ANNISA Vol. 1

8
0
Deskripsi

Vol. 1 berisi Chapter 1 s.d 5 dari kisah ANNISA (Kala Takdir Menuntunku Padamu) yang dapat dibaca GRATIS (TIDAK DIGEMBOK).

  1. Harapan yang Pupus

2. Dilema

3. Sang Pendamping

4. Ja-kar-ta

5. A Requested Dinner

Happy Reading! 🕊️🤍

1. Harapan yang Pupus

Harapan itu seperti angin.
Ia bisa membawamu terbang, tapi terkadang bisa pula membuatmu terjatuh.
Dengan adanya harapan, seseorang menemukan kekuatan hidup. Lalu saat ia pupus, bisakah hidup tetap berjalan sebagaimana mestinya?
— Annisa Althaf —

🖤🖤🖤

SEPASANG mata bundar milik gadis itu tampak mengerjap, menatap layar persegi di hadapannya. Seolah masih tak percaya dengan pesan yang baru saja ia terima lewat email, diejanya kembali setiap kalimat yang tertera di sana.

Dengan hormat,
diberitahukan bahwa Saudara/i Annisa Althaf dinyatakan:
DITERIMA
sebagai mahasiswa magister FEB Universitas Negeri Jakarta melalui jalur Beasiswa Unggulan Tahun 2015.
Mohon untuk melakukan registrasi ulang sebelum perkuliahan dimulai. Terkait jadwal, lokasi, dan segala berkas yang harus dipersiapkan untuk melakukan proses registrasi ulang, akan kami informasikan lebih lanjut.
Selamat kepada Saudara/i yang berhasil lulus.

Tak ada kata yang mampu terucap dari bibirnya, selain rasa syukur yang ia tujukan pada Yang Mahakuasa. Lekas Annisa turun dari kursi dan menjatuhkan kening ke lantai untuk bersujud. Netranya seketika langsung basah, menahan haru yang kian menyeruak dari batinnya. Pesan tersebut seakan menjadi jawaban atas doa-doa yang selama ini ia langitkan. Usahanya selama dua tahun belakangan telah membuahkan hasil. Akhirnya, dia berhasil diterima di kampus yang telah diimpikannya sejak lama melalui jalur beasiswa.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Bangkit dari sujud syukur, Annisa kembali duduk di depan meja belajar yang terletak di salah satu sudut kamarnya. Ia menatap lagi layar laptop yang masih menampilkan pesan dari universitas impiannya itu. Bibirnya perlahan melengkung tipis, menyiratkan rasa haru dan bahagia yang bercampur memenuhi benaknya.

“Nis ….”

Seruan lembut seorang wanita yang tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya, membuat gadis berlesung pipi itu terhenyak dan lekas mengalihkan tatap sembari menghapus jejak-jejak bening yang terlanjur tumpah di ujung netra. “Masuk aja, Bunda,” ujarnya santun.

Perlahan pintu terkuak, memunculkan sosok wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu sambil menahan handle-nya. Wanita itu adalah Rahma, sang bunda yang telah melahirkannya ke dunia. "Nis ...." Kalimat Rahma terjeda begitu mendapati putri semata wayangnya sedang terburu-buru menutup laptop.

"A-ada apa, Bunda?" tanya Annisa dengan gugup.

Kening Rahma berkerut tipis. Ia merasa Annisa seakan sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, ditahannya rasa penasaran itu. "Makan dulu, Nak. Ayahmu sudah menunggu di meja makan," ujarnya dengan keibuan.

“I-iya, Bunda. Sebentar lagi Nisa nyusul.”

"Segera keluar, ya, Nak."

Annisa mengangguk pelan. Setelah sang bunda pergi dan menutup kembali pintu kamarnya, ia bergegas merapikan meja belajar. Tatapannya terhenti sejenak pada benda persegi berwarna hitam yang tergeletak di sana. Di antara rasa haru dan bahagianya saat ini, ada sesuatu yang masih mengusik hati dan pikirannya. Dihelanya oksigen dengan berat, berusaha mengusir segala keraguan itu dan lekas beranjak keluar dari kamar.

Sampai di meja makan, Annisa langsung bergabung dengan kedua orangtuanya yang telah berada di sana lebih dulu. Dengan menampilkan wajah sumringah, ia pun segera mengisi nasi dan lauk ke piring untuk ikut makan bersama mereka. "Hmm ... Masakan Bunda selalu jadi yang terlezat di dunia," puji Annisa begitu mulai mengunyah nasi di mulutnya.

"Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin Ayah bisa gendut begini." Fadlan—sang ayah—lekas menimpali. Lalu tergelak bersama putrinya.

Rahma tersenyum mendengar pujian dari suami dan anaknya itu. "Ayah dan Nisa selalu saja kompak kalau menggombal," ucapnya sambil menggeleng. Sang suami dan putrinya pun kembali terkekeh bersama.

Annisa memandangi kedua orangtuanya bergantian. Dengan mengumpulkan segenap keyakinan di hati, ia lantas berseru, “Ayah, Bunda.” Begitu ayah dan bundanya telah memusatkan atensi ke arahnya, Annisa kembali membuka suara. “Nisa ... baru aja diterima di kampus impian Nisa ... melalui jalur beasiswa," ujarnya ragu-ragu dan sedikit gugup.

Rahma dan Fadlan langsung melirik satu sama lain. Lalu kembali menatap putri mereka. "Maksudmu ... kampus impianmu yang ada di Jakarta itu, Nak?" tanya Rahma dengan yakin tak yakin.

"Iya, Bunda." Annisa mengangguk pelan.

Rahma dan Fadlan kembali melempar pandang. Annisa menatap keduanya dengan gugup dan cemas.

"Memangnya ... harus di kampus itu, Nak? Harus di Ibu Kota?" Rahma kembali bertanya dengan raut ketidakrelaan. Sedangkan Fadlan tampak diam menatap putrinya dengan raut yang tidak terbaca.

Dari pertanyaan bundanya, Annisa sudah bisa menyimpulkan. Wanita yang telah melahirkannya itu, merasa berat untuk melepasnya ke Ibu Kota, tempat kampus impiannya berada.

"Kenapa tidak lanjut kuliah di sini saja, Nak? Di daerah kita juga banyak kampus yang bagus dan bermutu," ujar Rahma dengan raut penuh harap.

"Bunda, kan, tahu sendiri. Dari dulu Nisa ingin sekali kuliah di kampus itu. Itu kampus impian Nisa sejak masih sekolah, Bunda." Annisa berusaha meyakinkan bundanya.

"Dulu Nisa berencana lanjut S-1 di sana, tapi Ayah dan Bunda nggak mengizinkan karena saat itu Nisa masih delapan belas tahun. Masih terlalu muda—menurut Ayah dan Bunda—untuk pergi jauh dari rumah dan hidup sendirian di kota besar. Sekarang Nisa udah sarjana. Usia juga udah dua puluh lima tahun. Bukankah udah cukup dewasa untuk hidup mandiri di luar kota, Yah, Bun? Apalagi Nisa berhasil lulus melalui jalur beasiswa. Ayah dan Bunda masih nggak mengizinkan juga?" Ia memelas dengan penuh harap.

Fadlan menegakkan posisi duduk dan menatap lekat wajah putrinya. "Ayah bukannya tidak senang dengan keberhasilanmu. Ayah bangga memiliki anak sepertimu. Kamu anak yang baik, pintar, rajin dan mau bekerja keras. Ayah tahu, untuk bisa lulus di kampus yang kamu impikan itu tidak mudah. Apalagi lewat jalur beasiswa. Banyak orang yang sudah berhasil kamu saingi untuk mencapai apa yang kamu peroleh saat ini."

Annisa hanya diam mendengarkan penuturan ayahnya. Berharap akan mendapat dukungan dari pria terbaik dalam hidupnya itu.

"Tapi ...."

Kata tapi dari ayahnya langsung merubuhkan harapan Annisa.

"Ini bukan soal kampusnya, Nak. Ayah berat melepasmu untuk hidup sendirian di Ibu Kota."

Ibu Kota, itulah alasan yang melatarbelakangi segalanya. Kota yang jaraknya cukup jauh dari daerah tempat tinggal Annisa, Kota Metropolitan yang penuh dengan kriminalitas dan aksi-aksi kejahatan, serta kota tempat ayah dan bundanya sempat mengalami hal tidak menyenangkan saat mendatangi kota tersebut belasan tahun yang lalu, membuat kedua orangtua Annisa berat untuk melepasnya ke kota itu.

"Kamu itu anak gadis Ayah satu-satunya. Bukan pilihan mudah, membiarkanmu pergi ke Ibu Kota dan hidup sendirian di sana tanpa ada yang menjaga. Sebagai orangtua, tentu saja kami khawatir. Kenapa tidak pilih kampus yang ada di dekat sini saja, Nak? Masih banyak kampus yang bagus di daerah kita. Kalaupun harus dengan biaya sendiri, Ayah tidak keberatan." Fadlan berujar dengan cukup tenang dan penuh wibawa.

"Kalau memang Nisa berencana lanjut kuliah di sini, udah dari dulu Nisa daftar di kampus yang Ayah tawarkan selama ini. Nisa terus menolak tawaran Ayah karena ingin lanjut kuliah di kampus impian Nisa itu, Yah. Nisa juga nggak berharap untuk lanjut kuliah dengan biaya dari Ayah. Nisa ingin mandiri dan nggak membebani Ayah lagi. Makanya Nisa berusaha keras untuk masuk ke kampus itu lewat jalur beasiswa."

"Sekarang impian Nisa udah terwujud. Akhirnya Nisa diterima di kampus itu sesuai jalur yang Nisa harapkan. Apa Ayah dan Bunda tega nyuruh Nisa untuk mengabaikan kesempatan yang udah Nisa dapatkan ini?" Annisa terus memelas. Berharap kedua orangtuanya akan luluh dan memberinya izin.

"Bukan begitu, Nak." Fadlan merasa serba salah. Di satu sisi ia tidak ingin membatasi impian putrinya. Namun, sebagai seorang ayah, ia tetap memikirkan keselamatan putrinya. "Ayah ikut senang atas keberhasilanmu. Ayah bangga padamu dan tidak berniat membatasi impianmu. Justru akan selalu mendukungmu dengan senang hati. Hanya saja, sebagai orangtua, kami berat untuk melepasmu ke Jakarta, Nak. Tidak ada siapa pun yang kamu kenal atau mengenalmu di sana."

"Hidup di Jakarta itu cukup keras. Tidak semudah yang kamu bayangkan. Hampir setiap hari ada saja kejadian miris yang dilaporkan melalui media. Kami tidak akan bisa hidup tenang kalau kamu berada di sana sendirian." Fadlan berujar dengan penuh penekanan.

"Nggak selalu begitu, Yah. Banyak juga hal baik yang terjadi di Jakarta. Banyak orang baik yang menginspirasi justru lahir dari kota itu. Kalau cuma lihat berita kriminal, tentu hanya itu aja yang kita tahu. Coba Ayah lihat berita-berita inspiratif, berita islami yang sarat pesan kehidupan, banyak kok, yang diliput dari kota itu. Insya Allah Nisa bisa jaga diri dengan baik, Yah. Kalau memang merasa khawatir, Ayah dan Bunda juga bisa jenguk Nisa tiap waktu," kukuh Annisa.

"Tidak segampang itu, Nak. Ayah dan Bunda juga punya pekerjaan dan tanggung jawab di sini. Belum tentu kami bisa menjengukmu setiap waktu. Jarak dari sini ke Jakarta tidak dekat," ujar Fadlan dengan penuh kesabaran.

"Tapi, Yah ... Nisa ingin sekali kuliah di kampus itu. Nisa udah diterima sebagai mahasiswa di kampus impian Nisa, Yah. Tinggal berangkat dan mengurus segala prosedur masuknya setelah sampai di sana nanti." Annisa terus berusaha meyakinkan ayahnya.

"Maaf, Nak. Ayah tidak bisa mengizinkan. Sebaiknya cari saja kampus lain di dekat sini. Tidak masalah berapa pun biayanya,” ujar Fadlan dengan berat hati.

Annisa menoleh pada bundanya. Berharap akan mendapat dukungan dari wanita yang telah melahirkannya itu.

"Bunda sependapat dengan ayahmu, Nis. Sebaiknya cari saja kampus lain di dekat sini. Masih banyak yang bagus di daerah kita. Kenapa harus jauh-jauh ke Jakarta?" Rahma berkata lembut dan penuh pengharapan.

"Bunda ...." Annisa masih terus memelas. Berharap dapat mengubah keputusan bundanya dan membantunya untuk meyakinkan sang ayah. Namun, ternyata tidak berhasil. Sang bunda lebih berpihak pada ayahnya.

"Sudah, sudah. Ayah tidak ingin lagi memperpanjang perdebatan ini. Lebih baik kita selesaikan dulu makan malamnya," tukas Fadlan mengakhiri obrolan itu. Ia lekas melanjutkan makan malamnya tanpa mengalihkan pandangan lagi.

Rahma menatap Annisa dengan sedikit prihatin. Ia tidak bermaksud mematahkan impian putrinya. Namun, sebagai seorang ibu, hatinya pun berat untuk menyetujui keinginan sang putri semata wayang.

Annisa terdiam, tak lagi dapat berkutik. Ia sudah menduga, ayah dan bundanya pasti berat mengizinkannya untuk lanjut kuliah di kampus impiannya itu karena letaknya di Ibu Kota. Hal itulah yang tadi membuatnya ragu untuk menyampaikan perihal kelulusannya tersebut.

Tadinya ia masih berharap dapat meluluhkan hati mereka. Ternyata tidak berhasil. Kedua orangtuanya tetap pada keputusan yang sama. Tak ada harapan lagi baginya untuk menggapai mimpi yang sudah di depan mata. Semangatnya kini memudar. Selera makannya hilang seketika. Ia pun bangkit dari kursi. "Nisa permisi ke kamar dulu," ujar Annisa dengan wajah muram. Ia langsung beranjak meninggalkan meja makan tanpa menunggu tanggapan kedua orangtuanya.

Fadlan dan Rahma saling melempar pandang. Keduanya jadi merasa serba salah. Mereka sadar, sang putri semata wayang ... kini sedang merasa kecewa.


2. Dilema

Bagiku ada dua hal yang paling sulit dilakukan di dunia ini. Pertama, menebak pemikiran manusia. Kedua, menentukan pilihan. Beruntungnya, untuk poin kedua, ada istikharah sebagai jalan terbaik yang islam ajarkan.
— Annisa Althaf —

🖤🖤🖤

SETELAH mendapat ketidaksetujuan orangtuanya malam itu, Annisa hanya bisa pasrah. Berusaha ikhlas mengubur mimpinya untuk lanjut kuliah di kampus impian. Sekuat apa pun ia menginginkan, jika orangtuanya tidak memberi izin, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu betul bahwa rida orangtua merupakan jalan baginya untuk menggapai rida Allah.

Annisa berusaha melupakan—bahkan menghindari—topik yang berkenaan soal kuliah, setiap kali ia berhadapan dengan kedua orangtuanya. Demi menjaga perasaan mereka, juga perasaannya sendiri.

Suatu sore, kedua orangtua Annisa tiba-tiba datang mengahampirinya di kamar. Saat itu ia sedang duduk di depan meja belajar sambil membuka laptopnya dan menonton beberapa video motivasi untuk menghabiskan waktu luang. Sesuatu yang memang sudah menjadi kebiasaan Annisa sejak dulu.

"Ada apa, Bunda? Ayah?" Annisa lekas bertanya usai memutar posisi duduk, menghadap kedua orangtuanya yang kini telah berdiri di dekatnya.

Rahma sempat tersenyum tipis saat menyaksikan kegiatan putri semata wayangnya yang tidak pernah berubah. Ia merasa bersyukur karena putrinya selalu memanfaatkan waktu luang untuk hal-hal yang positif, bukan untuk sesuatu yang merugikan dunia dan akhiratnya kelak. Beranjak duduk ke tepian ranjang milik putrinya, Rahma kemudian menatap putri kesayangannya itu. "Kemarilah, Nak," serunya sambil menepuk sisi kosong di sebelah untuk diduduki Annisa.

Annisa memandang kedua orangtuanya bergantian. Ia merasa heran melihat ekspresi mereka yang tampak begitu serius. Hatinya tiba-tiba menjadi gugup. Dengan ragu-ragu ia beranjak ke tepian ranjang dan duduk di sebelah bundanya. "Ada apa, Bunda?"

"Ada yang ingin Bunda dan ayahmu bicarakan denganmu," ujar Rahma seraya menangkup pundak kiri putrinya.

"Soal apa, Bunda?" Annisa jadi merasa penasaran.

"Nis ... Bunda dan ayahmu sudah berdiskusi dan memikirkan matang-matang soal keinginanmu untuk lanjut kuliah di kampus impianmu itu."

Mendengar topik soal kuliah kembali disinggung oleh bundanya, Annisa langsung terdiam gugup.

"Setelah kami pertimbangkan berulang kali dan mencari jalan keluar terbaik, Bunda dan ayahmu sepakat ...," Rahma melirik suaminya sejenak sebelum meneruskan kalimatnya, "untuk mengizinkanmu ke Jakarta, melanjutkan kuliah di kampus impianmu itu," ujarnya dengan senyum tipis yang terukir di bibir.

Annisa terbelalak menatap ayah dan bundanya bergantian. "Bunda ... serius? Bunda dan Ayah mengizinkan Nisa untuk lanjut kuliah di kampus impian Nisa yang ada di Jakarta itu?" tanya Annisa memastikan lagi. Mulutnya menahan senyum yang siap melebar jika saja ayah dan bundanya memberi anggukan.

Sesuai harapan Annisa, kedua orangtuanya pun mengangguk pelan. "Iya, Nak. Ayah dan Bunda memberimu izin," kata sang ayah meyakinkannya. Pria paruh baya itu mengulas senyum dengan penuh wibawa.

Senyum di bibir Annisa seketika langsung merekah. Ia tak mampu berkata-kata lagi. Rasa haru dan bahagia membuat matanya mulai berkaca-kaca. Lekas ia merengkuh tubuh wanita paruh baya di sebelahnya itu dan menumpahkan keharuan dalam bentuk tangisan kecil tanpa suara. "Makasih, Bunda," ucapnya.

Rahma tersenyum simpul. Matanya pun ikut berkaca-kaca, terbawa haru yang dirasakan putrinya. Diusapnya punggung gadis itu dengan penuh kasih. "Kami ... masih belum terlambat memberi keputusan ini, kan, Nak?"

Annisa melepaskan pelukannya dan menatap sang bunda sambil menggeleng cepat. "Tentu aja belum, Bunda. Masih ada waktu empat minggu lagi untuk daftar ulang sebelum perkuliahan dimulai. Jadi Nisa masih bisa urus dan mempersiapkan semua keperluan untuk ke Jakarta," ujarnya dengan mata berbinar.

Rahma tersenyum melihat rona bahagia yang terpancar pada wajah putrinya. Namun, sesaat kemudian, mimik wajahnya tiba-tiba berubah.

Senyum Annisa pun perlahan memudar. Perubahan raut wajah sang bunda membuatnya kembali dilanda rasa gugup. "Kenapa, Bunda?"

Rahma menatap putrinya dengan lekat. Ia tampak ragu membuka suara. Hal itu membuat Annisa semakin merasa penasaran.

"Ada apa sih, Bunda?" Annisa kembali bertanya.

"Nis ...." Fadlan mengambil alih pembicaraan hingga membuat sang putri kini menoleh ke arahnya. "Ayah dan Bunda sudah berdiskusi panjang tentang masa depanmu. Kami ingin yang terbaik untukmu, juga untuk kebahagiaan kita bersama. Setelah memikirkan berulang kali, kami rasa ... inilah keputusan terbaik yang harus kami ambil," ujarnya dengan penuh wibawa.

Annisa semakin mengernyit. "Maksud Ayah ... gimana? Bukannya Ayah dan Bunda udah mengizinkan Nisa untuk lanjut kuliah di kampus impian Nisa yang ada di Jakarta itu? Keputusan apa lagi yang Ayah maksud?"

"Iya, Nak. Ayah dan Bunda memang sudah memberimu izin. Tapi ...."

Setiap mendengar kata tapi dari ayahnya, jantung Annisa selalu saja berdebar cemas.

"Kami harap, kamu juga mau memenuhi keinginan Ayah dan Bunda sebelum berangkat ke Jakarta," ujar Fadlan dengan raut penuh harap.

"Keinginan ... Ayah dan Bunda? Maksudnya?" Kening Annisa lagi-lagi membentuk kerutan tipis. Ia menatap kedua orangtuanya bergantian.

Rahma meraih tangan putrinya perlahan dan menggenggamnya dengan penuh kasih. "Ayah dan Bunda ... ingin kamu menikah lebih dulu sebelum berangkat ke Jakarta, Nak," ujarnya lembut dan keibuan.

Seketika bola mata Annisa langsung melebar. "Mme ... menikah, Bunda?"

"Iya, Nak. Menikah." Rahma mengangguk dengan yakin.

"Bunda dan Ayah ... serius minta Nisa menikah?" Annisa menatap kedua orangtuanya dengan tak yakin.

"Tentu saja serius, Nak. Mana mungkin kami menjadikan hal sepenting ini sebagai candaan?" tutur sang bunda.

"Ta-tapi ... Kenapa Nisa ... harus menikah? Bukankah Nisa hanya ingin kuliah di Jakarta? Kenapa Ayah dan Bunda malah minta Nisa menikah? Apa hubungannya lanjut kuliah dengan menikah?" protes Annisa dengan raut bingung.

"Kalau sudah menikah, kamu akan memiliki seorang pendamping yang bisa menjagamu saat berada di Jakarta nanti. Kamu akan memiliki seorang suami yang dapat menjadi mahram dan memikul tanggung jawab terhadapmu, menggantikan Ayah dan Bunda. Dengan begitu, kami bisa lebih tenang untuk melepasmu kuliah di Ibu Kota, Nak," ujar Fadlan dengan bijak.

"Ta-tapi, Yah ... Nisa, kan, masih dua puluh lima tahun." Annisa berusaha mencari alasan untuk menolak keinginan ayah dan bundanya itu.

"Kenapa memangnya dengan usia dua puluh lima tahun? Bukankah itu sudah cukup wajar untuk menikah?" kata sang ayah. Rahma mengangguk setuju dengan pendapat suaminya. Sementara Annisa … kini mulai dilema.

"I-ini ... begitu mendadak. Kenapa tiba-tiba Nisa harus menikah? Nisa ... sama sekali belum berpikir untuk menikah sekarang. Apalagi mendadak begini. Dengan siapa Nisa akan menikah? Nisa nggak punya calon untuk menikah."

"Ayah dan Bunda tahu sendiri, selama ini Nisa jarang bergaul dengan laki-laki. Bahkan, bisa dibilang hampir nggak pernah. Teman wanita aja udah jarang ketemu semenjak lulus kuliah, karena Nisa fokus mempersiapkan diri untuk bisa diterima di kampus impian Nisa itu melalui jalur beasiswa. Jadi ... gimana caranya Nisa ... menemukan calon untuk menikah?" Annisa bertanya dengan kebingungan.

"Kalau soal calon pendamping, kamu tidak perlu khawatir. Ayah dan Bunda akan bantu carikan untukmu," ujar Rahma sambil tersenyum simpul.

"Maksud Bunda?" Annisa menatap bundanya dengan alis tertaut. Bundanya malah melirik sang ayah dan keduanya pun saling mengulas senyum.

Annisa jadi merasa curiga. "Bunda dan Ayah ... nggak lagi berusaha ... untuk menjodohkan Nisa, kan?" terkanya dengan raut tak setuju.

"Bukan menjodohkan, Nak. Kami hanya berusaha mencarikan calon pendamping terbaik untukmu. Kamu boleh saja memilih untuk menerimanya atau tidak, setelah melihat orangnya nanti," jelas Rahma dengan bijak.

"Bukannya itu sama aja dengan dijodohkan?" protes Annisa.

"Tentu saja berbeda, Nak. Kalau dijodohkan yang kamu maksud itu, kamu tidak punya kesempatan untuk memilih atau memberi pendapat. Sedangkan yang Bunda dan ayahmu lakukan, tidak seperti itu. Kami hanya berusaha mencarikan yang terbaik untukmu. Semua keputusan akhirnya, tetap ada di tanganmu. Di bawah ketetapan Allah tentunya," jelas sang bunda sambil tersenyum simpul dan memberinya tatapan penuh keteduhan.

"Tapi, Bunda ...."

"Kalau memang tidak ingin Ayah dan Bunda yang carikan, kamu boleh mencarinya sendiri. Kami tidak keberatan selama kamu senang dan merasa cocok dengan orangnya. Asalkan, akhlaknya baik," timpal sang ayah.

Annisa terdiam menunduk. Ia tak mampu lagi menjawab. Tidak ada satu lelaki pun yang terbayang dalam benaknya.

“Bagaimana? Apa kamu mau mencarinya sendiri?” Sang bunda memastikannya lagi.

“Nisa … nggak kenal satu laki-laki pun yang bisa diajak menikah, Bunda,” jawab Annisa jujur.

“Lalu … kamu mau kami yang mencarikan?”

Annisa kembali terdiam menunduk. Ia merasa bimbang.

Rahma pun berujar lagi, “Kalau kamu bersedia … sebenarnya sudah ada satu calon yang ingin Bunda dan ayahmu kenalkan padamu.”

Annisa lekas mengangkat wajah dan menatap wanita yang telah melahirkannya itu. “Siapa, Bunda?” tanyanya penasaran.

Sang bunda tersenyum simpul. “Ada satu laki-laki—yang kata ayahmu, insya Allah baik dan salih. Keponakan dari teman kantornya.”

Annisa mengerutkan kening sambil terus menatap bundanya.

Menyadari putrinya masih merasa penasaran, Rahma pun bercerita lagi. “Tiga hari yang lalu, saat ayahmu sedang mengobrol dengan salah satu temannya yang cukup dekat di kantor, tiba-tiba temannya itu cerita. Ada satu keponakannya yang saat ini sedang mencari pendamping hidup. Dia merupakan seorang dokter hewan yang memiliki sebuah klinik kecil di Jakarta. Dia ingin terus menetap di sana dan mengembangkan kliniknya itu. Jadi dia ingin menikah dengan seorang wanita yang bersedia diajak tinggal bersamanya di sana.”

“Entah kebetulan atau memang sebuah jalan yang sedang Allah tunjukkan buat kita, begitu mendengar cerita temannya itu, tiba-tiba ayahmu langsung terpikir untuk mencarikanmu pendamping hidup juga, supaya ada yang menjagamu saat di Jakarta nanti. Dengan begitu, kamu bisa tetap meraih impianmu dan kami pun merasa tenang melepasmu ke sana. Itulah yang membuat kami saat ini memberimu pilihan untuk menikah, Nak.”

“Ayahmu juga berpikir untuk mentaarufkanmu dengan keponakan temannya itu. Kalau cocok dan bisa lanjut sampai menikah, kalian bisa sama-sama menetap di Jakarta nantinya dan meraih impian masing-masing. Teman ayahmu pun menyambut baik rencana tersebut.”

“Kalau kamu bersedia, nanti dia akan berikan foto dan biodata keponakannya, supaya kamu bisa mengenalnya dulu sekilas. Dan kalau nantinya kamu yakin untuk lanjut, kalian bisa bertemu langsung untuk saling mengenal lebih jauh dengan didampingi keluarga masing-masing. Baru setelahnya kalian bisa memutuskan, apakah akan lanjut ke pernikahan atau tidak. Bagaimana, Nak?”

Annisa hanya bergeming sambil terus menunduk. Ia tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa. Hatinya diliputi kebimbangan.

“Coba petimbangkan, ya, Nak. Bunda tahu, sekarang kamu pasti merasa bimbang. Pikirkan saja dulu apa yang ingin kamu putuskan," tutur Rahma sambil menangkup pundak kiri putrinya dan menatap gadis itu dengan penuh kasih.

“Maaf kalau Bunda dan ayahmu masih belum sanggup melepasmu sendirian untuk tinggal di Ibu Kota, tempat kampus impianmu itu berada. Kami sudah berusaha mencari jalan keluar terbaik dan akhirnya inilah keputusan yang kami rasa paling tepat untuk kebahagiaan serta ketenangan hati kita bersama. Bunda tidak akan memaksamu untuk menerima laki-laki itu kalau nanti kamu tidak menyukainya. Kami juga tidak akan memaksamu untuk menikah kalau memang kamu belum benar-benar siap. Tapi maaf … kalau Bunda dan ayahmu juga belum siap untuk melepasmu sendirian ke Ibu Kota, Nak. Maafkan kami.”

Annisa menatap lekat kedua orangtuanya bergantian. Ia tahu seberapa besar kasih sayang mereka terhadapnya. Rasa sayang itulah yang membuat mereka begitu berat melepasnya sendirian ke Jakarta, tempat kampus impiannya berada.

"Bundamu benar, Nak.” Fadlan ikut menimpali lagi. “Coba pertimbangkan baik-baik. Sekarang kamu sudah dewasa. Tentu kamu paham seperti apa perasaan kami sebagai orangtua yang memilik anak gadis semata wayang. Pikirkan keputusan apa yang sebaiknya kamu ambil untuk bisa membuat kita sama-sama tenang dan bahagia. Ayah tunggu jawabanmu. Jangan lupa, libatkan Allah dalam segala urusan," ujar Fadlan seraya menepuk pelan pundak kanan putrinya.

Annisa tak lagi menjawab. Ia hanya diam menunduk, bertarung dengan keputusan-keputusan membingungkan yang membuatnya semakin dilema.


3. Sang Pendamping

Allah menciptakan segala hal di dunia ini secara berpasang-pasangan. Ada siang dan malam, bulan dan bintang, langit dan bumi, juga lelaki dan perempuan. Maka, saat aku berakhir denganmu, itu merupakan takdir yang telah Ia gariskan. Tak akan ada yang bisa mengubahnya.
— Annisa Althaf —

🖤🖤🖤

BANDARA selalu ramai setiap akhir pekan. Banyak pekerja dan pelajar yang kembali dari liburan mereka di luar kota ataupun luar negeri. Annisa juga hendak melakukan perjalanan hari ini. Ia akan segera berangkat menuju Jakarta, tempat kampus impiannya berada. Karena itulah kini ia berada di bandara, ditemani orang-orang terkasihnya.

"Barang-barangmu sudah dibawa semua, kan, Nis?" Rahma kembali memastikan barang bawaan putrinya sebelum gadis itu berangkat.

Annisa mengangguk pelan. "Udah, Bunda. Insya Allah nggak ada yang tertinggal."

"Jaga dirimu baik-baik saat di Jakarta nanti. Jangan lupa makan yang teratur. Jangan tinggalkan kewajibanmu pada Sang Pencipta dan juga seluruh tanggung jawab barumu saat ini," pesan Rahma pada putrinya.

Annisa kembali mengangguk sambil tersenyum simpul. "Iya, Bunda. Insya Allah. Bunda nggak perlu cemas. Nisa akan sering-sering menelepon Bunda saat di Jakarta nanti," ujarnya seraya menangkup kedua pundak sang bunda dengan penuh kasih sayang. Bundanya tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

Annisa tahu, sang bunda masih berat melepasnya ke Ibu Kota. Sirat kekhawatiran jelas tergambar pada wajah yang mulai menua itu. Ia sendiri pun sebenarnya tidak rela berpisah jauh dari kedua orangtuanya. Namun, demi impian yang sudah di depan mata, ia harus merelakannya.

"Jangan lupa untuk sering meneleponku juga, Kak," celetuk gadis berambut sebahu yang sejak tadi terus berdiri di dekat Annisa.

Annisa menoleh pada gadis itu dan memberinya senyuman. "Insya Allah, Najwa."

Gadis bernama Najwa itu tersenyum lebar dan menatap Annisa dengan mata berbinar. Dari tatapannnya terlihat jelas jika gadis itu merasa senang pada Annisa. Usia mereka hanya terpaut tiga tahun.

"Kalau butuh sesuatu, jangan segan-segan untuk beritahu Mama. Terutama untuk hal-hal yang menyangkut tentang Fauzan." Kali ini wanita paruh baya yang berdiri di sebelah Najwa yang berujar. Wanita yang berpenampilan tak jauh berbeda dengan bundanya; mengenakan gamis polos sederhana yang dipadu dengan kerudung instan warna senada. Wanita itu bernama Lidia, ibunya Najwa, juga ibu bagi seorang lelaki yang saat ini sedang tidak bersama dengan mereka.

Annisa menoleh pada wanita itu dan mengangguk dengan sungkan. "Iya, Ma. Insya Allah," jawabnya santun.

"Dokumen untuk kelengkapan registrasi ulang kampusmu nanti, sudah disimpan dalam koper juga, kan, Nak?" Fadlan yang sejak tadi terus berdiri di sebelah sang istri, ikut memastikan lagi barang bawaan putrinya.

Annisa lekas memberi anggukan pada ayahnya. "Udah, Yah. Semuanya udah Nisa satukan dalam map dan Nisa simpan dalam koper."

Fadlan tak lagi bertanya. Annisa menatap kedua orangtuanya sambil tersenyum tipis. "Ayah dan Bunda tenang aja. Nggak usah terlalu mengkhawatirkan Nisa. Insya Allah Nisa bisa jaga diri dengan baik. Apalagi Nisa nggak sendirian saat di Jakarta nanti."

Rahma dan Fadlan tak lagi berkomentar. Keduanya hanya menatap sang putri semata wayang dengan penuh pengharapan. Doa terbaik selalu mereka sematkan untuknya.

Pandangan Annisa teralihkan saat seorang lelaki tegap bersetelan kaus hitam dan celana denim longgar warna cokelat tua tiba-tiba datang menghampirinya.

"Minuman yang kamu minta sedang kosong. Nggak ada yang rasa jeruk. Adanya cuma rasa jambu sama apel. Jadi aku belikan air mineral saja buatmu. Nggak apa-apa, kan?" tanya lelaki itu seraya menyodorkan sebotol air mineral pada Annisa.

Annisa mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, yang penting masih bisa diminum. Makasih," ucapnya sambil meraih botol minuman yang disodorkan lelaki itu untuknya. Keduanya tampak saling canggung.

Lelaki itu melirik arlojinya sesaat. "Sepertinya sudah harus ke boarding gate sekarang. Penerbangannya nggak sampai satu jam lagi," ujarnya kemudian.

"Ya sudah, kalian langsung ke boarding gate saja. Jangan sampai ketinggalan pesawat," tukas Fadlan pada putrinya dan lelaki tegap yang berdiri di sebelah putrinya itu.

Annisa dan lelaki itu mengangguk bersamaan. Keduanya lekas berpamitan pada orang-orang yang akan mereka tinggalkan. Lalu sambil menyandang ransel masing-masing, mereka menuju boarding gate untuk melewati pemeriksaan akhir sebelum memasuki pesawat.

Proses pemeriksaan di boarding gate tidak berlangsung lama. Hanya dalam waktu sepuluh menit, Annisa dan lelaki tegap yang ikut bersamanya itu telah berada di area tunggu. Lalu sekitar lima belas menit kemudian, mereka pun mulai memasuki pesawat begitu terdengar panggilan keberangkatan. Keduanya segera menduduki kursi sesuai nomor yang tertera pada tiket masing-masing. Annisa mendapat kursi paling kiri di sisi jendela, sementara lelaki itu duduk di sebelahnya. Mereka dan para penumpang lainnya pun serentak memastikan telah mengenakan sabuk pengaman, begitu mendapat instruksi dari seorang pramugari yang bertugas.

Tak lama berselang, Annisa merasakan pesawatnya mulai bersiap untuk lepas landas. Segera ia membenarkan posisi duduk, mengucap basmalah dan berdoa memohon perlindungan untuk perjalanannya tersebut. Lelaki tegap yang sejak tadi berada di sebelahnya pun turut melakukan hal yang sama.

Pesawat mulai berpacu di udara, melewati gumpalan-gumpalan awan putih yang mengambang di angkasa. Selama hampir satu jam perjalanan, baik Annisa maupun lelaki tegap yang duduk di sebelahnya itu, tidak ada yang membuka suara. Keduanya hanyut dalam keheningan masing-masing.

Merasa tidak nyaman dengan suasana kaku itu, Annisa berinisiatif untuk memulai pembicaraan lebih dulu. Namun, begitu menoleh, ia malah mendapati lelaki itu telah terlelap dengan kepala tersandar pada punggung kursi yang didudukinya. Annisa pun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengamati wajah lelap tersebut. Wajah yang masih terasa asing baginya, tetapi mulai saat ini wajah itu akan senantiasa menghiasi hari-harinya. Sebab si pemilik wajah tersebut telah resmi menjadi imam kehidupannya.

Ingatan Annisa kembali terlempar pada momen tiga minggu lalu, ketika ia menyatakan persetujuannya untuk menikah sebelum berangkat ke Jakarta, juga kesediaannya untuk ditaarufkan dengan calon pilihan kedua orangtuanya. Mereka tampak begitu bahagia saat mendengar jawabannya itu.

"Kamu sudah yakin, kan, Nak?" Sang bunda bertanya untuk memastikan lagi keputusannya saat itu.

Annisa lekas memberi anggukan. "Insya Allah Nisa udah yakin, Bunda. Kalau memang ini bisa bikin Ayah dan Bunda merasa tenang melepaskan Nisa ke Jakarta untuk meraih impian, maka Nisa ikhlas melakukannya. Mungkin ... memang inilah jalan terbaik yang Allah tunjukkan buat Nisa."

Sang bunda langsung memeluknya erat. Butiran bening perlahan menetes pada kedua netra wanita paruh baya tersebut. Annisa pun tak bisa menahan diri untuk tidak meloloskan air mata juga. Sebenarnya ia masih merasa ragu. Namun, ketika melihat wajah bahagia bundanya, ia berusaha menepis keraguan itu. Sang ayah pun menepuk-nepuk pelan pundaknya sembari menatapnya dengan rasa lega. Saat itulah Annisa semakin yakin untuk menyerahkan segala keputusan pada kedua orangtuanya. Karena kebahagiaan mereka begitu berarti untuknya.

Selang sehari setelah itu, sang bunda menyodorkan sebuah foto beserta lembaran kertas kuarto padanya. Malam itu ia dan kedua orangtuanya sedang duduk berkumpul di ruang tengah sambil menonton televisi.

"Itu adalah foto dan biodata keponakan dari Pak Ilham—teman kantor ayahmu yang kemarin kita bicarakan. Namanya Fauzan Ilhami," ujar sang bunda ketika foto serta lembaran kuarto berisi biodata seorang lelaki yang tidak ia kenali itu telah berada di tangannya.

“Dia sudah menetap di Jakarta sejak dua tahun yang lalu. Sekarang sedang pulang sebentar untuk menjenguk ibu dan adiknya di kampung, sekaligus mengisi seminar di salah satu madrasah yang ada di daerah kita." Sang ayah ikut menimpali obrolan tersebut.

Annisa hanya diam menunduk, mendengar cerita ayahnya sambil mengamati foto dan biodata sosok yang sedang diceritakan sang ayah padanya.

"Kliniknya di Jakarta berjalan lancar dan sudah memiliki dua orang pegawai yang membantu pekerjaannya. Meski belum begitu besar, tapi dia sudah mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari hasil pekerjaannya itu. Dia ingin terus menetap di sana dan mengembangkan kliniknya."

"Dalam kepulangannya kali ini, dia berniat mencari pendamping. Kalau ada yang cocok, dia ingin menikah sebelum kembali ke Jakarta. Lalu membawa pendampingnya ikut dan tinggal bersamanya di sana."
Annisa terus mendengarkan cerita ayahnya malam itu tanpa menyela.

"Sejak awal mendengar cerita tentangnya dari Pak Ilham, Ayah sudah langsung teringat padamu. Ayah rasa, ini bukanlah kebetulan semata. Mungkin ini memang jalan yang sudah Allah takdirkan untukmu, Nak."

"Jakarta, kota yang sama dengan yang ingin kamu tuju. Kalau dia menjadi pendampingmu, kalian bisa sama-sama menetap di sana untuk impian kalian. Ayah dan Bunda juga akan merasa tenang melepasmu ke kota itu. Insya Allah dia merupakan laki-laki yang baik. Ayah sangat mengenal Pak Ilham dan mempercayainya. Nanti juga kamu bisa mempertimbangkan lagi setelah bertemu langsung dengan Nak Fauzan—kalau memang sudah setuju.”

Penuturan sang ayah membuat Annisa menoleh dan menatap wajah yang tak lagi muda tersebut. Senyum tipis yang terukir di bibir ayahnya, sudah cukup menjelaskan betapa beliau merasa yakin akan pilihan calon menantunya itu.

"Ayahmu sudah menyerahkan foto dan biodatamu juga pada Pak Ilham untuk ditunjukkan pada Fauzan beserta keluarganya. Sepertinya mereka suka dan merasa senang padamu. Tadi pagi saat bertemu di kantor, Pak Ilham menanyakan lagi mengenai jawabanmu.” Sang bunda kembali menimpali.

"Kalau kamu setuju, mereka siap bersilaturrahmi ke rumah kita dalam minggu ini. Tapi ayahmu belum benar-benar mengiakan. Kamu boleh pertimbangkan dulu sebelum memberi keputusan. Minta petunjuk pada Sang Khalik, agar hatimu lebih yakin dan rencana baik ini menjadi lebih berkah," ujar bundanya lagi.

Annisa bisa merasakan, ada sebuah harapan besar dari setiap penuturan orangtuanya malam itu. Ia percaya, jika kedua sosok tersebut selalu menginginkan yang terbaik untuknya. Karena itu, Annisa pun memutuskan untuk  menyetujui niat baik Fauzan beserta keluarganya yang hendak datang bersilaturrahmi ke rumah, sekaligus saling mengenal secara langsung.

Setelah pertemuan itu, Annisa kembali merasa bimbang. Meski telah melihat sosok Fauzan secara langsung, ia belum sepenuhnya yakin untuk lanjut ke jenjang pernikahan. Butuh waktu baginya untuk meyakinkan diri lagi. Karena hal itu menyangkut masa depannya, juga kunci surganya kelak. Annisa pun terus mempertimbangkan sambil tak henti memohon petunjuk pada Allah, agar dapat membuat keputusan terbaik—yang tidak hanya menenangkan hatinya, tetapi juga hati kedua orangtuanya.

Tidak mudah bagi Annisa dalam membuat keputusan saat itu. Terlebih ia sama sekali belum mengenal sosok Fauzan sebelumnya. Tidak mengetahui apa pun tentang masa lalu ataupun segala hal yang ada pada diri lelaki itu saat ini. Hanya biodata tertulis yang sedikit memberikan gambaran, serta perkenalan singkat mereka saat pertemuan kedua keluarga. Tentu saja itu belum cukup untuk meyakinkan hatinya dalam membuat keputusan.

Satu hal yang menjadi pegangan Annisa saat itu adalah petunjuk dari Yang Mahakuasa, ditambah tanggapan kedua orangtuanya terhadap lelaki itu. Sehingga, setelah beristikharah berulang kali, akhirnya ia pun memutuskan untuk menerima lelaki bernama Fauzan Ilhami tersebut sebagai pendamping hidupnya.

Annisa resmi menjadi istri Fauzan kemarin pagi, setelah ijab kabul diucapkan lelaki itu di hadapan ayahnya beserta para saksi yang hadir. Lalu pada hari yang sama, acara syukuran pun digelar dengan sederhana di rumah Annisa—sesuai permintaannya. Waktu seolah begitu cepat berjalan. Hanya dalam waktu singkat, Annisa telah resmi berganti status menjadi seorang istri, memikul tanggung jawab baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Annisa masih menatap wajah teduh yang terlelap di sebelahnya. Fauzan Ilhami. Lelaki itu benar-benar telah menjadi imamnya. Entah akan menjadi imam yang baik atau tidak, ia tidak pernah tahu. Berbekal petunjuk dari Yang Mahakuasa, ia berharap, inilah pilihan terbaik baginya. Ia hanya ingin meraih salah satu mimpinya tanpa harus menyakiti hati kedua orangtuanya.

Pesan dari sang ayah di hari pernikahannya, ketika ia menyalami beliau dengan takzim usai ijab kabul, masih terngiang kuat dalam ingatan Annisa.

"Ingat, Nak. Yang kamu nikahi itu adalah manusia, bukan malaikat. Itu artinya, dia hadir tidak hanya dengan membawa kelebihan, tapi juga diiringi dengan segala kekurangan yang ada. Kamu harus siap menerima semua itu."

Annisa cukup tahu bahwa tidak ada manusia yang terlahir sempurna di dunia ini. Masing-masing pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Begitu pula dengan Fauzan, lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya. Namun, tetap saja hatinya terus gelisah sepanjang perjalanan. Ia merasa gugup, belum siap menjalani hidup dengan seorang lelaki di bawah satu atap. Selain dirinya sudah terbiasa hidup sendiri sebagai anak tunggal, selama ini Annisa juga jarang sekali bergaul dengan laki-laki. Tentu akan sulit baginya untuk menerima seorang lelaki asing yang tiba-tiba masuk dalam hidupnya.

Menghela napas panjang, Annisa berusaha melepaskan segala beban di hati dan memilih untuk menyerahkan segalanya pada Sang Pencipta. Memutuskan pandangan dari Fauzan, kini ia beralih merogoh ransel yang sejak tadi berada di atas pangkuan dan mengeluarkan sebuah notes kecil yang senantiasa dibawanya ke mana-mana. Annisa membuka salah satu halaman notes itu dan menatap deretan kalimat yang pernah dituliskannya beberapa tahun lalu dengan begitu semangat. Ingatannya kembali berkelana pada masa-masa itu. Sudut bibirnya perlahan terangkat, membentuk seutas senyum tipis, yang menggambarkan sebuah upaya untuk mengikhlaskan sesuatu.

Kembali merogoh ransel, kini Annisa mengeluarkan sebuah pena dan mencoreti seluruh tulisan pada halaman notes tersebut. Lalu dirobeknya lembaran itu dan diremasnya menjadi sebuah gumpalan. Tangannya terus menggenggam gumpalan kertas tersebut sambil memalingkan wajah ke luar jendela. Pandangannya tampak nanar, seakan ada hal yang masih membebani pikirannya. Mendengus berat, Annisa mencoba untuk memejamkan mata, hingga akhirnya ia pun tertidur di sisa perjalanannya menuju Jakarta.

Tanpa disadari Annisa, Fauzan yang sejak tadi terlelap tetap menyadari semua hal yang dilakukan istrinya tersebut karena pada dasarnya lelaki itu tidak benar-benar tertidur. Sehingga, saat kedua mata Annisa telah terpejam, Fauzan membuka kedua kelopak matanya dan menoleh pada wanita berkerudung mocca di sebelahnya itu. Ditatapnya wajah sang istri yang kini telah terlelap.

Pandangan Fauzan teralihkan saat menyadari sesuatu tiba-tiba terjatuh dari genggaman Annisa. Begitu menunduk, ia mendapati sebuah gumpalan kertas di dekat kakinya. Dipungutnya gumpalan kertas itu dan dibukanya perlahan. Raut wajahnya tiba-tiba berubah setelah membaca seluruh tulisan yang tertera di sana. Meski sudah dicoret-coreti, Fauzan tetap masih bisa membaca setiap kalimat yang tertulis pada kertas di tangannya itu. Kemudian, ia pun beralih menatap wajah Annisa. Dipandanginya wajah bundar tersebut dengan penuh makna. Banyak hal yang kini tebersit dalam benaknya. Perlahan keraguan dan ketakutan pun menyelinap masuk ke hatinya.


4. Ja-kar-ta

Bermimpilah.
Sang Pencipta tidak pernah tidur. Ia pasti akan mewujudkan impianmu. Entah detik itu juga, atau ditunda hingga waktu yang tepat, ataupun diganti dengan yang lebih baik. Cara mana saja yang Dia gunakan untuk mewujudkannya, tidak masalah. Selama itu pilihan-Nya, kamu pasti tidak akan pernah kecewa.
— Annisa Althaf —

🖤🖤🖤

KEDUA bola mata Annisa tampak berbinar saat menatap lapangan luas yang terpampang di hadapannya. Bibirnya mengulas senyum dengan penuh haru dan rasa takjub. Kini ia telah benar-benar sampai di Jakarta. Untuk pertama kalinya menapakkan kaki di kota itu. Rasa syukur kian membuncah di hati. Berulang kali ia memuji Allah di dalam benak, merasa tersentuh dengan cara Allah mengabulkan pintanya.

Fauzan yang turun belakangan dari pesawat, berdiri sejenak di tempat yang tak jauh dari Annisa. Ia mengamati ekspresi istrinya tanpa disadari wanita itu. Selang beberapa saat, barulah ia melanjutkan langkah. "Kita ambil kopernya dulu," ujar Fauzan ketika berjalan melewati Annisa.

Annisa menoleh dan lekas menyusul suaminya. Ia tidak begitu mengerti ke mana harus menuju karena ini adalah pertama kalinya dia bepergian jauh dengan menggunakan pesawat. Jadi dia hanya ikut saja.

Usai mengambil koper, Fauzan segera beranjak meninggalkan area kedatangan bersama Annisa yang mengikuti di sebelahnya. “Kita salat Zuhur dulu, ya. Waktunya nggak banyak lagi. Kalau tunggu sampai di rumah, sepertinya nggak akan terkejar,” kata Fauzan sembari melangkah menuju musala yang ada di bandara tersebut dengan terus menggeret dua koper di sisi kiri dan kanannya.

Annisa mengangguk setuju. Ia mengikuti Fauzan dengan patuh.

"Sini biar aku bawakan satu," pinta Annisa saat melihat Fauzan sedikit kewalahan membawa kedua koper milik mereka.

"Nggak usah. Biar aku saja," ucap Fauzan dengan raut dinginnya.

Annisa tak lagi bersuara. Ia menatap lelaki tegap di sebelahnya itu dengan perasaan canggung. Keduanya terus berjalan menuju musala untuk menunaikan salat Zuhur. Begitu selesai, barulah mereka keluar dari bandara.

"Bisakah memelankan langkah Anda sedikit? Kakiku kesakitan kalau terus jalan cepat seperti ini," keluh Annisa sambil tergopoh. Ia sedikit kewalahan menyeimbangkan langkah di sisi Fauzan menuju pintu keluar. Lelaki itu berjalan dengan langkah lebar dan sedikit cepat.

Bukannya memelankan langkah, Fauzan justru berhenti tiba-tiba. Annisa sedikit terhenyak dan ikut menghentikan langkahnya juga. Ia merasa heran ketika lelaki itu memutar badan dan menatapnya dengan pandangan yang tidak tertebak.

"Ke ... kenapa?" Tiba-tiba Annisa menjadi kikuk karena berada terlalu dekat dengan suaminya. Ditambah tatapan lelaki itu yang terus tertuju padanya. Ia jadi risi dan salah tingkah. "A-aku cuma ... Maksudku ... Berjalanlah dengan pelan. Kakiku sakit kalau terus jalan cepat seperti tadi," ujar Annisa lirih dan memasang raut memelas. Ia menunduk sesaat untuk mengusap pahanya yang terasa letih.

Fauzan mengamati setiap gerakan istrinya, juga ekspresi yang tergambar pada wajah bundar berlesung pipi itu. "Apa kamu ingin berhenti?" tanyanya dengan sorot dingin.
Baru saja Annisa hendak membuka mulut untuk memberikan jawaban, Fauzan telah mendahuluinya.

"Aku nggak ingin berhenti," ucap Fauzan sambil menatap lekat kedua manik mata Annisa. "Perjalanan kita masih jauh dan ini baru saja dimulai. Apa pun yang terjadi, aku akan meneruskannya. Kuharap kamu nggak akan berpikir untuk menyerah."

Annisa merasa bingung dengan penuturan lelaki itu. "A-aku ... nggak minta Anda untuk berhenti. Aku cuma minta Anda untuk memelankan langkah. Aku juga nggak akan menyerah. Sejauh apa pun jalannya, akan tetap kuikuti," cicitnya dengan sedikit kikuk.

Fauzan masih terus menatap Annisa dengan lekat. Kemudian, ia kembali memutar badan ke arah semula. "Jalanlah di depan. Aku akan mengikutimu dari belakang," ujarnya pada sang istri.

Meski merasa heran dengan sikap Fauzan, Annisa tetap menuruti perkataan lelaki itu untuk melangkah lebih dulu di depan. Lalu Fauzan pun segera mengikutinya sambil menggeret dua koper di tangan.

Sampai di depan pintu keluar bandara, Annisa dan Fauzan berhenti sejenak. Fauzan mengeluaran ponselnya untuk memesan taksi online. Sementara Annisa tetap berdiri di sebelah seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Pada jarak beberapa meter dari tempatnya berada, Annisa melihat orang-orang berkerumun. Sebagian dari mereka tampak menggerutu dengan memasang wajah kesal penuh amarah. Ada pula yang memegang ponsel seraya membidik kamera ke satu arah yang sama, seakan sedang mengabadikan sebuah objek. Keningnya berkerut menyaksikan hal itu. Tiba-tiba perasaannya menjadi cemas.

"Tunggu beberapa menit lagi. Taksinya sedang jalan kemari," ujar Fauzan setelah menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Alisnya seketika tertaut begitu melihat sang istri hanya diam sambil menatap ke suatu arah tanpa menanggapi perkataannya. Ia pun ikut menoleh ke arah yang ditatap Annisa.

"Ada apa itu?" tanya Fauzan begitu melihat kerumunan yang sejak tadi dipandangi istrinya. Ia jadi merasa penasaran.

"Nggak tahu juga. Dari tadi aku lihat mereka terus berkerumun di sana," ujar Annisa tanpa mengalihkan pandangannya.

Fauzan menghentikan seorang lelaki yang lewat di dekatnya. "Mas! Ada apa di sana? Kenapa orang-orang berkerumun?" tanyanya pada lelaki itu.

"Ada jambret yang baru saja berhasil ditangkap, Mas," jelas lelaki itu.

"Jambret?" Annisa bergidik ngeri mendengarnya.

"Tadi ada ibu-ibu yang tasnya dijambret saat baru turun dari taksi. Kebetulan banyak yang lihat. Jadi mereka langsung kejar jambret itu sampai tertangkap. Sekarang jambretnya sedang diringkus untuk dibawa ke kantor polisi." Lelaki tadi kembali menjelaskan. Lalu lekas beranjak setelah memohon diri pada Fauzan dan Annisa.

Annisa langsung merinding usai mendengar cerita lelaki tadi. Ia sudah sering menonton berita tentang penjambretan di televisi dan selalu merasa ngeri setiap kali menontonnya. Sekarang malah terjadi langsung di depan matanya. Meskipun tidak melihat saat kejadian berlangsung, tetapi berada di lokasi kejadian saja sudah membuat jantungnya berdebar dan ketakutan. Tanpa sadar kedua tangannya telah memegang erat lengan Fauzan, sedangkan tatapannya terus tertuju ke arah kerumunan itu.

Fauzan terkesiap saat menyadari lengannya tiba-tiba dipegang Annisa. Ia menoleh pada istrinya tersebut dengan bingung. Annisa sepertinya tidak menyadari apa yang dilakukannya. Tatapan wanita itu masih tetap fokus pada kerumunan tadi dengan raut wajah yang terlihat tegang. Fauzan akhirnya mengerti jika Annisa kini tengah merasa takut. Ia pun lekas berusaha menenangkannya. "Nggak perlu takut. Jambretnya sudah ditangkap. Sebentar lagi juga akan dibawa ke kantor polisi," ujarnya.

Mendengar penuturan Fauzan, Annisa terhenyak dan lekas mengalihkan pandangannya pada lelaki itu. Kedua alisnya tertaut saat melihat tatapan Fauzan yang tertuju pada lengannya sendiri. Begitu mengikuti arah pandang suaminya tersebut, seketika Annisa langsung menyadari apa yang sedang ditatap Fauzan dan buru-buru melepaskan tangannya dari lengan lelaki itu dengan salah tingkah. "Si-siapa yang takut?" kilahnya dengan tergagap sambil menatap ke sembarang arah.

Dari sudut matanya, Annisa bisa melihat jika Fauzan kini sedang tersenyum, berusaha meledeknya. Ia pun merasa kesal. "Nggak usah meledekku!" protes Annisa dengan wajah mengerucut.

Melihat reaksi istrinya, Fauzan malah terkekeh.

Annisa jadi semakin kesal. "Terus aja menertawaiku! Aku tahu, Anda udah cukup lama tinggal di kota ini dan mungkin udah sering menyaksikan hal-hal seperti ini secara langsung. Jadi kejadian begini udah biasa buat Anda, tapi nggak denganku. Terserah kalau Anda menganggapku penakut atau apa pun itu," gerutu Annisa sambil memalingkan wajahnya ke sembarang arah.

Fauzan kembali terkekeh. Namun, begitu melihat kekesalan di wajah istrinya tak juga hilang, ia pun menghentikan tawanya. "Tenang saja. Jakarta nggak hanya dihuni oleh orang-orang seperti itu. Masih banyak orang baik yang tinggal di kota ini. Jadi nggak perlu merasa cemas," ujarnya berusaha menghibur sang istri.

"Gimana nggak cemas kalau baru tiba di sini aja udah langsung disuguhi dengan kasus penjambretan?" Annisa mendengus keras. "Kota ini memang benar-benar penuh tantangan. Untuk bertahan hidup di Jakarta sepertinya butuh mental yang kuat.”

“Pantas aja Ayah dan Bunda begitu khawatir melepasku ke kota ini. Untuk bisa mengantongi izin kuliah di sini aja, aku sampai harus meni—" Annisa langsung menghentikan kalimatnya begitu menyadari pada siapa ia sedang berbicara. Tidak seharusnya ia meneruskan kalimat itu pada Fauzan—yang tak lain adalah suaminya sendiri. Mendadak ia jadi gugup dan langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, menghindari tatapan Fauzan padanya.

"Kenapa?" tanya Fauzan sambil mendelik dan terus menatap Annisa.

"Ha?" Annisa berpura-pura tidak mengerti.

"Kamu mau bilang apa tadi? Kenapa nggak dilanjutkan lagi?"

Annisa jadi gelagapan. "Bu ... bukan apa-apa. I-itu nggak penting." Ia masih menghindari tatapan Fauzan dengan gugup.

"Kalau nggak penting, kenapa harus gugup?" Fauzan semakin mendelik.

"Ka-kata siapa aku gugup? A-aku cuma—Oh, bukankah itu taksi kita?" Annisa langsung mengalihkan topik begitu melihat sebuah taksi berhenti tak jauh di depannya. Ia segera menghampiri. Setelah memastikan bahwa taksi tersebut memang pesanan suaminya, ia pun langsung menduduki kursi penumpang.

Fauzan masih bergeming, memandangi istrinya yang telah memasuki taksi.

"Mas! Nggak ikut naik?"

Pertanyaan dari sang supir taksi yang kini telah berdiri di samping taksinya sembari menatap ke arah Fauzan, membuat Fauzan terhenyak dan langsung beranjak menghampiri bagian belakang taksi sambil menggeret dua koper di tangannya. Setelah memasukkan kedua koper itu ke dalam bagasi—yang dibantu oleh supir taksi tersebut, ia pun ikut memasuki taksi dan duduk di sebelah Annisa.

Annisa langsung memalingkan wajahnya ke luar jendela begitu Fauzan telah berada di sebelahnya. Ia tampak kikuk dan terus menghindari tatapan lelaki itu. Sikapnya tersebut justru membuat Fauzan semakin fokus menatapnya.

"Komplek Perumahan Perisai II kan, Mas?" tanya sang supir taksi yang kini telah menduduki bangku kemudi.

Fauzan kembali terhenyak dan segera melepaskan pandangannya dari Annisa. Lalu menatap supir taksi tersebut. "Iya, Mas," angguknya.

Setelah mendapat konfirmasi dari penumpangnya, sang supir pun lekas melajukan taksinya, meninggalkan bandara.
Sepanjang perjalanan dari bandara menuju rumah yang akan mereka tempati bersama, Annisa dan Fauzan tak saling bicara. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Annisa larut memperhatikan pemandangan di sepanjang jalanan Ibu Kota yang menyita perhatiannya, sementara Fauzan terus berkutat dengan ponsel di tangannya.

***

Gerbang besi setinggi dua meter kini terpampang di hadapan Annisa dan Fauzan. Di dalamnya tampak sebuah rumah minimalis bernuansa putih yang telah menjadi tempat tinggal Fauzan di Jakarta selama dua tahun terakhir dan mulai saat ini akan ia tempati bersama Annisa. Taksi yang mereka tumpangi telah melaju pergi usai menurunkan keduanya di sana.

Merogoh bagian depan ranselnya, Fauzan mengeluarkan sekumpulan kunci yang tersemat pada sebuah gantungan berbentuk bola basket kecil dan membuka gembok yang terpasang pada gerbang di hadapannya itu. Setelah gembok terlepas, ia mendorong gerbang besi itu ke samping. Lalu menoleh sejenak pada Annisa. "Masuklah," serunya dengan raut dingin.

Melangkah dengan ragu-ragu, Annisa mengikuti Fauzan yang telah mendahuluinya di depan. Sambil menyusuri halaman, ia menyapu pandangannya sejenak. Halaman rumah Fauzan tampak bersih dan terawat.

Sampai di undakan teras, Fauzan berhenti sejenak untuk membuka pintu utama. Lalu segera melangkah masuk sambil menggeret dua koper di tangan—miliknya dan sang istri. Usai meletakkan kedua koper tersebut di dekat sofa yang berada di ruangan berukuran enam kali empat meter tersebut, ia menoleh pada Annisa yang masih berdiri di depan pintu. Wanita itu terlihat ragu untuk masuk.

"Sampai kapan mau berdiri di situ terus?" ucap Fauzan dengan raut dinginnya. "Masuklah. Nggak perlu takut. Nggak ada jambret di rumah ini.”

Mendengar kata jambret yang diucapkan Fauzan, bibir Annisa langsung mengerucut. Lelaki itu masih berusaha meledeknya ternyata. Namun, ia sedang malas menanggapi. Annisa pun memilih untuk memasuki rumah minimalis milik suaminya tersebut. Sampai di dalam ia langsung tertegun. Annisa merasa takjub melihat penataan interior rumah Fauzan. Beberapa ornamen bernuansa vintage tampak menghiasi dinding.

Ruangan itu dibagi menjadi dua fungsi. Sisi depannya dijadikan sebagai ruang tamu—yang ditandai dengan adanya tiga sofa empuk berwarna hitam beserta meja persegi panjang berbahan kayu yang menjadi pelengkapnya. Lalu di sisi berlawanan terdapat satu set meja makan dengan empat kursi berbahan kayu—yang dijadikan sebagai ruang makan. Antara kedua sisi tersebut disekat dengan sebuah bufet kecil setinggi satu meter—yang di atasnya diletakkan sebuah televisi LED beserta beberapa figura dan hiasan lainnya.

"Rumah Anda menarik juga," puji Annisa sambil terus mengedarkan pandangannya.

"Rumah kita lebih tepatnya," koreksi Fauzan.

Annisa langsung tercekat, menelan salivanya dengan kikuk.

"Sekarang, ini bukan lagi rumahku. Sudah jadi milikmu juga," imbuh Fauzan.

"Eng, i-iya. Maksudku ... begitulah," ucap Annisa dengan gelagapan.

"Aku lelah dan masih merasa jetlag. Jadi mau istirahat sebentar, mumpung ada waktu setengah jam lagi sebelum Ashar," ujar Fauzan sambil melirik jam dinding yang ada di dekatnya sekilas.

"Kalau kamu mau istirahat juga, silakan saja. Terserah mau istirahat di mana. Rumah ini cuma ada dua kamar dan satu ruang tengah, sisanya di bagian belakang itu dapur dan toilet. Kamu bisa gunakan ruangan mana saja selama itu membuatmu nyaman. Aku akan istirahat di kamar yang ini." Fauzan menunjuk ruangan dengan pintu berwarna putih yang ada di sisi kiri ruang tengah.

Di sisi berlawanan, Annisa melihat ada satu ruangan lain yang pintunya tampak persis dengan yang ditunjuk Fauzan barusan. Sepertinya itulah kedua kamar tidur yang dimaksud oleh suaminya tersebut.

"Kalau mau pakai kamar yang itu, silakan saja," ujar Fauzan begitu melihat pandangan Annisa tertuju pada kamar yang terletak di sisi kanan ruang tengah, berseberangan dengan kamar yang ia tunjuk tadi. "Biarkan barang-barang ini di sini dulu untuk sementara. Nanti akan aku bereskan setelah Ashar. Aku istirahat dulu." Setelah mengatakan itu, Fauzan pun lekas beranjak memasuki kamar yang ditunjuknya tadi. Meninggalkan Annisa yang masih terdiam mematung di tempat.

Annisa tidak mengerti kenapa Fauzan tidak memperjelas di mana dirinya harus beristirahat. Rasanya terlalu canggung untuk memasuki kamar yang sama dengan suaminya. Terlebih lelaki itu tidak mempersilakannya sama sekali.
Mungkinkah Fauzan sedang ingin sendiri? Atau lelaki itu masih canggung dengan kehadirannya di rumah itu—sama seperti dirinya? Annisa tiba-tiba membatin. Ia membuat kesimpulan dari hasil pemikirannya sendiri. Lalu dengan berbagai pertimbangan, ia pun memilih beristirahat di kamar yang satunya lagi.

Wanita berkulit sawo matang itu menggeret koper toska miliknya, membawanya masuk ke kamar yang terletak di sisi kanan ruang tengah. Setelah menaruh kopernya di samping nakas, ia mengedarkan pandangan sejenak. Kamar itu tampak rapi dan terawat. Semua perlengkapan di dalamnya pun cukup lengkap. Ada satu lemari dengan dua pintu di salah satu sisi dinding, sebuah meja belajar di bagian sudut, AC, serta ranjang king size yang telah dipasangi seprai dengan rapi. Annisa merasa takjub dengan cara Fauzan merawat tempat tinggalnya—mengingat lelaki itu sebelumnya hanya tinggal sendirian di rumah tersebut.

Puas mengamati penataan kamar yang dimasukinya itu, Annisa beralih membuka koper. Ia mengambil handuk, pakaian ganti, serta segala perlengkapan mandinya yang disimpan di sana. Lalu keluar dari kamar sambil membawa semua itu. Dia ingin mandi dan berganti pakaian lebih dulu sebelum beristirahat untuk menghilangkan rasa lelahnya setelah perjalanan jauh. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan toilet. Tadi Fauzan sudah menunjukkannya.

Begitu berada di dalam toilet, saat Annisa telah melepaskan kerudung dan menggantungnya di dinding, tiba-tiba ia terkejut melihat seekor lipan yang bertengger di samping kerudungnya. Refleks Annisa berteriak dengan panik.

Suara teriakan Annisa membuat Fauzan yang baru saja merebahkan diri di kasur langsung tersentak kaget. Dengan cepat ia bangkit dari ranjang dan bergegas menuju toilet.

"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Fauzan khawatir. Ia berdiri di depan pintu toilet sambil mengetuknya.

"I-itu ... Ada ... lipan," ucap Annisa dari dalam toilet.

"Lipan?" Fauzan menautkan alisnya.

"Tolong aku! Tolong pindahkan lipannya!" Annisa terdengar panik dan ketakutan.

"Buka pintunya!" seru Fauzan sambil menggedor pintu toilet.

Annisa tidak mengindahkan kata-kata Fauzan. "Gi-gimana ini? To-tolong bantu aku! Pindahkan lipan itu! Kumohon ...."

"Buka dulu pintunya, Annisa."

"Apa?"

"Pintu toilet. Cepat buka!"

"Ta-tapi ...."

"Kalau kamu nggak buka pintunya, gimana caranya kupindahkan lipan itu dari sana?" Fauzan sedikit meninggikan nada bicaranya.

Annisa terdiam. Suasana hening sesaat. Tak lama kemudian, pintu toilet pun terbuka perlahan.

Fauzan melirik ke dalam toilet dengan ragu-ragu. Lalu ia mendapati seekor lipan yang cukup besar bertengger di dinding toilet, dekat kerudung milik Annisa. Melihat kerudung istrinya tergantung di dinding, ia pun bisa menyimpulkan jika istrinya sedang tidak berkerudung saat ini. Karena itu Annisa berusaha menyembunyikan dirinya di balik pintu toilet.

"Tunggu sebentar. Aku ambil sesuatu dulu untuk memindahkan lipan itu," ujar Fauzan yang langsung beranjak sesaat dari sana.

Tak lama kemudian, Fauzan kembali dengan membawa sebuah kayu dan berusaha memindahkan lipan tadi dari toilet.

"Gimana? Apa Anda berhasil memindahkan lipannya?" tanya Annisa dari balik pintu.

"Ini sedang kupindahkan." Fauzan terus meraih lipan itu dengan kayu di tangannya. Hening menjeda beberapa saat. Annisa masih menunggu di balik pintu.

"Udah berhasil dipindahkan?" tanya Annisa lagi.

"Belum. Ah, lipannya malah lari ke arah pintu," seru Fauzan tiba-tiba.

"Apa? Ke-ke ... pintu? Maksud Anda ...."

"Sepertinya ada di dekat kakimu sekarang."

"Apa??" Tidak butuh waktu lama untuk menunggu jeritan Annisa terdengar. Ia langsung panik. "Ma-mana lipannya? Tolong jauhkan lipan itu dariku!!"

Fauzan tak dapat menahan tawanya. Ia terkekeh geli mendengar kepanikan Annisa. Sebenarnya lipan itu sudah tidak ada lagi di dalam toilet. Dia hanya sengaja menakuti Annisa. Entah kenapa tiba-tiba ide itu tebersit dalam benaknya.

Saat menyadari suara tawa Fauzan, Annisa berhenti menjerit. Ia mulai menduga apa yang sebenarnya terjadi. "Anda ... mengerjaiku?" tanyanya kemudian. Fauzan tidak menjawabnya. Lelaki itu masih terkekeh di depan pintu.

"Memangnya ini lucu untuk ditertawakan?" protes Annisa dengan nada kesal.

Mendengar kalimat protes dari sang istri, Fauzan pun menghentikan tawanya. "Maaf, aku nggak bermaksud begitu," ucapnya dengan rasa bersalah. "Memangnya kamu setakut itu sama lipan?"

"Bukan cuma takut, tapi aku juga geli melihatnya. Kalau bukan karena geli, nggak mungkin aku sampai histeris begini. Dari kecil aku memang selalu takut sama lipan. Lihat kaki-kakinya aja udah bikin aku merinding dan kegelian. Terserah kalau Anda ingin menyebutku phobia atau apa pun istilahnya."

"Hmm … selain jambret, ternyata kamu juga takut sama lipan. Banyak juga hal yang kamu takuti,” ujar Fauzan dengan tatapan  nanar.

"Bukankah wajar setiap orang punya rasa takut terhadap sesuatu? Memangnya Anda nggak pernah merasa takut?"

"Merasa takut?" Fauzan terdiam sesaat dan melirik kaki Annisa yang tampak dari celah bawah pintu toilet. "Sepertinya ... aku juga merasakannya … saat ini." Suaranya terdengar lirih di akhir kalimat.

Annisa merasa bingung dengan jawaban Fauzan. "Saat ini? Memangnya ... apa yang Anda takuti saat ini?"

Lama Annisa menunggu, Fauzan tidak juga memberikan jawaban. Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk mengintip ke depan toilet. Ternyata lelaki itu sudah tidak berada di sana lagi. Sepertinya Fauzan telah kembali ke kamarnya. Annisa masih merasa bingung dengan jawaban Fauzan barusan. "Apa yang harus ditakutkan saat ini?" gumamnya sambil berpikir. "Aneh," ucapnya kemudian.


5. A Requested Dinner

Harusnya aku memang lebih banyak bersyukur dibandingkan mengeluh. Salah satu hal yang ingin kusyukuri kelak adalah kehadiranmu dalam hidupku.
— Annisa Althaf —

🖤🖤🖤

FAUZAN baru saja selesai mandi dan mengenakan pakaian kasualnya. Sambil menunggu waktu Magrib tiba, ia duduk sejenak di tepian ranjang sambil membuka ponsel. Baru beberapa menit menggulir layar, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Lelaki itu lekas menoleh dan mendapati istrinya berdiri di ambang pintu yang sejak tadi memang dibiarkan terbuka olehnya.

"Boleh aku masuk?" tanya Annisa dengan sungkan.

“Masuklah,” ujar Fauzan sambil menatap Annisa dengan raut dingin.

Annisa melangkah masuk dan berhenti di hadapan Fauzan seraya menatap laki-laki itu dengan canggung. Tangannya memegang ponsel yang menyala.

"Ada apa?" tanya Fauzan sambil terus memperhatikan istrinya.

"Eng ... Ini ... Apa Anda ... pernah lihat tempat ini?" Annisa menunjukkan sebuah foto di layar ponselnya dengan ragu-ragu. "Ini foto sebuah restoran yang ada di kota ini. Sepertinya nggak jauh dari sini. Restoran ini sekarang sedang viral di instagram. Baru beberapa bulan dibuka, pengunjungnya udah langsung banyak. Semua yang datang ke restoran ini merasa takjub dengan penataannya yang begitu unik dan menarik. Ditambah lagi dari lantai atas restoran ini kita bisa lihat pemandangan Kota Jakarta yang sangat indah. Apalagi di malam hari."

Annisa terus bercerita dengan antusias. "Anda lihat foto ini?" Tangannya mengusap layar ponsel hingga foto tadi berganti dengan yang baru. "Ini adalah view yang paling banyak diunggah di sosial media. Foto ini mendapat banyak like dan sering kali muncul teratas di pencarian. Restorannya jadi begitu terkenal gara-gara postingan ini. Lihatlah. Bukankah ini sangat indah?" tunjuknya dengan begitu semangat.

Fauzan mengamati sejenak foto yang diperlihatkan Annisa padanya. Lalu pandangannya beralih pada wajah bundar berbalut kerudung instan warna abu-abu itu. "Jadi ... maksudmu menunjukkan foto itu padaku ... untuk apa?" tanyanya dengan raut datar.

"Ha?" Annisa terdiam konyol. "Eng ... I-ini ... Maksudku ...."

Tiba-tiba terdengar azan berkumandang. Fauzan lantas berujar pada Annisa, "Sudah azan. Ayo bersiap untuk salat Magrib!" Lalu ia pun turun dari ranjang dan berjalan ke arah nakas. Setelah meletakkan ponselnya di sana, lelaki itu kembali menoleh pada istrinya. "Aku akan salat di Masjid komplek. Nggak apa-apa kan, kamu salat sendirian di rumah? Selesai salat aku akan langsung pulang."

Annisa mengangguk dengan kaku. "I-iya, nggak apa-apa."

Fauzan berlalu meninggalkan Annisa yang terdiam mematung di tengah kamar sambil memegang ponselnya. Wanita itu tidak sadar, ada seutas senyum yang terukir di bibir suaminya saat lelaki itu keluar dari kamar tersebut.

***

Usai melaksanakan salat Magrib dan bertilawah sejenak di Masjid, Fauzan kembali ke rumah. Ia merasa heran saat memasuki pintu depan dan mengucapkan salam, salamnya malah tidak mendapatkan balasan.

Mengedarkan pandangan, Fauzan mencari keberadaan sang istri. Lalu telinganya menangkap suara krasak-krusuk yang berasal dari dapur. Lekas ia beranjak menuju ke sana. Begitu sampai di ambang pintu yang membatasi dapur dan ruang tengah, Fauzan melihat Annisa sedang sibuk mengeluarkan beberapa peralatan masak dari lemari kecil di sudut dapur. "Sedang apa?"

"Astagfirullah!" Annisa tampak kaget saat mendengar suara Fauzan dan mendapati lelaki itu tiba-tiba telah berada di dapur. "Kapan Anda pulang dari Masjid? Aku nggak dengar suara orang masuk dari tadi,” tanyanya heran.

"Baru saja," jawab Fauzan sambil berjalan menghampiri Annisa. "Tadi aku sudah ucapkan salam, tapi nggak ada balasan." Ia menghentikan langkah di dekat istrinya tersebut. "Sepertinya suaraku kalah dari suara benda-benda yang kamu keluarkan itu." Dengan gestur wajah Fauzan menunjuk berbagai peralatan masak yang telah dikeluarkan Annisa, yang kini tersusun di atas meja pantri.

"Maaf, aku nggak mendengarnya," jawab Annisa sambil meringis kecil.

"Apa kamu mau masak untuk makan malam?"

"Oh, eng ... ya. Rencananya begitu." Annisa menutup kembali lemari yang dibukanya tadi. Lalu menoleh pada Fauzan. "Maaf, aku langsung keluarkan peralatan masak dari lemari tanpa minta izin sama Anda lebih dulu," ujarnya dengan sungkan.

"Nggak perlu minta maaf. Lakukan saja apa yang menurutmu perlu dilakukan. Bukankah sudah kukatakan sejak awal kalau semua yang ada di rumah ini merupakan milikmu juga?" ucap Fauzan dengan raut dinginnya yang khas.

Annisa diam sesaat. Lalu ia beranjak menghampiri kulkas. Wajahnya seketika langsung tercenung begitu membuka pintu kulkas dan melihat isinya. "Apa selama ini Anda nggak pernah mengisi kulkas dengan bahan makanan?" tanya Annisa sembari menoleh pada Fauzan.

"Aku jarang makan di rumah. Jadi jarang beli persediaan bahan makanan," jawab Fauzan dengan raut datar.

"Lalu apa yang harus kumasak untuk makan malam kita?" Annisa bertanya bingung sambil mengamati isi kulkas di hadapannya. "Seharusnya kita memang nggak perlu makan di rumah malam ini." Ia bergumam tanpa mengalihkan pandangannya dari kulkas, tapi sudut matanya diam-diam melirik ke arah Fauzan.

Lelaki itu mengulum senyum. Fauzan cukup mengerti akan maksud tersirat dari kalimat yang baru saja diucapkan istrinya. Namun, hatinya seakan menyuruhnya untuk berpura-pura tidak mengerti.

“Di dekat sini ada minimarket. Apa kamu mau ke sana untuk beli bahan makanan?" tanya Fauzan seraya berjalan menghampiri Annisa di depan kulkas.

"Aku?" Annisa menatap Fauzan dengan mata mengerjap.

"Hm." Fauzan lekas mengangguk. "Nggak perlu khawatir, insya Allah komplek ini aman. Di depan sana ada pos satpam yang siaga selama dua puluh empat jam. Kamu juga bisa meneleponku kalau terjadi sesuatu."

"Bukan soal itu. Maksudku ... Kenapa harus aku yang …."

"Tenang saja. Akan kuberikan uang belanjanya."

Belum sempat Annisa menjawab lagi, Fauzan telah beranjak menuju kamar. Tak lama kemudian, lelaki itu kembali ke dapur dan menghampiri Annisa sambil memegang sebuah dompet. "Berapa yang kamu butuhkan untuk beli bahan makanan? Apa seratus ribu cukup?" tanya Fauzan seraya membuka dompetnya.

Annisa tidak memberikan jawaban. Ia hanya menatap Fauzan dengan raut keheranan.

"Nggak cukup, ya? Baiklah, akan kutambahkan. Dua ratus ribu aku rasa lebih dari cukup." Fauzan langsung mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan dari dompet dan menyodorkannya pada Annisa. "Ini, ambillah. Beli apa saja yang kamu rasa perlu untuk kebutuhan kita sehari-hari."

Annisa masih belum memberi tanggapan. Ia terus bergeming menatap Fauzan. Uang yang disodorkan lelaki itu pun tak juga diraihnya.

Akhirnya Fauzan meletakkan lembaran rupiah di tangannya itu ke atas kulkas. "Uangnya kuletakkan di sini. Bergantilah dengan cepat supaya kita bisa segera makan malam. Pakai pakaian yang cantik. Jangan pergi pakai piyama begitu. Nanti kamu akan ditertawakan oleh penghuni komplek ini." Setelah mengataan itu, Fauzan langsung beranjak ke kamar, meninggalkan Annisa yang masih mematung dengan keheranan. Tanpa disadari Annisa, ada senyum yang terukir di bibir Fauzan saat lelaki itu melangkah pergi meninggalkan dapur.

Annisa masih merasa heran dengan sikap suaminya. Namun, ia tetap menuruti perkataan lelaki itu. Annisa pun lekas beranjak ke kamar untuk berganti pakaian. Ia menilik kopernya yang tergeletak di sisi nakas, lalu mengeluarkan sebuah jaket hitam berbahan kanvas untuk dikenakan sebagai atasan—melapisi piyama berlengan panjang yang memang sejak tadi telah melekat di tubuhnya. Kemudian, ia mengambil rok denim berwarna navy untuk dikenakan sebagai bawahan—melapisi celana panjang yang menjadi setelan piyamanya tadi. Sepasang kaus kaki pun turut ia kenakan untuk menutupi aurat terbawahnya. Setelah membenarkan letak kerudung instan yang memang sudah melekat di kepalanya sejak awal, Annisa segera keluar dari kamarnya.

Sampai di depan pintu, Annisa tertegun begitu mendapati Fauzan berada di sofa ruang tengah dengan penampilan yang cukup rapi. Lelaki itu telah mengganti pakaian kasualnya tadi dengan setelan kemeja maroon berlengan panjang dan celana panjang hitam berbahan katun, yang membuat penampilannya terkesan formal seakan ingin menghadiri suatu acara.

"Anda ... mau pergi ke mana?" tanya Annisa sambil menghampiri Fauzan dan terus menatapnya dengan kening mengernyit.

Mendengar suara Annisa, Fauzan yang tadinya sedang memainkan ponsel, kini menoleh pada istrinya. "Sudah selesai berganti?" Ia bangkit dari sofa dan berjalan ke arah Annisa. Lalu mengamati sejenak penampilan wanita itu.

Annisa tidak memedulikan tatapan Fauzan yang seakan sedang menilai penampilannya. Ia masih merasa heran melihat penampilan suaminya tersebut yang tampak begitu rapi. "Apa Anda mau menghadiri suatu acara? Anda nggak ikut makan malam di rumah bersamaku?" Annisa terus bertanya dengan penasaran.

"Sudah kuminta untuk berdandan yang cantik, kenapa malah berpakaian seadanya begitu? Ganti dulu pakaianmu itu," seru Fauzan dengan nada lembut.

"Kenapa malah membahas pakaianku?" protes Annisa. "Anda belum menjawab pertanyaanku. Apa Anda mau pergi untuk menghadiri suatu acara? Anda nggak ikut makan malam di rumah?" Ia terus bertanya dengan penasaran.

"Ganti dulu pakaianmu itu, Annisa. Pakai pakaian yang cocok untuk makan malam di restoran," ujar Fauzan—masih dengan nada lembutnya.

"Kenapa terus membahas pakaianku? Apa yang salah dengan pa—Apa?" Mata Annisa langsung terbelalak ketika ia menyadari kalimat yang baru saja diucapkan suaminya. "Kita ... mau makan malam di ... restoran?" tanyanya memastikan lagi.

"Kenapa? Nggak mau?" Fauzan balik bertanya.

"Restorannya ... Apakah restoran yang ... kutunjukkan fotonya tadi sore?" Annisa kembali memastikannya lagi.

"Memangnya restoran mana lagi? Bukannya kamu sendiri yang minta ke restoran itu? Apa sekarang kamu sudah berubah pikiran?"

Annisa buru-buru menggeleng. Wajahnya mencetak senyum yang semakin lebar. Ia tampak girang dan bersemangat. Membuat Fauzan pun ikut tersenyum melihat ekspresinya.

"Tapi ... belanjaannya ...." Tiba-tiba Annisa mengubah raut wajahnya. Ia menatap Fauzan dengan bimbang.

"Nggak usah belanja dulu. Besok saja kita belanjakan setelah aku pulang kerja. Sepulang dari restoran nanti, kita beli telur ayam saja untuk sarapan besok."

"Nggak apa-apa?"

"Kamu ini cerewet juga rupanya. Cepat berganti. Aku tunggu lima menit," titah Fauzan dengan memasang wajah dinginnya seperti biasa.

Annisa mengangguk cepat tanpa melunturkan senyum yang menghiasi bibirnya. "Tunggu sebentar. Aku akan berganti dengan cepat," ujarnya dengan antusias. Lalu lekas beranjak memasuki kamar—tempat ia meletakkan kopernya tadi sore. Saking semangatnya, Annisa nyaris berlari untuk mempercepat langkah. Fauzan pun kembali tersenyum melihat reaksi istrinya tersebut.

***

"Masya Allah! Indah sekali." Kalimat tersebut tak henti terucap dari bibir Annisa sejak tadi. Matanya berbinar menatap pemandangan malam Ibu Kota yang kini tersuguh di hadapannya. Hamparan gedung-gedung bertingkat dengan cahaya lampu yang terlihat kecil-kecil, serta kelap-kelip lampu kendaraan yang hilir-mudik di jalanan, membuatnya seakan tak ingin beralih pandang sedetik pun.

Saat ini Annisa telah berada di balkon lantai tiga sebuah restoran yang terletak di kawasan Jakarta Selatan. Restoran yang tadi sore sempat ia tunjukkan fotonya pada Fauzan. Wanita berkulit sawo matang itu berdiri sambil menumpu kedua tangannya pada dinding pembatas setengah badan—yang dibuat oleh pemilik restoran guna keamanan para pengunjung. Kerudung yang dikenakan Annisa sedikit berkibar diterpa embusan angin malam.

Selain dirinya, ada beberapa pengunjung lain yang turut berada di balkon itu. Namun, mereka tampak sibuk di meja masing-masing—bersama pasangan, teman, ataupun keluarga. Tidak ada yang begitu peduli dengan keadaan sekitar. Sehingga Annisa merasa leluasa menikmati pemandangan indah itu dari tempatnya berdiri. Selama ini dia hanya bisa melihatnya di sosial media saja. Kini akhirnya ia bisa melihatnya secara langsung.

Annisa seakan masih tak percaya bahwa dirinya sekarang benar-benar telah berada di Jakarta, di kota yang selalu menjadi bagian dari mimpinya. Matanya tampak berkaca-kaca saat mengingat hal itu. Ia merasa terharu karena Allah telah mewujudkan salah satu mimpinya. Namun, di sela-sela keharuan dan rasa bahagianya itu, sesekali pandangan Annisa terlihat nanar, seakan ada hal lain yang mengusik pikirannya.

Di belakang Annisa, Fauzan tampak berjalan menghampiri meja sambil membawa dua cup kopi susu hangat di tangan. Ia duduk menghadap sang istri yang masih berdiri menyampinginya. Diletakkannya salah satu cup yang dibawanya itu ke sisi meja, dekat tempat Annisa berdiri. Lalu menoleh pada istrinya tersebut. Diperhatikannya raut wajah wanita itu sesaat. Dalam sekejap Fauzan bisa langsung menangkap raut getir yang tersembunyi di balik wajah sumringah Annisa. Tatapan nanar wanita itu seakan menunjukkan kalau hatinya kini tidak sepenuhnya bahagia. Dan Fauzan cukup tahu, apa penyebabnya.

Tiba-tiba Fauzan berdeham, hingga membuat Annisa terhenyak dan langsung memutar pandang ke arahnya.

"Oh, Anda udah kembali dari toilet?" ucap Annisa begitu menyadari kehadiran Fauzan di dekatnya.

"Hm.” Fauzan mengangguk singkat. "Aku beli kopi susu hangat. Minumlah sebelum dingin."

Annisa melirik cup berisi kopi susu hangat yang dibawakan Fauzan untuknya. Ia tersenyum simpul. "Makasih," ucapnya seraya beranjak duduk di hadapan lekaki itu dan lekas menyesap kopi susu hangat miliknya. "Gimana?" tanya Annisa usai menyeruput sebagian minumannya itu.

"Apanya yang gimana?"

"Restoran ini. Gimana menurut Anda? Benar-benar menakjubkan, bukan?" tanya Annisa dengan senyum sumringah.

Fauzan menoleh sejenak, mengamati pemandangan yang sejak tadi terus dibicarakan istrinya. Lalu memberi anggukan singkat. "Lumayan," ucapnya tanpa mengalihkan pandang dari hamparan gedung-gedung bertingkat yang sedang diamatinya itu. Tangan kanannya terus memegang cup berisi kopi susu hangat miliknya yang telah ia habiskan setengah.

"Lumayan?" Annisa merasa tak terima dengan jawaban Fauzan. "Semua orang yang datang kemari merasa takjub dengan pemandangan ini. Mereka sampai berlomba-lomba untuk mengunggahnya di media sosial. Anda malah bilang lumayan." Annisa mengeluarkan protesnya dengan wajah masam.

Fauzan tak lagi bersuara. Ia menatap Annisa dengan lekat.

"Ke ... kenapa?" Annisa merasa risi mendapat tatapan seperti itu dari lelaki yang baru dua hari menjadi suaminya tersebut.

"Boleh aku minta satu hal padamu mulai malam ini?" tanya Fauzan dengan raut serius.

Jantung Annisa seolah berhenti berdetak saat mendengar pertanyaan suaminya. Ia menelan salivanya dengan gugup. "Min ... minta apa?"

"Jangan lagi menyebutku dengan sebutan Anda. Setiap kali kamu memanggilku begitu, aku merasa seperti sedang berbicara dengan rekan kerja, bukan dengan seseorang yang berstatus sebagai istriku."

Istri? Sebutan itu masih terasa asing di telinga Annisa. Namun, itulah kenyataannya. Dia memang telah menjadi seorang istri saat ini dan lelaki di hadapannya itu merupakan suaminya. Begitulah takdir yang telah Allah gariskan untuknya.

"Cobalah untuk memanggilku dengan panggilan lain yang umum digunakan oleh seorang istri terhadap suaminya. Meskipun masih terasa janggal, tapi cobalah untuk membiasakan diri. Pernikahan kita memang terjadi begitu mendadak, tapi kita tetaplah pasangan suami istri yang sah. Apa pun yang terjadi, hubungan ini nggak akan pernah berubah—dan kuharap begitu." Fauzan menatap nanar ke sembarang arah usai mengatakan itu.

Annisa terdiam sejenak sambil memperhatikan raut wajah Fauzan. Tiba-tiba saja ia merasa tertarik untuk menggoda lelaki itu. "Gimana kalau Om Fauzan?" tanyanya sambil tersenyum usil. "Boleh aku panggil Anda begitu?"

"Kamu sedang meledekku?" protes Fauzan tak terima. Tatapannya kini telah kembali tertuju pada Annisa.

"Bukankah kita terpaut usia yang cukup jauh? Kita mirip seperti paman dan keponakan, bukan? Sepertinya panggilan Om sangat cocok untuk Anda." Annisa tersenyum lebar, seakan tak peduli dengan tatapan protes suaminya. Namun, melihat raut tidak senang di wajah Fauzan, ia pun lekas menyudahi keusilannya. "Aku hanya bercanda," ucapnya dengan raut menyesal.

"Apa aku setua itu untukmu?" Fauzan masih melayangkan protes.

"Aku, kan, hanya bercanda." Annisa kembali memasang raut menyesalnya.

"Bukankah kita cuma beda usia 8 tahun? Umurku sekarang 33 tahun dan kamu 25 tahun. Sepertinya aku terlalu muda untuk punya keponakan sebesarmu."

"Hmm, benar juga. Aku memang terlalu tua untuk jadi keponakan seorang pria berusia 33 tahun," angguk Annisa sambil berlagak polos. Ia mengerutkan kening sesaat, seakan sedang berpikir. "Kalau gitu ... Gimana kalau ...."

"Apa kamu sebingung itu memikirkan sebutan yang tepat untuk suamimu sendiri?" Fauzan menatap Annisa dengan gurat kecewa. "Ada begitu banyak kata sapaan seorang istri terhadap suaminya, tapi kamu malah sebingung itu memikirkannya. Sepertinya aku memang sangat tidak—"

"Kak Fauzan," potong Annisa langsung. Ia menatap Fauzan sambil mengukir senyum termanisnya. Kedua lesung pipinya terlihat jelas saat ia melengkungkan bibirnya itu. Manik kecokelatannya pun berbinar dengan indah.

Fauzan terdiam mematung. Entah karena suasana restoran yang diset romantis atau karena kafein dalam kopi yang ia minum tadi, jantungnya kini berdebar lebih cepat. Senyum Annisa membuatnya tertegun beberapa saat.

"Kak-Fau-zan," eja Annisa dengan suara lembut dan tampak bersungguh-sungguh. "Gimana? Boleh aku panggil Anda begitu?" tanyanya sambil terus menatap lelaki di hadapannya itu dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya.

Fauzan mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Tiba-tiba ia merasa kikuk sendiri. "Eng ... ya, setidaknya itu terdengar lebih baik dari sebutan Anda," ucapnya dengan salah tingkah.

Annisa semakin melebarkan senyumnya. "Baiklah. Aku akan panggil Anda Kak Fauzan mulai sekarang," ucapnya dengan antusias. "Rasanya menyenangkan juga punya seseorang yang bisa kupanggil Kakak. Selama ini aku cuma punya Ayah dan Bunda, belum pernah memanggil seseorang dengan sebutan Kakak," imbuhnya dengan penuh semangat.

Fauzan kembali menatap Annisa yang kini menunduk sambil menyeruput sisa minumannya sampai habis. Terdengar bunyi slurp saat wanita itu terus menyedot cup di tangannya. Hal tersebut membuat senyum di bibir Fauzan langsung terukir tanpa ia sadari.

“Yah … Minumanku habis,” ucap Annisa dengan raut kecewa begitu menyadari cup di tangannya telah kosong. Ia mendongak pada Fauzan. "Kita pesan apa lagi sekarang?" tanyanya dengan ekspresi polos.

Fauzan melebarkan kedua pupil matanya. "Kamu sudah menghabiskan satu porsi nasi uduk, sepiring pisang keju, segelas es tamarin dan satu cup kopi susu hangat. Masih mau tambah pesanan lagi?" ucapnya dengan raut terperangah.

"Bukankah kita ke sini memang untuk makan malam? Apa salahnya aku pesan nasi uduk? Lalu es tamarin ... Apa aku nggak perlu minum setelah makan? Untuk pisang keju, aku nggak menghabiskannya sendirian kalau-kalau Kak Fauzan lupa. Kak Fauzan juga ikut menghabiskan pisang keju itu bersamaku," protes Annisa sambil mengerucutkan bibirnya.

"Aku nggak mempermasalahkan apa yang sudah kamu pesan, Annisa. Tapi setelah menghabiskan semua itu, kamu masih belum kenyang juga?"

"Aku mau nambah pesanan bukan karena belum kenyang." Annisa mengalihkan pandangannya sejenak, menatap pemandangan malam Kota Jakarta yang sejak tadi terus mencuri perhatiannya. "Aku masih mau santai di sini dulu sambil menikmati suasana dan pemandangan di tempat ini sampai merasa puas," ujarnya dengan raut penuh harap.

"Ini sudah larut. Ayo kita pulang sekarang! Kamu bisa ke sini lagi lain waktu." Fauzan bersiap bangkit dari kursi yang ia duduki.

"Pulang?" Annisa merasa tak rela. "Kita baru sebentar di sini, kenapa harus buru-buru pulang?" protesnya sambil memasang wajah enggan.

"Sebentar gimana maksudmu? Kita sudah lebih dari dua jam di sini."

"Dua jam? Yang benar aja." Annisa melirik arlojinya sekilas. Ternyata yang dikatakan Fauzan memang benar. Mereka sudah dua jam lebih berada di sana. Ia tidak sadar karena terlalu asik menikmati suasana restoran yang disukainya itu.

"Ayo!" Fauzan langsung beranjak lebih dulu, meninggalkan balkon restoran. Annisa pun lekas bangkit dari kursinya dan menyusul sang suami.

***

"Singkat sekali rasanya. Padahal aku masih mau berlama-lama di restoran itu," ujar Annisa sambil menatap ke luar kaca jendela mobil dengan raut kecewa. Xenia hitam milik Fauzan kini telah berada di jalan raya, menyatu dengan kendaraan-kendaraan lain yang tampak ramai memadati jalanan malam Ibu Kota.

"Kamu di Jakarta bukan hanya sehari dua hari saja. Masih banyak waktu yang bisa digunakan untuk mengunjungi tempat itu lagi. Kenapa malah memasang wajah seakan-akan ini hari terakhirmu di kota ini?" celetuk Fauzan sambil terus mengendalikan setir.

"Iya, waktuku di Jakarta memang masih banyak, tapi belum tentu bisa seluang sekarang. Mulai besok aku akan disibukkan dengan urusan kampus. Belum lagi nanti akan ada tugas-tugas harian yang harus kukerjakan."

"Kudengar dari teman-temanku yang udah lebih dulu lanjut magister, kuliah magister itu nggak semudah saat meraih gelar sarjana. Mereka sering cerita betapa sibuk dan padatnya tugas yang harus diselesaikan setiap hari. Apalagi aku masuk lewat jalur beasiswa. Harus benar-benar giat mempertahankan nilai supaya beasiswaku nggak dihentikan," ujar Annisa tanpa melepaskan pandangannya dari jalanan yang mereka lewati.

Fauzan menoleh sekilas pada istrinya dengan tetap memusatkan fokus untuk menyetir. "Nggak usah mengeluh dulu. Kamu belum juga mulai kuliah, sudah duluan membayangkan tugas dan padatnya waktu. Kalau memang nggak siap dengan semua itu, buat apa juga lanjut kuliah? Nggak ada pencapaian yang mudah di dunia ini. Semua butuh perjuangan," ujarnya dengan bijak. "Kata ayahmu, ini adalah impianmu sejak lama. Apa cuma segitu tekadmu untuk kuliah?"

"Bukan begitu maksudku."

"Nikmati saja segala proses yang kamu jalani sekarang. Nggak semua orang mendapat kesempatan seperti yang kamu miliki saat ini. Banyak orang di luar sana yang berharap bisa memiliki kesempatan yang sama sepertimu. Seharusnya kamu lebih banyak bersyukur daripada mengeluh."

Annisa terdiam mendengar nasihat Fauzan. Ia menatap lekat wajah lelaki itu dari samping.

"Kenapa malah menatapku begitu?" tanya Fauzan dengan kening mengernyit.

"Kata-kata And—eng, maksudku ... kata-kata Kak Fauzan ... mirip seperti kata-kata Ayah." Annisa memalingkan wajahnya ke luar jendela. Tiba-tiba ia teringat pada ayah dan bundanya. Baru sehari berpisah, Annisa sudah merindukan dua sosok yang paling berharga dalam hidupnya itu.

Bagaimana tidak. Selama dua puluh lima tahun hidupnya, inilah pertama kali ia tinggal berjauhan dengan kedua orangtuanya. Ternyata hal itu tidak mudah. Meski telah memiliki suami, tetap saja Annisa merindukan ayah dan bundanya. Biasanya hampir setiap hari waktunya diisi dengan canda tawa dan berkumpul bersama mereka.

Fauzan menoleh pada istrinya. Melihat raut wajah Annisa yang tampak sedih sambil menatap nanar ke luar jendela, ia bisa menerka apa yang sedang dipikirkan oleh wanita itu. "Apa kamu merindukan Ayah?"

Annisa hanya diam tak menjawab. Ia terus menatap jalanan yang mereka lewati dengan tatapan hampa. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Doakan saja semoga Ayah dan Bunda di kampung sehat-sehat terus. Nanti saat kuliahmu libur, kita bisa pulang sebentar untuk menemui mereka," ujar Fauzan berusaha menghibur sang istri.

Annisa masih tak bersuara. Bulir-bulir bening mulai menetes di kedua sudut matanya, mewakili apa yang sedang dirasakannya saat ini.

Fauzan cukup mengerti bagaimana perasaan istrinya. Ia tahu betul seperti apa rasanya merindukan sosok yang paling berharga dalam hidup ini. Ia pun sering merasakannya, terutama pada sang ayah yang tak lagi berada di dunia. Karena itu, ia biarkan Annisa terus meluapkan perasaannya dalam keheningan tanpa berniat mengusiknya.

Selain kerinduan pada orangtuanya, Fauzan juga menyadari, ada kesedihan lain yang dirasakan istrinya saat ini. Ia bisa melihat sirat kesedihan itu terpancar pada wajah Annisa dari semenjak berada di restoran tadi. Meskipun Annisa berusaha menutupinya dengan segala keceriaan, tetapi Fauzan cukup peka untuk menyadari setiap kesedihan yang tersembunyi di balik keceriaan itu. Ia pun cukup tahu, apa alasan yang membuat istrinya bersedih. Dan alasan tersebut membuat Fauzan merasa serba salah, juga dilanda kebimbangan. Keraguan dan ketakutan seolah bertarung dalam nuraninya.

__________________________________

Apa nih, kira-kira kesedihan lain yang dirasakan Annisa?

Kenapa Fauzan jadi ragu dan takut?

Baca terus ya kelanjutannya.

Semoga kalian suka dengan karyaku dan bisa memetik hikmahnya bersama-sama. 😊

— Zazadaisilova —

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya ANNISA Vol. 2
5
0
Vol. 2 berisi Chapter 6 s.d 10 dari kisah ANNISA (Kala Takdir Menuntunku Padamu) yang dapat dibaca GRATIS (TIDAK DIGEMBOK).6. Terpana Akan Sosoknya7. Rencana Survei8. Berbagi Dengannya9. Percakapan Telepon10. Mengulik Masa LaluHappy Reading! 🕊️🤍
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan