Pahit Manis Jatuh Cinta

0
0
Deskripsi

#skynani oneshoot AU 

#BOYSLOVE #BXB



Langit malam seperti lukisan retak yang disangga paksa oleh tiang-tiang beton. Di atas atap fakultas yang sunyi, dua tubuh bersandar dalam diam. Tidak saling bersentuhan, tapi jarak mereka terlalu dekat untuk disebut teman. Terlalu rapuh untuk disebut saudara.

Angin menyapu lembut rambut mereka, seperti tangan tak kasat mata yang ingin menenangkan luka yang bahkan belum diucapkan. Tak ada dialog. Hanya helaan napas yang menggantikan kalimat. Dan tatapan mata yang...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ruang Untuk Nathan - BXB
0
0
#skynani series AU#BOYSLOVE #BXB Hari itu, langit Disneyland penuh balon dan suara riuh. Tapi tangis Kiara pecah seperti retakan kaca di tengah keramaian. Ia kehilangan boneka kecil yang selalu ia peluk saat tidur. Lututnya lecet. Dan dalam panik kecil yang tak bisa ditenangkan oleh pelukan ayahnya, seorang pria muncul dari sela kerumunan.Dia tidak luar biasa. Tidak juga mencolok. Tapi suaranya tenang, matanya bersih, dan senyumnya—entah mengapa—tidak mengganggu.“Kamu suka boneka Elsa?” tanyanya lembut. Pria itu menggenggam sebuah boneka di tangannya. Kiara yang masih terisak, mengangguk.“Kalau begitu jangan nangis, nanti Elsa akan buatkan boneka olaf untuk anak yang baik.” Ucapnya berseri-seri. Pria itu tidak menyentuh. Hanya duduk bersimpuh di hadapan Kiara kecil yang menangis lalu meniup telapak tangannya, seolah mengirimkan sihir kecil. Kiara memandangnya dengan mata membasah, lalu tersenyum kecil.Ravee berdiri terpaku. Bukan karena magis itu berhasil, tapi karena untuk pertama kalinya sejak lama, ada seseorang yang membuat dunianya berhenti berdetak—bukan karena duka, tapi karena damai.“Terima kasih,” ucapnya saat lelaki itu bangkit.“Saya cuma kebetulan lewat.”“Tetap saja terima kasih. Saya udah coba nenangin dia tapi gak berhasil.”“Iya sama-sama. Kalo gitu saya permisi dulu.” Ia menunduk sebentar untuk menatap Kiara yang tengah bermain dengan boneka Elsa pemberian pria itu tadi.“Sebentar, bonekanya berapa?.” Pria muda itu tersenyum. “Tidak apa-apa pak.”“Saya Ravee.” Ravee mengulurkan tangannya dan tak lama di sambut dengan sopan oleh yang lebih muda.“Nathan.”Dan itulah awal dari segalanya.“Mmm kamu buru-buru pergi apa kami sedang sibuk?” Tanya Ravee hati-hati. Nathan terdiam sejenak lalu tak lama dia menggeleng. “Tidak juga sih, hanya sedang berkeliling.”Ravee tersenyum senang. “Kalau begitu apa kamu keberatan kalau saya mengajak kamu berkeliling bersama?” Nathan melihat ke sembarang arah, seperti salah tingkah tapi ia menggeleng setelahnya.Tak berselang lama kemudian, Nathan masih bersama mereka. Rayan dan Keano sudah kembali sibuk bermain, sementara Kiara duduk di stroller dengan permen kapas biru di tangan. Nathan berdiri di sisi Ravee, memandangi parade karakter Disney yang melintas.“Daddy, aku capek”. Adu Keano yang kini jalan terseok-seok di dekapan kakaknya—Rayan.“Habis ini kita istirahat yah.”“Nathan, perkenalkan ini Rayan dan Keano. Dua anak saya yang lain.” Nathan pun dengan antusias menyapa keduanya. Keano sedikit ramah walau ia sedang lelah namun Rayan terlihat biasa saja. Mungkin ia juga sedang lelah namun karena ia sudah lebih dewasa ia tak begitu suka mengekspresikan perasaannya.Sembari lanjut berjalan, para orang dewasa tersebut mulai bertukar suara lagi untuk mencairkan suasana di antara mereka.“Kamu tinggal di hotel mana?” tanya Ravee setelah jeda panjang.Nathan menunjuk ke arah luar taman. “Dekat pintu selatan. Jalan kaki, paling sepuluh menit.”“Biar aku antar. Hari cukup panas untuk berjalan kaki.”Nathan tersenyum samar. “Aku nggak mau ganggu liburan keluarga kalian, Keano juga sepertinya sudah lelah.”“Kita juga akan kembali ke hotel. Kamu sudah membantu kami hari ini. Izinkan aku membalasnya, meski cuma dengan tumpangan.”Nathan menatapnya sejenak. Mungkin menimbang, atau mungkin sekadar ingin memperpanjang momen ini. “Kalau begitu… terima kasih.”Di dalam mobil sewaan Ravee, mereka tak banyak bicara. Tapi diamnya tidak kosong. Ada ketenangan yang mengalir dari musik klasik pelan yang diputar dari radio, dari jalanan yang diterpa matahari senja, dari cara Nathan menyandarkan kepala ke jendela dan memejamkan mata sejenak.Ravee mencuri pandang beberapa kali. Ada sesuatu yang lembut dan tenang dalam cara Nathan duduk, dalam garis rahangnya, dalam jari-jari panjang yang bermain dengan ujung lengan bajunya.Mobil berhenti di depan hotel sederhana bertingkat lima. Nathan membuka pintu, tapi tak segera keluar.“Terima kasih, sekali lagi,” ucapnya sambil menoleh.Ravee mengangguk. Lalu dengan nada pelan, bertanya, “Bolehkah aku minta nomor kamu?”Nathan mengangkat alis sedikit.“Untuk apa?” tanyanya, suaranya lembut.Ravee menarik napas. “Aku sudah cukup tua untuk basa-basi. Aku ingin mengenal kamu lebih jauh. Bukan karena hari ini. Tapi karena sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Dan aku tidak ingin menyesal karena membiarkan orang seperti kamu menghilang begitu saja.”Hening. Nathan menatapnya lama, seakan sedang membaca sesuatu di balik mata pria itu. Kemudian ia mengangguk, mengeluarkan ponselnya, dan menuliskan nomor.“Kalau kamu telepon tengah malam, aku ngambek,” katanya setengah bercanda.Ravee tersenyum. “Kalau aku telepon pagi, berarti aku kangen.”Mereka berbicara setengah berbisik karena di belakang sana ketiga anak itu sudah tertidur lelap. Nathan terkekeh pelan. “Baiklah, Tuan Jujur.”Dan sebelum turun dari mobil, Nathan menoleh sekali lagi. Tatapannya tidak berani, tapi tulus.“Senang bertemu kamu, Ravee.”Tak terasa satu pekan berlalu. Itu waktu yang sedikit untuk banyak orang. Tapi bagi Ravee, tujuh hari di Hongkong terasa seperti lorong yang tak ingin ia tinggalkan.Malam itu Ravee mengajak Nathan untuk melihat festival kembang api, Nathan tampak antusias saat Ravee mengajaknya lewat telfon. Ravee tertawa membayangkan wajah Nathan yang tersenyum di seberang sana. Sayang sekali mereka baru bertemu di dua hari terakhir mereka di Hongkong. Tapi setidaknya Ravee merasa bahagia karena ia bisa bertemu sosok seperti Nathan yang diam-diam membuatnya kembali hidup dalam gejolak yang sudah lama ia lupakan.Di antara parade warna dan senyum anak-anak, Nathan tertawa kecil melihat Keano yang terjatuh karena terlalu semangat mengejar karakter kartun. Ia membantu Rayan memasang topi Donald Duck, dan sesekali menyuapi Kiara permen kapas yang lengket.Dan di sela semua itu, Ravee mulai bertanya dalam diam: sejak kapan tawa orang asing bisa terasa familiar?Malam terakhir, mereka berdiri berdampingan di tepi kerumunan, menyaksikan kembang api yang melukis langit. Kiara tertidur di pelukannya, Rayan sibuk memotret dengan kamera kecil sementara Keano terduduk kelelahan di Stroller.Ravee menoleh ke arah Nathan, yang wajahnya diterangi kelap-kelip cahaya. Ia tampak damai, hampir seperti ilusi. Tapi tubuhnya tampak nyata dan berdiri indah di sisinya dan lagi Ravee bisa mencium aroma sabun di kulitnya—segala hal yang terlalu nyata untuk disebut mimpi. Ada seseorang yang lain. Seseorang yang kini ada di sisinya selain ketiga anaknya.“Aku akan pulang besok,” ucap Ravee pelan, nyaris tak terdengar karena ledakan kembang api yang bersahutan di langit.Nathan menoleh, sedikit terkejut. “Besok?.”“Kalau kamu mau… ikutlah. Aku bisa bantu atur tiketmu.”Nathan tersenyum. Lembut. Tapi ia menggeleng. “Aku masih punya beberapa hari di sini. Lagipula… aku sudah beli tiket pulang.”Saat hari pertama mereka bertemu, Ravee sangat bahagia mengetahui bahwa Nathan tinggal di negara dan kota yang sama dengannya. Seperti takdir bukan? Ia sempat bertanya hal-hal kecil tentang Nathan dan itu sudah cukup untuk informasi awal bagi Ravee mengenal Nathan.Ravee mengangguk lemah saat mengetahui Nathan masih punya beberapa hari disini, tapi ia sangat mengerti dan tak mungkin memaksakan kehendaknya pada seseorang yang baru saja di kenalnya. “Apakah kita bisa bertemu lagi saat di Bangkok?.”Nathan tersenyum lalu dengan cepat mengangguk. “Kamu tahu lokasi apartemenku, gedung tempatku bekerja bahkan juga nomor telfonku. Jadi untuk apa masih bertanya.” Ravee tertawa. Tapi di dadanya, ada sesuatu yang tumbuh. Pelan. Nyaris tidak ia sadari, tapi nyata.Dan malam itu, ketika mereka berpisah di lobby hotel tempat Nathan tinggal, Ravee hanya bisa menatap punggung Nathan menjauh setelah mengucapkan selamat tinggal, dengan rasa yang belum ia beri nama.Tiga hari setelah kembali ke Bangkok, Ravee mengirim pesan pertama.Apa kamu baik-baik saja di sana?Balasannya datang malam itu.Aku masih bisa makan tiga kali sehari, artinya baik. Kamu?Ravee membalas lagi. Lalu mereka berbincang setiap malam, kadang tentang hal remeh—tentang makanan jalanan, tentang film lama yang mereka suka, tentang hujan yang turun lebih sering dari biasanya. Tapi di antara kalimat ringan itu, ada hal-hal yang tak dikatakan namun terasa. Seperti sinar di balik awan. Seperti jarak yang perlahan tak lagi dingin.Hingga suatu sore saat Nathan sudah berada di Bangkok, Ravee mengirim satu pesan:Aku ingin melihatmu lagi.Dan Nathan menjawab:Kapan dan di mana?Pertemuan mereka di Bangkok pertama kali adalah makan malam yang tidak disengaja—setidaknya di mata orang lain. Tapi bagi Ravee, semuanya adalah bagian dari niat yang ia tata rapi. Ia memilih restoran kecil dengan cahaya remang dan musik jazz tua. Tempat yang tenang untuk dua orang yang ingin bicara tanpa perlu berteriak.Nathan datang mengenakan kemeja putih polos dan celana panjang hitam. Tidak berusaha menarik perhatian. Tapi bagi Ravee, ia tak pernah tampak tidak menawan. Ia sudah sangat menawan tanpa berusaha sedikitpun. Mereka bicara tentang banyak hal. Tapi saat pembicaraan menyentuh tentang keluarga, Nathan bertanya:“Jadi kamu pernah kehilangan seseorang sebelumnya? Apa saat ini kamu masih berduka?”Ravee memandangi gelas anggurnya sebelum menjawab. “Aku tidak punya waktu untuk larut. Ada anak-anak yang harus tumbuh. Dan duka… hanya membuat mereka merasa kehilangan terus menerus. Itu melelahkan.”Nathan tidak menjawab. Tapi tangannya terulur, menyentuh jemari Ravee pelan. Tidak menggenggam, hanya menyentuh. Tapi itu cukup untuk membuat malam terasa sedikit lebih hangat.Saat hujan mulai turun di luar restoran, Ravee menawarkan diri mengantar Nathan pulang. Dan meski Nathan sempat ragu, akhirnya ia setuju. Di dalam mobil diam-diam mereka mengingat di saat pertama bertemu, namun kini mereka tahu bahwa hari ini tidak lagi sama seperti saat pertama. Mereka tidak bicara banyak sepanjang perjalanan. Tapi ketika mobil berhenti di depan apartemen Nathan, Nathan tidak segera turun.“Aku tahu kamu pria baik,” ucapnya pelan.Ravee menoleh. “Kenapa terdengar seperti peringatan?”“Karena aku mungkin bukan orang seperti yang kamu pikirkan.”Ravee mengerutkan kening. “Kalau kamu bukan, biarkan aku yang cari tahu.”Nathan menatapnya dalam-dalam. Dan saat ia memajukan tubuhnya sedikit, Ravee menyambutnya tanpa ragu.Ciuman itu pelan, tidak tergesa. Tapi penuh gejolak. Bukan karena nafsu, tapi karena perasaan yang tertekan terlalu lama. Karena kerinduan akan kehangatan yang manusiawi. Mereka tidak berhenti. Dalam kabin mobil yang berkabut oleh napas dan hujan, Ravee meraih wajah Nathan dengan kedua tangannya, membisikkan nama itu seperti mantra. Dan ketika tubuh mereka bersentuhan, tidak ada yang ditahan. Hanya desir, gemetar, dan bisikan kecil yang mengisi ruang.Mereka tidak melakukan lebih di malam itu. Tapi mereka menyentuh dengan rasa yang lebih dari sekadar sentuhan. Dan ketika Nathan masuk ke apartemennya, Ravee duduk di mobil selama lima menit penuh, menatap hujan, sambil menenangkan dadanya yang tak lagi sunyi.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan