Tirai Doa Yang Terkoyak

0
0
Deskripsi

 Suaminya semakin sulit diajak bicara, semakin sering pulang larut, dan makin jarang menyentuhnya. Bahkan saat mereka berada di rumah yang sama, rasanya seperti dua dunia yang tak bersinggungan. Jhoni sibuk dengan ponsel atau laptopnya, tertawa sendiri, kadang tersenyum melihat layar seperti sedang membaca sesuatu yang menghibur—atau mungkin menggoda. 
 
Fitri mencoba bersikap dewasa. Ia bukan perempuan pencemburu buta, tidak pula haus perhatian yang memaksa. Tapi sebagai istri, hatinya selalu tertarik dan terluka ketika merasakan ada sesuatu yang disembunyikan. 
 
 

Bab 3: Bayang-Bayang Retak di Balik Tirai Doa 
 
Hari-hari terasa semakin berat bagi Fitri. Sejak percakapannya dengan Jhoni yang berubah jadi perdebatan, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Suaminya semakin sulit diajak bicara, semakin sering pulang larut, dan makin jarang menyentuhnya. Bahkan saat mereka berada di rumah yang sama, rasanya seperti dua dunia yang tak bersinggungan. Jhoni sibuk dengan ponsel atau laptopnya, tertawa sendiri, kadang tersenyum melihat layar seperti sedang membaca sesuatu yang menghibur—atau mungkin menggoda. 
 
Fitri mencoba bersikap dewasa. Ia bukan perempuan pencemburu buta, tidak pula haus perhatian yang memaksa. Tapi sebagai istri, hatinya selalu tertarik dan terluka ketika merasakan ada sesuatu yang disembunyikan. 
 
"Yuni tadi mampir ke toko ya?" tanya Fitri lembut saat makan malam. 
 
Jhoni hanya mengangguk sambil mengunyah. "Biasa, nitip beli headset." 
 
"Tadi siang... aku sempat dengar suara... suara perempuan dari kamar belakang pas aku lagi di dapur. Suaranya kayak... mengerang." 
 
Jhoni berhenti mengunyah sejenak, lalu meneguk air. 
 
"Fitri, kamu mulai kayak sinetron. Jangan suka suuzon. Tamu banyak ke toko. Lagian kamu ngapain curiga-curiga begitu?" 
 
Fitri menunduk. "Maaf... Aku cuma—" 
 
"Cuma apa? Kamu gak percaya sama suami sendiri? Atau kamu mulai bosen karena kamu nggak bisa nyenengin aku di ranjang, jadi kamu cari-cari masalah?" 
 
Kata-kata itu seperti sembilu yang menyayat dada Fitri. Ia terdiam, menahan air mata. Ia tahu dirinya bukan istri yang sempurna dalam urusan ranjang. Ia masih belajar, masih sering gugup, tapi ia selalu berusaha. Dan ia tahu, hatinya tak pernah berpaling sedikit pun dari Jhoni. 
 
Setelah makan malam, Jhoni pamit keluar dengan alasan bertemu supplier. Fitri hanya mengangguk, menatap punggungnya yang menjauh. Malam itu, di atas sajadah, ia menangis dalam sujud panjang. 
 
"Ya Allah... Jika memang suamiku sedang diuji dengan wanita lain, kuatkan aku untuk mendampinginya. Jika dia tersesat, tuntun dia kembali ke jalan-Mu. Tapi jika hatinya memang tak bisa lagi padaku... berilah aku jalan terbaik yang Engkau ridhoi." 
 
 
--- 
 
Di toko PlayStation, Jhoni tampak santai bersandar di kursi empuk di belakang meja kasir. Seorang pelanggan perempuan, mahasiswa semester akhir, datang membawa voucher PSN dan mulai mengobrol. Namanya Maya, kulit sawo matang, rambut lurus dikuncir tinggi, dan memakai crop top yang memperlihatkan perut rampingnya. 
 
"Bang, kok baru buka sih? Nungguin dari tadi, loh," ucap Maya sambil tersenyum manja. 
 
Jhoni tertawa. "Maaf ya, lagi banyak yang mesti diurus. Tapi khusus buat Maya, abang buka jam berapa aja juga siap." 
 
Maya tersipu. "Gombal banget sih, Bang. Pasti udah punya cewek banyak, ya?" 
 
"Hehehe... nggak sebanyak yang kamu kira. Tapi kalau kamu daftar sekarang, siapa tahu bisa masuk daftar spesial." 
 
Percakapan mereka diselingi tawa ringan dan tatapan yang mulai saling menggoda. Di luar toko, hujan gerimis mulai turun, langit mendung menambah suasana senja yang kelabu. Jhoni menikmati setiap momen ini. Flirting baginya seperti candu. Ia merasa hidup, merasa diinginkan, dan merasa berkuasa. 
 
Sementara itu di rumah, Fitri baru saja selesai menyiapkan makan malam. Ia duduk di ruang tamu, menunggu. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi Jhoni belum juga pulang. Ia mengirim pesan, hanya dibaca tanpa balasan. 
 
Untuk mengusir kegelisahan, Fitri membuka mushaf kecil di pangkuannya, mencoba membaca surat Yasin seperti biasanya. Tapi pikirannya terus melayang ke Jhoni. Ada rasa ingin marah, tapi juga rindu. Ada cinta, tapi juga luka yang ia pendam dalamdalam. 
 
 
--- 
 
Keesokan harinya, saat matahari belum tinggi, Fitri membersihkan rumah seperti biasa. Saat sedang mengganti sprei kamar tamu, ia menemukan sebuah sapu tangan kecil berwarna merah muda terselip di bawah bantal. Ada aroma parfum khas wanita. Bukan miliknya. 
 
Fitri menghela napas. Hatinya menegang, tapi ia menenangkan diri. Ia menyimpan sapu tangan itu dalam laci, tak ingin gegabah. 
 
Siang harinya, Yuni datang ke rumah seperti biasa, membawa makanan ringan. 
 
"Fitriii... aku bawain cilok kesukaanmu," ujar Yuni ceria. 
 
"Wah, makasih ya, Uni. Masuk yuk." 
 
Saat mereka duduk di ruang tamu, Fitri memperhatikan penampilan sahabatnya itu. 
Hari itu Yuni memakai baju lengan panjang ketat, tapi lekuk tubuhnya tetap sangat jelas. 
Kerudung pink terang hanya dililit seadanya, memperlihatkan sebagian lehernya. Bibirnya merah terang, dan aroma parfumnya menyengat. 
 
"Kamu kerja jam berapa hari ini, Uni?" tanya Fitri sambil menyeduh teh. 
 
"Lembur dari jam 2 sore, Nih. Tadi mampir dulu aja sekalian ngisi waktu. Eh, Jhoni mana?" 
 
"Belum pulang. Katanya sih lagi ngurus stok baru." 
 
Yuni tertawa kecil. "Ah, si abang toko itu emang sibuk terus ya..." 
 
Fitri memandang sahabatnya dalam diam. Ada sesuatu dalam suara Yuni, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan tapi membuat dadanya sesak. 
 
 
--- 
 
Malam harinya, saat sedang menunaikan sholat Isya, Fitri mendengar lagi suara aneh dari kamar belakang. Kali ini lebih jelas. Desahan. Suara ranjang yang berderak. Sekilas, suara itu terdengar seperti suara Yuni—terutama saat ia tertawa setengah tertahan. Tapi Fitri berusaha mengusir pikiran itu. Mungkin tetangga. Mungkin televisi. Mungkin... 
 
Tapi hatinya tahu. 
 
Setelah selesai berdoa, Fitri hanya duduk di ruang tamu, menunggu Jhoni keluar dari kamar belakang. Saat pintu terbuka, Jhoni keluar dengan kaus oblong dan celana pendek, tubuhnya berkeringat tipis. Matanya sedikit terkejut melihat Fitri duduk di sofa tanpa berkata apa pun. 
 
"Kamu belum tidur?" tanya Jhoni, berusaha santai. 
 
Fitri hanya tersenyum kecil. "Belum. Habis ngaji." 
 
Tak ada pertanyaan lanjut. Tak ada kejelasan. Tapi malam itu, hati Fitri tak lagi utuh. Ada luka yang mulai membelah perlahan, tapi ia memilih diam. Karena ia belum sanggup menghadapi jawaban yang terlalu menyakitkan. 
 
Dan di atas sajadah, ia kembali bersujud. Kali ini bukan hanya meminta suaminya kembali mencintainya, tapi meminta kekuatan... jika suatu hari, ia harus mencintai dirinya sendiri lebih dari mencintai lelaki yang tak setia. 
 
 
--- 
Bersambung 
 
Jangan lupa coment LIKE & Subscribe ya kk 
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Fakta Di Balik Istri Alim
0
0
Pram melanjutakan sesi terapinya bersama Fitria , namun kali ini suami Suami Fitria berada di Luar kamar, mendengar dan menunggu demgan sabar tanpa tahu Fakta Yang terungkap di Balik pintu kamar Pengantinnya
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan