
Sore Itu Di Lapangan Basket (Part 6)
Dalam cerita-cerita di film atau buku, ketika sang tokoh utama akan mengalami kejadian buruk, semuanya selalu ditandai dengan perubahan cuaca mendadak, seperti mendung atau angin yang berubah kencang.
Si tokoh utama juga akan merasakan sebuah perasaan ganjil yang tidak bisa dijelaskannya. Pada intinya, ia mendapatkan semacam visi untuk segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan.
Tapi aku tidak merasakan apa-apa atau melihat perubahan ganjil di sekitarku pada...
Sore Itu Di Lapangan Basket (Part 6)
Dalam cerita-cerita di film atau buku, ketika sang tokoh utama akan mengalami kejadian buruk, semuanya selalu ditandai dengan perubahan cuaca mendadak, seperti mendung atau angin yang berubah kencang.
Si tokoh utama juga akan merasakan sebuah perasaan ganjil yang tidak bisa dijelaskannya. Pada intinya, ia mendapatkan semacam visi untuk segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan.
Tapi aku tidak merasakan apa-apa atau melihat perubahan ganjil di sekitarku pada hari pembagian rapor semester genap. Semuanya bermula normal sekali untuk sebuah kejadian yang menghantam bak badai yang ganas.
Aku bangun pagi seperti biasanya dan langsung menuju kamar mandi. Selama beberapa detik, aku sempat bersitegang dengan kakakku yang entah kenapa sudah bangun dan ingin menggunakan kamar mandi.
Karena aku sudah lebih dulu berada di dalam, Deva akhirnya mengalah dan menggunakan kamar mandi yang ada di warung. Tentu saja diikuti dengan omelan panjang lebar ala ibu-ibu bad mood.
Setiap kali mengingat acara pembagian rapor, semangatku semakin membuncah karena aku sudah merencanakan banyak sekali kegiatan. Minggu pertama liburan aku akan pulang ke Nusa Penida, kampung halaman Ibuk untuk menjenguk Kakek dan Nenek serta sepupu kecilku yang baru saja lahir bulan lalu. Aku akan pergi sendiri naik kapal motor. Kenyataan inilah yang menambah semangatku, sebab pengalaman ini adalah pengalaman pertamaku pergi jauh sendirian. Tanpa ditemani orang tua ataupun kakakku.
Itupun kalau Nusa Penida dianggap tempat yang jauh. Soalnya, Deva pernah menyindirku dengan mengataiku anak penakut sebab tidak mau pergi sendirian ke Nusa Penida yang letaknya di depan hidungku.
Kemudian aku berencana mengubah dekorasi kamarku sepulangnya dari Nusa Penida. Beberapa hiasan dinding dan pernak pernik sudah tersimpan rapi di dalam boks dan siap digunakan untuk mengubah tampilan kamarku yang menurutku sangat monoton.
Bapak sudah memberikan ijinnya untuk mengecat ulang kamarku. Aku juga sudah memilih warna cat yang sesuai dengan seleraku, yaitu warna ungu muda. Menurut sumber yang aku baca di internet, warna itu mampu membangkitkan energi yang dapat mengubah suasana hati menjadi tenteram.
Aku perlu ketenteraman agar bisa lebih fokus belajar supaya lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru di Universitas Udayana.
Jadi begitulah, aku mengendarai motor matic-ku ke sekolah dengan hati yang senang. Aku tidak terlalu peduli pada nilai-nilai di rapor-ku sebab setiap tahun, toh aku selalu berada di tengah-tengah. Yang artinya aku tidak pintar tetapi juga tidak bodoh. Itu sudah cukup.
"Ohhhhh... Nanti sore aku mau ke Galeria," ujar Vina yang duduk manis di sampingku.
Sudah ada beberapa teman yang datang. Sama seperti aku dan Vina, mereka memilih duduk-duduk saja di bangku masing-masing.
"Mau ngapain?" tanyaku lalu mulai membuka novel Hyouka.
"Mau ikut? Aku mau nonton. Tapi nggak tahu sih, film apa aja yang lagi tayang."
Mataku membeliak. Beberapa kata untuk mengiyakan ajakan itu sudah siap tersembur. Akan tetapi, aku langsung teringat pada rencanaku untuk membeli cat tembok. Itu artinya, aku harus amat sangat berhemat.
"Kalo mau traktir, aku ikut deh," kataku akhirnya.
Vina cemberut dan langsung menyalakan handphone-nya. "Aku mana ada uang buat nraktir," semburnya. "Aku aja harus ngemis-ngemis ke ayahku."
"Hihihi... Sori Vin, aku lagi berhemat buat ngedekor ulang kamarku."
"Terserah." Vina pun kemudian sibuk dengan handphone-nya. Kegiatan yang sangat sulit ia tinggalkan saat ada waktu luang.
Beberapa menit kembali berlalu. Kelas yang awalnya sunyi, perlahan-lahan berubah ramai karena teman-temanku sudah banyak yang berdatangan.
Namun suara Ria yang melengking menciptakan kehebohan yang mengalihkan pandangan semua orang.
"Ini gila!!!" teriaknya dengan napas terengah-engah. Sepertinya cewek itu berlari dari suatu tempat untuk menyampaikan berita yang begitu penting. "Mariana ternyata..."
Ria berhenti yang membuat semua mata di kelas XI IPS 2 semakin penasaran.
"Apaan???" tuntut Vina, begitu bersemangat. Karena secara alami, ia bisa mendeteksi berita yang akan menjadi gosip terkenal.
"Mariana aslinya nggak kayak yang sekarang!" jelas Ria dengan napas yang sudah pulih. "Kayaknya dia operasi plastik atau apa. Yang jelas aslinya jelek banget!"
Bisik-bisik dengan cepat menyebar di seluruh kelas. Hanya aku yang mematung dengan detak jantung yang semakin meningkat. Apa yang Ria barusan bilang?
"Darimana kamu bisa tahu?" tanya Vina yang sudah berdiri dari kursinya.
"Ada fotonya di grup angkatan adik kelas," jawab Ria lalu berjalan menuju kursinya. "Ini aku dapat fotonya."
Aku mengikuti gerakan Vina yang mengambil handphone Ria untuk melihat foto yang dimaksud cewek itu. Dan seperti itulah, foto lama Mariana terpampang di ponsel temanku.
Dari tatapan sekilas saja, aku sudah tahu bahwa foto itu sudah dipotong. Sebab bila ditampilkan utuh, ada aku di sebelah Mariana mengenakan kaos bergambar kartun Disney. Aku sangat hafal di luar kepala karena foto itu sebelumnya tersimpan di flashdisk-ku yang hilang Jumat lalu di lapangan basket.
Aku pasti mati sekarang. Rupanya orang yang menemukan flashdisk-ku memiliki kreativitas yang tinggi hingga mampu menciptakan kehebohan seperti ini.
Tetapi bagaimana Mariana? Dimana dia sekarang?
Aku bangkit dan berlari menuju ke kelasnya. Masih bisa aku dengar teriakan Vina yang bertanya aku akan pergi ke mana. Hanya saja aku tidak punya waktu menjawabnya.
Ketika melewati kantin, aku hampir bertabrakan dengan Suga yang keluar dengan buru-buru dari sana.
"Mau kemana?" tanyanya dengan nada santai. Apa dia belum melihat foto itu?
"Mau ke kelas Mariana. Aku harus tahu keadaan dia sekarang."
"Mariana nggak ada. Aku tadi sempat lihat dia putar balik di perempatan Kerobokan setelah menelpon seseorang."
"Kamu udah lihat foto itu?"
Suga mengangguk tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa jijik. Dia malah bertanya padaku kenapa aku nampak begitu khawatir.
Aku sudah akan mengajak Suga bicara di suatu tempat untuk mengatakan semuanya ketika handphone di saku baju-ku berdering. Telpon dari Mariana.
"Sepulang sekolah aku tunggu kamu di Pantai Batu Bolong. Temui aku di Cafe Bonnie!" cerocos Mariana bahkan saat aku belum berkata apapun. "Jangan sampai kamu nggak datang!"
Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk bicara atau menyanggah atau apapun, Mariana tahu-tahu sudah menutup telponnya.
"Dari Mariana?" tanya Suga yang masih berdiri di hadapanku.
"Ya, itu tadi Mariana,” Aku lemas. Tubuhku kehilangan tenaganya.
"Ada apa?"
"Aku nggak bisa ngomong sekarang, Ga. Nanti setelah ketemu Mariana aku cerita ke kamu."
Suga sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Tapi hal itu urung dilakukannya setelah memandang wajahku cukup lama. Dia pasti melihat kegetiran di sana.
"Apa perlu aku antar pas ketemu dia nanti?"
Aku menggeleng. "Nggak, Ga. Aku mau balik ke kelas dulu."
*****
Aku tahu Cafe Bonnie. Tempat itu terletak tepat di pinggir Pantai Batu Bolong. Saking bagusnya tempat itu, para pengunjung bisa memilih tempat duduk yang juga berjejer di atas pasir pantai. Tahun lalu, Vina mengajakku makan malam eksklusif di tempat ini dalam rangka ulang tahunnya yang ke tujuh belas.
Sewaktu aku sampai di sana, Mariana ternyata sudah menungguku di salah satu meja yang berada di bagian dalam cafe. Jauh dari jangkauan semua orang sebab para pengunjung lainnya lebih memilih meja-meja yang menghadap ke pantai.
"Bukannya aku udah nyuruh kamu buat ngehapus semua foto itu!" jerit Mariana begitu aku tiba di hadapannya. "Kenapa malah kamu sebar kemana-mana?"
Aku bahkan belum duduk. Wajah gadis itu terlihat sangat terluka. Rupanya ini masalah yang sangat serius. Padahal hanya sebuah foto.
"Aku nggak mungkin hapus foto-foto itu gitu aja." Aku mengajukan pembelaan lalu duduk. "Itu kenangan yang berharga banget buat aku. Dan bukan aku yang nyebarin foto itu ke semua orang."
"Jadi foto itu bisa nyebarin diri sendiri gitu?" Mariana yang tadinya nampak begitu terluka berubah menjadi ganas. Kalau memang bisa, dia pasti ingin sekali menelanku hidup-hidup. "Lagian kenangan kayak gitu nggak ada harganya."
"Semua foto sebenarnya sudah aku pindahin ke flashdisk. Dan Jumat lalu aku kehilangan flashdisk itu," ceritaku perlahan. "Kamu inget waktu kita ketemu di lapangan basket sore itu? Aku ke sana buat nyari flashdisk-ku"
Mariana masih memandangiku. Kali ini, aku bahkan tidak bisa melukiskan seperti apa ekspresinya. Dahinya beberkerut. Sepertinya ia sedang sibuk mencerna informasi, menyatukan semua kepingan yang sebelumnya terpecah di dalam kepalanya.
"Kamu nggak benar-benar pacaran sama Suga?" ucap Mariana pada akhirnya. Ada binar ceria di matanya ketika mengucapkan kalimat ini.
"Nggak pernah. Bahkan aku baru pertama kali ngomong sama Suga sore itu," ungkapku. "Tapi aku bersumpah, aku nggak pernah nyebarin foto kamu."
Mariana tidak langsung membalas ucapanku. Dia lebih suka memandangi suasana pantai yang meski matahari sedang menyorotkan sinarnya dengan terik, para turis berkulit putih itu tetap asyik bercengkerama dengan sesamanya.
Saat beralih kembali kepadaku, wajah Mariana kembali terlihat penuh amarah.
"Tetap aja ini salahmu," ujarnya dengan suara bergetar. "Coba kamu dengerin aku dan mau ngehapus semua foto itu, nggak bakal terjadi kejadian kayak hari ini. Kamu nggak tahu apa-apa, Rin."
"Aku mungkin nggak tahu apa-apa. Tapi aku hanya melakukan hal yang menurutku benar, buat menghargai salah satu masa terindah dalam hidupku."
"Kamu menghargai satu masa dalam hidupmu dengan cara menghancurkan hidupku!"
"Aku sama sekali nggak pernah menghancurkan hidup kamu. Memang apa yang salah, sih? Itu toh cuma foto?"
"Cuma foto? Buat kamu itu cuma foto. Tapi itu lambang keburukan dan keputusasaan yang nggak akan pernah mau aku pedulikan lagi. Aku benci semua itu. Aku benci diriku yang itu!”
Aku tahu Mariana mengalami krisis kepercayaan diri yang parah. Dia tidak sanggup menerima semua ejekan terhadap fisiknya di masa lalu. Dia memutuskan melakukan jalan pintas dengan cara mengubah dirinya menjadi orang lain agar dapat diterima oleh lingkungannya.
"Nggak peduli bagaimana bentuk tubuh kamu, nggak peduli bagaimana bentuk wajah kamu, nggak peduli apa warna kulit kamu," kataku, “Toh kamu masih tetap bisa memilih melakukan hal yang kamu sukai. Hidup ini adalah tentang melakukan hal-hal yang kita sukai bersama orang-orang yang kita sayangi."
Ucapanku tidak memberikan pengaruh apapun terhadap cewek di hadapanku. Mariana masih nampak marah dan kalau aku tidak salah tebak, sepertinya kemarahannya akan kembali meledak.
"Jangan ceramah di depanku!" bentak Mariana yang membuatku cukup kaget. Beberapa orang yang sedang melakukan pembayaran di kasir bahkan menoleh ke arah kami. "Tahu apa kamu soal hidup. Aku bukan kamu yang rela terus menerus berada di dalam lumpur."
Aku rasa pembicaraan ini tidak akan menemukan ujungnya. Mariana bersikeras dengan pendiriannya bahwa hidupnya harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh entah siapa.
"Bukan aku yang menyebarkan foto-foto itu. Flashdisk-ku hilang dan orang yang menemukan flashdisk-ku itu adalah pelakunya." Aku lalu berdiri. "Aku bakal cari pelakunya."
"Kamu mau nyari pelakunya?" sindir Mariana. "Setelah itu apa? Namaku udah hancur. Semuanya nggak akan sama lagi."
"Pelan-pelan kamu pasti bisa menerima kenyataan. Sabar aja."
"Berengsek kamu, Airin!" Mariana memandangku dengan tatapan penuh dendam.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah segera pergi dari hadapannya.
Saat sedang mengenakan helm, mataku menangkap seseorang yang sangat aku kenal. Cowok itu berjalan dengan gaya yang sangat cuek dan sudah pasti, sedang menuju ke arahku.
Suga tersenyum lalu melambaikan tangannya padaku.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
