
Suga datang ke rumah Airin setelah semua ketegangan berakhir. Ada apa lagi ya, kira-kira? Apakah ada rasa yang seharusnya diungkapkan sejak awal?
Sore Itu Di Lapangan Basket (Part 9)
Semuanya sudah selesai. Aku bisa bernapas lega sejak melihat OSIS sekolahku dan OSIS SMA Taman Mahesa menandatangani perjanjian damai.
Senin siang setelah acara perpisahan, aku memutuskan bersantai di kamarku. Kedua orang tuaku memang sengaja tidak membuka warung, sebab harus menghadiri upacara Ngaben salah satu kerabat jauh kami di daerah Plaga.
Ibuku sebenarnya memintaku ikut, namun aku memberitahunya aku ada acara jalan-jalan bersama Vina sehingga akhirnya aku mendapat kelonggaran.
Deva yang kemudian diajak (lebih tepatnya dipaksa) ikut ke Plaga.
Sebelum berangkat kakak lelakiku sempat memelotot ke arahku. Tetapi pada akhirnya sikapnya melunak juga, waktu dia mengingatkan aku agar mengawasi burung kesayangannya.
Berada di rumah sendirian adalah surga dunia. Jangan memikirkan apa yang terjadi pada Kevin di film Home Alone. Hal-hal semacam itu tidak akan terjadi di Bali. Terlebih lagi rumahku berdekatan dengan Pos Pantau Bersama Desa Kerobokan.
Aku sudah akan memejamkan mata agar bisa masuk ke alam mimpi ketika suara motor terdengar memasuki halaman rumahku.
Pikiranku menduga Vina yang datang, yang entah bagaimana bisa tahu kebohongan yang aku ciptakan dan sekarang sedang mencoba membuatnya jadi nyata dengan benar-benar mengajakku jalan-jalan.
Aku sudah menyiapkan berbagai alasan penolakan dan segera bangkit dari tempat tidurku untuk menyapa sahabatku saat mataku menangkap bayangan manusia yang sama sekali berbeda.
Suga sedang melepaskan helmnya.
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku kaget.
"Apa aku nggak boleh main ke rumah pacarku?"
Balasan Suga itu membuatku salah tingkah. Kenapa dia masih saja mengajakku berpura-pura begitu? Tapi tunggu. Apa begitu caranya mengelak memberikan penjelasan? Suga berhutang banyak sekali penjelasan padaku.
Mengingat semua kejadian yang terjadi dua hari lalu, aku langsung menginterogasi Suga dengan pertanyaan paling penting yang belum mendapat jawabannya hingga detik ini.
"Kamu kemana aja?" Suaraku meninggi. "Kenapa semua pesanku nggak dibalas?"
"Bisa minta air dingin? Aku haus banget... Dan lapar juga... Gimana kalo kita makan dulu?" Suga mengangkat bungkusan yang sejak tadi ditentengnya.
Aku memerhatikan wajah Suga yang terbakar matahari. Dari mana saja dia, sampai muncul di rumahku dengan keadaan seperti itu?
Aku memberikan isyarat agar Suga ke taman belakang sementara aku mengambilkan minuman untuknya. Tidak ada salahnya memberikannya soft drink dari warung, toh kedua orang tuaku memang selalu meminta kami (kedua anaknya) agar memberikan minuman dari warung bila ada teman-teman kami yang berkunjung.
Saat tiba di taman belakang, aku menemukan Suga sudah membuka bungkusan yang dibawanya, yang ternyata adalah nasi bungkus.
"Kamu suka nasi ayam betutu?" tanyanya, kemudian menyambar botol minuman yang aku letakkan di meja di dekatnya.
"Suka..." Aku menggantung kalimatku. Rasanya sangat salah bila aku mengejar Suga dengan berbagai pertanyaan sedangkan cowok itu terlihat begitu kelaparan.
Suga sepertinya tahu apa yang ada di dalam pikiranku. Akan tetapi, dia mengabaikannya dan memilih membuka bungkusan yang sudah dipegangnya.
"Aku lupa ambil sendok. Tunggu dulu," kataku lalu bangkit berdiri.
Hanya saja Suga buru-buru berkata bahwa dia sudah mencuci tangannya di keran dekat sangkar burung kakakku, sebelum aku sampai di taman belakang.
"Nggak apa kan aku cuci tangan di situ?" tanya cowok itu berhati-hati.
"Kenapa nada suara kamu kayak orang habis nyuri?"
"Yah, ini kan bukan rumahku. Aku takut aja salah bersikap."
"Keran ya emang dipakai buat nyuci. Nyuci apa aja termasuk nyuci tangan."
"Jadi nggak masalah dong aku makan pake tangan?"
Aku menghembuskan napas. "Aku juga makan pake tangan kali, Ga!"
"Ada orang yang bilang dia nggak suka lihat aku makan pake tangan. Katanya jorok. Kalo makan harus pake sendok!"
Aku menatap Suga yang sudah asyik meraup nasi bungkusnya. Ia kelihatan sangat lapar jadi aku memilih untuk tidak bertanya lebih jauh mengenai pernyataannya barusan.
Rupanya Suga memang sangat kelaparan. Dalam hitungan kurang dari lima menit, satu bungkus nasi ayam betutu sudah habis. Dia meremas bungkus nasinya lalu dengan gerakan yang sangat cekatan, melemparkannya ke tempat sampah di hadapan kami.
"Kamu nggak makan?" tanya Suga setelah menegak kembali soft drink yang tadi aku bawakan.
"Aku udah makan. Nanti aja," jawabku.
"Aku bakal jawab pertanyaan kamu satu-satu, Rin. Tapi pelan-pelan ya."
Aku mengangguk. Suara merdu love bird peliharaan Deva memenuhi taman belakang. Aku dan Suga sempat hanyut dalam nyanyian singkat itu namun dengan cepat kami kembali ke dunia nyata.
Suga bangkit dari tempat duduknya dan menuju keran. Ia mencuci tangannya yang berlepotan nasi. Di sela-sela aktivitas itu, ia sempat menggumamkan sesuatu.
"Aku dan Chelsea udah putus..." katanya.
Aku memelotot ke arah Suga. Tapi jelas ia tidak akan bisa melihat kekagetanku karena ia begitu sibuk membersihkan tangannya. Atau sebenarnya... pikirannya-lah yang sibuk memikirkan kisah cintanya yang kandas.
"Sejak awal aku udah tahu kami nggak bakal cocok. Aku mendekatinya hanya sebagai alasan agar benar-benar putus dari Mariana. Apa aku kejam?" Suga kembali duduk.
Aku mematung. Tidak tahu harus berkomentar seperti apa sebab yang ini di luar dugaanku. Lagi pula, seumur hidupku aku belum pernah berpacaran. Jadi kalau ditanya soal kejam apa tidak memutuskan hubungan dengan kekasihmu, aku bingung harus menjawab apa.
"Mariana terlalu menuntut. Dia mengatur hidup aku bahkan untuk hal-hal sepele sekalipun."
Aku sekarang tahu siapa yang melarangnya makan dengan tangan.
"Dan yang paling menyebalkan, dia menutupi semua masa lalunya. Aku nggak tahu apa pun soal hidupnya di sekolah sebelumnya. Dia temenan sama siapa, pacaran dengan siapa, dimana tempat nongkrong favoritnya, aku nggak pernah tahu. Sedangkan dia terus mencari tahu soal masa laluku. Bukannya itu nggak adil?"
Aku mengangguk. Ada suara di kepalaku yang menyebut diriku sebagai cewek bodoh karena hanya bisa mengangguk.
"Makanya aku ingin putus aja. Tetapi masalahnya, anak-anak di sekolah seolah-olah menobatkan kami sebagai pasangan paling ideal dan kami nggak bisa putus. Aku berpikir keras mencari ide agar bisa putus sampai akhirnya aku ketemu sama Chelsea," lanjut Suga, kemudian kembali meneguk minumannya.
"Setelahnya kamu tahu ceritanya kayak apa, Rin,"
"Di lapangan basket sore itu kan?" Aku akhirnya bertindak cukup cerdas meski sebenarnya belum maksimal.
"Aku minta maaf udah ngelibatin kamu. Sumpah, waktu itu nggak ada pilihan. Dan kebetulan kamu nongol, jadi ya udah."
"Nggak masalah. Tapi kamu menghilang kemana aja?"
Suga menyugar rambutnya. Sumpah, jejak Han Seo-jun sama sekali tidak memudar meski cowok di sebelahku ini terbakar matahari.
"Aku mencari tahu. Soal flashdisk kamu yang hilang. Soal foto-foto lama Mariana yang tersebar dan soal foto-fotoku dan Chelsea yang juga tersebar," sahut Suga. "Aku udah tahu akan ada perjanjian damai antara sekolah kita dengan Taman Mahesa. Jadi aku memilih nggak membahas apa-apa sama kamu."
Kalimat terakhir ini memunculkan keinginan dalam diriku untuk menjitak kepala Suga. Tega sekali dia membuatku ketakutan setengah mati. Apa dia tidak tahu bagaimana rasanya tidak bisa tidur nyenyak semalaman?
"Aku tahu kamu marah! Sorry!" Suga menempelkan kedua telapak tangannya dan membuat gerakan menyembah ke arahku.
"Oke, aku maafin. Toh semua berakhir baik," kataku. "Terus apa yang kamu temukan."
"Ada orang yang memang sengaja melakukan ini!"
Sampai di sini, aku menahan napasku karena saking penasarannya.
"Kamu pasti nggak nyangka kalo dia pelakunya," ucap Suga lalu mengeluarkan handphone dari saku t-shirt polonya. "Aku sampai harus ngecek cctv di sekolah dan di pantai Sanur biar tahu kebenarannya."
Dalam hati aku ingin tertawa mendengar pengakuan ini. Suga bertindak sebagai karakter utama dalam sebuah drama televisi yang berusaha menemukan pelaku kejahatan. Ingin sekali aku berteriak kepadanya bahwa dia sedang ada di dunia nyata dan bukannya di dunia khayal.
"Pelakunya temen kamu sendiri. Temen sebangku kamu..." Suga menyerahkan handphone miliknya padaku. "Coba lihat video itu. Itu rekaman cctv di lapangan basket dan di pantai Sanur dan lihat cewek berbaju hitam itu."
Aku sempat ragu-ragu. Suga menuduh sahabatku? Ini tidak mungkin. Tetapi bagian logis dalam diriku mendominasi. Suga memiliki bukti dan tidak ada alasan bagiku meragukannya. Aku memerhatikan dengan seksama rekaman video di handphone cowok itu. Video pertama memperlihatkan suasana lapangan basket SMA Widiatmika yang ramai. Kemudian gambar berganti ke sudut yang dekat dengan ruang perlengkapan. Ada aku dan beberapa teman di sana sedang memberikan semangat kepada teman-teman yang sedang bermain basket. Kemudian aku menjauh. Aku ingat waktu itu aku ingin pergi ke kamar mandi. Vina menyusulku dan sebelum mencapai diriku, dia memungut sesuatu yang jatuh di belakangku. Flashdisk milikku yang berisi foto-foto lama Mariana.
Dan sampai hari ini, benda itu tidak dikembalikannya padaku.
"Vina yang menyebarkan foto-foto itu di grup chat. Entah bagaimana caranya. Bisa jadi dia menyuruh salah seorang adik kelas melakukannya. Aku nggak mencari tahu lebih lanjut. Lebih baik kamu yang melakukan itu!" Suga meraih kembali handphone miliknya.
Aku melihatnya mengutak-atik beberapa file dan kembali memberikan benda itu kepadaku.
"Yang itu rekaman di pantai Sanur. Jelas banget kan Vina sengaja menguntit aku dan Chelsea!"
Aku memerhatikan sekilas video itu. Di sana memang terlihat Vina sedang mengambil gambar dengan ponselnya. Targetnya adalah sepasang kekasih yang sedang duduk di pinggir pantai yang jelas-jelas adalah Suga dan Chelsea.
"Tapi kenapa Vina kayak gitu?" tanyaku lalu mengembalikan ponsel Suga.
Suga mengangkat bahu. "Aku nggak tahu. Lebih baik kamu yang nyari tahu."
Entah kenapa Suga nampak lebih kurus. Apa karena dia banyak pikiran?
"Mau pergi sekarang?" ajak Suga.
"Kemana?"
"Mencari tahu."
Sumpah, otakku yang sudah tenang sejak kemarin kembali dihantam angin puting beliung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
