1. Sorry, Love!

4
0
Deskripsi

Setelah putus dengan pacarnya, Devan memacari Alyssa hanya agar tidak terlihat menyedihkan. Hubungan mereka berjalan normal selama tiga bulan. Akan tetapi, semua itu berubah saat Alyssa mengetahui bahwa Devan berselingkuh dengan mantannya terdahulu, Monica. Merasa dikhianati, Alyssa pun mengakhiri hubungan dengan Devan.

Devan menyetujui keputusan Alyssa dengan perasaan bersalah. Di sisi lain, Devan merasa tidak rela putus dengan Alyssa. Devan mulai menyukai Alyssa, tetapi laki-laki itu juga tidak mau menyakiti Alyssa lagi. Jadi, apakah Devan harus merelakan Alyssa atau kembali memperjuangkannya?

Bab I - Devan

 

"Aku terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan. Aku terperangkap dalam permainanku sendiri. Aku menjadi seorang yang jahat karena keegoisanku. Aku tidak mau menyakitinya. Aku tahu semua ini salahku, dan Tuhan pasti akan menghukumku."
 


___

Aku mengendarai mobilku menuju rumah Alyssa, gadis cantik yang telah tiga bulan menjadi pacarku. Aku terbiasa menjemputnya dan berangkat ke sekolah bersama. Dia adalah gadis cantik yang sangat ceria dan baik hati. Mungkin karena itu juga aku menyukainya.

"Maaf, apa kamu nunggu lama?" tanyaku padanya setelah aku keluar dari mobilku. Aku sudah sampai rumahnya, jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku.

"Lumayan, nggak biasanya juga kamu telat. Maksudku agak lama dari biasanya," jawabnya jujur. Oh iya, dia juga seorang gadis yang jujur, polos, tidak suka basa-basi. Itu yang aku tahu setelah memacarinya.

"Maaf, Tuan Putri," kataku lagi. Kubukakan pintu mobilku untuknya.

Dia tersenyum kecil dan duduk di samping kemudi.

"Kamu udah sarapan?" Oh dia juga sangat perhatian padaku.

"Sarapan, udah kok. Kamu?" Aku mulai menjalankan mobilku.

"Udah juga."

"Baguslah." Aku kembali fokus menyetir.

"Van!"

Aku mengalihkan pandanganku sejenak padanya. "Ya?"

"Janji ya gak bakalan ninggalin aku!" ucapnya sedikit ragu untuk mengatakan. Mungkin pacarku itu malu atau sedikit sungkan mengatakannya. Itu membuat hatiku seperti tertusuk duri. Ngilu.

"Hmm." Aku bergumam dan tersenyum padanya. Kuusap puncak kepalanya lembut.

Hanya percakapan itu yang terjadi. Selama perjalanan kami mendengarkan lagu dari playlist yang aku putar di radio. Sesekali kami ikut bernyanyi saat ada lagu yang kami sukai.

Aku menghentikan mobilku saat tiba di parkiran sekolah. Lalu kami berdua turun, berjalan menuju halaman sekolah.

"Kamu masuk dulu aja, aku masih mau ketemu temen-temen," ucapku sambil mengusap lembut rambut hitam lurusnya.

"Oke kalau gitu, semangat!" Dia tersenyum, mengepalkan satu tangannya menyemangatiku. Lalu dia berlalu dari hadapanku.

"Kamu juga semangat, Babe, jangan mikirin aku mulu!" godaku yang membuatnya menoleh ke arahku lagi.

"Gak akan!" Dia menjulurkan lidahnya dan berlari menuju kelasnya. Haha, imutnya.

Ngomong-ngomong aku sama Alyssa beda kelas, dan jarak kelas kami lumayan jauh. Akan tetapi, kami seangkatan, sama-sama kelas dua belas.

Setelah Alyssa sudah tidak terlihat lagi, aku memutar tubuhku berjalan menuju lapangan voli. Teman-temanku pasti sudah menunggu di sana. Mereka biasanya berangkat lebih awal untuk sekadar bergosip di lapangan voli. Ah, kami adalah atlet voli sekolah.

Aku melihat Rafael dan Reno duduk di kursi penonton. Aku berjalan mendekat ke arah mereka berdua.

"Dateng juga lo akhirnya," sambut Rafael setelah melihat kehadiranku.

"Gue tadi jemput Alyssa dulu," sahutku santai. Aku ikut mereka duduk.

"Biasanya juga elu dateng paling akhir," cibir Reno.

"Udah hafal ngapain dipermasalahin." Aku melirik ke arah Reno.

"Udah, udah, pas kalian barengan gini auranya jadi suram. Damai dong, Bro!" ucap Rafael yang memang terbiasa menjadi tukang pisah saat aku dan Reno terlibat cekcok.

"Devan yang mulai," sewot Reno.

Aku tidak membalas karena tahu bahwa perdebatanku dan Reno akan panjang. "Miya mana, Raf?" Akhirnya aku mengalihkan topik pembicaraan.

"Di kelasnya, lah. Ngapain lo nanyain pacar gue. Dia gak bakal suka sama elo." Rafael yang tadi jadi penengah kini berubah panas.

"Yak elah, dia kan juga sahabat gue. Lagian masa iya gue macarin pacar elo. Gini-gini gue gak bakal nyleding temen sendiri kali." Nada bicaraku ikutan meninggi.

"Emang, sih, lo gak bakal nyleding temen lo. Tapi apa yang lo lakuin ke cewek polos itu?" sindir Reno.

Aku hanya diam mendengar perkataan pedasnya. Bukannya jahat, sebenarnya dia sangat peduli padaku. Dia hanya menutupi sikap pedulinya dengan terus-terusan mencari ribut denganku. Hah, aku menghela napasku kasar.

"Eh, Daniel udah dateng tuh," ucap Rafael memecah keheningan di antara kami.

Aku menoleh dan melihat Daniel, Miya dan Monica bersamanya. Langsung saja Miya bergegas ke arah Rafael. Sedangkan Monica masih berada di samping Daniel. Mereka berdua sepasang kekasih.

"Gimana, udah bikin rencana buat pertandingan minggu depan?" tanya Daniel serius. Selain itu, dia memang tipe orang yang sulit diajak bercanda.

"Udah diatur sama Leon, dan hari ini dia lagi gak masuk. Tapi dia udah kirim pesan ke gue tadi pagi," jawab Reno.

"Oh, kalau gitu bagus deh. Gue cuma mau nanya itu doang. Permisi gue mau ke kantin. Yuk, Sayang!"

Daniel meletakkan satu tangannya di pundak Monica, merangkulnya dan berjalan meninggalkan kami.
Sesaat Monica menoleh ke arah belakang, tatapan mata kami bertemu. Dia, dia membuatku frustrasi.

Aku mengedarkan pandanganku ke arah teman-temanku. Aku harus bisa mengontrol diriku sendiri.

"Di mana Aly?" tanya Miya padaku.

"Gue suruh duluan ke kelasnya," jawabku singkat.

Aku kembali duduk di bangku penonton dan diikuti oleh yang lain. Sekarang ada Miya yang bergabung dengan kami.

"Gue harap lo cepet-cepet bisa ngelupain mantan lo itu, deh. Meski kalian udah pacaran selama tiga tahun," ujar Miya tiba-tiba yang langsung diaminkan dengan sinis oleh Reno.

"Gak usah dibahas." Aku bosan saat mereka mulai membicarakan hal itu. Aku memilih pergi terlebih daripada terjebak di antara mereka.

Jam istirahat, aku memilih tiduran di bangku taman belakang sekolah. Sebuah bangku yang berada tepat di bawah pohon angsana yang cukup rindang. Suasana yang aku sukai, nyaman dan tenang. Sejenak menghilangkan stresku, masih enggan bergabung dengan teman-temanku. Aku memejamkan mataku.

"Hey, Dev!" Suara lembut seseorang membuatku membuka mata. Kulihat Monica berdiri di sebelah bangku yang aku gunakan untuk berbaring.

"Oh, kamu Mon."

Aku hendak bangkit dari posisiku, tetapi Monica mencegahku. Dia ikut duduk di bangku yang panjang ini dan membiarkan kepalaku berada di pangkuannya. Aku masih berada di posisi yang sama, berbaring. Namun, kini kedua paha Monica menjadi bantalan kepalaku.

"Kamu inget kan aku gak suka dipanggil Mon sejak dulu." Dia menundukkan kepalanya melihat wajahku. Dengan posisi seperti ini jelas dia sangat leluasa memandangiku.

"Hah..." Aku menghela napas kasar. Aku ingin bangkit dari posisiku, tetapi aku juga merasa nyaman seperti ini. Lagi-lagi situasi yang membuatku bingung.

"Apa yang kamu lakuin? Ntar dilihat orang," ucapku kemudian, tidak menanggapi ucapan Monica sebelumnya. Dia ini gila.

"Tenang aja, di sini sepi," ucapnya.

Tangannya mulai berani mengelus-elus rambutku. Aku memejamkan mataku, tidak dipungkiri bahwa aku merindukan hal seperti ini. Aku membiarkannya melakukannya. Sejenak pikiranku tertuju pada Alyssa, tetapi aku segera menepisnya.

"Tiga tahun kita berpacaran, kita akhirnya putus meski masih saling cinta. Keadaan gak mihak kita kan. Hah lucu juga."

Aku masih diam dan hanya mendengarkan kata-katanya.

"Jam terakhirmu kosong, 'kan? Aku juga nih. Aku kangen berduaan sama kamu." Aku masih memejamkan kedua mataku, diam mendengarnya bicara.

Cup.

Aku membelalakkan kedua mataku kaget saat dia berani mengecup bibirku. Meski singkat, ini sudah keterlaluan. Dia pacarnya Daniel sekarang.

"Gila kamu, Mon! Kita udah gak ada hubungan apa-apa lagi sekarang." Aku bangkit berdiri. Aku menatap tajam ke arahnya yang masih duduk seperti semula.

"Kenapa? Gak ada yang tahu kok, Dev. Lagian kamu juga masih menginginkan aku, 'kan? Kamu masih cinta sama aku, 'kan? Gak usah bohong!" cercanya.

"Meski aku masih cinta sama kamu, tapi kamu gak boleh seenaknya sama aku. Gak cuma kamu, aku juga udah punya pacar sekarang." Aku sedikit berteriak. Aku mulai memanas.

"Hiks." Monica terisak, dia menangis. Sial apa yang sudah aku lakukan. Aku lemah melihat seorang gadis menangis. Apalagi itu Monica.

"Maaf, aku gak maksud ngebentak kamu. Tapi kamu harus tahu situasi sekarang. Sekarang udah beda sama dulu, Mon." Aku duduk di sampingnya. Memeluknya bermaksud menenangkan.

"Aku tahu kok, Dev. Hiks, maaf. Andai ini semua gak terjadi, pasti aku masih sama kamu," ucapnya masih terisak di pelukanku.

Sreekkkk...

Aku merasa ada sebuah suara di belakang kami. Aku mengedarkan pandangan, tapi tidak ada siapa pun. Taman belakang sekolah ini terletak tepat di belakang gedung kelas dua belas, sisi kiri taman terdapat tempat pembuangan sampah. Aku curiga ada orang yang tidak sengaja melihat kami berdua saat membuang sampah. Mungkin hanya tukang kebun, atau kucing liar yang mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah.

Ping!

Aku membuka pesan masuk pada ponselku.

From : Rafela

Gue lihat Alyssa di samping gerbang. Elo nyuruh dia nunggu di sana atau gimana? Elo juga ke mana ini kan udah jam pulang. Gue titipin tas elo ke dia btw.

Aku terkejut membaca pesannya. Rafela adalah si Rafael, dia sekelas denganku. Ternyata aku di sini sudah cukup lama. Monica masih duduk di sebelahku.

"Dari siapa?" tanyanya kemudian.

"Rafael. Ini udah jam pulang, kita gak denger bel, sial. Aku mau pulang dulu, kamu pasti dicariin Daniel. Permisi ya. Hati-hati kalau pulang!" Aku bicara panjang lebar dan bergegas menuju parkiran mengambil mobil.

"Masih aja bawel," teriak Monica padaku.

Aku menghentikan mobilku di samping gerbang sekolah. Benar saja, Alyssa sudah di sana. Berdiri sambil memeluk tas ransel milikku. Aku keluar dari mobil dan menghampirinya.

"Aku membuatmu menunggu lagi, Babe." Sumpah aku merasa sangat bersalah.

"Gak pa-pa, aku belum lama juga." Dia tersenyum manis padaku. Dan demi apapun, ini membuatku merasa menjadi orang jahat sedunia.

"Ayo masuk kalau gitu!" Aku membukakan pintu mobil untuknya dan bergegas pulang.

Selama perjalanan kami hanya diam. Saling sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku yang merasa entah kenapa menjadi canggung, akhirnya memilih untuk memutar musik. Aku memutar lagu Bruno Mars - Talking to The Moon.

"Itu lagu kesukaanku." Akhirnya Alyssa membuka suara.

"Kalo gitu ayo kita nyanyi bareng-bareng lagi!" kataku penuh semangat.

Seperti ketika berangkat sekolah tadi, kami asyik bernyanyi mengikuti lagu yang kami putar. Sesekali bercanda saat salah satu dari kami salah menyanyikan lirik atau suara kami menjadi fals. Perasaanku sedikit membaik menyaksikan Alyssa yang bernyanyi dengan ceria. Dalam hati, aku berjanji untuk menjadi pacar yang lebih baik lagi.

___

Hari ini aku berangkat sekolah seorang diri. Tadi pagi aku mendapat pesan dari Alyssa, memberitahuku kalau dia sedang sakit. Entah kenapa dia tiba-tiba terserang flu dan badannya demam. Dan kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah. Aku sudah mengajaknya periksa ke dokter, tapi katanya nanti siang saja sepulang sekolah. Jadi, aku berjanji untuk mengantarnya ke dokter nanti.

Jam istirahat kali ini aku membaurkan diri dengan teman-teman lagi. Aku, Reno, dan Rafael sedang di bangku lapangan voli, menyaksikan tim putri berlatih.

"Hah, kenapa Miya seksi banget kalau lagi latihan terus keringetan gitu," komentar Rafael pada pacar tercintanya itu.

"Gue udah bosen denger lo ngucapin kalimat itu berulang-ulang." Reno menoyor kepala Rafael.

"Wajar dong gue muji pacar gue sendiri. Makanya lo buruan cari pacar dah biar gak kesepian mulu!" balas Rafael.

"Kesepian apaan orang lo juga selalu ngerecohin gue. Bahkan buat tenang aja gak bisa. Gak kebayang kalau gue punya pacar terus lo ngerusuh gue mulu. Gue takut pacar gue ntar mutusin gue gara-gara gak kuat sama sikap lo." Reno tidak terima dengan ucapan Rafael.

"Udah-udah. Masa iya sekarang gue yang jadi penengah lo berdua." Aku menengahi mereka.

"Ah iya, btw lo udah ngehubungin Aly lagi belum? Gimana keadaannya sekarang?" tanya Reno mengalihkan topik. Sedangkan Rafael masih terpesona dengan pacarnya.

"Duh gue lupa. Gue chat dia sekarang deh." Sial, aku benar-benar lupa. Aku peduli, tapi ah benar-benar sial.

Rafael yang tadi terpesona dengan Miya kini saling bertatapan dengan Reno. Kemudian mereka berdua geleng-geleng kepala melihatku.

"Kenapa? Gue bener-bener lupa nanyain keadaannya." Dalam hati sebenarnya aku juga mengutuk diriku sendiri.

"Dev, lo yang mulai. Gue harap lo gak nyakitin dia. Buka hati lo buat dia. Sesekali lo perhatiin dan prioritasin dia napa? Dia sayang banget sama lo. Gue jadi kasihan." Reno mulai kesal lagi, dan Rafael hanya mengangguk menyetujui ucapannya.

"Gue tahu." Aku langsung berlalu meninggalkan mereka begitu saja. Aku tahu aku salah, tapi aku tidak mau digurui oleh Reno lagi. Aku hanya perlu menenangkan diri.

"Dev!" Suara itu lagi. Kenapa saat aku ingin tenang dia selalu datang?

"Monica, kamu ngapain?" Ini di atap gedung sekolah dan dia juga menemukanku.

"Menemuimu," jawabnya. Kami berdiri di atas dan melihat pemandangan di bawah.

"Kenapa nemuin aku?" tanyaku lagi.

"Karena aku rindu." Aku tersenyum mendengarnya. Dia, masih sama seperti dulu.

"Kamu, apa yang kamu lakuin di sini?" tanyanya balik.

"Karena pengen berduaan sama kamu." Entah kenapa aku balas menggodanya. Karena aku merasa nyaman bersamanya. Bahkan hanya berdiri seperti ini.

"Dasar gombal." Dia meninju lenganku pelan dan mulai mencubit pinggangku. Aku yang tak mau kalah membalas perbuatannya. Aku gelitiki pinggangnya dan dia tertawa-tawa kegelian.

"Cukup cukup aku gak kuat lagi ahaha hahaha..."

Monica berlari menghindariku, tapi masih tertangkap. Aku menghentikan gelitikanku padanya. Karena kelelahan berlari-lari di atap, akhirnya kami berdua terbaring di lantai atap.

"Dev!" panggilnya.

"Ya?" Aku masih mengatur napasku.

"Anterin aku ke rumah sakit ya ntar sepulang sekolah! Hari ini jatah aku buat jaga Nenek," katanya kemudian.

Neneknya Monica tengah dirawat di rumah sakit. Kabarnya sudah sekitar dua minggu di sana. Monica dan keluarganya bergantian menjaga neneknya.

"Tapi kalau kamu gak bisa gak pa-pa sih," lanjutnya.

"Bisa, kok," jawabku cepat.

"Horee!!!" soraknya.

"Emang Daniel ke mana?" tanyaku. Biasanya Monica ke mana-mana bersama Daniel.

"Dia lagi mewakili sekolah kita ikut lomba renang antar SMA."

"Kamu gak ikut nyemangatin?" tanyaku lagi.

"Katanya gak perlu, lagian kan aku juga jaga Nenek ntar," sahutnya lembut. Aku tersenyum juga.

Monica memiringkan tubuhnya, mendekat padaku. Wajah kami hanya berjarak beberapa senti. Tangan Monica meremas ujung seragamku. Sedangkan satu tanganku menarik tengkuknya mendekat. Membuat bibir kami menempel. Dengan mata yang terpejam, aku dan Monica terlarut dalam ciuman intim yang kami ciptakan.

___

Aku mengemudikan mobilku dengan cepat menuju rumah sakit mengantar Monica. Aku sepertinya sudah gila, aku harus mengantar Alyssa tapi aku malah menyetujui permintaan Monica. Aku berharap dia tidak akan marah jika aku sedikit terlambat. Aku memang gila.

"Dev, ngebut amat," komentar Monica.

"Aku ada janji sama Alyssa, mau ngantarin dia ke dokter tapi aku lupa," jawabku jujur.

"Kalau gitu kamu turunin aku di sini aja. Aku bisa cari taksi," jawabnya. Sepertinya dia juga merasa bersalah.

"Gak pa-pa, dia pasti nungguin aku. Tapi aku harus ngebut ya."

"Hati-hati!"

Aku menghentikan mobilku di depan gedung rumah sakit. Monica langsung turun dari mobilku. Aku membuka kaca mobilku.

"Maaf gak bisa jenguk Nenek, aku titip salam, ya!" ucapku padanya.

"Iya gak pa-pa, makasih udah dianterin. Dan maaf bikin kamu repot," balasnya.

"Gak pa-pa. Kalau gitu aku langsung cabut ya."

"Bentar!"

Cup.

Sekali lagi, dia mendaratkan bibirnya di atas bibirku. Mengecupnya lembut. Membuatku terpejam sesaat.

"Hati-hati, jangan ngebut-ngebut!" ucapnya membuatku tersadar.

"Iya." Hanya kata itu yang berhasil terucap dari mulutku. Aku langsung menjalankan mobilku dengan cepat ke rumah Alyssa.

Aku membanting pintu mobilku begitu tiba di depan rumah Alyssa. Aku segera mengetuk pintu rumahnya. Kuketuk berkali-kali, tapi tidak ada yang membukanya. Aku mulai khawatir. Aku mengeluarkan handphoneku lalu menekan tombol call pada nomor Alyssa. Syukurlah, ponselnya aktif. Tolong angkat, Alyssa!

"Halo!" sapanya dari seberang. Aku menghela napas lega. Akhirnya.

"Babe, kamu di mana?" tanyaku to the point.

"Di perjalanan pulang."

"Kamu dari mana? Jangan bilang kalau... "

"Iya, aku dari rumah sakit. Maaf enggak nungguin kamu. Badanku rasanya udah gak enak banget," jawabnya dengan suara yang sangat pelan.

"Oke, aku tunggu kamu di rumah." Aku memutuskan sambungan telepon. Sial, apa yang aku perbuat padanya. Memang aku telat hampir dua jam karena tadi aku juga sempat makan siang bersama Monica, dan wajar jika dia memilih pergi sendiri.

Aku duduk di kursi teras rumahnya. Aku merasa memang aku tidak berhak dimaafkan kali ini. Entah perasaan apa ini, tapi aku tidak mau kehilangannya. Aku ingin terus bersamanya, mungkin aku akan berubah. Aku akan lebih perhatian padanya.

Beberapa saat kemudian sebuah taksi berhenti di tepi jalan dan Alyssa keluar dengan membawa tas selempangnya. Dari kejauhan dia sudah terlihat sangat rapu, dan dia mengenakan baju hangat. Dia berjalan ke arahku, tepatnya kerumahnya.

"Maafkan aku," kataku ketika dia sudah berada tepat di hadapanku. "Maafkan aku Alyssa." Aku mendekapnya erat.

"Gak pa-pa," ucapnya pelan.

Suaranya terdengar serak. Apa dia menangis? Oh Tuhan, aku membuatnya menangis. Dan dia bilang tidak apa-apa? Bagaimana bisa aku percaya?!

Aku membiarkannya di pelukanku. Dia terisak, entah kenapa dia menangis hebat di pelukanku. Aku tahu dia tidak pernah marah. Dengan air mata dia menumpahkan segala kekesalannya, dan aku mulai memahaminya.

"Van!" Dia melepaskan pelukanku dan mendongak ke arahku.

"Hm?" jawabku seraya mengusap air matanya.

"Cium aku!"

Hah? Ada apa sebenarnya? Dia tidak pernah memintaku seperti ini sebelumnya.

"Menciummu?" Aku sedikit bingung.

"Iya, kali ini saja. Setelah ini aku enggak akan meminta apa pun lagi darimu. Aku akan melepaskanmu."

Deg.

Kata-katanya membuat jantungku mau copot. Tubuhku serasa kehilangan seluruh energiku, lemas.

"Tapi kenapa? Gara-gara aku telat?" Suaraku tercekat.

"Bukan soal itu. Aku udah tahu semuanya, kamu dan Monica. Di taman belakang sekolah, juga di rumah sakit tadi." Dia mengatakannya dengan nada dibuat sekuat mungkin.

"Kamu melihatnya?" Ternyata kemarin itu Alyssa. Aku teringat suara itu ketika di taman kemarin.

"Iya, dan cukup aku mengetahuinya."

Air mataku melolos bersamaan dengan dia yang meneteskan air mata lagi. Aku bisa merasakan rasa sakitnya. Siapa pun, bunuh aku sekarang! Aku terpaku dengan setiap kata-katanya.

"Aku tahu tentang kalian berdua. Jangan berpura-pura padaku, Devan. Kamu masih cinta sama Monica. Bodohnya aku hanya menjadi pelampiasanmu. Dengan bodohnya aku percaya begitu saja padamu. Dengan bodohnya ak-"

Cup.

Takkan kubiarkan dia mengatai dirinya sendiri lagi. Cukup sudah sakit yang aku torehkan padanya. Aku mulai melumat bibir mungilnya. Aku berusaha merasakan semua emosi yang ada pada dirinya. Kesedihannya, kemarahannya, kekecewaannya, kekesalannya, dan kesakitannya. Tak peduli setelah ini hubungan kami usai. Ini hukuman Tuhan untukku karena telah membuatnya terluka. Dan aku sekarang sadar bahwa aku mungkin mulai ada rasa padanya. Namun hal itu terlambat, aku tidak bisa egois.

Aku melepaskan tautan bibir kami. Aku memandangi wajahnya, pipinya masih basah karena air mata. Aku usap air matanya yang masih mengalir dari kedua mata indahnya.

"Terima kasih atas semuanya. Terima kasih untuk ketulusanmu, kebaikanmu, kasih sayangmu, dan rasa cintamu yang begitu besar padaku selama ini. Aku gak akan melupakannya. Gak akan pernah. Dan, aku minta maaf udah nyakitin kamu. Meski aku enggak pantas buat dimaafin."

Aku menundukkan kepalaku dan kukecup singkat keningnya. Tubuhnya terguncang hebat karena isakan. Namun dia hanya diam, tak membalas kata-kataku.

"Aku pergi, jaga dirimu baik-baik."

Aku berjalan pelan meninggalkannya menuju mobilku terparkir. Aku berusaha keras agar tidak berbalik dan kembali memeluknya. Aku tidak mau menyakitinya lagi. Maafkan aku cintaku, Alyssa.

___

To be continue.

 

Fyuhh, akhirnya berhasil upload cerita ini ke sini, Guys. Kalian bisa langsung ke Bab II karena udah ada. Oh iya, di Bab II aku pakai sudut pandang Alyssa. Jadi setiap bab akan berganti sudut pandang (Alyssa dan Devan).

Jangan lupa follow akun aku ini, kasih dukungan juga, ya! Terima kasih udah mampir. Sampai jumpa lagi! 🧡
 

10/08/2022.
 

MeloPearl
 


 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Sorrylove
Selanjutnya 2. Sorry, Love!
3
0
Bab II - AlyssaAku tidak butuh cinta yang pura-pura. Meski aku mencintaimu, aku tidak senang kau bersamaku dengan kepalsuan. Pergilah, temui orang yang benar-benar kau cintai.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan