Backfire -One Shot-

1
0
Deskripsi

Seorang tentara muda harus terjun di medan pertempuran tanpa bekal pengalaman yang memadai. Kejadian mulai mencekam saat satu-satunya tentara senior di lapangan harus tewas terbunuh dengan serangan rudal mematikan dari musuh.

 

                Langit berwarna merah, dihiasi oleh darah-darah prajurit yang menguap ke angkasa. Tidak ada rasa kemanusiaan di sini, siapa yang lengah ia akan mati. Pertempuran terjadi sampai ke jantung-jantung kota, harapan orang-orang yang masih hidup seakan-akan musnah dalam satu letupan dari moncong senapan. Pohon hijau berubah merah, bangunan putih menjadi hitam. 

Seorang tentara muda membawa senapan didepannya, diikuti oleh tentara lain yang usianya sama dengannya. Mereka begitu tergesa-gesa padahal parasutnya saja masih belum dilipat setelah berhasil mendarat dengan selamat dari atas pesawat tempur.

“Hei cepat! Kami membutuhkan bantuan segera!” ucap seseorang tentara senior yang bersembunyi di balik tembok.

Tentara muda dan temannya segera menghampiri, baru saja akan mendekat sebuah rudal panas menghantam tanah tempat tentara senior berada. Ledakan besar terjadi, semuanya terpental. Naas bagi tentara senior yang berada di balik tembok tadi harus gugur, dan seketika formasi menjadi berantakan. Diantara kumpulan tentara muda yang selamat dari rudal tersebut tidak ada yang pangkatnya lebih tinggi, mereka kebingungan menentukan langkah selanjutnya.

Jet tempur yang melepaskan rudal memutar sekali lagi, belum puas dengan hanya membunuh satu tentara saja. Sang pilot melihat santapan mudah dari atas yang dapat menambah ke kolom daftar korbannya. “Maaf nak, tapi ini medan perang bukan arena bermain,” jarinya menekan salah satu tombol di kabin jetnya, lalu satu buah rudal lagi meluncur dari bawah badan jet.

“Kita…kita akan mati!” teriak salah satu tentara muda setelah melihat satu rudal lagi meluncur dengan cepat.

Mereka semua sempat berpencar, namun kekuatan rudal yang menghantam begitu kuat sehingga membuat tubuh mereka melayang ke udara. Pandangan menjadi sangat gelap, hanya suara bising dari mesin jet tempur yang terdengar.

                Beberapa saat setelah kejadian itu, salah satu seorang tentara muda terbangun dari tidurnya. Ia menarik panjang nafasnya dan mulai mencari keberadaan senapannya. Namun ia terdiam setelah mengetahui tempat yang ditempatinya sekarang. Berada di atas kasur yang empuk dan tebal dengan besi penyangga disisi-sisinya, banyak foto-foto menempel di dinding, korden besar di sebelah kanan dan kirinya yang menutup dari pemadangan dunia luar. Belum lagi ketika dia lihat kesampingnya, ada seragam dan senapan yang semula dicarinya berdiri tenang bersandar pada sebuah kursi kayu.

“Aku…di mana?” barulah tentara muda ini merasakan sakit yang hebat pada tubuhnya, setelah andrenalin terkendali. Ia pun baru menyadari bahwa badannya telah diperban, begitu juga dengan kepala dan lengannya. 

Lalu terdengar langkah kaki, mengetuk pintu dahulu dengan lembut dan masuk ke dalam. “Hei, tidurmu nyenyak?” sapa seseorang berkumis tipis, badannya tegap.

Tentara muda ini sedikit takut, ia mencoba meraih senapannya, namun tangannya terasa sangat sulit tuk digerakan.

“Hei, tenang…tenang, kamu berada di tempat yang aman,” mencoba menenangkan tentara muda itu. “di luar sangat kacau, tadi saya berjalan keluar setelah suara-suara berisik itu mendadak berhenti,” berjalan mendekati kasur lalu duduk di kursi kayu. “saya tahu semua ini gila, kamu beruntung masih bisa selamat,” tambahnya.

“Jadi…saya ada di mana?” tanya tentara muda.

“Kamu masih berada di tempat yang sama saat kamu bertempur tadi, hanya saja sekarang keadaan sudah terkendali. Mereka sudah pergi ke arena pertempuran lain,” ia menjulurkan tangannya. “oh iya saya Miller, warga lokal di sini,” tentara muda itu mencoba meraih tangannya namun lagi-lagi tangannya sulit digerakan. “ah iya, maafkan saya”

Tentara muda itu mengenalkan dirinya sebagai Harry Sterling.

                Miller pamit sebentar untuk pergi ke dapur setelah perkenalan singkat itu, hawa dingin mulai menusuk padahal tidak ada jendela yang terbuka. Harry sama sekali tidak menaruh curiga pada orang yang menyelamatkannya ini, padahal selama masa pelatihan yang melelahkan itu sudah dijelaskan bahwa untuk tidak mempercayai siapa pun yang mereka temui di medan perang. Tapi Harry selalu berpikiran positif, karena tidak mungkin jika Miller seorang musuh mau repot-repot mengobati lukanya seperti ini.

Miller kembali datang membawa teh hangat dan sepotong roti kering, “Maaf, hanya ini saja yang saya punya,” lalu menaruhnya di meja. “jika dilihat-lihat usia mu sangat muda sekali, mungkin seumuran dengan anak perempuan saya,” ujarnya.

“Kemana anggota keluarga bapak yang lain?” Harry bertanya dengan sopan.

“Ah…mereka semua sudah mengungsi ke tempat yang aman, saya sengaja masih tinggal di sini. Besi-besi bekas selongsong peluru, seragam prajurit, senjata-senjata bekas yang ditinggali akan sangat bernilai. Dan saat mencari barang-barang itulah saya menemukanmu,” Miller bertanya balik. “lalu bagaimana bisa pemuda seumuranmu masuk militer dan langsung diterjunkan ke medan perang seperti ini?”

                Harry menceritakannya bahwa sebelumnya ia adalah seorang pelajar, berasal dari kota kecil dinegaranya. Kehidupan keluarganya sangat sederhana, ia memiliki satu kakak perempuan yang usianya 3 tahun lebih tua darinya. Saat perang berkecamuk kepala negaranya meminta anak-anak muda untuk bergabung dengan militer, namun hanya dari latar keluarga bawahlah yang terpilih sedangkan anak-anak dari keluarga kaya tetap diizinkan sekolah. Karena jika kalah, nantinya negara akan cepat bangkit jika banyak orang-orang berotak pintar yang masih hidup.

                Kehidupan di militer jauh dari kata manis, semua dididik sangat keras. Mereka ditempa dengan sedemikian rupa agar dapat segera bertempur dalam waktu singkat. Hanya dalam waktu 3 bulan akhirnya mereka semua diberangkatkan, dibagi perpasukan. Sebelum terjun dari pesawat yang ada dipikiran Harry hanyalah kematian.

Miller merasa kasihan kepada Harry setelah mendengar kisahnya yang singkat, “Saya turut berduka atas kematian rekan-rekanmu, oh iya barusan kamu bilang kalian semua dibagi perpasukan, berarti ada titik kumpul untuk kalian untuk bertemu. Bisakah kamu memberitahunya? Kebetulan saya memiliki sebuah alat komunikasi radio,” Harry terdiam sesaaat. “kalau kamu lupa nama tempatnya mungkin bisa kamu beritahu di mana titik koordinatnya? Nanti saya akan atur frekuensi radionya agar dapat menjangkau titik koordinat itu.”

Benturan yang amat keras dari rudal yang meledak membuat Harry jadi sulit mengingatnya, ia memutar matanya ke kiri, kanan, atas dan bawah untuk menemukan jawabannya. Setelah beberapa menit bergumul dengan pikirannya akhirnya ia ingat titik koordinatnya, lalu memberitahu Miller dengan amat jelas.

“Baiklah, terima kasih,” Miller beranjak dari kursi kayu dan memberikan nampan berisi  teh dan roti kering kepada Harry. “minumlah, teh ini tidak enak ketika dingin.” Harry mencoba meraih cangkir teh hangat di atas nampan yang ditaruh di atas kedua pahanya yang tertutup selimut.

                Miller pergi dari kamar ini untuk mencoba menghubungi rekan-rekan Harry yang lain, dengan niat untuk mencari pertolongan dan bisa mendatangkan bantuan kepadanya di sini. Suara bising dari radio pun terdengar, namun percakapan yang dilakukan oleh Miller sama sekali tidak jelas terdengar. Beberapa saat kemudian Miller kembali, tapi dengan nuansa yang sangat berbeda. Harry begitu terkejut saat melihat perubahaan Miller.

“An….anda?” tangannya gemetaran melihat Miller yang kini sudah berganti memakai seragam militer negara lain yang menjadi musuhnya. Harry melihat cangkir berisi teh yang baru saja dia minum, lalu melemparnya ke lantai hingga pecah begitupun nampan berisi roti kering. Rasa takut dan ngeri yang membuatnya mampu melakukan itu di saat tubuhnya belum sembuh benar.

“Tenang nak…tenang, itu teh dan roti sungguhan. Saya tidak menaruh apapun di dalam sana,” ucap Miller. “terima kasih telah memberikan informasi yang sangat berharga bagi kami,” senyumnya terpancar tipis. “kami akan memberitahu pada skuadmu bahwa ada seorang tentara muda bernama Harry Sterling masih hidup dan merela bisa menjemputmu.”

Harry mencoba bergerak meraih senapannya, namun perban yang menyelimuti membuatnya susah.

“Maaf jika harus berbuat seperti ini, tapi setidaknya kamu masih hidup dan bisa membagi kisah ini kepada anak cucumu bahwa dalam keadaan perang tidak boleh mempercayai orang asing yang baru ditemui, siapapun itu,” ucap Miller tepat dihadapan Harry yang meronta. “Saya juga akan memberitahu rekan saya bahwa ada tentara muda yang bernama Harry Sterling untuk tidak dibunuh atau ditangkap, tentunya jika mereka sempat bertanya nama kepadamu,” Miller melangkah keluar, namun ia menoleh sekali lagi. “tetaplah jadi orang baik nak!” sambil menunjuk kepada Harry, kemudian sosok Miller menghilang dari pandangannya setelah menutup pintu dengan pelan.

                Rasa marah dan kesal membuat tubuh Harry memiliki energi baru, ia mampu bergerak di luar kendalinya. Bayangan rekannya yang lain saat terbunuh dengan peluru-peluru tajam membuatnya frustasi. Betapa bodohnya ia mengatakan itu semua, padahal jika mampu berpikir lebih dalam tidak mungkin ada seseorang yang masih berdiam diri di rumah ketika lingkungannya sudah menjadi medan perang. Dengan segenap kekuatan Harry berhasil meraih senapannya lalu mengarahkannya ke pintu, namun semua itu tidak ada gunanya. Kemungkinan Miller sudah pergi dan bersiap untuk membunuh rekannya di pos lain.

“Tidak! Tidak berguna!” memaki dirinya sendiri.

                Perasaan Harry yang tadinya marah dan kesal berubah menjadi kesedihan, ia jadi teringat ibu dan kakak perempuannya. Apalagi jika nantinya selamat dan dapat kembali kenegaranya, mungkin  cap pengkhianat akan disematkan pada dirinya karena telah membocorkan informasi kepada musuh. Dan akhirnya tidak ada tempat kembali lagi untuknya. Senapan yang dia miliki masih ada dilengannya, lalu diarahkan ke ujung kelehernya.

“Maaf bu, kak,” Harry menarik pelatuknya, namun hanya bunyian kasar yang keluar dari senapannya itu. Harry mengeceknya untuk melihat ke dalam senapannya, ternyata senapannya itu tidak terisi peluru sama sekali. Harry menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu menangis sejadi-jadinya. Miller sudah menduga ini semua dan sengaja mengosongkan senapan agar Harry tetap hidup dan menderita.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
One Shot
Selanjutnya Kamu
0
0
Memendam perasaan bukanlah hal yang mudah, setidaknya ini yang dirasakan oleh siswa SMA yang sejak lama menyukai seseorang namun sulit untuk mengungkapkannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan