
Bagian ini berisi Chapter 9 & 10 dari kisah Denting Dua Hati.
Dapat dibaca secara gratisss.
Tap love jika kamu menyukainya ya. Biar aku makin semangat untuk terus berkarya. ☺️
Selamat membaca 🤍
9. ARUNI
Sepertinya aku terlalu percaya diri. Dengan yakinnya mengatakan, akan berusaha untuk membuat Bang Haikal melupakan masa lalunya dan menggantikan posisi perempuan itu di hatinya. Nyatanya, sudah satu bulan berlalu sejak aku mengatakan itu, hubungan kami tidak menunjukkan kemajuan yang berarti.
Bang Haikal memang memperlakukanku dengan baik. Dia juga selalu mengantar-jemputku di toko sesuai yang kupinta. Namun, dalam setiap kebaikannya, aku masih belum merasakan adanya cinta yang terpancar di matanya untukku. Dia masih saja menatapku dingin setiap kali kami bertemu pandang dalam situasi apa pun. Bahkan, kini aku malah mendapatinya sedang duduk melamun di tepian ranjang sambil mengamati sebuah cincin dalam genggaman tangannya. Cincin yang berukirkan nama perempuan itu, yang saat itu pernah kutemukan dalam dompetnya.
Niatku untuk masuk ke kamar sehabis mengambil minum di dapur kujeda sejenak. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku bisa melihat ekspresinya saat menatap cincin itu. Ada kesedihan, kekecewaan, atau bahkan kerinduan yang juga turut tergambar di sana. Entahlah. Yang pasti, tidak ada raut kebahagiaan yang kutemukan di sebentuk wajah itu.
Segitu berartikah perempuan itu untuknya? Sesulit itukah baginya menghapus sosok tersebut dari hatinya?
Kini ... aku tidak lagi sepercaya diri itu untuk meneruskan harapku. Beribu keraguan perlahan menyergap batinku, seolah membisikkan dorongan untuk mundur.
Haruskah aku menyerah saja?
"Masih belum tidur?"
Suara Ayah tiba-tiba mengagetkanku. Membuatku lekas menoleh pada beliau yang entah sejak kapan telah berdiri di depan pintu kamar yang beliau tempati. Wajah Ayah yang sayu dengan mata yang sedikit memerah, menunjukkan jika beliau baru saja terbangun dari lelap.
Malam ini Ayah memang tidur lebih cepat. Dua jam lalu sepulang dari Masjid untuk melaksanakan salat Isya, Ayah memutuskan untuk langsung masuk kamar dan beristirahat. Kata Ayah, beliau merasa lelah dan mengantuk. Mungkin pekerjaan Ayah di kantor hari ini cukup menyita tenaga dan pikirannya.
"Baru mau tidur, Yah. Tadi wudhuk dulu, sekalian ambil minum di dapur," ujarku seraya menunjukkan gelas berisi air putih yang kupegang di tangan kanan. "Ayah kenapa bangun lagi?" tanyaku balik.
"Mau ke kamar mandi." Ayah menatapku sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, sesaat kemudian, beliau hanya berkata, "Masuklah dan segera beristirahat."
"Iya, Yah." Aku mengangguk pelan. Kemudian, Ayah lekas beranjak menuju kamar mandi yang terletak di sisi dapur. Aku pun memasuki kamar dengan membawa gelas berisi air putih yang sejak tadi kupegang.
Bang Haikal masih duduk di tepian kasur saat aku masuk. Namun, ia tidak lagi memegang cincin yang tadi dipandanginya. Mungkin sudah disimpan kembali ke dalam dompetnya.
Usai meletakkan gelas berisi air minumku ke atas nakas, aku langsung beranjak ke tempat tidur dan membaringkan diri. Menarik selimut dan menutupi tubuhku sampai sebatas dada. Bang Haikal masih belum beranjak dari posisinya. Ia terus memandangiku dengan sorot yang tidak kumengerti.
"Ada apa?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
"Apa kamu ingin berlibur?"
Keningku sontak mengerut. Pertanyaannya random sekali. "Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?" Aku balik bertanya.
Bang Haikal beranjak mendekat. Dia duduk di sisiku. Lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu padaku.
Bangkit dari posisi berbaring, aku pun ikut duduk sepertinya. Lalu mengamati layar ponselnya yang menampilkan foto sebuah tiket pesawat. Kutoleh ke arahnya segera dengan alis tertaut. "Abang mau ke Jakarta?"
"Bukan aku, tapi kita."
"Maksudnya?"
"Ini ...." Bang Haikal menggesek layar ponselnya hingga menampilkan foto tiket yang lain. Masih dengan penerbangan yang sama. Hanya saja, kali ini tiket itu bertuliskan namaku.
"Ayah yang pesankan tiket itu. Hadiah pernikahan buat kita, kata Ayah." Dia diam sejenak sambil menatapku dengan sorot dingin. "Ayah ingin kita honeymoon," ujarnya kemudian.
Aku terdiam mendengarnya. Selama sebulan ini kami memang belum pernah melakukan perjalanan khusus berdua yang mengharuskan kami menginap di tempat lain, selain di rumah ini dan juga rumah Kak Airin. Apalagi melakukan perjalanan atas nama honeymoon. Bahkan, sampai detik ini, hubungan kami masih biasa-biasa saja. Tidak ada kontak fisik yang berlebihan.
Kuakui, aku memang telah jatuh hati padanya. Aku mencintai dia sebagai imamku. Sebagai pasangan halalku. Namun, tidak dengannya. Dia belum juga mampu membuka hatinya untukku karena masih terus terbelenggu pada masa lalunya itu.
Aku berusaha mengerti. Karena kutahu, soal hati dan perasaan bukanlah kendali manusia. Aku tidak bisa memaksanya untuk melepas masa lalu secepat yang kuinginkan. Karena itu, aku tidak ingin menghakiminya atas apa yang dia rasakan.
Selama ini juga dia tidak pernah berlaku buruk terhadapku. Dia sudah berusaha melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebagai suami, dalam batas-batas yang mampu dia lakukan. Aku ingin memaklumi dan memberinya waktu. Dan aku akan terus menunggu sampai dia benar-benar bisa membuka hatinya untukku. Karena itu pula, untuk honeymoon ... kurasa bukan saat ini waktu yang tepat bagi kami.
Selama beberapa saat, kutatap Bang Haikal dalam diam. Berusaha menyelami isi hati dan pikirannya. "Abang bisa menolaknya kalau memang keberatan. Nggak perlu mikirin soal uangnya. Ayah pasti ngerti kalau Abang bisa ngasih alasan yang tepat," ujarku kemudian.
"Ayah udah tanya ke aku lebih dulu sebelum memesan tiket itu. Kalau sejak awal aku menolak, nggak mungkin tiket itu dipesan lunas sama Ayah dengan jadwal yang udah ditentukan."
Keningku kembali berkerut. Apa maksudnya? Apakah Ayah ... memesan tiket itu atas persetujuan Bang Haikal?
"Kalau memang Ayah udah tanya lebih dulu sama Abang, kenapa nggak nolak aja sebelum tiket itu dipesan?" tanyaku lagi.
"Ini bukan hanya sebuah tiket, Runi."
"Maksud Abang?"
Bang Haikal menatapku lamat-lamat. "Ini merupakan bentuk harapan dari seorang Ayah," ujarnya dengan raut serius.
Aku kembali diam sambil mencerna maksud kalimatnya barusan. Bentuk harapan dari seorang Ayah? Beberapa detik aku berpikir, berusaha memahami kalimat itu. Sampai kemudian, saat aku mulai mengerti, kutatap kedua netranya dengan lekat. "Apa Abang ... akan mewujudkan harapan itu?" tanyaku ragu-ragu. Ada getir yang mengiringi perasaanku saat menanyakan hal tersebut.
Bang Haikal tidak langsung menjawab. Ia menunduk, menatap layar ponselnya yang telah redup, yang tergeletak di dekat kami. "Akan kucoba," jawabnya dengan nada lirih. Ia tidak terlihat yakin dengan ucapannya. Namun, bisa kurasakan, ada sedikit harapan yang juga tersirat dari kalimatnya itu.
"Lalu ... Apa rencana Abang?" tanyaku lagi.
Bang Haikal mengangkat wajahnya. Kini ia kembali menatapku. "Bukankah kamu pernah bilang, akan berusaha membantuku untuk lepas dari masa lalu dan mengosongkan tempat di hatiku untukmu?"
Aku tidak memberi tanggapan. Tetap diam, menunggu apa yang hendak dia katakan selanjutnya.
"Bagaimana kalau kita mulai dengan cara ini?"
Aku masih diam tanpa melepaskan tatapan darinya.
"Siapa tau dengan liburan berdua selama beberapa hari, kita bisa belajar untuk lebih mendekatkan diri. Eng, maksudku ... aku yang bisa belajar untuk lebih dekat denganmu. Mungkin aja dengan berlibur dan terus menghabiskan waktu berdua, kita bisa menciptakan moment-moment yang membuatku jadi lebih mudah melepaskan masa lalu dan mulai mencintaimu."
"Apa Abang yakin?"
"We'll see."
Aku tidak lagi menanggapi. Kuikuti saja apa pun rencananya. Sebagai seorang istri, aku akan menuruti kata-katanya—selama itu masih dalam hal kebaikan, terutama untuk rumah tangga kami.
"Besok aku akan masuk kantor sehari lagi untuk menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan sebelum kutinggal beberapa waktu, sekaligus izin cuti untuk seminggu ke depan. Lusa kita langsung berangkat sesuai jadwal dalam tiket yang udah dipesan Ayah."
"Kamu juga bisa menyelesaikan urusan di toko besok. Mungkin ingin mengabari Naina soal rencana kepergianmu? Kalau memang dia nggak bisa handle toko selama kamu pergi, tutup aja sementara. Soal packing, besok akan kubantu."
"Iya." Aku mengangguk patuh. Entah akan seperti apa ke depannya nanti, kuharap perjalanan kami ini bisa menjadi salah satu jalan yang akan mendatangkan kebaikan bagi kami berdua, juga untuk kebahagiaan Ayah.
***
"Cieee ... yang mau honeymoon."
Sesuai dugaanku, Naina langsung menggodaku habis-habisan saat aku menyampaikan rencana liburan ke Jakarta bersama Bang Haikal selama seminggu nanti.
"Tenang aja. Akan aku jagain Karina Bakery sebaik mungkin. Nggak usah khawatir. Nikmati aja honeymoon-nya dengan tenang. Pokoknya, aku nunggu kabar baiknya aja. Sama oleh-oleh dari Jakarta," ujar Naina dengan begitu antusias.
"Insya Allah. Doakan aja semoga perjalanan kami lancar dan bisa kembali dengan selamat, Nai."
"Aamiin."
Setelah berpamitan pada Naina usai salat Zuhur, aku memilih pulang dari toko lebih awal untuk mempersiapkan segala kebutuhan ke Jakarta, juga packing-packing. Dan seperti yang dia janjikan, Bang Haikal pun pulang lebih awal dari kantornya. Lalu ikut membantuku untuk packing.
Sebagai arsitek muda yang bekerja pada Biro Arsitektur rintisan yang dikelola oleh para sahabatnya, Bang Haikal tidak kesusahan untuk mendapatkan izin cuti. Para sahabatnya malah mendukung rencana honeymoon kami. Begitu kata Bang Haikal saat aku menanyakan soal izin cutinya semingguan nanti.
Ah, iya. Soal pekerjaan Bang Haikal, aku baru tahu detailnya saat dia datang menemui Ayah untuk meminta izin menikahiku. Saat itu Ayah sempat menanyakan sedikit soal pekerjaannya. Bukan karena Ayah berharap mendapatkan menantu yang mapan dalam finansial. Beliau hanya ingin memastikan, lelaki yang akan mengambil alih tanggung jawab beliau untuk menjaga putrinya ini, sudah siap lahir dan batin untuk menjadi seorang suami dan kepala rumah tangga. Meski pekerjaannya sederhana atau tidak tetap, setidaknya ada sesuatu yang bisa diperjuangkan untuk memenuhi keperluan sehari-hari bagi keluarganya nanti. Dan Bang Haikal menjelaskan semuanya dengan detail, pun apa adanya. Aku yang saat itu ikut duduk di dekat Ayah, mendengarkan semua penjelasannya tanpa menginterupsi.
***
Sesuai rencana, tepat hari rabu sore, aku dan Bang Haikal bersiap ke bandara untuk menaiki pesawat menuju Jakarta. Sebelumnya kami berpamitan lebih dulu pada Ayah.
"Fi amanillah. Semoga perjalanan kalian lancar, berkah, dan Allah mudahkan segalanya," ucap Ayah ketika kami menyalami beliau di rumah sebelum berangkat.
Aku sengaja meminta Ayah untuk tidak mengantarkan kami ke bandara supaya beliau tidak kelelahan. Aku tidak tega kalau harus membiarkan Ayah pulang sendirian dari bandara setelah mengantar kami nanti.
"Ayah jaga diri baik-baik, ya. Banyakin istirahat dan jangan bergadang. Jaga kesehatan. Pokoknya, kalau Ayah butuh sesuatu atau merasa nggak sehat, langsung kabari aku," pintaku pada Ayah.
Ayah terkekeh menanggapinya. "Iya, iya. Tenang saja. Insya Allah Ayah akan baik-baik saja. Nggak usah terlalu mengkhawatirkan Ayah. Nikmatilah liburan bersama suamimu."
Ayah menoleh pada Bang Haikal yang terus berdiri di sebelahku sambil memegang koper berisi pakaian dan segala perlengkapan kami berdua, juga menyandang sebuah ransel di punggungnya. "Ayah titip Runi ya, Nak. Jaga dia baik-baik. Jaga dirimu juga. Kalian harus saling menjaga dan memahami satu sama lain."
"Iya, Yah. Insya Allah. Ayah juga jaga diri dengan baik," jawab Bang Haikal.
Aku memeluk Ayah sebelum benar-benar pergi. Ini pertama kalinya aku meninggalkan beliau sendiri di rumah selama kami hidup berdua—sejak ditinggal Ibu untuk selama-lamanya. Rasanya amat berat berpisah jauh dari Ayah, meski hanya untuk satu minggu. Namun, aku sadar, porsi tanggung jawabku kini jauh lebih besar pada suami. Dan aku harus bisa membagi prioritasku dengan adil, sesuai porsinya.
"Aku sayang Ayah," ucapku sambil mendekap Ayah dengan erat. "Aku pasti bakalan rindu selama seminggu nanti."
Ayah terkekeh dan menepuk-nepuk punggungku pelan, sebagai wujud kasih sayangnya untukku. "Ayah juga menyayangimu," ucap Ayah sambil mendekapku.
"Kami berangkat dulu, Yah." Bang Haikal kembali berpamitan dan menyalami Ayah dengan takzim saat aku dan Ayah telah mengurai pelukan.
"Iya. Hati-hati." Ayah menepuk-nepuk pelan bahu kiri Bang Haikal sambil tersenyum tipis dengan penuh wibawa.
Kemudian, aku dan Bang Haikal pun menuju bandara dengan menaiki taksi online yang sudah dipesankan Bang Haikal.
10. ARUNI
Langit telah menggelap saat aku dan Bang Haikal sampai di Jakarta. Usai melaksanakan salat Isya di bandara dan menjamaknya sekalian dengan salat Magrib—yang waktunya telah terlewat, kami pun lekas menuju sebuah hotel yang sudah dibooking Bang Haikal lewat aplikasi di ponselnya.
Sepanjang perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta menuju hotel tempat kami akan menginap, aku tidak berhenti menatap takjub setiap pemandangan yang tersuguh lewat kaca jendela. Hiruk pikuk Ibu Kota di malam hari langsung terasa, meski kini aku masih berada di dalam taksi.
Ini bukan pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Jakarta. Dulu saat masih kecil, Ibu dan Ayah pernah dua kali membawaku ke kota ini untuk berlibur. Pertama, saat aku masih TK—yang ini aku mengingatnya samar-samar lantaran masih terlalu kecil untuk menyimpan memory itu secara nyata. Lalu yang kedua, saat aku libur panjang begitu lulus SD dan bersiap hendak memasuki SMP—yang ini aku mengingatnya dengan cukup jelas dan menjadi salah satu kenangan manisku bersama Ayah, juga almarhumah Ibu.
Ah, mengingat hal itu, bikin hatiku mendadak mellow. Aku rindu pada Ibu yang tidak bisa lagi kudekap, juga pada Ayah yang kini sedang jauh di Banda Aceh sana. Buru-buru kutepis perasaan sedih yang datang menyapa dan lekas mengalihkan fokus kembali pada gedung-gedung tinggi yang menjulang di sepanjang jalan yang terlewati. Jakarta dengan segala kemegahannya, memang cukup jauh berbeda dengan kota kelahiranku—Bumi Serambi Mekkah—yang masih terkesan sederhana. Namun, keduanya memiliki daya tarik dan keistimewaan masing-masing.
Setelah menempuh tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kami sampai di hotel. Turun dari taksi, aku dan Bang Haikal langsung memasuki lobi hotel tersebut dan menyelesaikan proses check-in di meja resepsionis.
"Atas nama siapa, Mas?"
"Haikal Aditia Nugraha."
"Oh, baik. Tunggu sebentar."
Begitu mas-mas di meja resepsionis itu selesai mengecek data pemesanan dan menyerahkan keycard pada Bang Haikal, kami pun bergegas menuju lift untuk naik ke lantai empat—tempat di mana kamar pesanan kami berada.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke lantai yang kami tuju. Hanya dalam lima menit, aku dan Bang Haikal telah berada di depan sebuah kamar bernomor 105. Bang Haikal menempelkan keycard di pintu. Lalu masuk lebih dulu sambil menggeret koper yang dibawanya sejak tadi, juga sebuah ransel yang tersandang di punggungnya. Aku pun ikut masuk setelahnya.
Aroma woody bercampur vanilla lekas tercium begitu kami telah berada di dalam ruangan berukuran sekitar empat kali lima meter tersebut. Bukan kamar mewah layaknya hotel bintang lima. Hanya sebuah kamar biasa dengan fasilitas yang sudah termasuk lengkap dan cukup nyaman—dengan harga yang masih tergolong ekonomis.
Ada sebuah ranjang king size di tengah kamar yang diapit oleh dua nakas di sisi kiri dan kanannya, satu lemari kecil di pojok kanan, satu sofa panjang di sisi berlawanan—yang berdekatan dengan pintu menuju balkon, serta sebuah meja kecil setinggi satu meter di sisi lainnya—yang di atasnya diletakkan TV LED model terbaru. Aku yang meminta Bang Haikal untuk memesan kamar dengan harga segituan saja agar tidak terlalu boros. Dan dia menurutiku tanpa berkata apa-apa.
"Mau apa untuk makan malam?" tanya Bang Haikal setelah menyimpan seluruh barang bawaan kami di salah satu sisi kamar dekat lemari.
Aku yang telah duduk di tepian kasur dan meluruskan kaki sejenak karena merasa cukup letih, menoleh ke arahnya. "Abang mau apa? Aku ngikut aja."
"Nasi putih dengan lauk Ayam Kremes mau?"
"Boleh." Aku memberi anggukan.
Bang Haikal lekas melakukan pemesanan lewat aplikasi layanan antar di ponselnya. Begitu selesai, ia pun ikut mendudukkan dirinya di tepian ranjang pada sisi berlawanan denganku.
"Besok ... mau ke mana dulu?" tanya Bang Haikal sambil menatapku.
Aku pun kembali menoleh ke arahnya. "Abang punya ide?"
"Aku akan ikut ke mana pun kamu mau."
"Em ...." Aku berpikir sejenak. "Kalau pagi kayaknya nggak banyak tempat yang asik buat dikunjungi. Kota Tua asiknya sore atau malam. Kalau Ragunan ... bisa aja sih. Oh, apa ke Taman Mini aja?" usulku dengan ragu.
"Mau ke Taman Mini?"
"Hm." Aku mengangguk pelan.
"Oke." Dia pun mengiyakannya.
Tidak ada lagi percakapan yang terjadi antara kami. Tiba-tiba suasana menjadi hening dan kami terjebak dalam kecanggungan. Lekas aku mencari cara untuk bisa mengusir kecanggungan itu.
"Ah, iya. Aku belum kabari Ayah kalau kita udah sampai di Jakarta," ujarku kemudian. Ini bukan hanya pengalihan topik, tapi aku memang belum memberi kabar pada Ayah sejak tiba di bandara tadi. Lekas kuraih ponsel dari dalam slingbag yang kuletakkan di atas nakas di dekatku dan langsung mendial nomor Ayah lewat panggilan video.
Tidak lama menunggu, panggilan video dariku pun diterima oleh Ayah. Wajah yang sudah sangat kukenali tersebut muncul pada layar pipih di tanganku.
"Assalamualaikum, Ayah," ucapku sambil mengulas senyum.
Ayah balas tersenyum dengan auranya yang penuh wibawa. "Wa'alaikumsalam. Kalian sudah sampai di Jakarta?"
"Udah, Yah. Alhamdulillah. Ini kami udah di penginapan."
"Alhamdulillah."
"Ayah udah makan malam, kan?"
"Sudah. Sudah dari tadi."
"Itu lauknya Ayah panasin aja besok pagi—untuk yang keumamah. Kalau teri dan tempe goreng, nggak perlu dipanasin. Tinggal diaduk sama sambal aja tiap Ayah mau makan. Sambalnya yang dipanasin dulu sebelum diaduk. Insya Allah tahan untuk beberapa hari ke depan. Kalau habis, nanti Ayah beli aja di warung depan gang kita. Nasinya kalau Ayah nggak sempat masak, beli aja. Pokoknya, Ayah jangan sampai nggak makan."
Ayah terkekeh mendengar kebawelanku. "Iya. Nggak usah khawatir. Ayah bisa mengurus diri sendiri. Kamu fokus saja dengan suamimu di sana."
Aku pun tersenyum menanggapinya. "Ayah mau dibawain oleh-oleh apa saat kami pulang nanti?"
"Kalian pulang dengan selamat dan perasaan bahagia saja, itu sudah lebih dari cukup buat Ayah."
Lagi-lagi aku tersenyum mendengar jawaban Ayah. Lalu menoleh sejenak pada Bang Haikal begitu mendengar suara notifikasi pesan yang berasal dari ponselnya.
Bang Haikal lekas mengecek benda pipih miliknya itu. "Pesanan kita udah di depan. Aku turun dulu ya," pamitnya dan langsung beranjak keluar setelah kubalas dengan anggukan.
Setelah sosoknya menghilang dari pandangan begitu pintu kamar kembali ditutup, aku pun kembali memasang atensi pada layar ponsel yang masih menampilkan wajah Ayah.
"Nak Haikal lagi ada urusan?" tanya Ayah begitu aku kembali menatap beliau di layar.
"Pesanan makan makan malam kami udah diantar, Yah. Bang Haikal turun ke bawah buat ngambil."
"Oh ... Ya sudah. Kalau begitu, siap-siap saja dulu buat makan malam. Nikmati waktu kalian bersama di sana. Jadilah istri yang baik untuk suamimu ya, Nak. Seperti apa pun dia, bersabarlah menghadapinya. Semua manusia itu punya kelebihan dan kekurangan. Ayah harap, apa pun ujian yang harus kalian hadapi, kalian tetap kuat dan bisa melewatinya bersama-sama."
"Iya, Yah." Aku menjawab lirih sambil merenungi kata-kata Ayah. Mendengar Ayah tiba-tiba memberiku nasihat itu, sepertinya dugaanku memang benar. Ayah menyadari seperti apa kondisi rumah tanggaku bersama Bang Haikal. Karena itulah Ayah menghadiahi kami tiket untuk honeymoon ini.
"Ya udah, Ayah istirahat ya. Jangan bergadang. Aku tutup dulu," ujarku kemudian. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Tidak lama setelah aku mengakhiri panggilan video dengan Ayah, Bang Haikal datang dengan membawa bungkusan plastik berisi nasi ayam kremes untuk makan malam kami.
Kami pun lekas menyantapnya bersama sambil duduk bersisian di sofa panjang dekat pintu menuju balkon. Dan ketika memandangi Bang Haikal yang sedang menghabiskan makanannya di sebelahku, pikiranku kembali memutar ulang nasihat dari Ayah tadi.
"Jadilah istri yang baik untuk suamimu ya, Nak. Seperti apa pun dia, bersabarlah menghadapinya. Semua manusia itu punya kelebihan dan kekurangan. Ayah harap, apa pun ujian yang harus kalian hadapi, kalian tetap kuat dan bisa melewatinya bersama-sama."
Mungkin aku memang harus lebih bersabar menghadapinya. Menunggu dia berhasil lepas dari masa lalunya dan mampu membuka hati sepenuhnya untukku. Entah kapan saat itu akan tiba, aku harus sabar menunggu. Aku akan terus memberinya waktu.
***
Sesuai usulku tadi malam, hari ini aku dan Bang Haikal mendatangi Taman Mini Indonesia Indah—salah satu kawasan wisata yang cukup terkenal di Kota Metropolitan ini. Karena tempatnya yang terlalu luas dan waktu yang kami miliki sangat terbatas, tidak semua area bisa kami kunjungi. Hanya sebagian saja yang kami pilih. Seperti Istana Anak-anak dan beberapa anjungan daerah.
Sambil menyusuri setiap sudut yang menarik perhatianku, tidak lupa aku memotret untuk mengabadikannya dengan kamera ponsel. Bang Haikal pun melakukan hal yang sama. Dia terus menelusuri view-view yang menarik minatnya.
Saat sedang mencari objek menarik untuk kufoto, tiba-tiba Bang Haikal yang sedang asik memotret di sisi lain, tertangkap oleh kamera ponselku. Aku berhenti sejenak dan menatapnya lewat lensa kamera. Dia terlihat begitu serius membidik segala objek dan view di sekitarnya. Lalu ketika sedang memotret sesuatu di dekat tempatku berdiri, gerakannya tiba-tiba terhenti karena menyadari kamera ponselku yang sedang mengarah padanya.
Lekas aku mengulas seutas senyum untuknya begitu pandangan kami saling bertemu. Lalu memotretnya beberapa kali secara terang-terangan. Dia terlihat salah tingkah. Membuatku semakin melebarkan senyum. "Nggak apa-apa kan, aku ambil foto Abang? Buat kenang-kenangan," ujarku, meminta persetujuannya. Yah, walaupun sudah telat, karena aku sudah lebih dulu memotretnya sebelum meminta izin.
"Hm." Dia mengangguk samar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan kikuk.
Senyum di bibirku kembali terbit. Lalu memutuskan untuk berjalan ke arahnya. "Kalau foto bareng ... boleh juga, kan?" tanyaku sambil memposisikan diri tepat di sampingnya dan mengulas senyum lebar sambil memegang ponsel. Siap untuk memotret jika diperbolehkan.
Dia masih terdiam kaku dan tampak kikuk di sebelahku. Tinggiku yang hanya sebatas dadanya membuat Bang Haikal harus sedikit menunduk untuk bisa menatap wajahku.
Melihat dia yang tidak menunjukkan reaksi protes, aku pun lekas mengangkat ponsel dan mengarahkan kamera depan untuk mengabadikan foto kami berdua. "Ayo senyum!" seruku tanpa menghilangkan lengkungan tipis di bibir.
Bang Haikal masih terlihat kikuk. Namun, ia tidak bergeser sama sekali dari posisinya. Tetap berada di sebelahku dan menungguku selesai membidik kamera. Tidak hanya satu kali. Ada beberapa kali aku memotret dan dia tidak protes sama sekali.
Begitu selesai, kuamati foto kami satu per satu sambil terus tersenyum sumringah. "Bagus juga hasilnya," ujarku sungguh-sungguh. "Sepertinya aku punya bakat dalam memotret. Ah, atau karena objeknya memang menarik dan tampan, ya?" selorohku sambil meliriknya.
Ternyata dia juga sedang menatapku. Namun, dalam sekejap dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan bibir yang sedikit melengkung.
Ya, dia tersenyum. Meski sekilas, aku sempat menangkap senyumnya. Senyum yang tampak malu-malu dia perlihatkan padaku. Kemudian, dia pun kembali berjalan sambil memegang ponselnya dengan sedikit kikuk. Terlihat sekali kalau dia merasa salah tingkah usai mendengar pujian terselubung dariku tadi.
Kutatap sosoknya yang sedang berjalan tak jauh di depanku. Bibirku pun kembali melengkung tipis.
Dia ... punya sisi yang menggemaskan juga rupanya.
***
Hari kedua, kami kembali mengunjungi tempat wisata. Kali ini destinasi tujuan kami adalah Ragunan. Dan seperti saat di TMII kemarin, selain jalan-jalan menikmati pemandangan, kami juga mengabadikan banyak hal menarik lewat kamera ponsel. Sepertinya sudah hampir lima ratusan foto hasil jepretanku selama di Jakarta yang memenuhi gallery ponsel, tapi aku tidak peduli. Akan kuabadikan sebanyak-banyaknya moment ini, agar kelak bisa kukenang. Entah masih bersamanya atau tidak, aku tidak ingin memikirkannya dulu.
Sorenya, usai melaksanakan salat Ashar—masih di kawasan Ragunan, hujan tiba-tiba turun dengan deras. Kami pun terpaksa berhenti keliling dan memutuskan untuk kembali ke hotel. Bang Haikal lekas memesan sebuah taksi online lewat aplikasi di ponselnya. Sedikit lama kami menunggu, barulah taksi tiba di depan gerbang utama.
Ketika berjalan hendak memasuki taksi, tiba-tiba kakiku terpeleset karena jalan setapak yang licin diguyur air. Tubuhku limbung dan nyaris saja tersungkur. Syukurnya Bang Haikal dengan sigap menahan pinggangku, hingga aku tidak sampai terjatuh.
"Hati-hati," ucapnya sambil membantuku untuk dapat berdiri tegak kembali.
Meski sesaat dan prosesnya begitu cepat, tapi perlakuannya itu berhasil membuat jantungku berdetak dengan tidak normal. Bahkan, aku sampai tertegun sejenak sambil memandanginya.
"Ayo buruan masuk, Runi! Hujannya makin deras!" seru Bang Haikal seraya menahan pintu taksi agar aku bisa masuk lebih dulu darinya.
"Oh, eng ... I-iya." Aku terhenyak dan lekas memasuki taksi, menempati bangku penumpang yang disusul olehnya. Kami telah sama-sama basah karena tidak memiliki payung dan nekat berjalan di bawah guyuran hujan saat keluar menuju gerbang utama untuk menunggu taksi. Kerudungku bahkan sampai lepek di kepala saking banyaknya menyerap air.
Derasnya hujan yang turun membuat jalanan cukup macet di beberapa titik. Kami berhasil sampai di hotel ketika azan Magrib telah berkumandang.
Setelah membersihkan diri, menunaikan salat Magrib dan makan malam, juga salat Isya satu jam setelahnya, aku memilih untuk keluar ke balkon samping kamar. Aku masih belum mengantuk dan ingin menikmati sejenak pemandangan malam Kota Jakarta yang tampak indah dari tempatku berdiri saat ini. Hujan telah reda sejak setengah jam yang lalu. Menyisakan udara malam yang sejuk, juga deru kendaraan yang terdengar samar-samar di kejauhan. Balkon tersebut memang sudah langsung mencuri perhatianku sejak pertama memasuki kamar ini.
"Nggak kedinginan?" tanya Bang Haikal yang tiba-tiba ikut menyusulku ke balkon.
Aku mumutuskan pandangan dari view yang sedang kuamati dan menoleh ke arahnya. Baru saja hendak memberikan jawaban, niatku urung begitu melihat sesuatu yang dia sodorkan padaku. Sebuah jaket miliknya.
Sebelum sempat mengambilnya, tiba-tiba Bang Haikal malah memakaikan jaket itu di kedua pundakku hingga menutupi bagian belakang tubuhku.
"Udaranya terlalu dingin. Tadi juga kamu udah kehujanan. Jangan sampai sakit. Masih ada beberapa hari lagi waktu kita untuk jalan-jalan di kota ini," ujarnya.
"Makasih," ucapku seraya membenarkan letak jaket itu agar lebih sempurna menutupi tubuhku. Udara malam ini memang lebih dingin dari kemarin. Mungkin karena baru selesai hujan. Meski sudah mengenakan kerudung instan di kepala, juga kaus lengan panjang dengan paduan celana kulot yang membalut tubuhku, hawa dingin tetap saja terasa menusuk sampai ke tulang. Namun, kini telah sedikit lebih hangat dengan adanya jaket milik Bang Haikal yang ikut membalut tubuhku.
Bang Haikal tidak memberi tanggapan apa-apa atas ucapan terima kasihku tadi. Dia hanya diam dan mengambil posisi di sebelahku. Lalu menumpu kedua lengannya pada tembok pembatas balkon yang hanya sebatas pinggang untuknya—sementara bagiku nyaris sebatas dada.
Kupandangi sosoknya sejenak dari samping. Dia tidak menoleh sama sekali. Terus fokus mengamati pemandangan malam Ibu Kota yang terhampar di hadapan kami. Raut wajahnya masih terlihat dingin seperti biasa. Beberapa helai rambutnya sesekali bergerak karena embusan angin.
"Apa dia begitu cantik?" tanyaku di sela-sela keheningan kami.
"Si pemilik cincin itu," lanjutku lagi begitu Bang Haikal menoleh.
"Kenapa?" Dia balik bertanya.
"Aku hanya penasaran, apa kelebihan yang dimiliki perempuan itu sampai Abang menyukainya begitu dalam?"
Bang Haikal diam sesaat sambil menatapku lekat. "Nggak semua orang punya alasan untuk mencintai, Runi," ujarnya kemudian. "Kadang perasaan itu tumbuh dengan sendirinya, tanpa kita sadari dan tanpa tahu alasan pastinya."
"Hmm ... Dia pasti perempuan hebat," ucapku sambil mengalihkan pandangan ke depan, pada hamparan gedung bertingkat yang tersuguh di hadapan kami. Ada getir yang mengiringi hatiku saat mengatakan kalimat itu.
Lagi-lagi Bang Haikal terdiam. Hampir sepuluh detik berlalu, aku tidak juga mendengar tanggapan darinya. Ketika menoleh kembali ke arahnya, ternyata dia sedang menatapku lamat-lamat.
"Jangan biasakan membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain, Runi. Allah menciptakan setiap makhluk dengan sebaik-baik bentuk, lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing."
"Aku masih belum berhasil melupakannya, bukan karena dia lebih hebat darimu. Dia memang istimewa untukku, tapi bukan berarti kamu nggak seistimewa dia. Ini hanya soal hati dan perasaan, yang terkadang sulit dijelaskan dengan logika," ujar Bang Haikal sambil terus menatapku dengan sorot dinginnya.
"Apa sesulit itu melupakannya?"
Bang Haikal kembali diam dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dari reaksinya aku tahu apa jawaban yang kini sedang kudapati.
Kutatap sosoknya lebih lekat dan bertanya lagi dengan ragu-ragu, "Apakah ... masih ada kemungkinan untukku ... bisa menggantikan posisi itu?"
Dia kembali mengarahkan tatapannya padaku. Dan raut sendu itu, kembali kudapati di sepasang netranya. Kami saling menatap sejenak dalam diam. Seolah sedang mengutarakan banyak hal yang tidak mampu kami ungkapkan lewat kata-kata.
Sampai kemudian, aku memutuskan pandangan lebih dulu dan memilih untuk beranjak. "Aku masuk dulu. Mau istirahat," ujarku seraya memutar badan.
Namun, tangannya tiba-tiba menahanku, hingga aku urung melangkah. Dan yang membuatku terhenyak, dia malah menarikku ke dalam pelukannya.
________________
Huhuu
Part ini vibes-nya rada nano-nano, yak?
Apa nih, tanggapan kalian tentang Haikal dan Aruni sampai chapter ini?
Btw, ini chapter terakhir yg dapat dibaca secara gratis ya.
Setelah ini, mulai dari dari Chapter 11 s.d selesai akan digembok alias berbayar.
Maaf ya, manteman.. 🥺
Chapter yg digembok nggak banyak kok. Kalian bisa pilih mau beli satuan atau yang versi paket. Tersedia Paket Season 1, Season 2, dan Full Season yang merupakan gabungan keduanya. Terus selanjutnya ada Extra Part juga yg hanya bisa dibeli secara satuan. Untuk Paket Full Season harganya lebih murah ketimbang beli terpisah. Terserah teman-teman mau pilih yg mana.
Yang tetap mau lanjut baca, aku doakan semoga dimudahkan oleh Ar-Razaq untuk membuka semua gemboknya. Semoga rezekinya makin berkah dan Allah ganti dengan berkali-kali lipat. Dan semoga ada manfaat yang dapat diambil dari karyaku yang masih jauh dari kata sempurna ini.
Buat teman-teman yang udah berkenan mampir sampai kemari, terima kasih banyak.
Jazakumullahu khair. 🤍
— Zazadaisilova —
19.10.2022

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
