
“Terkadang sebuah perpisahan bisa menjadi jalan terbaik, daripada bersama namun saling terluka.”
Saat takdir sudah tertulis, maka kita sebagai umat manusia hanya dapat menjalani apa yang telah Tuhan gariskan. Sekuat apapun kita mencoba untuk menghindar, tapi jika itu sudah suratan takdir, maka hasil yang akan didapati hanyalah apa yang telah Allah tetapkan.
Begitu pula dengan pernikahan, sebagai mana yang selalu ditanamkan dalam hidup. Bahwasannya biduk rumah tangga bukanlah sebuah permainan yang dapat diganti atau diabaikan ketika menjalaninya. Begitu pula dengan diriku yang pernah berjuang sekuat hati mempertahankan pernikahan yang sedari awal tidak pernah aku hendaki.
Aku dinikahkan dengan seorang pemuda yang pernah terlibat dengan hal-hal yang dilarang oleh agama, sering mabuk-mabukan, dan menurut kabar yang beredar dia kedapatan tengah mengisap barang haram di kamarnya. Aku merasa seperti tumbal yang dipersembahkan untuk menutupi kebejatan seseorang.
Orang tuanya berhasil membujuk Ayahku untuk merelakan putrinya untuk membimbing pria itu. Pernahkah beliau berpikir bahwa aku sendiri masih membutuhkan bimbingan?
Lantas bagaimana mereka bisa bersikap kejam dengan menyerahkan beban yang begitu berat di pundakku?
Aku tidak mengecap pelajaran agama di pesantren seperti santriwati pada umumnya. Aku hanya belajar dari Ayah dan itupun hanya sebatas hal-hal dasar mengenai agama, mungkin jika ditanya soal fasih mengaji Insyaallah aku masih bisa.
Tapi jika harus mengajari suamiku sendiri... Aku tidak memiliki keyakinan penuh akan hal tersebut. Pemikiran itu tak ayal membuat hatiku merasa rapuh. Pernikahan itu hanya tinggal menunggu menit, semuanya disiapkan secara mendadak. Bahkan aku sebagai pengantin wanita hanya mengenakan baju lengan panjang dengan bawahan maxi serta kepalaku ditutup dengan kerudung sederhana.
Semua yang aku kenakan benar-benar sangat sederhana, ingin rasanya aku menangis sejadi-jadinya. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Bahkan melarikan diri dari semua ini sudah tidak memungkinkan, selama satu minggu terakhir orang-orang berjaga di depan pintu kamar yang aku tempati.
Mungkin mereka menyadari bahwa tindakan melarikan diri masih sanggup aku lakukan, mengingat tahun lalu aku pernah kabur dari perjodohan yang seperti ini. Di kampung banyak anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah dipaksa untuk menikah, bahkan usia enam belas atau tujuh belas tahun sudah dianggap tua dan biasanya jadi bahan gunjingan tetangga.
Ironi itu bahkan terus berlanjut dari generasi ke generasi, anak-anak perempuan yang tidak berkerja atau sekolah. Mereka hanya memiliki satu pilihan; mereka harus mau dinikahkan atau menjadi bahan gunjingan tetangga. Aku merasa marah atas sikap semua orang yang terlibat dalam pernikahan ini. Hal itu membuatku menolak tawaran saat mereka berencana mendatangkan penata rias.
Aku lebih memilih terlihat buruk daripada harus mengenakan pakaian pengantin lengkap dengan riasan cantik, karena semua itu hanya menjadi kamuflase. Tidak ada yang bisa membuatku tersenyum saat masa depan yang akan kutempuh sudah cukup mengguncang perasaanku.
Ya, Allah kenapa kau memberikan pernikahan seperti ini untukku?
Aku tidak bermaksud untuk menyalahkan Tuhan. Tapi... hati ini masih merasa berat untuk menerima semuanya, perasaanku masih belum menemukan keikhlasan. Aku ingin menikah layaknya wanita lain, dirayakan secara resmi dan sebagainya. Aku tidak menuntut banyak, tapi setidaknya ingin jauh lebih baik daripada saat yang sedang aku jalani.
Aku tetap diam saat ijab qabul dilaksanakan, bahkan ketika penghulu menanyakan kesiapanku. Yang aku lakukan hanya mengangguk patuh, tidak mungkin aku mempermalukan Ayah dan Ibu di hadapan semua tamu yang hadir, meski tidak banyak, tapi semua tetangga dan saudara dari ke dua belah pihak semuanya berada di ruangan ini.
Setelah semua acara ramah tamah selesai, semua tamu beranjak pulang. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan sedih, aku berusaha menenangkan perasaan meski tahu bukan ini yang aku inginkan. Aku berusaha mengikhlaskan semuanya, berjanji pada diri sendiri bahwa aku sudah menjadi seorang istri.
Menanamkan pemikiran bahwa saat ini aku memiliki tanggung jawab, harus bisa membimbing suami agar berjalan di jalan Allah. Pemikiran tersebut terus aku lafalkan, meski tidak sepenuhnya berhasil, tapi setidaknya aku mendapat penghiburan diri karena alasan tanggung jawab. Aku kini mengemban tugas untuk menjadi seorang istri yang berbakti.
Jika harus aku menjabarkan bagaimana pria yang sudah menikahiku, dia memiliki hidung mancung, matanya sedikit sipit. Sementara kulitnya yang bersih membuatnya terlihat seperti orang keturunan meskipun hanya sedikit.
Aku melihatnya masuk ke dalam kamar, matanya terlihat sayu sementara bibirnya hanya tersenyum samar saat dia melihatku yang beringsut menjauh ke sisi lain. Tanpa mengucapkan kata-kata dia langsung berbaring dan tidak lama napasnya sudah teratur ketika dia sudah benar-benar terlelap.
Aku keluar kamar mengingat hari masih sore, membantu Ibu melakukan pekerjaan di dapur. Beliau terus memberikan wejangan tentang bagaimana menjadi istri yang baik, Ayah juga tidak mau kalah, dia terus memberikan petuah tentang tugas-tugas seorang istri yang harus patuh pada suaminya.
Aku hanya berusaha untuk menyenangkan mereka, dan berharap pernikahan ini akan berjalan dengan baik. Sekuat tenaga berserah diri kepada Allah dan berharap hatiku dapat memiliki keikhlasan untuk mengarungi rumah tangga. Ada rasa takut saat aku harus kembali ke kamar, malam itu mungkin aku sudah menangis meraung-raung jika tidak ingat bahwa hubungan kami sudah halal, dia melakukan tugas pertamanya—yang menurut—dengan sangat kasar.
Setelah selesai dia tidak mengucapkan sepatah katapun, aku merasa terluka karena hanya digunakan seperti barang yang tidak memiliki perasaan. Malam pertamaku terasa sangat menyakitkan secara lahir dan batin, paginya ketika dia bangun ucapan yang dilontarkannya membuat hatiku seperti ditohok.
"Kamu udah kayak gak suci lagi."
Ya, Allah dia sengaja melontarkan kata-kata tersebut, padahal dia tahu semua itu tidak benar. Ucapannya tersebut melukai harga diriku, warna merah yang tertinggal di alas tidur tidak dindahkannya. Jangankan untuk berhubungan dengan lawan jenis, pacaran saja Ayah selalu melarang dan pria yang aku temui hanya mereka yang biasa datang ke rumah untuk melamar.
***
Perlahan aku mulai bisa menerima semuanya, rasa sedihku berubah menjadi rasa bahagia saat melihatnya mau menjadi Imam dan belajar mengaji setiap hari. Aku tidak perlu banyak berusaha karena saat kecil dia sempat diajarkan pelajaran Agama pada umumnya, aku hanya tinggal melanjutkan dan mengasahnya setiap hari. Setelah shalat berjamaah kami selalu menyempatkan diri untuk membaca Al-quran bersama.
Itu masa-masa indah yang menumbuhkan rasa sayang di hatiku, meski di sisi lain pribadinya membuatku terlihat seperti seorang pembantu di rumahnya. Dia membawaku untuk tinggal di rumah orang tuanya mengingat kami belum ada rumah sendiri, pekerjaan rumah dari mulai memasak, mencuci pakaian dan semua urusan rumah tangga. Telah menjadi tugasku secara penuh dan tidak boleh ditinggalkan.
Awalnya kebiasaan buruk yang dia miliki hanya bila memintaku mengerjakan sesuatu selalu memerintah dengan nada kasar. Orang tuanya juga tidak pernah menegur sikap anaknya yang satu itu, pernah satu kali Ibuku kebetulan menjenguk dan melihat perlakuannya tersebut. Beliau tampak terluka dan merasa anaknya diperlakukan dengan tidak baik.
Ibu menanyakan apakah aku hidup bahagia?
Apa aku setiap hari diperlakukan seperti pembantu di depan semua orang?
Jawaban yang aku berikan adalah kata-kata menenangkan dan berusaha membelanya, aku berusaha meyakinkannya bahwa pernikahan ini membuatku bahagia. Tidak sekalipun aku pernah becerita bahwa adakalanya suamiku pernah main tangan jika dia sedang marah.
Setelah enam bulan menikah akhirnya Allah memberikan titipan kepada kami, aku positif hamil dan saat itu aku sudah mulai ikut bersamanya ke jakarta untuk merantau bersama. Ibu mertuaku sering sakit-sakitan, dan kondisi penyakitnya tidak bisa diprediksi mengingat sudah banyak orang pintar yang bilang bahwa penyakitnya adalah hasil guna-guna dari orang yang tidak suka pada beliau.
Meski tidak tahu kebenarannya, tapi hal-hal aneh memang sering terjadi. Sehingga Ibu mertuaku itu memang tidak bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Hal tersebut mengharuskan aku untuk kembali tinggal di kampung bersama beliau. Saat aku hamil sampai harus disuntik penguat kandungan mengingat aku sangat kurus dan seperti tidak terawat, tepat bulan ke empat, ketika akan diadakan syukuran untuk aku dan janin di dalam perut. Semua persiapan aku kerjakan sendiri, kecuali untuk memasak, saat itu meminta bantuan tetangga.
Saat sudah selesai mempersiapkan semuanya aku sudah merasa lelah, tapi aku tidak mau mengeluh dan tetap membantu sebisa mungkin. Acara berlangsung dengan lancar, aku sudah benar-benar kelelahan dan meminta pulang ke rumah orang tua untuk beberapa hari, aku merasa sangat butuh istirahat. Karena jika masih di sana, pekerjaan rumah tidak bisa aku abaikan begitu saja.
Dengan enggan suami mengantarkan aku pulang, perjalanan hanya memakan waktu setengah jam menggunakan sepeda motor. Dia hanya mampir sebentar dan entah kenapa tidak pernah betah jika berkunjung ke rumah orang tuaku. Hal tersebut sejujurnya membuatku sedih dan sering merasa tidak enak sama Ibu yang selalu bertanya akan sikapnya tersebut.
Aku selalu mencari alasan dan berusaha membelanya agar tetap tampak baik di mata ke dua orang tuaku. Aku tidur di kamar yang dulu pernah menjadi kamarku semasa gadis, semalam suntuk aku merasakan kontaksi pada perut. Namun tidak ingin membuat Ibu khawatir jadi keesokan paginya aku membiarkan beliau pergi ke sawah. Mengingat musim panen jadi semua orang sibuk dan aku sendirian di rumah.
Setelah semua orang berangkat kontraksinya semakin kuat dan bertambah sakit, beruntung pukul setengah sembilan Nenekku yang rumahnya tepat berhadapan dengan rumah Ibu sudah pulang awal. Aku akhirnya menceritakan pada beliau kalau sudah sejak semalam perutku terus kontaksi dan ada air yang terus mengalir di antara kakiku.
Beliau yang berusia 67 tahu bergegas pergi untuk memanggil dukun beranak, dikarenakan bidan rumahnya jauh dari desa. Setelah Nenek pergi kontaksinya luar biasa hebat, rasa sakitnya terus bertambah dan semakin menjadi, hingga akhirnya aku berani bersumpah seolah mendengar seperti sesuatu yang pecah di dalam perut. Detik berikutnya cairan yang sangat banyak membasahi kakiku, disusul dengan mahluk kecil sebesar dua ruas jari keluar dari jalan lahir. Masyaallah, aku bisa melihat daging pucat berbentuk manusia itu memiliki wajah yang sangat mirip dengan suamiku.
Meski bagian matanya belum terbelah, tapi bentuk wajah, tubuh, tangan dan kaki semuanya sudah terbentuk dengan sempurna. Janin itu tidak selamat, selain lahir prematur kemungkinan besar dia sudah meninggal saat masih di dalam perut. Aku menangis dan terduduk lemas di ruang tamu saat Nenek sudah pulang dan berkata dukun beranaknya sedang pergi.
Suara beliau yang terkesiap membuat tangisanku kian menjadi, sekuat tenaga tubuh rentanya memapahku untuk berpindah tempat. Ada kasur yamg sudah dibentangkan di ruang keluarga, aku berbaring dan terus menangis. Ya, Allah melihat darah daging yang masih belum memiliki kekuatan tergeletak di telapak tangan rasanya benar-benar sakit. Usiaku saat menikah baru 16 tahun. Dan saat ini aku meletakan janin berusia empat bulan yang baru saja aku lahirkan secara prematur di usiaku yang baru tujuh belas.
Itu merupakan pukulan terberat yang harus aku alami, suamiku datang dengan wajah bingung saat melihatku terbaring dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Saat dia bertanya apa yang terjadi, aku hanya menangis dan tidak sanggup untuk menceritakan apa yang telah aku alami.
Hingga akhirnya Ayah mengajaknya untuk ke ruangan sebelah dan menceritakan semua. Suamiku tampak biasa-biasa saja, dia mengucapkan beberapa kata penghiburan. Selama semalaman penuh aku terus menangis setelah melihat janin itu telah dikebumikan di belakang rumah. Aku masih merasa semuanya seperti mimpi, wanita mana yang tidak akan berduka jika kehilangan anaknya? Bahkan anak yang tidak akan pernah aku susui, anak yang tidak akan pernah membuatku terbangun karena mendengar tangisnya di tengah malam.
Aku masih belum mau makan hingga keesokan harinya, aku meminta suamiku untuk menemani dan jangan pulang dulu ke rumah orang tuanya. Tapi hal yang aku dapatkan hanya ucapan datar dan alasan yang tidak terlalu penting, dia bergegas pergi saat aku menangis dan berharap dia mau menyisihkan waktu untuk berada di dekatku. Tadinya aku berangan ingin mendapat sedikit ketenangan dari laki-laki yang pernah menanamkan kehidupan dalam perutku.
Tapi semua itu pupus, sejak saat itu aku harus lebih banyak bersabar dari sebelumnya. Ibu mertuaku datang menjenguk dan ucapan yang dikatakan beliau membuatku ingin menangis sejadi-jadinya. "Untung kegugurannya di sini, kalau di rumah Umi bisa-bisa nanti disalahin gara-gara kecapean."
Ya, Allah entah kenapa aku merasa kata-kata tersebut terasa sangat menyakitkan. Mulai saat itu Ibuku seolah dapat melihat bahwa ada yang salah dalam rumah tangga anaknya, beliau selalu berusaha bertanya dan mamintaku untuk bercerita jika ada hal yang membuat hatiku terluka.
Aku terus bertahan selama yang aku bisa, pernikahan itu terus aku lewati dengan sikap kasarnya yang semakin menjadi. Jika kami sedang jalan berdua dia selalu bebas mengamati setiap wanita, sementara jika ada pria yang menggodaku—padahal aku tidak pernah menanggapinya sekalipun—selalu saja suamiku itu marah dan mengamuk jika kami sudah sampai di rumah. Aku mulai sering menerima tamparan dan pukulan, dia semakin bebas melakukan semua itu setelah aku kembali ikut ke jakarta.
Aku benci pada tetangga yang usil dan suka menggoda, padahal jelas-jelas aku sudah bersuami. Dan suamiku mengetahui semuanya dengan baik, tidak pernah sekalipun aku menanggapi mereka. Tapi dia melampiaskan kekesalannya padaku. Bahkan aku pernah dikurung seharian penuh saat dia berkerja, Kakaknya yang tinggal di jakarta pernah menasehatinya. Namun tidak pernah dihiraukan sama sekali, aku terus bersabar dan tetap patuh pada semua titah dan keinginannya.
Setiap kali dia selesai memukulku, maka setelahnya dia selalu mengucapkan permintaan maaf dan berjanji tidak akan pernah mengulanginya. Semuanya terus berlanjut, dan terus terulang. Aku selalu bersabar dan masalah kian menjadi setelah aku berkerja di mall dekat rumah. Sikap buruknya semakin tidak terkendali, padahal aku bekerja atas ijin darinya dan juga untuk membantu perekonimian keluarga, pertengkaran lebih sering terjadi. Pukulan demi pukulan lebih sering aku terima setiap kali dia merasa cemburu jika ada pria yang tersenyum dan aku membalasnya.
Aku melakukan itu bukan karena sengaja ingin bergenit-genit atau semacamnya, hal itu aku lakukan karena memang bagian dari perkerjaan. Aku dituntut untuk ramah pada pembeli, tapi suamiku malah berpikiran macam-macam dan selalu memaki dengan kata-kata kotor.
Setelah dua bulan aku berkerja, dia pernah murka dan mengucapkan kata talak saat aku pulang terlambat karena macet. Detik itu juga aku merasa kesabaranku sudah habis, tanpa sadar kesabaran dan rasa sakit yang menumpuk aku keluarkan semuanya, dan setelah semua kepedihan aku keluarkan. Rasa sayangku untuknya seperti menguap dan aku benar-benar tidak merasakan apapun lagi. Bahkan rasa sakit yang selama ini aku tanggung tidak tersisa sedikitpun, hatiku benar-benar mati rasa.
Malam itu juga aku mengemas semua baju dan meminta untuk dipulangkan pada orang tuaku, aku tahu perceraian dibenci Allah. Tapi dia sudah mengucapkan ikrar talak, tidak ada alasan lagi bagiku untuk tetap bertahan, dua tahun rasanya sudah cukup untuk bergulat dengan rasa sakit. Saat melihat kebulatan tekadku, dia terus memohon bahkan menangis. Tapi hatiku sudah kebas, aku tidak dapat dibujuk, kedua orang tua kami pada awalnya tidak percaya kalau selama ini dia suka main tangan. Sampai akhirnya dia mengakui semuanya saat kami bermusyawarah.
Aku tetap meminta cerai dan dia bersikeras tidak ingin berpisah, janji untuk berubah dan kata-kata manis terus diumbar. Aku merasa sudah cukup banyak waktu yang aku kuberikan. Sudah banyak maaf yang aku lapaskan setiap kali dia berbuat kasar.
Tapi keputusanku kali sudah bulat, aku ingin melanjutkan hidup tanpa rasa sakit dan aku sudah berniat untuk membahagiakan orang tua daripada mencari penggantinya. Mereka sangat terpukul saat mengetahui hal tersebut, Ayah dan Ibu nyaris tidak percaya karena selama menikah aku memang menutupi keburukan suami dan masalah dalam rumah tangga dengan sangat baik.
Dua bulan kemudian pengadilan mengeluarkan putusan dan kami resmi bercerai. Aku melanjutkan hidup dan terus berkerja. Dia terus meminta kembali dan terus berusaha mengajak untuk rujuk. Dia mendatangiku selama dua tahun penuh. Mungkin dia baru menyadari bahwa selama ini telah menyia-nyiakan kasih sayang dan rasa percaya yang telah kuberikan.
Penebusan kesalahannya sudah tidak bisa meluluhkan hatiku yang sudah beku, aku memang sudah membunuh semua rasa sayang yang pernah aku miliki untuknya. Karena perpisahan ini adalah yang terbaik, percuma jika terus bersama jika pada akhirnya hanya akan terus membuatku lebih terluka.
Setidaknya, sekarang dia sadar bahwa marahnya orang sabar, dan kecewanya orang pendiam jauh lebih mengerikan daripada janji palsu yang tidak pernah bisa ia tepati.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
