
Deskripsi
Aku tahu, hari ini akan berjalan sama seperti hari-hari sebelumnya. Sejak lulus kuliah tiga tahun yang lalu, setiap hariku merupakan rangkaian rutinitas sama yang membosankan. Kadang aku berpikir ingin pulang kampung, tinggal bersama orang tuaku.
Tapi apa kata orang nanti? Sudah kuliah tinggi-tinggi dan akhirnya kembali ke desa tanpa membawa apapun. Memikirkan perkataan orang-orang di kampung membuatku selalu mengurungkan niat itu. Rasanya bahkan lebih berat ketimbang berada di sini dan hanya bekerja...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
Kategori
Cerpen
Sebelumnya
Cerpen: Kiss Me under the Stars
3
0
Siapa yang bisa aku salahkan? Devi yang lupa membawa buku catatan-ku atau aku yang telah meminjamkan buku itu kepadanya.Sebenarnya aku sudah diperingatkan oleh Mia soal sifat Devi yang tidak bertanggung jawab. Kata Mia, saat masih SMP dulu (mereka sekolah di SMP yang sama), Devi pernah berkata akan menjemputnya agar mereka bisa sama-sama berangkat ke sekolah. Devi berjanji akan datang ke rumah Mia tepat jam 7 pagi. Tapi setelah menunggu cewek itu sampai pukul 7.15, dia sama sekali tidak muncul.Devi malah sudah cekikikan di bangkunya ketika Mia tiba di sekolah setelah sebelumnya mendapat ceramah dari guru BP karena datang terlambat. Sejak saat itulah, Mia tidak pernah mau percaya kata-kata Devi.Namun kemarin aku malah bersikap bodoh dan mau saja memberikan catatan sejarah-ku pada cewek itu. Padahal khusus untuk catatan yang itu, aku menganggapnya begitu berharga. Ada sesuatu di bagian belakang buku itu yang ingin aku simpan selamanya.Ah, biarin aja, El, toh kita udah tamat. Selesai. Dua bulan lagi status kita udah mahasiswa! ucap Mia berapi-api di telepon tadi sore.Tapi aku tidak mau membiarkannya begitu saja. Karena itulah, di malam yang dingin ini, aku nekat ke sekolah, berjalan pelan melewati halaman depan sekolah yang kosong dan merapatkan jaket agar tubuhku tetap hangat.Aku melangkahkan kakiku menuju ke ruang kelasku. Yah, yang kemarin masih menjadi ruang kelasku, sebelum aku memperoleh ijasahku secara resmi.Aku tidak merasa takut pada rumor soal hantu penunggu sekolah yang katanya suka menampakkan dirinya di malam hari. Bodo amat. Kehilangan catatan itu jauh lebih menyeramkan dari hantu apapun itu wujudnya. Namun sikapku yang berani juga disebabkan oleh fakta bahwa beberapa anak kelas XI sedang mengadakan kemah di lapangan upacara yang letaknya di tengah-tengah sekolah, berhadapan dengan ruang kelasku. Bekas ruang kelasku.Hai, Kak El, sapa Miko, kartunis di koran sekolah, tempat dimana aku menghabiskan seluruh waktu ekstrakurikuler-ku selama menjadi siswi SMA Nusantara. Ada apa nih? Udah kangen ama aku, Kak?Miko cengengesan. Memang seperti itulah dia. Akan tetapi bila sudah diserahkan tugas membuat karikatur, tangannya langsung bergerak cekatan hingga menghasilkan karikatur yang mampu memukau banyak mata.Kangen matamu, Ko, sahutku cuek dan tetap melanjutkan langkahku.Aku memang bukan siswi yang populer. Jadi jangan heran bila hanya Miko yang mau meluangkan waktunya untuk menyapaku. Mengingat aku hanya berkutat dengan koran sekolah, aku memang tidak mengharapkan sapaan dari banyak orang.Langkahku semakin dekat dengan ruang kelas XII IPS 1 yang artinya, aku sudah semakin dekat dengan buku itu. Aku tidak pernah berbagi apapun kepada siapapun tentang buku catatan itu. Bahkan kepada Mia pun aku tidak mengatakan apa-apa. Karena, bagaimana aku akan menjelaskan bahwa semua percakapanku dengan Grey aku tuliskan kembali di sana?Grey bukan sembarang cowok. Grey adalah pacar Miranda, sepupu favorit Mia, sahabat baikku. Dan Grey, Grey adalah cowok yang aku cintai diam-diam selama tiga tahun aku bersekolah di SMA Nusantara.Aku pertama kali bertemu dengannya di lapangan parkir, sehari setelah hari pertama sebagai siswi SMA dimulai. Grey yang baik dengan senyum yang menggemaskan membantuku menyingkirkan motor yang membuatku tidak bisa keluar dari tempat parkir sekolah.Aku suka cara Grey meluangkan waktunya untuk menolongku. Bagaimana ia berusaha membuatku tenang setelah sebelumnya aku hampir saja tertimpa sepeda motor. Itulah percakapan pertamaku dengannya dan aku menuliskannya kembali di buku harian-ku.Aku berpikir akan bisa mengobrol dengannya lagi di hari-hari berikutnya. Namun apa daya, ternyata Grey sudah ada yang punya. Dan untuk seorang cowok yang baik, tidak ada waktu baginya meladeni cewek aneh yang hampir membuat kacau tempat parkir sekolah.Barulah pada pesta perpisahan kemarin, Grey melakukan kebaikan terakhir dan mengajakku mengobrol. Rasanya seperti terbang ke langit. Cuaca yang panas terik seolah-olah berubah menyejukkan. Meski hanya obrolan singkat, aku berhasil menuliskannya di buku catatan sejarah, yang entah kenapa malah aku pinjamkan pada Devi.Tanganku merogoh ke kolong meja Devi, mencari buku tulis bergambar beruang. Tapi tidak ada apa-apa di dalam sana. Hanya ada bungkus camilan yang sudah berbau apak. Tidak ada buku catatan-ku padahal Devi bilang ia meninggalkannya di kolong mejanya.Aku tidak boleh menyerah. Buku itu pasti ada di sekitar sini. Jadi aku mulai memeriksa meja-meja yang lain, menjulurkan tangan ke dalam kolong meja dengan penerangan yang sangat minim. Namun hasilnya tetap nol besar.Aku sudah kehilangan buku catatan itu. Aku sudah kehilangan kenangan yang paling indah dalam hidupku.Lagi cari apa?Suara itu membuatku terlonjak, kaget. Aku kira yang datang adalah Pak Rudi, guru olahraga yang terkenal galak dan tidak berperasaan. Aku segera membalikkan tubuh, bersiap-siap dengan alasan yang sebenarnya gagal aku karang di dalam kepalaku.Mataku menatap sosok laki-laki bertubuh tinggi yang mengenakan hoodie hijau tua. Rambutnya di sisir acak-acakan atau kemungkinan besar ia tidak menyisirnya.Grey... Suaraku hilang ditelan kegugupan.Kamu lagi cari apa, El? tanya Grey lagi.Hal pertama yang terlintas di benakku adalah Grey ternyata masih ingat namaku. Sebelum ini aku berpikir ia mengajakku mengobrol hanya sebagai sikap basa basi karena kami akan berpisah. Tapi rupanya, aku mendapatkan tempat di pikirannya. Meski aku tahu, hanya tempat yang sangat kecil.Aku lagi nyari sesuatu, sahutku dengan suara mencicit seperti tikus.Aku bantu, ya? Grey melangkah, mendekat ke tempatku berdiri di tengah-tengah ruang kelas. Bisa kasih tahu aku deskripsi benda yang lagi kamu cari?Aku termenung. Masa aku harus mengajaknya mencari buku catatan yang di bagian belakangnya terdapat salinan percakapan kami kemarin? Apa kata Grey kalau sampai ia tahu? Dia mungkin akan mengira aku psikopat dan langsung lari dariku sejauh mungkin.Aku cuma nyari buku aja, kataku. Tapi kayaknya nggak ada. Mungkin kebawa sama temenku.Sepertinya aku harus segera mencari tempat tenang dan menyalin percakapan kami kali ini. Ini mungkin yang terakhir dan setelah ini, tidak akan ada kesempatan bagiku bisa bertemu dan mengobrol dengan Grey.Oh, gitu, ucap Grey. Entah kenapa ia menunjukkan gelagat mencurigakan. Ia terlihat seperti meragukan jawabanku. Meski memang aku juga asal-asalan menjawab, sih.Kalo gitu, gimana kalau kita ke lapangan sepakbola? usul Grey. Permintaan ini membuatku pusing. Bukan karena aku merasa takut tapi justru karena aku tidak mempercayai kata-kata yang baru saja aku dengar.Kamu mau? tanya Grey lagi karena aku belum juga memberikan jawaban. Ada acara api unggun di sana, tambah Grey lagi.Api unggun? tanyaku dan masih dengan suara mencicit. Oke,Bagus, ujar Grey dengan suara ceria.Grey berjalan lebih dulu dan dengan cepat, aku bergerak menyamakan langkah.Lapangan sepakbola SMA Nusantara terletak di bagian luar sekolah. Sebenarnya sih, lapangan itu bukan milik sekolahku melainkan lapangan milik desa setempat. Karena letaknya di samping SMA Nusantara, maka lapangan itu dinamakan Lapangan SMA Nusantara.Memang benar kata Grey, ada beberapa siswa yang sedang mempersiapkan api unggun. Mereka sedang menumpuk kayu bakar membentuk gunungan. Salah satu anak sudah siap dengan obor yang akan dilemparkan ke gunungan kayu tersebut.Darimana kamu tahu ada acara api unggun di sini, tanyaku. Aku masih berusaha bersikap santai dan mengabaikan jantungku yang bertalu-talu di dalam dadaku.Mereka teman-temanku dari ekskul basket, jawab Grey. Mereka bikin acara ini buat menghibur aku...Kalimat ini tidak membuatku berpikir yang macam-macam. Oke, Grey dihibur oleh teman-temannya dari ekskul basket sebab ketika tahun ajaran baru nanti dimulai, Grey sudah tidak bersama mereka lagi. Aku sama sekali tidak tahu ada alasan yang lainnya.Grey mengarahkanku duduk di bangku beton yang ada di pinggir lapangan. Aku perhatikan langit sedang sangat cerah. Bintang-bintang berkelap-kelip seolah-olah memberikan dukungan padaku yang tetap saja gugup.Aku dan Miranda udah putus...Aku perlu waktu beberapa detik untuk memahami kalimat itu. Begitu Grey mengenyakkan diri di sampingku, barulah aku sadar maknanya.Kenapa? tanyaku.Apa yang aku harapkan? Aku sempat berharap Grey akan bilang bahwa ia menyukaiku dan ingin aku menjadi pacarnya. Namun kemudian aku menyingkirkan pemikiran itu. Siapa aku sampai-sampai seorang Grey yang merupakan cowok paling keren di angkatan-ku bisa jatuh cinta padaku?Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya Elina, yang bahkan tidak menonjol dalam bidang akademik maupun olahraga. Mungkin sebuah keberuntungan sedang menghampiriku makanya aku bisa lolos masuk Universitas Negeri dan saat ini sedang mengobrol dengan Grey.Aku sebenarnya suka cewek lain, sahut Grey. Udah lama sekali... Udah sejak tiga tahun yang lalu. Aku pikir cewek itu nggak suka aku. Tapi kemarin aku tahu yang sebenarnya...Aku bingung harus bilang apa. Apa aku harus mengatakan betapa beruntungnya cewek itu? Tapi kok kedengarannya aku iri pada cewek itu? Aku tidak mau Grey mengenangku sebagai cewek pencemburu yang ditemuinya sedang kebingungan di akhir masa SMA-nya.Cewek itu bilang dia suka sekali suasana malam hari, kata Grey. Matanya menerawang jauh ke langit. Dia juga suka langit penuh bintang dan dia ingin aku menciumnya di bawah bintang-bintang.Kalau bukan karena kata-kata itu begitu familiar di telingaku, aku mungkin akan berkata bahwa cewek yang disukai Grey sangat romantis. Tapi kata-kata yang baru saja diucapkan Grey adalah kata-kataku. Semua itu aku tulis di akhir salinan percakapan kami di bagian belakang catatan sejarah-ku.Grey... Aku...El, aku minta maaf. Aku terlalu takut buat hanya sekedar nanya kabar kamu. Padahal aku pengen...Detak jantungku yang sebelumnya sempat tenang kini telah kembali ke kondisi yang tidak biasa. Aku tidak percaya pada apa yang baru saja aku dengar. Apa Grey sedang mengatakan kalau ia menyukai aku?Aku suka kamu, El, ujar Grey. Pertanyaanku terjawab. Di hari pertama kita ketemu di lapangan parkir waktu itu, aku langsung suka sama kamu... Dan sampai sekarang masih kayak gitu.Aku hanya bisa memandangi Grey yang sekarang juga sedang menatapku dengan lembut.Mia bilang kamu ingin fokus belajar dan nggak mau pacaran. Makanya aku nggak berani dekat-dekat sama kamu. Aku nggak mau cita-cita apapun yang sedang kamu kejar, berantakan gara-gara aku. Dan waktu Miranda mendekatiku...Aku tahu cerita selanjutnya. Jadi ini ada hubungannya dengan Mia? Orang yang selama tiga tahun ke belakang sangat aku percaya. Apa boleh aku mencekik lehernya?Grey... Aku ingin mengucapkan sesuatu yang terdengar pantas tapi aku tidak tahu harus mengeluarkan kata-kata seperti apa.Grey menggenggam tanganku. Ayo kita mulai cerita kita, katanya. Dan buku catatan kamu itu, ada di aku. Jadi kamu nggak perlu repot-repot mencarinya lagi.Aku mengangguk. Ayo, jawabku. Ada kebahagiaan yang menyusup ke seluruh tubuhku yang kontan membuat bibirku terangkat, tersenyum.Perlahan-lahan, Grey mendekatkan dirinya ke arahku. Dengan lembut, ia menekankan bibirnya ke bibirku. Aku tidak percaya, apa yang kemarin aku tulis benar-benar menjadi kenyataan.Grey menciumku di bawah bintang-bintang.TAMAT
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan