
”Dunia memang tempatnya lelah, gundah, penuh fitnah, dan musibah. Orang-orang yang sudah teruji keimanannya pun, tak akan lepas dari ujian-Nya. Ujian bukan bentuk uji coba, tapi ujian adalah proses pendewasaan, dan penerimaan atas semua kasih dan sayang, yang diberikan Tuhan. Walaupun kita merasa itu buruk, yakinlah, semua itu yang terbaik."
Tidak ada anak yang serupa, watak, nasib, dan keahliannya. Semua istimewa dengan caranya, dengan kelebihannya. Namun sayang, banyak orang tua yang tak sadar...
Jeruji besi semua orang menyebut tempat mengenyam ilmu agama tersebut. Pondok pesantren Al Bidayah dengan ratusan santri dan santriwati, bangunan asrama berlantai dua yang berjarak antara asrama putra dan putri untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Sebetulnya tidak berpengaruh besar, masih saja ada anak didik yang sering mengirim surat cinta, berbalas rindu setiap waktu dalam untaian kata, jika ketahuan pun tanggung saja risikonya. Di jemur di lapangan Pesantren dengan berkalung sebuah kertas yang diikat tambang dengan tulisan sebuah janji bahwa tidak akan mengulangi. Tetap saja, kapok itu begitu asing. Masih banyak yang melanggar. Bukan perihal surat cinta. Kabur pun menjadi pilihan banyak santri saat tidak betah dengan kekangan peraturan dan beratnya hafalan.
Cerita ini adalah cerita generasi keempat dari keturunan Majdi. Keturunan pertama yaitu Muhammad Farhan Ali Zainul Majdi, generasi kedua Muhammad Fashan Ali Zainul Majdi, yang ketiga Muhammad Wafi Muzammil Ali Majdi (pernah di penjara) dan sekarang sampai di generasi keempat saat Wafi Muzammil atau akrab disapa dengan sebutan Gus Mu memiliki dua anak laki-laki kembar. Muhammad Athalla Faiq Zainul Majdi dan yang kedua Muhammad Albanna Faiz Zainul Majdi. Gus Mu dan istrinya Shafiyah Ummu Habibah memiliki satu orang anak lagi yaitu seorang perempuan yaitu Faranisa Noor Majdi.
***
Seorang pria paruh baya mendekati seorang wanita yang sedang duduk sambil membaca Al Qur’an. Pria itu pun merebahkan tubuhnya dengan kepala berada di haribaan sang istri. Istrinya hanya tersenyum, lalu mengakhiri kegiatannya yang memang sering dia lakukan di waktu subuh dan malam.
”Kenapa? Justru aku mau dengerin kamu mengaji,” tegur pria itu sembari menutup matanya perlahan-lahan. Dia Gus Mu, yang sekarang menjadi kepala pimpinan pengurus pesantren Al Bidayah, di kota Bandung tersebut. Sebuah Pesantren yang menjadi idaman para orang tua untuk memasukkan anaknya, menuntut ilmu untuk kebaikan dunia dan akhirat.
”Abi kayaknya capek, mau apa?” tanya istrinya.
”Aku lihat Albanna tadi, di atas. Lagi main sama kucingnya, aku mendengar kabar buruk, Habibah.” Gus Mu membuka matanya, matanya tampak berair dan membuat istrinya panik bukan main.
”Apa Albanna berulah lagi, sampai Abi sedih begini?” tanya Shafiyah serak dan Gus Mu menggeleng kepala.
”Anak itu memang nyebelin, tapi dia yang selalu bisa bikin Abinya terharu dengan kata-katanya. Anak kita yang itu agak gombal, Sayang. Enggak tahu kayak siapa,” tuturnya sambil tersenyum dan Shafiyah tertawa.
”Ya kayak kamu, Abinya. Nggak mungkin kayak tetangga.” Shafiyah menggeleng-geleng dan terus tersenyum. Suaminya tampak tidak terima, dan hanya cemberut. ”Memang Banna bilang apa?” Ia sangat penasaran.
”Aku mendengar bahwa ada yang mengungkit masa laluku lagi, aku yang seorang narapidana di masa lalu. Kalau anak-anak tahu, ataupun mendengarnya, apa mereka akan benci sama Abinya ini, Habibah?” suaranya serak, terbata-bata.
Shafiyah membuang napas panjang, jika situasinya begini, dia juga bingung. ”Kira-kira siapa yang membicarakan masa lalu Abi lagi? Keluarga? Enggak mungkin, semua keluarga kita sudah sepakat untuk diam dan jangan sampai anak-anak tahu.” Shafiyah kesal. Mengomel.
”Hah kamu.... Bisa diharapkan sampai mana seorang hamba, semuanya bisa bicara dan enggak bisa kita percaya selamanya. Tapi, Albanna sepertinya sudah tahu. Aku tanya sama dia tadi ‘Albanna, kalau Abi di masa lalu bukan orang baik-baik, apa kamu akan kecewa. Nak?’ Terus dia bilang ‘Gimana aku bisa kecewa sama Abi, Abi membesarkan kami dengan baik, dengan rezeki yang baik, walaupun harus susah payah dan mengeluarkan peluh dari sekujur tubuh. Bagaimanapun Abi di masa lalu, Abi tetap panutan aku, bakti aku sebagai anak begitu juga dengan Athalla dan Noor, nggak akan luntur hanya dengan masa lalu yang sudah lalu.’ Albanna gombal ya, Sayang. Sampai bikin Abinya ini mau nangis.”
Shafiyah terdiam, netranya juga berair saat ini, anak-anak sudah dewasa, apalagi si kembar. Sungguh, Shafiyah merasa baru kemarin menimang-nimang keduanya dan sekarang keduanya sudah sangat bisa diandalkan.
”Abi, kalaupun anak-anak semuanya tahu, aku yakin enggak ada yang akan benci sama Abi. Abi, Abi mereka. Nggak usah khawatir, ya,” tutur Shafiyah menghibur dan Gus Mu mengangguk pelan.
Di lantai dua, Albanna sedang diam termenung, duduk di bangku di balkon sambil memangku kucingnya yang berwarna putih, Si Putih. Dia menghembuskan napas sesekali, begitu panjang dan frustrasi.
”Dor!” teriak Athalla mengagetkan dan Albanna kaget bukan kepalang. Dia kesal dan meraih bantal, menimpuk Athalla kuat-kuat.
“Jangan bikin kaget! Kebiasaan!” teriak Albanna emosi dan Athalla terus tertawa.
”Antar aku ke rumah bibi dong,” pinta Athalla.
”Ogah, ya. Ke mana-mana harus sama gue terus, capek banget,” sewot Albanna dan Athalla mencebik bibirnya.
”Iya kan kamu tahu, aku nggak bisa bawa motor.” Athalla mengguncang tangan Albanna, berharap adiknya itu mau dan Albanna menggeleng terus.
“Males, ah!” Albanna menepis tangan kakaknya kesal dan Athalla menoyor kepala adiknya itu. “Umi! Athalla nih,” jerit Albanna dan Athalla meloncat, lekas menutup mulut adiknya itu.
Keduanya saling menimpuk dan menjambak rambut, Noor yang baru bangun dari tidur siangnya hanya diam mematung, rambutnya acak-acakan, di tangan kanannya memegang gelas berisi air penuh. Noor si bungsu dan paling cantik di antara anak-anak Gus Mu dan Shafiyah yang lain.
”Hadeuh, capek, deh.” Noor kembali turun, menuruni anak tangga perlahan-lahan lalu dia berpapasan dengan uminya.
”Aa kamu mana?” tanya Shafiyah.
”Lagi ribut, Umma,” adu Noor dan Dia lekas naik.
Setelah sampai di lantai dua, Shafiyah menggeleng kepala, melihat lantai dua rumahnya begitu berantakan dan kedua anak lelakinya kini diam saat dia mendekat.
”Jangan berisik terus, Abi lagi kurang sehat. Bisa?” lirih Shafiyah dan si kembar panik.
“Abi sakit?” tanya Athalla cemas.
“Cuma sakit kepala,” jawab Shafiyah dan Athalla dan Albanna saling menatap sejenak. ”Banna, antar Umma ke Apotek. Habis dari sana, kita ke rumah bibi Bayyin.”
Albanna mengangguk cepat dan bibir Athalla menyimpul sinis. Albanna pergi ke kamarnya untuk bersiap sementara Athalla turun dan mendekati Noor yang sedang nyemil. Noor menyenderkan kepalanya di bahu Athalla dan Athalla diam, laki-laki itu fokus bermain Hape. Dia cengengesan melihat kehebohan di grup chat kelas 12B.
Setelah Albanna siap begitu juga dengan Ummanya. Keduanya pergi, Albanna mengendarai motor dengan kecepatan sedang, keduanya diam tak saling melempar kata. Shafiyah meminta anaknya berhenti dulu di pasar dan Albanna pun menunggu di depan sebuah Counter. Albanna diam, sesekali mengusap rambutnya. Dia hanya memakai kain sarung dan Koko berwarna putih. Percayalah, anak Gus Mu dan Umma Shafiyah unggul dengan visualnya.
”Eh Banna,” seorang gadis menyapa. Albanna menoleh dan melihat Haniya. “Lagi ngapain?”
“Nganterin nyokap.” Dengan coolnya dia menjawab.
”Oh ya udah, aku duluan, ya.” Haniya tersenyum.
”Ya udah sana, siapa juga yang peduli,” semburnya begitu sinis dan Haniya sangat ingin memukulnya. Tidak di sekolah, tidak di luar sekolah, laki-laki itu memang menyebalkan dan pecicilan. “Eh, Haniya... Tunggu.” Albanna tiba-tiba tersenyum.
Haniya berbalik dan menatapnya tajam. “Apa?”
”Bilang sama Ziya, buku gue kapan dipulangin.”
”Bawel, ya kamu aja yang ngomong langsung sama dia, besok.” Haniya memberikan saran dan Albanna menggeleng, tidak mau.
“Males, pokoknya bilang sama Best friend forever kamu itu.” Albanna mendelik. Sesekali mengupil dan membuat Haniya ilfil, jijik. Albanna memang sedikit tidak tahu malu dan tidak ada kalem kalemnya.
“Iya.” Haniya melenggang pergi dan Albanna terus melirik ke dalam pasar, Ummanya begitu lama. Tidak lama, Ummanya pun muncul dan mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Bayyinah, saudari perempuannya Gus Mu. Sesampainya di sana. Bayyinah yang memilik kecacatan fisik yaitu pincang, hendak ke dapur untuk membuat minum tapi dengan cepat diambil alih oleh Albanna. Tak tega.
“Terima kasih, Banna.” Dengan senyuman hangatnya dia berucap.
“Siap, Bibi,” balas Albanna. Dua gelas dia isi. Bayyinah lebih dulu ke ruang tamu dan duduk di sebelah Shafiyah.
“Aku dengar kaki Teteh sakit lagi,” kata Shafiyah sambil menatap kakinya Bayyinah.
“Iya, aku juga enggak tahu kenapa,” kata Bayyinah serak.
“Periksa aja, Bi,” kata Albanna yang baru datang dengan dua gelas air di tangannya.
“Iya, Insya Allah.” Bayyinah tersenyum dan Albanna duduk. Shafiyah memukul kakinya yang naik ke kursi. Tidak sopan. Bayyinah tertawa, sama sekali tidak masalah tapi Shafiyah tetap tidak suka. Mengobrol cukup lama, sampai akhirnya Albanna bosan dan mengajak pulang. Shafiyah juga sudah mendapatkan pesan dari Gus Mu karena dia lama sekali bepergian. Bayyinah mengantar sampai ke luar dari rumah Shafiyah dan Albanna.
***
Hari ini, suara gema selawat terdengar dari pesantren Al Bidayah sejak pukul tiga dini hari lebih tiga puluh menit, lalu sekarang terdengar sudah terdengar Adzan subuh berkumandang. Pesantren yang sudah berdiri puluhan tahun silam, dengan beberapa kali renovasi, dan perubahan struktur bangunan. Setiap tahun, santri dan santriwati pasti ada yang baru, pendaftaran tidak bisa dibuka dengan leluasa, karena harus memikirkan tempat bisa cukup atau tidak.
Keamanan pondok pesantren Al Bidayah, yang bernama Imran sudah mengacungkan jari telunjuknya ke udara, saat banyak santri yang bangun telat, bahkan belum bersiap untuk salat subuh berjamaah. Sebentar lagi Adzan akan selesai, Adzan yang dikumandangkan oleh kepala pengurus pesantren terdengar begitu lirih. Jarang-jarang Kyai Adzan, hanya mengisi beberapa kesempatan dan lebih banyak memberikan kesempatan besar kepada anak didiknya.
”Aduh!” seru seorang laki-laki yang gelagapan memakai peci. Langsung masuk ke dalam masjid, menerobos santri yang memberikannya jalan, Abinya memintanya untuk menjadi imam salat subuh hari ini, tapi ia malah terlambat.
Albanna menelan ludah, saat kakaknya Athalla yang sudah bersiap untuk memimpin salat. Albanna bersebelahan dengan Abinya, ekor mata Abinya saat melirik, begitu menyeramkan dan membuatnya bergidik ngeri.
Salat pun dimulai, dan di tempat lain di sebuah rumah besar. Seorang wanita paruh baya sedang mempersiapkan sarapan, hanya untuk tiga orang, anak sulung dan suaminya sedang berpuasa hari ini.
”Umma, aku masih mengantuk,” keluh si bungsu, Noor. Dia kucek matanya pelan, berusaha membuka lebar-lebar matanya yang begitu berat, dia bergadang.
”Tidur lagi gih, tapi siap-siap diceramahi sama abi,” celetuk Umma nya.
”Dih, Umma.” Bibir Noor mencebik, dia pun mendekati Umma nya dan membantu menyiapkan sarapan.
”Simpan di atas meja,” titah Shafiyah dan Noor membawa goreng pisang ke atas meja.
Anak dan ibu itu pun salat bergantian. Waktu berlalu, dan terang benderang cahaya matahari mulai menyinari. Athalla, dan Abinya yang sedang berpuasa memilih berjemur di depan rumah, berjongkok, menghangatkan tubuh. Pagi ini begitu dingin, semalam hujan angin dan sangat deras, membuat genting bangunan asrama putra banyak yang bergeser dan sedang diperbaiki. Gus Mu memperhatikan dari tempatnya, sampai santri selesai memeriksa genting, lalu menyimpan kembali tangga yang terbuat dari bambu. Ukurannya sangat panjang.
”Kalian sebentar lagi lulus, harus segera dipikirkan mau kuliah di mana?” ujar Gus Mu, membuka percakapan.
”Masih lama, ujian juga belum, Abi,” Athalla menjawab.
”Ya tetap saja, harus dipikirkan. Kamu mau kuliah di mana?” tanya Gus Mu kembali, Athalla diam, tampak sedang berpikir, lalu dia mengulum senyum saat Abinya mulai kesal karena menunggu jawabannya. ”Faiq, jawab...” Gus Mu melotot.
”Abi, kalau boleh, aku nggak mau ke mana-mana. Mau di sini aja, dekat sama Abi dan Umma,” kata Athalla dan Gus Mu terdiam. “Menuntut ilmu, bukannya enggak harus pergi jauh, ya? Aku mau kuliah, menuntut ilmu, yang enggak harus ninggalin pesantren,” tuturnya lagi dan Gus Mu menunduk, menatap rumput yang dia injak.
”Kamu khawatir karena biaya? Kamu dapat beasiswa dari SMP, kamu nggak pernah menyulitkan Abi dan Umma, kalau kamu mau kuliah di mana pun, abi usahakan. Semoga ada rezeki buat kita semua,” katanya, berusaha meyakinkan dan Athalla menggeleng lemah.
”Aku enggak mau, biar Banna aja. Dia selalu bilang, kalau dia mau ke Mesir.” Athalla tersenyum dan Abinya langsung berdecak tak percaya.
”Banna selalu sibuk main-main, tapi bagus juga kalau dia ada kemauan, tapi kamu juga harus memikirkannya dengan baik, jangan sampai menyesal, mumpung masih muda. Ambil keputusan dengan matang, jangan setengah hati.” Dia tepuk-tepuk pundak putranya itu dan Athalla tersenyum hambar.
Albanna, Umma, dan Noor sarapan dengan santai. Albanna nampak melamun sesekali saat mengunyah makanannya.
”Apa kamu enggak bisa bangun tepat waktu? Dibangunin juga susah, Umma capek tiap subuh dengar abi kamu mengomel. Subuh hari ini kamu selamat karena abi enggak ngomel-ngomel sama kamu,” ujar Shafiyah dan Albanna malah tersenyum.
“Justru ini yang mengganggu pikiran aku, Umma. Kenapa Abi enggak marah, ya?” Albanna sibuk menelaah.
“Ya ampun, Aa. Ya harusnya seneng dong kalau gak kena omel, tapi malah penasaran,” gerutu Noor dan Albanna mendelik lalu menatap Ummanya kembali.
“Umma, apa ada masalah?” Menyelidik dan Shafiyah menghentikan aktivitasnya, menatap sejenak lalu menggeleng lemah. “Aku yakin, pasti ada masalah,” ucap Banna dalam hati.
Ketiganya melanjutkan sarapan tanpa banyak bicara, setelah selesai, Albanna dan Noor bersiap untuk ke sekolah dan Athalla sudah pergi duluan, berangkat bersama pengabdi pesantren yang hendak pergi kuliah.
***
Suara berisik terdengar setelah bel istirahat berbunyi, semua siswa dan siswi berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Ada yang saling mendorong, bercanda, bergurau, dan mengejek. Ada yang saling menatap tajam karena sedang berselisih. Indahnya dunia sekolah, tapi pelajarannya sama sekali tidak indah, khususnya pelajaran matematika. Pelajaran indah hanya untuk murid memiliki kepintaran di atas rata-rata. Pelajaran favorit Athalla adalah matematika dan pelajaran yang disukai Albanna adalah pelajaran Agama dan olahraga.
”Banna, tunggu!” Teriak Athalla dan mengejar adiknya.
”Aku lapar.” Albanna mengusap perutnya, pelajaran matematika adalah pelajaran jam kedua, membuatnya pusing dan kehilangan banyak energi.
”Ish, Banna! Kamu buta ya!” Jerit Haniya kesal dan Banna mundur menjauh.
”Biasa aja dong, seenak jidat ngehina orang,” tegur Athalla dan Haniya berkacak pinggang, dia tidak takut sama sekali. ”Apa?”
”Apa?” Haniya menantang, keduanya saling menatap tajam.
”Udah ah, ribut terus.” Albanna melerai dan melirik Naziya. ”Eh Ziya, ke kantin bareng yuk!” Albanna menatap lamat-lamat gadis cantik itu tapi penerimaan dari Naziya begitu jutek.
”Ogah!” Ketus Naziya dan menarik lengan Haniya. “Ayo, Niy. Kita ke kantin.” Dia tersenyum manis.
”Pengen juga dong, di senyumin,” pinta Albanna dan kedua gadis itu menoleh kompak. Athalla terbelalak dan menunduk malu dengan tingkah laku adiknya.
”Gue cekek lu ya Albanna, genit banget,” sewot Naziya sambil melotot dan Albanna cekikikan. Naziya lupa dengan buku Albanna yang masih ada padanya.
Haniya dan Naziya pergi, Athalla dan Albanna juga menuju ke kantin. Keduanya berpapasan dengan murid paling pintar di kelas A.
”Eh Safitri,” Albanna menyapa.
Safitri menunduk, dia tahu Albanna siapa dan terus melangkah cepat. Athalla yang kesal menoyor kepala adiknya itu dan menyeretnya ke kantin.
“Sumpah, Faiz. Kalau aku kepala sekolah, kamu udah aku Do!” hardik Athalla dan Albanna meringis saat lehernya dirangkul kuat.
***
Wafi membersihkan makam Abinya Fashan, dan uminya Raihanah dari dedaunan kering yang berjatuhan, serta rumput liar yang terus tumbuh walaupun sering dicabuti, betapa perihnya matanya saat ini, merasakan rindu yang begitu mendalam kepada orang tuanya. Abinya yang wafat di usia 35 tahun, dan uminya yang wafat di usia 65 tahun. Tak terasa air matanya menetes, istrinya hanya bisa diam dan akhirnya mengusap bahunya.
”Abi yang pergi lebih dulu, dan Umi yang menyusul dengan cinta yang luar biasa dan kesetiaannya bertahun-tahun, semua pasangan akan dipisahkan, oleh dunia atau maut,” tutur Shafiyah dan Gus Mu menoleh sekilas.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
