
Muslim sejati tidak membutuhkan sifat 'merasa sudah baik' atau 'tampak baik'. Jelas, baik sudah pasti baik, yang tampak baik bukan berarti baik.
***
PYARR!!
Jendela kaca di belakang Hawwa mendadak pecah berantakan. Gadis itu langsung memeluk sang ibu.
"Tiarap, menjauh dari jendela!" pinta Hamish kepada kedua wanita di belakangnya. Tindakan itu tepat, karena tidak lama desingan peluru menyusul, memecahkan jendela satunya. Kalau saja mereka berdiri pasti terluka.
Secepat kilat Hamish mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Hawwa ajak Ibu berlindung di balik tembok itu. Saya harus bertindak."
Hawwa ingin memprotes kalimat 'i'm here for you', seperti bisa membaca pikiran Hamish lebih dahulu berkata, "saya pergi bukan berarti janji palsu, ini untuk melindungi kalian."
"Kamu terluka," ucap Hawwa melihat darah mengucur di lengan lelaki itu.
Tanpa memedulikan perkataan Hawwa, Hamish bangkit dan langsung berdiri di belakang pintu. "Jaga diri kalian. Saya harus melumpuhkan penembaknya."
Air mata Hawwa membasahi cadar. Ini pengalaman pertama baginya. Ia pernah melihat film action, tapi tidak menyangka akan mengalami langsung. Ia juga khawatir dengan Hamish, tampaknya tembakan itu mengikuti larinya sang komisaris. Bagaimana kalau peluru itu tepat sasaran?
Tembakan datang dari sebuah jendela rumah berlantai dua, berjarak 20 meter dari rumah Hawwa berada. Jika ia berdiri di belakang rumah depan, pandangan penembak akan terhalang dan tembakannya tidak akan membahayakan dua perempuan yang ada di rumah ini.
Salah satu bawahan Hamish menjerit kesakitan, pasti terkena peluru. Seraya berlari ia memerintahkan petugas satunya menyelamatkan sang teman terlebih dahulu. Selama beberapa detik Hamish menyandarkan tubuh ke dinding. Ia langsung menelepon nomor darurat Polda. "Saya Komisaris Polisi Hamish Akbar dari Bareskrim Polda. Terdapat penembakan misterius. Kirim petugas sekarang! Titik lokasi sudah saya kirimkan."
Hamish lalu keluar dari tempat perlindungan. Kini ia harus berusaha berlari ke rumah sang penembak bersembunyi. Perasaannya agak lega saat satu polisi yang berjaga datang. Rumah itu terkunci, ia harus mencari cara lain yakni menaiki tangga rumah sebelah lalu melompat ke atap.
Meski Hamish berusaha menaiki tangga secepat yang ia bisa, sang penembak sudah pergi mengendarai sepeda motor. Dugaan Hamish, dia menyusup ke rumah kosong itu. "Target sudah pergi, lihat pesan saya, lacak nomor polisi kendaraan itu. Kerja sama lah dengan polisi lalu lintas," perintah Hamish dari telepon kepada Anhar yang sudah menuju ke tempatnya bersama beberapa petugas.
***
Seorang gadis berjilbab menunggu lelaki yang tengah membeli air mineral. Alangkah dermawannya laki-laki itu, semua uang kembalian tanpa pikir panjang masuk begitu saja ke kotak amal. Hal itulah yang membuat sang kekasih yakin tidak akan salah pilih. Pun percaya bisa menjalankan komitmen bersama. Perjanjian mempertahankan hubungan sampai akad pernikahan. Tidak ada perselingkuhan dan melanggar aturan Allah sekalipun berpegangan tangan.
Keduanya selalu dianggap berpacaran. Meski sudah menyangkal tidak ada status semacam itu. Mereka hanya berkomitmen, berhubungan tanpa status. Kedekatan itu dianggap wajar saja, toh keduanya tidak pernah aneh-aneh.
Begitulah setan bekerja menggoda manusia. Tampak halus dan baik, kenyataannya tetap maksiat. Memang tidak mudah mencintai dalam diam. Hakikat 'diam' sendiri kini sering disalahgunakan. Terkadang memasang satu dua kode yang mengisyaratkan ia tengah mencintai seseorang dalam diam. Apa itu yang dikatakan tidak bersuara? Apakah dahulu Sayyidina Fatimah juga mengatakan kepada orang lain kalau dia tengah mencintai seseorang dalam diam?
Lebih lucu lagi. Cinta dalam diam menjadi trend, padahal sebenarnya sama-sama tahu ada rasa. Miris saat melihat syariat agama menjadi gaya, bukan lagi penyempurnaan untuk bekal di kehidupan kemudian hari.
Cara setan membujuk manusia sangat cerdik. Awalnya ia sisipkan keinginan hanya dekat, begitu dekat menjadi candu yang sulit dilepaskan. Kalau sudah bersama, jarak semakin dekat, berani menyentuh sekadar memukul, lalu berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, dan yang paling mengerikan berzina. Sungguh Allah tidak menyukai makhluk yang mendekati zina apalagi berbuat dosa besar itu. Perlahan tapi pasti, begitulah manusia diuji keimanannya.
"Hanna, aku antar ya?" tawarnya sambil memberikan helm.
"Sengaja bawain helm?"
"Iya. Buat kamu."
Pipi Hanna bersemu merah. "Aku takut kamu kena marah Kak Hawwa."
Rizal terkekeh. "Kamu jangan begitu. Segalak-galaknya dia masih kakak kamu kali Han, lagian gertakan dia buat kebaikan kamu."
"Jadi maksud kamu hubungan kita ini gak sehat? Aku selalu membangunkan kamu salat Subuh loh, bahkan kajian ke mana-mana sama kamu. Kita ini berbuat baik bersama bukan nongkrong gak jelas di taman sambil gandengan tangan. Kita gak nyalahin aturan."
Rizal tersenyum. "Jangan marah-marah dong. Jelek."
Kaki Hanna menghentak bumi. "Kesel deh!"
"Udah ayok naik. Langit gelap, keburu Magrib."
Hanna meminta Rizal mengantar sampai masjid saja supaya tidak mendapat omelan sang kakak lagi. Sedangkan lelaki itu malah menunjukkan sikap beraninya dengan menolak usulan. Ia mendeklarasikan siap menikah muda kalau sampai Hawwa memarahinya lagi. Rizal tak mau disangka lelaki bernyali ciut yang hanya berani mendekati tanpa memberi kepastian. Sikap Rizal ini membuat Hawwa semakin percaya. Tak mungkin salah pilih.
"Enak saja. Kita ini masih semester tiga. Masih terlalu muda"
"Ya namanya nikah muda."
Percakapan keduanya semakin asik. Kadang Hanna kelepasan menepuk bahu lelaki yang membonceng. "Alah gapapa gak sentuhan langsung," pikirnya dalam hati.
"Pegangan aja di pundak," saran Rizal.
Mulanya Hanna ragu, tapi ia yakin lagi kalau tindakannya tidak salah selagi masih ada kain pembatas. Sejak kecil Hanna diajarkan jual mahal oleh sang kakak, sehingga berboncengan dengan lawan jenis terkesan tabu. Beranjak dewasa ia pun merasa berhak mengatur jalan hidup, termasuk menjadi diri sendiri. Membuka kesempatan kepada lelaki untuk saling mengenal. Dan Rizal lelaki pertama. Perkenalan mereka terjadi ketika Hanna membagikan selembaran kajian, kebetulan sang kekasih mengadakan penelitian dan membutuhkannya sebagai objek. Kedekatan terjalin setelah wawancara, sering bertemu, membalas snapgram, chatting, hingga di titik ini.
Lagi pula keluarga Rizal mendukung hubungan Hanna. Mama Rizal sering berkirim pesan kepada gadis itu. Memintanya datang ke rumah atau menemani berbelanja. Sempat juga ditawarkan liburan keluarga ke Turki, sayang Hawwa tidak mengizinkan. Malah mengancam tidak akan membiayai kuliah sang adik kalau berangkat. Mama Rizal yang mendatangi Hawwa merasa kewalahan dan kesal, sebab ia justru menceramahinya agar tidak membiarkan anak memiliki hubungan spesial sebelum pernikahan. Sebagai orang tua ia tersinggung, seolah Hawwa tidak percaya kalau Rizal akan melindungi dan menghormati Hanna.
"Polisi yang sering ke rumahmu itu namanya siapa?" tanya Rizal.
"Hamish. Kenapa?"
"Wajahnya lumayan, takut kamu jatuh cinta sama dia."
"Ya enggaklah dia kan udah tiga puluhan umurnya." Hanna menaikkan volume suara agar tidak kalah dengan deru angin. "Cocokan sama Kak Hawwa."
"Terus kenapa gak dijodohin aja?"
"Kamu tahu sendiri gimana sok lakunya Kak Hawwa. Jual mahalnya kebangetan, bikin cowok-cowok takut mau deketin."
"Tapi kalau aku jadi Hamish aku akan memilih Hanna. Karena cantik."
Hanna bertekad jail. "Karena apa? Aku gak denger, anginnya kenceng banget. Kamu bisa gak sih kurangi kecepatan?"
"Karena kamu cantik."
"Apa?"
"Karena kamu cantik."
"Gak dengar."
Rizal mengeraskan suara sampai-sampai meminggirkan sepeda motor agar berjalan lambat. "Karena kamu cantik."
Hanna tersenyum. Ia masih meneruskan aksinya. "Polisi itu lumayan juga sih, Zal. Meski Om-Om tapi wajahnya masih dua puluhan. Lumayan nanti waktu nikah bisa pedang pora."
"Nanti aku tes polisi deh biar bisa pedang pora."
Sepeda motor Rizal berjalan lagi. Mereka tidak mengobrol, hanya menikmati degup jantung yang berpacu abnormal.
"Berhenti, berhenti!" pinta Hanna melihat keributan di daerah rumahnya. Banyak warga berdiri di depan rumah. "Kayaknya lagi gak beres. Kamu pulang langsung saja. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Nanti kabarin ya kalau ada masalah." Rizal meninggalkan Hanna dengan rasa penasaran. Ingin singgah, tapi tidak mau melihat Hanna merengek mendengar hujatan tetangga membawa pulang lelaki yang bukan mahram padahal kakaknya bercadar.
"Siap."
Begitu berjalan di gang menuju rumah, Hanna dikagetkan oleh kehadiran Hamish dari celah sempit rumah tetangga. Ia tampak lusuh, wajahnya penuh keringat.
"Kak Hamish, ada apa?"
Hamish berusaha merapikan bajunya. "Serangan tidak terduga tiga puluh delapan menit lalu."
Hanna langsung bergidik ngeri. Matanya mewaspadai sekitar. "Sekarang udah aman?'
"Sudah. Dia kabur."
Hamish berlari membantu temannya masuk ke dalam ambulans. Empat polisi yang ada di depan rumah kini ikut berjaga. "Kita harus waspada. Musuh mengintai. Selidiki kasus malam ini. Anhar, saya ambil tas di dalam. Kita ke kantor bersama."
Ada yang melarang Hamish pergi. Ia membawa kotak P3K siap membalut luka lelaki itu. "Hamish jangan pergi dulu. Lukamu bisa infeksi."
"Gapapa, sudah biasa," jawabnya enteng mengundang gertakan dari Hawwa. Manusia tidak seharusnya selalu hidup berdasar kebiasaan. Juga tidak boleh meremehkan hal kecil.
"Hantu susah banget ya dibilangin!"
Tidak ingin kalah cepat Hawwa memakai sarung tangan steril, menarik tangan Hamish dan memintanya duduk. "Tidak sampai sepuluh menit."
Keahlian Hawwa tidak bisa diragukan, sampai Hamish berpikir gadis itu berbakat menjadi dokter. Hanna diam menyaksikan. Sedangkan Rofiah masih menangkan diri.
Beberapa kerutan di sekitar mata Hawwa membuat Hamish tersipu. Gadis itu khawatir kepadanya. Semakin menyulutkan semangat membawanya ke pelaminan.
Tanpa sengaja mata keduanya bertemu, menciptakan debaran di jantung Hamish. Hawwa pun refleks menjauh. "Sudah selesai."
"Trampil juga," puji Hamish.
"Kak Hawwa dulu ikut Palang Merah Remaja. Berniat jadi dokter, tapi gagal beasiswa. Ibu gak sanggup kalau harus biaya sendiri." Hanna menginformasikan kehidupan masa lalu sang kakak. Sontak ia mendapat pelototan mata, Hawwa tidak suka kehidupan pribadinya diumbar-umbar.
Rofiah datang. Mata Hamish yang memandang pecahan kaca merasa bersalah. "Bu maafkan saya rumahnya jadi berantakan. Nanti kasih tahu biaya perbaikan ya, supaya saya ganti."
"Jangan pikirkan itu. Khawatirkan dirimu sendiri. Jelas jelas dia ingin membunuhmu. Heran ibu, kamu kok bisa setenang ini."
"Polisi gak boleh stres, Bu. Lagi pula hidup dan mati sudah Allah tentukan."
Anhar masuk, memberi tahu kalau Ajun Komisaris mengetahui kejadian ini, ia meminta laporan langsung dari Hamish. Niatnya melamar harus ditunda, ia pun berpamitan tanpa lupa meminta maaf atas kekacauan yang terjadi.
Sesampainya Hamish di mulut pintu, ia mendengar permintaan mengejutkan.
"Tolong, nikahi saya!"
Rofiah dan Hawwa memanggil bersamaan, tidak pernah menyangka. "Hanna, apa yang kamu katakan?"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
