
Judul : Married By Accident
Penulis : Meliza Caterin
Sinopsis :
Kirana Paramitha, seorang yang lahir di indonesia, namun karena suatu dan lain hal membuatnya harus menetap di Korea, hidupnya yang sudah rumit sejak masih kecil menjadi semakin tidak menentu saat dia terlibat scandal dengan salah satu solois ternama di negri gingseng tersebut.
Kirana dan pria itu setengah tidak sadar saat mereka berjalan menuju kehancuran masing-masing, hingga akhirnya kesalahan satu malam itu membuat sesuatu berkembang...
28,476 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Accident Series
Selanjutnya
Meet By Accident
0
0
Judul : Meet By AccidentBy Meliza Caterin Sinopsis :Phoebe memilih tinggal di Italia; setelah ia mengalami kesakitan parah yang disebabkan oleh orang-orang yang dikenalnya. Membuatnya tidak lagi percaya pada cinta dan pria. Disaat ia berusaha berdamai dengan keadaan, sosok Aidan tiba-tiba muncul dalam hidupnya, menawarkan kebahagiaan tanpa syarat yang terasa salah. Tapi Aidan terus berjuang tanpa kenal lelah, hingga akhirnya setelah penolakan yang panjang dan melelahkan, Phoebe menyerah. Ia bisa membuka hati untuk pria itu. Tapi ternyata itu bukanlah sebuah awal bagi kebahagiaan. Karena nyatanya dewi takdir tengah bermain diantara mereka. Cinta pertama penuh luka itu hadir kembali, mengancam untuk membawa Phoebe kembali ke dalam pelukannya. Laki-laki itu; Samudra. Bersikeras meskipun ia sudah memiliki wanita yang tengah mengandung anaknya. Apakah Phoebe akan memilih cinta pertama yang masih terasa kuat dalam ingatan? Ataukah ia akan memilih masa depan yang baru tumbuh dan masih sangat rapuh? *********** Meet By AccidentBYMELIZA CATERIN PROLOGThe Dark Night Langkah-langkah itu kian terdengar nyata, gemerisik semak yang terinjak semakin terdengar jelas. Aku bergegas menuju sudut terjauh dari suara-suara tersebut, berusaha menepis rasa takut yang menghimpit. Aku harus pergi! Kata tersebut menjadi pelita ketika langkah ini tergelincir di antara akar pohon dan tanah yang tidak rata. Terperosok menuju dataran lembah di dekat jalan raya; satu-satunya jalan yang kuhindari sejak sepuluh menit terakhir. Rasa nyeri menusuk di sana sini, tapi aku berusaha bangkit ketika tubuh ringkih ini telah berhasil sampai di tanah lapang. Aku harus menuju dermaga, harus sampai di sana sebelum kapal terakhir berangkat. Pengorbanan ini tidak boleh berakhir sia-sia. Itulah kata-kata yang terus aku lafalkan dalam ingatan, mengabaikan semua tanda bahwa tujuh pasang langkah mantap di belakangku kian mendekat. Aku mengerahkan sisa tenaga yang tidak seberapa, berusaha menghindari cekalan tangan kokoh yang berusaha menarikku kembali ke tempat semula.Sekuat apapun aku berusaha untuk melarikan diri, tapi lengan-lengan kokoh itu sudah terlanjur menyeret dan menghempaskan tubuhku ke atas tanah. Aku terengah, berontak serta berusaha untuk melakukan perlawanan. Hingga rasanya menyakitkan ketika lengan kecil ini ditekan dengan teramat sangat. Aku berusaha menarik napas melalui ruang kecil yang tersisa dari pernapasan. Suaraku tercekat dan teredam oleh lima jari berukuran besar yang tengah membekapku. Kedua kakiku tidak mampu lagi untuk bergerak. Tangan-tangan sialan itu sudah menahanku dengan sangat kuat. Aku terentang dan terengah dengan perasaan pedih yang menghujam. Gemuruh tawa yang memenuhi kegelapan malam membuat harapan yang kumiliki pergi. Tubuh ini sudah tidak mampu lagi untuk dikendalikan, aku kalah. Semua yang aku miliki hancur dan mati bersama hujaman rasa nyeri di antara kaki.Seolah ada ribuan mata pisau yang secara perlahan menyayat permukaan kulit. Aku tidak mampu lagi membedakan rasa sakit dan ambang kesadaran. Wajah-wajah penuh tawa itu akan aku ingat sampai mati. Dan jika aku tidak mati hari ini, maka, berbagai sorot mata yang bergantian berada di atasku akan tetap membekas dalam ingatan. Menertawakan luka dan kesakitan yang kuderita, mereka bukan hanya mencabik kumpulan serat yang kukenakan. Tapi bajingan-bajingan itu juga mencabik satu-satunya hal berharga yang masih tersisa di dalam diriku. Hati dan jiwaku terluka parah, sementara raga ini sudah tidak layak lagi untuk mendapat kecupan dari tarikan napas. Malam ini aku kehilanganmu. Kehilangan sahabat yang aku percaya, kehilangan pegangan hidup. Serta kehilangan napas sambil diiringi kemarahan dan sakit hati. Aku mati.Tidak akan ada lagi Samudra yang merindukan Senja. Begitupula sebaliknya, Senja telah berpulang ke pelukan sang malam. Dan ia akan tetap berada dalam kegelapan selamanya. BAB 1Nightmares That Haunt Phoebe terbangun dengan napas terengah, bulir keringat membasahi pelipisnya. Ia menoleh ke arah jam yang diletakan di samping tempat tidur. Baru pukul dua dini hari. Dan ia kembali terbangun dengan perasaan yang sama setiap malam. Perasaannya akan tetap bertahan hingga pagi menjelang, sisa-sisa mimpi buruk itu tidak dapat ia enyahkan begitu saja. Mimpi tersebut seolah mendarah daging dengan perasaannya. Karena sebaik apapun ia mencoba untuk melupakan, bayangan gelap itu akan setia membuatnya terjaga. Ia Membuang selimut dengan serampangan, lalu bergerak turun meninggalkan peraduan. Gadis bermata coklat terang keemasan itu berjalan menuju jendela, tangan kirinya meraih ikat rambut yang diletakan di dekat jam lalu menggulung rambut dan mengikatnya dengan sembarangan. Ia tidak perduli dengan penampilannya, toh ia hanya tinggal sendiri di kamar loteng bangunan tempatnya bekerja tersebut.Pemilik cafe tempatnya bekerja berbaik hati karena sudah memberinya tempat tinggal. Dan Phoebe sampai kapanpun akan sangat berterima kasih kepada pasangan yang telah merawatnya tersebut. Jika bukan karena Bibi Mirna, mungkin saat ini ia masih hidup dalam sudut gelap sendirian. Beruntung wanita asal Indonesia itu membawanya ikut serta, ketika ia berencana pindah ke Venice bersama suami barunya. Wanita itu sudah seperti Ibu kedua baginya. Wanita baik hati yang tidak melupakan persahabatan dengan Ibu Phoebe, meski wanita yang telah melahirkannya tersebut sudah meninggal dunia. Phoe Menarik napas berat lalu meraih botol air mineral dan meneguknya dalam satu tegukan panjang, minat untuk kembali ke peraduan telah lenyap. Dan yang ia inginkan, hanya mencari kedamaian dari rasa sakit yang menusuk hati. Sehingga yang dilakukan hanya menatap ke arah langit yang masih gelap, sementara kerlip lampu yang menghiasi jalan dan gedung-gedung yang dibangun pada abad ke 18; membuat dirinya merasa ditarik ke masa lampau. Phoe menatap kota indah tempatnya bermukim itu dengan tatapan kosong. Ia hanya menganggap kalau dirinya tidak lebih beruntung dari burung-burung merpati yang selalu terlihat bebas yang berkeliaran di St. Mark's Square dan Piazza San Marco. Setidaknya burung tersebut selalu menjadi teman dalam diam setiap kali dirinya menikmati hari libur di sana. Ia hanya duduk di depan jendela sambil menatap kejauhan, sambil bersandar pada bagian kaca. Sementara kedua tangannya memeluk diri sendiri sambil melemparkan tatapan nyalang. Keheningan dan kesendirian tersebut telah membuatnya tetap berusaha untuk melewati hidup setiap harinya. Phoe tidak pernah memiliki harapan sejak tiga tahun terakhir, dan harapan terakhir yang dimilikinya tidak pernah terlaksana.Ia hanya ingin mati, tapi Tuhan tidak pernah sekalipun menghendakinya.Perlahan matanya mengerjap saat rona samar di wajah langit terlihat, pagi sebentar lagi akan menyapa. Ia bergegas bangkit untuk bersiap. Banyak keperluan cafe yang sudah habis, terlebih hari ini akan ada pegawai magang untuk membantunya. Para pelayan senior tidak pernah ingin dilibatkan dalam mengurusi pegawai baru, jadi satu-satunya yang memikul tanggung jawab tersebut adalah dirinya.Ia ditugaskan dalam hal-hal sepele seperti membeli barang keperluan jika sudah habis. Mengecek semua keperluan dan mengatur keuangan untuk dilaporkan pada Bibinya. Dan ia memang menikmati semua tanggung jawab yang dilimpahkan tersebut, kesibukan setidaknya bisa membuatnya tetap waras. Phoe bergegas merapihkan tempat tidur dan ke kamar mandi untuk mencuci wajah serta menggosok gigi. Ia keluar dari kamar setelah berganti pakaian dengan kemeja lengan panjang yang dilapisi mantel tebal warna coklat. Dirinya harus mempersiapkan diri untuk berbelanja dan memeriksa semua keperluan cafe yang harus dibeli.Ketika hampir jam enam pagi, ia telah selesai mengisi perut dengan roti panggang serta segelas jus pisang. Sementara setumpuk daftar belanjaan sudah memenuhi saku tas selempang berukuran kecil yang tersampir di bahunya. Phoebe keluar menyusuri jalan setapak yang mengarah ke tempat tujuan. Dulu ketika dirinya masih belum lama tinggal di sana, suami Bibi Mirna selalu berusaha untuk mengantarnya ke mana-mana, terlalu banyak jalan yang bisa membuatnya tersesat atau kembali ke tempat semula.Tapi setelah tiga tahun berada di kota tersebut, ia sudah bisa pergi kemanapun seorang diri. Phoebe menyukai kota tersebut. Venice menurutnya adalah kota yang sangat cantik dengan bangunan masa lampau yang unik. Dan ia juga berpikir tidak akan ada kota lain yang seperti ini. Kota terapung yang selalu membuatnya mendesah setiap kali menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang menggunakan transportasi air. Pemandangan tersebut sampai sekarang masih saja membuatnya terpesona. Ia selalu menikmati semua hal yang ada di Venice; jalan-jalan super kecilnya, kanal-kanal, gondola, bangunan tua, semua isi kota tersebut seakan memiliki kekuatan magis yang mampu memanjakan mata semua orang yang mengunjunginya.Setidaknya kota tempat ia tinggal, sedikit banyak mampu memberikan penghiburan, meski tidak akan pernah mampu membuatnya kembali seperti sedia kala. Ia menikmati semuanya dengan perasaan yang hanya ada dipermukaan, jika saja dirinya berada di sana sebelum peristiwa naas itu terjadi. Mungkin ia akan berpikir dan berharap bisa menemukan seseorang untuk menjadi pendamping. Banyak orang berpikir, Venice adalah kota yang romantis, tapi bagi hati Phoebe yang telah tergerus perih; semua keindahan itu tidak memberinya banyak harapan. Bahkan ketika dirinya menghadiri Carnivale[1] di setiap bulan Februari, yang dirasakannya hanya sebuah suka cita yang akan menghilang saat menutup mata.Phoe kembali ke alam nyata saat dirinya sudah mendekati tempat tujuan, hal yang paling disukainya ketika masih pagi di Venice adalah suasananya yang masih sepi, kebanyakan restoran dan toko-toko masih tutup. Orang-orang masih jarang yang berkeliaran, ia merasa damai dan tenang. Karena jika hari sudah beranjak siang, maka kerumunan dan hiruk pikuk manusia pasti memenuhi jalan-jalan, tempat makan, cafe, hingga di alun-alun Piazza San Marco. Buongiorno Signora[2]. Ketika masuk dirinya disambut oleh senyuman hangat Istri si pemilik toko. Dan Phoe selalu merasa nyaman dengan mereka. Ia sudah berlangganan di toko tersebut sejak cafe milik bibinya buka. Keramahan mereka menjadi salah satu kenyamanan yang diharap olehnya, terlebih pasangan tersebut tidak pernah mau mencampuri urusannya. Ia cukup tahu diri. Ia bukanlah gadis periang yang suka berjalan dengan seorang pria ataupun teman wanita. Dirinya adalah sosok penyendiri yang tidak memiliki keinginan untuk bersosialiasi, hatinya sudah terlanjur nyaman dengan rasa sepi dan kesendirian. Setengah jam kemudian ia sudah membeli semua barang yang diperlukan, bergegas menuju kasir untuk membayar semua dan pulang.Ia harus sampai di cafe sebelum para pelayan datang. Setidaknya hari ini ia beruntung karena hanya membawa lima kantung makanan siap saji yang biasa dijadikan sebagai pelengkap, serta berbagai jenis kopi murni untuk diolah. Dan juga ada satu karton sayuran segar berbagai jenis yang akan bersandar dalam pelukannya selama perjalanan pulang.Oh, sayangku. Kenapa kau tidak meminta seseorang untuk membantumu? Istri pemilik toko selalu menanyakan hal yang sama setiap kali Phoeboe membayar.Aku bisa membawanya sendiri, Signora[3], Phoe menarik sedikit bibirnya ketika menjawab. Ia tidak memiliki banyak senyuman untuk diperlihatkan, bahkan hanya untuk sekedar melakukan hal tersebut saja sudah membuat wajahnya terasa seperti mau retak. Ia tidak hapal bagaimana cara yang benar, lupa bagaimana cara untuk tersenyum tanpa menimbulkan rasa nyeri di sekitar dadanya.“Baiklah, aku tahu kau selalu seperti itu. Piccola Signorina[4], jawab istri pemilik toko sambil berpura-pura marah, apa kau tidak ingin diantar? Aku yakin kalau Aberto pasti tidak akan keberatan jika aku menyuruhnya untuk mengantarmu.Phoe menanggapi tawaran wanita berambut ikal pirang itu hanya dengan gelengan kepala dan senyuman samar. Signor Aberto adalah pria bertubuh besar yang sangat menyayangi istrinya, pasangan tersebut sering melempar tatapan penuh cinta meski sepertinya mereka sudah menikah sebelum genap berusia seperempat abad. Dan hal itu terbukti dengan anak-anak mereka yang sudah memiliki keturunan juga. Arrivederci[5]. Phoebe berpamitan sambil diiringi tatapan khawatir Signora Aberto. *** Phoe berjalan pulang sambil membawa kantung belanjaannya di kedua telapak tangan, dan karton yang berisi sayur dalam pelukan. Sudah terbiasa dengan hal seperti itu, terlebih ia juga sering menolak jika suami Bibi Mirna menyuruh seseorang untuk membantunya. Ia lebih memilih sendiri daripada harus berjalan dengan seseorang atau berbincang.Suasana yang masih belum terlalu ramai membuatnya merasa bebas. Ia berjalan sambil sesekali melirik ke arah langit yang mulai cerah. Meskipun kabut masih menutup wajah langit, meski jam tangannya menunjukan hampir pukul delapan pagi. Sesekali melirik deretan toko penjual cendramata yang berhasil mengalihkan perhatiannya. Ia tidak bisa merapatkan mantel bagian atasnya yang sedikit terbuka, udara bulan oktober sudah mulai terasa menusuk. Dan ketika ia berusaha untuk memperbaiki kerah mantelnya agar tertutup, hal tersebut membuatnya lengah. Ia tidak terlalu memperhatikan seorang pemuda yang tengah berlari lalu menabraknya. Membuat semua barang yang dibawanya berhamburan.Phoe menatap pemuda yang menabraknya dengan tatapan marah, tapi ia hanya mendapat gumaman permintaan maaf yang tidak jelas. Lalu dirinya ditinggalkan bersama barang yang berserakan. Anak muda tadi bahkan tidak mau repot-repot untuk membantunya. Dan yang bisa ia lakukan hanya menyumpah dalam hati dengan wajah datar.Saat ia tengah merapikan semua barang-barang yang berceceran, tiba-tiba saja seseorang ikut berjongkok. Membantunya merapihkan barang belanjaan. Mari kubantu, katanya dalam bahasa Inggris. Dan Phoe hanya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, pria itu sepertinya wisatawan jika dilihat dari penampilannya. Wajahnya juga tidak tampak seperti orang eropa kebanyakan, orang yang membantunya tersebut terlihat seperti memiliki darah Asia.Terima kasih, aku bisa membawa semuanya sendiri, Phoe berusaha meraih kantung berisi makanan siap saji dan kopi yang sedang dipegang oleh pria tersebut.Tidak apa-apa, aku akan mengantarmu. Aku rasa kau akan kesulitan jika membawa semuanya sendiri. Senyuman pria itu terlihat menawan. Hanya saja tidak berpengaruh pada perasaan dan wajah Phoe yang telah mati rasa. Kau bisa membuat semua sayuran ini tersisa satu buah saja jika bersikeras untuk membawa semuanya sendiri.Phoe mengabaikan peringatan dan berusaha untuk meraih kantung belanjaannya. Namun belum sempat ia bergerak banyak, beberapa sayuran sudah berjatuhan akibat kertas kartonnya sudah sobek di beberapa bagian. Hal tersebut membuatnya harus membawa sayuran tersebut dengan kedua tangan agar karton yang masih utuh dapat menyangga semuanya.Jadi bagaimana? tanya pria itu dengan wajah senang.Baiklah, akhirnya Phoe menjawab setelah beberapa saat diam dan berpikir. Maaf karena sudah merepotkan, lanjutnya sambil menunduk dan memalingkan wajah. Ia tidak suka melihat pria tersenyum ramah kepadanya. Baiklah Signorina, mari kuantar kau pulang.Lalu mereka berjalan bersisian, berkali-kali pria tersebut berusaha memulai perbincangan. Tapi yang Phoe lakukan hanya menjawab seadanya. Ia tidak berniat untuk bercakap-cakap, terlebih dengan orang yang baru dikenal.Sudah sampai, Sir. Terima kasih karena sudah membantu. Saat ini mereka sudah berdiri di pintu samping cafe. Sementara pria itu masih berdiri dan tidak beranjak dari tempatnya. Apa ada yang bisa kubantu? Phoe menarik kembali kunci yang sudah dia masukan ke lubang pintu.Iya jika itu tidak merepotkan Pria itu menatap sekitar seolah tengah mencari sesuatu. Sementara Phoe hanya menatapnya dengan sorot mata datar—namun menilai. Ia tidak melihat kalau penampilan pria dengan mantel tebal yang dipadukan dengan celana jeans serta sepatu boots bisa mengancam keselamatannya. Hanya saya ia sudah terbiasa waspada, terlebih pria tersebut baru beberapa saat lalu dikenalnya.Aku bisa membayar jasamu karena sudah membantu jika kau mau."Hah? Pria itu seolah barusaja disiram seember es di atas kepalanya. Kata-kata Phoe membuatnya menggelengkan kepala dengan cepat sambil meringis. Aku hanya ingin bertanya apa kau tahu dimana letak Cafe Flower? Menurut alamat yang kuterima kalau tidak salah ada di dekat sini tempatnya.Phoe mengernyitkan dahi saat mendengar pria itu mencari cafe tempatnya bekerja. Ada kepentingan apa kau mencari cafe flower? Suara Phoe terdengar penuh selidik.Oh itu... mulai besok aku akan bekerja di sana, dan hari ini aku harus datang untuk melihat tempat kerjaku dulu, jawabnya dengan malu-malu.Dan jawaban tersebut membuat Phoe menatap tubuh pria yang ada di hadapannya itu dengan seksama. Pria itu tidak tampak atau cocok untuk menjadi pelayan magang, semua barang yang menempel di tubuhnya terlihat mahal. Bahkan jam tangan yang dikenakannya juga barang bermerk. Terlebih sepertinya pria itu juga sudah berusia dewasa, dan Phoe menebak sepertinya mendekati kepala tiga.Aku kira pegawai baru yang diceritakan bibiku masih muda. Kau tidak terlihat seperti pria yang berusia awal dua puluhan. Prego[6]?” tanyanya bingung.Tidak apa-apa, kau bisa ikut masuk bersamaku untuk melihat-lihat. Kau berada tepat di pintu samping cafe flower, Phoe membuka kunci dan meminta pria itu untuk membawa masuk semua barang belanjaannya. Kau bisa memulai sedikit hari ini. Tolong letakan semua sayuran di sana, katanya sambil menunjuk kearah meja. Lalu ia meminta pria calon pelayan magang itu untuk membantunya bersih-bersih, meskipun terlihat baik dalam bekerja. Tapi Phoe tetap memberikan nasehat dan peraturan di cafe yang harus dipatuhi.Ia juga perlahan harus berusaha membiasakan diri untuk memberi perintah. Dan Phoe memulai semuanya lebih awal, akan baik bagi pria tersebut untuk mengetahui semua peraturan di cafe sebelum ia masuk kerja. Satu jam kemudian semua ruangan bagian dalam telah bersih, dan Phoe baru ingat kalau sejak tadi mereka belum berkenalan.Ya Tuhan, maafkan aku karena sangat ceroboh. Ngomong-ngomong siapa namamu? Phoe bertanya sambil mengelap sedikit kotoran yang tersisa di counter tempat memasak. Aidan, Aidan Lee. Dan kau?"Panggil saja aku Phoe, dan aku adalah pembimbingmu.Untuk sesaat wajah Aidan berubah bingung, lalu detik berikutnya ia tersenyum cerah. Ia juga tidak berkomentar saat Phoe memintanya untuk merapihkan bangku dan meja serta membuka pintu depan. BAB 2Misunderstanding Kabut yang sejak pagi menutup wajah langit intensitasnya secara perlahan mulai memudar, memberi sedikit celah pada sinar matahari yang mulai memancarkan kharisma. Masih ada waktu setengah jam sebelum para pelayan datang. Kursi-kursi yang terbuat dari kayu sudah dipastikan berada pada tempatnya, sementara meja berukuran segi empat sudah ditutupi dengan kain linen warna putih. Hiasan kristal diletakan di beberapa tempat strategis sebagai pajangan. Sementara peralatan makan, tempat tisu serta tempat bumbu berukuran mini telah diletakan di setiap meja yang tersedia.Setelah memastikan kalau semua tertata dengan sempurna, Phoe mengajak Aidan untuk sarapan. Mereka duduk di bangku luar yang kebetulan mengarah langsung ke arah kanal, dan para pengunjung bisa berjalan kaki tepat di depan cafe. Mereka masih bisa menikmati udara pagi yang masih sedikit sepi—meskipun orang-orang sudah mulai terlihat—menikmati pemandangan gondola-gondola yang ditambatkan di tepi kanal, berada tidak jauh dari tempat mereka berada.Phoe sudah menyiapkan satu cangkir kopi untuk Aidan. Sementara untuk dirinya, memilih satu gelas apple jus. Jika diperbolehkan, ia ingin memilih untuk menikmati kopi hitam tanpa gula, mungkin rasa pahit kopi bisa membuatnya berpikir dengan akal sehat. Bahwa kehidupan akan tetap sepekat minuman kesukaannya dulu, tapi penyakit maag membuatnya harus menghindari si biji hitam tersebut. Phoe memberi Aidan capuccino sebagai teman menyantap croisant lemon yang ditinggalkan koki di lemari pendingin; ia sudah menghangatkan. Sekalipun tadi pagi telah memasukan sesuatu untuk mengganjal perut, tapi ia harus sarapan lagi, dan itu adalah sebuah keharusan. Perutnya akan terus protes hingga membuatnya masuk angin jika berpergian di pagi hari dengan perut kosong.Terima kasih karena sudah membantu, Phoe berkata setelah menyesap minumannya dengan khidmat. Lalu ia mengangguk dengan wajah datar ke arah sarapan sederhana agar Aidan memakannya. Aku tidak tahu kau akan menyukainya atau tidak, tapi hanya ini yang bisa aku dapatkan di jam seperti ini.Aku menyukainya, jawab Aidan sambil meraih gigitan pertama. Ia memejamkan mata saat saus lemon meleleh dalam lidahnya. Memberi sensasi tersendiri ketika cairan manis asam tersebut membaur dengan tekstur roti yang lembut. Well, ini lezat sekali.Ada sedikit senyum samar yang tergambar di wajah Phoe saat ia mendengar pujian tersebut. Pedro pasti akan menyukaimu, katanya sebelum kembali mengalihkan pandangan ke arah kanal.Pedro? Siapa dia? Dia adalah koki di cafe kami, jawab Phoe tanpa mengalihkan pandangan, sementara Aidan hanya mengangguk sebagai tanda mengerti. Ia berusaha memilah kata yang tepat untuk dibicarakan, tapi saat melihat wajah gadis di depannya yang tengah terhanyut pada burung merpati yang sedang melintas, hati Aidan terasa seperti ditusuk oleh sesuatu yang tak kasat mata. Wajah tersebut mengingatkannya pada seseorang, sementara tatapan sendu dengan sorot kosong yang ia lihat membuat batinnya meringis. Gadis di hadapannya adalah sosok yang cantik dengan wajah terpahat sempurna, bibirnya terlihat pas dengan garis dagu runcing serta hidung mancung yang tidak berlebihan. Alis tebal membingkai mata bulat indah yang terlihat menusuk, andai mata itu tidak tampak seperti ingin meninggalkan dunia. Aidan yakin kalau ia akan menemukan kehangatan, serta tatapan penuh kasih dari gadis berkulit kuning langsat yang ada di hadapannya tersebut. Tapi ia menyadari sejak satu jam lalu, jika tatapan tersebut tidak pernah berubah. Sorot mata Phoe selalu terlihat kosong, seolah menyembunyikan rahasia yang dibingkai dengan kekakuan serta sikap pendiamnya. Bahkan Aidan sempat bertanya-tanya, apakah wajah cantik itu akan berubah menjadi kepingan jika pemiliknya tertawa? Karena sejujurnya wajah tersebut tampak seperti kaca transparan yang menyembunyikan luka di bagian dalamnya. Seolah merasa dirinya tengah dijadikan objek pemandangan, Phoe menoleh dan Aidan seketika mengalihkan pandangan ke arah toko serta restoran yang menghimpit cafe yang akan menjadi tempatnya bekerja. Tempat tersebut cukup strategis karena berlokasi di dekat Ponte Rialto, bangunan-bangunan kuno yang cantik membuatnya optimis. Aidan yakin kalau keputusannya untuk mencoba sesuatu yang baru di Venice pasti akan berjalan dengan baik jika dikerjakan dengan serius. semua cafe dan restoran di sepanjang jalan yang ia lewati tadi pagi hanya menawarkan makanan lokal.Signorina, sepertinya sebentar lagi kau akan sibuk. Aidan berkata setelah menghabiskan tegukan terakhir cappuccino-nya. Jadi sebaiknya aku pergi mengingat jadwal kerja resmiku baru esok hari, lanjutnya sambil tersenyum kecil, lalu ia bangkit. Phoe juga melakukan hal yang sama, ia mengangguk singkat sambil mengucapkan terima kasih.Semoga harimu menyenangkan, perkataan Aidan hanya ditanggapi Phoe dengan senyuman lemah. Sementara sorot matanya tetap menunjukan kekosongan yang sama. Dan ketika Aidan sudah berjalan menjauh, ia masih bertanya-tanya kenapa Phoe mengingatkan dirinya pada Kirana... Ah, setiap kali melapalkan nama tersebut hati Aidan serasa dipenuhi oleh udara yang siap meledak. Ia telah kehilangan gadis itu ketika tiba-tiba menghilang dari hidupnya.Sekalipun ia sudah menerima pernikahan wanita yang dicintainya tersebut, tapi hatinya masih merasa ditinggalkan. Aidan memang selalu berharap yang terbaik demi orang yang ia cintai, meskipun hal tersebut telah membuat hatinya tercabik hingga menjadi beberapa bagian. Ah Phoe, aku melihat kesedihan yang parah di balik tatapan kosongmu, gumam Aidan sambil berjalan dengan langkah berat menuju stasiun kereta Ferrovia. Ia berencana melakukan perjalanan ke Milan untuk menemui sahabatnya, lalu kembali lagi ke Venice pada sore hari nanti.Phoe menatap kepergian Aidan dengan tatapan hampa. Punggung pria itu terlihat kokoh. Jenis tempat yang akan sangat nyaman jika digunakan untuk bersandar, tapi ia cepat-cepat mengusir pemikiran absurd tersebut. Pria itu sudah mengacaukan isi pikirannya, selama ini tidak pernah sekalipun ada orang yang mampu membuat konsentrasinya pecah. Terlebih oleh seseorang yang baru dikenal. Tapi sepertinya Aidan adalah pengecualian, feromonnya terasa maskulin, serta paras pria terasa familiar dalam pandangannya. Dan jika ia tidak salah menebak wangi Aidan, terasa seperti campuran kayu cedar serta citrus yang menyegarkan.Sepanjang perjalanan pulang wangi tersebut telah menganggunya, dan ketika mereka duduk berhadapan untuk menikmati sarapan... ia merasa lupa bahwa dirinya telah kehilangan segalanya. Harapan dan perasaan tidak boleh singgah dalam hidupnya. Karena perasaan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki semangat untuk berbagi. Sementara ia tidak berniat untuk berbagi kisah dengan siapapun.Phoe menarik napas berat, menyesap jusnya untuk yang terakhir kali. Sementara jarinya masih mengusap pinggiran gelas. Mengalihkan pandangan pada kanal yang mulai dilalui gondola. Sebentar lagi para pelayan cafe akan berdatangan. Ia ingin menikmati sedikit waktu yang tersisa untuk mengenang Samudra.Samudra....Kata tersebut terlapas bersama hujaman rasa nyeri yang menikam ulu hati. Nama itu masih memberi efek perih yang amat kuat, mungkin tidak akan pernah ada seorangpun yang akan mampu menggantikan posisi Sam dari sana. Sekalipun pria itu pergi dan tidak pernah kembali untuk mencarinya, tapi Samudra telah membawa seluruh hatinya yang masih utuh untuk ikut serta. Sehingga yang tertinggal dalam rongga dada Phoe hanya gumpalan yang tidak pernah merasa. Ia tidak bisa lagi merasakan harapan, lupa cara yang benar untuk tersenyum simpul. Serta tidak ingat kapan terakhir kali dirinya tertawa. Samudra telah membuatnya hidup dalam bayangan, kisah yang pernah mereka ukir bak ditulis di atas pasir yang ada di tepi pantai. Hingga ketika ombak datang dan menyapunya; tidak ada lagi hal yang tersisa di sana. Samudra telah pergi, meninggalkan Senja Purnama di tengah gelapnya malam. Senja Purnama telah mati, yang ada hanya Phoebe. Seorang gadis yang menyimpan rahasia tentang siapa saja yang telah membuatnya seperti sekarang. Seseorang yang telah mengalami getirnya malapetaka yang penuh nestapa, masa lalu telah mengajarkannya untuk tidak pernah mempercayai seseorang begitu saja. Penghianatan keji itu tidak akan pernah ia lupakan, dan Phoe berharap kalau dirinya tidak akan pernah bertemu lagi dengan manusia tidak punya hati yang telah membunuh perasaannya tersebut. Phoe, kau selalu terlihat cantik seperti biasa, suara lembut seseorang membuatnya kembali ke alam nyata. Ia menoleh dan mendapati Angela yang baru saja menyapanya. Sementara Katarina tengah menyeringai sambil menggelengkan kepala.Phoe sedang tidak di sini beberapa saat lalu, dan kau merusak imajinasinya yang luas tentang lautan yang selalu dia rindukan, Angela, kata Katarina sambil tersenyum lebar.Oh, aku rasa kau benar, Angela menanggapi perkataan Katarina dengan nada sedih. Lalu ia menatap Phoe sambil menggelengkan kepala. Aku harap suatu saat kau akan berubah, gerutunya. Sebaiknya kau mencari kekasih dan bukannya lebih bermimpi untuk dapat hidup di tengah lautan.Ucapan Angela hanya ditanggapi kedikan bahu tidak acuh oleh Phoe, dua gadis pegawai bibinya tersebut sudah mendengar mimpi-mimpi konyolnya mengenai lautan. Ya, ia berharap bisa hidup di lautan lepas, tapi sayang sekali lautan yang ia harapkan tidak akan pernah lagi memiliki pantai untuk ia singgahi.Well, baiklah nona-nona sebaiknya kita mulai bersiap-siap sebelum koki kita yang tampan itu datang." Phoebe merapikan cangkir serta piring kecil bekasnya sarapan bersama Aidan. Sementara kedua wanita tadi telah masuk ke dalam toko terlebih dulu, dan setengah jam kemudian, mereka sudah mulai menyambut pelanggan serta turis yang mulai berdatangan. BAB 3Friends Aidan melangkah keluar dari elevator yang membawanya menuju lantai sembilan salah satu apartemen di Milan. Gedung tersebut ditempati oleh sahabatnya. Matahari mulai terlihat penuh ketika ia keluar dari stasiun kereta. Sementara senyuman terus menghias wajah tampannya yang dihasilkan dari perpaduan darah Korea dan Canada. Ia sudah membayangkan bahwa hari-harinya ke depan pasti tidak akan sesunyi sebelumnya. Ia akan bekerja dari bawah lagi di negara tersebut. Sementara ia juga bisa sering mengunjungi Hanz yang tinggal di Milan. Jarak kota tersebut ke Venice tidak terlalu jauh dan dapat diakses dengan naik kereta. Jadi Aidan sangat yakin kalau dirinya tidak akan merasa kesepian. Lagipula Phoe akan menjadi pembimbingnya selama ia bekerja.“Ah, Phoe….” Aidan bergumam sendiri sambil meringis. Nama tersebut seperti sosok tidak kasat mata yang terus berteriak di sekitar kepalanya.“Hai anak muda, apa kau baik-baik saja?” Suara seseorang dari arah lorong membuat Aidan mendongak. Ia mendapati pria berkulit coklat dengan rambut yang dipotong rapi, sementara tinggi badan serta bentuk tubuhnya bisa membuat para model majalah pria merasa iri.“Ah, aku tidak tahu kalau kau akan sangat merindukanku,” Aidan memberikan pelukan ala pria. “Sehingga kau mau bersusah payah menunggu aku datang di depan pintu.”“Haha, dasar orang narsis. Aku menunggu di luar karena tidak ingin kau tersesat atau mengetuk semua pintu tetangga apartemenku.” Pria tersebut berbalik lalu membuka pintu yang ada di hadapannya. “Masuklah. Kebetulan kedatanganmu bertepatan dengan sesuatu yang ingin kami rayakan.”Begitu Aidan masuk ke dalam ia disambut oleh wangi makanan yang menyerang indra penciumannya. “Wah, aku merasa tersanjung karena kalian mau merayakan kedatanganku,” candaannya, disambut gelengan kepala dari Hanz.“Kau memang tidak pernah berubah,” gurutu sahabatnya tersebut.“Oppa[7], kau sudah datang rupanya.” Seorang wanita mungil dengan rambut panjang digelung memeluk Aidan, wangi makanan dan parfum menguar dari tubuh feminim tersebut.“Si cantik Alana. Kau sepertinya terlihat sangat bahagia daripada saat terakhir kali kita bertemu,” Aidan melirik Hanz dengan penuh arti. Sementara pipi Alana berubah merah, aliran darah seolah berkumpul di area tersebut untuk menciptakan rona.“Aku sudah memasak banyak makanan. Ada hal bahagia yang ingin aku dan Mas Hanz bagi dengan Oppa.”“Oku sangat senang karena mendapatkan kehormatan tersebut. Tapi ngomong-ngomong, apakah ini adalah hal yang sangat penting?” Aidan menatap Hanz dan Alana secara bergantian. Hanz hanya tersenyum simpul saat Alana menatapnya dengan malu-malu, bahkan terkesan ingin melarikan diri dari pertanyaan tersebut.Hanz mengulurkan tangan dan menarik Alana untuk merapatkan tubuh ke sisinya, ia meremas pundak istrinya tersebut dengan lembut. Lalu mengatakan kabar yang membuat keluarga kecilnya berbahagia. “Kami akan segera memiliki bayi.”“Apa?” Aidan ternganga. Lalu detik berikutnya, ia tertawa dan menepuk pundak Hanz dengan bangga. “Akhirnya kau akan memberiku keponakan. Aku ucapkan selamat untuk kalian berdua, terutama kau Alana,” ia menatap istri sahabatnya tersebut sambil tersenyum lembut. “Kau akan menjadi Ibu luar biasa bagi Anakmu kelak.”“Aku tidak yakin, Oppa,” jawab Alana sangsi.“Kau sudah membuktikan kemahiranmu dalam menghadapi Ayahnya,” pujian Aidan membuat wajah Alana semakin memerah.Sementara Hanz hanya tersenyum simpul, ia mengusap-ngusap bahu istrinya dengan lembut. Meskipun terlihat kaku tapi pemandangan tersebut membuat Aidan tenang. Meskipun ia sudah berteman dengan Hanz selama dua tahun terakhir, tapi sahabatnya tersebut selalu bersikap kaku. Tidak jarang Aidan mendapati tatapan penuh harap Alana untuk diperhatikan seperti barusan.“Aku benar-benar ikut senang. Semoga bayi itu membawa lebih banyak kebahagiaan untuk keluarga kecil kalian,” ucap Aidan tulus.“Terima kasih.” Hanz menjawab singkat, sementara Alana meminta dua pria tersebut untuk menunggu dulu di ruang tamu. Lalu ia cepat-cepat ke ruang makan untuk menyiapkan sajian yang belum sepenuhnya ditata ke atas meja.“Aku benar-benar sangat bahagia untuk kau dan Alana,” Aidan berkata sambil memukul bahu Hanz dengan main-main. Ia tahu persis bagaimana sahabatnya selama ini menjalani pernikahannya. Hanz adalah sosok suami yang tenang, bahkan terkesan dingin saat berbicara dengan Alana. Seolah pernikahan adalah sesuatu yang datar dan tidak membuatnya meledak-ledak oleh perasaan. “Kehamilan itu membuatmu terlihat seperti suami sungguhan.”“Aku tidak menerima pujian seperti itu,” Hanz berkata masam.“Kau tidak perlu malu-malu seperti itu. Aku rasa kau juga melihatnya, Alana sangat mencintaimu. Dan aku yakin bahwa seluruh dunianya hanya berpusat padamu.”Hanz menatap Aidan sejenak, lalu ia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Ruang tamu yang dicat putih susu tersebut berada tepat di samping balkon. Hanz hanya menatap lurus seolah tengah mengenang dan merenungkan sesuatu. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya ia menarik napas untuk menghirup udara segar dari ventilasi yang sengaja dibuka.“Sejak aku tahu Alana mengandung, aku merasa ditampar,” Hanz menoleh sambil tersenyum samar. Sementara Aidan menunjukan seringai disertai tatapan penuh simpati. “Tidak seharusnya aku menunda untuk mendapatkan anak terlalu lama. Hingga aku sendiri hanya berdiri di satu tempat, aku tidak bisa melepaskan masa lalu. Tapi juga tidak bisa melangkah ke masa depan.”“Ah, aku mengerti. Tapi biarlah semua itu menjadi kesalahan yang pernah kau lakukan. Untuk saat ini yang harus kaulakukan adalah fokus pada masa depan. Alana dan bayinya membutuhkan perhatianmu secara penuh. Jangan biarkan mereka merasa diabaikan, Sahabatku.”Hanz mengangguk sambil tersenyum lebar. Ia menghembuskan napas berat lalu menarik udara keparu-parunya dengan ringan. Ia sudah bertekad untuk melupakan segala hal yang menahannya. Segala hal yang membuatnya terpaku pada masa lalu; sehingga ia mengabaikan masa depan yang telah dua tahun dijalaninya.“Terima kasih, Chingu[8]. Kau boleh menghajarku bila aku melalaikan kewajiban sebagai seorang Suami dan seorang Ayah di masa depan.”“Aku akan mengingat bagian ijin untuk menghajarmu.” Aidan tertawa lepas. “Tapi semoga saja kau tidak melakukan kesalahan fatal tersebut. Aku percaya bahwa kau akan bertanggung jawab pada Alana dan bayinya.”“Ya, aku juga bertekad demikian.”Lalu mereka berdua tertawa saat suara Alana terdengar dari meja makan. Meminta mereka untuk bergabung dan menyantap makan siang bersama. Panggilan wanita itulah yang membuat dua pria bersahabat itu merasa geli. Alana memanggil suaminya dengan sebutan Mas. Sementara ia tetap menggunakan kata Oppa pada Aidan. Meskipun Aidan sudah sering meminta untuk dipanggil nama saja, tapi istri sahabatnya itu tetap menolak. Alasannya adalah untuk menghormati yang lebih tua.Ya, memang Aidan tahun ini mendekati kepala tiga. Ia seumuran dengan Hanz, sementara Alana baru berusia 23 tahun. Tapi meskipun tujuh tahun lebih muda dari suaminya, Alana adalah wanita yang dewasa. Ia termasuk orang yang sabar dalam menghadapi Hanz. Dan tahun ini usia pernikahan mereka menginjak tahun kedua, Aidan masih ingat bagaimana sikap Hanz pada istrinya ketika mereka bertemu pertama kali; setelah Hanz resmi menikah dengan Alana.Tepatnya dua tahun yang lalu, Aidan tidak sempat datang ke acara pernikahan sahabatnya semasa kuliah di Australia tersebut, satu minggu setelah Hanz menikah barulah mereka bertemu di Korea untuk membahas perusahaan ekspor impor yang dirintis Hanz dan dirinya. Aidan selalu melihat tatapan datar setiap kali memergoki Hanz dan Alana yang selalu datang bersama ke setiap acara. Ia tidak pernah menghakimi sikap Hanz tersebut. Mungkin hal tersebutlah yang membuat persahabatan mereka bertahan sampai sekarang. Karena seiring berjalannya waktu ia mengetahui alasan kenapa Hanz bersikap seperti itu. Dibohongi dan dihianati oleh orang yang sangat kita cintai memang selalu memberi efek buruk pada seseorang.Aidan sangat paham bagaimana rasanya hidup seperti itu. Karena menyakitkan itu adalah saat kau menjadikan seseorang duniamu, namun ia tidak melihatmu sebagai dunianya. Begitupula yang Hanz ceritakan, ia ditinggalkan dan dibohongi oleh wanita yang sudah membuat dunianya jungkir balik.Satu hal yang membuat Aidan belajar dari kisah pahit masa lalu, baik itu masa lalu dirinya, masa lalu Hanz, atau mungkin dalam waktu dekat ia akan melihat masa lalu seseorang lainnya. Masa lalu tetaplah adalah hal yang sudah dilewati, tidak akan ada gunanya terus terpuruk. Karena jika terus menatap ke belakang, maka masa depan yang seharusnya diraih pasti terlewati. Kehidupan penuh ujian seperti sungai deras yang harus dilalui, sementara ujian seperti batu besar yang disampirkan di pundak kita. Batu tersebut akan membantu kita untuk sampai ke tepian, karena jika tanpa batu tersebut kita pasti akan terbawa oleh arus. Kita harus melangkah, jangan karena ada batu berat yang membebani lantas membuat kita hanya berdiam diri dan tidak bergerak. Kebahagiaan tidak akan dapat diraih jika hanya berdiam diri dan terpaku di satu tempat saja.“Oppa, mau makan sate atau opor ayam?” Pertanyaan Alana membuat Aidan tersadar dari lamunannya. Saat ini mereka sudah duduk di meja makan. Bangku tersebut terbuat dari kayu ek dan dicat serasi dengan bangku yang diduduki. Semua perabotan yang ada di ruangan tersebut di dominasi oleh warna putih.“Aku mau sate saja. Mungkin opor ayamnya menyusul,” jawaban Aidan ditanggapi Alana dengan senyum ramah. Istri sahabatnya tersebut mengambil dua piring dan mengisinya dengan lontong. Hanz memakan lontongnya disiram dengan kuah opor dan dagingnya. Sementara Aidan menyantapnya dengan sate kambing yang masih hangat.“Ah, terima kasih karena sudah memasak semua makanan Indonesia ini,” Aidan mengigit sate. Sementara tangan kanannya menunjuk semua hidangan yang ada di atas meja. Hari ini Alana memasak opor ayam, sate, dan juga rendang sapi yang terlihat sangat menggiurkan.“Oh iya, apa kau akan menginap?” tanya Hanz disela makan mereka.“Besok aku sudah mulai bekerja.”“Cepat sekali? Bukankah kau baru sampai di Venice kemarin malam?” Hanz bertanya sambil mengerutkan kening. Tidak biasanya Aidan memulai kerja secepat ini, biasanya dari waktu kedatangan terdapat jeda satu minggu, dan Aidan baru mulai aktif bekerja.“Apa ada sesuatu yang salah?”“Tidak. Tentu saja tidak,” Aidan menunjukan senyum menenangkan. “Aku hanya tidak ingin terlalu lama bersantai, lagipula aku sudah menemukan tempat untuk tinggal. Jadi lebih baik memulai semuanya lebih awal.”“Apa Oppa tidak ingin jalan-jalan dulu di Venice?” Pertanyaan Alana membuat tatapan Aidan melembut. Terkadang sikap Aidan sering membuat Hanz dan Alana berbincang bahwa wanita yang mendapatkan pria itu pasti akan sangat bahagia. Aidan selalu memperlakukan wanita dengan sangat lembut, seolah mereka adalah keramik Cina yang sangat berharga dan bisa pecah jika tidak dipegang dengan hati-hati.“Aku sudah terlalu tua jika harus membuang banyak waktu untuk berjalan-jalan,” jawab Aidan sambil tertawa saat ia mendengar sahabatnya mendengus.“Baiklah kalau begitu, aku akan selalu berdoa yang terbaik untukmu. Semoga kau segera mendapatkan seorang wanita untuk dinikahi.”“Ah, tapi sayang sekali mencari wanita untuk dinikahi tidaklah semudah mencari wanita untuk diajak berberlanja.” Jawaban Aidan sontak membuat mereka semua tertawa.“Jika memang tidak bisa menginap, maka tinggalah sampai malam. Aku rasa kau bisa naik kereta terakhir ke Venice.”“Hmm, baiklah. Kalau begitu mari berikan aku satu porsi rendang sapi yang tampak menggiurkan ini.”Aidan dijamu hingga malam, ia disambut hangat di rumah tersebut. Jika tidak ingat kalau besok harus masuk kerja, Aidan ingin sekali menginap dan berbincang lebih banyak lagi dengan sahabat-sahabatnya tersebut. Tapi ia sudah memutuskan untuk memulai semuanya lebih awal. *** Phoe membantu para pelayan untuk merapikan meja. Mereka sudah akan tutup, dan pelanggan terakhir baru saja melewati pintu keluar. Ia sibuk merapikan bagian dalam cafe, sehingga tidak memperhatikan kalau Angela sedang berbicara dengan seorang pria yang sejak tadi berdiri di luar. Memperhatikannya dengan seksama sampai akhirnya, Angela yang melihat tingkah pria tersebut mendekat dan menyapanya.“Apa anda ingin masuk?” Angela menatap pria asing tersebut dengan tatapan penuh selidik yang berhasil disamarkan. “Tapi kami sudah tutup, Sir,” lanjut gadis berambut pirang tersebut. Ia bahkan tidak menunggu pria di hadapannya untuk menjawab.“Oh, kalau begitu aku kembali besok pagi saja.” Pria tersebut melirik ke arah Phoe untuk yang terakhir kali, lalu ia mulai melangkah menjauh bersamaan dengan Angela yang masuk ke dalam cafe. Dan tidak ada seorangpun yang melihat saat pria tersebut menyelinap ke dalam bangunan sebelah melalui pintu samping.Setengah jam kemudian, Phoe beserta pegawai lain sudah merapikan semuanya, seperti setiap malam yang mereka lewati. Ia bersama Angela, Katarina dan Pedro akan duduk sebentar di luar cafe sambil menikmati pemandangan kota Venice di malam hari. Semua pelayan lain sudah berpamitan pulang, hingga yang tersisa mereka berempat. Sekalipun udara yang terasa menusuk, tapi kebiasaan untuk melepas penat tersebut sulit diubah. Mereka sudah sejak lama berkawan dekat, ketiga sahabatnya saat ini tengah menikmati kopi Italia, sementara Phoe meminum jus buah seperti biasa. setelah berkerja sambil bercanda dan membahas barang dan stok apa saja yang harus dibeli.Mereka tertawa dan menikmati lelucon yang dilontarkan Pedro, setiap orang memegang cangkir dengan ke dua telapak tangan—kecuali Phoe, ia memegang gelas. Saling melempar cemooh setiap mengingat pelanggan yang menyebalkan membuat masalah. Namun hal tersebut diintrupsi oleh dering ponsel Phoe, dan gadis itu cepat-cepat menjauh saat melihat nama yang tertera di layar.“Hai, Bibi. Ada apa menelponku malam-malam?” Phoe tersenyum kaku saat menoleh ke arah teman-temannya. “Oh baiklah… ya tentu saja aku akan mengingatnya. Sampai bertemu besok.”Phoe menutup panggilan dan bermaksud untuk kembali ke dekat teman-temannya. Tapi langkahnya terhenti saat ia tidak sengaja mendongak dan mendapati lampu loteng bangunan sebelah menyala.“Apa kalian tahu sejak kapan bangunan sebelah digunakan lagi? Seingatku cafe itu sudah ditutup sejak dua bulan yang lalu,” Phoe bertanya sambil menoleh sekilas ke arah teman-temannya. Ia membatu saat melihat bayangan yang sepertinya berdiri di dekat jendela, lampu di loteng tersebut memang tidak terlalu terang. Tapi setiap kali melihat sosok dalam kegelapan… hal tersebut masih membuatnya trauma.“Phoe ada apa? Apa kau baik-baik saja?” Pedro yang pertama kali melihat wajahnya memucat.“Tidak. Oh ya, aku baik-baik saja. Aku hanya merasa sedikit pusing,” Phoe menggerakan tangan ke pelipis dan berpura-pura memijatnya.“Apa kau ingin aku tinggal?” Katarina menawarkan diri.“Tidak usah. Kau masih harus bekerja di club untuk mendapatkan uang tambahan. Aku tidak ingin merepotkanmu,” Phoe berusaha untuk tersenyum. Tapi usahanya gagal, karena ia malah terlihat seperti tengah meringis dan menahan rasa sakit.“Aku tidak mungkin bisa pulang dengan tenang!” Pedro menggerutu.“Aku baik-baik saja sungguh. Hanya perlu istirahat lebih awal.”“Baiklah, kalau begitu kami akan pulang sekarang,” Angela berinisiatif. Dan setujui oleh dua temannya yang lain.Mereka masuk ke dalam sambil membawa cangkir dan gelas kotor untuk dibersihkan. Setelah mengunci pintu depan dan memastikan semuanya telah dirapihkan. Phoebe mengantar Teman-temannya untuk keluar dari pintu samping. Pedro adalah orang terakhir yang akan meninggalkan ruangan.“Ada yang ingin kutanyakan,” Phoe menahan Pedro dan menatap sahabatnya itu dengan gelisah.“Tanyakan saja, dan tolong berhenti membuatku khawatir,” Pedro melepaskan jari tangan Phoe yang saling meremas. “Jangan merasa sungkan jika kau menginginkan aku untuk tinggal.”Phoebe menarik bibirnya sedikit, ia kembali meyakinkan Pedro bahwa dirinya baik-baik saja. “Aku baik-baik saja, sungguh. Sebenarnya aku hanya ingin tahu apakah pintu penghubung ke gedung sebelah terkunci? Dan siapa saja yang memiliki kuncinya?”“Oh kau tidak perlu khawatir. Yang memegang kuncinya hanya Signora Mirna. Jadi kau tidak akan menemukan tamu tidak diundang masuk ke dalam sini.”“Baiklah, terima kasih karena sudah menjelaskan padaku,” kelegaan terpancar jelas dari wajah Phoe, seolah-olah darah yang beberapa waktu lalu meninggalkan wajahnya telah kembali. “Kau boleh pulang sekarang.”“Hah! Kau mengusirku setelah mendapatkan apa yang kau inginkan,” gerutuan Pedro berbanding terbalik dengan tawa pelannya saat ia meninggalkan Phoe seperti setiap malam sebelumnya.Phoebe mengunci pintu samping tersebut, lalu ia memastikan pintu depan dan ventilasi sudah tertutup dengan sempurna lalu naik ke lantai atas, berusaha untuk terlelap. Namun tanpa disadari kalau di bangunan sebelah sejak tadi ada seseorang yang terus memperhatikannya. Menatap lekat ketika ia tengah bercengkrama dengan ke tiga sahabatnya. BAB 4The Haunting Pain Bayangan dan sosok-sosok gelap itu kembali datang, mengoyak seluruh perasaannya hingga luluh lantak. Membunuh semua mimpi serta angannya akan masa depan. Tidak ada lagi yang tersisa selain kepedihan yang menghujam hati, rasa sakit dari luka yang terus menganga. Tidak ada lagi penawar baginya, seharusnya semua itu telah berlalu seiring dengan berjalannya waktu.Tapi ternyata, tidak semua luka dapat disembuhkan dengan keadaan. Karena pada kenyataannya, ada kepedihan yang tidak dapat diobati. Meski oleh sang waktu sekalipun.Kemalangan tersebut menimpanya, mengukungnya dalam perih yang berkepanjangan. Seolah ia tengah berjalan di atas bongkahan bara api yang tidak berujung. Membuatnya merintih kesakitan, namun ia tidak dapat melarikan diri. Karena hanya itu jalan yang tersisa baginya, tidak ada lagi secercah air surga untuk memadamkan kilau merah dari bara api yang terus menyala.Mungkin itu memang takdir yang harus ia jalani, nestapa akan tetap memeluknya dalam kegelapan. Membawa seluruh dirinya melebur bersama ruang gelap yang tidak terlihat. Ia berwujud namun hatinya tidak lagi bernyawa. Seluruh harapan telah meninggalkannya sejak tiga tahun silam.“Bu, apakah mereka tidak akan pergi?” Phoe bertanya pada kegelapan yang ada di kamarnya. Ia meringkuk seperti bayi, berharap akan menemukan suara Ibunya yang menenangkan. Tapi hanya kebisuan yang didapatinya. Selimut tebal yang semula melindunginya dari udara dingin yang menusuk; kini telah teronggok di lantai. Ia tidak merasakan hawa dingin itu lagi sama sekali, yang Phoe rasakan hanya hawa panas yang terasa membakar sekujur tubuhnya.Rasa panas yang datang bersama tusukan nyeri di beberapa bagian. Mimpi buruk itu selalu membuatnya seperti ditarik ke alam nyata, tidak seharusnya ia bertingkah seperti itu. Tapi dirinya tidak memiliki cukup kekuatan untuk melepaskan diri, tidak ada tempat baginya untuk berpegangan. Karena yang ia miliki hanya segenggam masa lalu serta kenangan tentang seseorang.“Kumohon tolong usir mereka, Bu,” Phoe semakin meringkuk sambil melapalkan rintihan permohonan. “Aku ingin tidur nyenyak, tolong usir mereka untukku, kumohon… kumohon….”Entah berapa lama rengekan itu terlafal, hingga akhirnya yang tersisa hanya keheningan serta udara dingin yang menusuk tulang. Phoe tertidur dengan kelelahan sambil menggenggam mimpi buruk dalam ke dua tangannya. *** Pagi kembali menyapa dunia, kabut pekat masih menutup wajah langit. Meskipun hampir pukul delapan, namun kepulan warna putih tersebut masih enggan beranjak. Phoe bangun sejak pukul lima pagi untuk sarapan, ia beraktifitas lebih awal seperti biasa. Terlebih hari ini bibinya akan datang berkunjung, wanita itu pasti akan meminta dibuatkan chickenparmigiana, jadi Phoe memutuskan untuk memasaknya sendiri sebelum Pedro dan yang lain datang. Ia sudah selesai membuat makanan dengan bahan dasar dada ayam yang dilapisi tepung roti. Ia juga sudah menyiapkan saus neapolitan yang terbuat dari tomat dan keju. Serta mengikuti kebiasaan di Australia dengan menambahkan sepotong ham sehingga membuat makanan tersebut menjadi lebih berkalori tinggi. Lalu ia menyiapkan keripik kentang serta salad untuk pelengkap. “Semoga kau masih menyukai makanan buatanku, Bi,” Phoe baru selesai merapikan tempat memasak. Ia bermaksud untuk merapikan bagian depan cafe saat melihat pegawai magang yang kemarin ditemuinya sudah datang.“Kau rapi sekali,” katanya sambil membuka pintu samping agar Aidan bisa masuk. Untuk sesaat Phoe merasa dihipnotis ketika feromon pria tersebut menyerbu indra penciumannya. Wangi kayu cedar serta citrus membuatnya terpaku, Phoe segera menarik napas dan tanpa sadar sudah meneliti penampilan Aidan.Hari ini pegawai magang tersebut mengenakan kemeja putih pas badan, sementara bawahannya dipadukan dengan celana jeans serta sepatu hitam mengkilat. Dan ketika ia sampai di wajah Aidan, seketika senyuman pria itu membuatnya harus menarik napas berat.Senyuman tersebut adalah jenis senyum yang bisa membuat jantung wanita normal melompat dari tempatnya. Sementara lesung di pipi kirinya membuat wajah Aidan terlihat tampan dan menggemaskan. Tapi Phoe merasa beruntung karena dirinya bukanlah seperti wanita pada umumnya, sehingga senyuman pria itu hanya mengejutkannya saja.“Apa kau tidak takut jika pakaianmu akan kotor? Kau bertugas untuk mencuci piring dan menjadi asisten koki di dapur.” Phoe kembali mengingatkan tugas Aidan, tapi pria itu hanya menunjukan senyum andalannya seraya menjawab, “aku tahu, lagipula aku hanya ingin tampil sedikit rapi di hari pertama masuk kerja.”“Oh, terserah kau saja kalau begitu.” Phoe meminta Aidan membantunya seperti kemarin pagi, dan setengah jam kemudian mereka telah membuat cafe siap untuk beroperasi.“Ngomong-ngomong, aku kelaparan. Belum sarapan. Apa kau punya makanan untuk diberikan kepada pria malang ini tidak?” Aidan bertanya sambil mengusap-usap perutnya. Sementara wajahnya menunjukan tatapan memelas dengan cengiran tanpa dosa khas anak-anak.“Maafkan aku karena langsung menyuruhmu bekerja,” Phoe bergegas mengambil chickenparmigiana yang sengaja dibuat lebih. Ia juga sudah menyiramnya dengan saos neapolitan serta menambahkan ham dan keripik kentang. “Ini. Kau bisa memakannya untuk sarapan, aku membuatnya sendiri dan kuharap kau tidak keracunan setelah memakan masakan Italia buatanku.”“Oh, aku rasa ini lezat.” Aidan menerima piring dengan wajah berbinar.“Jangan menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya,” Phoe mengingatkan. “Bisa saja makanan itu beracun atau tidak enak, kau kan belum mencobanya.”“Aku yakin, kau tidak akan meracuni orang yang kau sayangi dan juga teman-temanmu,” jawab Aidan sambil memotong ayam hingga menjadi beberapa bagian.“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Phoe sambil berjalan mendekat ke arah meja yang diduduki Aidan, sementara tangannya membawa baki yang berisi satu gelas berisi jus pir miliknya, dan juga satu gelas air mineral untuk Aidan.“Aku hanya tahu saja, lagipula pasti ada hal spesial atau sesuatu hingga kau sudah memasak sepagi ini,” Aidan mengucapkan terima kasih saat melirik air mineralnya.“Ya, kau benar.” Phoe menyesap minumannya dengan pelan. Mereka hanya ditemani keheningan, sesekali ia melirik ke arah aluar hingga beberapa saat lamanya. Sementara Aidan makan sambil diam-diam memperhatikan wajah hampa yang kembali muncul di hadapannya tersebut.Ah, wajah tanpa harapan itu telah kembali. Sorot mata yang dilingkupi perasaan pedih kembali terlihat. Aidan merasa tengah duduk di hadapan seonggok tubuh yang tidak merasa. Phoebe terlihat seperti mayat hidup jika ia bersikap seperti ini. Tatapan matanya tampak tidak bermakna, hanya kekosongan layaknya sebuah tempat yang tidak bisa diisi dan diperbaiki dengan cara apapun.“Terima kasih, makanannya enak sekali,” Aidan berkata setelah menelan sarapan terakhirnya. Ia meraih gelas dan meneguk isinya dalam tegukan panjang. “Semoga aku tidak langsung dipecat karena sudah meminta makanan padamu.”“Kau terlalu berlebihan, lagipula Bibiku semalam sudah menelpon. Ia mengabarkan tentang kedatanganmu, jadi hari ini ia akan datang berkunjung bersama suaminya untuk melihat perkembangan cafe.”“Oh, aku senang mendengarnya. Aku harap Bibimu menyukaiku,” kata Aidan sambil memasang senyum manis yang bisa membuat wanita manapun sulit berpaling. Ia terlihat lebih muda dan tampak semakin memesona.“Aku rasa dia akan menyukaimu, lagipula aku sudah melihatmu bekerja. Meskipun bukan pekerjaan secara menyeluruh, tapi kau cekatan dalam melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh pelayan.”“Ah, pujianmu membuatku merona.” Perkataan Aidan malah membuat Phoe menarik napas lelah, seharusnya Aidan tidak usah tersenyum sehingga menyebabkan lesung pipinya kembali terlihat. Tapi pria itu seolah tidak memiliki rasa takut jika wajahnya akan retak—karena hal tersebut yang selalu Phoe rasakan setiap kali ia ingin menarik ke dua sudut bibirnya.Mungkin senyuman memang tidak akan pernah cocok untuknya. Sementara Aidan memiliki keleluasan dengan hal tersebut. Pria itu cocok dengan kehangatan yang selalu tergambar di wajah, terlebih kuluman senyum Aidan pasti akan membuat para wisatawan betah. Dan ingin berlama-lama untuk menatapnya. *** Saat kanal mulai dilewati gondola yang beroperasi, para pegawai lain mulai berdatangan. Mereka satu persatu berkenalan dengan Aidan, Angela dan Katarina bahkan secara terang-terangan menunjukan ketertarikan mereka. Mereka bersemangat karena akan mendapatkan pelayan baru dengan kondisi fisik serta ketampanan di atas rata-rata.Pedro adalah pria yang tampan, tapi itu tidak berpengaruh bagi Angela dan Katarina. Mereka sudah bersahabat sejak pertama kali masuk kerja di cafe tersebut. Terlebih koki tampan mereka itu adalah orang asli Italia, sementara Aidan memiliki wajah perpaduan Asia blasteran. Jadi wajar saja jika Aidan bisa mencuri perhatian kedua teman Phoe tersebut.Tepat sebelum cafe menerima tamu pertama, Tante Mirna dan suaminya masuk bersama seorang pemuda, Angela segera menggiring atasannya tersebut menuju ruang santai langsung. Ruangan yang biasa digunakan untuk rapat atau menjamu tamu. Suami Mirna berjalan sambil menunjukan tatapan senang saat melihat Phoe di pintu masuk.“Come sta, Picolla Signorina[9]” Alessandro atau suami bibi Mirna memeluk Phoe dengan hangat. Pelukan pria berusia awal lima puluhan itu terasa hangat bagai dekapan seorang Ayah.“Molto bene. Grazie. E Lei?[10]” Phoe melepaskan diri dari dekapan Alessandro dengan bibir sedikit ditarik.“Non c’e male[11],” jawab Alessandro sambil tertawa senang. “Karena barusan aku melihat bibirmu sedikit terangkat, jadi sekarang aku baik-baik saja.”“Dolcezza[12]. Jangan menggodanya seperti itu.” Mirna menepuk lengan suaminya dengan sayang. “Kita tidak akan pernah bisa hidup tenang jika gadis kecil ini tidak menarik bibirnya sama sekali.”“Oh kau benar, Ti Amore[13].”“Ngomong-ngomong siapa yang datang bersama Bibi?” Phoe melirik pemuda dalam stelan kemeja kotak-kota biru dan celana jeans yang berjalan masuk di belakang pasangan tersebut. Saat ini mereka sudah duduk di bangku kayu yang dilapisi busa di atasnya.Ruangan yang dicat coklat cerah tersebut terasa hangat, ada perapian yang sudah dinyalakan sejak setengah jam terakhir. Sementara rak kecil yang menempel pada dinding terlihat rapih. Lapisan kaca yang menutupnya memamerkan berbagai keramik peralatan makan yang didapatkan dari beberapa negara. Semua orang duduk mengelilingi meja persegi dan bukannya bersantai di sofa kulit warna krim yang diletakan di sudut ruangan.“Oh, maaf kami melupakanmu, Nak.” Mirna menunjukan tatapan meminta maaf, dan pemuda tersebut menanggapinya dengan sebuah senyuman maklum. “Semalam aku sudah bilang kalau hari ini kita akan kedatangan tamu, dan mulai hari ini dia akan berkerja di bawah bimbinganmu, sayang.”“Maaf? Maksud Bibi akan ada dua pegawai baru yang masuk secara bersamaan?” Phoe tidak paham dengan situasi sekarang. Bibinya tidak mungkin mengambil dua pegawai baru sekaligus, karena ia pasti akan kewalahan dalam membimbing mereka. Sementara Mirna yang untuk sesaat tampak terkejut mulai menunjukan tatapan cerah.“Oh, tentu saja tidak. Hari ini hanya ada satu pegawai magang yang masuk. Sementara satunya lagi adalah orang yang akan bekerja sama dengan kita.”“Syukurlah,” Phoe bergumam lega. Lalu ia berbalik dan menyapa pemuda tersebut dengan ramah. “Aku tidak menyangka jika di usia semuda ini kau sudah sangat sukses,” pujinya.Lalu perkataan dan sikap Phoe membuat Mirna dan Alessandro mengertukan kening. “Maafkan aku, Sayang. Tapi pemuda malang yang sedang kebingungan ini adalah pegawai baru yang harus belajar banyak darimu.”Phoe menatap Bibinya dengan wajah datar namun tampak tercengang. Sekalipun ia tidak pandai memberikan banyak ekspresi wajah, tapi saat ini raut mukanya terlihat menggemaskan di mata Mirna dan suaminya. “Bibi bercandamu tidak lucu sama sekali,” Phoe menunjukan protes dan berharap kalau bibinya segera mengakhiri permainan tersebut.“Aku tidak sedang bercanda, Sayangku. Aldo memang pegawai magang yang harus kau bimbing,” Mirna menunjuk pemuda yang sejak tadi menatap semua orang dengan tatapan bingung.“Jika dia pegawai magang, lalu siapa orang yang aku temui kemarin?” Phoe menggumamkan pertanyaan tersebut. Tapi ia sendiri tidak yakin menanyakannya pada siapa, karena saat ini semua orang yang ada di ruangan tersebut sedang menatapnya dengan penasaran. “Jika pria ini memang pegawai magang, maka orang yang kutemui kemarin adalah….”“Scusi[14].” Suara seseorang mengintrupsi perkataan Phoe.“Wah! Aidan, kau sudah datang rupanya.” Alessandro bangkit dari tempat duduk dan memberikan pelukan selamat datang pada Aidan. “Piacere, s’accomodi. Mia moglie e Nosta figlia; si chiama Phoebe[15],”kata Alessandro sambil menunjuk Mirna dan Phoebe.“Piacere Signora,” senyuman ramah Aidan membuat Mirna mengerling ke arah suaminya.“Dolcezza kau tidak pernah bercerita padaku kalau memiliki teman setampan ini,” perkataan Mirna disambut tawa hangat oleh suaminya.“Aku tidak bisa memperkenalkan pria tampan padamu, kecuali jika situasinya sudah menyangkut pekerjaan, Ti Amor,” Alessandro mendaratkan tangan di pundak istrinya dengan sayang. Pasangan yang berbeda usia 12 tahun itu terlihat serasi dan siapapun yang melihat mereka akan melihat banyak cinta yang berputar mengililingi keduanya.Sejak tadi tidak ada yang menyadari reaksi Phoe, gadis itu hanya membatu sambil menahan napas. Kenyataan yang baru saja diketahuinya membuat ia ingin melarikan diri, sikapnya telah merendahkan Aidan. Tapi seharusnya pria itu mengoreksi kesalahan yang ia lakukan. Bukannya membiarkan dirinya bersikap seperti kemarin dan hari ini.“Piacere, Signorina Phoebe[16].” Aidan menyapa Phoe sebelum gadis itu melarikan diri. Ia tersenyum hangat sementara wajah gadis di hadapannya terlihat pucat.
[1] Carnivale merupakan event tahunan terbesar di kota Venice yang diadakan setiap bulan Februari[2] Selamat pagi Nyonya[3] Nyonya[4] Nona kecil.[5] Selamat tinggal[6] Meminta mengulagi sesuatu perkataan seperti pardon[7] Sebutan kakak dari anak perempuan untuk laki-laki dalam bahasa Korea, sementara jika yang memanggil adalah anak laki-laki ke Kakak laki-laki, makanya sebutannya menjadi Hyeong (bahasa Korea)[8] Teman[9]Apa kabar gadis kecil[10]Sangat baik. Terima kasih. Dan kau? (e (L)ei? Huruf L harus tetap ditulis kapital)[11]Tidak terlalu buruk[12]Panggilan sayang[13]Panggilan sayang[14] Senang bertemu denganmu, masuklah[15] Istriku, dan putri kami; dia dipanggil Phoebe[16] Senang bertemu denganmu, Nona Phoebe
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan