
Mencintaimu dalam diam adalah sebuah hal yang tidak akan pernah aku sesali di dunia ini. Karena bahagia itu tidak harus selalu bersama, adakalanya takdir punya cara sendiri untuk membuat kita saling terluka… meskipun pada akhirnya tidak selalu harus terpisah.
Senyuman itu terus kuukir, tidak berniat untuk menunjukan sisi rapuh yang kumiliki. Melihatnya bahagia adalah suatu hal terindah yang kuharapkan. Bertahun mencintainya dalam diam, nyatanya tidak sedikitpun membuatku memiliki keberanian untuk berlayar menuju hatinya. Tidak sedikitpun aku berani untuk menyalakan tanda yang akan membuatnya menjadi tahu, melihatnya dari jarak dekat sudah cukup untuk membuat anganku terbang. Berada di dekatnya adalah sebuah kebahagiaan yang sulit untuk dijabarkan seperti apa.
Setelah memendam rasa ini sekian lama, akhirnya aku melihatmu bergandengan tangan dengan teman dekatku. Kau tahu apa yang kurasakan? Saat temanku bercerita tentangmu dengan wajah sumringah. Aku menelan pil pahit yang terasa menyiksa, aku tersenyum dan mengucapkan selamat dengan ikhlas. Meski pada kenyataannya, jauh di dasar hati aku mengerang kesakitan. Batinku runtuh bak puing-puing rumah yang terkena angin topan. Aku nyaris tidak dapat mengenal lagi tempatku berpijak, aku masih mendamba, tapi sisi lain dari diriku merintih menahan pilu.
Berharap kau bisa menjadi miliku—meski tak mungkin. Aku selalu berharap kau akan melihatku yang selalu menyendiri untuk memikirkanmu. Masa tiga tahun di sekolah menengah terasa cepat saat kita harus mendekati kelulusan. Saat mengetahui kau putus dengannya, hati kecilku tersenyum masam. Ingin merengkuhmu tapi tidak memiliki keberanian untuk itu, aku tetap memakai topeng sebagai seorang sahabat. Terlebih saat ini kau mantan kekasih sahabatku, tidak adil rasanya jika aku menanam sebilah duri dalam sahabatku sendiri, karena aku tahu dia menyayangimu meski tidak sebesar rasa sayangku padamu.
Selama tiga bulan bergulir, kau dan dia terapung dalam perasaan yang samar. Aku melihatmu saat menatapnya, dan aku mengerti ada kebimbangan dan rasa sakit di sana. Aku menyaksikan betapa sahabatku masih memujamu, berusaha untuk merengkuhmu kembali ke sisinya. Kini aku paham apa arti tatapan itu, kau dicampakkan begitu saja oleh sahabatku sendiri. Aku menyesal atas tindakan bodohnya, aku berpura-pura menjadi bodoh dan tidak mengetahui apapun. Hingga sebuah kabar burung membuatku terasa melayang menuju awan, sahabat karibmu membocorkan apa yang kau katakan padanya.
"Dri, Husein cerita sama aku kalau dia suka sama kamu," dia memanggil penggalan namaku Indriani.
Pernyataannya membuatku tergagap. Seluruh ototku terasa menegang seseolah seseorang tengah berusaha menariknya dengan cara yang tidak wajar. Aku merasa detak jantung ini seolah mengamuk dan meminta keluar dari tempatnya.
"Masa sih? Kamu bohong kali, jangan nyebar gosip nanti kalau Diana denger dia bisa marah," aku berusaha untuk bersikap acuh, tidak ingin terbawa kabar yang belum tentu kebenarannya.
"Sumpah Dri, aku gak bohong. Husein sendiri yang bilang gitu ke aku," setelah mendengar pernyataan tersebut, yang dapat aku lakukan hanyalah tersenyum masam sambil mengucapkan terima kasih kepada sahabat dekatmu itu.
***
Setelah teman dekat Husein pamit, otakku bekerja keras untuk mengambil langkah. Mendekat dan menunjukan sikap atau tetap diam dan menyimpan semuanya seperti sedia kala. Aku tahu hubungan Husein dan Diana sedang gantung dalam 3 bulan terakhir, bahkan setahuku mereka sudah putus tapi Diana bersikeras ingin kembali.
Aku memutuskan untuk menyalakan sinyal, berlari melewati taman belakang sekolah. Berharap dapat bertemu dengannya yang terbiasa berteduh di bawah pohon yang aku tidak tahu pohon apa namanya. Langkahku terhenti seketika, aku bisa merasakan hatiku yang mulai pecah berserakan manakala kuping ini mendengar Diana tengah meminta Husein untuk kembali padanya, meminta orang yang kusuka selama 3 tahun untuk kembali menjalin kasih.
Yang aku sesalkan Husein hanya mengangguk pasrah, dia tidak berontak setelah Diana mencampakkan dirinya begitu saja. Dengan mudahnya gadis itu menyeret Husein untuk kembali menjalin kasih. Tanpa sadar aku berjalan mundur, tubuhku menabrak beberapa siswi yang kebetulan lewat. Aku tidak dapat menyaksikan adegan tersebut lebih lama lagi.
Hatiku sulit untuk disatukan kembali, saat aku melihat melewati bahuku. Husein tengah menatapku dalam pelukan Diana, kau tahu rasanya seperti apa? Pria yang kau sukai menyaksikan kau terluka, sementara dia masih mendekap gadis itu dan tidak melakukan apapun. Itu terlihat sangat mengerikan untuk kisah cintaku yang tidak pernah berakhir mulus.
Aku menepis semua ajakan dari anak lelaki lain, selama tiga tahun mengenakan seragam putih abu-abu. Selama itu pula aku sudah mencintainya, pertama kali melihatnya saat MOS, sejak saat itu hatiku sudah tertambat dan terpatri padanya. Tidak ada jalan bagiku untuk melarikan diri. Pesonanya telah membuat pikiranku berkabut oleh bayangnya, aku selalu berusaha bersikap wajar. Bersama Diana aku ikut tersenyum saat dia bercerita tentang kembalinya Husein dalam pelukan. Ini sudah hari ke dua sejak aku melihat mereka berpelukan di halaman belakang sekolah.
Diana jauh lebih berseri daripada tiga bulan terakhir saat hubungan mereka bermasalah. Aku turut bahagia untuknya, menyembunyikan rasa sakit yang menikamku seperti sebuah belati yang ditancapkan tepat di ulu hati yang hancur.
***
Ketika bel sekola berbunyi, aku dan Diana bergegas menuju kantin. Kebiasaan setiap hari yang rutin selama tiga tahun terakhir, aku memesan semangkuk bakso dengan segelas teh botol. Sementara Diana memilih bakso ditemani segelas jus jeruk, kami makan dengan lahap setelah di kelas tadi harus memeras otak dengan pelajaran yang rumit.
"Dian, aku pengen ngomong sama kamu," sebuah suara membuat Diana mendongak, sementara saat ini tubuhku sudah membeku. Karena aku sangat hapal siapa pemilik suara itu, suara yang lembut dan selalu menenangkan di setiap waktu.
"Ada apa? Kok tiba-tiba gini?" Raut wajah Diana berubah cemas. Aku tahu dia menangkap hal yang tidak biasa pada perangai Husein. Dengan setengah hati aku berusaha bangkit dan bersiap untuk menjauh. Namun kata-kata Husein membuat tubuhku diam tidak bergerak.
"Mau kemana Dri? Tetap diem di situ dan jangan pergi!"
Seketika tubuhku terasa seperti jeli, untuk pertama kalinya dia berkata dengan tegas dan tidak terbantahkan. "Dian, maafin aku sebelumnya. Tapi aku gak bisa lagi bareng sama kamu, aku ingin fokus dan mengurus saudara kembarku yang selalu terlibat masalah. Dia membuat kami pusing dengan acara pesta malam bersama teman-temannya. Jadi aku harap kamu ngerti, aku lakuin ini semua demi kebaikan aku, kamu, dan juga kakakku," Husein berpaling untuk menatapku. Tatapannya melembut dengan sebuah senyuman sedih yang terlihat samar.
Dia beranjak menjauh, sementara Diana terduduk dalam kepedihan. Aku tidak ingin menjadi pendosa karena telah bahagia saat sahabatku menangis. "Dri, Husein tega banget sama aku. Kita baru balikan tepat dua hari yang lalu, tapi sekarang dia mutusin aku gitu aja," Diana mulai menangis dan aku segera memapahnya berdiri. Tidak etis rasanya jika dia menangis dilihat oleh teman-teman lain yang ada di sana.
***
Semuanya telah berubah, seragam abu-abu telah kutanggalkan. Kini saat memasuki hari baru di Universitas, aku tersenyum pahit setiap kali mengingat hari pertama di tempat baru. Bayangan cinta pertama yang kupendam selama tiga tahun sulit untuk aku singkirkan.
Semuanya terlalu membekas, seperti noda yang berkarat hingga sangat tidak mungkin untuk dibersihkan. Begitu pula dengan laki-laki itu… Husein. Dia telah menanamkan bisa yang tidak mungkin hilang dari tubuhku, perpisahan saat pesta kelulusan telah membuat hatiku remuk redam. Dia terlihat sangat serasi saat bersama Diana, sementara saat itu aku kembali menjadi seorang pengecut; bahkan sampai saat ini. Aku tahu Husein atau siapapun tidak pernah ada yang tahu akan isi hatiku terhadapnya. Aku memilih jalan ini, agar tidak ada yang tersakiti. Jika aku berusaha untuk menunjukan perasaan, aku takut hati sahabatku akan tergores hingga berlumuran darah.
Aku menyayangi sahabatku, tapi jauh di lubuh hati ini, Aku mendambakan mantan kekasihnya, bahkan jauh mendamba sebelum pria itu menjalin kasih dengannya. Tidak ada yang kusesali karena tiga tahun menjadi seorang pengecut, menjadi pecundang yang berani mencintainya dalam diam.
Setidaknya aku tidak membuat hati siapapun terluka, cukup perasaanku yang tergerus selama menahannya. Aku telah berikrar pada diri sendiri, saat melangkahkan kaki melewati pintu tempat baru menimba ilmu. Maka aku akan berusaha untuk menghapus jejaknya dari pikiranku. Setelah memejamkan mata untuk beberapa saat, aku perlahan melangkah maju melewati gerbang. tepat saat tubuhku telah meringsek ke depan, sebuah tubuh lebih tinggi dan lebih besar membuatku tersaruk.
Perlahan aku mendongak saat ia bertanya, "Apakah kamu tidak apa-apa?" Batinku mencelos saat itu juga. Mulutku terbuka bersama dengan semua kenangan lama yang berhamburan. Menabrakku tanpa ampun, menyelinap melewati celah kecil yang dapat dimasukki.
"Husein?" Demi Tuhan aku dapat mendengar suaraku bergetar, dia nyata! Lebih tampan dan mempesona, masa liburan telah mengubahkan menjadi seorang Cassanova. Dan detik itu juga seluruh pengendalian diri yang kumilikki menjadi tidak berarti, semua tujuan untuk melupakannya lenyap dalam satu kedipan mata, menghilang seperti debu yang tertiup angin.
"Ayo masuk Dri, nanti kita kena hukuman kalau masih di sini.“
Perkataannya menyadarkanku, dan aku mengerang dengan semua perasaan yang sulit untuk dideskripsikan.
Mengapa takdir kembali membuatnya satu sekolah denganku!
The End….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
