
Nadine tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah hanya karena satu pekerjaan aneh: menjadi "babu" untuk seekor kucing manja.
Seharusnya ini hanya pekerjaan sementara. Tapi masalahnya, bosnya adalah Alaric—pria arogan, dingin, dan terlalu terbiasa mengontrol segalanya, termasuk dirinya.
Setiap hari penuh dengan kekacauan, mulai dari drama kucing cemburu, perintah absurd, hingga interaksi tak terduga yang membuat jantungnya berdebar.
Namun, saat kesempatan untuk pergi akhirnya datang, Nadine harus...
Bab 1. Babu kocheng dadakan
“Ini serius? Aku harus jadi babu buat kucing?!”
Nadine menatap layar ponselnya dengan ekspresi campuran antara syok, frustasi, dan sedikit ketakutan pada hidupnya sendiri. Seminggu menganggur setelah kantornya bangkrut mendadak sudah cukup menyedihkan. Tapi sekarang? Sekarang semesta benar-benar sedang mengujinya.
Dicari: Asisten Rumah Tangga (Full-Time)
Gaji: Tinggi (nego)
Deskripsi: Merawat satu ekor kucing dengan sepenuh hati. Harus sabar, telaten, dan tidak alergi kucing.
Nadine berkedip beberapa kali. Ia baca ulang lowongan itu, memastikan bahwa otaknya tidak sedang berhalusinasi karena stres. Merawat kucing? Itu saja?
"Tunggu,gajinya tinggi?" Bibirnya mengerut. “Kenapa rasanya ini jebakan?”
Ia menatap saldo rekeningnya yang semakin miris. Napasnya berat. Pilihannya hanya dua: tetap menganggur dan makan mi instan rasa air mata atau menerima pekerjaan absurd ini.
“Oke, Nadine. Anggap aja ini magang di dunia perbudakan kucing.”
Dengan tekad setipis dompetnya, ia langsung menghubungi nomor di lowongan itu. Tidak sampai lima menit, seseorang menjawab dengan suara rendah dan tegas.
“Ya?”
“Halo, saya Nadine. Saya lihat lowongan kerja Anda untuk asisten rumah tangga.”
Hening sejenak. Lalu suara itu kembali.
“Bisa datang sekarang?”
"Eh?" Nadine refleks melihat jam. Sekarang? Baru kenalan aja udah buru-buru gini? Tapi ya sudahlah.
“Baik, saya akan segera ke sana.”
Tiga puluh menit kemudian, Nadine berdiri di depan sebuah rumah besar atau lebih tepatnya, istana kucing berkedok rumah manusia. Rumah mewah itu berdiri megah, membuatnya merasa seperti sedang melamar kerja di istana kerajaan.
Dengan ragu, ia menekan bel. Tidak lama kemudian, pintu terbuka, dan seorang pria tinggi dengan jas rapi berdiri di sana.
“Anda Nadine?”
Ia mengangguk, tapi otaknya berhenti bekerja sejenak. Pria ini ganteng. Bukan level ganteng biasa, tapi level ganteng yang bisa bikin wanita lupa nama sendiri. Sayangnya, ekspresinya begitu dingin seperti es batu abadi di kutub utara.
"Alaric," katanya singkat, lalu berbalik.
“Masuk!”
Nadine melangkah masuk, memperhatikan interior rumah yang elegan, sebelum akhirnya matanya menangkap sosok makhluk berbulu oranye yang duduk anggun di atas sofa.
Seekor kucing.
Tapi bukan sembarang kucing. Matanya bulat, bulunya halus berkilau, dan wajahnya… ah, kalau kesombongan punya bentuk fisik, maka inilah dia.
"Itu Lord Mochi," kata Alaric tanpa ekspresi.
Nadine nyaris tersedak ludahnya. Lord? LORD Mochi?!
Ia belum pernah bertemu kucing yang namanya seterhormat ini, tapi melihat tatapan tajam dan aura angkuhnya, nama itu terasa sangat pas.
Lord Mochi menatapnya seperti seorang bangsawan yang sedang menilai apakah rakyat jelata ini layak masuk ke istananya. Nadine mencoba tersenyum, berusaha menunjukkan itikad baik.
“Halo, Mochi. Aku Nadine. Kita akan jadi teman baik, ya?”
Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangan.
Cakar!
"AWWW!" Nadine langsung menarik tangannya. Ada goresan merah di kulitnya.
Alaric menghela napas panjang, seolah ini sudah sangat biasa. “Sepertinya dia tidak langsung menyukaimu.”
YA JELAS!
Tapi Nadine menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak kabur. Aku butuh uang. Aku butuh uang. Aku butuh uang.
"Baiklah," kata Alaric, menyerahkan daftar tugas. “Pastikan Lord Mochi makan tepat waktu, bersihkan kotak pasirnya, sisir bulunya dua kali sehari, dan jangan ganggu dia kalau dia tidak mau diganggu.”
Nadine menatap daftar itu dengan hampa.
Demi Tuhan, sejak kapan kucing lebih punya hak asasi daripada manusia?!
Nadine membaca daftar tugas di tangannya, lalu mengangkat alis tinggi. “Ini semua buat kucing?”
Alaric menatapnya dengan ekspresi ini pertanyaan serius? “Ya. Kenapa?”
Nadine menelan ludah. Ia pikir pekerjaannya akan mencakup tugas rumah tangga lain—menyapu, mengepel, mungkin memasak sesekali. Tapi tidak. Semua ini hanya demi satu ekor kucing.
Alaric menyerahkan kunci rumah dengan santai. “Kamu bisa mulai besok pagi. Gaji dibayar mingguan. Kalau Mochi masih tidak menyukaimu setelah satu minggu, kamu dipecat.”
Nadine terdiam. Dipecat hanya karena kucing tidak menyukainya?!
Ia ingin protes. Ingin bertanya apakah pria ini bercanda, tapi melihat ekspresi Alaric yang sedingin kulkas lima pintu, Nadine tahu dia tidak main-main.
"Oke," katanya akhirnya, meski dalam hati menangis. “Aku terima tantangan ini.”
Di sudut ruangan, Lord Mochi masih menatapnya angkuh, seolah berkata, Kita lihat saja, manusia!
***
Keesokan paginya, Nadine tiba dengan semangat membara.
“Oke, Mochi, mulai hari ini kita kerja sama. Kamu dan aku, kita satu tim!”
Lord Mochi, yang duduk di atas meja dapur, menatapnya dengan wajah Aku tidak peduli. Pergi dari hadapanku, rakyat jelata!
Nadine menghela napas. “Baiklah, pertama-tama, sarapan!”
Ia membuka kulkas dan langsung terkesima. Rak-rak di dalamnya penuh dengan makanan kucing premium yang tertata lebih rapi daripada isi kulkasnya sendiri.
Ia mengambil salah satu merek mahal, menuangkannya ke dalam mangkuk, lalu menyodorkannya ke Lord Mochi dengan penuh harap.
“Silakan, Tuan Mochi!”
Mochi turun dari meja, berjalan menghampiri mangkuknya, mengendus sebentar, lalu berbalik dan pergi begitu saja.
Nadine berkedip. “Eh? Kok nggak dimakan?”
Panik, ia mencoba merek lain. Lord Mochi tetap tidak tertarik.
“Jangan bilang kau mogok makan!”
Dalam hati, Nadine sudah bisa membayangkan Alaric menatapnya tajam sambil berkata, Kamu dipecat.
Tiba-tiba, suara berat terdengar dari belakang. “Dia cuma mau makan kalau kamu suapin dengan tangan.”
Nadine menoleh cepat. “APA?!”
Alaric menatapnya tanpa ekspresi. “Apakah aku terlihat seperti orang yang suka bercanda?”
Nadine mengalihkan pandangannya ke Lord Mochi yang duduk dengan angkuh seperti raja menunggu pelayan.
"Ya Tuhan," keluhnya. “Kucing ini lebih manja dari bayi.”
Dengan hati-hati dan penuh keterpaksaan, ia mengambil sedikit makanan kucing itu dan menyodorkannya ke depan Lord Mochi.
Dan ajaibnya, Mochi langsung membuka mulut dan makan dengan puas.
Nadine melongo. “Serius, Mochi? Ini yang kau mau?”
Lord Mochi melanjutkan makannya, seolah berkata, Ya, teruskan. Itu tugasmu sekarang.
Nadine menatap kucing oranye itu dengan campuran perasaan takjub, frustrasi, dan keinginan untuk mengajukan pensiun dini dari pekerjaan ini.
“Serius, Mochi, kau ini kucing atau bayi sultan?! Masa makan aja harus disuapin?!”
Lord Mochi tidak menjawab. Tentu saja tidak. Dia hanya menjilat bibirnya dengan ekspresi puas, seolah mengatakan Bagus, manusia. Kau belajar cepat.
Sementara itu, Alaric duduk di meja makan, menyeruput kopinya dengan tenang.
"Kau bisa mulai bersih-bersih sekarang. Kotak pasirnya ada di sudut ruangan," katanya, bahkan tanpa menoleh.
Nadine menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini layak untuk gaji tinggi.
“Oke, Mochi, ayo kita lihat kotak pasirmu.”
Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju sudut ruangan dan langsung membeku.
Kotak pasir itu sebesar bak mandi mini.
Mata Nadine membelalak. “Mochi ini kucing atau singa?! Kenapa kotaknya sebesar ini?!”
Alaric melirik sekilas. “Mochi tidak suka kotak kecil. Dia butuh ruang.”
Nadine menghela napas panjang lagi. Oke. Kucing ini jelas hidup lebih mewah daripada dirinya. Dengan pasrah, ia mengambil sekop kecil dan mulai membersihkan.
Namun, sebelum ia sempat mengangkat satu gumpalan pun…
Lord Mochi tiba-tiba melompat ke dalam kotak pasir dan menatapnya tajam.
Nadine menegang. “Eh? Kenapa? Aku cuma mau bersihin.”
Tiba-tiba, Mochi mulai menggaruk-garuk pasirnya dengan heboh. Butiran pasir beterbangan ke segala arah mengenai tangan, wajah, bahkan rambut Nadine!
“ARGHHH! MOCHIIII!!!”
Ia panik, melompat mundur, tapi sudah terlambat. Seluruh tubuhnya tertaburi pasir suci sang bangsawan berbulu oranye.
Sementara Nadine berdiri kaku seperti patung, berusaha memproses tragedi ini, ia menangkap sesuatu dari sudut matanya.
Alaric.
Bahunya bergetar. Bibirnya menekan sesuatu yang jelas-jelas senyum yang nyaris lolos.
Nadine menyipitkan mata. “Kamu ketawa ya?!”
Alaric cepat-cepat berdeham, mencoba kembali ke mode pria serius. “Tidak.”
"Oh ya?" Nadine melipat tangan. “Padahal aku dengar suara tawa kecil barusan.”
Alaric mengangkat alis. “Mungkin itu bayanganmu.”
Nadine mendengus. Oke, pria ini hampir tertawa, dan entah kenapa, itu membuatnya sedikit puas.
Tapi sebelum ia bisa menikmati kemenangan kecil ini, Lord Mochi kembali bertingkah. Dengan langkah angkuh, kucing itu melompat ke atas meja, menatap Nadine dengan tatapan Aku belum selesai denganmu, manusia.
Nadine langsung waspada. “Oh-oh. Kenapa tatapanmu begitu?”
Dan dalam sekejap—DUARRR!
Lord Mochi menjatuhkan gelas air di meja.
Airnya tumpah langsung ke kaki Nadine.
“ASTAGA! MOCHIIII!!!”
Sementara Nadine sibuk mengelap celananya, Lord Mochi malah duduk santai di sofa, menjilat-jilat kakinya dengan polos, seolah berkata, Ups, maaf, nggak sengaja~
Di sisi lain ruangan, Alaric akhirnya tidak bisa menahan diri. Tawa kecil—sangat kecil lolos dari bibirnya.
Nadine langsung menoleh cepat. “HAH! Tuh kan, ketawa!”
Alaric dengan tenang mengangkat cangkir kopi dan menyeruputnya lagi. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.”
Nadine mendengus kesal. “Ini baru hari pertama, dan aku sudah hampir kehilangan akal sehatku. Kucingmu ini sengaja mengerjaiku, aku yakin!”
Lord Mochi berkedip pelan dengan wajah penuh kepolosan palsu.
Alaric berdiri, meraih jasnya. “Aku akan ke kantor. Jaga Mochi baik-baik!”
Nadine memekik. “Tunggu. Aku sendirian dengan dia sepanjang hari?!”
Alaric menatapnya santai. “Ya, itu tugasmu.”
Tanpa basa-basi lagi, pria itu berjalan keluar rumah, meninggalkan Nadine berdua dengan kucing besar yang baru saja naik status menjadi musuh bebuyutannya.
Hening.
Nadine menatap Mochi.
Mochi menatap balik.
Udara di antara mereka terasa penuh ketegangan seperti duel di film koboi.
Akhirnya, Nadine menghela napas panjang. “Oke, Mochi. Kita mulai dari awal lagi. Aku Nadine. Aku cuma ingin bekerja dan tidak ingin mati di tangan seekor kucing, jadi bisakah kita berdamai?”
Mochi berkedip sekali. Lalu, tanpa dosa, ia membelakanginya dan berjalan pergi dengan angkuh.
Nadine mendongak ke langit-langit. “Ya Tuhan! Aku bakal gila.”
Dan begitulah, hari pertamanya sebagai babu kocheng resmi dimulai.
Bab 2. Perang dunia Mochi
Pagi hari di rumah Alaric.
Nadine membuka matanya dengan perasaan aneh. Ada sesuatu yang tidak beres.
Biasanya, ia bangun karena alarm atau sinar matahari yang menyelinap masuk melalui jendela, tapi kali ini ia merasa diawasi. Perlahan, dengan hati-hati, ia menoleh ke samping.
“ASTAGAAA, MOCHIII!!!”
Nadine melompat kaget dan hampir jatuh dari tempat tidur. Tepat di samping wajahnya, Lord Mochi duduk tegak, menatapnya dengan ekspresi penuh evaluasi seperti juri MasterChef yang sedang menilai plating restoran bintang lima.
Nadine terengah-engah, jantungnya hampir copot. "KAU KENAPA, SIH?! Mau bikin aku kena serangan jantung di usia muda?"
Lord Mochi hanya mengeong pelan, lalu menjilat cakarnya dengan santai. Tatapannya penuh superioritas, seolah berkata: Bangun, babu! Sudah saatnya melayaniku.
Nadine mengusap wajahnya dengan pasrah. “Oke, baiklah. Kau menang. Aku bangun.”
Dengan langkah gontai, ia turun dari tempat tidur dan berjalan ke dapur. Lord Mochi mengikuti di belakangnya seperti bos besar yang sedang mengawasi pegawai magang yang performanya masih dipertanyakan.
Begitu sampai di dapur, Nadine membuka lemari makanan kucing dan mengambil satu kaleng.
"Aku sudah hafal kebiasaanmu, Mochi. Kau baru mau makan kalau aku suapin, kan?"
Namun, begitu ia membuka kaleng itu, sesuatu yang aneh terjadi. Lord Mochi, yang biasanya langsung siap menerima layanan makan eksklusifnya, malah mundur perlahan.
Nadine menyipitkan mata. "Eh? Kenapa? Ini makanan yang sama kayak kemarin."
Ia mencoba mendekatkan mangkuk ke Mochi, tapi kucing oranye itu langsung memalingkan muka dengan gaya seangkuh model runway di Paris Fashion Week.
Duh, ini kenapa lagi, si bocil sultan?
"Serius, Mochi?" Nadine mendesah.
Tapi ada yang aneh. Biasanya, Lord Mochi akan menunjukkan ekspresi ih, jijik! atau babu, seleraku lebih tinggi dari ini! Tapi kali ini, wajahnya terlihat murung.
Nadine berjongkok, menatap kucing itu dengan curiga. "Hei, kau kenapa?"
Biasanya, jika ia terlalu dekat, Mochi pasti akan mencakar atau kabur. Tapi kali ini, si kucing diam saja.
Hati Nadine mulai berdegup kencang.
Ia ragu-ragu mengulurkan tangan dan menyentuh tubuh Lord Mochi. Begitu tangannya menyentuh bulu oranye itu, ia langsung membeku.
Panas.
Kucing ini demam?!
"MOCHI KENA DEMAM?!" Nadine panik seketika.
Lord Mochi tidak bereaksi, hanya memejamkan mata lemah.
DUARR!!! PANIK MODE: 100000%.
Tanpa pikir panjang, Nadine menghambur ke meja, meraih ponselnya, dan menekan nomor Alaric.
“Halo?” Suara Alaric terdengar mengantuk.
"ALARIC! MOCHI KENAPA?! DIA NGGAK MAU MAKAN DAN BADANNYA PANAS! AKU PANIK!!!"
“Nadine, ini masih jam enam pagi.”
"DASAR MANUSIA BATU! INI KUCINGMU, TAU?! AKU SERIUS! KALAU MOCHI KENAPA-NAPA, KAU SIAPKAN MAKAMNYA SEKALIAN BUATKU!"
Hening.
Lalu, suara Alaric berubah lebih serius.
"Aku akan ke sana. Pastikan dia tetap tenang sampai aku tiba."
Telepon terputus.
Nadine langsung menoleh ke Lord Mochi, yang kini terkulai lemah di lantai.
"BERTAHANLAH, MOCHI! KAMU KUAT!"
Dramatis banget, ya Tuhan.
Tapi ini serius. Kucingnya yang biasanya sombong, tukang teror, dan penuh tingkah kini diam. Dan itu lebih menakutkan dari apapun.
Setengah jam kemudian—
Alaric tiba di rumah dengan setelan rapi seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ekspresi pria itu tegang. Tanpa banyak bicara, ia langsung berjongkok di samping Lord Mochi.
Nadine melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ekspresi dingin dan tak tersentuh Alaric mencair saat tangannya menyentuh bulu Mochi.
Tatapan pria itu melembut, nyaris penuh kasih sayang, seolah dunia luar menghilang dan yang tersisa hanya dia dan kucingnya dan yang lebih mengejutkan lagi sesuatu di hati Nadine ikut bergetar.
Tunggu!
Jangan bilang dia tersentuh hanya karena melihat cowok sayang kucing?!
Astaga, klise banget!
Nadine buru-buru menggelengkan kepalanya. "Fokus, Nadine! Ini bukan drama romantis!"
Sementara itu, Alaric masih sibuk memeriksa Mochi dengan penuh perhatian. “Aku akan membawanya ke dokter hewan.”
Tanpa pikir panjang, Nadine langsung berkata, “Aku ikut!”
Alaric menatapnya, sedikit terkejut. “Kenapa?”
Nadine menghela napas. “Aku kan babu kocheng. Masa aku nggak peduli sama Tuanku?”
Alaric terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk.
Di Klinik Hewan
Lord Mochi akhirnya diperiksa dokter.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, dokter itu akhirnya tersenyum.
“Tidak ada yang serius. Sepertinya Mochi hanya stress.”
Nadine dan Alaric menatap dokter itu dengan bingung.
“Stress?” Nadine mengulang, seolah tidak percaya.
Dokter mengangguk. “Ya. Kucing bisa mengalami stress jika ada perubahan besar di lingkungannya.”
Alaric mengerutkan dahi. “Perubahan besar?”
Dokter tersenyum. “Sejak kapan asisten rumah tangga baru Anda mulai bekerja?”
Nadine dan Alaric saling berpandangan.
“Ehmm baru kemarin,” gumam Nadine.
Dokter tertawa kecil. “Nah, mungkin Mochi masih beradaptasi dengan kehadiran Mbak Nadine.”
Hening.
Lalu, Nadine menunjuk Lord Mochi dengan ekspresi tidak percaya. “Jadi ini semua salahku?!”
Mochi tetap diam, lalu mengeong pelan.
Seolah berkata: ‘Ya, ini semua salahmu, manusia.’
Nadine melongo. “Tunggu. Kau stress cuma karena aku ada di sini?”
Alaric tiba-tiba tertawa kecil.
Nadine langsung menoleh tajam. “Kau ketawa lagi?! Aku baru dua hari kerja dan aku sudah bikin Mochi stress, lalu kau malah ketawa?!”
Alaric berdeham, berusaha menahan senyum. “Maaf. Aku hanya tidak menyangka.”
Nadine memandang Mochi dengan tatapan sakit hati. “Aku sudah nyuapinmu, membersihkan pasirmu yang sebesar kolam renang, kenapa masih stress?!”
Dokter menenangkan Nadine. “Santai saja, Mbak. Biasanya setelah beberapa hari, Mochi akan terbiasa. Coba beri dia lebih banyak perhatian dan waktu.”
Nadine mengerang frustasi. “Aku sudah merasa kayak pengasuh bayi. Sekarang aku juga harus menenangkan mentalnya?”
Alaric menepuk bahunya dengan simpati yang jelas pura-pura. “Selamat datang di dunia babu kocheng.”
Nadine hanya bisa mengeluh pasrah.
***
Setelah hari yang melelahkan, Nadine duduk di sofa sambil menatap Lord Mochi yang kini meringkuk nyaman di atas bantal favoritnya. Ia menghela napas panjang.
“Jadi kau stress karena aku, ya?” gumamnya pelan.
Lord Mochi mengintip sedikit, lalu mengeong kecil seolah berkata: Memangnya masih perlu ditanya?
Nadine mendengus, lalu mengacak rambutnya sendiri. “Ya Tuhan, aku benar-benar babu kocheng sejati sekarang.”
Lord Mochi mengintip sedikit, lalu mengeong kecil. Nadine menghela napas panjang. Ia mulai berpikir bagaimana kalau selama ini ia terlalu agresif mencoba berteman dengan Mochi?
Apa mungkin selama ini dia terlalu nyebelin di mata seekor kucing sultan?
Dengan hati-hati, ia mendekat dan duduk di lantai.
“Aku tahu aku berisik. Aku tahu aku sering ganggu. Aku juga tahu kau pasti kangen sama rutinitas lamamu sebelum aku datang.”
Lord Mochi tetap diam, menatapnya dengan mata besar penuh evaluasi seperti sedang mempertimbangkan apakah manusia ini layak mendapat ampunan.
Nadine mengulurkan tangan perlahan, tidak memaksa, hanya sekadar menawarkan.
Ajaibnya....
Lord Mochi tidak kabur.
Bahkan, setelah beberapa detik yang terasa seperti momen ajaib dari film Disney, kucing itu menggosokkan kepalanya ke jari Nadine.
Nadine menahan napas.
“Mochi?”
Lord Mochi hanya mengeong pelan, lalu tetap di tempatnya. Untuk pertama kalinya, kucing kecil penuh gengsi itu menerima Nadine dan anehnya Nadine merasakan sesuatu di dadanya. Hangat.
Ia menoleh ke belakang, mendapati Alaric sedang memperhatikannya dari jauh.
“Apa?” tanya Nadine, sedikit gugup.
Alaric menggeleng sambil tersenyum kecil. “Sepertinya dia mulai menerimamu.”
Nadine mengangkat alis. “Kau iri ya?” godanya.
Alaric hanya tertawa pelan dan berjalan pergi.
Nadine tersenyum sendiri. Mungkin, hanya mungkin, pekerjaan ini tidak seburuk yang ia kira.
Dan mungkin, hidupnya akan jauh lebih menarik dari yang ia bayangkan.
Setelah peristiwa dramatis di klinik hewan, Nadine merasa lega karena Mochi tidak sakit serius.
Tapi di sisi lain, dia masih syok, karena tahu penyebabnya.
Mochi stress gara-gara dia!
Nadine duduk di ruang tamu, tangan terlipat di dada. Lord Mochi, yang baru pulang dari dokter, kini duduk santai di sofa seperti bos mafia.
Nadine menatapnya penuh kecurigaan.
“Dengar, Mochi. Aku baru kerja dua hari dan kau sudah bikin aku hampir kena serangan jantung dua kali.”
Lord Mochi berkedip pelan.
Seolah berkata: "Dan aku yang harus peduli?"
Nadine menunjuknya dengan tatapan penuh ancaman.
“Aku tahu kau cuma bisa bahasa kucing, tapi aku yakin kau ngerti bahasa manusia juga. Jadi, ayo kita buat kesepakatan!”
Lord Mochi tetap diam.
Nadine berdeham. “Mulai sekarang, kau tidak boleh menyerangku tanpa alasan. Aku bukan ancaman. Aku hanya babu yang mencari nafkah. Kau bisa tetap jadi raja di rumah ini, tapi jangan bikin aku gila, oke?”
Mochi tetap diam lagi.
Nadine menghela napas.
“Dan sebagai gantinya, aku akan belajar melayanimu dengan lebih baik, tapi tolonglah, jangan siksa aku seperti di acara realitas bertahan hidup.”
Hening.
Lalu, dengan gerakan paling dramatis yang pernah Nadine lihat. Lord Mochi mengangkat satu kaki depan, menjilatnya sekali, lalu menjatuhkan diri ke sofa dengan posisi miring.
Nadine melongo. “Jadi ini jawabanmu?”
Mochi menguap lebar, menutup matanya.
Jawaban final: Aku tetap raja, babu. Terima takdirmu.
Nadine menarik napas dalam.
Oke. Anggap saja itu berarti ‘oke’.
***
Nadine bangun pagi dengan semangat baru. Hari ini, tidak ada drama. Hari ini, tidak ada serangan mendadak dari Mochi.
Hari ini, dia akan membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi babu kocheng yang profesional.
Dengan penuh tekad, ia berjalan ke dapur, membuka lemari makanan kucing, lalu menyiapkan sarapan spesial untuk Lord Mochi.
Semangkuk penuh kemewahan.
Ia membawanya ke ruang makan dengan langkah mantap.
“Ayo, Mochi, makan!”
Tapi Mochi hanya melirik sekilas, lalu menoleh ke arah Alaric yang sedang duduk santai membaca koran.
Nadine berhenti sejenak.
Kenapa tatapannya kayak gitu?
Mata bulatnya seperti berkata: "Babu, kau pikir aku akan makan dari tanganmu?"
Nadine mengernyit. “Kenapa tatapanmu kayak gitu?”
Alaric menurunkan korannya, menghela napas, lalu berkata datar, “Coba suapin!"
Nadine mendengus. “Astaga, aku tahu kau manja, Mochi. Tapi, baiklah.”
Dengan penuh dedikasi, ia mengambil makanan kucing itu dan menyuapkannya ke depan wajah Mochi.
Mochi mengendus sebentar, lalu menatapnya datar. Lalu tidak membuka mulutnya sama sekali.
Hening.
Nadine berkedip. “Kamu nolak makanan ini?”
Mochi tetap diam.
Lalu, dengan santai, Mochi kembali menatap Alaric. Seolah berkata: "Aku punya standar."
Alaric menghela napas lagi, mengambil sedikit makanan dari tangan Nadine, lalu menyuapi Mochi dan langsung, tanpa ragu, Mochi memakan makanan itu dengan lahap.
Nadine membeku.
Matanya bergerak pelan ke arah Mochi.
“KAU SERIUS, MOCHI?!”
Mochi mengeong kecil, dengan ekspresi penuh kepuasan. Seolah berkata: "Lihat dan belajar, babu."
Alaric menahan tawa. “Sepertinya dia lebih suka kalau aku yang menyuapinya.”
Nadine menjatuhkan diri ke kursi, lemas.
“Jadi aku harus bersaing sama bosku sendiri untuk mendapatkan kepercayaan seekor kucing? Ini makin absurd.”
Alaric tersenyum kecil. “Kucing punya standar tinggi.”
Nadine mendengus. “Ya, ya. Standar lebih tinggi dari calon mertua.”
Mochi tetap melahap makanannya dengan anggun. Menikmati kemenangan kecilnya.
Bab 3. Kucing kopi dan kekacauan
Nadine terbangun dengan perasaan campur aduk. Sejak bekerja sebagai babu kocheng, hidupnya terasa seperti roller coaster—naik turun dalam waktu singkat, dan Lord Mochi adalah operatornya.
Ia menatap langit-langit kamar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Hari ini harus lebih baik dari kemarin. Ia tidak boleh kalah.
Bukan sama Alaric.
Bukan sama kucingnya.
Dan terutama, bukan sama nasibnya sendiri. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia keluar kamar dan berjalan ke dapur.
“Selamat pagi!” sapanya riang.
Alaric, yang sudah duduk di meja makan dengan laptopnya, hanya menoleh sekilas.
“Pagi!"
Mochi juga menoleh, lalu memalingkan muka dengan angkuh.
Nadine berkedip.
“Serius, Mochi? Kita nggak bisa mulai hari ini dengan lebih damai?”
Mochi hanya menjilati kakinya dengan anggun.
Alaric terkekeh kecil. “Sepertinya dia masih belum sepenuhnya menerimamu.”
Nadine mendengus. “Mungkin aku harus bawa ayam goreng biar dia mau bersikap baik.”
Alaric menyesap kopinya. “Kucing tidak boleh makan ayam goreng.”
“Ya, ya, aku tahu.” Nadine membuka kulkas dan mengambil susu.
“Tapi kadang aku merasa kamu lebih ketat ngurus Mochi daripada aku ngurus adikku sendiri.”
Alaric mengangkat alis. “Tentu saja. Mochi itu keluarga.”
Nadine menatapnya sebentar. Ada kelembutan di matanya setiap kali berbicara tentang Mochi. Dan anehnya, itu membuat hati Nadine sedikit melembut juga. Tapi perasaan itu hanya bertahan tiga detik.
Karena detik berikutnya—
Lord Mochi tiba-tiba melompat ke meja dan menjatuhkan cangkir kopi Alaric.
“MOCHIIII!!”
Alaric dan Nadine serempak berdiri. Kopi tumpah ke mana-mana.
Meja.
Lantai.
Dan yang paling parah—
Kemeja putih Alaric.
Nadine membeku.
Oh, tidak.
Bencana nasional.
Alaric menatap bajunya yang basah dengan ekspresi datar. Lalu, dengan perlahan, ia menoleh ke Mochi.
Mochi duduk tenang di atas laptop, mengeong pelan, tanpa rasa bersalah.
Seolah berkata: “Hukum aku kalau berani, manusia.”
Alaric memijit pelipisnya. “Mochi.”
Nadine langsung bergerak.
“Tunggu! Aku bersihin!”
Ia buru-buru mengambil lap dapur, mengelap meja dan lantai, sementara Alaric mulai membuka kancing kemejanya.
Namun, saat Nadine berbalik—
Ia baru sadar sesuatu.
Alaric sudah setengah telanjang.
DEG.
Nadine membeku dengan lap di tangannya.
Otaknya langsung error.
Karena—oke—
Mungkin dia tidak pernah terlalu memperhatikan bosnya sebelumnya.
Tapi melihatnya dari jarak dekat, dengan cahaya pagi menyinari kulitnya yang... well, lumayan banget…
Astaga, ini kayak adegan di drama Korea.
Alaric, yang tidak menyadari Nadine sudah nyaris mengalami blue screen, masih santai saja mengelap dadanya.
“Kamu kenapa diam?”
Nadine langsung tersadar.
Lalu—
Dia membanting lap ke wajahnya sendiri.
"TIDAK ADA APA-APA!" seru Nadine panik.
Alaric menatapnya heran. “Kenapa kamu teriak?”
“AKU NGGAK TERIAK!” Nadine masih menutupi wajahnya. “AKU HANYA… HANYA… MENGHARGAI PRIVASI!”
Alaric mengernyit. “Tapi aku tidak merasa terganggu.”
Ya Tuhan, ini cowok kenapa begitu santai?!
Sementara Nadine masih sibuk menenangkan jantungnya yang hampir loncat keluar, Lord Mochi melompat turun dari meja dan dengan anggun, ia menginjak lap penuh kopi.
“OH TIDAK. MOCHI, JANGAN—”
Tapi sudah terlambat. Dengan kecepatan kilat, Mochi berlari ke arah sofa.
Sofanya Alaric.
Yang warnanya putih.
Seperti jiwa Nadine yang perlahan keluar dari raganya.
“MOCHIIII!!!”
Nadine dan Alaric buru-buru mengejar, tapi dalam hitungan detik, Mochi sudah mendarat di atas sofa mahal itu.
Dan kemudian—
JEJAK KAKI COKELAT DI MANA-MANA.
Nadine hampir pingsan.
Alaric menatap sofanya.
Lalu menatap Mochi.
Lalu menatap Nadine.
Nadine menelan ludah. “Aku rasa ini salahku.”
Alaric menarik napas panjang. “Kamu tahu berapa harga sofa itu?”
Nadine ingin menangis. “Mungkin kita bisa pakai pembersih aja?”
Alaric menatapnya lama, lalu ia tertawa kecil.
Nadine berkedip. “Eh?”
Alaric menggeleng, masih tertawa. “Aku harusnya sudah terbiasa dengan ini. Mochi memang suka bikin kacau.”
Nadine masih melongo. “Tunggu, kamu nggak marah?”
Alaric menatapnya sebentar.
“Kesal, iya. Marah? Tidak.”
Nadine menghela napas lega.
Tapi kemudian—
“Tapi karena ini terjadi saat kamu bertugas, kamu yang harus bersihin.”
BODOH.
KENAPA DIA SEMPAT BERPIKIR PRIA INI BISA JADI LEMBUT?!
Sementara itu, Lord Mochi duduk di atas sofa, mengangkat satu kaki, dan mulai menjilati telapak kakinya yang masih berlumuran kopi. Seolah berkata, “Sofa ini sekarang milikku, manusia.”
Nadine menatap sofa putih mahal yang sekarang penuh jejak kaki cokelat. Jantungnya berdebar kencang. Bukan karena romantis, tapi karena nyawanya sedang dipertaruhkan.
Alaric menatapnya tajam. “Kau yang harus bertanggung jawab.”
Nadine mencoba tertawa gugup. “Hehe… mungkin kita bisa—”
“Tanganmu.”
Nadine terdiam. “Hah?”
"Tanganmu," ulang Alaric, menunjuk ke bawah.
Nadine melihat ke tangannya dan di sanalah jejak kopi kering menempel di jari dan lengannya.
“ASTAGA.”
Dengan panik, ia melompat ke dapur dan menyalakan keran.
Namun—
Air menyemprot ke wajahnya sendiri.
Dingin.
Banjir.
Alaric menahan tawa.
Sementara Nadine terduduk lemas di lantai, basah kuyup, sambil menatap kosong ke langit-langit. Lord Mochi memandang drama manusia di hadapannya. Lalu, ia mengeong pelan.
Seolah berkata: “Lemah.”
“AARGH!”
Alaric menahan tawa. “Kamu baik-baik saja?”
Nadine memutar badan dengan wajah basah kuyup dan mendelik tajam. “Apa aku kelihatan baik-baik saja?!”
Lord Mochi, yang duduk di meja, mengeong dengan ekspresi sangat tidak membantu.
"Kau ketawa, ya?" Nadine menyipitkan mata curiga.
Mochi menguap santai. Alaric akhirnya berdiri dan mengambil handuk kecil. “Sini.”
“Hah?”
Tanpa peringatan, Alaric menarik pergelangan tangan Nadine dan mulai mengelap jari-jarinya dengan hati-hati dan seketika suasana berubah.
DEG.
Tangan Nadine terasa kecil dalam genggaman Alaric. Jantungnya, yang tadinya panik, kini berdetak dalam ritme berbeda.
“Aku bisa bersihin sendiri, kok,” gumamnya pelan.
Alaric tetap fokus. “Kamu terlalu ceroboh.”
Suara pria itu lebih lembut dari biasanya.
Hangat dan entah kenapa, itu membuat Nadine merasa aneh.
“Kenapa kamu baik banget tiba-tiba?” tanyanya, suara lebih kecil dari biasanya.
Alaric berhenti sejenak, lalu menatapnya.
“Aku selalu baik,” katanya santai.
Nadine berkedip. “HAH?”
Alaric tersenyum kecil. Dan itu bahaya.
Karena biasanya, pria ini ketus dan datar. Tapi saat dia tersenyum kayak gitu, Nadine kehilangan fokus.
“Eh, aku... aku harus bersihin sofa!” serunya buru-buru, menarik tangannya dan kabur ke ruang tamu.
Alaric hanya menghela napas dan melirik Lord Mochi. “Kau lihat itu?” tanyanya.
Mochi mengedip perlahan.
Alaric tersenyum kecil. “Iya, aku juga setuju.”
Sementara itu, di ruang tamu, Nadine berusaha keras mengendalikan degupan jantungnya.
“TENANG, NADINE! JANGAN KEBAPERAN! INI BOSMU, INGAT! BOS! BUKAN OPPA KOREA!”
Tapi kenapa tangannya masih terasa hangat?!
Lord Mochi melompat ke sofa dan menatapnya dengan mata bulat penuh misteri. Seolah berkata, “Aku tahu sesuatu yang tidak kau sadari, manusia.”
Dan untuk pertama kalinya, Nadine merasa seorang kucing bisa membaca pikirannya.
Tuhan sepertinya belum selesai mengujinya hari ini.
Saat ia sibuk mengelap noda kopi di sofa, Lord Mochi memutuskan untuk mengamati dari dekat dengan duduk tepat di atas noda kopi.
“MOCHIIII!!! MOCHI! TURUN!”
Tapi apakah Lord Mochi peduli? Tentu saja tidak. Alih-alih turun, si kucing malah mencengkeram rambut Nadine seperti burung elang yang bertengger di dahan.
“YA AMPUN, INI APA?! APA AKU SEKARANG POHON BAGIMU?!” Nadine panik, mencoba menarik rambutnya dari cengkeraman kuku-kuku mungil yang berbahaya.
Alaric, yang baru kembali dari kamar dengan kemeja bersih, hanya berdiri di ambang pintu dan tertawa kecil.
“Sepertinya dia mulai akrab denganmu.”
“AKRAB?!” Nadine menunjuk ke atas kepalanya dengan wajah horor. “KUCING INI SEDANG MENJADIKAN KEPALAKU SARANG BURUNG!”
Alaric mengangkat bahu santai. “Itu artinya dia nyaman.”
“TOLONG JELASKAN BAGAIMANA MENCENGKERAM RAMBUTKU DENGAN CAKAR ITU ARTINYA ‘NYAMAN’?!”
Tapi sebelum Alaric bisa menjawab, Lord Mochi, dalam aksi dramatis penuh keagungan, tiba-tiba melompat dari kepala Nadine dan mendarat di atas meja. Di mana segelas jus jeruk Alaric berdiri dengan damai.
Nadine dan Alaric langsung membeku.
Mochi menatap mereka. Mereka menatap Mochi.
Keheningan yang mencekam.
Lalu, dengan keangkuhan seorang raja yang ingin menghancurkan kehidupan rakyatnya, Lord Mochi mengangkat satu kaki depannya…dan.…
Gelas jus jeruk jatuh ke karpet putih.
Nadine hampir pingsan di tempat.
“MOCHI, SERIUS?! KAU SUDAH MERUSAK SOFA, SEKARANG KARPETNYA JUGA?!”
Lord Mochi hanya mengeong santai dan mulai menjilati kakinya, seolah berkata,
“Masalahmu, bukan masalahku, manusia.”
Alaric menghela napas panjang. Lalu, ia tertawa.
Nadine melotot. “KAMU KETAWA?!”
Alaric mengangguk sambil menyilangkan tangan. “Aku baru sadar sesuatu.”
“Apa?”
“Sejak kamu mulai kerja di sini, rumah ini jadi jauh lebih ramai.”
Nadine berkedip. “Itu artinya aku membawa aura kekacauan?”
Alaric menyeringai. “Bisa dibilang begitu.”
“HEY!”
Alaric masih tertawa. “Tapi entah kenapa aku suka.”
Nadine merasa otaknya meledak.
“APA?!”
Tapi Alaric hanya tersenyum dan berjalan pergi, meninggalkan Nadine yang masih ternganga dengan otak error.
Sementara itu, Lord Mochi naik ke bahunya dan mendekat ke telinganya, mengeong pelan seperti sedang berbisik:
“Aku sudah menang, manusia.”
Bab 4. Nadine vs insiden kamar mandi
Setelah insiden kopi, jus jeruk, dan dominasi absolut Lord Mochi, Nadine mulai yakin rumah ini bukan tempat kerja biasa. Ini zona perang.
Baru beberapa hari bekerja, tapi drama yang ia hadapi sudah lebih banyak daripada sinetron 300 episode.
Hari ini, ia bertekad untuk lebih profesional.
Tidak akan ada insiden bodoh lagi.
Tidak akan ada momen “kena perangkap tatapan bos yang terlalu memesona.”
Tidak akan ada—
BRAK!
Dari dalam kamar mandi, terdengar suara sesuatu jatuh. Nadine, yang sedang mencuci piring, refleks menoleh ke arah suara. “Alaric?”
Tidak ada jawaban. Nadine mulai panik.
Jangan-jangan dia pingsan?! Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari ke arah kamar mandi.
“Alaric?! Kamu nggak apa-apa?”
Tetap hening.
Oke. Ini darurat.
Jangan sampai bosnya meninggal dalam keadaan basah! Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dan di situlah kesalahan TERBESAR dalam hidupnya terjadi.
Alaric baru keluar dari shower.
Dengan hanya handuk melilit di pinggangnya.
DADA TELANJANG. OTOT. TETESAN AIR. SEMUA.
DEG.
Otak Nadine langsung bluescreen. Pemandangan di depannya terlalu banyak informasi.
Sementara itu, Alaric yang baru sadar pintunya dibuka, menoleh dengan ekspresi kaget.
“Nadine—”
Tapi sebelum Alaric bisa menyelesaikan kalimatnya—
“ASTAGAAAAA!!!”
Nadine menjerit histeris.
Dan karena otaknya sedang mengalami error berat, ia spontan mengambil botol sabun di rak dekat pintu dan melemparkannya.
PLOK!
Botol itu mendarat mulus di kepala Alaric.
“AWW!”
Nadine langsung panik sendiri.
“ASTAGA, AKU NGGAK SENGAJA!”
Alaric, masih basah kuyup, mengusap kepalanya dengan ekspresi campuran antara syok, sebal, dan bingung.
“Nadine, kenapa kamu lempar aku?”
Nadine nyaris menangis.
“AKU NGGAK TAU, REFLEKS! MAAFKAAAN!”
Alaric menghela napas panjang, menatapnya dalam-dalam.
“Kamu yang masuk tanpa izin.”
Nadine membeku.
Oh… iya.…
Astaga.
Dia ingin menghilang dari dunia ini.
Alaric masih basah kuyup. Handuknya melorot sedikit dan Nadine harus menahan diri untuk tidak melihat ke arah yang tidak boleh dilihat.
“Keluar,” kata Alaric akhirnya.
“YA! AKU KELUAR!”
Nadine buru-buru menutup pintu, bersandar di dinding, menutupi wajahnya yang kini sepanas kompor.
Astaga.
Tolong, Tuhan!
Hapus ingatan ini dari otakku.
Di saat Nadine masih sibuk menenangkan diri, Lord Mochi datang. Ia duduk di dekat kakinya, menatapnya lama, lalu mengeong pelan. Nadine mengerutkan kening. “Apa?”
Mochi mengeong lagi, kali ini dengan suara licik. Seolah berkata: “Aku tahu kau melihat sesuatu yang tidak boleh kau lihat, manusia.”
Nadine langsung membelalak.
“JANGAN LIHAT AKU KAYAK GITU, LORD MOCHI!”
Sementara itu, di dalam kamar mandi, Alaric mengusap wajahnya, menghela napas panjang. Kenapa asistennya ini begitu sulit ditebak? Tapi satu hal yang pasti hari-harinya tidak akan pernah membosankan lagi.
Setelah insiden kamar mandi yang traumatis, Nadine mencoba melanjutkan hidupnya seperti biasa. Namun, dengan Lord Mochi sebagai saksi, ia tahu bahwa hidupnya sudah tidak akan pernah sama lagi.
Saat ini, ia duduk di meja makan, memeluk segelas teh sambil menatap kosong ke depan. Matanya menatap jauh, penuh penderitaan.
Alaric, yang sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih, duduk di seberangnya dengan ekspresi santai. Ia menyesap kopi, lalu melirik Nadine. “Kamu kenapa diam?”
Nadine mengerjapkan mata. “Hah? Nggak, nggak apa-apa.”
“Tadi pagi kamu teriak kayak melihat hantu,” lanjut Alaric dengan nada menggoda.
Nadine langsung terbatuk.
“ITU TIDAK PERLU DIBAHAS LAGI, TERIMA KASIH.”
Alaric menyeringai. “Kamu trauma?”
“AKU MAU LUPA, TOLONG.”
Lord Mochi, yang duduk di atas meja, mengeong dengan licik. Nadine langsung melotot ke arahnya.
“Kamu diem. Jangan ikut-ikutan!"
Mochi hanya mengeong lagi, seolah berkata: ‘Aku tahu rahasiamu, manusia.’
Alaric menahan tawa melihat interaksi mereka. Namun, bencana lain sedang menunggu. Ketika Nadine ingin mengalihkan pembicaraan, ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Ia buru-buru mengambilnya dari saku celana dan melihat layar dan saat itulah dunianya hancur, karena di sana terpampang jelas notifikasi dari grup WhatsApp-nya:
“GENG CEWEK: NADINE LIAT BOSSNYA SETENGAH BUGIL! SKANDAL DI PAGI HARI! 🔥🔥”
Nadine hampir kehabisan oksigen.
“OH TIDAAAAAKKKK!!!”
Karena terlalu panik, ia tanpa sadar melempar ponselnya ke udara. Alaric reflek menangkapnya.
Nadine membeku.
Alaric menatap layar ponsel dan membaca pesan grup itu.
Nadine ingin pingsan.
Alaric mengangkat alis dan menoleh ke arahnya dengan ekspresi sangat tertarik.
“Kamu cerita ke teman-temanmu?”
Nadine cepat-cepat mengulurkan tangan.
“B-BUKAN! ITU CUMA GRUP BERCANDA! TOLONG KEMBALIKAN, INI PRIVASI!!”
Tapi Alaric malah menjauhkan ponselnya dan menggulir chat lebih jauh.
Nadine ingin menangis.
“JANGAAANNN!!”
Alaric tertawa. “Oh, ini seru.”
Alaric menyeringai sambil menggulir layar ponsel.
Nadine langsung panik. Ia bangkit dan mencoba merebut ponselnya, tapi sialnya, bosnya itu lebih tinggi.
Alaric mengangkat ponsel ke atas dan Nadine melompat-lompat seperti anak kecil. “ALAAARRICC!!! KEMBALIKAAAN!!!”
Alaric berpura-pura berpikir.
“Jadi menurut teman-temanmu, aku….”
Ia membaca isi chat dengan nada dramatis.
" 'Boss hot yang bikin pingsan’?”
Nadine ingin lenyap dari dunia ini.
Alaric membaca lebih lanjut.
“Oh, ada yang bilang kamu pasti salah tingkah sekarang.”
“AKU MEMANG SALAH TINGKAH! JADI BALIKIN PONSELNYA!!!”
Alaric akhirnya menyerah dan mengembalikan ponselnya sambil tertawa puas.
Nadine langsung meraihnya dengan penuh kasih sayang, seperti seorang ibu menemukan anaknya yang hilang.
Sementara itu, Lord Mochi duduk di meja, menyaksikan semuanya dengan tatapan penuh hiburan. Ia mengeong pelan, seolah berkata, “Drama ini lebih bagus daripada sinetron TV.”
Nadine menatap Mochi tajam.
“JANGAN KAU KATAKAN APA-APA, MOCHI.”
Mochi hanya menjilati kakinya dengan angkuh.
Alaric bersandar di kursinya dengan senyum jahil. “Hari-harimu pasti lebih berwarna sekarang, ya?”
Nadine mendesah frustasi. “Ini lebih seperti uji mental.”
Alaric terkekeh.
“Santai saja. Kalau kamu lihat aku setengah telanjang lagi, lama-lama kamu bakal terbiasa.”
“AKU TIDAK MAU TERBIASA!!!”
Lord Mochi mengeong pelan, seolah berkata: “Kita lihat saja nanti.”
***
Sejak kejadian "Nadine melihat bosnya hampir bugil", hidupnya tidak lagi sama.
Setiap kali melihat Alaric, otaknya otomatis memutar ulang adegan itu dalam slow motion. Dada telanjang. Air menetes. Handuk melorot sedikit.
“ASTAGA, NADINE! STOP! HAPUS INGATAN ITU!”
Nadine mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustasi.
Sementara itu, Alaric tampaknya sangat menikmati rasa malunya. Selama sarapan, ia terus menyeringai licik setiap kali Nadine bertingkah aneh.
“Kenapa mukamu merah, Nadine?”
“Nggak.”
“Kamu ngelamunin sesuatu?”
“NGGAK!”
“Tadi malam mimpi buruk? Atau mimpi sesuatu yang lebih menarik?”
“ALAAARIC!!!”
Lord Mochi, si iblis berbulu, mengeong seolah sedang menertawakannya.
Nadine benar-benar ingin menghilang dari dunia ini. Namun, ini belum puncak kekacauan.
Insiden Handuk 2.0
Hari itu, Nadine harus mencuci pakaian di rumah Alaric, karena mesin cuci ada di dekat kamar mandi, ia berjalan ke sana tanpa curiga bahwa bahaya sedang mengintai.
Sambil sibuk memasukkan pakaian ke dalam mesin, tiba-tiba…
Pintu kamar mandi terbuka lebar. Dan di sana, berdiri Alaric. Masih memakai handuk. Masih basah kuyup. Masih dengan tetesan air mengalir di dadanya.
Mereka saling menatap.
Lalu—
“AAAAAAAAAAAAAHHHH!!!!”
Nadine menjerit dan langsung membalikkan badan, tapi karena panik, kakinya malah tersandung keranjang baju kotor.
“WOAAAH!!!”
Nadine jatuh terjerembab ke lantai.
Alaric langsung reflek ingin menolongnya, tapi Nadine sudah duluan berteriak:
“JANGAN DEKAT-DEKAT!!!”
Alaric berhenti di tempat, menatap Nadine yang kini merangkak menjauh dengan wajah merah padam.
“Nadine, kamu kenapa dramatis banget?”
“AKU NGGAK DRAMATIS, AKU TRAUMA!!!”
Alaric tertawa, lalu bersandar di pintu dengan santai. “Kamu ini aneh. Hari pertama lihat aku begini, panik. Hari kedua, jatuh sendiri. Besok kira-kira apa lagi?”
Nadine mendelik sambil menutup wajahnya.
“TOLONG BERHENTI MEMBUAT HIDUPKU MENDERITA!”
Dari belakang, Lord Mochi duduk di atas mesin cuci, menatap mereka dengan mata penuh kebijaksanaan. Ia mengeong pelan.
Seolah berkata: “Manusia, kalian ini benar-benar bodoh.”
Insiden celana dalam: aib yang tak termaafkan
Mereka saling menatap. Suasana membeku. Angin seolah berhenti berembus. Dunia tiba-tiba masuk mode slow motion.
Lalu…
"AAAAAAAAAAAAAAHHH!!!!”
Dalam kepanikan total, Nadine spontan melempar benda pertama yang ada di tangannya.
Sialnyabenda itu adalah….
CELANA DALAM ALARIC.
Celana dalam itu mendarat telak di muka Alaric.
KEHENINGAN MUTLAK.
Nadine nyaris pingsan di tempat.
Alaric perlahan mengangkat tangannya, mengambil celana dalam itu dari wajahnya.
Tatapannya? Kosong.
Seolah jiwanya baru saja meninggalkan tubuhnya selama beberapa detik.
“Nadine.”
“I-iya?”
Alaric menatapnya dalam-dalam.
Suara beratnya terdengar penuh luka dan kebingungan. “Kamu baru saja melempar celana dalamku ke mukaku?”
Nadine merasa roh dan jiwanya benar-benar pergi ke dimensi lain.
“M-MUNGKIN?”
Alaric menghela napas panjang. Lalu, ia menatap celana dalam di tangannya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Sementara itu, di sudut ruangan,
Lord Mochi duduk di atas mesin cuci. Ia menatap mereka lama. Ekspresinya? “Aku tahu ini akan terjadi.”
Lalu, kucing sialan itu mengeong pelan.
Seolah berkata, “Skandal lagi, manusia?”
Nadine langsung jatuh berlutut, menutup wajahnya. “YA ALLAH, MALUUUUUUU!!!!”
Alaric, yang entah kenapa tetap tenang, hanya menatapnya lama. Lalu, dengan senyum penuh kemenangan, ia berkata,
“Nadine….”
Nadine mengangkat wajah sedikit, hati-hati. “Apa?”
Alaric memutar celana dalamnya di jari, lalu mengangkat alis.
“Selera kamu bagus.”
"AAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!”
Lord Mochi mengeong lagi.
Seolah berkata,"Dan aku pikir drama ini sudah selesai. Bodohnya aku."
Bab 5. Insiden kopi panas
Setelah insiden "Nadine melempar celana dalam ke muka bosnya," ia bertekad untuk tidak muncul di hadapan Alaric minimal satu dekade. Sayangnya, gaji tetap harus jalan. Dan lebih sialnya lagi….
Alaric jelas tidak berencana membiarkan insiden itu berlalu dengan mudah.
Saat sarapan, pria itu menyeringai licik sambil mengaduk kopinya. “Pagi, Nadine!"
Nadine, yang masih trauma berat, hanya memandangnya penuh kecurigaan. “Pagi!"
Alaric menyuap sarapannya dengan santai.
“Tidur nyenyak?”
Nadine menggertakkan gigi.
“LUMAYAN.”
Alaric tersenyum lebih lebar.
“Nggak mimpi buruk?”
“NGGAK.”
“Tapi tadi malam kamu teriak ‘YA ALLAH, MALUUUUU!’ lima kali.”
Nadine nyaris menyemburkan teh yang baru diminumnya.
ASTAGA, DIA DENGERIN?!
Alaric mengangkat alis dengan polos.
“Mimpi apa tuh?”
Nadine buru-buru menunduk, pura-pura sibuk memotong roti panggang.
“GAK ADA.”
Alaric tertawa pelan.
Dan, seperti biasa, Lord Mochi duduk di meja, menyaksikan drama ini dengan mata berbinar. Seolah berkata: “Hiburan pagi lagi.”
Untuk mengalihkan pikirannya dari rasa malu yang tidak ada habisnya, Nadine memutuskan untuk membersihkan ruang kerja Alaric. Namun, kekacauan tetap mengikuti.
Saat ia sedang membersihkan rak buku,
tanpa sengaja kakinya menginjak mainan tikus Lord Mochi.
CIIT! CIIT!
Suara nyaring itu membuat Nadine kaget dan melompat mundur dan karena takdir memang membencinya, Ia menabrak meja kerja Alaric.
Bersamaan dengan itu, gelas kopi di meja terguling. Dan isinya?
Tumpah.
Tepat.
Di celana Alaric.
“AAARRGGH!!”
Nadine membeku di tempat.
Oh. Tidak.
Alaric baru saja terkena serangan kopi panas di area sensitif.
“ASTAGA, ALARIC!!!”
Alaric menunduk melihat noda kopi di celananya. “Oh, SIAL!”
Nadine panik.
“MAAF! AKU AMBILIN HANDUK!!”
Dalam kepanikan 100%, Nadine buru-buru mencari handuk kecil dan berlari kembali.
Tapi dalam kondisi 200% gugup, tanpa berpikir panjang, ia langsung menekan handuk ke celana Alaric. Tepat di area yang terkena kopi.
KEHENINGAN MUTLAK.
Satu detik.
Dua detik.
Baru setelah dua detik, Nadine sadar.
POSISI TANGANNYA SEKARANG DI TEMPAT YANG SALAH.
Mereka saling menatap.
Alaric membelalak.
Nadine membelalak lebih lebar.
Lord Mochi, yang baru masuk ruangan, memandang mereka dengan ekspresi terkejut. Mainan tikus masih berbunyi di bawah kaki Nadine.
“AAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!”
Dalam mode panik total, Nadine langsung menarik tangannya dan entah kenapa melempar handuk ke kepala Alaric.
Handuk itu mendarat sempurna di wajah pria itu.
Alaric?
Bukannya marah atau syok. Dia malah tertawa terbahak-bahak.
YA AMPUN, INI APA LAGI?!
Sementara Nadine nyaris hiperventilasi,
Alaric dengan santai melepaskan handuk dari kepalanya, masih terkikik puas.
“Tenang aja, Nadine!” katanya dengan nada menggoda.
“Lain kali kalau mau megang, izin dulu.”
“ALAAAARIIIC!!!”
Muka Nadine resmi mendidih. Dia langsung kabur dari ruangan, meninggalkan jejak aib yang akan menghantuinya seumur hidup. Di belakangnya, Alaric masih tertawa keras.
Sementara itu, Lord Mochi duduk di meja kerja, menatap Alaric dengan mata menyipit penuh penilaian. Seolah berkata:
“Kau menang lagi kali ini, manusia.”
Setelah insiden "tangan Nadine mendarat di area terlarang Alaric," Nadine bersumpah untuk menghindari bosnya sampai kiamat.
Namun, takdir berkata lain. Sore harinya, Alaric pulang lebih awal dan menemukan Nadine duduk di sofa dengan wajah murung. Gadis itu memeluk Lord Mochi erat-erat, seperti anak kecil yang baru saja kehilangan martabatnya.
Kucing itu?
Pasrah.
Seolah berkata: “Hidupku tidak pernah tenang sejak manusia ini datang.”
Alaric menyandarkan tubuh ke sofa, menyilangkan tangan. “Masih trauma?” tanyanya santai.
Nadine hanya mengerang pelan, wajahnya tenggelam di bulu Mochi.
Alaric tertawa kecil. “Kalau kamu terus menghindar begini, aku malah jadi merasa bersalah.”
Nadine langsung mengangkat kepala, menatapnya penuh curiga. “Bohong. Kamu menikmati ini, kan?”
Alaric mengangkat bahu, senyum misterius di wajahnya. “Mungkin.”
Nadine mendesis frustasi, lalu kembali memeluk Mochi erat.
Alaric memperhatikannya lama, lalu tiba-tiba berkata, “Oke, aku tahu cara bikin kamu merasa lebih baik.”
Nadine menoleh. “Hah?”
Tanpa memberi peringatan, Alaric menarik tangannya. “EHH?! NGAPAIN?!”
Tapi sebelum Nadine bisa protes,
tahu-tahu dia sudah terduduk di sofa dengan Alaric di belakangnya.
Tunggu. Duduk di sofa. Alaric di belakang.
DAN SEKARANG DIA DIPIJAT?!
“ALARIC, KENAPA TIBA-TIBA—”
“Kamu kelihatan tegang,” potong Alaric santai.
“Pasti gara-gara terlalu banyak berpikir.”
Tangan Alaric terlalu hangat. Dan dia terlalu dekat. Nadine mau protes, tapi saat jari-jari Alaric menekan titik yang pas di bahunya….
“Oh.”
Oh, ini enak.
Sial.
Tanpa sadar, Nadine memejamkan mata.
Tegangannya perlahan mencair. Pijatan Alaric benar-benar nyaman.
Lord Mochi, yang duduk di ujung sofa, menatap mereka tanpa ekspresi.
Seolah berkata: “Lihat saja, manusia. Pada akhirnya, kau akan jatuh juga.”
“Kamu jago juga,” gumam Nadine tanpa sadar.
Alaric, yang masih dengan tangan terampilnya memijat bahunya, terkekeh pelan. “Aku bisa lebih jago lagi kalau kamu rileks.”
Tunggu.
Tunggu dulu.
Kalimat itu kenapa terdengar aneh?!
Nadine langsung membuka mata lebar-lebar. “T-TUNGGU, ITU KENAPA KEDENGERANNYA SALAH?!”
Alaric mengangkat alis, tersenyum jahil. “Pikiran kamu yang salah.”
OH TUHAN.
Nadine mau lenyap dari muka bumi. Tapi sebelum dia bisa protes lagi, Alaric menunduk dan berbisik di dekat telinganya.
“Kalau kamu terus panik, aku bakal terus menggoda kamu, Nadine.”
Nadine langsung melompat dari sofa seperti kelinci yang baru melihat predator.
Sementara itu, Lord Mochi duduk di sudut sofa, menatap mereka dengan mata bosan.
Seolah berkata: “Kalian ini kapan mau jadian?!”
Nadine berdiri dengan wajah merah padam, menunjuk Alaric dengan ekspresi syok. “K-KAMU JAHAT!!!”
Alaric hanya menyeringai licik. “Kamu yang gampang digoda.”
Nadine menggigit bibirnya, frustrasi.
Sementara itu, Lord Mochi mengeong keras, seolah ingin menghentikan drama yang tak kunjung selesai.
Alaric mengusap kepala Mochi, masih tersenyum kecil. “Kau setuju denganku, kan, Mochi?”
Mochi mengeong lagi, suaranya datar.
Seolah berkata: “Cepat cium dia, dasar lamban.”
Nadine merasa ini terlalu berlebihan. Dia butuh istirahat. Dia butuh udara segar.
Atau….
Dia butuh sesuatu yang lebih dingin.
Jadi dia buru-buru kabur ke dapur, mengambil segelas air dingin, dan menyiramkannya ke wajahnya sendiri.
Oke. Tenang.
“INI HANYA PUKULAN PSIKOLOGIS. AKU HARUS KUAT.”
Tapi, Saat Nadine berbalik, Alaric sudah berdiri di ambang pintu dapur, menyandarkan tubuh ke kusen pintu dengan ekspresi terlalu puas.
“Wow. Itu tadi sangat dramatis.”
Nadine nyaris tersedak oksigen.
“KENAPA KAMU IKUTAN KE SINI?!”
Alaric mengangkat bahu. “Aku penasaran. Kamu lari seperti baru melihat hantu.”
“AKU MEMANG MELIHAT HANTU.”
Alaric menyipitkan mata. “Siapa?”
“KAMU.”
Alaric tertawa pelan. “Kalau aku hantu, kenapa jantungmu masih berdebar kencang?”
APA?!
Nadine membatu di tempat. “Eh?”
Alaric melangkah mendekat, ekspresinya penuh kemenangan. “Barusan kamu refleks megang dada, kan?”
Nadine langsung panik, tangannya terangkat ke udara sebagai tanda tidak bersalah.
“GAK! GAK ADA YANG BERDEBAR! BIASA AJA! NORMAL!”
Lord Mochi duduk di meja dapur,
menatap mereka dengan mata lelah.
Seolah berkata: “Oh Tuhan, sudah cium saja biar selesai.”
Alaric mengangkat alis, matanya berkilat penuh tantangan. “Oh ya?”
Lalu, dengan gerakan cepat, dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat.
Jarak mereka hanya beberapa sentimeter.
Nadine langsung membeku. Darahnya berhenti mengalir. Otaknya macet.
“Al-Alaric….”
Alaric menatapnya tanpa berkedip, suaranya rendah dan menggoda.
“Coba deh pegang dadaku.”
“APA?!”
Alaric tersenyum tipis. “Jantungku juga berdetak kencang.”
Tunggu.
Tunggu dulu.
APA DIA BARUSAN BILANG JANTUNGNYA BERDETAK KENCANG?!
Nadine menelan ludah. “A-apa?”
Alaric menatapnya serius.
“Menurutmu?”
INI NGGAK MASUK AKAL.
Ini harusnya hanya sekadar hubungan bos dan babu kocheng.
Tapi sekarang.…
Kenapa mata Alaric terlihat terlalu intens?!
Kenapa atmosfernya berubah jadi seperti ini?!
Nadine bisa merasakan pipinya makin panas. Ia ingin mundur, tapi tubuhnya terlanjur terkunci di tempat.
Lalu….
“MEOW!!”
Sebuah suara keras memecah ketegangan.
Lord Mochi tiba-tiba muncul di antara mereka, menatap dengan ekspresi penuh gangguan.
Nadine dan Alaric langsung tersadar.
Nadine tersentak mundur lima langkah.
Sementara itu, Alaric hanya tertawa pelan.
“Gila, kalau Mochi nggak ganggu, mungkin tadi….”
Ia menggantung kalimatnya, tapi Nadine sudah keburu panik.
“APA?! APA YANG MUNGKIN TERJADI?!”
Alaric menyeringai misterius. “Kamu kepo?”
“GAK!!!”
Alaric terkekeh puas.
Sementara itu, Lord Mochi menatap mereka dengan ekspresi jengah.
Seolah berkata: “Kapan kalian mau sadar sih, dasar lamban?”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
