelahnya? Kiba? Oh, nggak. Cuma ngobrol biasa. Loh, kok ketawa sih? Lucu banget ya? Hah? Gue nggak segitu lucunya juga pas pacaran sama dia."

"Mereka ngetawain apa sih? Itu yang duduk sebelahnya kenapa deket banget? APA TADI DIA NGE-ELUS RAMBUTNYA?! LOH, KOK MAKIN MEPET?!"

Pulpen di tangan Sasuke hampir patah tanpa dosa, tapi gengsi menahannya, karena Uchiha Sasuke lebih baik memendam patah hati daripada kelihatan patahin pulpen gara-gara cemburu.

Sasuke mengerang pelan, suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat dirinya sendiri sadar kalau dia frustasi. Matanya melirik dengan api memburu ke arah Hinata. Tawanya terdengar menyebalkan. Bukan karena jelek, justru karena terlalu merdu, dan itulah yang bikin Sasuke pengen banting pulpen—tapi ya, gengsi.

"Kenapa ya dia bisa sebahagia itu? Mungkin dia pura-pura bahagia. Iya, pasti gitu. Biar keliatan udah move on. Padahal mah ... dia pasti masih mikirin gue."

Logika Uchiha detected.

Tapi semakin lama Sasuke mengamati, semakin teori itu runtuh, karena fakta di depan mata jelas: Hinata nggak kelihatan pura-pura, dia terlihat bahagia. Kayak, beneran dan bukan akting. Inimah asli bahagia, bang! 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Rain & Desire
8
1
Sasuke ingin membawa Hinata ke dalam rengkuhannya, merasakan kehangatan tubuhnya yang selalu terasa begitu menenangkan. Ingin membelai punggungnya dengan lembut sebelum tidur, mendengar napasnya yang tenang di dalam dekapan. Ingin memberikan kecupan tiada habisnya, memastikan wanita ini tahu bahwa dia dicintai, dipuja, dihargai—sesuatu yang mungkin tidak pernah benar-benar ia rasakan selama ini.Ah ... perasaan itu.Perasaan yang seharusnya sudah ia kubur sejak lama.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan