
Sinopsis:
Menceritakan tentang pria yang ikut ke kampung halaman kekasihnya di Bandung, selain berkunjung, mereka juga mau memberitahu hubungan mereka sama orang tua si wanita. Hanya saja ayah sang wanita akan memberikan tes yang tidak akan diketahui oleh mereka berdua.
Cerita oleh:
Dion
Ditulis oleh:
Dion
Klaim cerita:
Melodion 2016 — Cerita ini adalah fiksi, saking fiksinya, tidak ada fakta-faktanya!


Menceritakan pengalaman Dion bertemu orang tuanya Melody. Simak kisahnya berikut ini.
▬▬▬◻۩ Stockhom Syndrome vol. 2 ۩◻▬▬▬
Kepala, adalah salah satu anggota tubuh manusia yang memiliki alis, mata, hidung, mulut dan juga rambut. Dan kalau kalian yang berpendidikan kaget saat baru mengetahui hal yang gue sebutin barusan maka ijazah kalian perlu dipertanyakan. Oke, gue gak menginterpretasikan kalau kalian itu bego, akan tetapi sekarang kalian sedang membaca sebuah kalimat yang ditulis oleh orang bego.
Yaitu gue.
Apanya yang bego? Pertanyaan ini pasti dipertanyakan saat membaca pernyataan gue barusan. Jadi yang pertama kita ulas dulu, apa itu Bego? Menurut KBBI, bego
adalah salah satu sifat yang menunjukan perbuatan yang sangat bodoh ataupun tolol dari seseorang.
Akan tetapi gue gak sepenuhnya bego, karena bego itu relatif.
Gue sangat bego saat mencoba ngebenerin kabel listrik dirumah gue yang mengakibatkan tetangga-tetangga gue hampir menelpon petugas pemadam kebakaran untuk datang kerumah.
Ya, gue hampir membakar rumah gue sendiri karena konslet.
Ada sebuah hikmah dari sebuah musibah, itu karena gue baru menyadari kalau gue punya temen yang ahli soal ginian, namanya Beng-Beng. Tau begitu gue seharusnya meminta bantuan dia dari awal untuk ngelakuin tugas itu, daripada gue yang hampir saja menjadi tuna wisma karena aksi nekat tadi.
Jadi dalam soal ngebenerin kabel listrik, gue ini bego, Beng-Beng yang pinter.
Terus apa itu artinya Beng-Beng lebih pinter dari gue?
Enggak juga. Buktinya dia masih bisa gue begoin.
Gue mempunyai tetangga, namanya Ratu Vienny Fitrilya, panggilannya Vienny.
Dan Beng-Beng dari SMA emang ngebet dengan tetangga gue entu yang juga bisa dibilang adik kelas gue dan Beng-Beng sewaktu SMA.
Terus apa begonya?
Gue pernah bilang kalau Vienny bakalan ulang tahun besok, dan esok harinya Beng-Beng datang kerumah Vienny dengan pakaian rapi, menenteng kue ulang tahun kecil dan juga kado. Gue intip dari jendela kamar gue dan melihat Beng-Beng mengetuk pintu rumah sampai pada akhirnya Vienny membuka pintu rumahnya.
“Selamat ulang tahun!” Beng-Beng dengan senyum ceria menyerahkan kedua benda itu kepada Vienny.
Vienny diem.
“Hehe jadi apa nih harapan buat tahun ini?”
Vienny memandang kue dan kado yang berada ditangannya, setelah itu dia memandang Beng-Beng dengan raut wajah datarnya.
“Ulang tahunku bulan depan,” balas Vienny. Beng-Beng diem.
Diem. Dan diem.
“Selamat ulang tahun buat kamu dibulan depan!” seru Beng-Beng yang masih
ngotot.
Yah, begitulah.
See? Jadi dari itu kita bisa mengambil hikmah kalau bego itu bisa dialami siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Jadi buat kalian yang sering dikatain bego, kalian tidak perlu sedih. Berbanggalah dengan itu, karena hidup cuma sekali dan kalian pernah mencicipi bagaimana rasanya menjadi bego. (Cadas!) Kecuali kalau ada orang dengan nikmatnya memakan kotoran sapi didepan gue dan menganggap itu adalah makanan vegetarian, karena itu bukan bego lagi.
TAPI ORANG GILA!
Oke, mari kembali ketopik utama.
Kita semua tau kalau dibagian dalam kepala ini ada yang namanya otak. Dan tak perlu disebutin lagi apa itu fungsi otak, kalau masih perlu disebutin lagi maka gue hanya punya 2 asumsi.
1. Ijazah kalian emang benar-benar harus dipertanyakan.
2. Kalian kehabisan kuota untuk mencari tau hal itu lewat Google.
Kalian boleh apatis mengenai 2 asumsi gue diatas, karena gue tidak terlalu objektif menganalisa hal itu.
Otak.
Sekarang organ penting selain jantung ini gue kerahkan secara maksimal dengan apa yang terjadi sekarang. Gue pacu tiap-tiap sel otak untuk membuat senyawa dan susunan kalimat yang ingin gue ucapkan untuk orang yang sekarang duduk didepan gue.
Orang yang sangat berperan penting untuk penentu masa depan gue kelak. Orang biasa yang bisa bikin gue berdebar-debar.
Berdebar-debarnya seperti saat gue mengungkapkan perasaan gue kepada Melody.
Dan orang yang ada didepan gue ini adalah BOKAP-nya Melody.
Kenapa gue sampai harus mengerahkan sel-sel otak gue untuk berbicara dengan bokapnya? Akan gue ceritakan tiap kronologinya di-bagan-bagan berikutnya.
Terus ngapain gue panjang lebar ngejelasin tentang bego dan lain-lain? Gue sendiri gak tau.
▬▬▬◻۩ Stockhom Syndrome vol. 2 ۩◻▬▬▬
Ini terjadi pada 2 hari yang lalu saat gue mau bersiap-siap pergi kekedai saat selesai ngampus.
“Ion.”
Gue menoleh dan melihat Melody berlari kecil menghampiri.
“Ada apa? gak jadi pulangnya sama Ve?” gue tanyain sambil menghisap rokok. “Jadi kok, Ody mau ngomongin sesuatu,” ujarnya sambil mengambil rokok dari
bibir gue, dibuang ketanah dan diinjaknya.
“Ngomongin apa…” gue menatap sayu rokok gue yang dianiaya Melody sampai
hancur lebur.
“Hari Kamis nanti abang kerumah Ody ya?” Gue menatapnya dan menyeringitkan dahi. “Ngapain?”
“Sekali-kali kek abang yang kerumah buat ketemu Ayah sama Mamanya Ody, kan mama abang juga ngusulin hal itu kemarin. Masa Ody melulu kerumah kamu. Lagian hari Kamis ampe Sabtu kan kampus libur.”
“Oh… boleh-boleh.” “Bener?”
Gue mengambil sebatang rokok, membakarnya, gue hembuskan asapnya kearah lain agar tidak mengenai Melody baru sehabis itu gue memandangnya.
“Iya,” gue tersenyum dan mengangguk.
“Asik! Hihi!” rokok gue diambilnya, dilempar kebawah dan diinjeknya lagi.
Gue sedih, kesan rokok yang dianggap oleh para pembenci rokok sebagai buang- buang duit benar-benar terjadi sama gue. Tiap kali gue merokok didepan dia tuh rokok umurnya gak bakalan panjang. Kalau disetiap bungkus rokok ada slogan “ROKOK MEMBUNUHMU!” maka gue juga punya slogan akan tetapi slogan itu untuk rokoknya yaitu, “MELODY MEMBUNUHMU!”
“Besok malam Ody bantuin abang packing deh dirumah.” “Packing?”
“Iya.”
“Kok packing segala?”
“Gimana sih, kan orang tua Ody di Bandung!”
Gue diem. Gue lupa kalau rumah aslinya dia emang di Bandung karena disini dia tinggal bersama Tantenya di Jakarta.
“Jadi ceritanya nginep gitu?”
Melody tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Gak bayar kan?” gue berkeringat dingin.
“Ish! Kamu kira rumah Ody hotel ?!” dengan beringasnya telinga gue dijewer
kesana kemari.
Setelah puas menganiaya kuping gue, Melody kemudian berpamitan karena tak enak membuat Ve menunggu. Sedangkan gue mulai berpikir tentang hal tadi sambil mengurut- urut telinga. Masalah ke-Bandung gak masalah bagi gue, yang menjadi masalah adalah gue gak pernah ketemu orang tuanya Melody.
“Hmm mending gue tanya sama anak-anak.”
Starter motor gue tekan dan gue langsung meluncur keluar kampus. Gue sekarang menuju sebuah kedai yang gue urus bernama Kedai Stockholm yang dirintis bersama teman-teman kuliah gue. Gue terus mengebut dan mengebut disetiap ruas jalan yang gue lalui sampai pada akhirnya ada bunyi PRIIIIT!
Gue berhenti, gue menoleh dan gue menelan ludah.
“SIM sama STNK mana?” pinta pak polisi sambil menarik kunci motor gue. “Salah saya apa pak?”
“Otakmu dipantat hingga tak perlu pengaman?” balasnya enteng.
Mendengar itu membuat gue mengerti maksudnya, dan gue harap kalian juga wajib mengingat hal ini saat mengendarai motor saat berada dijalan raya apalagi dijalanan yang dipenuhi polisi. Karena itu sangat PENTING! Dan apakah itu?
Jangan lupa pake helm.
▬▬▬◻۩ Stockhom Syndrome vol. 2 ۩◻▬▬▬
Sesampainya dikedai gue segera menanyakan permasalahan tadi kepada orang yang pertama kali gue temuin saat membuka pintu, yaitu salah satu pegawai yang bekerja disini.
“Shan! Enu pas ngapel kerumahmu dia ngapain?” “Hah?” Shani kaget.
Wajar sih dia kaget, pas lagi nyerahin minuman ketamu gue nanyain hal ini, untung saja kagetnya gak merubah proses dari NYERAHIN minuman menjadi NYEMBURIN minuman ketamu.
“Kutunggu dikasir.”
Gue duduk didepan meja bar minimalis yang terhubung langsung dengan kasir, tak butuh waktu beberapa lama Shani akhirnya datang.
“Tadi kamu nanyain apa?”
“Gini, Enu pas kerumahmu dia ngapain?”
Mata Shani mendelik keatas, memajukan bibir bawahnya dan mengetuk dagunya dengan jari telunjuk tangannya.
“… Emang Enu pas kerumahmu ditaruh dimana sih? Gitu aje lama mikirnya.” “Hehe emang kenapa nanyain itu?”
“Pengen belajar.”
“Heh?” alisnya naik sebelah.
“Udah intinya jawab saja pertanyaannya,” gue memangku kepala dengan tangan
kanan.
“Ya dia datang, duduk, minum, ngobrol, terus pulang,” jawabnya sambil memangku kepala dengan tangan kanan.
“Normal amat…”
“Yeee maunya gimana? Enu datang lalu joget-joget sambil nimba air gitu?” tanyanya dengan memanyunin bibir.
“Gak se-hyper gitu juga sih… tapi misalnya Enu ketemu orang tuamu dia
ngapain?”
“Cium tangan, ngobrol-ngobrol, udah gitu aja.” “Gak ada yang lain?”
“Hmm,” matanya mendelik keatas lagi dan tiba-tiba dia berseru, “Ah! Ada!” dengan senyum mengembang.
“Apa? apa?” pinta gue gak sabar.
“Dia pernah numpang ketoilet sebelum kami pergi jalan-jalan hehe.”
Gue gedek! Hal itu sih gak perlu dibuat pake efek kejutan “Ah!” Kayak tadi! Soal numpang-menumpang toilet gue udah level expert dari cara menggunakan toilet jongkok ataupun duduk. Hanya saja toilet sungai belum pernah gue cobain, yang katanya bisa sekalian bisa ngasih makan ikan itu.
“Ngomongin apa lo berdua?”
Gue menoleh dan melihat kedatangan Enu bersama Ega dan mereka bergabung dan duduk disamping gue.
“Ini si Dion, nanyain aku kalau kamu kerumah aku biasanya kamu ngapain,” jelas Shani sambil menunjuk gue.
“Ngapain lu nanyain itu, Yon? Shan, Espresso dingin satu,” tanya Ega sambil
memesan.
“Gini, hari Kamis nanti Imel mau ngajakin gue ke Bandung buat nemuin orang tuanya. Jadi ya… you know-lah.”
“Oh… gue ngerti-gue ngerti,” Enu memanggut-manggut.
“Gue juga ngerti,” dan disambung Ega, bodo amat dah kalau dia ngerti karena gue tau dia ini berpura-pura ngerti. Gak percaya? Nih gue buktiin.
“Jadi gimana, Ga?”
“Biar Enu saja yang ngewakilin gue,” jawabnya sambil membuang muka. Tuh kan.
“Jadi gimana Nu?”
“Bisa-bisa, jadi lo mau minjam duit berapa buat beli tiket kesana?” tanyanya sambil mengeluarkan dompet.
Kampret bener dah. Sesusah itukah aura rezeki gue hingga dikira gak mampu membeli tiket Jakarta-Bandung? Jangankan Bandung. Dubai juga gue jabanin… kalo rumah, motor, tanah dan harga diri gue laku terjual. (Itupun kalau laku.)
“Bukan itu!”
“Hahaha bercanda, serius amat hidup lo.”
“Kan gue lagi serius nanya ini,” gue memiringkan bibir. “Makanya gue becandain,” Enu senyum dengan alis turun naik. “Heleeh, jadi gimana?”
“Jadi lo mau tau caranya biar gak gugup sama calon mertua lo itu?” “Yo’i, jadi gimana?”
“Hoo jadi itu toh intinya,” ujar Shani sambil memberikan minuman pesanan Ega.
“Haha soal itu gampang Yon, seperti hal nya waktu mau ngedeketin cewek.
Dilunakin dulu?”
“Dilunakin?” gue bingung, emang cewek ada bagian yang keras ya? “Yo’i, pokoknya kayak mau PDKT gitu sama cewek.”
“PDKT sama cewek?” gue tanyakan lagi untuk kepastian. “Iya,” dan Enu mengangguk.
Mata gue mendelik keatas dan mencoba membayangkan adegan itu.
/=====oOo=====\
Pada suatu senja gue ketemu bokapnya Melody ditaman bunga, mata kami berdua saling menatap sampai pada akhirnya gue mengajak kenalan. Setelah saling mengenal kami berdua saling bertukaran nomor HP dan itu dijadikan kesempatan untuk saling mengirim chat dan SMS agar mengenal diri kami masing-masing.
5 hari kemudian gue ajak dinner dengan nuansa candle light. Lalu gue ajak bertamasya ke DUFAN.
Hingga kami berdua berlari-larian ditepi pantai dengan latar sunset.
Dan pada akhirnya gue mengajak bokapnya Melody menonton bioskop berdua.
Saat pertengahan film gue pun memegang tangan bokapnya Melody dengan mesra.
“Pak, saya mau menikahi anak bapak. Maukah bapak menjadi mertua saya?” Bokap Melody tersenyum dan membalas pegangan tangan gue dengan mesra. “Iya, saya mau menjadi mertua kamu.”
“Pak…” gue terharu, senyum gue mengembang. “Dion…” begitu juga bokapnya Melody.
Kami berdua pun berpelukan mesra sambil menitikan sebutir air mata
kebahagiaan.
\=====oOo=====/
HUEEEEEKKKKKK!!!!
Dan gue muntah sejadi-jadinya dibelakang kedai.
“Buset Yon? Lo kenapa bisa muntah kayak begini?” tanya Ega sambil mengurut- urut punggung gue.
“G-g-gue membayangin saran E-Enu b-barusan… Gllppp! Hueeek!” “Ya ampun!” Shani juga ikut-ikutan mengurut punggung gue.
“Lu ngebayangin apa ampe muntah begini? Imajinasi lo terlalu overdosis Yon!
Bahaya!” seru Enu dari belakang.
Ya gimana gue gak muntah coba? Lo aje yang bayangin sendiri ngedeketin calon mertua aje harus dengan cara seperti PDKT-an sama cewek. Dan gara-gara ini gue gak mau menyamakan cara mendekati siapapun dengan cara pendekatan terhadap cewek. Ya kalau berhasil, kalau enggak? gue belum siap operasi plastik buat menutup masa lalu yang kelam.
Dan soal cara gue yang nanti ketemu orang tuanya Melody… biar takdir yang
menjawab.
▬▬▬◻۩ Stockhom Syndrome vol. 2 ۩◻▬▬▬
Didalam kereta menuju Bandung membuat gue menjadi seperti orang yang caper dikelas. Tau kan orang yang caper dikelas? Yang selalu bertanya kepada guru ataupun dosen, setiap guru/dosen bertanya selalu mengangkat tangan, setiap guru/dosen menyuruh mengerjakan soal dipapan tulis maka dia pun maju untuk mengerjakannya. Setiap ada anak lain bikin kesalahan lalu dilaporin ke guru/dosen.
PENJILAT ABIS.
Dan ini yang gue lakuin sama Melody yang asyik menyandar dibahu gue walau pertanyaan gue gak ada hubungan dengan akademik jurusan kuliah manapun.
“Ayah adek galak gak?”
“Enggak,” Melody menjawab santai sambil membaca majalah yang sempat dibelinya distatiun.
“Oh,” gue memanggut. 2 menit kemudian.
“Bener ayah adek gak galak?” “Iya.”
“Oh,” gue memanggut-manggut. 2 menit kemudian.
“Adek yakin ayah adek gak galak?” tanya gue dengan nada was-was. Melody menghela nafas, dia lepas sandaran dari bahu dan menatap gue. BUGH! Kepala gue digetoknya dengan majalah yang dipegangnya.
“Dibilangin enggak galak ya enggak! Kenapa sih masih aja ditanyain?!” ujarnya dengan wajah sebal.
“Ya habisnya…”
“Apa?!” Melody melotot. “… Anaknya galak gini…”
Alhasil selama perjalanan gue digebuk-gebuk sama Melody dengan penuh cinta dan kasih sayang, pake majalah. Kalau ada malaikat maut melihat gue pasti dia bakalan geleng- geleng kepala melihat gue yang mudah mencari mati daripada mencari amal.
Beberapa jam kemudian akhirnya gue dan Melody sampai di kota kembang, kota dimana banyak cewek-cewek cakep hingga bisa membuat kaum Adam senyumnya mengembang. Dari stasiun sekarang kami menuju kerumah orang tuanya Melody memakai taksi.
“Kok deg-deg-an gini ya,” gue ucapkan sambil mengatur nafas.
“Hihi lebay,” Melody tertawa kecil dan menyentil-nyentil tangan kiri gue. “Dibilangin gak percaya, dengar aje nih suara jantung udah kayak bunyi
drum black metal.”
“Jangan kayak pengidap OCD gitu deh.” “Tapi…”
Belum gue terusin entu kalimat, tiba-tiba tangan kiri gue dirangkul Melody. Bahu gue dijadiin bantal dan tangan kirinya mengelus-elus lembut dada gue.
“Tenang aja… lagian mau dihindari juga percuma. Kan mereka calon mertua
abang.”
Gue melirik kebawah dan melihat Melody menadahkan kepalanya, dia tersenyum dan berbicara.
“Abang gak lupa kan janji kita nanti pas wisuda?”
Mendengar pertanyaan itu membuat gue mampir sebentar ketaman nostalgia.
Gue berjanji sama Melody saat wisuda nanti gue akan melamar dan menikahnya meskipun tidak ada status pacaran diantara kami berdua. Mending nikah dulu baru pacaran, kan keren! Gak ada istilah bukan muhrim lagi.
“Jadi abang tenang aja ya?”
Gue tersenyum dan mengelus kepalanya. “Iya.”
Melody membalas senyuman gue dan menidurkan diri lagi kebahu gue. Ya meskipun galak tapi dia pandai nenangin gue seperti nenangin anak kecil yang habis ditakutin bokapnya saat mau disunat seperti ini.
- “BAPAK DULU DISUNAT PAKE KAPAK! MALAHAN KAKEK KAMU DISUNAT PAKE GERGAJI!!”
Yah begitulah kira-kira. Setidaknya gue bisa mengistilahkan masalah yang gue rasakan tadi meskipun gue gak ngerti kenapa harus topik sunat yang gue pake.
“Didenger-denger dari omongan kalian… si cowok mau ketemu orang tua si
cewek ya?”
Gue menoleh kedepan saat mendengar suara supir taksi ikut berbicara. “Begitulah kang hehe,” jawab Melody mewakili gue dengan tertawa ringan. “Oh gitu,” sang supir tertawa, “Udah bawa sesajen belum?”
“Sesajen?” gue dan Melody saling bertatapan dan menyeringitkan dahi. Supir itu menoleh kebelakang dan tersenyum.
“Iya, sesajen.”
Well… gue didalam taksi atau didalam mobil jenazah sih?
▬▬▬◻۩ Stockhom Syndrome vol. 2 ۩◻▬▬▬
Akhirnya gue sampai didepan komplek perumahan Melody. Dan ternyata ‘Sesajen’ yang dimaksud sang supir tadi bukanlah hal-hal yang berbau mistis, akan tetapi
sebuah benda yang menjadi tradisi kuno turun temurun yang dimana katanya wajib dibawa saat sang pria menemui sang calon mertua.
Yaitu, Martabak.
Gue sedikit bingung kenapa makanan ini menjadi makanan wajib dibawa pas mau ketemu calon mertua? apakah ini sudah menjadi konservatif?
Tapi kalau dipikir-pikir boleh juga tradisi ini.
Misalkan gue dan Melody punya anak terus anak gue itu perempuan dan pacarnya mau nemuin gue, maka gue akan nge-request terlebih dahulu makanan yang mau dibawain untuk gue yang disesuaikan dengan zaman sekarang. Yaitu…
2 loyang Pizza jumbo. 5 bebek bakar.
10 lobster panggang.
Dan 20 dada atas ayam Kentucky.
Walaupun makanan yang gue pinta itu bisa membuat dompet pacar anak gue menjerit-jerit gak karuan akan tetapi bisa menyelamatkan gue dari gizi buruk. Enak aje main pacarin anak gue, sebagai calon mertua gue harus sok jual mahal dong. Iya gak? Iya gak?
“Nah kita sampai!” seru Melody dengan semangatnya.
Gue berhenti dan menoleh. Sebuah rumah bertingkat 2
dengan design tradisional nan modern, dan terlebih lagi enak dilihat dengan cat sky blue yang merata ditiap dindingnya. Sebuah rumah yang AH! untuk dijabarin, intinya sih kalau ngeliat tuh rumah bawaannya kayak ngeliat Shani saat tersenyum, adem gitu.
“Yuk masuk,” ajak Melody.
Melody membuka pagar dan gue mengikutinya dari belakang. Halaman rumahnya yang berumput terpotong rapi, hiasan tanaman yang ada disitu juga enak dilihat tapi perhatian gue tertuju kepada seorang pria paruh baya yang asyik memotong pagar rumput yang ada disamping. Tanpa perlu menunggu komando Melody, gue menghampiri bapak tersebut.
“Pak.”
Gerakan tangan untung menggunting berhenti, bapak itu kemudian menoleh untuk melihat gue. Gue yang dilihat lalu tersenyum dan meraih tangan kanannya.
“Siang pak, saya Dion,” gue perkenalkan diri sambil mencium tangannya. “Ng? O-oh… iya-iya…, sia…”
“Nih buat bapak,” gue potong ucapannya dan gue serahin bungkusan martabak.
Sang bapak termenung melihat bungkusan martabak yang dipegangnya, tak lama kemudian dia tersenyum dan menepuk-nepuk pundak gue.
“Terima kasih-terima kasih.”
Gue juga tersenyum dan bersyukur didalam hati. Fiuuuh untunglah bokapnya Melody gak segarang yang gue duga, murah senyum gini orangnya.
“Lagi ngapain pak?” gue mencoba berbasa-basi.
“Motong ini atuh, baru seminggu dipotong eh cepat lagi numbuhnya.” “Hmm gitu, namanya juga tumbuhan pak hehe.”
“Oh iya, kalau boleh tau nak Dion ini siapa ya?” “Saya?”
“Iya?”
“Hehe emangnya anak bapak gak pernah cerita tentang saya ya? Hehe,” gue cengengesan dan gue namakan ini dengan basa-basi memuji diri.
“Waah, gak pernah kayaknya. Nak Dion kenal anak saya?” “Bukan kenal lagi Pak hehehe.”
“Terus?” tanyanya dengan senyuman.
“Itu hehe,” gue berpura-pura malu dan menjawab, “Saya ini calon menantu
bapak.”
Tiba-tiba hening.
Gue liat mulut bokapnya Melody bergetar-getar seperti hendak mengucapkan
sesuatu.
“C-C-Calon menantu?!” tanyanya dengan mata terbelalak. “I-iya, Pak,” gue jadi segan untuk menjawab.
“A-Atun punya pacar?”
“Hah? Atun?” gue menyeringitkan dahi.
Jangan-jangan Atun ini panggilan Melody dirumahnya, wah gue baru tahu nih, soalnya Melody gak pernah bilang-bilang ke gue.
“K-kamu p-pacarnya Atun?”
“Errrr bisa dibilang gitu sih pak…” gue heran nih sama bokapnya Melody, kok kayaknya kaget bener mendengar hal itu.
Mungkin karena gue ganteng kali ya? Hehehe. “Kamu Pedopil?!”
“Hah? Kok pedopil!” gue kaget setengah mati. “Kata kamu tadi kamu macarin anak saya!” “Errr emang gak boleh ya pak?”
“Tidak boleh!” serunya dengan mata melotot. Gue menelan ludah.
“K-kenapa emangnya pak?”
“ATUN KAN BARU BERUMUR 6 TAHUN!” teriaknya penuh gelora. “WHAT?!” begitu juga gue.
“PUTUSIN ANAK SAYA SEKARANG JUGA ATAU LEHER KAMU YANG SAYA
PUTUSIN!” ancamnya dengan gunting rumput menempel dileher.
“EETETETETET! PAK! PAK! JANGAN!!!AH AH JANGAAAAN! OH GOD! OH NO!!
AAAHHH!!” dan entah kenapa gue berteriak seperti mau diperkosa gorilla.
Yang pasti gue gegalapan setengah mati “Ion!”
Gue menoleh dan melihat Melody menghampiri tempat kami berdua, dia menanyakan keributan yang terjadi dan gue jelasi sedetail-detailnya sampai pada akhirnya gue mendapatkan sebuah fakta.
“Ini pak Dirman, tukang kebun langganan keluarga Ody.” Gue diem dan menoleh kearah pak Dirman.
“Jadi… ini bukan ayahnya adek?” tanya gue sambil menunjuk pelan. “Ya bukan! Itu ayah sama mama diteras.”
Gue melihat teras rumah dan melihat seorang pria berkacamata dan wanita paruh baya bengong memandang arah tempat gue berada. Kemudian gue memandang Melody dan juga Pak Dirman yang masih mendengus marah kepada gue.
Gue menelan ludah.
Permintaan maaf pun gue lontarkan kepada pak Dirman gegara membuatnya menyangka gue memacarin anaknya yang berumur 6 tahun dan gue bersyukur leher gue tidak menjadi objek seni memotong rumput pagarnya. Setelah meminta maaf gue diajak Melody untuk memasuki rumah. Akan tetapi gue tiba-tiba teringat sesuatu dan kembali menghampiri pak Dirman.
“Pak.”
“Apalagi?!”
“I-itu… saya mau ambil martabaknya lagi…”
“Loh katanya buat saya?” pak Dirman tampak tak terima. “Ya… soalnya anak bapak gak mau saya pacarin.”
Pak Dirman bengong dan kesempatan itu gue gunakan untuk mengambil martabak dan buru-buru melarikan diri. Dari hal ini gue mendapat pelajaran penting yang dari dulu gue abaikan sekarang akan gue terapkan untuk kedepannya. Dan gara-gara ini membuat sisi religius gue keluar. Kenapa?
Karena gue tiba-tiba mengingat Tuhan… saat gunting rumput menempel erat dileher gue gara-gara dikira pedopil.
▬▬▬◻۩ Stockhom Syndrome vol. 2 ۩◻▬▬▬
Dan inilah yang menjadi penyebab gue mengoptimalkan fungsi otak sejadi- jadinya karena sekarang didepan gue ada orang tuanya Melody. Gue duduk ditengah, Melody disamping gue dan mereka berdua didepan. Gue gugup, seperti maling ayam yang diciduk ketua RT.
“Jadi kamu yang namanya Dion?” tanya Ibunya. “I-iya Om… eh T-tante.”
“Sudah berapa lama mengenal anak kami?” sekarang ayahnya. “L-lima tahun Tante… eh… O-om…”
Gawat! Saking gugupnya gue malah menukar panggilan mereka berdua! “Kak Citra mana, Ma?” tanya Melody kepada Ibunya.
“Pergi tadi, oh iya lupa mau bikinin minum. Imel, yuk temenin mama.”
Oh tidak! ‘Obat penenang’ gue malah mau pergi, kalau Melody pergi bersama ibunya otomatis hanya tinggal gue yang berduaan dengan bokapnya disini. Ah, tampaknya gue harus mencari cara untuk mengulur waktu saat Melody dan Ibunya selesai membuatkan minum. Dan cara ini sangat klise.
“Permisi Om… boleh saya numpang ketoilet?”
“Hmm,” bokapnya Melody memanggut sambil melipat tangan.
Gue buru-buru menyusul Melody yang belum jauh berjalan bersama Ibunya. Dengan arahan dari sang tuan rumah, gue dituntun Melody menuju toilet dan tanpa basa-basi gue pun masuk kedalam.
“Oke! buat minuman palingan bentar, 2 menit gue keluar deh,” gumam gue
didalam hati.
Jadi selama 2 menit itu gue mencoba mencari topik pembicaraan didalam toilet, akan tetapi nihil, otak gue benar-benar stuck. Gue malah ingin membicarakan ‘Bagaimana sejarah terbentuknya Kereta Api’ dan juga ‘Siapa penemu sayur kangkung’ dengan orang tuanya Melody. Kelihatan intelek kagak, sok pinter iye. Rajin amat ngebahas kereta api sama sayur kangkung.
2 menit sudah terjadi dan gue kembali keruang tamu, akan tetapi sesampainya disitu gue tidak melihat keberadaan Melody dan Ibunya.
Gue diem.
Bokap Melody juga diem.
“Permisi om… mau ketoilet lagi…”
“Hmm,” bokap Melody memanggut sambil melipat tangan.
Gue buru-buru masuk kedalam toilet dan menunggu. Gila nih para kaum wanita buat minuman kok lama amat ya? Ah sudahlah, dan seperti sebelumnya gue menunggu 2 menit untuk mencari topik pembicaraan.
“Jadi kalian itu gak pacaran?” “Enggak ma hehehe.”
Dari dalam toilet gue mendengar suara Melody dan Ibunya berbicara dari luar.
Mengetahui hal itu gue akhirnya bernafas lega dan hendak kembali keruang tamu karena ‘Narkoba’ gue yaitu Melody sepertinya sedang berjalan bersama ibunya menuju ruang tamu.
Gue keluar toilet.
Gue kembali keruang tamu. Dan lagi-lagi gue diem.
“Udah?” tanya bokapnya Melody.
Belum gue jawab karena mata gue celingak-celingukan mencari sosok Melody dan Ibunya yang tidak ada diruang tamu.
“Imel sama Tante mana, Om?”
“Kan tadi mereka bilang lagi buatin air minum.” “Oh…”
Kemudian hening.
“S-saya mau k-ketoilet lagi om…”
“Hmm,” bokap Melody lagi-lagi memanggut-manggut sambil melipat tangan. Gue kembali masuk kedalam toilet.
Gue nunggu 2 menit.
Setelah 2 menit gue keluar toilet dan kembali keruang tamu.
Dan lagi-lagi gue diem karena Melody dan Ibunya belum juga kembali keruang
tamu.
“T-toilet lagi om…”
“Hmm!” bokapnya Melody melakukan gaya yang sama seperti sebelumnya.
Ada 14 kali gue ngelakuin ini, bolak-balik toilet. Seakan-akan gue jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung hanya untuk menumpang toilet dirumah orang tuanya Melody. SOK KAYA BANGET JADINYA GUE! Ini Melody sama Ibunya kemana sih? Apa buat air minum saja harus selama ini? apa airnya harus diambil dulu dari mata air dipegunungan?.
Tok! Tok! Tok!
“Ion?”
Suara Melody mengetuk pintu toilet yang gue gunakan, akhirnya gue benar- benar bernafas lega karena hidung gue udah hampir terbiasa mencium aroma toilet. Apalagi gue udah mendapatkan topik pembicaraan untuk orang tuanya Melody! Yaitu gue ingin membicarakan tentang rencana gue sama Melody saat wisuda nanti… Sederhana banget kan?
Kenapa gue gak kepikiran soal ini daritadi!! Emang benar ya kata orang-orang, hal yang sederhana itu emang seperti remote TV.
Dicari gak ketemu, gak dicari malah nongol. “Ion?” Melody mengetuk lagi.
“Ya?”
“Lama amat sih, cepetan yang lain udah nunggu diruang tamu tuh.” “Iya-iya duluan saja.”
Dengan lagak seperti menggunakan toilet gue membuang-buang air sedikit kelantai biar alasan gue ketoilet makin afdol. Setelah itu gue keluar dari toilet dan kembali keruang tamu.
“Nah, Dion. Kalau ini Citra,” ibunya Melody memperkenalkan kakak Melody
kepada gue.
“Udah kenal kok Tante hehe, dulu pernah ketemu di Jakarta.”
“Hehe datang juga adik ipar,” ujar Citra sambil duduk disebelah ayahnya.
Gue kemudian duduk disamping Melody dan ingin membicarakan topik yang udah gue persiapkan tadi.
“Jadi Om, tante. Saya…”
“Oh iya, Ncit. Pesanan ayah tadi udah dibeli belum?” potong bokapnya Melody. “Oh iya, entar ya.”
Gue melihat Citra mengubek-ngubek isi tasnya, sebuah kotak dikeluarkan dan diserahkan kepada bokapnya. Bokapnya memanggut-manggut memandang kotak itu sehabis itu dia memandang gue.
“Spion.”
“Dion yah,” Melody meralat dengan tawa kecilnya.
Demi tuan rumah yang anaknya mau gue nikahin gue rela deh nama gue diplesetin kayak gitu.
“Oh iya maaf-maaf, nih buat kamu.”
Kotak itu diserahkan ke gue, gue lalu melihat kotak itu dan menyeringitkan dahi. “Obat pencuci perut?”
“Iya, itu buat kamu,” balas bokapnya Melody enteng. “Kok dikasih itu Yah?” tanya Istrinya.
“Yaa daritadi bolak-balik WC melulu, ada lebih dari 10 kali dia ini ke WC daritadi,” ulas bokapnya Melody sambil menunjuk gue.
“Oh hahaha,” Citra dan Ibunya tertawa renyah.
“Kamu sakit?” tanya Melody dengan nada yang cemas. “Errr,” gue bingung mau menjawab apa.
Dan sekarang topik pembicaraan kami berubah, awalnya gue mau membicarakan RENCANA GUE SAMA MELODY PAS WISUDA kepada keluarganya akan tetapi
mendadak berubah menjadi topik CARA PRAKTIS BIAR TIDAK SAKIT PERUT. Dan itu ditujukan untuk GUE!!
Yah… bubur sudah tidak bisa kembali menjadi beras.
▬▬▬◻۩ Stockhom Syndrome vol. 2 ۩◻▬▬▬
Kejadian nista yang menimpa gue pada siang hari tadi membuat gue menjadi sedikit naïf untuk bisa lebih dekat dengan orang tua Melody, ditambah lagi hal ini cukup didukung dengan frekuensi pada nuansa malam hari.
Tenang. Dingin.
Dan banyak nyamuk.
Gue sekarang sedang duduk lesehan diteras rumah sambil membasmi makanan pokok utama para cicak-cicak karena keberadaannya mengganggu gue yang berusaha untuk galau.
Galau.
Apa itu galau? Bagi gue galau adalah fase keparat yang dimana membuat kondisi mental penderitanya terpuruk saat otak berkonspirasi dengan ingatan-ingatan untuk mengingat hal yang menyedihkan dan menyakitkan.
Well, karena gue jarang galau maka karena itulah gue berusaha untuk galau sekarang. Ternyata sulit juga, karena itu gue urungin niat itu.
Kenapa gue urungin?
Galau itu gak bisa memberi kepastian, gak ada garansi bilamana penderitanya tidak akan menjadi lebih baik. Kecuali galau itu menguntungkan buat gue, gue akan nyediain tempat galau beserta showernya, jadi yang mau galau bisa memakai tempat gue, lu merenung disitu, dan gue siram pake shower. 2 jam galau mendapat diskon 30%.
Dan… dari galau kenapa malah menjadi ide bisnis seperti ini? ah dasar otak
kapitalis.
Gue keluarkan sebatang rokok. Gue hidupin.
Dan gue hembuskan.
Sekarang gue memasuki fase bunuh diri secara perlahan tapi pasti, asap perak dari ujung rokok berbaur dengan asap putih yang gue keluarkan dari mulut. Gue
keluarkan handphone dan memutar lagu Patience dari Guns N’ Roses.
Lagu yang sangat mendukung suasana yang gue rasakan sekarang. Ah malam… kau sangat menyenangkan hari ini.
Malam…
Oh malam…
“Disini rupanya,” Melody datang dan duduk disamping gue.
“OH TERIMA KASIH TUHAN! AKHIRNYA ADA JUGA ORANG YANG DATANG BUAT BERINTERAKSI SAMA GUE! OTAK GUE DARITADI KACAK-KADUT GARA-GARA BENGONG SENDIRIAN! NGOMONGIN GALAU LAH SAMPAI MEMUJA-MUJA MALAM LAH!” batin gue berteriak
untuk bersyukur.
“Abang ngapain disini? Banyak nyamuk tau diluar,” ulas Melody sambil mengoles lotion anti-nyamuk dipergelangan tangannya.
“Pengen saja, siapa tau nyamuk disini lebih ramah daripada disana hehe.” “Nyamuk mah dimana-mana sama aja kali,” dia tertawa kecil dan mengolesi
pergelangan tangan gue dengan lotion.
“Oh iya, yang lain mana?”
“Mama sama Mbak Citra lagi nonton DVD Korea, kalau Ayah tadi Ody liat lagi bikin kopi didapur.”
“Oh gitu, lalu Frieska kok gak kesini?” “Kampus Frieska hari Sabtu baru libur.” “Hmm-hmm,” gue memanggut-manggut. “Jadi gimana?”
“Ng?” gue menoleh, “Apanya?”
“Ya itu tadi, kesan abang pas ketemu orang tua adek?” “Hehehe kan adek tau sendiri.”
“Hihi abang juga sih, grogi kok pake alasan ketoilet segala.”
“Ya namanya juga grogi, padahal tadi abang udah mau ngomong serius itu sama orang tuanya adek.”
“Mau ngomongin apa?” “Ngomongin…”
“Oh disini rupanya.”
Penjelasan gue terpotong karena bokapnya Melody datang sambil membawa 2 cangkir kopi, beliau ikutan duduk didekat gue sehingga Melody merubah posisi duduknya disamping kanan gue.
“Nih, hati-hati panas,” ujarnya sambil mendorong pelan salah satu cangkir
kearah gue.
“Duh, Om, repot-repot amat hehe.”
“Gakpapa, lagian pas juga buat dingin-dingin gini diluar.”
“Hehehe,” gue cengengesan aje dan menyeringitkan dahi memandang kopi gue, ampas kopinya mengambang semua. Ini berapa sendok sih bubuk kopi dimasukin?
“Jadi Imel, Dion.”
“Iya yah?” balas Melody mewakili gue. “Kalian ini pacaran?”
Gue dan Melody saling melihat, seolah alis kami bersatu karena asyik melakukan kode yaitu turun-naik-turun-naik akhirnya gue yang berbicara.
“Enggak om,” gue tersenyum.
“Hmm kenapa Imel dulu ngasih tau kami mau ngenalin kamu sama saya dan istri saya? Saya kirain Imel mau ngenalin pacarnya.”
“Itu…” Melody memandang gue.
Mengerti maksudnya gue akhirnya teringat lagi ketopik pembicaraan yang ingin gue bicarakan sedari siang.
“Jadi om, saya sama Imel ini emang gak pacaran. Tapi saya sama Imel punya rencana lain sebagai penggantinya.”
“Hoo,” matanya membulat, “Apa penggantinya?” “Gini om…”
“Ya?”
“Saya… sama Imel… nanti…” “Hmmm?”
“Nanti… pas kami wisuda… anu… pas wisuda… anu…” “Hmm anu?” alis bokapnya naik sebelah.
“Iya om… anu…” “Anu-nya siapa?” “Anu-nya saya om…”
“Oh anu-nya kamu…” bokapnya memanggut-manggut. “Iya om…”
“Oh…”
Terjadi keheningan dan gue buru-buru berpikir, LOH KOK JADI NGOMONGIN ANU?!! Terus nih ayahnya Melody kenapa main lurus-lurus aje nanggapin ucapan gue?!
“Emangnya kamu belum sunat?” tanyanya enteng.
Gue jadi malu karena telah merubah topik pembicaraan gegara rasa grogi gue, untung saja gue gak merespon pertanyaan itu dengan cara berdiri, membuka celana, memamerkan dan berteriak dengan bangga, “UDAH SUNAT DONG! BAHKAN JAHITANNYA RAPI!! DIUKIR SPESIAL DENGAN CITA RASA SENI YANG TINGGI OLEH MANTRI SUNAT LANGGANAN KELUARGA SAYA!”
Kan gak mungkin, kecuali gue kepengen melihat ayahnya Melody muntah. “Hihihi,” Melody hanya bisa cekikikan mendengar percakapan kami berdua. “Bukan itu om…”
“Lalu?”
“Saya… nanti pas wisuda sama Imel… saya mau…” “Mau?”
Gue menelan ludah dan mengumpulkan keberanian dalam kurun waktu 2 detik, setelah itu langsung gue selatankan karena utarakan sudah terlalu mainstream.
“Saya mau melamar Imel, om!”
Fiuhhhh! Akhirnya tuh kalimat keluar juga, gue kemudian menoleh dan melihat bokapnya Melody tampak tercengang begitu.
“Wow!” responnya mantap.
“Jadi begitu om, jadi alasan kami gak mau pacaran ya… pacarannya pas nikah aje
hehe.”
“Hoo gitu,” senyumnya tercipta sambil memanggut-manggut.
Gue juga memanggut-manggut, dan biar beliau tambah bangga maka gue hendak meminum kopi buatannya yang dibuat untuk gue. Gue seruput tuh minuman dan alis gue mengkerut.
“Kok asin?” batin gue bertanya. “Kenapa?”
“O-oh e-enggak om hehe.”
Aha! Gue rasa bokap Melody ingin menge-tes gue dengan kopi asin ini. Mungkin pas gue menyeruput dan mengeluh maka gue dianggap CALON MENANTU LEMAH! Tapi sayang sekali wahai calon mertua, calon menantumu ini sudah terlatih dari kecil menikmati asam manisnya kehidupan fu fu fu. Lihat saja kopi ini akan gue habisin sampai ampas-ampasnya!
“Tapi kalau kamu berani melamar Melody pas wisuda… itu berarti kamu udah bekerja?” tanya ayahnya.
Gue teguk kopi asin itu sebentar dan dengan lagak normal gue pun menjawab. “Kerjaan tetap sih belum om, tapi saya…”
“Dion ini punya kedai yang dikelolanya, yah,” sambung Melody untuk
menjelaskan.
“Oh gitu,” ayahnya memanggut-manggut, “Mandiri juga kamu ya.”
“Gak juga sih om, kedainya dikelola juga sama temen-temen saya,” habis itu gue menyeruput kopi asin itu lagi.
Gila asin banget!
“Oh begitu, gimana ceritanya?”
Gue dan Melody kemudian menjelaskan kronologi bagaimana sejarah terbentuknya Kedai Stockholm. Dimulai dari ide Ega saat bersantai di warkop, hingga ketahap pencarian nama saat Veranda menyeletuk salah satu judul lagu Muse berjudul Stockholm Syndrome. Dan selama menjelaskan udah berapa teguk kopi asin ini gue minum, lidah gue kelat bukan main menahan rasa asin yang ada.
“Oh jadi Imel yang bertugas bikin menu special pas malam minggu-nya?”
“Iya om, anak om pinter masak. Resepnya enak-enak,” pujian gue ini membuat Melody tersipu dan tanpa malu lagi memangku kepalanya dipundak gue dihadapan bokapnya.
“Bagus-bagus, belum menikah saja kalian sudah bisa bekerja sama. Karena bahtera pernikahan itu akan kokoh dengan hal tersebut. Dan tampaknya saya tidak perlu mengkhawatirkan hal itu.”
“Makasih om hehe,” gue tersipu, akhirnya gue merasa nyaman ngobrol dengan calon mertua gue dan AKHIRNYA! kopi laknat itu habis gue minum.
“Tapi ya, masih ada yang harus saya ketahui dulu dari kamu,” ujarnya santai sambil tersenyum.
“Apa itu, Om?”
“Hmm hanya saya saja yang tahu,” bokapnya Melody tersenyum penuh arti. “Tes gitu ya, Yah?” timpal Melody.
“Begitulah,” ujarnya sambil mengaduk-aduk kopinya.
Gue menelan ludah, ternyata kopi asin ini tidak cukup menjadi tes buat gue. Pikiran gue macam-macam untuk mengetahui tes apa yang dimaksud, apakah gue disuruh membuat 1000 candi? atau gue diminta membuat perahu dari gunung? atau gue diminta durhaka sama orang tua biar gue dikutuk menjadi batu?
Entah kenapa gue malah tiba-tiba mengingat cerita rakyat untuk hal ini. “Kalau boleh tau, tes-nya itu apa ya om?”
“Kan tadi sudah dibilang hanya saya saja yang tahu, kalian disini sampai hari
Sabtu kan?”
“I-iya,” gue mengangguk segan.
“Sampai dihari itu nanti akan saya beritahu,” ulasnya santai sambil tersenyum.
Gue menelan ludah dan mengharapkan pertolongan dari Melody dengan apa yang dimaksud bokapnya. Akan tetapi Melody sendiri kelihatannya enggak tau, itu bisa dilihat dari alis kami yang sama-sama mengkerut.
“Udah santai saja.”
Gue menoleh dan melihat calon ayah mertua gue ini menyeruput kopinya, tapi tak lama kemudian dia memuncratkan air kopi itu kesamping dengan ekspresi wajah yang kecut.
“Kenapa Yah?” tanya Melody.
“Asin-asin,” keluhnya sambil memainkan lidah. “Loh, emangnya tadi ayah bikin kopi pake garam?”
“Ayah gak tau toples gula dimana, yang biru atau merah sih?”
“Yang biru, jadi ayah pake toples yang merah ya?” Melody sudah hampir tertawa.
Dengan wajah kecutnya karena keasinan, dia memandang anaknya dan mengangguk polos yang sontak saja membuat Melody tertawa terpingkal-pingkal.
“Hihi makanya, kan tadi udah Imel tawarin biar Imel yang buatin. Ayah ngeyel sih, udah tau ayah gak bisa bikin kopi.”
“Ya sekali-kalilah,” balas ayahnya sambil membuang isi cangkir kehalaman.
Sedangkan gue dengan wajah frustasi memandang cangkir kopi yang isinya udah habis gue minum.
“JADI INI BUKAN TES TOH?!!” batin gue berteriak. Keliatannya… gue bakalan sakit perut beneran.
▬▬▬◻۩ Stockhom Syndrome vol. 2 ۩◻▬▬▬
Dengan apa yang terjadi tadi membuat gue susah tidur, ucapan bokapnya Melody sukses membuat terngiang-ngiang dikepala seperti saat kepala gue terngiang-ngiang akan lagu Radja yang ada Dadadam-dadadam-nya didalam mini-market. Sampai-sampai gue dikira fans Radja sama temen-temeng kampus gue karena gue serasa terhipnotis untuk selalu mendendangkan nada Dadadam-dadadam disetiap saat.
Sungguh terlalu engkau Dadadam-Dadadam!
Adzan Subuh telah berkumandang, daripada gue terhanyut dalam ruang pikiran tak jelas mending gue beribadah kepada Pencipta gue, dan gue juga mau berdoa agar diberi petunjuk dengan apa yang dimaksud oleh bokapnya Melody.
“Oh, Dion. Mau kemana?”
Gue menoleh dan melihat Ibu Melody dan suaminya keluar kamar sambil menguap. Dari wajahnya bisa terlihat kalau mereka berdua baru bangun dari tidur.
“Mau ke Masjid Tante yang ada didepan komplek, pintu rumah gak saya kunci gakpapa kan Tante?”
“Oh mau sholat ya. Iya gakpapa, tapi kenapa mata kamu bengkak gitu? belum tidur?” tanyanya yang membuat suaminya juga melihat gue.
“Iya tante hehe.”
Ibu Melody tersenyum dan sedikit tertawa. “Lain kali tidur ya, jaga kesehatan kamu.”
“Kepikiran kayaknya,” dan Suaminya terkekeh melihat gue. “Apanya?”
“Oh, enggak,” bokapnya Melody pun melongos pergi.
Gue hanya bisa cengengesan, setelah itu gue pun pergi ke Masjid sambil memohon kepada Tuhan agar memberi petunjuk tentang tes yang dimaksud bokapnya Melody.
Detik ketemu menit. Menit ketemu jam
Dan seharian ini gue kepikiran melulu dengan hal itu karena sampai sekarang gue belum mendapat petunjuk apapun. Mana sekarang gue nemenin Melody bersama keluarganya belanja lagi, apanya yang bisa dijadikan petunjuk dipusat berbelanjaan ini? Mana nih tempat lagi ada diskon yang keparat banget sehingga orang-orang rame pada berbelanja.
“Tolong pegangin punya adek sama mama ya?” pinta Melody menyerahkan belanjaan dia dan ibunya.
“Tolong juga ya adik ipar hehehe,” begitu juga Citra.
Gue memegang belanjaan mereka hingga kedua tangan gue penuh hanya untuk menggenggam kantong belanjaan. Akan tetapi bukan hanya gue.
“Hadeeeh,” bokapnya Melody menghela nafas disamping gue dengan tangan yang tak jauh berbeda dengan gue.
Ya, kami berdua jadi ‘Kuli angkut’ belanjaan.
“Mau saya pegangin Om?” gue mencoba menawarkan bantuan. Bokapnya Melody menoleh dan berkata.
“Percuma.” “Kenapa?” “Mau bukti?”
“Bukti apa Om?”
“Coba sini kantong kamu itu om yang pegang.”
“Eh? Gak usah, Om. Gakpapa kok ini,” gue mencoba menolak dengan halus.
“Udah, nanti kamu bakalan mengerti apa maksud percuma yang saya bilang
tadi.”
Dengan berat hati gue mengoper kantong belanjaan yang gue pegang kepada bokap Melody. Gue jadi semakin gak enak hati melihat calon ayah mertua gue memegang belanjaan sebanyak itu.
“Oke, sekaranng tinggal menunggu waktunya,” ujarnya santai.
10 menit kemudian.
“Pegangin! Pegangin!” Melody dengan semangat 45 menyerahkan kantong belanjaannya ke gue, begitu juga Citra dan juga Ibunya
“Eh! Eh! Itu lagi diskon 45%! Kesitu yuk! Kesitu yuk!” ajak Citra penuh semangat kepada Adik dan Ibunya.
Mereka bertiga pun pergi dengan semangat membara. Sedangkan gue bengong berdiri sambil menenteng belanjaan yang jumlahnya semakin banyak ditangan gue.
“Tuh kan,” ujar bokapnya Melody.
Mendengar hal itu membuat gue mengerti maksudnya, gue dan bokap Melody saling memandang dan seolah hati kami bersatu kami pun mengangguk. Kami berdua lalu duduk dikursi santai yang disiapkan dan menonton kaum-kaum hawa yang sedang berbelanja dengan beringasnya.
Mungkin benar apa yang dikatakan tetangga gue yaitu Raditya Dika, yang pernah mengatakan kalau tingkat keganasan belanja wanita itu tergantung dari diskon yang diberikan. Dan ini bisa gue lihat didepan mata kepala gue sendiri.
Diskon 20%, pengunjungnya masih adem ayem.
Diskon 30%, pengunjungnya terlihat kebingunan dan panik.
Diskon 40%, pengunjungnya kalap bukan main, sorot mata mereka mendadak
tajam semua.
Diskon 45%, pengunjungnya seperti Vampir yang haus darah setelah setahun
berpuasa.
Dan tadi gue denger katanya nanti siang bakalan ada diskon 70%. Well… gue
rasa nanti bakalan ada pertumpahan darah.
“Seram ya…” celetuk bokapnya Melody. “Iya om…” gue mengangguk-angguk.
Dan hari ini meskipun gue gak mendapat petunjuk apapun soal tes yang dimaksud bokapnya Melody, akan tetapi gue mendapatkan fakta penting dalam kehidupan sosial di-Masyarakat.
Yaitu, betapa seramnya wanita saat berbelanja.
▬▬▬◻۩ Stockhom Syndrome vol. 2 ۩◻▬▬▬
Sekarang adalah hari terakhir gue berada di Bandung, dan sampai sekarang gue pasrah karena sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun dengan tes yang dilakukan bokap Melody. Dan entah kenapa gue sekarang menjadi ragu akan eksistensi Tuhan, karena berapa kali doa yang gue pinta sampai sekarang tak terkabulkan tapi gue buru-buru menghapus semua itu karena gue gak ingin kembali kemasa dimana gue menjadi Atheis, yap 7 tahun yang lalu gue menemukan sedikit hidayah sampai akhirnya gue memeluk agama Islam.
Sehabis Sholat Dzuhur di Masjid gue kembali ke tempat yang menjadi akomodasi
gue selama ini.
“Ion.”
Gue menoleh kedepan dan melihat Melody berlari kecil menghampiri. “Adek kenapa?”
“Enggak hehe mau nyusul abang aja tadi.”
“Oh mau sholat? kan katanya lagi datang bulan.”
“Ish bukan itu, Ayah sama Mama mau ketemu Abang sekarang.” “Oh, tapi abang belum beresin baju nih.”
“Udah adek beresin kok tadi,” ulasnya sambil tersenyum. “Hehe makasih ya.”
Gue dan Melody berjalan santai kerumah dan sesampainya disana gue sudah ditungguin orang tuanya Melody diruang tamu.
“Kenapa pulangnya gak besok saja? kan besok hari Minggu,” tanya Ibunya
Melody.
“Besok ada kegiatan dikampus, Ma. Imel sama Dion yang jadi panitianya, kan gak enak apalagi semua panitia besok sepakat mau gotong royong.”
“Oh emang ada acara apa?” sambung ayahnya Melody. “Ulang tahun kampus, Om,” gue jawab mewakili Melody.
Setelah itu gue merasakan aura yang cukup mencekam. Karena hari inilah bokap Melody akan memberitahukan hasil tes yang ditujukan kepada gue selama ini meskipun gue gak tau tes apa yang dimaksud.
“Jadi Dion, kamu masih mau merencanakan lamaran sehabis wisuda nanti?” Mendengar pertanyaan itu membuat jantung gue hampir meledak.
“Iya om…”
“Hmm,” Ibunya Melody tersenyum dan menepuk-nepuk paha anaknya yang duduk disampingnya itu.
“Tapi seperti yang om bilang 2 hari yang lalu, om akan menilai kamu apakah om berkenan dengan kamu atau tidak. Dan ini sudah om bicarakan Istri om dan menyerahkan semua keputusannya sama om.”
“Iya om…” gue menunduk lesu.
Terjadi sedikit keheningan sehabis itu, gue benar-benar bingung dengan situasi yang gue hadapin sekarang. Seakan-akan gue adalah korban fitnah yang sedang disidang oleh para hakim. Sofa yang gue duduki ini terasa miring sebelah seperti otak gue sekarang yang lagi miring, gue menoleh dan melihat sosok wanita yang bokapnya membuat gue menjadi seperti ini. Melody tersenyum dan memegang tangan gue, seakan dia ingin membuat gue tenang dengan hal ini.
“Dion.”
“Ya om.”
Gue menatap bokapnya Melody begitu juga yang beliau lakukan, dan tak lama kemudian keluar suara dari mulutnya.
“Jangan panggil saya om lagi.”
“Dan jangan panggil saya Tante lagi,” disambung oleh Ibunya Melody.
Mendengar itu gue menunduk pasrah, yah tampaknya gue telah gagal menjalani tes dari bokapnya Melody. Gue mau saja berteriak “Halo-Halo Bandung, Ibu kota periangan! Halo-halo Bandung, kota kenang-kenangan!” dengan menyanyikan lagu Nasional dari Bandung tersebut gue berharap orang tuanya Melody luluh dan mengizinkan gue menikahi anaknya.
Tapi kayaknya gak mungkin. “Jadi… saya gagal ya om…”
“Ya, kamu gagal,” jawabnya mantap.
Gue semakin frustasi mendengar itu, gue melihat tangan Melody yang masih menggenggam erat tangan gue. Gue tersenyum dan menoleh kearah gadis yang telah menemani gue selama ini.
“Maaf ya… Imel…”
Melody gue lihat juga sedih, itu bisa dilihat dari alisnya yang mengerut akan tetapi senyumnya itu masih menempel dibibirnya.
“Imel juga minta maaf ya…”
“Iya,” gue mengangguk, gue lalu menoleh kearah kedua orang tuanya, “Maaf… saya tidak bisa menjadi calon menantu yang seperti kalian harapkan… saya harap… Imel bisa dapat jodoh yang lebih baik… dan lebih baik dari saya…”
“Ya, itu juga yang kami pikirkan,” sambung Ibunya Melody.
Gue serasa teraniaya disini. Rasa-rasanya gue ingin keluar dan galau dibawah kucuran air. Yaitu Air terjun biar galaunya MAKSIMAL.
“Ya, kami pikir tidak ada yang lebih baik lagi menjadi calon menantu kami selain kamu, sebagai calon suaminya Imel nanti, kamu memang pantas,” ujar bokapnya Melody.
“Iya om…” Kemudian hening.
Gue menyeringitkan dahi saat mendengar kata-kata barusan. “Maksudnya om?”
“Loh, tadi suara saya kurang jelas ya?” bokap Melody tertawa ringan.
Gue mulai bingung dan tanpa menunggu Dajjal keluar dari Bumi maka gue langsung mempertanyakan yang ingin gue tanyakan.
“T-tapi tadi katanya saya gagal om…?”
“Iya, kamu gagal. Kamu gagal membuat om menolak kamu menjadi menantu kami nanti,” jawabnya dibarengin tawa bersama istrinya.
Gue cengok.
“Terus soal jangan memanggil kalian dengan panggilan om dan tante lagi…”
“Ya, masa sama calon mertua harus manggil om dan tante lagi kan? Apalagi kami sudah menyutujui hubungan kamu dengan Imel hingga nanti kalian menikah pas selesai
wisuda.”
Gue bengong. “J-j-j-jadi….”
“Ya…” bokap Melody kemudian memandang istrinya, seolah batin suami-istri tersambung lewat tatapan mata akhirnya ibu Melody yang menggangitkan suaminya untuk menjawab.
“Iya Dion, kamu udah kami restuin.”
Senyum gue merekah, gue kemudian memandang Melody yang sudah tersenyum manis untuk gue.
“Dan tadi Ody minta maaf itu ya karena ini hehe, maafin orang tua Ody ya bikin kamu frustasi kayak tadi?” bisiknya kepada gue.
WOHO!!! A-K-H-I-R-N-Y-A!!!
Jadi semua sandiwara kacangan tadi itu untuk membuat gue frustasi terlebih dulu ternyata! Gila! Hebat banget! Gue rasa kalau orang tua nya Melody pemain film mereka pasti mendapatkan Best Acting didalam ajang Piala Oscar! Gila! Gue sangat tersentuh, air mata ingin menetes akan tetapi gue tahan sebisa mungkin.
“Jadi mulai sekarang panggil saja kami Ayah, Ibu. Ya?” pinta bokapnya Melody.” “I-iya Yah, Bu!” gue dengan senang hati memanggil panggilan baru tersebut.
Gue benar-benar bahagia. Saking bahagianya gue ingin menyewa penari-penari untuk berjoget secara liar bersama gue dihalaman rumah orang tuanya Melody, seperti film- film Bollywood gitu. Tapi gue takut bakalan diangkut polisi karena dianggap meresahkan warga saat melihat tarian gue yang dikiranya tarian PEMANGGIL SETAN.
Ah sial! Air mata gue turun setetes, gue seka dan gue tersenyum kepada calon istri yang ada disamping gue.
“Ciee nangis hihihi,” ejeknya sambil mengelap pipi kanan gue. “Hehehehe,” dan gue hanya bisa cengengesan.
Luapan bahagia ini terus terjadi sama gue akan tetapi gue teringat akan sesuatu dan gue tanyain langsung.
“Lalu… tes-nya itu sebenarnya apa ya?”
“Hmm, oh itu. Yang dari kemarin kamu lakukan kok.” “Apanya?” alis gue sedikit kerut.
“Yang biasa kamu lakukan tiap jam 4 pagi, 12 siang, 3 sore, 6 sore, dan 7 malam,” sambung Ibunya Melody.
Gue diem karena gue tahu maksudnya. “Sholat?”
“Ya, sholat. Itu hal yang paling utama ayah Imel nilai dari kamu, begitu juga ibu,” Ibunya Melody menepuk paha suaminya hingga mereka berdua tertawa ringan.
“Oh… gitu… aha-ahahaha,” gua gak menyangka.
“Ya, apa jadinya kepala keluarga tapi tidak bisa menjadi Imam keluarga kan?
Dalam hubungan pernikahan itu jasmani dan rohani harus seimbang.”
“Apalagi ibu denger dari Melody kalau kamu sering ngingetin Imel untuk Sholat disana,” sambung ibunya Melody.
“Iya, dia ini suka marah loh kalau Imel bilang nanti aja sholatnya hehe,” ujar Melody sambil menepuk tangan gue.
Gue hanya bisa memanggut-manggut dan terdiam.
Keraguan gue akan eksistensi Tuhan telah menyadarkan gue akan kebodohan gue. Gue jadi malu telah meragukan kuasa Tuhan yang sudah memberi petunjuk karena tes yang ditujukan kepada gue ternyata sudah gue lakukan setiap harinya yaitu saat menyembahnya.
Dan sejak inilah hati gue semakin teguh dan mantap kalau Tuhan gue itu hanya 1, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
“Nanti kalau liburan lagi main kesini lagi ya, Dion?” pinta ibunya Melody.
“Iya, Bu.” gue menyanggupi. “Dan…”
Gue menoleh dan melihat bokap Melody tersenyum penuh arti.
“Tinggal menunggu kamu dan orang tuamu datang kesini nanti buat melamar
Melody.”
Gue yang mendengar itu mulai tertawa ringan bersama Melody. Gue kemudian memandang Melody yang tersenyum sehabis itu gue memandang bokapnya Melody dan menjawab.
“Pasti!”
▬▬▬◻۩ Stockhom Syndrome vol. 2 ۩◻▬▬▬
Sekarang gue bersama Melody berada didalam kereta menuju Jakarta, kota metropolitan yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Well, gue rasa lebih kejam dosen saat tidak mau meng-ACC skripsi mahasiswa.
“Kalau gak salah abang pernah cerita kalau abang pernah bermimpi kalau ketemu 7 orang yang mirip abang gitu kan?” tanya Melody sambil mengupas apel.
“Iya, kenapa?” gue balik bertanya sambil mengambil potongan apel yang diberikan Melody.
“Gak sih, hanya saja adek ingat cerita mimpi abang yang katanya pasangan abang disemesta lain itu namanya juga Melody, seperti nama adek.”
“Oh iya-iya, kalau gak salah dia itu… Dion semesta 1.” “Mereka juga udah nikah kan?”
“Iya, kenapa?” “Hmm lucu aja hihi.” “Lucu kenapa?” “Nih, entar ya.”
Melody meminta gue untuk memegang apel dan juga pisau kecil. Selagi gue sibuk menggantikan dia mengupas apel, Melody terlihat sibuk mengubek-ngubek isi tasnya yang kayak kantong Doraemon, segala macam barang ada disitu.
“Nah ini dia!”
Gue menoleh sambil menggigit potongan apel yang gue kupas dan melihat Melody menunjukan sebuah buku yang berjudul Beautifull Aurora.
“Buku apa tuh?”
“Novel gitu, cerita remaja sih.” “Oh, tumben suka buku gituan?”
“Iseng aja belinya pas kita pergi belanja kemarin, nah ini dia yang adek bilang
lucu.”
“Lucu kenapa?”
“Nih, dicerita ini tokoh utamanya mirip nama kita berdua loh.” “Oh ya?” gue terkekeh, “Terus?”
“Hihi iya, Ody juga kaget pas baca awalan ceritanya. Tapi lebih lucu lagi adalah kisah orang ini hampir mirip dengan cerita yang ada dimimpi abang.”
“Maksudnya?”
Melody tersenyum dan menjawab.
“Dion dan Melody disini juga udah menikah.” “Hmm terus?”
“Abang bilang Dion yang nikah sama Melody disemesta lain itu masih sekolah
kan?”
“Iya,” gue mengangguk.
“Nah! Dicerita ini Dion sama Melody juga menikah, dan mereka itu menikah saat
masih SMA.”
Gue sedikit tertegun mendengar ulasan Melody. “Serius?”
“Iya hihi, makanya tadi adek bilang lucu kan?” “Hahaha kok bisa kebetulan gitu ya?”
“Gak tau hihi.”
“Coba liat,” pinta gue dengan tangan untuk mengambil buku tersebut.
“Ish!” tangan gue digeplaknya, “Adek belum selesai baca, nanti kalau adek udah selesai baru abang.”
“Iyadeh-iyadeh,” gue mengalah.
Yah bagi gue itu juga hal yang lucu. Entah itu kenyataan atau tidak akan tetapi gue memang pernah bermimpi kalau gue ketemu orang-orang yang mirip rupanya dengan gue. Dan lebih mencengangkannya lagi nama kami semuanya sama yaitu Dion. Didalam mimpi
menceritakan kalau ada Dion-Dion lain yang hidup didunia yang sama akan tetapi disemesta yang berbeda, termasuk Dion gue tentunya. Dan gue ini adalah Dion semesta yang kelima.
Well, gue gak tau itu kenyataan atau enggak. karena sekarang ada buku yang katanya ceritanya itu mirip dengan Dion disemesta pertama berjudul Beautifull Aurora.
“Sayang.”
Gue menyeringitkan dahi dan memandang Melody. “Tumben manggil gitu?”
“Pengen aja manggil gitu hihi, awas tangan kamu, mau nyandar.”
Mengerti maksudnya membuat gue mengangkat tangan kiri setelah itu Melody menyender dibahu gue dan tangan kiri gue tadi gue buat untuk merangkul pundaknya. Selama perjalanan Melody masih asyik membaca buku yang dipegangnya itu sedangkan gue memasang earphone untuk mendengarkan lagu.
“Mau denger lagu?” tawar gue ke Melody. “Boleh,” Melody mengangguk pelan.
Sebelah earphone gue taruh ditelinga kanan Melody sedangkan sisanya gue taruh ditelinga kiri gue.
“Mudah-mudahan aje ada cerita yang kisahnya kayak kita gitu ya.” “Maksudnya?” Melody menoleh untuk melihat gue.
“Ya, terinspirasi dari kisah kita gitu hehehe.” “Hihi ada-ada aja, siapa juga yang mau baca?”
“Ya yang mau baca lah hehe. Malahan aku udah mikirin judul ceritanya nanti.” “Apa?” Melody tersenyum menunggu jawaban gue.
“Sama kayak nama kedai kita, Stockholm.”
“Hihi ada-ada aja, udah ah. Adek mau ngelanjut baca.”
Gue tertawa ringan dengan situasi barusan. Kereta terus melaju dengan kecepatan normal. Dan gue tersenyum memandang arah luar dibalik jendela, setidaknya gue bersyukur gue diciptakan di dunia untuk kisah hidup gue, dan mungkin akan menjadi kisah baru saat gue dan Melody menikah nanti.
Gue menekan tombol play dan lagu Map of your Head dari Muse mengalun ditelinga kami berdua. Sebuah lagu yang bikin pas suasananya dengan situasi sekarang yang dimana dalam perjalanan pulang pada siang hari.
Selagi mendengar lagu entah kenapa membuat gue iseng untuk memikirkan judul buku khayalan yang menceritakan tentang gue dan Melody, dan ini langsung gue bicarakan.
“Hmm mungkin biar gak sama abang tambahin saja katanya ya biar judulnya
berubah?”
“Apa?” Melody menoleh dan tersenyum.
Gue balas senyumannya dan menjawab sambil mengelus kepalanya. “Stockholm Syndrome Vol. 2”
▬▬▬◻۩ T A M A T ۩◻▬▬▬

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
