Mengandung konten DEWASA. Jadi, harap bijak memilih bacaan!
Bagi Irene yang baru saja memulai hidup mandiri dan memulai kehidupan kerjanya, Simon adalah orang yang sangat ingin ia hindari. Irene sendiri bertemu dengan Simon karena sebuah kebetulan. Pertemuan pertama yang menyebalkan, meninggalkan kesan yang buruk bagi Irene. Namun, ternyata itu bukanlah pertemuan terakhir mereka. Namun awal dari serangkaian pertemuan lain yang membuat keduanya tanpa sadar semakin sering berinteraksi. Lalu tumbuhlan...
Chapter 1
Bos Gila
“Wah, kau lolos?” tanya seorang wanita cantik berambut pendek pada sahabatnya yang tengah minum beer dengan penuh semangat. Ia pun meletakkan ponsel sahabatnya setelah membaca email pengumuman mengenai wawancara yang sudah sahabatnya ikuti.
Wanita cantik berambut panjang yang sudah selesai menghabiskan beer-nya pun tersenyum dengan penuh percaya diri. Lalu ia pun menyelipkan helaian rambutnya sebelum menjawab, “Tentu saja. Kau seperti tidak tahu saja seberapa luar biasanya sahabatmu ini, Jane.”
Jane tampak mencibir sebelum bertanya, “Tapi kau yakin ingin bekerja dengannya? Kau masih ingat dengan jelas apa yang sudah kuceritakan, dan bagaimana reputasinya di kalangan sekretaris di perusahaan itu, bukan?”
Sahabatnya pun mengangguk. “Tentu saja. Aku masih mengingatnya dengan sangat baik. Kau tidak membicarakan hal itu satu atau dua kali. Tapi, aku sama sekali tidak berniat untuk mengurungkan rencanaku ini. Sebab ini adalah pekerjaan yang sangat menguntungkan bagiku. Selain untuk mendapatkan sebauh pengalaman untuk portofolioku, bonus yang dijanjikan juga sangat besar. Karena itulah, aku melamar untuk posisi itu,” ucapnya.
“Astaga, Sophia kau benar-benar terlalu positif dalam memandang sesuatu. Pria itu, maksudku bos barumu itu, adalah orang yang sangat mengerikan,” ucap Jane.
Sophia Essie Bart yang mendengar perkataan sahabatnya itu hanya tersenyum. Ia tahu, bahwa Jane tidak mengatakan omong kosong. Perusahaan di mana Jane bekerja sama dengan tempat Sophia akan bekerja. Tentu saja pernyataan yang diberikan oleh Jane saat ini masuk akal. Mengingat jika Jane juga sudah bekerja di sana dalam waktu yang cukup lama, hingga ia tahu kondisi persuahaan dengan cukup baik.
Menurut Jane, presdir yang akan langsung menjadi atasan bagi Sophia nantinya, adalah seseorang yang sangat mengerikan. Ia sangat pemilih dan cerewet. Selain itu, dia juga terkenal sangat gila kerja. Hingga dirinya sama sekali tidak memberikan ruang bagi sekretarisnya untuk bernapas. Itulah alasan yang membuat semua sekretaris yang pernah bekerja dengannya tidak bertahan lebih dari tiga bulan lamanya. Itu juga menjadi alasan mengapa wawancara terbuka digelar untuk mendapatkan seorang sekretaris baru bagi sang presdir yang memang sosoknya sudah sangat dikenal di dunia bisnis.
“Tenang saja, Jane. Kau sendiri tahu bagaimana watak diriku. Aku tidak mungkin menyerah begitu saja. Terlebih, aku lebih memilih untuk bekerja dengan seseorang yang gila kerja dibandingkan seorang atasan yang sibuk menggoda,” ucap Sophia.
Jane tahu jika salah satu alasan mengapa Sophia ke luar dari tempat kerjanya tak lain karena dirinya merasa terganggu karena terus digoda oleh atasannya. Hanya saja, Jane masih merasa jika keputusan Sophia untuk bekerja di perusahaan ini tidaklah tepat. Jane cemas jika Sophia hanya akan tertekan dan stress berat. Walaupun memang di sisi lain ada bonus menjanjikan jika Sophia bisa bertahan dengan posisi sekretaris itu lebih dari lima bulan lamanya.
Saat ini Jane merasa sangat menyesal karena sudah memberitahu wawancara itu pada Sophia. Sebenarnya dirinya senang Sophia sudah bisa mendapatkan pekerjaan setelah berhenti dari pekerjaannya yang sebelumnya sekitar dua atau tiga bulan. Jane juga tahu bahwa Sophia memiliki kualitas untuk menempati posisi tersebut. Namun, Jane cemas karena Sophia akan bekerja dengan seorang bos yang sudah terkenal dengan kekejaman dan sifat menyebalkannya tersebut.
Sophia pun menyadari kecemasan Jane dan berkata, “Tidak perlu cemas. Aku pasti bisa bertahan. Kau tahu sendiri bahwa aku pasti bisa mendapatkan apa yang aku inginkan ketika sudah berusaha keras. Aku pasti bisa bertahan menjadi sekretarisnya sekaligus mendapatkan bonus yang dijanjikan ketika aku bertahan lebih dari lima bulan lamanya. Aku bahkan yakin jika bisa bertahan lebih dari satu tahun jika berusaha keras.”
Jane yang mendengar perkataan penuh kepercayaan diri sang sahabat hanya bisa menggeleng. “Kau terlalu percaya diri, Sophia. Jangan terlalu berlebihan. Kau juga jangan terlalu terobsesi ingin mengerjakan semuanya dengan sempurna, sebab bos kita ini selalu saja memiliki komentar monohok untuk para karyawannya, terutama untukmu yang nantinya akan menjadi orang terdekatnya selama bekerja di perusahaan,” ucap Jane.
Sophia pun dengan penuh percaya diri menyeringai lalu bertanya, “Apa kau mau bertaruh denganku mengenai selama apa diriku bertahan di posisi sekretaris ini?”
Jane menggeleng. “Kau akan menderita. Aku tidak mungkin mau bertaruh di atas penderitaan sahabatku,” ucap Jane menolak tawaran tersebut.
“Taruhannya adalah tiket konser VVIP dari penyanyi solo yang kita sukai,” ucap Sophia langsung membuat Jane mengubah keputusannya.
Jane dan Sophia memiliki seleran musik yang sama. Mereka bahkan menyukai penyanyi yang sama, dan setiap penyanyi tersebut menyelenggarakan konser, tiketnya selalu terjual habis dalam waktu yang singkat. Itu pun dijual dengan harga yang tinggi. Jadi, bisa dibayangkan seberapa mahal dan sulitnya untuk mendapatkan tiket konser kursi VVIP.
Jane pun berkata, “Aku bertaruh, kau hanya bisa bertahan kurang dari tiga bulan.”
Sophia mencibir Jane yang memang terkesan meremehkan dirinya. Tentu saja memunculkan ambisi Sophia untuk membuat sahabatnya ini tahu bahwa ia bukanlah seseorang yang mudah untuk dikalahkan. Jiwa inilah yang berhasil membuat Sophia bisa menjadi sekretaris profesional. Ambisius, tetapi juga masih memiliki akal sehat. Hingga tidak melakukan hal gila demi mewujudkan ambisinya tersebut.
“Kalau begitu, aku bertaruh bisa bertahan selama enam bulan,” ucap Sophia.
***
Sophia tentu saja menemui manajer HRD sebelum diantar menuju lantai di mana ruang kerja sang bos besar berada. Sophia jelas berpakaian rapi, sesuai dengan standar sekretaris yang ia ketahui. Sebab ini memang bukanlah pertama kalinya bagi Sophia untuk bekerja sebagai sekretaris. Bahkan bisa dibilang, ia sudah sangat profesional. Jika saja sebelumnya ia memiliki bos yang waras, ia pasti akan bekerja lebih lama di perusahaan tersebut. Sayangnya ia harus angkat kaki dengan mengirimkan surat pengunduran dirinya.
Sekretaris senior tersebut mengetuk pintu ruang kerja dan berkata, “Saya datang untuk memperkenalkan Anda dengan sekretaris baru Anda.”
Tentu saja Sophia pun gugup dibuatnya. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan bos barunya dan segera bertugas. Namun, sebuah suara dingin terdengar menyahut dari dalam ruangan. “Kau bisa kembali ke ruanganmu, lalu biarkan sekretaris baruku masuk,” ucapnya.
Sophia menunduk memberi hormat pada seniornya sebelum melangkah memasuki ruangan yang ternyata dipenuhi oleh aroma maskulin yang membuat Sophia membayangkan sosok pria yang begitu jantan dan kekar. Begitu dirinya menatap seorang pria yang duduk di balik meja kerja, Sophia pun menobatkan jika pria itu sangat sesuai dengan imej aroma maskulin yang baru saja ia cium. Lalu pria itu pun menatap Sophia dan berdecak pelan membuat Sophia tersadar.
Sophia pun kembali bersikap formal dan berkata, “Selamat pagi, Tuan Millard. Perkenalkan, saya Sophia Essie Bart. Ke depannya, saya yang akan membantu Anda dalam berkegiatan sebagai sekretaris Anda.”
Lalu pria dengan nama belakang Millard itu pun mengernyitkan keningnya. Sophia sendiri melirik tanda nama di atas meja, dan bertuliskan nama lengkap sang bos besar yang bernama, Jarvis Emory Millard. Nama yang lagi-lagi terasa cocok bagi seorang pria yang menawan sepertinya. Namun, itu hanyalah pujian semata bagi ketampanannya. Sophia sendiri tidak memiliki niatan untuk memiliki hubungan dengan bosnya. Itu terlalu berlebihan.
Tiba-tiba Jarvis berkata, “Kau akan bekerja denganku mulai besok. Lalu mulai besok, kau tidak diizinkan untuk mengenakan sepatu hak dengan ujung runcing. Hak tingginya pun tidak boleh lebih dari lima sentimeter. Tidak boleh mengenakan parfum selain merek yang nanti kuberitahu. Tidak boleh menggunakan rok di atas lutut. Lalu ubah warna rambutmu ke warna aslinya. Dan ganti warna lipstikmu ke warna yang lebih segar dibandingkan warna yang tengah kau pakai saat ini.”
Sophia yang mendengar kalimat beruntun tersebut tentu saja mengedipkan matanya tampak bingung dan terkejut. Ujung bibir Sophia berkedut. Ia pun susah payah menarik sebuah senyuman profesional. Walaupun dalam hati dirinya jelas-jelas memaki Jarvis yang menurutnya benar-benar gila. Bagaimana mungkin dirinya juga mengatur semua itu? Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Jane. Jarvis sangat rewel.
Namun, Sophia pun memilih untuk berkata, “Baik, saya mengerti, Tuan. Semoga kita bisa bekerja dengan baik.”
Alih-alih menjawab perkataan itu, Jarvis malah berkata, “Lalu besok, kirimkan foto pakaian yang akan kau kenakan padaku. Kau tidak boleh mengenakan pakaian yang tidak kusetujui.”
Seketika dalam hati Sophia pun memaki, “Dasar gila! Hentikan omong kosongmu!”
_______***_______
Chapter 2
Bertahan
Sophia tampak sibuk di mejanya, tampak sangat sibuk dengan apa yang tengah ia kerjakan. Paginya kali ini menjadi tiga kali lebih sibuk. Selain harus mempersiapkan dirinya sendiri sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh bosnya yang rewel, Sophia juga harus menyiapkan pekerjaannya. Ternyata jadwal harian Jarvis benar-benar padat, karena itulah Sophia harus memastikan jika semuanya teratur dengan baik hingga tidak menimbulkan masalah secara mendadak.
Setelah memastikan semua yang ia butuhkan telah selesai, maka Sophia beranjak untuk menyiapkan kopi dan sarapan ringan bagi sang bos. Ini memang sudah dipesan oleh Jarvis saat dirinya memeriksa pakaian apa yang Sophia kenakan hari itu. “Ini gila, tetapi aku masih bisa menghadapinya,” gumam Sophia sembari memeriksa catatan detail sarapan apa yang Jarvis inginkan pagi itu.
Dalam waktu lima belas menit, Sophia sudah kembali ke kantor dengan membawa kopi dan sarapan yang memang berasal dari kafe terkenal yang sudah menjadi langganan Jarvis. Sophia jelas bergegas untuk segera menuju ruang kerja Jarvis. Sebab sarapan tersebut harus lebih dulu berada di mejanya sebelum Jarvis tiba. Tentu saja Jarvis menekankan bahwa semuanya harus masih berada dalam kondisi yang hangat.
Sophia merapikan semuanya dengan cepat. Termasuk merapikan beberapa berkas yang memang akan menjadi bahan pekerjaan Jarvis hari itu. Tentu saja Sophia melakukan semuanya dengan rapi serta cekatan. Walaupun banyak memberikan perintah yang aneh, tetapi Sophia merasa jika semua perintah itu tidak terlalu mengganggu. Ini masih bisa diterima daripada sebuah godaan atau tindakan tidak senonoh seperti yang Sophia dapatkan di tempat bekerjannya yang terdahulu.
“Ini waktunya,” ucap Sophia sembari memeriksa jam tangannya. Ia pun berniat untuk kembali bersedia di meja kerjanya. Sebab ini adalah waktu Jarvis tiba di kantor.
Namun, Sophia tidak bisa melakukan hal tersebut karena ternyata Jarvis sudah lebih dulu tiba di ruangannya dan membuat Sophia terkejut bukan main. Jarvis sama sekali tidak terlambat satu detik pun. Ia benar-benar sampai di kantor sesuai dengan waktu yang sudah disebutkan sebelumnya. Sungguh disiplin.
“Bersiaplah, tiga puluh menit lagi, aku akan mengunjungi pabrik produksi,” ucap Jarvis saat dirinya duduk di meja kerjanya dan menyesap kopi yang masih panas.
Mendengar hal itu, Sophia mengernyitkan keningnya. Ia sudah menghafal jadwal Jarvis, dan tidak ada jadwal kunjungan pabrik. Tentu saja Sophia segera bertanya, “Tapi hari ini tidak ada jadwal kunjungan pabrik, Tuan.”
Jarvis menatap Sophia dan menjawab, “Aku bosnya. Aku bisa mengaturnya sesukaku.”
Saat itu juga Sophia menarik perkataannya mengenai kedisiplinan Jarvis. “Disiplin apanya? Dia hanya bertingkah seenaknya saja.”
Walaupun di dalam hati mengkritiknya, Sophia tetap mempertahankan ekspresinya yang normal di permukaan. Lalu dirinya pun menjawab, “Baik, kalau begitu saya akan mengatur jadwal Anda lagi dalam tiga puluh menit.”
Begitu kembali ke meja kerjanya, Sophia tentu saja segera mengatur jadwal. Di mana dirinya harus menghubungi beberapa sekretaris klien atau partner bisnis Jarvis untuk mengatur ulang jadwal. Jelas Sophia mendapatkan omelan hampir dari semua orang yang ia hubungi. Mengingat ternyata ini bukan kali pertama pihak Jarvis mengubah jadwal pertemuan dengan seenaknya.
Di sela-sela menghubungi nomor lain, Sophia tampak menggerutu, “Sial, awal hari yang buruk.”
***
Sophia duduk di meja kerjanya dengan ekspresi muram. Ini adalah hari pertama Sophia, tetapi dirinya harus lembur. Parahnya lagi, tadi siang sudah seperti area berperang bagi Sophia. Mengingat selain dirinya harus menghadapi omelan para sekretaris lain saat berusaha untuk menyusun ulang jadwal, ia juga harus mengikuti pergerakan Jarvis yang cepat untuk memeriksa pabrik dan produksi. Kedua kakinya bahkan terasa sakit karena harus berlari ke sana ke mari mengikuti langkah Jarvis yang lebar.
Sophia melirik ponselnya yang berbunyi dan ia pun melihat Jane yang menghubunginya. Tentu saja Sophia mengangkat telepon tersebut dan Jane pun segera bertanya, “Kau di mana? Bukankah kita akan minum bersama untuk merayakan hari pertama kerjamu?”
Sophia menghela napas berat dan membuat Jane yang mendengar hal itu segera menebak, “Kau lembur?”
“Tebakan yang tepat. Ada setumpuk berkas baru yang harus aku atur sebelum pulang. Dengan kata lain, aku memang harus lembur,” ucap Sophia jelas sangat menggerutu.
Jane meringis prihatin di ujung sambungan telepon. Lalu ia pun berkata, “Sudah kukatakan, bekerja langsung di bawahnya sebagai sekretaris adalah hal yang sangat sulit. Bahkan jika sekretarisnya mengundurkan diri, sekretaris lain tidak ada yang mau menggantikannya. Kau pasti bisa menyadari seberapa gilanya dia di hari pertamamu ini.”
“Ya, aku pada akhirnya bisa mengerti apa yang kau maksud. Ternyata dia memang sangat menyebalkan dan kejam. Ia bahkan tidak membiarkan aku bernapas dengan benar selama seharian. Dia benar-benar gila,” ucap Sophia tampak sangat frustasi. Padahal ini hari pertamanya, tetapi entah mengapa rasa lelahnya seperti dirinya sudah bekerja satu tahun penuh tanpa cuti sekali pun.
“Sepertinya hari ini sangat melelahkan bagimu,” ucap Jane terdengar sangat prihatin terhadap nasib sang sahabat.
“Tentu saja melelahkan. Pagi-pagi aku harus mengonfirmasi berulang kali pakaian yang kukenakan agar mendapatkan persetujuan darinya. Lalu menyiapkan sarapan yang rumit, mengatur ulang jadwalnya karena ia tiba-tiba memutuskan melakukan sesuatu di luar jadwal yang sudah ditentukan. Lalu membuatku berlarian ke sana ke mari dengan sepatu hak tinggi, dan kini aku harus lembur setelah semua penyiksaan yang kudapatkan,” keluh Sophia panjang lebar.
“Lalu apa artinya kau akan mengundurkan diri? Sepertinya kau tidak bisa bertahan di sana. Sudah, berhenti saja, dan biarkan aku menang dalam taruhan kita ini,” ucap Jane terdengar begitu semangat hingga membuat Sophia benar-benar menahan diri untuk mencibir temannya ini.
“Tidak. Aku tidak akan kalah. Aku akan bertahan. Kau pikir, aku selemah itu hingga akan mengundurkan diri karena masalah sepele ini? Aku akan bertahan demi bonus yang dijanjikan setelah lima bulan. Sekaligus memenangkan taruhan kita setelah bekerja enam bulan,” balas Sophia tampak begitu percaya diri bahwa dirinya memang bisa bertahan di situasi yang menyulitkan tersebut.
Perbincangan tersebut tidak berlangsung terlalu lama, karena Sophia memang harus segera menyelesaikan pekerjaannya. Ia ingin segera pulang dan tidur. Tubuhnya terlalu lelah hari ini. Namun, baru saja dirinya akan kembali fokus pada monitor komputernya, ia terkejut bukan main melihat Jarvis yang bersandar di ambang pintu ruang kerjanya yang memang berada di depan meja kerja Sophia. “Astaga! Ma, Maaf, Tuan sudah berada di sana sejak kapan?” tanya Sophia.
Jarvis pun berdecak dan berkata, “Buatkan aku kopi. Lalu berhenti menelepon, atau kau merasa pekerjaanmu sekarang terlalu sedikit hingga merasa bisa bersantai seperti ini? Kau harus menyelesaikan pekerjaanmu, jika kau tidak ingin menginap di kantor.”
Sebelum mendengar jawaban dari Sophia, Jarvis sudah berbalik begitu saja meninggalkan Sophia yang menipiskan bibirnya kuat-kuat. Merasa jengkel dengan tingkah Jarvis yang benar-benar seenaknya. Ia pun memilih untuk berkata, “Saya akan segera buatkan kopinya.”
Namun di hatinya, ia melanjutkan dengan berkata, “Jika kau gila kerja dan ingin menginap dengan setumpuk pekerjaan, kau seharusnya melakukannya sendiri saja. Jangan mengajak diriku. Dasar menyebalkan. Setidaknya tetaphlah waras hingga aku memenangkan taruhanku!”
_______***_______
Chapter 3
Serangan Kejutan
“Yes, aku menang!” seru Sophia sangat bahagia.
Tepat hari ini, Sophia resmi bekerja selama enam bulan sebagai sekretaris Jarvis. Itu artinya, Sophia memenangkan taruhan dan tak bisa menyembunyikan senyumannya yang terlihat begitu cerah. Jane yang melihat hal itu pun cemberut dan menggerutu, “Kau benar-benar keras kepala. Bagaimana bisa kau bertahan selama enam bulan sebagai sekretarisnya? Dasar gila.”
Sophia pun terkekeh dan menerima minuman yang disajikan oleh pelayan di restoran yang mereka kunjungi. Sophia pun berkata, “Aku bukan gila, tetapi aku sangat bertekad.”
Jane menghela napas panjang. “Baiklah, taruhan tetap taruhan. Aku akan berusaha untuk mendapatkan tiket konser itu,” ucap Jane.
“Tidak perlu terlalu pusing. Kau hanya perlu membayar tiketnya saja. Aku tahu beberapa orang yang menyediakan jasa war pembelian tiket. Pasti salah satu dari mereka bisa memenangkan kursi VVIP yang kuinginkan. Karena itulah, sediakan saja uangnya,” ucap Sophia sembari menunjukkan gestur membutuhkan pada Jane.
Tentu saja Jane yang melihat hal itu semakin menggerutu karena tingkah sahabatnya tersebut. “Baik-baik. Aku akan menyiapkannya. Aku pasti akan menepati janjiku,” ucap Jane.
Sophia tampak begitu bahagia. Sementara Jane sendiri mengamati Sophia dengan lekat sebelum bertanya, “Tapi, kau yakin baik-baik saja?”
Sophia mengangguk. “Aku baik-baik saja. Gajiku akan naik ketika sudah satu tahun bekerja. Dan setiap lima bulan sekali, aku akan mendapatkan bonus di luar bonus lemburanku. Bukankah ini adalah pekerjaan terbaik?” tanya balik Sophia sembari menatap temannya.
Jane pun berkata, “Tapi, kurasa kau terlihat begitu lelah. Mungkin gaji yang kau dapatkan besar, tetapi jika pekerjaanmu terlalu membuatmu stress, bukankah lebih baik kau berhenti? Kau tidak boleh mati muda.”
Sophia menghela napas panjang. Ia sendiri tidak bisa memungkiri, sebenarnya ia merasa sangat lelah. Rasanya selama enam bulan ini, Sophia selalu dibuat berlari tanpa berhenti sedetik pun. Mengingat ia harus menyamakan langkahnya dengan Jarvis yang tidak pernah memiliki waktu untuk beristirahat, bahkan di akhir pekannya. Jadi, bisa dibayangkan seberapa lelahnya dirinya saat ini.
Hanya saja, Sophia juga merasa dirinya tidak memiliki waktu atau kesempatan untuk mengeluh. Selain dirinya membutuhkan pekerjaan yang bisa dibilang sangat sulit untuk didapatkan dalam situasi persaingan dunia kerja yang tinggi ini, Sophia juga membutuhkan uang yang ia terima sebagai gajinya tersebut. Belum tentu dirinya berhenti dari pekerjaan ini, dan nantinya dirinya akan mendapatkan pekerjaan yang sebanding dengan pekerjaan yang tengah ia lakoni. Jadi, Sophia berusaha untuk bertahan.
Setidaknya hingga dirinya mendapatkan tabungan yang cukup dan kehidupannya sudah stabil. Jika saat itu dirinya benar-benar tidak lagi bisa bertahan, maka ia akan berhenti. “Aku akan bertahan. Toh, kurasa saat ini aku sudah cukup beradaptasi dengan situasi ini,” ucap Sophia.
“Apa pun itu, kurasa kau tidak terlalu memaksakan diri. Ingat, kau tidak boleh mati karena terlalu gila kerja seperti atasanmu itu,” balas Jane.
Lalu saat itulah Sophia tiba-tiba mendapatkan telepon dari Jarvis. Membuat Jane yang melihat hal itu seketika merinding. “Hei, dia meneleponmu? Di luar jam kerja seperti ini?” tanya Jane.
Sophia mengangguk. Sebelum dirinya menerima telepon tersebut, ia pun berkata, “Bahkan ia sering meneleponku ketika aku sudah tidur. Aku harus bangun di dini hari, mengerjakan hal yang ia minta saat itu juga.”
“Wah. Betapa menderitanya hidup temanku ini,” ucap Jane tampak prihatin tetapi juga terkesan mengejek.
“Ya, aku memang budak uang yang tidak peduli dengan sikap gila kerjanya itu,” balas Sophia sebelum dirinya mengangkat telepon Jarvis dan seketika mengubah ekspresi kusutnya menjadi sopan.
Bahkan Sophia menggunakan nada yang ramah dan sopan ketika bertanya, “Ada apa, Tuan? Apa ada yang bisa saya bantu?”
Tentu saja Jane segera bergumam, “Benar, dia memang budak uang.”
***
Pada awalnya, Sophia pikir jika dirinya bisa semakin terbiasa dengan situasi sulit sebagai seorang sekretaris Jarvis. Namun, setelah melewati masa enam bulan pertama, rasanya situasi semakin menyulitkan saja bagi Sophia. Hal itu terjadi karena rasanya tiap malam tiba-tiba Jarvis menghubunginya. Menanyakan ini itu, atau meminta bantuan ini itu yang jelas memangkas waktu tidurnya. Belum lagi jika ada lembur, maka waktu tidurnya benar-benar terpangkas.
Siang harinya juga akan selalu terisi dengan kesibukan Sophia yang bekerja sekaligus membuat bosnya yang rewel berhenti menggerutu dengan memenuhi kebutuhannya. Rasanya tingkat stress Sophia semakin meningkat saja. Ia merasa perlu untuk mengambil waktu rehat. Hanya saja, sangat mustahil baginya untuk mendapatkan waktu libur di luar akhir pekan. Jarvis tidak mungkin memberikan izin, dan bisa saja hal itu akan membuat dirinya berada dalam masalah yang baru.
Sophia melirik ponselnya dan melihat ada notifikasi pembicaraan grup sekretaris perusahaan. Di sana, Sophia melihat jika teman-teman sekretaris lainnya berniat untuk berkumpul dengan minum-minum dan menikmati makanan lezat di tempat yang biasanya mereka kunjungi. Tentu saja Sophia diajak tetapi Sophia menghela napas. “Apa aku bisa pergi?” tanya Sophia karena dirinya tidak tahu apakah hari ini ia tidak akan lembur.
Namun, secara mengejutkan tiba-tiba Jarvis ke luar dari ruang kerjanya. Membuat Sophia bangkit dari duduknya dan bertanya, “Apa ada yang Tuan butuhkan?”
Jarvis menggeleng. “Aku punya janji. Karena itu, kau bisa pulang jika waktu pulang sudah tiba,” ucap Jarvis lalu pergi begitu saja membuat Sophia seketika merasa sangat senang.
Sophia pun mengirim pesan di grup dan mengatakan bahwa dirinya akan ikut serta dalam acara kumpul-kumpul tersebut. Sophia merasa sangat bersyukur dirinya bisa ikut serta dalam acara kumpul-kumpul itu, karena dengan berbincang dan beer bersama bisa membuat stressnya menguap. Salah satu seniornya melihat Sophia yang tampak kelelahan. Ia pun menepuk bahu Sophia dan berkata, “Lepaskan stressmu. Toh besok adalah akhir pekan.”
Sophia menahan tangisnya dan mengangguk. “Ya, aku akan minum hingga mati,” ucap Sophia lalu kembali meminum beer-nya yang entah gelas ke berapa.
Sophia benar-benar tidak membatasi diri untuk meminum alkohol malam itu. Sayangnya, hal itu malah membuat Sophia berada dalam masalah yang baru. Ia benar-benar hampir mati karena minum alkohol. Rasanya saat ini kepalanya terasa begitu berat dan pusing. Karena itulah Sophia pun beranjak untuk ke luar dan berkata, “A, Aku harus menghirup udara segar dulu. Aku tidak boleh mabuk, kita harus pergi ke ronde dua.”
Untungnya para senior membiarkan Sophia pergi ke luar. Sophia yang ke luar dari tempat berkumpul pun bisa bernapas dengan lega. Ia pun ingat jika di sekitar itu ada apotek, ia berniat untuk membeli obat anti pengar untuk mengurangi mabuknya. Namun, ia malah melihat seorang pria yang ia kenali tengah bersiap untuk merokok di gang samping tempat berkumpulnya tadi. Pria itu tampak sibuk dengan ponsel dan rokoknya hingga tidak menyadari bahwa Sophia mulai mendekat dengan tatapan yang penuh dengan kebencian.
Sophia yang tengah dalam kondisi mabuk pun tanpa berpikir dua kali, tampak mengangkat tangannya dan memukul Jarvis saat itu juga. Jelas, Jarvis yang sebelumnya memunggungi Sophia, merasa sangat terkejut karena serangan tiba-tiba yang ia dapatkan. Bahkan rokok Jarvis hingga terjatuh karena reaksi terkejutnya. “Sialan mana yang menggangguku?” tanya Jarvis sembari menoleh.
Lalu Jarvis pun tampak tidak bisa mengendalikan ekspresinya saat melihat Sophia yang tampak begitu menggoda dengan kulitnya yang kemerahan karena mabuknya. Namun, ternyata Jarvis dibuat semakin terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Sophia. Sebab Sophia melontarkan makian yang benar-benar membuat telinga Jarvis gatal. “Dasar gila kerja! Brengsek, jika kau ingin mati karena kelelahan bekerja, seharusnya kau melakukannya sendiri! Aku tidak ingin mati muda karena terlalu banyak bekerja, Bajingan!”
_______***_______
Chapter 4
Tuntutan!
Jarvis menghela napas panjang. Ia berusaha untuk mengendalikan emosinya. Lalu ia pun berkata pada orang yang berada di ujung sambungan teleponnya, “Kita akhiri di sini dulu. Mari kita lanjutkan nanti.”
Lalu Jarvis menatap Sophia yang bahkan berdiri saja tidak benar, karena terlalu mabuk. Jujur saja, Jarvis tidak menyangka jika dirinya akan bertemu dengan Sophia di tempat tersebut. Sebab Jarvis sendiri datang ke sana karena ajakan beberapa temannya semasa kuliah dulu. Sebenarnya, Jarvis ingin bertemu di tempat yang lebih privat dan berkelas. Namun, teman-temannya yang lain meminta untuk makan di sana, untuk bernostalgia.
“Aku akan memaafkan semua perbuatanmu ini, karena kau tengah mabuk dan kehilangan akal sehat. Jadi, sekarang minggir,” ucap Jarvis berniat untuk membiarkan Sophia begitu saja.
Namun, ternyata Sophia tidak ingin membiarkan Jarvis pergi. Terlebih dirinya belum selesai mengungkapkan seluruh keluh kesahnya. Tiba-tiba ia pun mencengkram kemeja dan dasi Jarvis dengan kuat lalu bertanya, “Dasar Brengsek, apa sekarang kau tengah meremehkanku?”
“Nona Sekretaris, kau sepertinya benar-benar kehilangan akal sehat karena mabuk. Sebaiknya kau berhenti minum, dan pulang saja,” ucap Jarvis dan berusaha untuk melepaskan cengkraman tangan Sophia.
Namun, Jarvis dikejutkan dengan kekuatan cengkraman Sophia yang begitu kuat. Ia bahkan sampai melotot karena tidak bisa melepaskan cengkraman tersebut. Sophia sendiri kini menempel dan bersandar. Membebankan berat tubuhnya secara penuh pada Jarvis. Sebenarnya Jarvis tidak merasa Sophia berat, bahkan menurutnya berat badan Sophia terlalu ringan. Lebih ringan dari angkat beban yang biasanya ia lakukan.
Sayangnya kedua kakinya tersandung sesuatu hingga mereka mau tidak mau terjatuh karena Jarvis kehilangan keseimbangan. Lalu insiden yang sangat mengejutkan kembali terjadi. Di mana saat terjatuh tersebut, Sophia secara tidak sengaja mencium Jarvis, tepat pada bibirya. Kali ini, yang terkejut bukan hanya Jarvis, tetapi juga Sophia yang segera menjauhkan wajahnya dan menutup bibirnya dengan ekspresi syok yang menghiasi wajah cantiknya.
Jarvis tampak menipiskan bibirnya. Merasa begitu frustasi dengan tingkah Sophia yang sangat tidak terkendali ketika dirinya mabuk seperti ini. Sepertinya nanti Jarvis harus membuat larangan, agar Sophia tidak minum hingga mabuk. Ia hanya boleh minum alkohol satu gelas, tidak lebih. Jarvis baru akan memperbaiki posisi mereka dan meminta Sophia untuk kembali dengan rekan-rekannya.
Namun, sebelum Jarvis melakukan hal itu, tiba-tiba Sophia menangis. Membuat Jarvis kebingungan sekaligus panik. “Ke, Kenapa kau tiba-tiba menangis seperti ini?” tanya Jarvis pada Sophia yang kini duduk di hadangannya.
Sembari menyeka air matanya dengan gaya seperti anak kecil, Sophia menjawab, “Kau harus bertanggung jawab! Kau harus bertanggung jawab atas hidupku!”
Tangis Sophia semakin keras saja, membuat Jarvis merasa canggung. Hal itu terjadi karena tangisan Sophia membuat orang-orang yang melewati gang tersebut merasa penasaran. Jarvis pun berkata dengan suara rendah, “Berhenti menangis! Kenapa kau memintaku bertanggung jawab atas hidupmu?! Katakan alasannya, dan berhenti menangis!”
Sophia yang kesal pun menampar bibir Jarvis dengan cukup kuat, bahkan membuat Jarvis kembali terdiam karena terlalu terkejut. Sophia pun berkata, “Berhenti berbicara dengan nada menyeramkan seperti itu! Kau pikir aku takut? Tentu saja aku takut, Sialan!”
Jarvis benar-benar dibuat tidak berkata-kata. Sementara Sophia bangkit dari posisinya dengan susah payah dan berkata, “Kau harus bertanggung jawab karena sudah menciumku! Jangan berpikir untuk melarikan diri.”
Jarvis mendengkus mendengar perkataan tersebut. Ia pun bangkit dari duduknya dan bertanya, “Omong kosong apa yang kudengar ini?”
Namun Sophia tampak tidak bisa menjawab apa pun. Sebab dirinya tiba-tiba terdiam dan memuntahi pakaian Jarvis. Lalu Sophia jatuh tidak sadarkan diri, dan mau tidak mau Jarvis menangkap tubuh sekretarisnya itu agar tidak menghantam benda tumpul. Namun rahang Jarvis berkedut karena kemarahan yang memuncak. Ia sudah cukup sabar menghadapi tingkah gila Sophia yang tengah mabuk, bahkan menerima semua makian yang dilontarkan padanya. Sayangnya, Jarvis tidak tahan saat dirinya dimuntahi oleh Sophia seperti ini.
“Astaga, Sophia!” seru seorang sekretaris senior menghampiri Sophia dan Jarvis. Lalu dirinya pun bisa melihat jika Sophia sudah melakukan kekacauan, dan wajahnya pun pucat pasi. Sang senior tahu, jika karena masalah ini, bisa saja Sophia dipecat oleh Jarvis.
“Kau temannya? Kau tahu alamatnya?” tanya Jarvis.
Sang senior pun mengangguk dan menggeleng, membuat Jarvis mengernyitkan keningnya. Ia pun segera berkata, “Sa, Saya senior Sophia, tetapi saya tidak tahu alamat rumahnya. Saya akan menghubungi teman dekat Sophia untuk mengantarnya pulang, Tuan.”
***
Jarvis menjatuhkan dirinya yang sudah selesai mandi di atas ranjangnya. Tubuhnya terasa sangat lelah dan ingin segera tidur. Namun, seberapa pun kerasnya usaha yang dilakukan oleh Jarvis, ia tidak bisa tidur. Jarvis pun mengubah posisi berbaringnya menjadi terlentang dan menghela napas panjang. Pria itu terlihat menatap langit-langit tinggi kamarnya dan pikirannya pun tertuju pada sosok Sophia.
“Padahal kerjanya sangat rapi dan cekatan. Kurasa dari sekian banyak sekretaris yang pernah bekerja denganku, dialah sekretaris terbaikku. Tapi, saat dirinya mabuk, sepertinya ia benar-benar kehilangan akal sehat,” gumam Jarvis.
Rasanya semua makian dan ungkapan kebencian yang Sophia lontarkan padanya melekat dengan jelas di dalam benaknya. Tampaknya karena mabuk, Sophia terdorong untuk mengungkapkan semua hal yang membuat dirinya terbebani. Jarvis mengernyitkan keningnya dan bertanya pada dirinya sendiri, “Apa aku selama ini terlalu menyebalkan hingga sekretarisku yang kompeten meledak seperti itu?”
Jarvis bertanya seperti itu, karena dirinya tidak merasa bahwa dirinya terlalu berlebihan atau menyebalkan selama ini. Ia melakukan hal yang seperlunya. Di mana dirinya mengatur orang-orang dan lingkungan kerjanya agar semuanya tertata serta mendorong agar mereka menyelesaikan pekerjaan dengan lebih efektif. Lalu tiba-tiba Jarvis pun mengingat insiden di mana bibirnya dan bibir Sophia menempel. “Apa itu bisa disebut dengan ciuman?” tanya Jarvis.
Lalu Jarvis pun tiba-tiba terkekeh saat dirinya mengingat apa yang dikatakan oleh Sophia. Perkataan tidak masuk akal di mana wanita itu menuntut pertanggung jawaban karena mereka berciuman tanpa sengaja. “Bagaimana bisa ia mengatakan omong kosong seperti itu?” tanya Jarvis di tengah tawanya.
Namun, tak lama Jarvis menghentikan tawanya dan menyentuh dadanya yang terasa tergelitik. Sebab saat ini, jantungnya benar-benar berdebar dengan sangat kencang. Terlebih saat dirinya teringat sensasi lembut bibir Sophia yang begitu lembut. Jarvis tampak tidak percaya dengan reaksi jantungnya tersebut dan bertanya, “Sepertinya aku sudah gila. Bagaimana bisa aku berdebar hanya karena ciuman tidak sengaja seperti itu?”
_______***_______
Chapter 5
Bertanggung Jawab!
“Astaga, kepalaku!” seru Sophia setelah dirinya selesai mandi. Kepala Sophia masih terasa sakit sekaligus pusing karena dirinya terlalu banyak minum tadi malam.
Sophia pun memilih untuk berbaring kembali di ranjangnya sembari memeriksa ponselnya. Lalu dirinya pun menghela napas lega karena tidak ada satu pun telepon tidak diangkat atau pesan yang dikirim oleh bos besarnya. Lalu Sophia pun memilih untuk menghubungi neneknya, Rona. Namun, Rona tidak mengangkat teleponnya. “Sepertinya Nenek sudah pergi ke kebun,” gumam Sophia.
Pada akhirnya Sophia memilih untuk menghubungi neneknya lagi nanti. Sebab saat ini percuma saja mencoba untuk menghubunginya. Karena neneknya tidak mungkin tahu dirinya menelepon, jika memang sang nenek sudah berada di kebun yang ia kelola. Sophia pun mengirim uang untuk sang nenek, sebelum kembali memejamkan matanya. Tampak berusaha untuk menghitung uang yang akan ia terima selama beberapa bulan ke depan, dan menambahkannya dengan simpanan yang ia miliki.
Karena ia sejak kecil tumbuh besar di bawah perawatan neneknya, hal yang Sophia pikirkan adalah hidup nyaman bersama sang nenek. Sophia berpikir jika dirinya harus membuat neneknya hidup dengan nyaman, dan jika bisa berhenti berkebun. Namun, karena tahu neneknya tidak mungkin meninggalkan kebun yang sangat ia cintai, Sophia berpikir untuk mengembangkan kebun tersebut. Agar neneknya tidak perlu sepenuhnya terjun untuk mengelolanya.
“Sepertinya, setelah mendapatkan bonus untuk bulan ke lima belas, aku bisa mengundurkan diri. Aku bisa mencari pekerjaan lain yang tidak terlalu melelahkan seperti pekerjaanku saat ini,” ucap Sophia lalu membuka matanya setelah selesai memperhitungkan semua hal.
Sophia mengulum senyum, merasa senang dengan sejumlah uang yang mengisi rekeningnya saat ini. Lalu Sophia pun mengubah posisinya menjadi duduk dan bergumam, “Sial, kepalaku sangat pusing. Ngomong-ngomong, aku nanti harus bertanya pada Jane, kenapa dirinya bisa membawaku pulang dari pertemuan itu.”
Lalu Sophia beranjak untuk membuka laptopnya. Karena sudah berpikir untuk mengundurkan diri setelah mendapatkan kenaikan gaji dan bonus setelah bulan ke lima belas dirinya bekerja, maka sekarang Sophia harus mencari lowongan kerja lain. Jika memang sudah ada pekerjaan yang memang memungkinkan dirinya masuk cepat, maka dirinya akan mengundurkan diri lebih cepat. Toh, tabungannya saat ini sudah cukup besar.
“Tapi, bonus yang didapat setelah kenaikan gaji pertama, juga akan bertambah seiring bertamabahnya gaji utama. Apa aku coba bertahan dulu hingga waktu itu ya?” tanya Sophia bergumam. Agak ragu untuk benar-benar mencari lowongan pekerjaan untuk waktu dekat ini.
Pada akhirnya Sophia pun merasa sangat goyah karena uang yang cukup besar tersebut. Tentu saja Sophia merasa ragu. Walaupun terbilang sulit karena Jarvis yang sangat menyebalkan, tetapi pekerjaan ini sudah terasa cukup menyenangkan karena gajinya yang sungguh menjanjikan. Terebih bonus lemburan dan bonus setiap lima bulan sekali yang sungguh manis bagi Sophia. Belum tentu dirinya bisa mendapatkan pekerjaan baru yang sama baiknya dengan ini.
“Sial, bisa-bisanya aku goyah karena pikiranku sendiri,” gumam Sophia.
Lalu tiba-tiba Sophia pun mendapatkan telepon dari Jane. Tentu saja Sophia menerima telepon tersebut dan berkata, “Baru saja aku berpikir untuk menghubungimu.”
“Kenapa? Apa kau ingin bertanya bagaimana aku menyeretmu pulang dengan keadaan mabuk?” tanya Jane.
Sophia pun berdecak. “Ya, aku ingin bertanya. Karena aku agak bingung, aku tidak ingat apa yang terjadi setelah minum terlalu banyak tadi malam. Aku hanya ingat sedikit memori ketika aku terbangun ketika dibanting dengan kasar di ranjangku,” ucap Sophia.
“Aku yang baik hati ini dengan susah payah, membawamu pulang dengan keadaanmu yang parah. Kau bahkan muntah, benar-benar menyebalkan,” cela Jane sama sekali tidak berniat mengatakan hal-hal yang manis pada temannya.
Sophia pun berkata, “Baiklah, nanti aku akan mentraktirmu sebagai ucapan terima kasih. Lalu, kenapa kau menghubungiku? Kau tidak mungkin menghubungiku hanya untuk mengejek kebiasaan mabukku.”
“Ah, aku hanya ingin memberitahu tentang beberapa lowongan pekerjaan. Perusahaanku dan beberapa perusahaan temanku, sekarang tengah membuka lowongan kerja untuk sekretaris berpengalaman. Kurasa dengan pengalaman kerjamu, kau pasti akan mendapatkan peluang yang besar untuk lolos,” ucap Jane seakan-akan membawa angin segar bagi Sophia.
“Kau memintaku untuk berhenti dari pekerjaanku sekarang?” tanya Sophia.
“Aku hanya tidak ingin temanku mati muda karena kelelahan kerja. Semuanya akan kembali kepadamu. Aku hanya memberi informasi yang kau butuhkan,” jawab Jane.
“Ya, terima kasih, temanku yang baik. Tolong kirimkan informasinya padaku,” balas Sophia lalu memutus sambungan telepon begitu saja, jelas membuat Jane menggerutu di ujung sambungan telepon.
Sementara Sophia terlihat begitu bersemangat. Kini dirinya tidak merasa ragu lagi. Sebab dirinya saat ini seperti sudah mendapatkan petunjuk dari Tuhan. Di mana dirinya mendapatkan informasi lowongan kerja ketika dirinya ragu mengenai keputusannya apakah dirinya harus mengundurkan diri atau tidak. “Tuhan bahkan menunjukkan petunjuknya. Aku tidak akan ragu, sepertinya aku memang harus berhenti,” ucap Sophia lalu dirinya pun segera mulai mempersiapkan surat pengunduran dirinya.
***
“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Tuan. Semuanya adalah pengalaman yang sangat berharga bagi saya,” ucap Sophia setelah dirinya meletakkan surat pengunduran dirinya di atas meja Jarvis. Tepat di hadapan Jarvis yang menatap surat tersebut dengan tenang.
“Ini apa?” tanya Jarvis.
Sophia berusaha untuk tetap tenang sebelum menjawab, “Saya mengundurkan diri dari posisi sekretaris Anda, Tuan. Untuk saat ini, saya akan tetap bekerja hingga sore nanti. Namun, besok saya tidak akan kembali datang.”
Mendengar hal itu, Jarvis tidak mau mendengar hal itu lebih jauh. Ia pun melemarkan surat pengunduran diri tersebut ke dalam tong sampah. Setelah itu, ia pun bertanya, “Kenapa kau malah mengundurkan diri setelah meminta pertanggungjawabanku?”
Sophia berkedip bingung dan balik bertanya, “Ya? Apa yang Tuan maksud?”
“Kau berpura-pura tidak mengingat apa yang sudah terjadi tempo hari? Kau tidak mengingat apa yang sudah kau lakukan ketika kau mabuk?” tanya Jarvis hingga membuat Sophia panik saat itu juga. Tentu saja Sophia merasa bingung karena tidak mengingat kejadian yang tengah dimaksud oleh Jarvis.
Sementara itu, Jarvis pun mengeluarkan sesuatu dari laci meja kerjanya. Itu ternyata adalah kotak beludru kecil yang ia letakkan di tempat yang sebelumnya menjadi tempat surat pengunduran diri Sophia. “Kau harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kau lakukan, Sophia. Kau harus menikah denganku.”
Jarvis membuka kotak kecil tersebut dan menunjukkan sebuah cincin kecil yang menjadi penghuninya. Namun, bukan cincin cantik yang sudah dipastikan membutuhkan milyaran dolar untuk membelinya. Hal yang membuat Sophia terkejut bukan main adalah ajakan menikah dari Jarvis. Ajakan yang seharusnya terdengar manis dan menyentuh tersebut, entah mengapa terasa begitu mengerikan di telinga Sophia.
Bahkan saking ngerinya Sophia, ia tidak bisa menahan diri untuk berkata, “Dasar Bajingan gila! Memangnya siapa yang ingin menikah dengan orang gila sepertimu!”
_______***_______
Chapter 6
Godaan
Sophia kini duduk berhadapan dengan Jarvis. Tentu saja mereka perlu untuk berbincang setelah ajakan menikah yang tidak masuk akal dari Jarvis. Sophia pun menghela napas panjang dan bertanya, “Tuan tadi tidak serius, bukan?”
Jarvis yang tampak lebih santai dari Sophia pun mengangkat salah satu alisnya dan balik bertanya, “Apa aku terlihat seperti bermain-main?”
“Bukankah tidak masuk akal tiba-tiba mengajak saya menikah seperti ini? Hubungan kita sebelumnya bahkan hanyalah hubungan profesional sebagai atasan dan sekretarisnya. Saya rasa, Tuan juga tidak memiliki ketertarikan apa pun pada saya, hingga membuat Tuan berpikir untuk melamar saya seperti itu,” ucap Sophia mengungkapkan poin-poin yang menurutnya tidak masuk akal.
“Baiklah, tolong dengarkan baik-baik. Ada beberapa hal yang menyebabkan diriku melamarmu,” ucap Jarvis membuat Sophia berusaha untuk memutar otaknya dengan sekeras mungkin. Tentu saja dirinya akan memberikan alasan untuk menolak hal apa pun yang mendasari Jarvis melamarnya.
“Seperti yang sudah kukatakan, aku hanya tengah bertanggung jawab. Mengingat kau sendiri yang menuntut hal itu padaku setelah menciumku ketika kau berada dalam kondisi mabuk,” ucap Jarvis.
Seketika saat itulah Sophia berkata, “Untuk masalah itu, saya akan meminta maaf pada Tuan. Karena situasi itu terjadi karena saya mabuk. Ciuman itu juga terjadi karena tidak disengaja. Perkataan yang saya ucapkan juga terjadi karena di bawah pengaruh alkohol. Jadi, saya harap Tuan tidak menganggap hal itu terlalu serius. Sebab saya bahkan tidak bisa mengingat dengan detail apa yang sudah saya katakan dan saya lakukan malam itu.”
“Tidak, aku tidak bisa melakukannya. Saat ini, aku hanya melakukan sebagai bentuk tanggung jawab yang kau tuntut. Selain itu, aku juga membutuhkan status dari pernikahan ini. Jadi, kurasa ini bukanlah hal yang buruk. Aku juga akan untung ketika kita menikah,” ucap Jarvis.
Saat ini Sophia merasa begitu frustasi karena Jarvis tampak begitu bertekad. Jarvis memang tengah berada dalam situasi yang agak menyulitkan. Kedua orang tuanya tengah merencanakan perjodohan untuknya. Sebab kedua orang tuanya itu memang sudah ingin melihat Jarvis menikah dan menimang seorang cucu. Karena Jarvis tidak ingin dijodohkan, maka Jarvis harus melakukan sesuatu lebih dahulu untuk membuat rencana itu gagal.
“Tapi saya tidak ingin menikah denganmu, Tuan. Tolong lupakan apa pun yang sudah saya katakan saat mabuk, karena itu terjadi karena tengah berada dalam kondisi tidak sadar. Selain itu, saya rasa Tuan bisa mendapatkan calon istri yang lebih baik daripada saya. Ada banyak wanita yang berada di level yang sama dengan Tuan, mereka jelas-jelas menyukai Tuan. Jadi, Tuan hanya perlu memilih salah satu dari mereka,” ucap Sophia berusaha untuk meluruskan situasi di sana.
Sayangnya, keputusan Jarvis tersebut sudah sangat bulat. Apa pun yang terjadi sepertinya tidak akan mengubah keputusan yang sudah ia buat tersebut. Namun, Jarvis merasa jika dirinya tidak mengerti alasan mengapa Sophia merasa begitu tidak ingin menikah dengannya. Padahal dirinya tampan, cerdas, dan tentunya kaya raya. Semua yang dicari oleh para wanita ada pada dirinya. Seharusnya Sophia merasa senang ketika mendapatkan ajakan menikah darinya.
“Kenapa kau menolak lamaranku dengan begitu keras? Bukankah kau sendiri mengatakannya, banyak wanita yang menginginkan diriku untuk menjadi kekasih mereka,” ucap Jarvis.
Sophia pun menipiskan bibirnya. Lalu dirinya pun menjawab, “Saya tidak menyukai Tuan. Saya tidak ingin menikah dengan pria yang tidak saya sukai dan menyebalkan seperti Tuan.”
Jarvis agak tercengang karena dirinya masih belum terbiasa dengan celaan yang terang-terangan seperti itu. “Kalau begitu, anggap saja ini adalah pernikahan kontrak yang menguntungkan satu sama lain. Kau tidak perlu mengundurkan diri dan mencari pekerjaan baru di situasi yang sulit ini. Karena ketika kau sudah menjadi istriku, maka semua kebutuhanmu akan terjamin olehku. Kau akan kumanjakan,” ucap Jarvis seperti tengah mempromosikan dirinya sendiri.
Sophia pun menyunggingkan senyumannya dan berkata, “Saya malah semakin tidak ingin menikah dengan Tuan. Karena saya rasa, kehidupan saya malah akan semakin sulit karena hidup dengan mantan atasan menyebalkan seperti Tuan.”
***
“Sial,” gumam Sophia lalu menjatuhkan keningnya pada meja kerjanya.
Sophia sangat kesal. Meskipun dirinya sudah mengajukan pengunduran diri, ia sama sekali tidak bisa berhenti seperti apa yang sudah ia rencanakan. Hal itu terjadi karena selain Jarvis menolak pengunduran diri tersebut, departemen yang bersangkutan juga membutuhkan waktu untuk memproses surat pengunduran diri itu. Di sisi lain, Sophia juga harus tetap bekerja sebagai seorang sekretaris. Hingga nantinya ada sekretaris baru yang menggantikan posisinya.
“Jika aku benar-benar harus menunggu hingga ada sekretaris baru yang menggantikan posisiku, maka aku tidak bisa berhenti bekerja sebelum aku menua,” gumam Sophia mengingat betapa buruknya reputasi Jarvis sebagai seorang atasan di antara para sekretaris.
“Apa ada masalah?”
Sophia tiba-tiba berdiri dari posisinya dan merasakan pusing yang menyerang kepalanya. Tentu saja itu terjadi karena dirinya tiba-tiba berdiri. Ia hampir kehilangan keseimbangan karena limbung, tetapi untungnya Jarvis yang menjadi tersangka yang mengejutkan Sophia pun tampak mengambil langkah yang cepat. Di mana dirinya menahan Sophia untuk tidak terjatuh. Lalu ia bertanya, “Kau baik-baik saja?”
Sophia berkedip, tampak terkejut dan agak tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Mengingat suara Jarvis saat ini terngar lebih memiliki emosi. Di mana dirinya tampak tengah mengkhawatirkan kondisinya. Sophia menarik tangannya dari genggaman Jarvis dan berkata, “Saya baik-baik saja, Tuan.”
“Apa ada yang Tuan butuhkan?” tanya Sophia berusaha untuk tetap profesional.
Saat itulah, Jarvis meletakkan sebuah kantung kertas di atas meja Sophia dan berkata, “Ini adalah beberapa suplemen yang baik untuk kesehatanmu. Kau bisa pulang setelah jam kerja selesai.”
Sophia pun secara refleks bertanya, “Tapi kenapa Tuan memberikannya untuk saya? Dan Tuan yakin kita tidak akan lembur?”
Jarvis pun mencondongkan tubuhnya pada Sophia yang memang berdiri di hadapannya dengan dihalangi oleh meja kerja sekretarisnya tersebut. Lalu menjawab, “Aku tengah berusaha untuk merayumu, Sophia. Aku tengah berusaha untuk menjadi pria menawan yang bisa mendapatkan kepercayaanmu,” ucap Jarvis lalu tersenyum tipis.
Saat itu pula, Sophia seakan-akan dikhianati oleh jantungnya sendiri yang tiba-tiba berdebar dengan sangat kencang karena melihat senyuman tipis Jarvis yang sagat mahal tersebut. Lalu Jarvis pun kembali berdiri dengan tegap kembali dan berkata, “Tidak ada lembur hari ini, pulanglah. Lalu tidur dengan nyenyak, dan kalau bisa coba kembali pikirkan ajakanku sebelumnya.”
Jarvis pun beranjak pergi begitu saja meninggalkan Sophia yang terduduk di kursi kerjanya dengan tatapan kosong. Sophia memukul dadanya sendiri dengan pelan dan berkata, “Sial, berhenti berdebar seperti itu! Dasar jantung pengkhianat yang tidak tahu malu!”
_______***_______
Chapter 7
Enyahlah!
Karena masih harus bekerja hingga ada sekretaris baru yang menggantikan posisinya, maka setiap harinya Sophia masih bekerja dengan profesional. Sekaligus berusaha untuk terus mengabaikan sikap Jarvis yang rasanya berubah menjadi sangat jauh berbeda daripada biasanya. Kini Sophia bisa menilai jika tingkat gila kerja Jarvis sudah berkurang daripada biasanya. Sophia juga tidak harus lembur setiap malam. Ia juga bisa tidur dengan nyaman setiap malamnya, mengingat Jarvis tidak pernah menghubungi dirinya setiap malam untuk mengganggu waktu tidurnya.
Selain itu, Jarvis tidak lagi meminta atau memerintahkan hal-hal yang membuat Sophia frustasi. Ada begitu banyak perubahan yang sangat terasa oleh Sophia. Hanya saja, yang paling signifikan adalah perubahan Jarvis yang kini lebih berhati-hati dalam berbicara. Ia lebih lembut dan selalu memperhatikan dirinya. Anehnya, di mata Sophia sendiri, akhir-akhir ini Jarvis tampak begitu menarik.
Tentu saja, sejak awal Jarvis sendiri menawan. Ia benar-benar memesona sebagai seorang pria yang memiliki segala hal. Namun, sejak awal Sophia tidak pernah melihat Jarvis sebagai seorang pria. Hingga tidak ada satu pun peluang yang bisa membuat dirinya jatuh hati karena pesona pria itu. Sayangnya, kini situasi berubah. Jantung Sophia seperti memiliki otak sendiri yang terpisah dengan otak Sophia, hingga bisa mengkhianatinya dan terus bereaksi ketika mendapatkan godaan dari Jarvis.
“Aku harus fokus,” gumam Sophia lalu dirinya mencoba untuk tetap fokus dan memeriksa jadwal selanjutnya.
Saat ini, Sophia sendiri tengah duduk di area lobi sebuah hotel mewah. Kedatangannya ke sana tentu saja mendampingi Jarvis. Pertemuan yang harus dihadiri telah selesai, tetapi Jarvis memiliki beberapa urusan pribadi. Karena itulah, saat ini Sophia tengah menunggu seorang diri di sana. Selain bisa beristirahat di sana, ia juga bisa memeriksa jadwal selanjutnya. Serta mengatur beberapa hal terkait pekerjaannya agar tidak menimbulkan masalah.
Namun, tiba-tiba ada sepasang kekasih yang menghampiri Sophia yang masih berusaha fokus dengan pekerjaannya. Sang pria pun berkata, “Wah, kukira aku salah. Tapi ternyata aku tidak salah lihat. Kau benar-benar Sophia.”
Sophia mengernyitkan keningnya dan mendongak menatap pemilik suara yang cukup dikenal oleh telinganya tersebut. Lalu Sophia pun menghela napas panjang saat melihat pasangan yang mesra di hadapannya saat ini. “Sial,” gumam Sophia yang ternyata terdengar oleh pasangan di depannya itu.
“Sayang, lihat dia bahkan tidak menyambut kita dengan baik. Kenapa kita harus menyapanya?” tanya sang wanita yang bernama Reana pada kekasihnya yang bernama Andrew.
Andrew merengkuh kekasihnya dan berkata, “Maklumi saja, Sayang. Sepertinya dia masih merasa terluka dan dikhianati karena kita menjalin hubungan.”
Sophia kembali menghela napas. Sungguh, dirinya sama sekali tidak ingin bertemu dengan Reana atau Andrew. Sebab keduanya adalah pasangan yang membawa mimpi buruk padanya. Andrew adalah mantan kekasih Sophia, dan Reana adalah mantan teman Sophia. Keduanya memang mengkhianati Sophia dan membuatnya merasa sangat kecewa. Terutama pada Reana. Sebab Sophia tidak habis pikir, bagaimana bisa Reana menjalin hubungan dengan Andrew yang masih menjadi kekasih Sophia saat itu.
Karena sejarah buruk itu, Sophia memilih untuk memutuskan hubungan dengan keduanya. Pertemuan tidak sengaja seperti ini tentu saja tidak pernah muncul di dalam bayangan Sophia. “Pergi sana, kalian hanya menggangguku,” ucap Sophia lalu berniat untuk kembali fokus pada pekerjaannya.
Namun, Andrew dan Reana malah duduk di meja yang sama dengan Sophia. Menurut Sophia, sikap tersebut tentu saja sangat tidak tahu malu. Sayangnya, Andrew dan Reana sepertinya memang tidak memiliki rasa malu untuk memamerkan kemesraan mereka di hadapan orang yang sudah mereka sakiti hatinya. “Hei, jangan ketus seperti itu. Jangan bertingkah kekanakan dengan memusuhi kami karena masalah yang terjadi di masa lalu,” ucap Andrew.
“Sayang, itu akan sulit untuk dilakukan. Sepertinya, dia bahkan belum bisa melupakan masa lalu dan masih menyimpan perasaan padamu. Ia pasti masih membenciku karena menganggapku sudah merebutmu darinya,” tambah Reana jelas mengejek Sophia.
Sophia pun menutup tablet komputernya dan menatap lurus pada pasangan menyebalkan di hadapannya. “Benar, aku masih membenci kalian, tapi bukan karena aku masih memiliki perasaan pada bajingan sepertimu. Aku membenci kalian karena betapa teganya mengkhianati kepercayaanku di masa lalu. Selain itu, aku merasa begitu jijik dengan betapa tidak tahu malunya kalian yang merasa bangga dengan hal memalukan yang sudah kalian lakukan.”
Perkataan monohok yang dilontarkan oleh Sophia tentu saja membuat Reane merasa malu, dan Andrew merasa sangat tersinggung. “Perhatikan pemilihan kata-katamu. Jika kau berbicara seperti itu, bisa-bisa orang-orang berpikir bahwa kami memang sudah melakukan sesuatu yang melukaimu,” ucap Andrew.
Sophia merasa kesabarannya benar-benar hampir mencapai batasnya. “Sudahlah, aku merasa buang-buang waktu bicara dengan kalian. Ke depannya, sekali pun berpapasan denganku, tolong bertingkah seakan-akan kalian tidak mengenalku,” ucap Sophia sembari bangkit dari duduknya dan mengambil tas jinjingnya.
Namun, Andrew menghalangi Sophia dan berkata, “Jika kau memang sudah tidak lagi memiliki perasaan padaku, seharusnya tidak masalah jika kita saling menyapa bukan?”
Reane mengernyitkan keningnya karena tidak merasa senang dengan reaksi kekasihnya tersebut. Sophia tentu saja menyadari hal tersebut dan mendengkus. Ia berkata pada Reane, “Tidak perlu merasa terancam seperti itu. Aku sama sekali tidak berniat untuk kembali mengambil sampah yang sudah kubuang. Selain itu, aku juga sudah memiliki kekasih yang jauh lebih baik daripada mantan kekasihku yang tidak tahu malu ini.”
Reane pun bangkit dan berkata, “Tidak perlu mengatakan omong kosong untuk berbohong menutupi situasimu yang menyedihkan. Bagaimana mungkin kau memiliki seorang kekasih ketika kau bahkan hanya sibuk bekerja? Saat ini saja, aku yakin kau datang ke sini untuk bekerja.”
“Berhenti sok tahu dan ikut campur. Sudah kubilang, anggap saja kita tidak saling mengenal satu sama lain. Kalian benar-benar membuatku pusing karena hal yang tidak perlu,” ucap Sophia berniat untuk pergi.
Namun, kali ini Reane yang menghalangi jalan Sophia dan tertawa dengan nada mengejek. “Kenapa kau buru-buru pergi seperti ini? Apa kau tidak mau sampai fakta bahwa kau masih saja sendiri setelah dicampakkan oleh kekasihmu terungkap?” tanya Reane.
“Wah, aku kehabisan kata-kata karena baru menyadari betapa serasinya kalian sebagai pasangan kekasih. Ternyata kalian benar-benar tidak memiliki urat malu dan akal sehat. Sekarang minggir, jangan menggangguku,” ucap Sophia.
Namun, Reane dan Andrew tampaknya tidak mau mundur. Keduanya masih ingin mengganggu Sophia lebih jauh. Untungnya saat ini Jarvis tiba di waktu yang tepat. Dengan langkah yang santai, ia pun berdiri di samping Sophia dan menyusupkan tangannya untuk merengkuh pinggang Sophia yang ramping dengan mesra. Lalu Jarvis bertanya dengan suara manis, “Sayang, apa aku membuatmu menunggu lama?”
Tidak hanya Andrew dan Reane yang terkejut dengan kehadiran Jarvis tersebut. Sophia juga merasakan hal yang sama. Terlebih saat ini mereka melakukan kontak fisik yang sangat dekat. Reane pun sadar dan bertanya, “Siapa kau, tiba-tiba menginterupsi pembicaraan kami?”
“Pembicaraan? Tapi yang kulihat, sepertinya kalian hanya tengah berusaha untuk mengganggu kekasihku,” ucap Jarvis dingin.
Jawaban itu tentu saja membuat Andrew dan Reane syok bukan main. Mengingat pria yang menyebut dirinya sebagai kekasih Sophia tampak begitu menawan dan berkelas. Andrew pun tampak ragu dan bertanya, “Kekasihku? Apa mungkin kau dan Sophia?”
Jarvis menarik Sophia untuk semakin menempel pada tubuhnya dan mengangguk dengan percaya diri. “Benar, kami adalah pasangan kekasih. Jadi, enyahlah! Berhenti mengganggu kekasihku,” ucap Jarvis penuh peringatan.
Untuk kelanjutannya silakan klik link di bawah ini :
https://karyakarsa.com/Miafily/menjadi-kekasih-bos-seksi-lengkap
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰