
Kenapa pernikahan terasa seperti transaksi jual beli dan perlombaan? Jika ada seseorang datang menunjukkan keseriusan, sepatutnya diterima tanpa tebang pilih. ‘Daripada tidak ada yang mau’ kalimat yang paling sering Nova dengar dan dia merasa orang-orang di luar sana memperlakukan seseorang yang belum menikah di usia menikah dengan buruk. Bagi Nova, kalimat itu tak ubahnya barang dagangan yang belum laku terjual.
“Udah lima tahun kamu menjanda, kapan nikah lagi? Belum ada laki-laki yang dekat sama kamu?”
Satu pertanyaan yang paling Nova hindari dari sekian pertanyaan yang ada. Sejatinya pernikahan bukan hanya janji yang diucapkan dua anak manusia di depan wali nikah atau pendeta di altar gereja, tetapi satu kesatuan utuh yang saling mengisi, melengkapi dan saling melayani.
“Nova mau sendiri dulu, Om, sekalian urus Bapak. Nova juga masih nyaman kayak gini.”
“Om ngerti, tapi ingat bapakmu. Dia juga pengen tenang di hari tuanya sekarang. Pengen kamu punya suami yang baik, yang benar-benar amanah soal tanggung jawab dan hak asuh yang dialihkan dari bapakmu. Biar bapakmu tenang, nggak pikiran lagi kalau sewaktu-waktu dipanggil Tuhan.”
“Om!” sentak Nova dengan muka tak suka. Bukan karena nasihat yang benar adanya, tetapi karena ucapan Nasir tentang kematian. Nova tidak siap kehilangan ayahnya, yang menjadi pelindung dan harta satu-satunya yang dia punya.
“Apa? Ada yang salah?” sahut Nasir enteng. “Om kasih nasehat, apa salah? Yang Om bilang bener ‘kan?”
“Kalau Om mau nasehat, ya nasehat aja, Om. Nggak usah bilang-bilang kalau Bapak perg—“
“Kita semua pasti pergi, pulang ke pangkuan Ilahi. Itu kenyataan. Apa yang dipermasalahkan dari kematian?” potong Nasir masih dengan enteng.
“Mumpung bapak kamu masih ada dan sehat, jangan lama-lama, Nov. Supaya bapakmu menikmati hari tua dengan tenang, main sama cucu, nggak kesepian lagi,” imbuh Leni membuat situasi bertambah panas.
Mendengar ocehan mereka sungguh menguras energi yang Nova punya. Kupingnya panas harus mendapat tuntutan berbalut nasihat pernikahan berdalih menyayangi orang tua.
Bukankah kesendiriannya sekarang membawa kemudahan untuk bisa berbakti pada ayahnya sebelum malaikat itu datang? Bukankah keberadaan dirinya menghilangkan kesepian ayahnya?
Kenapa orang-orang suka merusuh di hidup orang lain? Terus memberondong seorang lajang dengan pertanyaan ‘kapan sebar undangan?’
‘Daripada tidak ada yang mau’ kalimat yang paling sering Nova dengar dan dia merasa orang-orang di luar sana memperlakukan dengan buruk seseorang yang belum menikah di usia menikah. Bagi Nova, kalimat itu tak ubahnya barang dagangan yang belum laku terjual.
Nova menertawakan mereka dengan senyum miring. "Kenapa pernikahan jadi kayak transaksi jual beli dan perlombaan? Kalau ada orang yang datang menunjukkan keseriusan, sepatutnya diterima tanpa tebang pilih."
“Om nggak takut kehilangan istri dan anak-anak?”
Entah kenapa Nova mendadak lancang melontarkan pertanyaan tersebut. Menurutnya, Nasir terlalu enteng bicara kematian seolah-olah tak ada ketakutan di nada bicara, sorot mata dan raut muka. Apa dia benar-benar tidak takut?
“Kamu kok malah serang balik om kamu?” ketus Leni, “Om dan Tante ngomong benar, Nov. Harusnya kamu pikirkan diri kamu kalau nggak mau peduli sama bapakmu. Kalau bapakmu pergi, kamu sama siapa? Kalau kamu menikah, kamu punya keluarga sepeninggal bapak kamu.”
“Tante! Nova nggak suka Tante ngomong kayak gitu!”
“Nova! Yang sopan ngomong sama tante kamu!” bentak Nasir.
Leni mencebik. Di matanya, Nova terlalu berlebihan menyikapi pembicaraan mereka.
“Kayaknya nggak salah dia diceraikan mantan lakinya. Ternyata begini kelakuannya. Nggak sopan, bentak-bentak orang tua, ngebantah nasihat baik orang tua," cibir Leni dengan sengit.
Di sini, di ruang tamu rumahnya, Nova mendadak menyesali menerima saudara kandung dan ipar ayahnya.
Terlebih mereka menginap di rumahnya demi berkah Tuhan karena memuliakan tamu. Namun, tamu yang dimuliakan justru mengusik tuan rumah yang butuh ketenangan hidup.
Seperti tak cukup, dia juga disalahkan atas perceraiannya yang sudah me
"Lantas, Tante pikir Tante pantas jadi istri Om Nasir?" sentak Nova berang.
"NOVA!!!" pekik Nasir dan Leni serentak.
Mereka bertiga terdiam–saling menatap merasakan darah mendidih naik ke puncak kepala. Saling kecewa pada sikap dan kata yang telanjur terucap.
"Jaga sikap kamu. Hormati tantemu!" bentak Nasir. "Dia istri Om!"
"Oh Tuhan! Makin tua makin nggak punya tata krama. Begini ajaran bapakmu berdebat dengan orang tua?"
"Tante! Jangan bawa-bawa didikan Bapak. Nggak ada hubungannya dengan didikan Bapak!" berang Nova dengan napas mendengus keras. "Ini sikap Nova sendiri karena sikap Tante yang berlebihan!"
"Berlebihan kamu bilang?" sengit Leni.
“Baik-baik kamu bertingkah laku biar mudah rejeki dan jodoh. Umur udah dua puluh delapan tahun, udah waktunya kamu bersuami, punya anak, hid—
“Om, tolong, Nova nggak mau bahas ini. Nova masih pengen urus Bapak. Nova nggak masalah hidup sendiri kalau nanti ajal Bapak datang. Tapi, tolong, Nova minta tolong dengan sangat sama Om dan Tante, tolong jangan bahas lagi soal kematian Bapak dan jangan campuri lagi urusan Nov—“
“Maksud kamu apa, Nov? Kamu bilang kami ikut campur urusan kamu, begitu?” sanggah Leni setengah memekik. “Tante ini pengganti ibu kamu, Om kamu ini wali nikah kamu kalau bapakmu nggak bisa nikahin kamu sebagai wali. Kamu nggak punya saudara kandung apalagi yang laki-laki. Dan kamu bilang Tante berlebihan?”
Rasanya ingin sekali Nova mengusir mereka dari rumahnya. Bisakah dia melakukannya sekarang juga? Dadanya sakit dan sesak disetir dan disudutkan oleh orang tua yang mau tak mau, harus dihormati karena ikatan darah dan pernikahan.
“Kami melakukan ini karena sayang sama kamu, bukan ikut campur. Kalau ibu kamu masih ada, Tante dan Om nggak akan menasehati kamu kayak gini,” ucap Leni bertambah naik pitam.
Sakit sekali Nova mendengar ucapan Leni. Meskipun belasan tahun berlalu, nyatanya luka karena kehilangan masih saja basah. Sekarang harus dirasa pedih karena garam yang Leni taburkan. Hatinya bergemuruh panas, menarik napas dalam-dalam pun juga tidak memberi perubahan.
Lidah memang tak bertulang, tetapi lidah menjadi pemusnah paling tajam dari tajamnya pedang. Nasir dan Leni memang orang tua, tetapi tidakkah mereka menghargai dan menghormati keputusan keponakan mereka yang masih betah menjanda?
Di usia dewasa dan pernah gagal berumah tangga, bukankah keputusan Nova sudah benar untuk tidak buru-buru mencari suami baru?
“𝘉𝘢𝘱𝘢𝘬 𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬 𝘳𝘦𝘭𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘳𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘺𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩. 𝘉𝘢𝘱𝘢𝘬 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶, 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢-𝘯𝘢𝘱𝘢, 𝘉𝘢𝘱𝘢𝘬 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢?”
Kata yang terucap dari mulut ayahnya masih terngiang jelas di telinga Nova. Sejak kasus perceraian itu, ayahnya cukup banyak memberi nasihat. Nova mengerti keresahan ayahnya itu. Tak ada Ayah yang akan membiarkan anaknya terluka oleh orang lain. Walaupun berpindah hak asuh, Ayah tetaplah Ayah, yang tidak akan sudi melepas anak perempuan yang disayanginya begitu saja.
“Om, Tante, Nova terima kasih banget sama Om dan Tante berdua. Peduli dan sayang sama Nova, tapi Nova bukan lagi anak umur dua puluhan apalagi abg. Nova udah di usia dewasa, usia yang menentukan jalan hidup sendiri, membuat keputusan untuk diri sendiri dan orang lain, usia yang membuat Om dan Tante merasa udah waktunya buat Nova melepas status janda,” papar Nova dengan hati-hati. “Karena usia dewasa itulah Nova putuskan memilih sendiri untuk sekarang. Nova paham maksud baik Om dan Tante, tapi tolong … hargai keputusan Nova untuk sekarang.”
Sebagai orang tua, seharusnya mereka mengerti beratnya membawa beban luka pernikahan yang bertubi-tubi setiap hari. Nova bukan tidak mau melepas beban tersebut, tetapi memaksanya pergi atau menghapusnya dengan paksa membuat Nova semakin tersiksa.
Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengobatinya, Nova hanya berharap lukanya benar-benar sembuh tanpa rasa sakit yang terasa setiap kali bersinggungan dengan pemicunya.
“Benar-benar keras kepala!” ketus Leni. “Mau sampe kapan kamu menjanda, Nova? Menikah nanti atau sekarang apa bedanya? Makin kamu ulur waktu buat menikah, makin kecil peluang kamu punya anak. Ingat, kita perempuan punya keterbatasan! Rawan hamil di umur tua dan monopos.”
“Makin cepat makin baik. Seenggaknya kesempatan kamu masih besar buat punya anak. Kamu nggak sakit apa-apa ‘kan?” imbuh Nasir menatap gondok pada Nova.
“Menikah sekarang juga belum tentu punya anak, Om,” lirih Nova.
“Nah, kamu paham soal itu. Lantas kenapa masih ngeyel nggak mau nikah secepatnya?” sahut Leni semakin sengit. “Kalau sekarang aja belum tentu bakal punya anak, apalagi nanti. Mikir kamu, Nova. Mikiiir!”
“Bukan hak kita menentukan, Tante. Itu keputusan Tuhan. Nggak boleh ada yang melanggar hak Tuhan sebagai pencipta bumi dan isinya,” balas Nova dengan geram yang ditahan.
Dia berusaha tidak lepas kendali, karena ceramah tak bermutu saudara ayahnya. Dari psikolog yang pernah dia datangi, meminta rasa mengerti pada orang yang tak berempati, hanya akan membuat diri semakin sakit.
Lantas, apa mereka harus menjadi korban kehancuran rumah tangga, agar bisa merasakan luka batin akibat perceraian, KDRT, dan tekanan psikis secara verbal?
Leni menatap sengit pada Nova, lalu menatap suaminya yang mengembus napas dengan muka menegang.
"Kamu benar, Nova. Sebagai manusia kita cuma bisa berusaha, bukan menentukan. Jadi, tugas kamu sekarang cuma berusaha bukan menentukan. Berusahalah kamu mendapatkan jodoh dan anakmu, biar akhirnya Tuhan yang tentukan," balas Nasir geram, kemudian berlalu.
Kepergian Nasir yang diikuti Leni ditatap Nova dengan sangar. Napasnya kuat ditarik, matanya bersorot benci dan keningnya mengerut. Bagaimana mereka sesuka hati mengaturnya sedemikian rupa sementara ayahnya masih hidup?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
