"Karena sampah tempatnya di tempat sampah, bukan di rumah yang bersih, asri dan indah."

"Laki-laki kemanapun dia pergi, suatu saat pasti pulang ke istrinya."

"Kalau kembalinya sudah tua buat apa, Pak? Nggak guna!" balas Karmila tersenyum mengejek dan menatap tajam.

"Lancang sekali kamu," geram Rizwan menunjuk-nunjuk muka Karmila dengan mata melotot tajam. "Apa yang kamu bisa dengan keputusanmu?"

"Harga diri."

Rizwan berdecih–tersenyum remeh berpikir Karmila tidak pantas menyebut harga diri. "Kamu punya harga atas diri kamu? Hmm? Berapa?"

"Tak ternilai."

Rizwan kemudian tertawa sumbang. "Kamu mengada-ada, Mila. Kalau kamu punya uang, setiap orang yang kamu jumpai akan ada harga yang bisa kamu beli."

"Saya tahu, tapi itu bukan saya. Saya nggak bisa dibeli dan nggak akan membeli martabat orang lain untuk kepentingan saya. Bapak nggak usah capek-capek bujuk saya untuk mengubah keputusan saya," timpal Karmila tegas terdengar meyakinkan.

"Saya nggak suka ada yang menentang keputusan saya, Mila."

"Saya bukan perempuan yang sudi dijadikan istri rasa pelacur. Maaf, Pak, saya nggak bisa. Saya lebih memilih mencari kebahagiaan saya sendiri daripada tetap tinggal di sini."

"Apa lagi yang kamu bisa selain soal harga diri?" desak Rizwan mencemooh prinsip hidup Karmila. Dia bermimik licik saat mendekat pada Karmila. "Bukannya selama ini harga diri kamu sudah dibeli?"

Karmila terkesiap di balik wajah pongah yang terlihat percaya diri. Penuturan Rizwan membuatnya mematung seketika karena tidak mengerti.

"Selama kamu menjadi menantu, berapa banyak uang yang kamu dapat untuk orang tua kamu? Saya berani jamin kamu nggak pernah menghitungnya!"

Rahang Karmila mengeras di balik raut wajah yang rumit dijabarkan. Uang bulanan untuk orang tuanya yang diberikan oleh suaminya, diungkit sebagai pembelian harga diri?

Kebaikan yang dikira tulus, tak dinyana hanya topeng menutupi kebusukan. Kebaikan yang memuncak berbentuk sandiwara hingga waktunya tiba untuk meledak.

Kata-kata Rizwan menjadi anak panah yang menghujam jantung Karmila. Meruntuhkan harga diri Karmila yang selama ini dijaga dengan baik.

"Katakan, Mila. Berapa banyak yang diterima orang tua kamu selama kamu menjadi menantu saya?" ulang Rizwan menekan psikis Karmila dan mengacau pikirannya.

Karmila masih diam.

"Dari awal kamu menikah dengan anak saya, harga diri kamu sudah saya beli. Keputusanmu untuk pergi bukan keputusan tepat, Mila. Tempatmu di sini, bukan di sana!" desis Rizwan berapi-api.

Terus ditatap garang oleh Rizwan, nyali Karmila sedikit menciut. Dalam geming, pernyataan Rizwan yang mengejutkan membuat Karmila bingung.

Rizwan terus mendekat, membuat Karmila merasa tersudut dan akhirnya angkat bicara.

"Apa mau Bapak dari saya?" Suara Karmila kembali tegas, agar Rizwan tak melihatnya kalah karena terpojok.

"Urus ibu mertua kamu sebagai balas budi!" desis Rizwan kini terlihat menakutkan.

"Kenapa harus saya? Bapak punya uang 'kan? Kenapa Bapak nggak sewa perawat buat rawat istri Bapak?" tantang Karmila menggeram. "Oh, saya lupa. Bapak takut borok Bapak terbongkar di luaran. Ckckckc … kasihan sekali. Aghhh!"

Karmila spontan berteriak saat Rizwan mencengkram rahangnya. Sakit terasa di tulang pipi dan rahang gigi–serasa mau copot karena tekanan yang sangat kuat. Mata Rizwan mendelik seram dengan kulit putihnya yang memerah.

"Sekali kamu masuk ke dalam keluarga ini, seumur hidup kamu nggak bisa kabur. Kesempatan itu nggak akan pernah ada buat penerima uang saya," desisnya lagi memainkan psikis Karmila agar mundur dan mengalah.

Karmila mengerang hebat karena tangan Rizwan semakin kuat menekan tulang rahang, yang membuat kepalanya mendongak dan kesulitan berbicara.

Kedua tangan Karmila berusaha melepas cengkeraman tangan Rizwan. Gerakannya itu membuat kesakitan Karmila bertambah dan menjerit dari tenggorokan.

“Jangan coba-coba melawan saya, Karmila. Atau keluarga kamu menerima akibatnya,” lanjut Rizwan tersenyum sinis, lalu melepas cengkeraman.

Karmila terhuyung ke belakang, karena pelepasan itu lebih terasa sebagai dorongan Rizwan. Tubuh sedang Karmila nyaris jatuh ke lantai karena gerakan mundur cepat. Dia sigap membentuk keseimbangan menggunakan tangan sebelum tulang ekornya membentur lantai.

Rambutnya yang pirang kecokelatan menutup sekilas wajahnya, lantas kembali terlihat jelas setelah Karmila menyingkirkannya lagi. Karmila berdiri lagi dengan tegak dengan napas tersengal dan mengangkat kepalanya angkuh, menunjukkan keberaniannya pada Rizwan bahwa dia tidak akan mundur apa pun yang terjadi.

“Saya nggak akan berani melawan Bapak, kalau Bapak memuluskan jalan saya untuk pergi dari sini. Cukup saya menjadi korban dan menahan semua sakit karena ulah anak Bapak,” ujar Karmila, matanya tajam menyorot Rizwan.

Pria itu berdiri garang di hadapan Karmila masih dengan wajah seperti udang rebus. Bukan pertama kali Karmila mendapat kekerasan di rumah itu. Psikis menjadi yang paling kentara, sementara kali ini menjadi yang pertama Karmila mendapat kekerasan fisik.

Mertua dan menantu itu berdiri berhadapan saling menantang. Sama-sama tidak mau kalah–menunjukkan ego yang terluka karena mempertahankan harga diri.

“Kamu kacang lupa pada kulitnya,” ujar Rizwan masih menekan setiap kata. “Semua yang kamu dapat sejak menginjakkan kaki di rumah ini, punya tebusan yang harus kamu bayar. Semua yang kamu tahu di rumah ini, harus tetap ada di rumah ini. Satu orang pun nggak ada yang boleh membicarakannya di luar rumah ini. Termasuk kondisi istri saya!”

Rizwan diam sesaat, lalu melanjutkan, “Urus dia sampai mati. Kalau bisa buat dia ingin cepat pergi dari dunia ini. Saya bosan melihat mayat hidup.”

“Tega sekali Anda, Pak Rizwan! Pengusaha kaya dikenal rendah hati dan dermawan, rupanya lebih dari hewan buas pada keluarga. Seharusnya bukan Anda yang menjadi suami Bu Shalimar.”

PLAK

“Tutup mulutmu, Karmila! Saya nggak pernah sungkan menghabisi orang-orang yang melawan saya!” bentak Rizwan menggerus udara untuk bernapas. Menekan Karmila seharusnya tidak sulit, tetapi kali ini dia seperti kehabisan cara.

Karmila terdiam dengan kepala menunduk ke samping karena tamparan keras Rizwan. Tangannya memegang pipi yang sakit, matanya melotot berang, dan bernapas cepat. Dia lantas menoleh beringas pada Rizwan dengan bibir menipis dan gigi yang merapat.

“Pantas laki-laki di rumah ini nggak ada yang menghormati perempuan, ternyata mereka berguru pada orang yang bahkan nggak pantas disebut Papa!”

PLAK

“DIMAN!” teriak Rizwan dari ruang tamu.

Pelayan kepercayaannya itu datang tergopoh-gopoh. “Iya, Tuan.”

“Bawa dia masuk ke dalam. Kunci sampe Aditya pulang!” katanya lantang menggelegar.

“B-baik, Tuan.” Pelayan itu lekas menghampiri Karmila dan menyeretnya dengan kasar ke kamar.

Karmila yang melawan membuatnya kesulitan sepanjang menggiringnya ke kamar tidur yang Karmila tempati. Pelayan laki-laki itu mendorong Karmila dengan kasar ketika di pintu masuk kamar, lantas menguncinya. Sebelum benar-benar pergi, dia bicara dari balik pintu.

“Tunduk saja pada majikan yang memberimu hidup daripada mati konyol!”

Setelahnya, Karmila tak lagi mendengar suara dari balik kayu jati tersebut. Ancaman Rizwan tentang keluarga Karmila mengurung niatnya untuk maju, tetapi Karmila tidak bisa mundur begitu saja. Tekadnya kuat untuk pergi dari rumah besar seperti neraka itu. Istana mewah penuh kepalsuan dan pengkhianatan. Rumah konglomerat yang penuh penderitaan.

Karmila Sutardi tetap pada pendiriannya untuk bercerai.

TP-1